You are on page 1of 25

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

LAPORAN PORTOFOLIO

KARSINOMA NASOFARING

Pembimbing:
dr. Noor Priyo Hidayat, Sp.THT-KL

Disusun Oleh:
dr. Aras Nurbarich Agustin

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSUD PROPINSI BANTEN
DINAS KESEHATAN PROPINSI BANTEN

2016
BAB I
PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher


yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan
leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung
dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil,
hipofaring dalam prosentase rendah. Berdasarkan data laboratorium Patologi
Anatomi, tumor ganas nasofaring sendiri selalu berada dalam kedudukan lima
besar dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor
ayudara, tumor getah bening dan tumor kulit.
Diagnosis dini menetukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan
karena nasofaring tersembunyi dibelakang palatum dan terletak dibawah basis
cranii serta berhubungan dengan banyak daerah penting didalam kepala dan ke
lateral maupun ke posterior leher. Berdasarkan letaknya tersebut, karsinoma
nasofaring tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli dan seringkali
tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis ke leher lebih sering
ditemukan sebagai gejala pertama.
Oleh sebab itu, sebagai klinisi harus mengetahui tanda dan gejala
karsinoma nasofaring sehingga diagnosis dapat ditegakkan sedini mungkin dan
dpat diterapi secara adekuat.

BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nomer CM : 033925
Nama : Tn. S
Umur : 36 tahun 9 bulan 4 hari
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Alamat : Lingk. Calingcing pasir kali 01/06 Tembong
Cipocok Jaya - Serang
Pekerjaan : Buruh
Waktu masuk RS : Kamis, 24 November 2016
Ruang : IGD

B. Anamnesis (Autoanamnesis dan Alloanamnesis)


1. Keluhan utama :
Sesak napas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS)

2. Keluhan tambahan :
Benjolan di leher kiri, penurunan fungsi menghidu, mimisan, penurunan
pendengaran, suara sengau, nafsu makan berkurang, demam, dan
penurunan berat badan.

3. Riwayat penyakit sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD provinsi Banten pada hari Kamis, 24
November 2016 dengan keluhan sesak napas sejak 3 hari SMRS.
Keluhan dirasakan semakin memberat. Keluhan sesak ini, dirasakan
semakin memberat saat posisi duduk tegak.
Selain sesak napas, pasien juga mengeluhkan adanya benjolan di leher
kiri. Benjolan tersebut diakui pasien, sudah ada sejak 5 bulan yang lalu
dan semakin membesar. Pasien juga mengeluh adanya penurunan dalam
menghidu, sering mimisan, penurunan pendengaran, suara sengau, nafsu
makan berkurang dan adanya penurunan berat badan dari 60 kg menjadi
46 kg dalam waktu + 4 bulan terakhir. Keluhan gangguan penglihatan,
seperti penglihatan ganda disangkal.

4. Riwayat penyakit dahulu


a. Riwayat keluhan yang sama : diakui. 1 bulan terakhir, pasien
sering mengalami sesak napas.
b. Riwayat operasi : diakui. Pasien kontrol ke poli THT
membawa hasil rontgen thorax dengan expertise curiga metastase paru
sehingga pada tgl 15 November 2016, pasien menjalani operasi oleh
dokter spesialis THT untuk dilakukan pengambilan jaringan (biopsi)
pada benjolan lehernya di RSUD Provinsi Banten. Pasien sempat
dirawat dan pulang 3 hari yang lalu.
c. Riwayat penyakit tiroid : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal
f. Riwayat kencing manis : disangkal
g. Riwayat penyakit jantung : disangkal
h. Riwayat penyakit paru : disangkal
i. Riwayat penyakit ginjal : disangkal

5. Riwayat penyakit keluarga


a. Riwayat tumor : disangkal
b. hipertensi : disangkal
c. Riwayat asma : disangkal
d. Riwayat kencing manis : disangkal
e. Riwayat penyakit jantung : disangkal
f. Riwayat penyakit paru : disangkal

6. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang buruh pengumpul barang-barang bekas
Kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya tercukupi oleh penghasilannya.
Ekonomi pasien tergolong menengah ke bawah. Pasien dirawat di RS
dengan menggunakan BPJS non PBI.

