You are on page 1of 96

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Ekstraksi gigi merupakan tindakan yang paling sering dilakukan dalam

kedokteran gigi tetapi menimbulkan soket pada tulang alveolar. Soket ekstraksi

gigi biasanya dapat sembuh dengan normal, tetapi menimbulkan defek sebagai

dampak pencabutan gigi tersebut (Weijden dkk, 2009). Dampak pencabutan gigi

dapat menimbulkan berbagai masalah pada rahang yaitu gangguan susunan gigi-

geligi, masalah oklusi, masalah pada TMJ dan masalah stomatognatik (Quaker,

2011), juga resorpsi linggir alveolus (Weijden dkk, 2009).

Resorpsi tulang rahang sebagai dampak pencabutan gigi paling besar

terjadi pada tahun pertama khususnya pada enam bulan pertama, dan berlangsung

sepanjang hidup sampai kehilangan tulang rahang dalam jumlah yang besar

(Jahangiri dkk, 1998). Kehilangan tulang paling besar terjadi dalam dimensi

horizontal biasanya pada aspek fasial linggir rahang, juga dalam arah vertikal

yang tampak dari sisi bukal (Lekovic dkk, 1997; Lindhe, 2005). Proses resorpsi

menyebabkan penyempitan dan pemendekan linggir alveolus sehingga terjadi

relokasi linggir ke posisi palatal/lingual (Iasella dkk, 2003). Derajad resorpsi pada

tulang alveolar tergantung beberapa hal antara lain anatomi, fungsi, riwayat

pemakaian protesa dan metabolisme (Kubilius dkk, 2012).

Bukti ilmiah menjelaskan bahwa terapi preservasi soket gigi dalam

pembuatan protesa maupun implan menguntungkan dalam hal mencegah

pengurangan tinggi vertikal dan kehilangan linggir alveolar dibanding

1
2

penyembuhan secara alami, meskipun belum ada guideline yang pasti tentang

jenis bahan dan teknik yang paling baik yang dapat digunakan untuk preservasi

soket gigi (Cioban dkk, 2013).

Volume tulang alveolar yang adekuat dan linggir alveolus yang memadai

penting dalam rekonstruksi prostetik yang estetis serta fungsional, sehingga dalam

rencana perawatan diperlukan pengetahuan mengenai proses penyembuhan soket

ekstraksi gigi serta perubahan kontur yang disebabkan oleh resorpsi tulang rahang

(Weijden dkk, 2009). Bone grafting dengan atau tanpa membran dapat digunakan

untuk mempertahankan anatomi linggir tulang alveolar pada soket ekstraksi gigi

(Irinakis, 2006). Boix dkk (2006) pada penelitiannya menyimpulkan bahwa

injectable bone substitute yang mengandung polimer dan kalsium fosfat secara

signifikan meningkatkan preservasi linggir alveolar pasca ekstraksi gigi. Barone

dkk (2008) menyatakan bahwa preservasi linggir alveolar menggunakan tulang

babi kombinasi membran kolagen signifikan dalam mengurangi resorpsi linggir

tulang alveolar setelah ekstraksi gigi. Guided bone regeneration dan bone

substitute sintetis atau xenograft berasal dari bovine dapat mempertahankan lebar

dan tinggi interproksimal linggir tulang alveolar (Mardas dkk, 2010). Canuto dkk

(2011) menyatakan bahwa nanocrystalline hydroxyapatite meningkatkan

penyembuhan soket alveolar, angiogenesis, epitelialisasi dan osteogenesis.

Bone grafting yang dapat digunakan untuk preservasi linggir alveolar

antara lain adalah autograf, allograft, xenograft maupun material sintesis. Bone

substitute juga dapat digunakan untuk preservasi linggir alveolar. Berbagai bahan
3

biomaterial bone substitute telah dikembangkan untuk digunakan dalam berbagai

bidang biomedis (Oliva dkk, 1996).

Menurut Garagiola (2006), ciri ideal bone substitute antara lain adalah

bahan tersebut dapat seutuhnya diterima oleh organisme yang hidup (excellent

biocompatibility), bone substitute-nya meningkatkan konduksi pembentukan

tulang baru dari dinding defek tulang host (high osteoconductivity), permukaan

area dalam yang luas sehingga memungkinkan revaskularisasi oleh tulang host,

high porosity yang memungkinkan bahan bergabung dengan tulang baru,

moderately slow resorption sehingga terjadi remodeling dalam jangka waktu yang

lama serta mempunyai modulus elastisitas yang adekuat.

Glass ionomer cement (GIC) merupakan salah satu bone substitute selain

hydroxyapatite (HA), tricalcium phosphate (TCP), polymethylmethacrylate

(PMMA), poruous polyethylene polymer serta bioactive glass (Salata dkk, 1999;

Pryor dkk, 2009). GIC telah digunakan dalam bidang Otolaryngology dan

Ortopedi. GIC digunakan dalam bidang Otolaryngology untuk sementasi implan

koklea serta pembuatan prefabricated artificial ossicles (Nicholson, 1998)

sedangkan dalam bidang Ortopedi telah digunakan untuk menambah stabilisasi

dynamic hip screw pada kaput femur pasien osteoporosis (Jonk dkk, 1990). GIC

juga digunakan melapisi skull imperfecta untuk mencegah kebocoran

cerebrospinal fluid (Loescher dkk, 1994).

Glass Ionomer Cement diperkenalkan tahun 1970 oleh Wilson dan Kent

sebagai bahan tambal pada kedokteran gigi. GIC menjadi populer karena

mengandung beberapa sifat dalam satu bahan tambal yaitu fluor release, ekspansi
4

termal dan modulus elastisitas yang sama dengan dentin, adhesi pada enamel

maupun dentin serta mempunyai sifat biokompatibilitas. GIC mempunyai sifat

biokompatibilitas yang sempurna terhadap jaringan gigi sehingga diuji untuk

digunakan memperbaiki kehilangan struktur tulang (Leyhausen dkk, 1998),

meskipun material GIC masih mempunyai kelemahan dalam hal compressive

strength dan low resorption (Goenka, 2012). Berbagai penelitian dilakukan untuk

menyempurnakan GIC, sehingga dapat digunakan semakin luas dalam bidang

biomedis.

Glass Ionomer Cement terdiri dari campuran kalsium, aluminium,

fluorosilikat dengan polycarboxylic acid yang berbentuk pasta semen porous.

Sifat porous permukaan GIC memungkinkan terjadinya osteokonduksi dimana

tulang baru dibentuk pada material bone substitute (Mao dan Kamakshi, 2014).

Glass ionomer cement yang telah keras melepas berbagai sustansi

anorganik seperti silika, kalsium fosfat, fluorida serta aluminium (Nicholson dkk,

1991). Banyak penelitian dilakukan untuk melihat pengaruh substansi yang

terkandung dalam GIC terhadap sel secara in vitro maupun in vivo. Beck Jr dkk

(2012) secara in vivo pada tikus percobaan menyimpulkan bahwa silika

nanopartikel signifikan meningkatkan bone mineral density (BMD). Kim Jr. dkk

(2013) dalam penelitiannya menyimpulkan silikon meningkatkan aktivitas

osteoblas dan mineralisasi tulang sel MC3T3-E1. Selain pengaruh silika,

pengaruh Aluminium juga banyak diteliti dalam hal potensi osteogeniknya.

Penelitian oleh Salata dkk (1999), pada uji in vitro kultur osteoblas dengan

akumulasi aluminium pada GIC, sel-sel memperlihatkan aktivitas fisiologi normal


5

tanpa adanya tanda-tanda toksik dengan scanning electron microscopy. Pengaruh

fluorida paling banyak diteliti dalam hubungannya sebagai agen mitogenik

terhadap osteoblas (Caverzasio dkk 1997; Lau dkk 1989).

Menurut Buric dkk (2003), fluorida sebagai pembentuk Glass ionomer

materials (GIMIs) mempunyai peran sentral dalam stimulasi osteogenesis,

sebagaimana halnya fluorida menstimuli osteoid pada pasien osteoporosis.

Pelepasan fluorida secara perlahan tetapi berlangsung lama menjadi stimulus pada

aktifitas osteoblastik sehingga meningkatkan ikatan implan pada tulang. Selain itu

fluorida juga mempengaruhi proses mitogenik kartilago dan tulang. Kemungkinan

peningkatan stimulasi diakibatkan oleh efek growth factor dan sinerginya dengan

calcitonin.

Menurut Burr dan Allen (2014), osteoblas memproduksi alkaline

phospatase (ALP) dan osteocalcin dalam jumlah banyak menunjukkan tingkat

bone formation-nya. Menurut Canuto (2011), keberhasilan suatu bone graft

dalam regenerasi tulang dapat diukur dengan meningkatnya faktor-faktor pro-

osteogenik yaitu Bone Morphogenetic Protein-2,-4 (BMP), ALP, dan osteocalcin

(Burr dan Allen, 2014). Osteocalcin merupakan protein non-kolagen yang

diproduksi oleh osteoblas matur selama proses bone formation. Osteocalcin

berperan dalam mengikat kalsium dan hidroksilapatit pada tahap remodeling

tulang dan disimpan dalam matriks ekstraseluler. Peranan osteocalcin secara

fisiologis belum diketahui secara pasti, tetapi osteocalcin mempunyai potensi

sitogenesis dan kristalisasi apatit (Termine, 1989; Chenu dkk, 1994).


6

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dikemukakan permasalahan

sebagai berikut:

Apakah terjadi peningkatan ekspresi osteocalcin pada soket ekstraksi gigi yang

diaplikasi GIC.

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui dan mengkaji pengaruh aplikasi GIC pada soket ekstraksi gigi

terhadap ekspresi osteocalcin.

D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi ilmiah GIC dapat meningkatkan ekspresi osteocalcin

pada soket ekstraksi gigi sebagai marker bone formation sehingga dapat

digunakan untuk osteopreservasi mencegah resorpsi tulang alveolar rahang.


2. GIC dapat dipertimbangkan sebagai bahan osteopreservasi pasca pencabutan

gigi karena pada umumnya dokter gigi menggunakan GIC sebagai bahan

tambal pada praktek sehari-hari.

E. Keaslian penelitian
Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian tentang ekspresi osteocalcin

pada soket ekstraksi gigi yang diaplikasi GIC menggunakan quantitative real time

Polymerase Chain Reaction (qPCR) belum pernah dilakukan berdasarkan

literatur yang ada di Perpustakaan UGM maupun jurnal-jurnal yang dirilis melalui

internet.
7

Ada beberapa penelitian yang pernah dilakukan sehubungan dengan

penggunaan GIC antara lain adalah:


1. Penelitian yang dilakukan oleh Jonk dkk (1989) tentang evaluasi biologis glass

ionomer cement (Ketac-O) sebagai material interface pada penggantian total

sendi.
2. Jonk dan Gobbelaar (1990) melakukan eksperimen dan evaluasi klinis

penggunaan Ionos bone cement (glass ionomer) pada penggantian sendi.


3. Evaluasi awal in vivo GIC untuk digunakan sebagai bone substitute tulang

alveolar tikus wistar oleh Brook dan Lamb (1991). Evaluasi membandingkan

pengaruh berbagai jenis GIC dengan hidroksiapatit terhadap tulang

menggunakan transmission electron microscopy (TEM).


4. Evaluasi biologis GIC dengan metode kultur sel osteoblas dilakukan oleh

Meyer dkk (1993), tidak ditemukan adanya tanda-tanda toksik pada analisis

scanning electron microscopy meskipun sebelumnya diketahui terdapat efek

toksik aluminium terhadap osteoblas.


5. Penelitian oleh Bretegani dkk (1996) menyatakan bahwa implantasi immediate

granul GIC meningkatkan osteogenesis selama penyembuhan tulang alveolar

tikus.
6. Penelitian lain dilakukan oleh Buric dkk (2003) melihat respon glass ionomer

microimplant (GIMI) pada linggir alveolar maksila anjing.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah pustaka

1. Tulang

Tulang dibentuk oleh jaringan tulang bersama darah, sumsum tulang,

kartilago, jaringan adiposa, sistem syaraf serta jaringan ikat fibrous. Jaringan

tulang dibentuk oleh jaringan ikat dimana matriksnya mengeras yang disebabkan

deposisi kalsium fosfat serta mineral lainnya (Saladin, 2010).

a) Fungsi tulang

Tulang berfungsi sebagai dukungan mekanis, homeostatis kalsium dan

hematopoiesis sumsum tulang, selain untuk fungsi pengaturan endokrin (Burr dan

Allen, 2014). Fungsi mekanis tulang terjadi oleh adanya tulang kortikal dan

trabekula. Tulang kortikal juga berperan dalam menahan tekanan. Tulang

trabekula menahan tekanan dengan cara mengarahkan stress ke lempeng tulang

yang lebih kuat. Fungsi mekanis tulang tidak sederhana dengan sekedar menahan

beban sederhana, tetapi juga harus mempunyai derajad strength dan stiffness

tertentu. Tulang mempunyai banyak organisasi material yang memungkinkan

beradaptasi terhadap tekanan berulang untuk menghindari fraktur pada level

fisiologis (Burr dan Allen, 2014).


Fungsi lain dari tulang adalah fungsi protektif terhadap regio kepala untuk

menghindari pengaruh fatal akibat injuri. Secara mikrostruktur tulang pada regio

8
9

kepala tidak berbeda dengan tulang lainnya, tetapi mampu menyerap energi besar

dengan trauma minimal pada tulang (Burr dan Allen, 2014).


Selain fungsi mekanis dan protektif, tulang juga berfungsi sebagai organ

hematopoietik yang menghasilkan sel darah merah selama kehidupan. Fungsi

hematopoietik terjadi pada tulang spongy seperti tulang iliak, vertebra dan femur

proksimal. Rongga sumsum di dalam tulang merupakan daerah penting sumsum

merah yang berfungsi hematopoiesis selama masa pertumbuhan dan

perkembangan. Rongga tersebut diisi oleh yellow fat pada orang dewasa. White

fat dan brown fat juga terdapat pada tubuh manusia yang diperankan oleh

osteocalcin produksi osteoblas. Yellow marrow fat berasal dari sel prekursor yang

sama yang berdiferensiasi menjadi osteoblas pembentuk tulang. Tulang kanselosa

dengan permukaan luas bertanggungjawab untuk rapid turnover jaringan tulang

serta keseimbangan kalsium jangka panjang (Burr dan Allen, 2014).


Bone turnover peka pada perubahan metabolisme energi yang terjadi

akibat perubahan usia, defisiensi hormon maupun produksi hormon skeletal.

Perubahan metabolisme terjadi dalam jangka panjang melalui pertukaran kalsium

dan fosfat serta mineral lainnya seperti magnesium. Tulang kortikal dan kanselosa

merupakan tempat penyimpanan dan pergantian ion secara cepat selama fase

mineralisasi (Burr dan Allen, 2014).


Tulang sebagai organ endokrin berfungsi dalam mengatur metabolisme

fosfat dan energi dengan mensekresikan dua hormon yaitu fibroblast growth

factor-23 (FGF-23) dan osteocalcin. FGF-23 produksi osteosit, berperan dalam

menurunkan reabsorbsi fosfat pada ginjal serta menurunkan level serum 1,25-

dihydroxyvitamin D3. Tulang juga membantu pengaturan proses mineralisasi

pada ginjal dan usus. Osteocalcin yang dilepas oleh matriks tulang dalam bentuk
10

undercarboxylated selama resorbsi berperan membantu mengatur proliferasi sel

beta pankreas serta meningkatkan sekresi insulin. Tulang melalui beberapa

hormonnya membantu mengatur proses di dalam sumsum tulang, otak, ginjal serta

pankreas dengan mempengaruhi mineralisasi tulang skeletal, pembentukan lemak

serta metabolisme glukosa (Burr dan Allen, 2014).

b) Struktur makroskopis tulang

Secara makroskopis tulang dapat dibagi menjadi dua yaitu tulang kortikal

padat (kompak) dan tulang porus kanselosa yang mengandung trabecular strut

(gambar 1)(Doblar dkk, 2004).

