Professional Documents
Culture Documents
LAPORAN PORTOFOLIO
KARSINOMA NASOFARING
Pembimbing:
dr. Noor Priyo Hidayat, Sp.THT-KL
Disusun Oleh:
dr. Aras Nurbarich Agustin
2016
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nomer CM : 033925
Nama : Tn. S
Umur : 36 tahun 9 bulan 4 hari
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Alamat : Lingk. Calingcing pasir kali 01/06 Tembong
Cipocok Jaya - Serang
Pekerjaan : Buruh
Waktu masuk RS : Kamis, 24 November 2016
Ruang : IGD
2. Keluhan tambahan :
Benjolan di leher kiri, penurunan fungsi menghidu, mimisan, penurunan
pendengaran, suara sengau, nafsu makan berkurang, demam, dan
penurunan berat badan.
C. Pemeriksaan Fisik
Kamis, 24 November 2016
1. Keadaan umum : tampak sesak
2. Kesadaran : compos mentis
Glascow Coma Scale : 15 (Eye 4 Motoric 6 Verbal 5)
3. Tanda Vital
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 79 x/ menit, reguler, isi dan tekanan cukup
Laju pernapasan : 29 x/ menit, reguler
Suhu tubuh : 37,8 oC
Status Generalis
1. Pemeriksaan Kepala
Bentuk kepala : mesocephal, simetris
Mata : simetris, tidak tampak konjungtiva anemis maupun sklera
ikterik, refleks pupil normal isokor 3 mm. Diplopia (-).
Gerak bola mata normal.
THT :
Telinga: tampak serumen di meatus akustikus externa dextra et sinistra
Hidung: dbn
Tenggorokan: Palatum mole asimetris dimana palatum mole sinistra
terdorong massa
2. Pemeriksaaan Leher
Inspeksi : tampak benjolan
Palpasi : teraba massa di regio III colli sinistra ukuran + 4x5 cm,
kenyal, immobile, batas tegas, nyeri tekan (-).
3. Pemeriksaan Thoraks
a. Pulmo
Inspeksi : dinding dada simetris, tidak tampak retraksi interkostal
Palpasi : vokal fremitus lobus superior dan inferior paru kanan sama
dengan paru kiri
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi :suara dasar vesikuler, reguler, Rhonki +/+, Wheezing -/-
b. Cor
Inspeksi : ictus cordis tampak pada SIC V 2 jari medial LMCS
Palpasi : ictus cordis teraba pada SIC V 2 jari medial LMCS, tidak
kuat angkat
Perkusi : batas cor kanan atas SIC II LPSD, kiri atas SIC II LPSS
kanan bawah SIC IV LPSD, kiri bawah SIC V 2 jari
medial LMCS
Auskultasi : S1 > S2, reguler, tidak terdengar murmur maupun gallop
4. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : BU (+) N
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (-)
5. Pemeriksaan extremitas
Tidak tampak sianosis dan edem, akral hangat.
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (24 November 2016)
Hematologi
Darah rutin
Hb : 12.5 g/dl (13-16 g/dl)
Leukosit : 26100 /uL (5000-10000 / uL)
Hematokrit : 39 % (30-40 %)
Eritrosit : 4.91 juta/uL (4-5 juta/uL)
Trombosit : 402.000 /uL (150.000-500.000 /uL)
Karbohidrat
Glukosa sewaktu : 74 mg/dl (<200)
E. Diagnosis di IGD
Suspek karsinoma nasofaring
F. Penatalaksanaan
Hasil PA
Ca Nasofaring
(Tidak bertentangan dengan
carcinoma sel skuamosa
tidak berkeratin dan tidak
berdeferensiasi)
H. Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas pada sel epitel
nasofaring dan merupakan penyakit multifaktor yang bersifat endemik
(Wahyono, 2010).