C. Pemeriksaan Fisik
Kamis, 24 November 2016
1. Keadaan umum : tampak sesak
2. Kesadaran : compos mentis
Glascow Coma Scale : 15 (Eye 4 Motoric 6 Verbal 5)
3. Tanda Vital
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 79 x/ menit, reguler, isi dan tekanan cukup
Laju pernapasan : 29 x/ menit, reguler
Suhu tubuh : 37,8 oC

Status Generalis
1. Pemeriksaan Kepala
Bentuk kepala : mesocephal, simetris
Mata : simetris, tidak tampak konjungtiva anemis maupun sklera
ikterik, refleks pupil normal isokor 3 mm. Diplopia (-).
Gerak bola mata normal.
THT :
Telinga: tampak serumen di meatus akustikus externa dextra et sinistra
Hidung: dbn
Tenggorokan: Palatum mole asimetris dimana palatum mole sinistra
terdorong massa
2. Pemeriksaaan Leher
Inspeksi : tampak benjolan
Palpasi : teraba massa di regio III colli sinistra ukuran + 4x5 cm,
kenyal, immobile, batas tegas, nyeri tekan (-).
3. Pemeriksaan Thoraks
a. Pulmo
Inspeksi : dinding dada simetris, tidak tampak retraksi interkostal
Palpasi : vokal fremitus lobus superior dan inferior paru kanan sama
dengan paru kiri
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi :suara dasar vesikuler, reguler, Rhonki +/+, Wheezing -/-
b. Cor
Inspeksi : ictus cordis tampak pada SIC V 2 jari medial LMCS
Palpasi : ictus cordis teraba pada SIC V 2 jari medial LMCS, tidak
kuat angkat
Perkusi : batas cor kanan atas SIC II LPSD, kiri atas SIC II LPSS
kanan bawah SIC IV LPSD, kiri bawah SIC V 2 jari
medial LMCS
Auskultasi : S1 > S2, reguler, tidak terdengar murmur maupun gallop
4. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : BU (+) N
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (-)
5. Pemeriksaan extremitas
Tidak tampak sianosis dan edem, akral hangat.

D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (24 November 2016)
Hematologi
Darah rutin
Hb : 12.5 g/dl (13-16 g/dl)
Leukosit : 26100 /uL (5000-10000 / uL)
Hematokrit : 39 % (30-40 %)
Eritrosit : 4.91 juta/uL (4-5 juta/uL)
Trombosit : 402.000 /uL (150.000-500.000 /uL)
Karbohidrat
Glukosa sewaktu : 74 mg/dl (<200)

Rontgen thorax dan servical :

Kesan: tampak gambaran TB paru milier

E. Diagnosis di IGD
Suspek karsinoma nasofaring

F. Penatalaksanaan

1. O2 3 lpm nasal kanul


2. IVFD RL:D5% 20 tpm
3. Inj. Cefotaxim 2x1 gr (iv)
4. PO Parasetamol tab 3x500 mg
5. Konsul THT
Instruksi:
Diet bubur
IVFD D5% selang seling RL 30 tpm
Nebu ventolin
Inj. Cefotaxime 2x1 gr
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Foto Thorax + Coli
ACC rawat inap