Tulang kortikal merupakan komponen primer dari diafisis tulang panjang

maupun tulang pendek ekstremitas. Kanal haversi pada tulang kortikal

menyebabkan porositas sekitar 3-5% yang dapat bertambah seiring pertambahan

usia maupun akibat osteoporosis. Tulang kompak juga ditemukan disekitar tulang

kanselosa vertebra, metafise tulang panjang, krista iliaka serta tulang tengkorak

kepala (Burr and Allen, 2014).

Tulang kanselosa terdapat pada metafise tulang panjang, vertebra, krista

iliaka, dan tulang iga. Tulang kanselosa terdiri dari lempeng dan batang tulang

dengan ketebalan 200 m yang mengisi 25-30% volume seluruh jaringan tulang.
11

Gambar 1 Potongan tulang menunjukkan tulang


kortikal dan trabekula (Doblar dkk,
2004).

c) Struktur mikroskopis tulang

Secara mikroskopis (gambar 2), unsur sel dalam tulang sangat kecil jika

dibandingkan dengan massa tulang keseluruhan. Sebagian besar tulang terdiri atas

matriks tulang dan substansi interstisial bermineral yang tersimpan dalam

lapisan/lamela dengan ketebalan 3-7 m. Rongga-rongga lentikuler disebut lakuna

menyebar agak rata pada substansi interstisial. Lakuna ditempati oleh sebuah sel

tulang atau osteosit. Lakuna menembus lamela kanalikuli membentuk

anastomosis dengan kanalikuli yang berdekatan. Lakuna yang satu dengan lainnya

terhubung melalui saluran yang sangat halus, meskipun jarak antar lakuna

berjauhan. Saluran halus tersebut berfungsi sebagai saluran untuk nutrisi sel-sel

tulang. Sistem kanalikuli yang saling terhubung menjadi sarana pertukaran

metabolit antar sel-sel perivaskular terdekat (Fawcett, 2002; Doblar, 2004).

Terdapat tiga lamela tulang kompak yaitu lamela yang sebagian besar

tersusun konsentris mengelilingi saluran vaskular memanjang yang membentuk


12

unit silindris disebut sistem Havers atau osteon, sistem interstisial berupa

potongan tulang berlamel dengan ukuran dan bentuk tidak beraturan, lamela

sirkumferensial dalam dan luar yang tidak terputus dan mengitari bagian batang

yang berada pada permukaan korteks tepat di bawah periosteum (Fawcett, 2002).

Saluran vaskular dalam tulang kompak terbagi menjadi dua kategori yakni

kanal Havers yaitu saluran memanjang di pusat osteon kanal Volkman yaitu

saluran yang menerobos tulang dalam arah tegak lurus maupun serong. Kanal

Havers terdiri atas satu atau dua pembuluh darah kecil yang terbungkus oleh

jaringan ikat yang terhubung dengan permukaan melalui Kanal Volkman, tetapi

pada kenyataannya kanal Havers dan kanal Volkman beranastomosis dalam

konfigurasi tiga dimensi yang cukup rumit (Fawcett, 2002).

Periosteum pada masa embrional dan masa pertumbuhan terdiri atas sel-

sel pembentuk osteoblas, tetapi setelah pertumbuhan tulang berhenti periosteum

berubah menjadi sel-sel pelapis tulang tidak aktif yang dapat menjadi aktif

kembali sebagai osteoblas pembentuk tulang baru ketika terjadi cedera pada

tulang (Fawcett, 2002).

Endosteum merupakan lapisan tipis yang tersusun oleh sel gepeng.

Endosteum melapisi dinding rongga-rongga tulang yang menampung sumsum

tulang. Endosteum mempunyai fungsi yang mirip dengan periosteum dalam hal

potensi osteogeniknya, meskipun strukturnya jauh lebih tipis dibanding

periosteum. Semua rongga dalam tulang termasuk kanal Havers dan rongga

sumsum tulang spons dilapisi oleh endosteum (Fawcett, 2002).


13

Gambar 2 Struktur mikroskopis tulang kortikal (a). Sketsa 3D tulang kortikal


(b). Potongan sistem Havers (c). Foto mikrograf sistem Haversi
(Doblar dkk, 2004)

d) Sel-sel Tulang

Menurut Saladin (2010), tulang seperti halnya jaringan ikat lainnya terdiri

dari sel-sel, serat dan substansi dasar. Ada empat tipe dasar sel-sel tulang yaitu:

1. Sel Osteogenic (Osteoprogenitor)

Sel osteogenic (osteoprogenitor) yaitu stem sel yang berkembang dari sel-

sel mesenkim, ditemukan hampir pada seluruh tipe sel tulang. Sel osteogenic

ditemukan pada endosteum yaitu lapisan dalam periosteum juga pada kanalis
14

sentralis. Sel osteogenic menggandakan diri terus-menerus dan sebagian kecil

berubah menjadi osteoblas (Saladin, 2010).

2. Osteoblas

Osteoblas berasal dari stem sel mesenkim pluripoten yang

bertanggungjawab dalam membentuk serta mempertahankan arsitektur tulang

skeletal. Osteoblas memproduksi matriks protein ekstraseluler serta mengatur

mineralisasinya pada awal pembentukan tulang dan kemudian mengalami

remodeling (Neve dkk, 2010).


Osteoblas merupakan sel pembentuk tulang yang tersusun kuboidal

maupun angular pada satu lapisan tulang di bawah permukaan endosteum dan

periosteum. Osteoblas merupakan sel yang tidak mengalami mitosis, sehingga

osteoblas hanya terbentuk dari mitosis dan diferensiasi sel-sel osteogenik.

Osteoblas mensintesis matriks tulang dalam bentuk matriks organik lunak yang

mengalami pengerasan melalui pembentukan mineral. Stress dan fraktur

merangsang sel osteogenik memperbanyak diri dengan cepat serta

menghasilkan osteoblas dalam jumlah yang banyak sehingga mampu

menguatkan dan membentuk ulang tulang. Selain itu, osteoblas juga

mensekresi osteocalcin, dulunya dianggap sebagai satu-satunya struktur protein

pada tulang (Saladin, 2010).


Ada beberapa faktor transkripsi spesifik yang tetap bertanggungjawab

pada diferensiasi sel mesenkim pluripoten menjadi sel osteoblas. Salah satu

dan yang terpenting adalah Cbfa1 (Core-binding factor 1) berperan penting

dalam diferensiasi osteoblas meskipun tidak sendiri mencapai fenotip osteoblas

matur. Cbfa1 banyak terekspresi pada sel-sel turunan osteoblas dan mengatur
15

ekspresi berbagai gen spesifik osteoblas. Runt-related gen lain yang selalu

berperan dalam diferensiasi sel mesenkim multipoten adalah runx-2 yang

terlibat dalam produksi matriks protein tulang seperti kolagen tipe I,

osteopontin, sialoprotein tulang serta osteocalcin (Neve dkk, 2010)

3. Osteosit

Osteosit merupakan pembentuk osteoblas yang terperangkap dalam

matriks yang terdeposisi. Osteosit berada pada rongga kecil lakuna yang saling

terhubung melalui rongga yang lebih kecil disebut kanalikuli. Osteosit

mempunyai tonjolan sitoplasma menyerupai jari dan terhubung dengan osteosit

lain melalui kanalikuli. Sebagian terhubung dengan osteoblas pada permukaan

tulang. Antar osteosit yang berdekatan terhubung oleh tonjolan osteosit pada

gap junction lain sehingga dapat mengangkut nutrisi dan sinyal kimia ke dalam

osteosit. Selain itu, dengan adanya tonjol yang saling terhubung menyebabkan

sampah metabolik dibuang ke pembuluh darah terdekat.


Osteosit berfungsi dalam meresorbsi serta membentuk matriks tulang

sehingga osteosit juga berperan dalam mempertahankan homeostasis dalam hal

densitas tulang serta konsentrasi ion kalsium dan fosfat dalam darah. Para

peneliti menduga bahwa osteosit juga berperan sebagai sensor strain, osteosit

akan mengalirkan cairan ekstraseluler pada lakuna dan kanalikuli jika ada

tekanan pada tulang. Aliran tersebut akan merangsang osteosit mensekresi

sinyal biokimia dalam mengatur remodeling tulang (Saladin, 2010).

4. Osteoklas
16

Osteoklas merupakan sel yang meresorpsi tulang. Sel ini banyak

ditemukan pada permukaan tulang. Osteoklas terbentuk dari stem sel yang

sama dengan sel darah. Osteoklas dibentuk melalui fusi/penyatuan beberapa

stem sel, sehingga osteoklas mempunyai ukuran yang lebih besar (sampai

mempunyai diameter 150 m) yang dapat dilihat dengan kasat mata. Osteoklas

biasanya mempunyai tiga sampai empat nukleus meskipun dapat mencapai 50

nukleus. Sisi osteoklas yang berhadapan dengan permukaan tulang mempunyai

batas berbentuk cekungan yang dalam oleh membran plasma sel. Osteoklas

sering ditemukan pada cerukan resorption bays (Howship lacunae) tempat

osteoklas menempel. Remodeling tulang terjadi akibat kombinasi resorpsi

tulang oleh osteoklas dengan pembentukan tulang oleh osteoblas (Saladin,

2010).

e) Matriks Tulang

Matriks tulang terdiri dari matriks organik dan anorganik. Matriks

anorganik tulang terdiri dari 1/3 sampai 2/3 berat kering matriks tulang

seluruhnya. Matriks anorganik terdiri dari 85% hidroksiapatit yaitu garam kalsium

fosfat berkristal (Ca10(PO4)6(OH)2), 10% kalsium karbonat (CaCO3), dan

sejumlah kecil magnesium, sodium, potasium, fluorida, sulfat, karbonat serta ion

hidroksit. Osteoblas mensintesis matriks organik yaitu kolagen dan kompleks

protein-karbohidrat yang terdiri dari glikosaminoglikan, proteoglikan serta

glikoprotein (Saladin, 2010).

Para engineer mengelompokkan tulang sebagai komposit pada klasifikasi

material karena terdiri dari dua kombinasi struktur yaitu keramik dan polimer.
17

Kolagen pada tulang adalah polimer dan hidroksiapatit beserta mineral lainnya

sebagai keramik. Keramik mampu menyokong beban tubuh tanpa melengkung.

Tulang menjadi lunak dan mudah ditekuk, jika tulang kekurangan garam kalsium

(Saladin, 2010).

Komponen protein pada tulang memungkinkan tulang mempunyai derajad

fleksibilitas. Tulang memiliki rasio mineral dengan kolagen yang berbeda pada

masing-masing regio tulang, sehingga tension dan kompresi tiap bagian tulang

skeletal juga berbeda (Saladin, 2010).

2. Klasifikasi Tulang

Menurut Saladin (2010), berdasarkan bentuknya tulang dapat

diklasifikasikan menjadi empat:

1. Tulang panjang, perbandingan tulang lebih panjang daripada lebar yang

memberi dukungan rigid terhadap otot skeletal untuk pergerakan tubuh.

Tulang panjang terdiri dari humerus, radius dan ulna, metakarpal, phalang

kaki dan tangan, femur, tibia dan fibula serta metatarsal.

2. Tulang pendek, panjang dan lebar tulang hampir sama terdiri dari tulang

karpal serta tulang tarsal. Tulang pendek mempunyai gerakan terbatas disertai

sedikit gerakan meluncur sehingga ankle dan wrist dapat bergerak dalam

berbagai arah.

3. Tulang pipih berfungsi untuk menutup dan melindungi organ lunak dan

menjadi permukaan yang luas buat perlekatan otot. Tulang pipih terdiri dari

tulang kranial, iga, sternum, scapula dan tulang pinggul.


18

4. Tulang irreguler mempunyai bentuk yang tidak sama dengan salah satu

kategori tulang di atas. Tulang irregular terdiri dari vertebra, tulang sphenoid

dan ethmoid serta tengkorak kepala.

3. Proses Penyembuhan Tulang

Proses penyembuhan tulang terdiri atas beberapa fase yang saling tumpang

tindih yaitu fase inflamasi, fase repair serta fase remodeling. Fase inflamasi

terbentuk hematom di dalam fraktur beberapa jam sampai beberapa hari setelah

trauma. Sel-sel inflamasi seperti makrofag, monosit, limfosit, dan sel

polimorfonuklear serta fibroblast infiltrasi ke dalam tulang melalui perantaraan

prostaglandin. Hal ini terjadi untuk pembentukan jaringan granulasi, pertumbuhan

jaringan pembuluh darah serta migrasi sel-sel mesenkim. Oksigen serta nutrisi

disuplai melalui terbukanya tulang kanselosa dengan otot (Kalfas, 2001).

Fibroblast akan mengendap selama masa repair pada stroma yang

membantu mendukung pertumbuhan pembuluh darah. Matriks kolagen

mengendap pada saat pertumbuhan pembuluh darah berlanjut, osteoid

disekresikan dan kemudian mengalami mineralisasi menyebabkan pembentukan

soft callus pada sisi repair. Masa 4-6 minggu soft callus sangat lemah dalam

menahan pergerakan, sehingga diperlukan proteksi berupa fiksasi untuk

mendukung proses penyembuhan. Osifikasi callus tidak terjadi jika imobilisasi

tidak adekuat, sehingga menyebabkan penyatuan dengan pembentukan jaringan

fibrous yang tidak stabil. Normalnya callus mengalami osifikasi dengan

menjembatani kedua fragmen fraktur dengan woven bone (Kalfas, 2001).


19

Penyembuhan fraktur selesai pada fase remodeling dan tulang sembuh

kembali dengan bentuk, struktur dan mechanical strength yang sama dengan

tulang sebelum terjadinya fraktur. Remodeling berjalan lambat beberapa bulan

sampai bertahun-tahun dengan dukungan mechanical strength oleh tulang.

Kekuatan tulang kembali dicapai dalam 3-6 bulan (Kalfas, 2001).

Proses penyembuhan fraktur tulang meliputi berbagai jaringan yaitu

hematoma yang disertai inflamasi, jaringan granulasi, jaringan ikat, jaringan

fibrokartilago, proses mineralisasi dan proses pembentukan tulang (osifikasi),

serta remodeling tulang pada bagian kortikal maupun kanselosa (Lukman, 1997).

Fase hematoma yang disertai inflamasi diawali terjadinya trauma yang

menyebabkan kerusakan pembuluh darah, periosteum, jaringan otot serta

kerusakan struktur tulang itu sendiri. Pembuluh darah yang rusak menyebabkan

sel mast melepas katekolamin, bradikinin serta serotonin yang menimbulkan efek

konstriksi pembuluh darah. Konstriksi pembuluh darah akan diikuti terbentuknya

benang-benang fibrin sehingga terjadi hematom pada celah fragmen fraktur.

Ujung-ujung fraktur akan mengalami nekrosis dan pada saat bersamaan terjadi

proses inflamasi dimana trombosit melepaskan mediator yang menyebabkan

vasodilatasi, eksudasi cairan plasma yang berisi sel-sel inflamasi masuk ke bagian

yang mengalami fraktur. Sel-sel inflamasi tersebut adalah leukosit PMN diikuti

oleh makrofag dan limfosit (Lukman, 1997).

Mediator yang berperan dalam inflamasi adalah sitokin. Sitokin yang

dilepas trombosit terdiri dari platelet derived growth factor (PDGF), transforming
20

growth factor- (TGF-) yang berfungsi merangsang sel-sel mesenkim yang

belum berdiferensiasi menjadi fibroblast, osteoblas dan kondrosit. TGF- juga

membentuk sitokin lain yang bersifat osteokonduktif dan osteoinduktif seperti

bone morphogenetic protein (BMP) dan osteogenic protein-1 (OP-1) yang

berfungsi mempercepat penyembuhan tulang. BMP berfungsi menstimulasi sel

mesenkim berdiferensiasi menjadi osteoblas (Lukman, 1997).

Jaringan granulasi akan terbentuk setelah fase inflamasi dan hematom.