2. Epidemiologi
Daerah endemik KNF adalah daerah dengan populasi risiko tinggi
KNF, terutama di wilayah Cina Selatan, Asia Tenggara, India Barat Daya,
Afrika Utara, Eskimo dan Alaska. Insidens pada pria cenderung lebih
tinggi dibandingkan wanita dengan rasio 2,3:1 (Roezin, 2007). KNF
merupakan bentuk keganasan ketiga yang dijumpai pada pria dengan
insidensi di Cina Selatan berkisar 23-30/100.000 penduduk per tahun
(Chan, 2002). Pada populasi Indonesia yang mempunyai keragaman etnik
tinggi dengan populasi berkisar 225 juta jiwa, KNF adalah tumor THT
yang paling tinggi prevalensinya pada populasi penduduk asli dengan
angka insidensi 6,2/100.000 penduduk per tahun, sehingga populasi
Indonesia termasuk dalam kelompok daerah dengan populasi risiko agak
tinggi KNF. Insidensi KNF yang paling tinggi ditemukan pada populasi
penduduk asli di Sulawesi. Berdasarkan atas seluruh diagnosis KNF yaitu
pria 22% dan wanita 8%, maka rasio KNF antara pria dan wanita adalah
2,4:1 (Soeripto, 1998).
3. Etiologi
Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma
nasofaring adalah virus Epstein-Barr (EBV), karea pada semua pasien
nasofaring didapatkan titer antivirus EB yang cukup tinggi. Titer ini lebih
tinggi dari orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya,
tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring sekalipun
(Roezin, 2007).
Banyak penelitian mengenai hubungan EBV dengan kejadian
karsinoma nasofaring yang dikemukakan, tetapi virus ini bukan satu-
satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi
kemungkinan timbulnya tumor ini, seperti letak geografis, rasial, jenis
kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, sosial ekonomi,
dan infeksi bakteri atau parasit (Roezin, 2007).
Letak geografis dan faktor rasial sudah disebutkan di atas. Tumor
ini sering ditemukan pada lai-laki dan penyebabnya belum dapat
dipastikan. Kemungkinan ada hubungannya dengan faktor kebiasaan
hidup, pekerjaan, dan lain-lain. Faktor lingkungnan yang berpengaruh
adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu bakar, kebiasaan
memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan
makanan terlalu panas. Kebiasaan penduduk eskimo memakan makanan
yang diawetkan dengan bahan pengawet nitrosamin menyebabkan
tingginya kejadian karsinoma nasofaring (Roezin, 2007).
Jadi jika disimpulkan, sel yang normal mula-mula terpajan agen yang
dapat merusak DNA. Apabila reparasi DNA gagal terjadi karena gen-gen
pengatur pertumbuhan sel rusak, maka sel akan mengalami pertumbuhan
klonal yang tak terkontrol. Lama-lama, terjadi progresi tumor yang dapat
berujung pada neoplasma yang malignan. Neoplasma malignan memiliki
karakteristik berupa invasi dan metastasis (Sticker, 2010).
Pada metastasis, sel tumor terlepas dari massa primer, memasuki aliran
darah atau sistem limfatik, lalu tumbuh di tempat yang jauh dari situs
awalnya. Proses metastasis terdiri dari invasi sel tumor ke matriks
ekstraseluler, diseminasi vaskular, penempatan sel tumor, dan kolonisasi.
Melalui studi pada manusia dan tikus, ditemukan bahwa metastasis tidak
selalu timbul, meski jutaan sel terlepas dalam sirkulasi setiap harinya dari
suatu tumor. Hal ini disebabkan oleh berbagai mekanisme control
(misalnya sistem imun adaptif dan induksi apoptosis) yang mengatur
setiap langkah dari proses metastasis sehingga tidak semua sel dapat
bertahan hidup (Sticker, 2010). Langkah-langkah metastasis terangkum
pada Gambar 2.
7. Stadium
T = Tumor primer
TX - tumor primer tidak dapat dinilai
T0 - Tidak ada bukti tumor primer
Tis - Karsinoma in situ
T1 - Tumor terbatas pada nasofaring
T2 - Tumor meluas ke jaringan lunak
T2a - Perluasan tumor ke orofaring dan / rongga hidung tanpa perluasan
ke parafaring
8. Terapi
Stadium I : Radioterapi
Stadium II & III : Kemoradiasi
Stadium IV dengan N < 6 cm : Kemoradiasi
Stadium IV dengan N > 6 cm : Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan
kemoradiasi.