G. Follow up di ruangan bedah


TGL Subyektif Obyektif Assesment Planning

25/11/2016 Sesak napas KU/ Kes: Sedang, CM - Suspek Ca - O2 3 lpm nk


berkurang Vital sign : nasofaring - IVFD
T : 120/80 mmHg - TB paru RL:D5% 30
N : 80 x/mnt - Leukositosis tpm
R : 24 x/menit - Raber Sp.P
S : 36,2C - Inj.
Status generalis : Cefotaxime
Mata : CA (-/-), SI (-/-) 2x1 gr
Leher: benjolan (+) - Inj. Ranitidin
Pulmo : SD ves (+/+), 2x1 amp
rhonki (+/+), wheezing (-/-) - PO
Cor : S1>S2, regular, parasetamol
murmur (-), gallop (-) 3x1 tab
Abdomen : dbn - Menunggu
Extremitas: akral hangat hasil PA
26/2/2016 - Sesak KU/Kes : Sedang, CM - TB paru - O2 3 lpm nk
10.20 napas Vital sign : - Suspek Ca - IVFD NaCl
Visit dr. berkurang TD : 120/80 mmHg nasofaring 0,9% 500cc/
Yeni, Sp.P - Batuk > 1 N : 84 x/mnt 8 jam
bulan R : 24 x/menit - IVFD
S : 36C Aminoflluid
Status generalis : 500 cc/12
Mata : CA (-/-), SI (-/-) jam
Leher: benjolan (+) - cek SGOT/
Pulmo : SD ves (+/+), SGPT/ Bil.
rhonki (+/+), wheezing (-/-) Total. Jika
Cor : S1>S2, regular, hasil bagus,
murmur (-), gallop (-) OAT kat.1
Abdomen : dbn RHZE
Extremitas: akral hangat 400 mg/ 300
mg/ 1000
mg/ 1000 mg
- PO
Ambroxol
3x1 tab
- terapi lain
lanjutkan
sesuai
Sp.THT
26/11/2016 - Sesak KU/Kes : Sedang, CM - Ca nasofaring - Alih rawat
11.30 napas Vital sign : - TB paru Sp.P
Visit dr. berkurang T : 120/80 mmHg
Noor priyo, - Benjolan N : 88 x/mnt
Sp.THT di leher R : 24 x/menit
S : 36.4C
Status generalis :
Mata : CA (-/-), SI (-/-)
Leher: benjolan (+)
Pulmo : SD ves (+/+),
rhonki (+/+), wheezing (-/-)
Cor : S1>S2, regular,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen : dbn
Extremitas: akral hangat

Hasil PA
Ca Nasofaring
(Tidak bertentangan dengan
carcinoma sel skuamosa
tidak berkeratin dan tidak
berdeferensiasi)

H. Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas pada sel epitel
nasofaring dan merupakan penyakit multifaktor yang bersifat endemik
(Wahyono, 2010).

2. Epidemiologi
Daerah endemik KNF adalah daerah dengan populasi risiko tinggi
KNF, terutama di wilayah Cina Selatan, Asia Tenggara, India Barat Daya,
Afrika Utara, Eskimo dan Alaska. Insidens pada pria cenderung lebih
tinggi dibandingkan wanita dengan rasio 2,3:1 (Roezin, 2007). KNF
merupakan bentuk keganasan ketiga yang dijumpai pada pria dengan
insidensi di Cina Selatan berkisar 23-30/100.000 penduduk per tahun
(Chan, 2002). Pada populasi Indonesia yang mempunyai keragaman etnik
tinggi dengan populasi berkisar 225 juta jiwa, KNF adalah tumor THT
yang paling tinggi prevalensinya pada populasi penduduk asli dengan
angka insidensi 6,2/100.000 penduduk per tahun, sehingga populasi
Indonesia termasuk dalam kelompok daerah dengan populasi risiko agak
tinggi KNF. Insidensi KNF yang paling tinggi ditemukan pada populasi
penduduk asli di Sulawesi. Berdasarkan atas seluruh diagnosis KNF yaitu
pria 22% dan wanita 8%, maka rasio KNF antara pria dan wanita adalah
2,4:1 (Soeripto, 1998).

3. Etiologi
Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma
nasofaring adalah virus Epstein-Barr (EBV), karea pada semua pasien
nasofaring didapatkan titer antivirus EB yang cukup tinggi. Titer ini lebih
tinggi dari orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya,
tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring sekalipun
(Roezin, 2007).
Banyak penelitian mengenai hubungan EBV dengan kejadian
karsinoma nasofaring yang dikemukakan, tetapi virus ini bukan satu-
satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi
kemungkinan timbulnya tumor ini, seperti letak geografis, rasial, jenis
kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, sosial ekonomi,
dan infeksi bakteri atau parasit (Roezin, 2007).
Letak geografis dan faktor rasial sudah disebutkan di atas. Tumor
ini sering ditemukan pada lai-laki dan penyebabnya belum dapat
dipastikan. Kemungkinan ada hubungannya dengan faktor kebiasaan
hidup, pekerjaan, dan lain-lain. Faktor lingkungnan yang berpengaruh
adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu bakar, kebiasaan
memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan
makanan terlalu panas. Kebiasaan penduduk eskimo memakan makanan
yang diawetkan dengan bahan pengawet nitrosamin menyebabkan
tingginya kejadian karsinoma nasofaring (Roezin, 2007).