Bersamaan dengan tahap ini, sel-sel nekrotik dan eksudat akan diresorpsi dan

digantikan oleh sel-sel osteoprogenitor yang telah berdiferensiasi menjadi

fibroblast, fibrosit, sel-sel mononuklear dan endotel pembuluh darah kapiler.

Neovaskularisasi terjadi dengan bantuan angiogenetic factor. FGF adalah

mediator terpenting untuk angiogenesis penyembuhan fraktur tulang (Lukman,

1997).

Proses penyembuhan tulang berlangsung terus dan jaringan granulasi

mengalami transformasi menjadi jaringan ikat yang terdiri dari serabut-serabut

kolagen. Fase ini disebut juga fase mesenkimal karena sel-sel yang dominan

adalah fibroblas, kondroblas dan makrofag. Serabut kolagen yang disintesis

adalah kolagen tipe I dan II. Fibroblas mensintesis serabut kolagen tipe III dan V.

Kolagen tipe I lebih dominan pada tahap ini. ALP dan protein spesifik tulang

seperti proteoglycan core protein, kolagen tipe II, bone gla protein serta

osteocalcin terus meningkat (Lukman, 1997).


21

Kelanjutan dari fase mesenkimal adalah fase kondroid dan kondroid-

osteoid. Sel-sel mesenkim berdiferensiasi menjadi kondroblas yang mendeposisi

matriks kolagen menjadi kondrosit. Serabut kolagen yang dominan disintesis

adalah kolagen tipe II dan IX. Kolagen tipe II akan dideposisi pada area kartilago

yang telah matur. Sel-sel osteoid mulai terbentuk pada fase kondroid-osteoid yang

mengikuti fase kondroid dengan terbentuknya jaringan kolagen matur, sehingga

terbentuk jaringan kalus (Lukman, 1997).

Soft callus terbentuk pada daerah sentral inflamasi yaitu di sekitar medula

dan daerah interfragmen fraktur yang didominasi oleh jaringan kartilago. Tulang

selanjutnya akan terbentuk melalui proses osifikasi endokondral. Sel-sel

mesenkim bermigrasi dari jaringan lunak sekitar dan berdiferensiasi menjadi sel-

sel kondroid. Kartilago dan jenis kartilago hialin yang terbentuk pada tahap ini

mengalami mineralisasi membentuk woven bone (tulang immature) dan

selanjutnya mengalami remodeling menjadi lamellar bone (Lukman, 1997).

Hard callus sebagai kallus primer terbentuk melalui proliferasi sel-sel

osteoprogenitor di periosteum dan sumsum tulang. Sel-sel ini secara langsung

membentuk osifikasi intramembranosa membentuk tulang trabekula bermineral

(Lukman, 1997).

Fase berikutnya adalah fase osteogenik dimana kalus fraktur mengalami

mineralisasi. Fase ini terjadi mulai minggu ketiga setelah fraktur dengan mulai

dilepaskannya kalsium oleh mitokondria dan mulai berkurangnya proteoglikan

beserta agregat-agregatnya. Mineralisasi kalus fraktur berlangsung mengikuti


22

urutan aktivasi sel-sel. Sel kondrosit mensintesis kolagen tipe I yang mempunyai

ruang hole zone untuk deposisi kristal-kristal kalsium hidroksiapatit di antara

serabut-serabut kolagen. Proses ini terjadi dengan dua cara yaitu dengan

menghilangkan matriks fibrokartilago kalus dengan konsentrasi proteoglikan yang

tinggi sehingga menghambat mineralisasi dan cara kedua yakni setelah sel-sel

mempersiapkan matriks untuk mineralisasi, kondrosit selanjutnya osteoblas akan

melepaskan kompleks kalsium fosfat ke dalam matriks dengan jalan melepaskan

kuncup-kuncup vesikel matriks dari membran sel. Vesikel-vesikel tersebut akan

membawa neutral protease mendegradasi matriks kaya proteoglikan,

menghidrolisis adenosine triphosphate (ATP) dan ester fosfat yang kaya energi

serta menyediakan ion fosfat yang berguna untuk pengendapan kalsium (Lukman,

1997).

Selama mineralisasi berlangsung, ujung fragmen tulang ditutupi oleh

massa kalus fusiformis yang berisi woven bone yang terus meningkat. Semakin

banyak mineral yang terdeposisi semakin keras kalus yang terbentuk (Lukman,

1997).

Pada tahap akhir penyembuhan tulang akan terbentuk lamellar bone

terbentuk dari woven bone yang sudah terbentuk sebelumnya, disertai resorpsi

kalus yang tidak diperlukan. Proses ini berlangsung bertahun-tahun, bahkan

pasien sudah mampu melakukan aktifitas dan fungsi normal. Secara radiologis

tampak union utuh penyembuhan tulang pada periosteum, endosteum, tulang

kortikal dan trabekula (Lukman,1997).


23

4. Perbedaan Mandibula dengan Tulang Panjang

Tulang merupakan jaringan dinamis yang terus-menerus mengalami

remodeling untuk mempertahankan tulang skeletal dalam kondisi sehat. Saat ini

sangat sedikit penelitian yang dilakukan terhadap tulang rahang. Tulang rahang

merupakan tulang yang unik dibanding tulang lainnya dalam tubuh. Terdapat

beberapa perbedaan tulang rahang dengan tulang lainnya antara lain: tulang

rahang mengalami remodeling lebih cepat daripada tulang skeletal,

perkembangannya berbeda dari tulang axial maupun appendikular meskipun

memiliki perkembangan yang sama dengan tulang kraniofasial. Secara

embriologi, tulang rahang berasal dari sel neural crest dari lapisan benih

neuroektoderm, sedangkan tulang axial skeleton berasal dari sel sklerotom dan

tulang skleton appendikular berasal dari sel mesoderm lempeng lateral (Bukka

dkk, 2014).

Tulang rahang mengalami osifikasi secara intramembranous juga

endokondral. Penyakit-penyakit tertentu seperti cherubism, sindrom

hiperparatiroid tumor rahang dan bisphosphonate related osteonecrosis terjadi

hanya pada tulang rahang. Bone mineral density tulang trabekula mandibula lebih

sedikit terpengaruh jika dibandingkan dengan tulang tibia pada kasus ovariektomi

dan malnutrisi tikus percobaan. Selain itu, stem sel mesenkim atau sumsum tulang

stroma yang berasal dari tulang rahang mempunyai potensi osteogenik lebih tinggi

dibandingkan tulang lainnya. Tulang rahang dipengaruhi oleh perubahan akibat


24

usia sehingga penuaan akan mengakibatkan atropi pada tulang rahang (Matsura

dkk, 2014).

5. Osteocalcin

Osteocalcin merupakan 49 asam amino peptida yang disintesis khusus

oleh osteoblas dan disimpan dalam matriks mineral tulang sebagai kristal

hidroksiapatit. Osteocalcin tidak diekspresikan oleh sel non-osseus. Osteocalcin

mempunyai level tertinggi pada osteosit, karena sel ini bertanggung jawab pada

peningkatan maturasi mineral (Bukka dkk, 2014). Secara genetik osteocalcin

berlokasi pada lengan pendek kromosom 12 (12p). Gen berada pada 3,9 kilobasa

kromosom DNA disertai empat exon yang dipisahkan oleh tiga bagian besar

rangkaian. Pre-pro-molekul terdiri dari 84 asam amino yang menghilangkan

polipetida pada vitamin-K dependent post transkripsi, yang kemudian menjadi

gamma-carboxylate pada tiga residu asam glutamat membentuk bone Gla-protein

yang berikatan kuat dengan mineral hidroksiapatit matriks osteoid (Zanatta dkk,

2014).

Osteocalcin merangsang sekresi insulin oleh pankreas, meningkatkan

sensitifitas insulin pada sel adiposit serta membatasi pertumbuhan jaringan

adiposa (Saladin, 2010). Osteocalcin merupakan osteoblas-spesific protein

sebagian kecil ditemukan pada tulang dan peredaran darah, sehingga dapat

menjadi marker metabolisme tulang (Lian dkk, 1989). Osteocalcin dikenal


25

sebagai marker bone formation juga marker biomekanis khusus (Zanatta dkk,

2014).

Pada tikus percobaan gen osteocalcin ditemukan dalam tiga kluster yaitu

OG1 dan OG2 yang terdapat pada tulang, sedangkan osteocalcin related gen

(ORG) terdapat pada ginjal. Protein sejenis osteocalcin yang terdapat pada ginjal

disebut nephrocalcin (Chenu dkk, 1994).

a. Struktur Osteocalcin

Osteocalcin (bone Gla-protein), protein vitamin-K dependent merupakan

protein non kolagen tulang yang paling banyak terdiri dari 1-2% dari total matriks

protein tulang. Dari sejumlah kecil 49-residu protein mengandung tiga kalsium

berikatan dengan residu -carboxyglutamic acid yang berada pada matriks

ekstraseluler terikat hidroksiapatit. Struktur osteocalcin polipeptida banyak

ditemukan pada spesies vertebrata. Vitamin-K dependent mensintesis Gla residu

pada tiga posisi 17, 21 dan 24 post translasi dan dua residu cysteine (cys 23 dan

29) membentuk ikatan intramolekul disulfida yang tetap bertahan. Regio

rangkaian Gla residu 17 dan 21 berikatan kuat dengan protein vitamin-K

dependent pada tulang dan kartilago membentuk matrix gla protein (MGP) (Lian

dkk, 1989).

b. Sintesis Osteocalcin

Osteocalcin disintesis oleh osteoblas (Gambar 4) dan disimpan dalam

matriks mineral tulang. Berbagai penelitian menunjukkan biosintesis osteocalcin


26

diatur oleh hormon 1,25(OH)2D3. Sintesis merupakan cerminan dari peningkatan

level selular mRNA osteocalcin. Hormon 1,25(OH)2D3 selain mempertahankan

jumlah kalsium normal juga berperan dalam peningkatan resorpsi tulang,

menstimulasi sintesis osteocalcin secara in vitro pada konsentrasi dimana terjadi

penurunan sintesis kolagen dan level mRNA (Lian dkk, 1989).

Gambar 3 Sintesis osteocalcin dalam sel osteoblas. Gen BGLAP


mengkoding osteocalcin terutama diekspresi pada osteoblas dan
sedikit pada odontoblas. Post transkripsi yang distimulasi oleh
vitamin D, peptida preproosteocalcin mengalami proteolisis
sehingga meningkatkan prepeptida (23aa) dan peptida
proosteocalcin (75aa). Peptida proosteocalcin mengalami
karboksilasi pada Gla residu 17, 21 dan 24 sehingga terbentuk
Gla residu tergantung Vitamin-K. Pada umumnya proses ini
terjadi hanya pada sintesis pro-osteocalcin baru. Peptida Gla dan
Glu pro-osteocalcin ditujukan pada proses proteolisis akhir yang
memproduksi osteocalcin carboxylated dan undercarboxylated.
Kedua bentuk tersebut dirilis oleh fromoosteoblas dalam proses
tergantung kalsium. Gla residu terkarboksilasi terlibat dalam
ikatan kalsium dan hidroksiapatit sehingga osteocalcin
27

menumpuk pada matriks tulang bermineral sedangkan


undercarboxylated osteocalcin memiliki ikatan lemah dengan
hidroksiapatit sehingga dirilis pada sirkulasi (Patti A dkk, 2013).

c. Hubungan Osteocalcin dengan Mineralisasi Matriks Tulang

Penelitian pada embrio ayam dan tikus menemukan peningkatan

osteocalcin pada jaringan tulang pada matriks ekstraseluler seiring dengan awal

terjadinya mineralisasi jaringan tulang. Akumulasi osteocalcin pada tulang terjadi

bersamaan dengan deposisi hidroksiapatit pada masa pertumbuhan skeletal.

Perbandingan konstan osteocalcin dengan kalsium pada masa pertumbuhan tulang

menunjukkan adanya hubungan sintesis osteocalcin dengan mineralisasi. Sintesis

osteocalcin meningkat 200 kali lipat pada periode deposisi mineral matriks

ekstraseluler meskipun pada hari ke-35 kultur osteoblas dengan mineralisasi,

induksi mRNA osteocalcin menunjukkan penurunan sintesis osteocalcin selama

deposisi mineral (Lian dkk, 1989). Osteocalcin berperan dalam mengikat kalsium

dan hidroksiapatit pada tahap remodeling tulang dan akan disimpan dalam matriks

ekstraseluler (Chenu dkk, 1994).

6. Ekstraksi Gigi dan Resorpsi Tulang Alveolar

Ekstraksi gigi merupakan tindakan yang paling sering dilakukan dalam

kedokteran gigi (Weidjen dkk, 2009). Tindakan pencabutan gigi dilakukan karena

berbagai alasan, meskipun perkembangan kedokteran gigi modern telah


28

mendukung untuk gigi tetap dipertahankan dalam rongga mulut, tetapi ekstraksi

gigi harus dilakukan karena kondisi tertentu (Peterson dkk, 2003).

a) Indikasi Ekstraksi Gigi

Menurut Peterson dkk (1998), ada berbagai indikasi dilakukan tindakan

pencabutan gigi antara lain adalah:

1. Karies gigi parah yang tidak mungkin ditambal

2. Nekrosis pulpa atau pulpitis irreversibel yang tidak mungkin dilakukan

perawatan endodonti dimana saluran akar mengalami kalsifikasi dan tidak

mungkin dilakukan perawatan dengan standar perawatan endodonti atau

perawatan endodonti yang mengalami kegagalan

3. Penyakit periodontal parah yang mengakibatkan mobiliti parah gigi akibat

kehilangan tulang yang berlebihan

4. Alasan ortodontik dimana biasanya gigi premolar pertama maupun premolar

kedua dicabut untuk mendapatkan ruangan untuk alignment gigi-geligi

5. Gigi malposisi yang menyebabkan trauma jaringan lunak dan tidak mungkin

direposisi secara ortodonti. Misalnya gigi molar ketiga yang tumbuh

bukoversi sehingga menyebabkan ulserasi jaringan lunak pada pipi

6. Fraktur gigi atau fraktur akar menyebabkan nyeri yang tidak dapat diatasi

meskipun telah dilakukan perawatan endodonti


29

7. Pencabutan gigi preprostetik dimana dilakukan pencabutan gigi karena gigi

tersebut mengganggu dalam penempatan full denture, partial denture maupun

fixed partial denture

8. Gigi impaksi yang tidak mungkin erupsi menuju oklusi fungsional akibat

kekurangan ruang kecuali pada pasien dengan masalah medis atau usia di

atas 35 tahun

9. Supernumerary teeth yang menimbulkan gangguan erupsi gigi, resorpsi gigi

serta pergeseran gigi-geligi

10. Gigi dengan lesi patologis yang tidak dapat dirawat dengan bedah endodonti

11. Terapi preradiasi pada perawatan tumor tertentu

12. Gigi fraktur atau luksasi parah pada garis fraktur tulang rahang dicabut untuk

mencegah terjadinya infeksi

13. Alasan estetika dimana pasien memutuskan dilakukan pencabutan gigi

misalnya pada kondisi gigi mengalami pewarnaan tetrasiklin, flourosis

maupun malposisi protrusi

14. Alasan ekonomi disebabkan pasien tidak mampu membayar prosedur

perawatan gigi.

b) Resorpsi Tulang Alveolar

Perubahan linggir tulang alveolar dapat disebabkan oleh beberapa hal

antara lain adalah trauma termasuk trauma pencabutan gigi, perubahan patologis
30

kronis akibat periodontitis, kelainan perkembangan, edentulous dalam jangka

lama, posisi gigi, kondisi tulang rahang atas atau rahang bawah (Kubilius dkk,

2012).