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan
pada penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan komputer.
Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher,
pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi,
vaksin dan anti virus. Semua pengobatan tambahan ini masih dalam
pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terpai
adjuvant (tambahan) ( Roezin, 2007 dan National Cancer Institute, 2009).
Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-
fluorouracil saat ini sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang
cukup memuaskan. Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian
kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada
efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan harapan kesembuhan
yang lebih baik. Kombinasi kemoterapi dengan mitomycin C dan 5-
fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat
radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan
kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring (Fuda Cancer Hospital
Guangzhou, 2002 dan Arisandi, 2008).
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap
benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau
timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor
induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan
serologi. Operasi sisa tumor induk (residu) atau kambuh (residif)
diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi
(Roezin, Anida, 2007).
Perawatan paliatif harus diberikan pada pasien dengan pengobatan
radiasi. Mulut rasa kering disebakan oleh keusakan kelenjar liur mayor
maupun minor sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain
menasihatkan pasien untuk makan dengan banyak kuah, membawa
minuman kemanapun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan
yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya air liur. Gangguan lain
adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di daerah leher
karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu
makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual ( Roezin, 2007).
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan
lengkap dimana tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif).
Dapat pula timbul metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang,
paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut diatas tidak banyak tindakan
medis yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien akhirnya meninggal dalam
keadaan umum yang buruk , perdarahan dari hidung dan nasofaring yang
tidak dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-alat vital akibat
metastasis tumor (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2002 dan Roezin,
2007).
Follow up pada pasien karsinoma nasofaring, tidak seperti
keganasan kepala dan leher lainnya. Karsinoma nasofaring mempunyai
risiko terjadinya rekurensi. Kekambuhan tersering terjadi kurang dari 5
tahun, 5-15% kekambuhan terjadi antara 5-10 tahun. Sehingga pasien
karsinoma nasofaring perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah
terapi.
9. Prognosis
Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada
pertumbuhan lokal dan metastasenya. Karsinoma skuamosa berkeratinasi
cenderung lebih agresif daripada yang non keratinasi dan tidak
berdiferensiasi, walau metastase limfatik dan hematogen lebih sering pada
ke-2 tipe yang disebutkan terakhir. Prognosis buruk bila dijumpai
limfadenopati, stadium lanjut, tipe histologik karsinoma skuamus
berkeratinasi. Prognosis juga diperburuk oleh beberapa faktor seperti
stadium yang lebih lanjut,usia lebih dari 40 tahun, laki-laki dari pada
perempuan dan ras Cina daripada ras kulit putih (Arima, 2006).
10. Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di
daerah dengan risiko tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah
serta mengubah cara memasak makanan untuk mencegah kesan buruk
yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai
lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi
dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor
penyebab. Akhir sekali, melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA
anti EA bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring lebih dini
(Tirtaamijaya, 2009).
BAB IV
PEMBAHASAN
Diagnosis pasien pada kasus ini adalah karsinoma nasofaring. Hal ini
sesuai dengan teori dimana menurut Roezin (2007), gejala karsinoma nasofaring
dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring, gejala telinga, gejala mata
dan saraf, serta metastasis atau gejala di leher. Gejala nasofaring yang dikeluhkan
pada pasien ini berupa mimisan dan gangguan menghidu. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan adanya massa di cavum nasi sinistra dan palatum mole yang asimetris
akibat adanya desakan tumor. Gangguan pada telinga yang dikeluhkan pada
pasien ini adalah adanya penurunan fungsi pendengaran pada telinga kiri. Hal ini
karena tempat asal tumor dekat muara tuba eustachius (fossa rosenmuller). Namun
sayangnya, penurunan fungsi pendengaran tersebut didapatkan berdasarkan
anamnesis saja. Pemeriksa tidak dapat memastikan penurunan fungsi pendengaran
tersebut apakah memang karena gangguan konduktornya atau sensorineural atau
bahkan keduanya. Hal ini dikarenakan keterbatasan alat seperti tidak adanya
otoskop dan garpu tala. Keluhan pada mata dan saraf seperti diplopia, disangkal
pasien.