4. Patogenesis dan Patofiologi


Pengetahuan mengenai patogenesis molekuler kanker secara umum
dibutuhkan untuk memahami patogenesis kanker nasofaring. Terdapat
beberapa prinsip yang perlu diketahui mengenai dasar terbentuknya
kanker, dan prosesnya terangkum dalam Gambar 1. Prinsip-prinsip
tersebut adalah sebagai berikut:
Karsinogenesis bermula dari kerusakan genetik yang nonletal.
Kerusakan ini dapat disebabkan oleh agen yang terdapat di
lingkungan, seperti zat kimia, radiasi, atau virus. Selain itu, Agen
ini bisa juga diturunkan melalui germ line. Akan tetapi, mutase
juga dapat terjadi secara acak dan tidak terduga.
Sebuah tumor berasal dari satu sel precursor yang rusak dan
mengalami ekspansi klonal.
Gen yang menjadi target kerusakan adalah empat kelas gen
regulator normal: proto-onkogen yang mempromosikan
pertumbuhan, gen supresor tumor yang menginhibisi pertumbuhan,
gen pengatur apoptosis, dan gen yang terlibat dalam reparasi DNA.
Karsinogenesis terdiri dari banyak langkah pada tingkat genetik
maupun fenotipe akibat banyak mutasi. Hasilnya, neoplasma dapat
berprogresi menjadi ganas, dengan karakteristik neoplasma ganas
seperti pertumbuhan berlebihan, invasi local, dan kemampuan
metastasis yang jauh.

Jadi jika disimpulkan, sel yang normal mula-mula terpajan agen yang
dapat merusak DNA. Apabila reparasi DNA gagal terjadi karena gen-gen
pengatur pertumbuhan sel rusak, maka sel akan mengalami pertumbuhan
klonal yang tak terkontrol. Lama-lama, terjadi progresi tumor yang dapat
berujung pada neoplasma yang malignan. Neoplasma malignan memiliki
karakteristik berupa invasi dan metastasis (Sticker, 2010).
Pada metastasis, sel tumor terlepas dari massa primer, memasuki aliran
darah atau sistem limfatik, lalu tumbuh di tempat yang jauh dari situs
awalnya. Proses metastasis terdiri dari invasi sel tumor ke matriks
ekstraseluler, diseminasi vaskular, penempatan sel tumor, dan kolonisasi.
Melalui studi pada manusia dan tikus, ditemukan bahwa metastasis tidak
selalu timbul, meski jutaan sel terlepas dalam sirkulasi setiap harinya dari
suatu tumor. Hal ini disebabkan oleh berbagai mekanisme control
(misalnya sistem imun adaptif dan induksi apoptosis) yang mengatur
setiap langkah dari proses metastasis sehingga tidak semua sel dapat
bertahan hidup (Sticker, 2010). Langkah-langkah metastasis terangkum
pada Gambar 2.