Perubahan yang terjadi pada linggir alveolar dapat berupa resorpsi tulang

alveolar. Derajad resorpsi linggir alveolar tergantung pada anatomi, fungsi,

metabolisme serta riwayat pemakaian protesa. Ukuran alveolus mempengaruhi

derajad penyembuhan tulang dimana tulang yang lebih lebar akan memerlukan

waktu yang lebih lama untuk sembuh. Tinggi dan lebar tulang alveolar selalu

mengalami perubahan setelah pencabutan gigi, tetapi tidak pernah melampaui

ketinggian tulang sebelum gigi dicabut. Setelah penyembuhan krista residual

linggir alveolus bergeser ke arah lingual. Linggir residual akan berbentuk

cekungan jika dilihat dari aspek lateral. Besarnya kerusakan dinding fasial akibat

trauma atau penyakit akan menentukan besarnya perubahan kontur (Kubilius dkk,

2012).

Perubahan yang terjadi setelah pencabutan gigi dapat berupa perubahan

intraalveolar maupun extraalveolar.

Perubahan intraalveolar

Soket akan terisi oleh gumpalan darah dalam 24 jam merupakan perubahan

intraalveolar yang segera terjadi setelah pencabutan gigi. Gumpalan darah

kontraksi dan hancur membentuk jaringan granulasi dalam 2-3 hari. Biasanya

jaringan granulasi akan menutupi linggir tulang alveolar setelah 4-5 hari dan epitel

berproliferasi jika tepi jaringan lunak menutupi jaringan granulasi dan osteoid
31

akan terlihat pada dasar soket sebagai tulang yang belum terkalsifikasi dan

membentuk anyaman pembuluh darah dan jaringan ikat setelah satu minggu. Tiga

minggu kemudian alveolus akan terisi oleh jaringan ikat sementara osteoid mulai

mengalami mineralisasi dan epitel akan menutupi permukaan soket. Setelah enam

minggu terjadi pembentukan tulang trabekula. Deposisi tulang dalam soket akan

terlihat jelas setelah dua bulan. Deposisi akan melambat 4-6 bulan kemudian

tetapi akan masih berlanjut selama beberapa bulan kemudian (Kubilius dkk,

2012).

Perubahan ekstraalveolar

Berdasarkan anatomi, linggir tulang alveolar bukal (labial, fasial) lebih

tipis daripada lingual/palatal. Soket alveolar dibatasi oleh tulang kortikal yang

secara radiologis tampak sebagai lamina dura, yaitu lapisan tipis yang membentuk

sebagian besar dinding soket alveolar. Lamina dura mempunyai ketebalan 1-2 mm

membentuk linggir tulang alveolar. Lamina dura merupakan bagian dari

periodonsium, sehingga jika gigi dicabut akan menyebabkan kerusakan

peridonsium yang berdampak pada resorpsi tulang. Resorpsi tulang semakin parah

jika dilakukan elevasi/pembukaan flap pada waktu pencabutan gigi (Kubilius dkk,

2012).

Setelah elevasi flap mukoperiosteal dilakukan dan gigi dicabut, terjadi

peningkatan jumlah osteoklas dalam satu minggu pada kedua dinding dalam dan

luar alveolar. Osteoklas berada pada linggir alveolar yang mengalami pencabutan

gigi dua minggu kemudian. Jaringan ikat muda dan bundel tulang digantikan oleh
32

tulang immatur secara intermittent. Osteoklas masih terdapat pada sisi bukal dan

area linggir alveolar selama empat minggu kemudian, tulang immatur digantikan

oleh tulang trabekula. Tulang kortikal menutupi soket alveolar selama delapan

minggu. Dinding luar serta linggir alveolar secara berkelanjutan mengalami

resorpsi. Perubahan linggir alveolar terjadi dalam 12 bulan dapat dilihat dengan

berkurangnya linggir alveolar 50% dari 12 mm menjadi 5,9 mm setelah

pencabutan gigi dilakukan. Sementara itu, dinding alveolar kehilangan dimensi

vertikal sebanyak 0,7-1,8 mm dimana sisi bukal lebih banyak daripada sisi

lingual. Dua pertiga pengurangan linggir alveolar terjadi pada tiga bulan pertama

(Kubilius dkk, 2012).

7. Bone substitute

Menurut Pryor dkk (2009), bone substitute adalah bahan sintetis kombinasi

inorganik atau organik yang secara biologis dapat memperbaiki defek tulang

autogenous maupun allogenous. Bone substitute idealnya mempunyai kandungan

yang biokompatibel dengan host serta tidak memicu reaksi inflamasi parah,

mudah diaplikasikan pada defek tulang dalam waktu singkat, bentuk dan volume

bahan dapat bertahan dalam waktu yang lama tanpa berubah bentuk. Bahan juga

tidak penghantar panas, bioaktif, dapat disterilisasi dan dapat digunakan sewaktu-

waktu.

Pemakaian bone substitute dalam bidang bedah kraniofasial meningkat

seiring dengan kemajuan material bone substitute dalam hal kemudahan


33

aplikasinya, keamanan, waktu operasi yang semakin singkat dan dapat digunakan

secara klinis dalam berbagai kasus yang berhubungan dengan defek tulang (Pryor

dkk, 2009)

Berdasarkan asalnya (origin), bone substitute diklasifikasikan menjadi tiga

grup yaitu allograft yang berasal dari manusia, xenograft yang berasal dari spesies

lain seperti bovine serta alloplast yang diproduksi secara sintetis (Sanz dan

Vignoletti, 2015).

Berbagai bahan yang digunakan sebagai bone substitute antara lain adalah

hydroxyapatite (HA), tricalcium phosphate (TCP), polymethylmethacrylate

(PMMA), poruous polyethylene polymer serta bioactive glass (Pryor dkk, 2009).

GIC sebagai bone substitute telah banyak digunakan dalam aplikasi bedah minor

(Salata dkk, 1998) serta bidang biomedis (Hatton dkk, 2006).

8. Glass Ionomer Cement (GIC)

a. Komposisi GIC

Glass Ionomer Cement merupakan nama generik yang diberikan untuk

bahan yang digunakan pada kedokteran gigi sebagai bahan tambal maupun luting

cement. Penamaan diperoleh dari formula yang mengandung glass powder dan

ionomer yang mengandung asam karboksilat (Anusavice, 2004). Secara umum,

GIC terdiri dari larutan cairan asam poliakrilat sebagai ionomer dan asam

fluoroaluminosilikat sebagai glass powder. Semen merupakan hasil reaksi asam

basa semen ketika mengeras yang diawali oleh reaksi cairan ionomer polyacid
34

dengan kalsium yang dilepas oleh glass membentuk polysalt tidak terlarut

(Nicholson dkk, 1991).

b. Glass Ionomer Cement pada Kedokteran Gigi

Menurut sejarahnya, bahan yang digunakan pada tubuh manusia

khususnya rongga mulut harus mempunyai sifat stabil tetapi pasif dan tidak

menyebabkan interaksi merugikan dengan jaringan sekitar. Material aktif GIC

kemungkinan berasal dari fluorida yang dilepas. GIC telah banyak mengalami

proses penyempurnaan dalam hal komposisi, sifat, strength agar dapat digunakan

untuk berbagai keperluan di bidang kedokteran gigi maupun biomedis (Nicholson

dkk, 1991).

Dalam kedokteran gigi, GIC yang pertama sekali digunakan diperkenalkan

oleh Davitson. Bahan yang digunakan mempunyai keuntungan dibanding bahan

lainnya karena tidak memerlukan bonding untuk melekat ke kavitas dan juga

mempunyai sifat biokompatibilitas, tetapi mempunyai kekurangan dalam hal

strength dan toughness. Resin modified-glass ionomers (RMGIs) yang

mengandung hydrophilic monomer dan polymer mirip Hidroxyethylmethacrylate

(HEMA) diperkenalkan untuk mengatasi kekurangan GI konvensional. RMGIs

dan HEMA mempunyai flexural strength yang lebih tinggi dibanding Glass

Ionomer (GI) konvensional.

Pada perkembangan selanjutnya bioactive glass (BAG) ditambahkan ke GI

untuk meningkatkan bioaktif dan kemampuan regenerasi gigi serta remineralisasi

dentin. BAG yang dapat digunakan untuk tujuan tersebut antara lain mengandung
35

silikon, sodium, kalsium dan fosfor dengan perbandingan tertentu. Bahan ini

diperkenalkan oleh Larry dan Hench pada tahun 1969 dengan komposisi kimia

dan perbandingan berat Na2O 24,5%, SiO2 45%, P2O5 6%, CaO 24,5%. Secara

klinis bahan tersebut awalnya digunakan untuk menggantikan jaringan tulang

yang hilang pada manusia. Bahan tersebut berikatan dengan tulang melalui

produksi hidroksiapatit disertai ikatan dengan kolagen tetapi meskipun berikatan

tidak ditolak oleh tubuh manusia (Koroushi dan Keshani, 2014). Penambahan

BAG pada RMGI mengurangi compressive strength tetapi jauh lebih kuat jika

dibanding penambahan BAG pada GI konvensional (Marending, 2009).

Wilson dan Kent mengembangkan pemakaian asam polyalkenoat pada

alumino-silikat (ASPA) yang mengandung kalsium oksida, fluorida, alumina dan

silika. Penambahan asam tartatik (ASPA II) berpengaruh pada waktu manipulasi

bahan sampai mengeras juga mengendalikan deposisi alumina sehingga

penggunaannya menjadi lebih baik secara klinis.

Pada tahap pencampuran powder dengan asam polialkenoat, fluorida akan

dirilis sehingga bisa diabsorbsi oleh struktur gigi. Adanya fluorida akan

menurunkan melting point, menambah strength semen, menambah waktu

manipulasi bahan serta memberikan efek kariostatik (Mickenautsch dkk, 2011).

Menurut Purton dan Rodda (1988), semen tidak hanya melepas ion fluorida tetapi

juga ion kalsium dan fosfat.

Biokompatibilitas dan Bioaktivitas

Selama puluhan tahun terakhir, berbagai bahan biomaterial telah

digunakan dalam dunia kedokteran, bahan-bahan baru juga dikembangkan dan


36

diperkenalkan untuk digunakan dalam biomedis. Sehubungan dengan

kegunaannya, syarat krusial biomaterial adalah biokompatibel terhadap jaringan

sekitarnya (Oliva dkk, 1996). Biokompatibilitas adalah kemampuan material

untuk tidak menginduksi respon negatif oleh jaringan hidup. Komponen yang

dilepas oleh material biokompatibel tidak toksik, tidak menginduksi reaksi

inflamasi dan tidak ditolak oleh jaringan sekitar.

Glass ionomer cement yang pertama sekali diperkenalkan oleh Wilson dan

Kent (1971) terdiri dari reaksi asam basa dengan komponen dasarnya adalah

kalsium aluminosilikat mengandung fluorida dan asam homopolimer atau

kopolimer asam alkenoat (Wilson dan McLean, 1985). Seperti sudah diketahui

bahwa substansi anorganik GIC dapat dilepas oleh semen yang telah mengalami

pengerasan. Berbagai substansi yang penting adalah silika, kalsium fosfat,

fluorida dan aluminium. Silika secara alami terdapat pada makanan dan minuman,

sehingga tidak dihubungkan dengan masalah biokompatibilitas pada GIC.

Kalsium fosfat merupakan komponen anorganik utama tulang dan gigi sehingga

meskipun dilepas dari GIC tidak menyebabkan efek biologis pada tubuh. Fluorida

yang terkandung dalam GIC dapat bertahan selama 18 bulan, tetapi telah terbukti

bahwa fluorida mempunyai efek dalam pembentukan tulang. Aluminium

merupakan substansi yang masih diragukan dapat mempengaruhi

biokompatibilitas GIC, karena dapat berbahaya pada konsentrasi tertentu. Pada

pengujian biokompatibilitas fluorida dan aluminium, aluminium diduga

berpengaruh terhadap biokompatibilitas GIC. Meskipun demikian, pada uji in

vitro kultur osteoblas dengan akumulasi aluminium pada GIC, sel-sel


37

memperlihatkan aktivitas fisiologi normal tanpa adanya tanda-tanda toksik dengan

scanning electron microscopy (Salata dkk, 1999). Menurut Brook dan Hatton

(1998), GIC yang tidak mengalami pengerasan dapat melepas sejumlah polyacid

dan ion ke area reseptor sehingga menyebabkan kerusakan jaringan lunak maupun

jaringan syaraf.

Menurut Kawahara dkk (1979), biokompatibilitas GIC dianggap cukup

baik karena asam poliakrilat bersifat lemah dan tidak mampu berdifusi ke dalam

dentin karena mempunyai berat molekul besar. Pada pemeriksaan histologi efek

GIC terhadap pulpa, GIC menunjukkan gambaran reaksi minimal infiltrasi

inflamatori dan menghilang setelah satu bulan.

Percobaan implantasi GIC pada tulang terbukti bahwa GIC tidak dapat

berikatan secara kimiawi, ikatannya merupakan ikatan kimia interlocking mekanis

yang lemah. Syarat penting agar suatu material dapat berikatan secara kimia

dengan tulang adalah dapat membentuk lapisan apatit pada permukaannya.

Komposisi GIC tidak hanya bioinert tetapi menunjukkan aktivitas

osteokonduktifitas dengan tulang yang terjadi karena adanya pertukaran ion

dalam lingkungan biologis. GIC telah dikembangkan untuk digunakan sebagai

semen tulang yang memiliki sifat osteokonduktif dengan respon klinis dan

biologis yang baik (Suprastiwi, 2009).

Toksisitas

Material melepas komponen tertentu dapat merusak atau mengiritasi sel-

sel sekitar. Pada kejadian toksik bahan GIC yang telah dilaporkan, sifat toksik
38

GIC disebabkan oleh permukaan material yang kasar serta bahan toksik yang

dilepaskannya (Hatton dkk, 2006). Ion logam yang terkandung dalam GIC diduga

sebagai penyebab sitotoksik. Secara in vitro aluminium dan fluorida merupakan

ion yang berpengaruh pada sel tulang. Pengaruhnya berupa stimulator maupun

inhibitor tergantung pada konsentrasi dan kondisi kultur. Selain itu pH rendah

semen ketika mengalami pengerasan dapat menyebabkan sitotoksik dan

neurotoksik (Brook dan Hatton, 1998). pH rendah jaringan oleh asam poliakrilat

menjadi kemungkinan penyebab nekrosis lokal jaringan pada tahap awal GIC

diaplikasikan. Pelepasan partikel glass bebas dari semen yang tidak mengeras dan

berkontak dengan jaringan lunak dapat mengakibatkan kerusakan jaringan. Efek

air pada pengerasan glass ionomer juga berpengaruh, tetapi partikel glass yang

dilepas diduga sebagai penyebab reaksi inflamatori jaringan lunak sekitarnya, oleh

karena itu perlu dihindari kelembaban yang berlebihan (Hatton dkk, 2006).

Pada tahun 2003, Hatton dkk melakukan pengujian sitotoksisitas GIC

konvensional dan GIC modifikasi resin, menyatakan bahwa GIC modifikasi resin

seperti Compoglass, ProTec CEM, Fuji II LC dan GC Lining Cement toksik

terhadap sel pulpa juga GIC konvensional seperti Fuji IX, GIC FX dan Fuji II SC

meskipun sifat toksisitas GIC konvensional lebih rendah dibanding GIC

modifikasi resin (Hatton dkk, 2006).

Bioresorbability

Bioresorbability merupakan kemampuan material diresorbsi atau dirusak

melalui proses hidrolisis atau enzymatik secara perlahan untuk kemudian


39

digantikan jaringan baru. Tingkat degradasi dan disintegrasi material dikendalikan

sejalan dengan tingkat pertumbuhan jaringan sekitar.

Material kaca dapat memperlihatkan adanya bioresorbability yang

signifikan jika pori-porinya mencapai ukuran tertentu. Bioresorbability

didefinisikan sebagai resorbsi material secara in vivo oleh aksi osteoklas yang

disebabkan pori yang saling terhubung satu sama lain, sehingga luas permukaan

meningkat dan densitas partikel menjadi rendah. Meskipun sangat sulit

mengendalikan resorbability melalui pengubahan komposisi, pengendalian tekstur

pori secara signifikan akan mempengaruhi degradability. Biodegradasi terutama

diatur oleh struktur kristal, ukuran butir, mikroporositas, geometri bagian leher,

dan kristalinitas dari material (Suprastiwi, 2009).