Pada kasus ini juga, pasien sudah mengalami adanya benjolan di leher
atau adanya limfadenopati pada colli sinistra. Hal ini menunjukkan bahwa sudah
terjadi metastasis ke kelanjar getah bening unilateral dengan ukuran <6 cm.
Benjolan inilah yang awalnya mendorong pasien untuk berobat pertama kali ke
poli THT. Penegakkan diagnosis karsinoma nasofaring pada pasien ini juga sudah
tepat dengan dilakukannya biopsi dan hasil patologi anatomi menyatakan bahwa
Tidak bertentangan dengan carcinoma sel skuamosa tidak berkeratin dan tidak
berdeferensiasi. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa diagnosis
pasti karsinoma nasofaring adalah dengan melakukan biopsi (Roezin, 2007).
Untuk mementukan stadium pada pasien ini, penulis belum dapat
memastikan terutama untuk menentukan metastasis jauh sejauh ini pasien belum
mengeluhkan keluhan pada organ lain. Agar lebih pasti sebaiknya harus dilakukan
pemeriksaan penunjang lebih lanjut seperti CT-scan. Dari hasil pemeriksaan fisik
untuk tumor primer didapatkan perluasan tumor hingga rongga hidung dan
metastasis kelenjar getah bening unilateral <6 cm. Sehingga untuk sistem TNM,
didapatkan T2aN1Mx.
Keluhan utama sesak napas pada pasien ini, sebenarnya masih bias apakah
memang disebabkan karena adanya tumor pada nasofaring atau karena infeksi
pada parunya. Berdasarkan anamnesis dengan adanya demam, penurunan berat
badan, riwayat batuk lama, dan didukung dengan hasil rontgen thorax yang
menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis, memungkinkan sesaknya pasien
tersebut adalah akibat TB paru nya. Sehingga penanganan yang dilakukan oleh
dokter spesialis THT untuk melakukan rawat bersama dan alih rawat merupakan
tindakan yang tepat.
Pada kasus ini, pemeriksaan lain yang bisa dilakukan yaitu dengan
pemeriksaan serologi IgA antiEA dan IgA anti VCA untuk mendeteksi apakah
karsinoma nasofaring yang diderita oleh pasien ini disebabkan oleh virus ebstein
barr atau bukan. Namun, dikarenakan keterbatasan sehingga pemeriksaan ini tidak
dilakukan.
BAB V
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Chan, ATC., Teo PML., Johnson PJ. 2002. Nasopharyngeal Carcinoma. Ann
Oncol. Vol. 13:1007-15
Roezin, A dan Adham, M. 2007. Karsinoma nasofaring dalam Buku ajar ilmu
kesehatan: Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi keenam.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Soeripto. 1998. Epidemiology of Nasopharyngeal Carcinoma. Berita Kedokteran
Masyarakat. XIII: 207-11
Steven, SJC., Verkuijlen, SAWM., Hariwiyanto B., Harijadi., Paramita, DK.,
Fachiroh J., et al. 2006. Noninvasive Diagnosis Of Nasopharyngeal
Carcinoma: Nasopharyngeal Brushing Reveal High Epstein-Barr virus (VEB)
DNA Load And Carcinoma-Specific Viral BARF1 mRNA. Int J Cancer. Vol.
119: 608-14
Stricker TP, Kumar V. Neoplasia. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC,
editors. 2010. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Eighth
Edition. Philadelphia: Saunders
Tsao, SW., Yip, YL., Tsang, CM., Pang, PS., Lau, VMY., Zhang, G., et al. 2014.
Etiological Factors Of Nasopharyngeal Carcinoma. Oral oncol. Vol. 50:330-
338. doi: 10.1016/j.oraloncology.2014.02.006.
Yoshizaki, T., Kondo, S., Wakisaka, N., Murono, S., Endo, K., Sugimoto, H., et al.
2013. Pathogenic Role Of Epstein-Barr Virus Latent Membrane Protein-1 In
The Development Of Nasopharyngeal Carcinoma. Cancer Lett. Vol. 337:1-7.
doi: 10/1016/j.canlet.2013.05.018