Kanker nasofaring (NPC) merupakan tumor ganas yang


diasosiasikan dengan virus EBV (Epstein-Barr virus). Telah ditemukan
bahwa perkembangan NPC salah satunya dipengaruhi faktor risiko yang
sudah sering dikemukakan yaitu kenaikan titer antibody anti-EBV yang
konsisten. Akan tetapi, mekanisme molekuler dan hubungan patofisiologis
dari karsinogenesis terkait EBV masih belum sepenuhnya jelas (Yoshikazi,
2013). Selain itu, meski NPC seringkali diasosiasikan dengan EBV, EBV
tidak mengubah sel-sel epitel nasofaring menjadi sel-sel klon yang
proliferative, meski ia dapat mentransformasi sel B primer. Agar terbentuk
NPC, mula-mula dibutuhkan infeksi laten dan litik EBV yang diduga
disokong oleh perubahan genetik yang dapat diidentifikasi pada epitel
nasofaring premalignan. Setelah itu infeksi laten dan litik terjadi dan
menghasilkan produk-produk tertentu, barulah ekspansi klonal dan
transformasi sel epitel nasofaring premalignan menjadi sel kanker. Selain
faktor genetik, faktor lingkungan berupa konsumsi karsinogen dalam diet
pada masa kanak-kanak juga dapat mengakibatkan akumulasi dari lesi
genetik dan peningkatan risiko NPC. Selain diet, faktor-faktor lainnya
adalah pajanan zat-zat kimia pada pekerjaan, misalnya formaldehida dan
debu kayu yang mengakibatkan inflamasi kronis di nasofaring (Tsao,
2014).
Seperti yang telah dijelaskan, setelah faktor genetik dan
lingkungan merangsang perubahan pada epitel nasofaring, virus EBV
memperparah keadaan epitel tersebut. Virus EBV menginfeksi sel NPC
secara laten. Virus ini kemudian memasuki fase infeksi litik yang
produktif. Tumor NPC diketahui mengekspresikan tiga protein yang
dikode EBV, RNA kecil dan mikroRNA. Protein-protein yang
diekspresikan di antaranya adalah EBNA1, LMP1, dan LMP2. Dalam
perkembangan NPC, diduga LMP1 memiliki peran sentral. LMP1
disekresi melalui eksosom dan masuk ke dalam sel-sel yang tidak
terinfeksi EBV melalui endositosis. LMP1 juga mempengaruhi lingkungan
di sekeliling tumor. LMP1 merupakan onkogen primer yang dapat meniru
fungsi salah satu reseptor TNF, yakni CD40. Akibatnya, ia dapat
menginisasi beberapa pathway persinyalan yang merangsang perubahan
fenotip dan morfologi sel epitel. LMP 1 juga mengakibatkan peningkatan
EMT (epithelial-mesenchymal transition) (Yoshikazi, 2013). Pada proses
EMT, sel-sel karsinoma akan menurunkan penanda epitel tertentu dan
meningkatkan penanda mesenkim tertentu sehingga menimbulkan
perkembangan fenotip promigratori yang penting dalam metastasis
(Sticker, 2010). Oleh karena itu, LMP1 juga berperan dalam menimbulkan
sifat metastasis dari NPC. Peningkatan EMT oleh LMP1 ini diikuti dengan
ekspresi penanda sel punca kanker/sel progenitor kanker serta pemberian
sifat-sifat mirip sel punca/sel progenitor kepada sel (Yoshikazi, 2013).
Protein-protein lainnya serta ekspresi RNA virus juga memiliki
peranan dalam karsinogenesis NPC, contohnya LMP2 yang
mempertahankan latensi virus (Yoshikazi, 2013). Peran-peran protein dan
RNA serta proses patogenesis NPC terangkum dalam Gambar 3.