Setting Reaction

Setting reaction GIC terjadi melalui mekanisme reaksi asam basa antara

asam poliakrilat sebagai donor proton dan glas aluminosilikat sebagai resipien

proton. Asam merusak jaringan glass dan melepas kation Al3+, Ca2+, Na+ dll.

Kation terperangkap oleh polimer karboksilat dan menghasilkan jaringan polimer

cross-link dan membentuk matriks polysalt keras (McCabe, 2008).

Pada umumnya glass silikat tahan terhadap asam karena mempunyai

karakter kovalen ikatan Si-O-SiO-O, akan tetapi menjadi peka terhadap asam

akibat peningkatan ion berbahan silikat (Koroushi, 2012).

Ada empat tahap reaksi setting bahan yaitu:


40

1. Dekomposisi powder dimana permukaan partikel glass menjadi asam, kation

metalik dilepas ke dalam larutan dan terbentuk lapisan jel silikat pada

permukaan partikel.
2. Gelasi, pada tahap ini terjadi peningkatan konsentrasi kation dan pH fase cair

menyebabkan peningkatan ionisasi asam karboksilat. Inti struktur jel terbentuk

melalui ikatan cross-link ion lemah dan pembentukan ikatan hidrogen. Reaksi

kation metalik dengan grup karboksilat yang terus berlangsung menyebabkan

peningkatan viskositasnya.
3. Pengerasan terjadi dengan pembentukan ikatan cross-link pada rantai polimer

akibat pelepasan kation metalik. Material akhir terdiri dari partikel glass yang

tidak bereaksi dikelilingi oleh matriks polysalt berikatan cross-link.


4. Maturasi terjadi setelah pengerasan dan peningkatan kekuatan ikatan

intermolekular. Kekuatan diperoleh dalam 24 jam dan terus bertambah sampai

mencapai youngs modulus dalam beberapa hari kemudian (Koroushi, 2012).

Adhesi Glass Ionomer

Glass ionomer (GI) dapat berikatan secara kimia dengan material seperti

enamel dan dentin. Material tersebut mempunyai energi permukaan yang besar

tetapi tidak dapat bereaksi dengan logam maupun porselen (Koroushi, 2012).

Terdapat dua jenis ikatan adhesi yaitu:


1. Grup COOH bebas membentuk ikatan hidrogen dengan substrat
2. Selama reaksi terus berlangsung, ikatan hidrogen dikonversi menjadi jembatan

ion yang lebih kuat.


Grup ion karboksil polimer asam polialkenoat masuk ke dalam struktur

hidroksiapatit menggantikan fosfat, sehingga ikatan menjadi permanen karena

seluruh grup adesif berikatan kovalen satu sama lain (Koroushi, 2012;

McCabe, 2008).
41

c. Klasifikasi Glass Ionomer

Menurut Nagaraja dan Kishore (2005), berdasarkan pemakaiannya GI

dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu:

Type I : semen luting untuk sementasi crown, bridge dan bracket ortodonti

Type II a : semen restorasi estetik

b : semen restorasi reinforced

Type III : pelapik dan basis

Berdasarkan generasinya GI terdiri dari dua generasi yaitu:

a. Generasi pertama yaitu ASPA I (detrey, dentsply) mempunyai bahan-bahan

yang tidak terlalu aktif, setting tidak cepat, sangat lembab, sensitif dan derajad

translusensi yang rendah. ASPA II mengandung asam tartarik dengan

kandungan material yang lebih baik. Bahan ini merupakan GI yang pertama

sekali digunakan dalam praktek kedokteran gigi (Nagaraja, 2005).


b. Generasi kedua mengandung water-hardening GIC. Pada kelompok ini,

polyacid telah menyatu dengan powder sehingga semen mengeras dengan

mencampur powder dengan air atau larutan cairan asam tartarik.


Keuntungan bahan generasi kedua adalah tidak mengalami gelasi selama

pengadukan, viskositas berkurang dan peningkatan strength akibat

penambahan berat molekul polyacid (Nagaraja, 2005).

d. Pemakaian Klinis
1. Fissure Sealent Berbasis GIC

Penelitian menunjukkan bahwa gigi permanen yang dilakukan fissure

sealent berbasis GIC akan bebas karies jika dibandingkan dengan gigi yang di
42

fissure sealent berbasis resin. Hal tersebut menunjukkan adanya efek protektif

terhadap bakteri dan substratnya akibat efek pelepasan fluorida oleh GIC

meskipun secara klinis fissure sealent sudah terkikis atau bahkan sudah hilang

seluruhnya (Yengoval, 2009; Mickenautsch dkk, 2011).

2. Restorasi Gigi

Glass ionomer cement merupakan bahan pilihan untuk atraumatic

restorative treatment (ART) karena mempunyai efek mineralisasi pada jaringan

keras gigi (Mickenautsch dkk, 2011). Selain digunakan untuk ART, GIC juga

banyak digunakan sebagai bahan tambal pada kasus abrasi servikal, restorasi klas

III dan V juga sebagai pelindung pulpa dimana masih ditemukan lapisan dentin

residual yang dapat membentuk dentine bridge (Noort, 2002).

3. Glass Ionomer Cement dalam Bidang Endodonti


Penggunaan GIC sebagai pengisi saluran akar pertama sekali

diperkenalkan oleh Pitt Ford (1979) pada penelitian laboratoris, menggunakan

teknik single cone gutta-percha kombinasi GIC. Saat ini berbagai produk telah

diteliti dan dikembangkan untuk pemakaian GIC dalam bidang endodonti (De

Bruyne dan De Moore, 2004).

e. Pemakaian GIC dalam Bidang Medis

Jonk dkk (1989) melakukan penelitian preklinis pertama sekali

mengevaluasi GIC untuk digunakan dalam bidang Ortopedi dengan

mengimplantasikan GIC pada tibia Baboon (Papio ursinus). Hasil penelitian

mengarah pada digunakannya GIC secara terbatas pada bidang Ortopedi (Jonk

dkk, 1990). GIC juga telah digunakan menambah dukungan stabilitas primer
43

dynamic hip screw pada kaput femur yang mengalami osteoporosis. GIC

mempunyai kandungan biologis yang lebih baik dibanding semen akrilik

meskipun GIC mempunyai kekurangan dalam hal strength.

Pengaruh besar juga terjadi dalam bedah otologi, dimana didapatkan hasil

yang baik dari sementasi implan protesa. GIC digunakan untuk rekonstruksi

telinga tengah yakni rekonstruksi kanalis auditorius, mengurangi ukuran rongga

mastoid dan membentuk ulang ossicular chain (Geyer dan Helms, 1990), juga

sementasi implan koklea (Miller, 1993).

Dalam bidang bedah mulut GIC sebagai bone substitute diusulkan

digunakan untuk mencegah kehilangan tulang setelah pencabutan gigi dan sebagai

filler pengisi rongga pasca enukleasi kista (Brook, 1994). Selain itu, GIC dapat

digunakan sebagai sementasi untuk exposure gigi dalam perawatan ortodonti

(Nordenvall, 1992).

Laporan keberhasilan pemakaian GIC mengarah pada pemakaian yang

lebih luas dalam bidang neuro-otologi dan bedah basis kranii untuk memperbaiki

defek kranial serta fistula cerebrospinal fluid (Loescher dkk, 1994), meskipun

pernah ditemukan hasil yang tidak diharapkan. Penelitian selanjutnya

menyimpulkan bahwa GIC tidak boleh kontak langsung dengan jaringan lunak

maupun jaringan syaraf (Renard dkk, 1994).

f. Pengaruh GIC terhadap Pembentukan Tulang

Banyak penelitian dilakukan melihat pengaruh ion fluorida yang dirilis dari

GIC meskipun sebatas penggunaan dalam bidang kedokteran gigi. Dalam uji
44

bioaktif GIC, komposisi kandungan GIC menentukan tingkat toksisitas dan

osteokonduksinya. Secara in vitro, GIC tanpa fluor memiliki toksisitas rendah,

tetapi mempunyai osteokonduktifitas lemah (Brook dkk, 1991). Penelitian in vitro

menunjukkan bahwa efek ion fluorida bersifat dose dependent. GIC dengan

konsentrasi fluorida yang relatif tinggi akan berfungsi sebagai enzym inhibitor

tetapi secara in vivo GIC merangsang proliferasi dan aktifitas ALP sel-sel

pembentuk tulang (Brook dkk, 1991). Fluorida juga menambah densitas tulang

trabekula sehingga fluorida dapat digunakan dalam perawatan osteoporosis

mencegah resorpsi tulang (Soogard, 1995). Fluorida yang dirilis oleh GIC selama

pembentukan tulang menyebabkan terjadinya mineralisasi bersama fluorapatit.

Fluorapatit lebih tahan terhadap resorpsi daripada apatit, hal itu sesuai penelitian

sebelumnya bahwa semakin banyak fluorida yang dilepas akan menyebabkan

peningkatan pembentukan tulang (Johal dkk, 1995). Beberapa peneliti

menyatakan bahwa ion fluorida menjadi komponen penentu utama bioaktif

diantara berbagai GIC (Sasanaluckit dkk, 1993).

Farley dkk (1983) melakukan penelitian in vitro pertama membuktikan

bahwa fluorida berperan secara langsung dalam stimulasi proliferasi sel tulang

unggas dengan dosis mitogenik optimal 10 M, sama dengan kadar fluorida

dalam darah manusia dengan kadar terendah 5-10 M dan kadar tertinggi 30 M.

Fluorida pada fase mitogenik dan dosis mikromolar terbukti menstimulasi

aktivitas osteoblas matur memproduksi ALP, kolagen serta osteocalcin pada

lapisan tunggal kultur sel. Dosis mitogenik fluorida secara in vitro juga

menstimulasi sementara uptake kalsium dan transport fosfat sodium-dependent


45

pada sel tulang, sehingga proliferasi dan aktivitas osteoblas meningkatkan

pembentukan tulang (Lu dan Baylink, 1998).

Penelitian in vitro oleh Lu dan Baylink (1998), terdapat ciri aksi mitogenik

yang ditimbulkan oleh fluorida:

1. Dosis mitogenik fluorida sangat rendah yaitu dalam satuan mikromolar


2. Penelitian in vivo bahwa efek anabolik fluorida spesifik terhadap tulang

skeletal, sesuai dengan penelitian in vitro yang menunjukkan aksi mitogenik

fluorida juga spesifik terhadap sel tulang


3. Aksi mitogenik fluorida secara in vitro terjadi bersama growth factor seperti

insulin-like growth factor I (IGF I), TGF-


4. Aktivitas mitogenik fluorida sensitif terhadap perubahan konsentrasi fosfat

dalam media
5. Aksi ion fluorida pada dasarnya terdapat pada sel osteoprogenitor dan

osteoblas yang belum berdiferensiasi mensintesis sejumlah growth factor

daripada menstimulasi proliferasi pada osteoblas yang telah berdiferensiasi


6. Aktivitas mitogenik fluorida melibatkan peningkatan seluruh tyrosine

phosphorylation beberapa sel termasuk mitogenic activated protein kinase

(MAPK) di dalam sel.


Seperti halnya fluorida, aluminium juga berfungsi sebagai dose-dependent.

Ion aluminium menstimulasi osteoblas pada konsentrasi rendah dalam

pembentukan tulang baru (Quarles dkk, 1990). Hal tersebut didukung oleh

pengamatan bahwa sel osteoblas yang dikultur menunjukkan aluminium tidak

mengganggu pembentukan tulang baru maupun struktur sel (Blumenthal dan

Posner, 1984). Secara in vivo ion aluminium yang dilepas berperan penting

dalam biokompatibilitas meningkatkan jumlah osteoid yang terbentuk tetapi

mengurangi mineralisasi dengan cara membuat gangguan pada tahap awal proses
46

mineralisasi (Blumenthal dan Posner, 1984; Quarles dkk, 1990). Aluminium juga

berperan dalam menambah mobilisasi kalsium pada tulang dengan mekanisme

cell-dependent serta memberi efek tidak langsung pada pembentukan tulang

melalui hambatan sintesis kolagen (Goodman, 1986; Goodman dan O Connor,

1991).
Menurut Lu dkk (1991), pada penelitian in vitro aktivitas mitogenik

aluminium berbeda dari fluorida karena:


1. Tidak seperti fluorida, aktivitas mitogenik aluminium tidak terpengaruh oleh

perubahan media kultur


2. Aktivitas mitogenik tidak spesifik terhadap sel tulang
3. Aksi osteogenik aluminium kemungkinan tergantung PTH.

Kaneki dkk (2004), mengusulkan model mekanisme induksi bone nodule

(BN) formation oleh Al3+ dan hubungannya dengan jalur sinyal PGE2 (Gambar

4).

Gambar 4 Jalur sinyal transduksi Al3+ menginduksi respon selular pada


rat calvarial osteoblas. Ikatan PGE2 atau deoxy PGE1 ke EP2/EP4
mengarah pada aktivasi adenylyl cyclase (AC) memproduksi cAMP, yang
menghambat pembentukan tulang melalui aktivasi cAMP tergantung
protein kinase A (PKA). Ikatan PGE2 atau 17-phenil-w-trinor-PGE2 ke
EP1 mengarah pada aktivasi PI-PLC memproduksi IP3 yang terikat pada
reseptor permukaan retikulum endoplasmik sehingga melepas Ca2+. Ca2+
47

menyebabkan aktivasi bone formation melalui aktivasi CaM juga aktivasi


phosphodiasterase (PDE) yang menekan sinyal EP2/EP4 dengan degradasi
cAMP.

GIC melepas ion dengan komposisi SiO2-AlO3-CaF2-AlPO4-Na3AlF6

(Smith, 1990). Secara in vivo dan in vitro, silika memiliki efek menguntungkan

pada tulang dan metabolisme kolagen. Silika juga meningkatkan proliferasi

osteoblas, diferensiasi matriks ekstraselular, meningkatkan aktivitas enzim seperti

ALP serta ekspresi gen (Wiens dkk, 2010). Menurut Feng dkk (2007), silika

menghambat jaringan ikat invasi ke dalam defek tulang sehingga meningkatkan

regenerasi tulang. Ion silikon yang dilepas dari silika dapat menstimuli sel

osteoblas memproduksi tulang.


Kim dkk (2012), melakukan penelitian efek silikon pada aktivitas osteoblas

pada mineralisasi sel MC3T3-E1 menyatakan bahwa Si efektif meningkatkan

aktivitas mineralisasi osteoblas dan ekspresi gen yang terlibat dalam sintesis

matriks tulang, meskipun ditemukan hal-hal yang belum jelas mengenai dosis

silikon yang mempunyai pengaruh terhadap osteoblas, cara pemberiannya melalui

makanan/minuman dibanding cara pengobatan medis. Selain itu, aksi Si

mencegah kehilangan tulang dan pembentukan tulang secara preklinis dan klinis

belum jelas.

Mekanisme molekuler aksi mitogenik fluorida pada sel tulang

Pengaturan proliferasi sel adalah kompleks dan melibatkan jalur transduksi

multipel sinyal tetapi telah terbukti bahwa peningkatan level tyrosine

phosphorylation merupakan kunci sinyal protein.


48

Gambar 5 Regulasi seluler level tyrosyl protein


phosphorylation diatur oleh dua reaksi enzym
yang saling berlawanan yaitu protein tyrosine
kinases (PTKs) dan phosphotyrosine
phosphatases (PTPs) (Lu dan Baylink, 1998).
Gambar 5 menunjukkan bahwa level tyrosyl phophorylation seluler protein

ditentukan oleh dua reaksi enzym yang saling berlawanan. Tyrosyl

phosphorylation dikatalisis oleh PTK sedangkan tyrosyl dephosphorylation oleh

PTP. Peningkatan level tyrosyl phosphorylation terjadi akibat stimulasi aktivitas

PTK atau inhibisi aktivitas PTP atau keduanya. Mekanisme molekular aksi

osteogenik fluorida dapat dilihat pada gambar 6.