5. Tanda dan Gejala klinis


Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu
gejala nasofaring, gejala telinga, gejaa mata dan saraf, serta metastasis atau
gejala di leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau
sumbatan hidung. Untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat
karena seringkali gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau
tumor tidak nampak karena masih terdapat di bawah mukosa (creeping
tumor) (Roezin, 2007).
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena
tempat asal tumor dekat muara tuba eustachius (fossa rosenmuller).
Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa
nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang pasien dengan gangguan
pendengaran ini baru kemudian disadari bahwa penyebabnya adalah
karsinoma nasofaring.
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak
melalui beberapa lubang, maka gangguan saraf otak dapat terjadi sebagai
gejala lanjut. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai N.III, IV,
VI dan dapat pula N.V, sehingga tidak jarang gejala diplopia yang
membawa pasien lebih dulu ke dokter mata. Neuralgia trigeminal
merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum
ditemukan keluhan lain (Roezin, 2007).
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai N. IX, X, XI, dan XII
jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang cukup
jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson.
Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat
pula disertai destruksi tulang tengkorak dan bila sudah demiakian,
biasanya prognosisnya buruk. Metastasis ke kelenjar getah bening dalam
bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien untuk berobat, karena
sebelumnya tidak terdapat keluhan (Roezin, 2007).
6. Diagnosis
Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan
CT-Scan daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang
tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit ditemukan. Pemeriksaan foto
tengkorak potongan anteroposterior, lateral dan Waters menunjukan massa
jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar tengkorak memperlihatkan
destruksi atau erosi tulang di daerah fossa serebri media. Pemeriksaan
darah tepi, fungsi hati, ginjal dan lain -lain dilakukan untuk mendeteksi
metastasis (Nasir,2008).
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi
virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma
nasofaring. Tetapi pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan
prognosis pengobatan. Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan
biopsi nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari
hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas
tumornya (blind biopsi). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung
menelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke
lateral dan dilakukan biopsy (Krishnakat, 2002 dan Nasir, 2008).
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton
yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada didalam
mulut ditarik keluar dan diklem bersam-sama ujung kateter yang di
hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung disebelahnya, sehingga
palatum mole tertarik keatas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah
nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut
atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa
tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya
dilakuan dengan anestsi topical dengan Xylocain 10%. Bila dengan cara
ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan
pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam nakrosis.
Endoskopi dapat membantu dokter untuk melihat bagian dalam tubuh
dengan hanya menggunakan thin,fexible tube. Pasien disedasi semasa tuba
dimasukkan melalui mulut ataupun hidung untuk menguji area kepala
ataupun leher. Apabila endoskopi telah digunakan untuk melihat
nasofaring disebut nasofaringoskopi (Pandi, 1983 dan Arima, 2006).

7. Stadium
T = Tumor primer
TX - tumor primer tidak dapat dinilai
T0 - Tidak ada bukti tumor primer
Tis - Karsinoma in situ
T1 - Tumor terbatas pada nasofaring
T2 - Tumor meluas ke jaringan lunak
T2a - Perluasan tumor ke orofaring dan / rongga hidung tanpa perluasan
ke parafaring

T2b Disertai perluasan ke parafaring


T3 - Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal
T4 - Tumor dengan ekstensi intrakranial dan atau keterlibatan SSP, fosa
infratemporal, hypopharynx, atau orbit (Roezin, 2007 dan National Cancer
Institute,2009).
N = Nodule
N Pembesaran kelenjar getah bening regional (KGB).
N0 - Tidak ada pembesaran.
N1 - Terdapat metastesis unilateral KGB dengan ukuran kurang dari 6cm
merupakan ukuran terbesar diatas fossa supraklavikular
N2 - Terdapat metastesis bilateral KGB dengan ukuran kurang dari 6cm
merupakan ukuran terbesar diatas fossa supraklavikular
N3 - Terdapat metastesis
N3.a- KGB dengan ukuran kurang dari 6cm
N3.b- KGB diatas fossa supraklavikular (Roezin, Anida, 2007 dan
National Cancer Institute, 2009).
M = Metastasis
Mx = Adanya Metastesis jauh yang tidak ditentukan.
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh (Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer
Institute, 2009).
Stadium
Stadium 0 Tis, n0, M0
Stadium I - T1, n0, M0
Stadium IIA - T2a, n0, M0
Stadium IIB - (T1, N1, M0), (T2, N1, M0), (T2a, N1, M0), ( T2b, N0, M0)
Stadium III - ( T1, N2, M0 ),(T2a, N2, M0),( T2b, N2, M0),( T3, N0, M0),
( T3, N1, M0),( T3, N2, M0)
Stadium IVA - (T4, N0, M0), (T4, N1, M0), (T4, N2, M0)
Stadium IVB - Semua T, N3, M0
Stadium IVC - Semua T, Semua N, M1 (Roezin, Anida, 2007 dan National
Cancer Institute, 2009).

8. Terapi
Stadium I : Radioterapi
Stadium II & III : Kemoradiasi
Stadium IV dengan N < 6 cm : Kemoradiasi
Stadium IV dengan N > 6 cm : Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan
kemoradiasi.
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan
pada penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan komputer.
Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher,
pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi,
vaksin dan anti virus. Semua pengobatan tambahan ini masih dalam
pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terpai
adjuvant (tambahan) ( Roezin, 2007 dan National Cancer Institute, 2009).
Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-
fluorouracil saat ini sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang
cukup memuaskan. Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian
kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada
efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan harapan kesembuhan
yang lebih baik. Kombinasi kemoterapi dengan mitomycin C dan 5-
fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat
radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan
kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring (Fuda Cancer Hospital
Guangzhou, 2002 dan Arisandi, 2008).
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap
benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau
timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor
induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan
serologi. Operasi sisa tumor induk (residu) atau kambuh (residif)
diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi
(Roezin, Anida, 2007).
Perawatan paliatif harus diberikan pada pasien dengan pengobatan
radiasi. Mulut rasa kering disebakan oleh keusakan kelenjar liur mayor
maupun minor sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain
menasihatkan pasien untuk makan dengan banyak kuah, membawa
minuman kemanapun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan
yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya air liur. Gangguan lain
adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di daerah leher
karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu
makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual ( Roezin, 2007).
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan
lengkap dimana tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif).
Dapat pula timbul metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang,
paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut diatas tidak banyak tindakan
medis yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien akhirnya meninggal dalam
keadaan umum yang buruk , perdarahan dari hidung dan nasofaring yang
tidak dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-alat vital akibat
metastasis tumor (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2002 dan Roezin,
2007).
Follow up pada pasien karsinoma nasofaring, tidak seperti
keganasan kepala dan leher lainnya. Karsinoma nasofaring mempunyai
risiko terjadinya rekurensi. Kekambuhan tersering terjadi kurang dari 5
tahun, 5-15% kekambuhan terjadi antara 5-10 tahun. Sehingga pasien
karsinoma nasofaring perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah
terapi.

9. Prognosis
Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada
pertumbuhan lokal dan metastasenya. Karsinoma skuamosa berkeratinasi
cenderung lebih agresif daripada yang non keratinasi dan tidak
berdiferensiasi, walau metastase limfatik dan hematogen lebih sering pada
ke-2 tipe yang disebutkan terakhir. Prognosis buruk bila dijumpai
limfadenopati, stadium lanjut, tipe histologik karsinoma skuamus
berkeratinasi. Prognosis juga diperburuk oleh beberapa faktor seperti
stadium yang lebih lanjut,usia lebih dari 40 tahun, laki-laki dari pada
perempuan dan ras Cina daripada ras kulit putih (Arima, 2006).

10. Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di
daerah dengan risiko tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah
serta mengubah cara memasak makanan untuk mencegah kesan buruk
yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai
lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi
dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor
penyebab. Akhir sekali, melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA
anti EA bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring lebih dini
(Tirtaamijaya, 2009).

BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis pasien pada kasus ini adalah karsinoma nasofaring. Hal ini
sesuai dengan teori dimana menurut Roezin (2007), gejala karsinoma nasofaring
dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring, gejala telinga, gejala mata
dan saraf, serta metastasis atau gejala di leher. Gejala nasofaring yang dikeluhkan
pada pasien ini berupa mimisan dan gangguan menghidu. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan adanya massa di cavum nasi sinistra dan palatum mole yang asimetris
akibat adanya desakan tumor. Gangguan pada telinga yang dikeluhkan pada
pasien ini adalah adanya penurunan fungsi pendengaran pada telinga kiri. Hal ini
karena tempat asal tumor dekat muara tuba eustachius (fossa rosenmuller). Namun
sayangnya, penurunan fungsi pendengaran tersebut didapatkan berdasarkan
anamnesis saja. Pemeriksa tidak dapat memastikan penurunan fungsi pendengaran
tersebut apakah memang karena gangguan konduktornya atau sensorineural atau
bahkan keduanya. Hal ini dikarenakan keterbatasan alat seperti tidak adanya
otoskop dan garpu tala. Keluhan pada mata dan saraf seperti diplopia, disangkal
pasien.
Pada kasus ini juga, pasien sudah mengalami adanya benjolan di leher
atau adanya limfadenopati pada colli sinistra. Hal ini menunjukkan bahwa sudah
terjadi metastasis ke kelanjar getah bening unilateral dengan ukuran <6 cm.
Benjolan inilah yang awalnya mendorong pasien untuk berobat pertama kali ke
poli THT. Penegakkan diagnosis karsinoma nasofaring pada pasien ini juga sudah
tepat dengan dilakukannya biopsi dan hasil patologi anatomi menyatakan bahwa
Tidak bertentangan dengan carcinoma sel skuamosa tidak berkeratin dan tidak
berdeferensiasi. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa diagnosis
pasti karsinoma nasofaring adalah dengan melakukan biopsi (Roezin, 2007).
Untuk mementukan stadium pada pasien ini, penulis belum dapat
memastikan terutama untuk menentukan metastasis jauh sejauh ini pasien belum
mengeluhkan keluhan pada organ lain. Agar lebih pasti sebaiknya harus dilakukan
pemeriksaan penunjang lebih lanjut seperti CT-scan. Dari hasil pemeriksaan fisik
untuk tumor primer didapatkan perluasan tumor hingga rongga hidung dan
metastasis kelenjar getah bening unilateral <6 cm. Sehingga untuk sistem TNM,
didapatkan T2aN1Mx.
Keluhan utama sesak napas pada pasien ini, sebenarnya masih bias apakah
memang disebabkan karena adanya tumor pada nasofaring atau karena infeksi
pada parunya. Berdasarkan anamnesis dengan adanya demam, penurunan berat
badan, riwayat batuk lama, dan didukung dengan hasil rontgen thorax yang
menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis, memungkinkan sesaknya pasien
tersebut adalah akibat TB paru nya. Sehingga penanganan yang dilakukan oleh
dokter spesialis THT untuk melakukan rawat bersama dan alih rawat merupakan
tindakan yang tepat.
Pada kasus ini, pemeriksaan lain yang bisa dilakukan yaitu dengan
pemeriksaan serologi IgA antiEA dan IgA anti VCA untuk mendeteksi apakah
karsinoma nasofaring yang diderita oleh pasien ini disebabkan oleh virus ebstein
barr atau bukan. Namun, dikarenakan keterbatasan sehingga pemeriksaan ini tidak
dilakukan.
BAB V
SARAN

1. Disediakannya alat-alat pemeriksaan THT di IGD seperti otoskop, garpu


tala, dan spekulum hidung

DAFTAR PUSTAKA

Chan, ATC., Teo PML., Johnson PJ. 2002. Nasopharyngeal Carcinoma. Ann
Oncol. Vol. 13:1007-15
Roezin, A dan Adham, M. 2007. Karsinoma nasofaring dalam Buku ajar ilmu
kesehatan: Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi keenam.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Soeripto. 1998. Epidemiology of Nasopharyngeal Carcinoma. Berita Kedokteran
Masyarakat. XIII: 207-11
Steven, SJC., Verkuijlen, SAWM., Hariwiyanto B., Harijadi., Paramita, DK.,
Fachiroh J., et al. 2006. Noninvasive Diagnosis Of Nasopharyngeal
Carcinoma: Nasopharyngeal Brushing Reveal High Epstein-Barr virus (VEB)
DNA Load And Carcinoma-Specific Viral BARF1 mRNA. Int J Cancer. Vol.
119: 608-14
Stricker TP, Kumar V. Neoplasia. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC,
editors. 2010. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Eighth
Edition. Philadelphia: Saunders
Tsao, SW., Yip, YL., Tsang, CM., Pang, PS., Lau, VMY., Zhang, G., et al. 2014.
Etiological Factors Of Nasopharyngeal Carcinoma. Oral oncol. Vol. 50:330-
338. doi: 10.1016/j.oraloncology.2014.02.006.
Yoshizaki, T., Kondo, S., Wakisaka, N., Murono, S., Endo, K., Sugimoto, H., et al.
2013. Pathogenic Role Of Epstein-Barr Virus Latent Membrane Protein-1 In
The Development Of Nasopharyngeal Carcinoma. Cancer Lett. Vol. 337:1-7.
doi: 10/1016/j.canlet.2013.05.018

You might also like