49

Gambar 6 Dua mekanisme molekular aksi fluor dalam sel tulang (Lu dan
Baylink, 1998)

Kedua model melibatkan aktivasi jalur sinyal transduksi ras-raf-MAPK melalui

peningkatan level kunci sinyal protein tyrosine phophorylation melalui inhibisi

aktivitas osteoblastik PTP tergantung fluor. Pada jalur ras-raf-MAPK ikatan

growth factor seperti IGF-I pada reseptor permukaan sel mengaktivasi aktivitas
50

reseptor intrinsik PTK melalui autophosphorylation yang mencetuskan rangkaian

reaksi fosforilasi sehingga terjadi tyrosyne phosphorylation sejumlah sel signaling

protein. Dengan demikian, aktivasi reseptor growth factor merekrut tyrosine

phosphorylated docking protein seperti Grb yang mengarahkan Sos pada

membran sel menjadi perantara pertukaran Guanosine 5 diphosphate (GDP) ke

Guanosine 5 triphosphate (GTP) pada Ras. Ikatan GTP mengaktivasi Ras

mengakibatkan aktivasi Raf tyrosine phosphorylation. Inaktivasi Ras diperantarai

oleh rasGAP menghidrolisis ikatan Ras GTP menjadi GDP. Tyrosine

phosphorylation rasGAP mengakibatkan disosiasi Ras dari rasGAP, sehingga

mencegah hidrolisis GTP dan mempertahankan Ras tetap teraktivasi dan

menyebabkan aktivasi Raf. Raf memfosfosrilasi serta mengaktivasi MAPK/ERK

(extracellular signal regulated kinase) protein kinase (MEK) yang memfosforilasi

MAPK pada kedua residu threonine dan tyrosine dan teraktivasi. Aktivasi MAPK

migrasi ke nukleus, fosforilasi dan aktivasi sejumlah faktor transkripsi dan aksi

proto-onkogen, secara bersamaan meningkatkan ekspresi gen, sintesis DNA,

proliferasi serta diferensiasi sel. Jalur mitogenik Ras-Raf-MAPK diatur oleh

empat regulator yaitu reseptor growth factor, rasGAP, Raf dan MAPK. Aktivitas

masing-masing regulator diatur oleh tyrosine phosphorylation. Peningkatan

tyrosine phosphorylation mengakibatkan aktivasi jalur, proliferasi serta

diferensiasi sel. Fluorida yang masuk ke dalam sel menginhibisi aktivitas satu atau

lebih PTP sensitif fluorida mengakibatkan penurunan defosforilasi satu atau

beberapa PTP signaling protein. Akibatnya level tyrosine phosphorylation


51

meningkat, yang berdampak pada potensiasi proliferasi dan aktivitas sel yang

diawali oleh faktor pertumbuhan sel tulang.

9. Real Time Polymerase Chain Reaction

Sel merupakan unit struktural dan fungsional terkecil yang mampu

melakukan proses-proses kehidupan. Ukuran sel manusia tipikal sangat kecil

dengan diameter 10-20m. Trilyunan sel di dalam tubuh manusia dikelompokkan

menjadi 200 jenis sel berbeda berdasarkan spesifikasinya dalam struktur dan

fungsinya. Sel tipikal sebenarnya tidak ada, karena setiap sel mempunyai beragam

spesialisasi struktur dan fungsi, namun berbagai sel memiliki banyak kesamaan.

Secara umum sel memiliki tiga subdivisi utama yaitu membran sel, nukleus yang

mengandung bahan genetik sel serta sitoplasma (Sherwood, 2012).

Membran sel merupakan struktur membranosa yang sangat tipis yang

membungkus setiap sel. Sawar berminyak ini memisahkan isi sel dari lingkungan

sekitar. Membran plasma menjaga intrasel tetap berada di dalam sel dan tidak

bercampur dengan cairan ekstra sel. Selaput ini juga berperan dalam mengontrol

pergerakan molekul antara cairan intrasel dengan ekstrasel (Sherwood, 2012).

Sitoplasma merupakan bagian interior sel yang ditempati oleh nukleus.

Sitoplasma mempunyai struktur jelas, teratur, terbungkus membran yang disebut

organel yang tersebar dalam sitosol yaitu cairan kompleks mirip gel. Hampir

semua sel mengandung enam jenis utama organel yaitu retikulum endoplasma,

kompleks golgi, lisosom, peroksisom, mitokondria dan vault. Masing-masing

organel mengandung satu set bahan kimia untuk melaksanakan fungsi tertentu sel.
52

Bagian sitoplasma yang tidak ditempati organel terdiri dari sitosol (Sherwood,

2012).

Nukleus merupakan salah satu bagian interior sel selain sitoplasma.

Nukleus merupakan komponen tunggal sel yang paling besar, berupa struktur

bulat atau oval yang berada di tengah sel. Struktur ini dilapisi oleh membran lapis

ganda yaitu selubung inti yang memisahkan nukleus dari bagian sel lainnya.

Selubung inti memiliki banyak pori inti yang memungkinkan lalulintas antara

nukleus dan sitoplasma (Sherwood, 2012)

Nukleus berisi bahan genetik sel, asam deoksiribonukleat (DNA), yang

memiliki fungsi penting dalam mengarahkan sintesis protein juga berperan

sebagai cetak biru genetik selama replikasi sel. DNA menyediakan kode/sandi

atau instruksi untuk mengarahkan sintesis protein struktural dan enzimatik

tertentu di dalam sel. Dengan menentukan jenis dan jumlah berbagai enzim dan

protein lain yang diproduksi, nukleus secara tak langsung mengatur sebagian

besar aktivitas sel dan berfungsi sebagai pusat kontrol sel (Sherwood, 2011).

Tiga jenis asam ribonukleat (RNA) berperan dalam pembentukan protein

yaitu kode genetik DNA untuk protein tertentu diterjemahkan ke dalam molekul

RNA perantara (messenger RNA, mRNA) yang keluar dari nukleus melalui pori

inti. mRNA menyalurkan pesan tersandi ke ribosom di dalam sitoplasma yang

membaca kode mRNA dan menerjemahkannya menjadi rangkaian asam amino

untuk membentuk protein yang telah ditentukan. RNA ribosom (rRNA) adalah

komponen esensial ribosom. RNA transfer (tRNA) memindahkan asam-asam


53

amino yang sesuai di dalam sitoplasma ke tempat yang telah ditentukan pada

protein yang sedang dibentuk tersebut (Sherwood, 2011).

Selain memberikan sandi untuk sintesis protein, DNA juga berfungsi

sebagai cetak biru genetik selama replikasi sel untuk memastikan bahwa sel

menghasilkan sel lain yang sama dengan dirinya sehingga tercipta turunan sel

yang identik di dalam tubuh (Sherwood, 2011).

Sel-sel pada setiap organisme mengatur ekspresi gen dengan turnover

transkripsi gen yang disebut messenger RNA (mRNA). Banyaknya gen yang

diekspresikan dapat dihitung berdasarkan banyaknya kopi transkripsi mRNA yang

terdapat pada sampel. Amplifikasi transkripsi gen diperlukan untuk menghitung

dan mendeteksi jumlah pasti ekspresi gen dari sejumlah kecil RNA. Polymerase

chain reaction (PCR) merupakan metode yang umum digunakan untuk

amplifikasi DNA serta RNA.

Proses PCR didahului reverse transcriptase molekul mRNA sehingga

diperoleh molekul complementary DNA (cDNA) untuk amplifikasi RNA. Molekul

cDNA tersebut kemudian digunakan sebagai cetakan dalam proses PCR. Proses

PCR untuk mengamplifikasi RNA dikenal dengan Reverse Transcriptase-

Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) (Hewajuli dan Dharmayanti, 2014).

PCR adalah teknik biologi molekuler untuk mengamplifikasi sekuen DNA

spesifik menjadi ribuan sampai jutaan kopi sekuen DNA. Teknik ini menggunakan

metode enzimatis yang diperantarai primer. Prinsip dasar PCR adalah sekuen

DNA spesifik diamplifikasi menjadi dua kopi selanjutnya menjadi empat kopi dan

seterusnya. Pelipat gandaan ini membutuhkan enzim spesifik yang dikenal dengan
54

polimerase. Polimerase adalah enzim yang mampu menggabungkan DNA cetakan

tunggal, membentuk untaian molekul DNA yang panjang. Enzim ini

membutuhkan primer serta DNA cetakan seperti nukleotida yang terdiri dari

empat basa yaitu Adenine (A), Thymine (T), Cytosine (C) dan Guanine (G) (Gibbs

1990). Reaksi amplifikasi ini dimulai dengan melakukan denaturasi DNA cetakan

yang berantai ganda menjadi rantai tunggal, kemudian suhu diturunkan sehingga

primer akan menempel (annealing) pada DNA cetakan yang berantai tunggal.

Setelah proses annealing, suhu dinaikkan kembali sehingga enzim polimerase

melakukan proses polimerase rantai DNA yang baru. Rantai DNA yang baru

tersebut selanjutnya sebagai cetakan bagi reaksi polimerase berikutnya (Yuwono

2006).

Proses dalam PCR dibagi menjadi tiga langkah, yaitu denaturasi DNA

pada suhu tinggi, penempelan (annealing) primer pada DNA target, serta sintesis

DNA (extension/elongation). Satu kali putaran denaturasi, annealing, dan

elongation disebut dengan siklus (cycle). Reaksi amplifikasi fragmen DNA

dengan PCR terjadi secara berulang dalam 30-45 siklus. Denaturasi DNA untai

ganda menjadi DNA untai tunggal dilakukan pada suhu 95C. Suhu kemudian

diturunkan 10 saat proses annealing menjadi sekitar 40-60oC. Optimasi suhu pada

tahap annealing sangat penting karena jika suhu terlalu rendah, primer akan

menempel pada daerah yang tidak spesifik (non target), tetapi jika suhu yang

dipakai terlalu tinggi, primer tidak dapat menempel pada DNA target (Walker dan

Rapley, 2009).
55

Kedua prosedur real time dan deteksi end point dimulai dengan isolasi

RNA atau DNA dilanjutkan dengan karakterisasi terhadap kemurniannya. Tahap

ini diawali transkripsi balik (reverse transcriptase) sampel RNA murni, tetapi

tahap ini tidak dilakukan apabila sampel berupa DNA murni. Jumlah amplifikasi

fragmen DNA pada PCR konvensional divisualisasi menggunakan agar

elektroforesis. Penandaan fragmen DNA dengan fluorescent dye dan intensitas

pita DNA dapat diukur dengan menggunakan mesin digital densitometri, berbeda

dengan real time PCR, jumlah DNA diukur di setiap siklus proses amplifikasi

PCR terutama pada fase eksponensial. Deteksi akumulasi amplifikasi DNA pada

PCR real time menggunakan probe DNA fluoresen. Analisis hasil data kedua

prosedur PCR konvensional maupun real time memerlukan normalisasi data

terhadap acuan yang diketahui untuk menentukan kualitas awal ekspresi target

gen (Fraga dkk, 2008).

Quantitative real-time polymerase chain reaction (qPCR) merupakan

teknik yang sensitif dan sempurna untuk mengkuantifikasi amplifikasi mRNA.

PCR merupakan reaksi termal berulang tergantung enzim polymerase sehingga

mampu menghasilkan kopi dari cetakan diantara dua rangkaian oligo-

deoxynucleotide (primer)(Raso dan Biassoni, 2014).

Tahapan-tahapan umum yang dilakukan selama pengujian PCR real time

dimulai dari isolasi RNA atau DNA sampai analisis data. Prinsip kerja PCR real

time adalah mendeteksi dan mengkuantifikasi reporter fluoresen. Sinyal fluoresen

akan meningkat seiring dengan bertambahnya amplifikasi DNA PCR dalam

reaksi. Reaksi selama fase eksponensial dapat dipantau dengan mencatat jumlah
56

emisi fluoresen pada setiap siklus. Peningkatan hasil amplifikasi PCR pada fase

eksponensial berhubungan dengan jumlah inisiasi target gen. Semakin tinggi

tingkat ekspresi gen target maka deteksi emisi fluoresen makin cepat terjadi

(Pardal, 2010).

Kuantitas rangkaian DNA target dicapai dengan menentukan jumlah siklus

amplifikasi. Jumlah siklus amplifikasi diperlukan untuk menghasilkan produk

PCR berdasarkan fluoresensi di awal fase eksponensial PCR dan melewati garis

ambang fluoresensi/siklus threshold (Ct). Jumlah siklus yang diperlukan untuk

mencapai ambang batas disebut Ct. Nilai Ct PCR real time sangat berkorelasi

dengan kuantitas urutan DNA target (Giglio dkk, 2003). Apabila kuantitas urutan

DNA target tinggi di awal reaksi, nilai Ct akan lebih cepat diketahui. Nilai Ct

lebih sering ditemukan pada fase eksponensial setiap siklus amplifikasi PCR dan

menjadi alasan utama nilai Ct lebih mampu mengukur jumlah amplifikasi DNA

target daripada awal reaksi (Hewajuli dan Dharmayanti, 2014).

Terdapat empat fase reaksi PCR yaitu Baseline, Exponential, Linear dan

Plateau (Gambar 7).


57

Gambar 7 Kurva fase amplifikasi PCR. Kurva amplifikasi PCR


menggambarkan akumulasi emisi fluoresen pada setiap siklus.
Kurva dibagi empat bagian yaitu fase linear ground, fase early
exponential, fase log-linear dan fase plateau. Data pada kurva
penting untuk kalkulasi sinyal, Ct dan efisiensi amplifikasi
(Wong dan Medrano, 2005)

Baseline merupakan fase yang sangat singkat dimana amplifikasi belum

dapat terdeteksi. Selama fase kedua, amplifikasi reaksi kinetik menentukan dalam

penggandaan amplikon. Fase linear ditandai oleh pelambatan amplifikasi dan

produk yang tidak bertahan lama mengganda pada masing-masing siklus. Pada

fase plateau reaksi berakhir, akumulasi amplikon tidak ditemukan meskipun

jumlah siklus meningkat dan produk PCR yang tidak berguna mengalami

degradasi. PCR tradisional mendeteksi produk reaksi pada tahap akhir, sehingga

disebut sebagai end-point PCR. Masing-masing reaksi seharusnya dapat mencapai

fase plateau pada titik yang berbeda yang ditandai dengan kinetik yang berbeda

sehingga tampilannya juga berbeda, oleh karena itu end-point PCR tidak dapat

digunakan untuk tujuan kuantifikasi. Berbeda dengan end-point PCR, qPCR

memungkinkan deteksi dini produk yang diamplifikasi pada siklus tertentu

menggunakan hubungan kuantitatif rangkaian target pada awal reaksi. Deteksi

real-time sebaiknya pada fase eksponensial dimana sinyal fluoresens proporsional

dengan konsentrasi DNA (Wang dkk, 2010).

Selama beberapa tahun terakhir, pengujian PCR real time yang

berdasarkan fluoresensi menjadi suatu metode pengujian yang sering digunakan

untuk deteksi RNA, DNA dan cDNA. Teknik ini sangat sensitif yang

memungkinkan amplifikasi terjadi bersamaan dengan kuantitas sekuens asam


58

nukleat. Disamping memiliki sensitivitas lebih tinggi, kelebihan pengujian PCR

real time jika dibandingkan dengan PCR konvensional adalah lebih dinamis,

resiko kontaminasi silang lebih sedikit, kemampuan aplikasi penggunaannya

untuk pengujian lebih banyak (Black dkk, 2002). Polymerase Chain Reaction

(PCR) real time tepat untuk berbagai aplikasi seperti analisis ekspresi gen,

penentuan jumlah virus, deteksi organisme yang mengalami mutasi genetik,

diskriminasi alel dan genotipe single nucleotide polymorphisms (SNP).

Penggunaan probe yang spesifik membantu peningkatan spesifisitas pada

pengujian PCR real time jika dibandingkan dengan pengujian PCR konvensional

(Chantratita dkk, 2008). Namun demikian, PCR real time juga mempunyai

kelemahan yaitu memerlukan peralatan dan reagen yang mahal serta pemahaman

teknik yang benar untuk hasil yang akurat.

Menurut Orlando dkk (1998), qPCR memiliki beberapa keuntungan yaitu

qPCR menggunakan molekul reporter fluoresens dalam memonitor amplifikasi

produk setiap siklus PCR dimana kombinasi amplifikasi serta deteksi DNA dapat

terjadi dalam satu tahap sehingga tidak memerlukan processing post PCR, range

dynamic-nya lebih lebar sehingga analisis berbeda pada masing-masing target,

terdapat sedikit variasi inter-assay yang menimbulkan hasil yang reliable dan

reproducible. qPCR berbasis fluoresens mempunyai kemampuan kuantitatif oleh

karena itu qPCR lebih condong ke arah penelitian kuantitatif daripada kualitatif.

B. Landasan Teori
Glass ionomer cement banyak digunakan dalam kedokteran gigi sebagai

bahan tambal, semen luting maupun bahan pengisi saluran akar. GIC mempunyai
59

sifat biokompatibilitas dan bioaktif terhadap jaringan gigi sehingga digunakan

memperbaiki kehilangan struktur tulang sebagai bone substitute dalam bidang

Ortopedi dan bedah rekonstruksi serta sementasi implan dalam bidang

Otolaryngology.
Kandungan GIC terdiri dari kalsium, sodium, aluminium, fluorida, fosfat,

silikon dan oksigen. Silika, aluminium dan fluorida secara sendiri atau bersama

membentuk kompleks fluoroaluminat berpengaruh terhadap proliferasi osteoblas

dalam pembentukan tulang baru, meskipun pengaruh fluorida paling banyak

diteliti di antara substansi GIC lainnya.


Mekanisme molekuler aksi osteogenik fluorida melibatkan jalur transduksi

sinyal MAPK melalui inhibisi osteoblastic fluoride sensitive PTP serta aktivasi

PTK. Level Tyrosyl phosphorylation merupakan kunci jalur sinyal transduksi

mitogenik ditentukan oleh reaksi dua enzim yang saling berlawanan. PTK

mengkatalis tyrosyl phosphorylation sedangkan PTP mengantarai tyrosil

dephosphorylation. Peningkatan level tyrosil phosphorylation protein selular

terjadi akibat stimulasi aktivitas PTK atau inhibisi aktivitas PTP maupun

keduanya. Tyrosyl phosphorylation mengatur keempat regulator reseptor growth

factor, rasGAP, Raf dan MAPK pada jalur mitogenik Ras-Raf-MAPK.

Peningkatan tyrosil phosphorylation menyebabkan peningkatan potensiasi

proliferasi dan aktivasi osteoblas.


Setiap sel terdiri dari nukleus yang berisi bahan genetik, DNA yang

berperan dalam sintesis protein serta cetak biru genetik selama replikasi sel. Gen

BGLAP berperan mengkoding osteocalcin di dalam osteoblas. Secara genetik

osteocalcin berlokasi pada lengan pendek kromosom 12 (12p). Gen berada pada

3,9 kilobasa kromosom DNA dengan empat exon yang terpisah oleh tiga bagian
60

besar rangkaian. Setelah transkripsi yang distimulasi oleh vitamin D, peptida

preproosteocalcin mengalami proteolisis sehingga meningkatkan prepeptida

(23aa) dan peptida proosteocalcin (75aa). Peptida proosteocalcin dikarboksilasi

pada Gla residu 17, 21 dan 24 sehingga terbentuk Gla residu tergantung Vitamin-

K. Peptida Gla dan Glu pro-osteocalcin menuju proses proteolisis akhir

memproduksi osteocalcin carboxylated dan undercarboxylated. Gla residu

carboxylated terikat kalsium dan hidroksiapatit sehingga osteocalcin terdeposit

pada matriks tulang bermineral.


Berbagai metode dilakukan untuk mengamati proses penyembuhan tulang

salah satunya menggunakan metode PCR. Proses PCR dibagi menjadi tiga

langkah yaitu denaturasi DNA untai ganda menjadi untai tunggal pada suhu 95 0C,

suhu diturunkan menjadi 40-600C sehingga terjadi penempelan (annealing) primer

pada DNA target serta sintesis DNA (extension/elongation). Optimasi suhu pada

tahap annealing penting karena jika suhu terlalu rendah, primer akan menempel

pada daerah yang tidak spesifik (non target) tetapi jika suhu terlalu tinggi primer

tidak menempel pada DNA target. Prinsip kerja real time PCR adalah mendeteksi

dan mengkuantifikasi reporter fluoresen yang meningkat seiring dengan

pertambahan amplifikasi DNA dalam reaksi PCR. Reaksi pada fase eksponensial

dilihat dengan menghitung jumlah emisi fluoresen pada setiap siklus.

C. Hipotesis
61

Berdasarkan landasan teori di atas maka dapat dirumuskan hipotesis

bahwa ekspresi Osteocalcin lebih banyak pada soket ekstraksi gigi yang diaplikasi

GIC.
62

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian klinis intervensional prospektif.

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Poli Bedah Mulut RSGM Prof. Soedomo Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada untuk pemilihan subyek penelitian,

pencabutan gigi, aplikasi GIC dan pengambilan sampel serta Laboratorium

Biologi Molekular Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada untuk

pemeriksaan ekspresi mRNA Osteocalcin dengan teknik qPCR.

C. Subyek Penelitian
Jumlah pasien yang menjadi subyek penelitian ini adalah 4 orang tanpa

membedakan jenis kelamin. Menurut Dahlan (2009), besar sampel penelitian

dapat dihitung dengan rumus:

N = 2 [ (Z+Z) S ]2
x1-x2

= 2 [(1,64+0,84) 6 ]2
10,3
= 4

Keterangan :
Z : kesalahan tipe 1 sebesar 5% =1,645
Z : kesalahan tipe 2 sebesar 20% = 0,842
(x1-x2) : selisih minimal yang dianggap bermakna =10,3
S : standar deviasi = 6 (Grieve dkk., 1994)

Subyek penelitian adalah pasien yang datang ke Poli Bedah Mulut RSGM

Prof. Soedomo Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada untuk dicabut

giginya sesuai kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.


63

Kriteria inklusi:
1. Bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani informed consent
2. Pasien laki-laki atau perempuan usia 20-40 tahun
3. Kondisi kesehatan baik dan tidak ada penyakit sistemik
4. Memiliki 2 gigi yang akan dicabut rahang atas atau rahang bawah
5. Indikasi pencabutan seperti fraktur akar atau mahkota yang dapat dicabut

dengan pencabutan biasa, karies yang tidak dapat direstorasi dengan diagnosa

pulpitis atau nekrosis pulpa


6. Tidak sedang menggunakan obat anti inflamasi selama penelitian
7. Tidak ada tanda-tanda infeksi akut atau kronis secara klinis dan radiografis

Kriteria Eksklusi:

1. Pasien mengundurkan diri selama penelitian berlangsung


2. Pasien tidak kembali kontrol
3. Keterbelakangan mental, masalah bahasa, menderita gangguan psikologis
4. Hamil dan menyusui
5. Perokok berat (>10 batang/hari)
6. Sebagian besar tulang bukal/palatal rusak ketika cabut gigi
7. Bleeding pasca ekstraksi yang tidak/sulit dihentikan

D. Variabel Penelitian
1. Variabel Pengaruh : Glass ionomer cement
2. Variabel Terpengaruh :
Ekspresi mRNA Osteocalcin dari soket ekstraksi gigi
3. Variabel Terkendali :

Oral Hygiene baik, satu sendok powder GIC yang dicampur dengan liquid

sesuai aturan pemakaian, pengadukan material dilakukan orang yang sama,

menggunakan instrumen yang sejenis untuk pengambilan sampel, posisi gigi

pada mandibula atau maksila.

4. Variabel Tak Terkendali:

Jenis kelamin, respon imun subyek, volume soket gigi, lokasi gigi

E. Definisi Operasional
64

1. Glass ionomer cement adalah semen glass poly alkenoat yang dipakai secara

luas sebagai bahan tumpatan dalam konservasi gigi. Nama dagang yang

digunakan dalam penelitian adalah Ketac Molar produksi 3M.


2. Spesimen yaitu jaringan lunak dan isi soket adalah darah, jaringan epitel,

transudat/eksudat, jaringan pembentuk tulang yang terdapat di dalam soket

pasca ekstraksi gigi yang diambil menggunakan medical brush citology.


3. Ekspresi Osteocalcin adalah rasio mRNA Osteocalcin perlakuan dibanding

kontrol yang dihitung menggunakan rumus r =2-Ct menurut Livac dan

Smittgen (2001).

F. Pengambilan Sampel
1. Kelompok A

Pengambilan jaringan lunak sekitar soket dan isi soket gigi pasien pasca

ekstraksi gigi hari ke-0, 3 dan 14.

2. Kelompok B

Pengambilan jaringan lunak sekitar soket dan isi soket gigi pasien pasca

aplikasi GIC hari ke-0, 3 dan 14.

G. Etik Penelitian
Penelitian dilakukan pada pasien yang datang ke RSGM Prof. Soedomo

FKG UGM untuk dicabut giginya dan mendapatkan surat lolos etik dari komisi

etik penelitian (Ethical Clearance) Fakultas Kedokteran Gigi FKG UGM.

H. Alat dan Bahan:


Bahan Penelitian
1. Glass ionomer cement (Ketac Molar-3M)
2. Jaringan lunak sekitar soket dan isi soket

3. RNA later solution 0.1 N NaOH


65

4. 0.5% sodium hypochlorite

5. 0.1% Tween 20

6. Templat kontrol (10 nM)

7. KAPA SYBR FAST Master Mix Universal 2X qPCR Master Mix (2 x 5 ml =10

ml)

8. Acuan yang diencerkan kira-kira 10 nM

9. QIAGEN EB 250 ml elution buffer

10. qPCR primer

Alat Penelitian

1. Mesin Real Time Polymerase Chain Reaction (qPCR)


2. Rotor strator homogenizer
3. Qiagen RNeasy kit
4. Kuret instrumen
5. Tang pencabutan

6. Benchtop centrifuge dengan swing out rotor

7. Benchtop microcentrifuge

8. Vortexer

9. Pipet (P2, P10, P200, P1000)

10. Medical brush citology

I. Jalannya Penelitian
66

Semua pasien diinformasikan tentang proses penelitian klinis dan diminta

menandatangani informed consent sebelum dilakukan penelitian. Semua pasien

menjalani foto Orthopantomograf (OPG) dan mendapatkan perawatan periodontal

satu minggu sebelum penelitian. Pencabutan dua elemen gigi dilakukan

bersamaan setelah sebelumnya diinjeksikan anestesi lokal (lidocain 2% dengan

adrenaline 1:100.000), gigi dicabut dengan teknik atraumatik tanpa pembukaan

flap. Jaringan lunak sisa dibuang setelah gigi dicabut dan kuretase soket, diirigasi

dengan larutan NaCl 0,9%. Soket B dikeringkan dengan kasa dan diaplikasi GIC

berupa pasta campuran powder dan liquid sesuai petunjuk pabrikan sedangkan

soket A dibiarkan tanpa aplikasi GIC. Kedua soket dibiarkan terbuka tanpa

dilakukan penjahitan. Jaringan dari masing-masing soket diambil menggunakan

medical brush citology dan dimasukkan ke dalam RNAlater RNA stabilization.

Kontrol perdarahan dilakukan menggunakan tampon. Semua pasien diberikan

antibiotik Amoxicillin 500 mg dan analgetik Parasetamol 500 mg tablet untuk 5

hari pemakaian. Hari ke-3 dan 14 semua soket dibersihkan menggunakan larutan

saline, kemudian dilakukan injeksi anestesi lokal (lidocain 2% dengan adrenaline

1:100.000). Soket diisolasi menggunakan tampon dan dilakukan pengambilan

spesimen menggunakan medical brush citology kemudian dimasukkan dalam

RNAlater RNA stabilization solution.

Analisis Laboratoris

Parameter molekular dievaluasi hari ke-0, 3 dan 14 pasca ekstraksi gigi.

Semua sampel ditempatkan dalam tabung ependorf yang berisi RNAlater RNA

stabilization solution untuk mencegah degradasi RNA. Jaringan dari dalam soket

B yang mengandung GIC maupun soket A tanpa GIC dihomogenisasi mekanis


67

menggunakan rotor stator homogenizer. Spesimen yang telah homogen

dimasukkan ke dalam Qiagen RNeasy kit untuk diekstraksi kemudian dilakukan

pemurnian untuk sintesis cDNA dengan primer Osteocalcin yang mempunyai

sequence (5'3') adalah:


forward : GTGCAGCCTTTGTGTCCAAG
reverse : GTCAGCCAACTCGTCACAGT
sebelum dilakukan amplifikasi dengan teknik qPCR. Rasio ekspresi mRNA

Osteocalcin dihitung menurut rumus Ct oleh Livak dan Smithttgen.

Cara kerja:
A. Prosedur pemurnian total RNA jaringan

a. Jaringan tidak lebih dari 30 mg diambil. RNAlater stabilized tissue dilepas

menggunakan penjepit. Jika jaringan sebelumnya telah disimpan dalam

reagen RNAlater suhu -200C, kristal yang terbentuk dan menempel pada

jaringan harus dibuang

b. Jika menggunakan seluruh jaringan, jaringan ditampung pada wadah untuk

disrupsi dan homogenisasi. Jika menggunakan sebagian jaringan, jaringan

ditimbang kemudian ditampung pada wadah untuk didisrupsi dan

dihomogenisasi. RNA yang diambil dari jaringan tidak perlu dilindungi

sampai jaringan disimpan dalam reagen RNAlater RNA stabilisasi. Jika

ada jaringan fresh sisa dapat disimpan dalam reagen RNAlater RNA

stabilisasi.

c. Disrupsi dan homogenisasi jaringan dalam Buffer RLT (Guanidine

thiocyanate). Sebelum digunakan, pastikan bahwa -ME (2-

mercaptoethanol) sudah ditambahkan ke dalam larutan buffer. Setelah

jaringan disimpan dalam reagen RNA later RNA stabilisasi, jaringan akan

sedikit mengeras, tetapi dengan cara biasa homogenisasi dapat dilakukan.


68

Disrupsi dan homogenisasi dapat lebih mudah dilakukan dengan

menggunakan 600 l Buffer RLT. Jaringan didisrupsi dan homogenisasi

menggunakan rotor strator homogenizer sampai terlihat homogen

seluruhnya.

d. Sentrifugasi lysate selama 3 menit dengan kecepatan tinggi. Supernatan

dibuang dengan hati-hati menggunakan pipet, kemudian dipindahkan ke

dalam tube microcentrifuge. Selanjutnya digunakan hanya supernatan

(lysate).
e. Penambahan 1 volume 70% etanol untuk menjernihkan lysate dan diaduk

segera dengan pipet dan bukan sentrifugasi. Volume lysate dapat

berkurang 350-600 l selama homogenisasi dan sentrifugasi.


f. Pengambilan sampel sebanyak 700 l, termasuk presipitat yang mungkin

terbentuk ke dalam RNeasy spin column, ditempatkan dalam 2ml

collection tube. Penutup ditutup dengan perlahan, dan sentrifugasi selama

15 detik pada 8000 x g (10.000 rpm)


g. Ditambahkan 700 l buffer RW1 (guanidine salt) ke dalam RNeasy spin

column kemudian tutup dengan perlahan dan sentrifugasi selama 15 detik

pada 8000 x g (10.000 rpm) untuk membersihkan membran spin column


h. Ditambahkan 500 l buffer RPE ke dalam RNeasy spin column, tutup

dengan perlahan dan sentrifugasi selama 15 detik pada 8000 x g (10.000

rpm) untuk membersihkan membran spin column. Etanol ditambahkan

pada buffer RPE sebelum digunakan


i. Ditambahkan 500 l buffer RPE ke dalam RNeasy spin column dan tutup

dengan perlahan lalu sentrifugasi selama 2 menit pada 8000 x g (10.000

rpm) untuk membersihkan membran spin column. Sentrifugasi yang lama

mengeringkan membran spin column, sehingga tidak terdapat etanol

dalam RNA
69

j. RNeasy spin column ditempatkan dalam 1.5 ml collection tube lalu

ditambahkan 30-50 l RNase-bebas air secara langsung ke dalam

membran spin column, ditutup dengan perlahan dan sentrifugasi selama 1

menit pada 8000 x g (10.000 rpm) untuk memisahkan RNA.


k. Jika RNA yang diharapkan >30g, langkah j dapat diulang kembali

menggunakan 30-50 l RNase-bebas air yang lain.

B. Mengencerkan kontrol templat qPCR

1. Ditambahkan 198 l 0.1% Tween 20 ke dalam 2 l templat kontrol qPCR

untuk pengenceran menjadi 100 kali

2. Larutan yang diencerkan divortex sehingga bercampur dengan sampel

seluruhnya

3. Ditambahkan 100 l 0.1% Tween 20 ke dalam 100 l templat yang

diencerkan menjadi kurva titrasi enam dengan dua kali pengenceran

sehingga tercapai 7 templat kontrol yang diencerkan dengan rentang 100-

1,6 pM.

Perlu diperhatikan, pengenceran fresh templat kontrol qPCR sesegera

mungkin dilakukan sebelum di-qPCR karena DNA tidak tahan dalam

konsentrasi rendah

4. Larutan yang diencerkan divortex seluruhnya dengan sampel

5. Langkah 1- 4 diulang sehingga didapatkan 3 kali pengenceran templat

kontrol yang independen. Kontrol pengenceran selanjutnya diencerkan 10x

sehingga konsentrasi akhir dalam qPCR adalah 10-0,16 pM.


70

C. Pengenceran acuan

1. Ditambahkan 998 l 0.1% Tween 20 ke dalam 2 l templat acuan yang

tidak dikenali kemudiandiencerkan lagi menjadi 500 kali sehingga

konsentrasi kira-kira menjadi 20pM

2. Larutan yang diencerkan divortex seluruhnya dengan sampel

3. Langkah 1 dan 2 diulangi sehingga mencapai 3 templat acuan independen

larutan yang diencerkan. Triplicate hasil qPCR penting untuk analisis

berikutnya

4. Pengenceran larutan yang belum diketahui diencerkan 10 kali di dalam

sehingga konsentrasi akhir qPCR kira-kira 2pM

D. Persiapan pencampuran reaksi, campuran reaksi dalam es disimpan dan

dilindungi dari cahaya sampai digunakan


E. Spesimen yang telah homogen diekstraksi menggunakan RNeasy kit (Qiagen,

Hilden, Jerman) untuk mendapatkan total RNA, setelah itu dilakukan

pengukuran konsentrasi dengan spektrofotometer sehingga dihasilkan

gambaran berupa dua band. Proses selanjutnya adalah sintesis cDNA dengan

primer DNA yang memiliki ujung poli T yang akan berpasangan dengan poli

A yang terdapat pada mRNA. Proses amplifikasi dengan primer Osteocalcin


yang digunakan mempunyai sequence (5'3') yaitu: forward :

GTGCAGCCTTTGTGTCCAAG reverse : GTCAGCCAACTCGTCACAGT

(1st Base, Singapura). Selanjutnya dilakukan pengukuran konsentrasi kembali

dengan spektrofotometer yang bertujuan untuk menentukan konsentrasi dan

kemurnian DNA yang diperlukan pada kuantifikasi dengan real-time PCR.

Running dilakukan untuk menghasilkan equimolar sehingga semua starting


71

RNA memiliki konsentrasi yang sama dan siap untuk dilakukan pemeriksaan

real-time PCR.
F. Kuantifikasi qPCR. Pemeriksaan qPCR dengan melihat perbandingan Ct

fluoresens gen yang diamati dengan housekeeping gene perlakuan dan

kontrol (Protokol RNeasy kit, Qiagen, Hilden, Jerman).

J. Kriteria Penghitungan Ekspresi Osteocalcin

Kriteria penghitungan ekspresi Osteocalcin menggunakan teknik relative

quantification Ct Livak dan Smittgen. Ct OCN dan Ct GAPDH (gen referensi)

diperoleh dari mesin qPCR (Roche).

Tabel 1. Threshold cycle Ct Osteocalcin dan Ct GAPDH aplikasi GIC dan tanpa GIC
Ct OCN Ct GAPDH Ct
Ct Ct =
GIC
Hari Pasien non non non Ct GIC - R = 2- Ct
GIC GIC
GIC GIC GIC Ct non GIC
0 1
2
3
4
3 1
2
3
4
14 1
2
3
4

K. Analisis Data

Data yang diperoleh dari sofware komputer adalah Ct OCN dan Ct

GAPDH masing-masing kelompok yang diaplikasi GIC dan tanpa GIC, hari ke-0,

3 dan 14. Data diolah menggunakan analisis repeated measure anova.


72

L. Alur Penelitian

Ethical clearance
Informed consent

4 pasien masing-masing dicabut 2 gigi sesuai indikasi

Soket A Soket B
Tanpa GIC Aplikasi GIC

Pengambilan jaringan dari soket Pengambilan jaringan dari soket


pada hari ke-0, 3 dan 14 pada hari ke-0, 3 dan 14

Ekstraksi RNA, sintesis cDNA

Penentuan konsentrasi dan kemurnian DNA

Amplifikasi DNA osteocalcin dengan qPCR

Pengolahan data
Analisis data
Laporan penelitian

Gambar 8 Alur penelitian

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
73

Penelitian dilakukan di Poliklinik Bedah Mulut Rumah Sakit Gigi dan

Mulut Prof. Soedomo Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada dan

Laboratorium Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

mulai bulan Maret sampai Mei 2016. Penelitian ini dinyatakan laik secara etik

oleh Komisi Etik Penelitian FKG UGM dengan surat Ethical Clearance No.

00533/KKEP/FKG-UGM/EC/2016.

Subyek penelitian datang ke Poliklinik Bedah Mulut Rumah Sakit Gigi

dan Mulut Prof. Soedomo Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada

untuk pencabutan 2 gigi sekaligus menurut kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.

Karakteristik subyek penelitian ditunjukkan pada tabel 3.

Tabel 2. Karakteristik subyek penelitian

No Jenis Kelamin Umur Gigi yang dicabut Diagnosis


Non GIC GIC
1 L 22 thn 36 45 Gangren
2 P 38 thn 37 47 Gangren
3 L 28 thn 46 36 Gangren
4 P 39 thn 46 36 Gangren
5 L 29 thn 47 37 Gangren
6 P 38 thn 46 36 Gangren

Keterangan : non GIC = soket tanpa aplikasi GIC, GIC = soket dengan aplikasi GIC

Subyek penelitian enam orang yakni tiga orang laki-laki dan tiga orang

perempuan dengan rentang usia antara 22-39 tahun, rata-rata usia laki-laki 26

tahun sedangkan perempuan 38,3 tahun. Elemen gigi yang dicabut adalah gigi

posterior dengan diagnosis gangren pulpa (tabel 3).


74

Pencabutan gigi dilakukan dengan teknik atraumatik tanpa pembukaan

flap. Soket ekstraksi gigi perlakuan dan kontrol dibiarkan terbuka tanpa

penjahitan. Proses penyembuhan soket ekstraksi gigi pasca aplikasi GIC pada

keenam pasien secara klinis tampak normal.

Pemeriksaan qPCR dilakukan menggunakan mesin qPCR (Light Cycler,

Jerman). Masing-masing sampel diproses secara single tanpa pengulangan. Data

yang diperoleh berupa Ct OCN, Ct gen referensi/HKG/GAPDH tanpa aplikasi

GIC dan aplikasi GIC seperti tampak pada tabel 3.


75

Tabel 3. Threshold Cycle mRNA OCN dan GAPDH jaringan soket ekstraksi gigi

Ct OCN Ct GAPDH Ct non Ct =


Hari Pasien
non GIC GIC non GIC GIC
Ct GIC R = 2- Ct
GIC Ct GIC - Ct non GIC

0 1 22,98 22,15 30,62 27,66 -7,64 -5,51 2,13 0,23


2 24,63 25,09 28,53 25,19 -3,9 -0,1 3,8 0,07
3 23,33 20,61 22,63 24,63 0,7 -4,02 -4,72 26,35
4 25,15 30,27 34,13 33,13 -8,98 -2,86 6,12 0,01
5 22,04 22,77 26,1 24,99 -4,06 -2,22 1,84 0,28
6 24,17 24,89 21,8 19,71 2,37 5,18 2,81 0,14
Rerata 23,72 24,30 27,30 25,89 4,52
SD 1,15 3,38 4,75 4,40 10,70
3 1 23 26,9 26,05 20,49 -3,05 6,41 9,46 0,00
2 22,3 23,3 20,52 20,76 1,78 2,54 0,76 0,59
3 22,5 24,05 22,23 21,91 0,27 2,14 1,87 0,27
4 25,23 22,62 20,66 21,52 4,57 1,1 -3,47 11,08
5 25,47 22,6 24,06 22,89 1,41 -0,29 -1,7 3,25
6 26,07 25,95 25,15 19,44 0,92 6,51 5,59 0,02
Rerata 24,10 24,24 23,11 21,17 2,54
SD 1,68 1,80 2,33 1,20 4,36
14 1 27,32 26,06 25,7 22,12 1,62 3,94 2,32 0,20
2 25,48 25,94 19,45 20,65 6,03 5,29 -0,74 1,67
3 25,72 25,93 20,34 20,62 5,38 5,31 -0,07 1,05
4 23,13 27 22,04 21,07 1,09 5,93 4,84 0,03
5 26,69 26,54 22,97 23,24 3,72 3,3 -0,42 1,34
6 24,81 25,23 20,67 19,74 4,14 5,49 1,35 0,39
Rerata 25,53 26,12 21,86 21,24 0,78
SD 1,47 0,60 2,26 1,25 0,67

Keterangan:
OCN = Osteocalcin, GAPDH = glyceraldehyde 3-phosphate-dehydrogenase (housekeeping gene/gen referensi), Non GIC = tanpa aplikasi GIC, GIC = aplikasi
GIC, Ct = Threshold cycle, Ct OCN = Threshold cycle OCN, Ct GAPDH = Threshold Cycle GAPDH, Ct Non GIC = Ct Non GIC OCN - Ct Non GIC
GAPDH, Ct GIC = Ct GIC OCN Ct GIC GAPDH, Ct = Ct GIC Ct Non GIC, R= 2 Ct (rasio/perbandingan ekspresi gen OCN kelompok perlakuan
dengan kontrol menurut Livak dan Schmittgen (2011)
Threshold Cycle (Ct) menunjukkan reaksi ketika jumlah amplikon yang

dihasilkan cukup untuk memberikan sinyal fluoresensi di atas nilai threshold,

semakin tinggi konsentrasi suatu gen semakin rendah Ct yang didapatkan

(McPherson dan Moller, 2006). Nilai rata-rata Ct OCN kelompok kontrol dan

perlakuan seluruh subyek penelitian hari ke- 0, 3, dan 14 ditunjukkan pada tabel 4.

Tabel 4. Rerata Ct (Threshold Cycle) non GIC dan GIC


Hari GIC Non GIC
0 24,30 23,72 1,15

3 24,24 24,10 1,68

3,38
14 26,12 25,53 1,47

1,80
0,60
Tabel 4 menunjukkan variasi Ct pada kelompok kontrol non GIC dan

perlakuan GIC hari ke-0, 3 dan 14. Konsentrasi OCN pada kelompok kontrol

menurun dari hari ke-0, 3 dan 14 sedangkan pada kelompok perlakuan tidak

tampak perbedaan signifikan antara hari ke-0 dengan hari ke-3 tetapi menurun

pada hari ke-14 (Ct kelompok kontrol meningkat dari hari ke-0, 3 dan 14

sedangkan Ct pada kelompok perlakuan sama antara hari ke-0 dengan hari ke-3

dan meningkat pada hari ke-14).

Nilai Ct OCN kelompok perlakuan GIC dan kontrol non GIC

ditunjukkan pada gambar 9.

Ct O CN p a si en 2 Ct O CN p a sien 1
27.32

Non GIC GIC Non GIC GIC


26.06
25.94
25.48
25.09
24.63

26.9
22.98
22.15
23.3
22.3

23

Hari 0 H ar i 3 Hari 1 4 Hari 0 Hari 3 h ar i 1 4


77

Ct O CN p a si e n 3 Ct O CN p a si en 4
non GIC GIC non GIC GIC

30.27
25.93
25.72
24.05
23.33

25.23
25.15

24.05
22.5
20.16

23.13
27
h ar i 0 hari 3 hari 1 4 h ar i 0 h ar i 3 h ar i 1 4

Ct O CN p a si en 5 Ct O CN p a si en 6
26.69
26.54

Non GIC GIC non GIC GIC


26.07
25.95
25.47

25.23
24.89

24.81
24.17
22.77
22.04

22.6

H ar i 0 h ar i 3 Hari 1 4 h ar i 0 h ar i 3 hari 1 4

Gambar 9. Diagram nilai Ct OCN kelompok perlakuan dan kontrol


78

Nilai Ct merupakan selisih nilai Ct gen target OCN dengan nilai Ct

GAPDH pada kelompok perlakuan dan kontrol, Ct GIC untuk kelompok

perlakuan dan Ct non GIC untuk kelompok kontrol. Nilai Ct GIC dan Ct Non

GIC digunakan untuk menghitung nilai Ct dimana Ct = Ct GIC - Ct Non

GIC. Rasio (R) merupakan perbandingan ekspresi OCN antara kelompok

perlakuan dan kontrol yang dihitung berdasarkan rumus R= 2 -Ct (Livak dan

Schmittgen, 2001).

Nilai rerata rasio ekspresi OCN kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan hari ke-0, 3, dan 14 terlihat pada tabel 5.

Tabel 5. Rerata dan standar deviasi rasio ekspresi mRNA OCN

Waktu pengamatan n Rerata dan SD


Hari ke-0 6 4,51 10,70
Hari ke-3 6 2,54 4,36
Hari ke-14 6 0,78 0,67

Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa rata-rata rasio ekspresi OCN pada

hari ke-0 sebesar 4,5110,70, menurun pada hari ke-3 menjadi 2,544,36 dan

menurun lagi pada hari ke-14 menjadi 0,78 0,67. Kondisi tersebut dapat dilihat

pada gambar 10 berikut:


79

5.00
4.50 4.51
4.00
3.50
Ekspresi osteocalcin 3.00
2.50 2.54
2.00
1.50
1.00
0.78
0.50
0.00
Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-14
Waktu pengamatan

Gambar 10. Grafik rasio OCN hari ke-0, 3 dan 14.

Uji sebaran data menggunakan uji Shapiro Wilk diperoleh ekspresi

Osteocalcin pada hari ke-0 dan hari ke-3 tidak berdistribusi normal sehingga

dilakukan transformasi data dengan hasil uji normalitas dan uji homogenitas pada

tabel 6 berikut :

Tabel 6. Hasil uji normalitas data dan uji homogenitas varian

Waktu pengamatan Uji Normalitas Uji Homogenitas


p value p value
Hari ke-0 0,311
Hari ke-3 0,926 0,338
Hari ke-14 0,293

Hasil uji Shapiro Wilk menunjukkan bahwa semua kelompok data

memiliki sebaran yang normal (p>0,05). Hasil uji homogenitas varian ekspresi

osteocalcin dari waktu ke waktu menggunakan uji Sphericity menunjukkan hasil


80

yang homogen dengan nilai signifikansi 0,338 (p>0.05) sehingga pengolahan data

dapat dilanjutkan dengan analisis parametrik Repeated Measure Anova.

Tabel 7. Hasil uji Repeated Measure Anova ekspresi osteocalcin aplikasi GIC pada soket
ekstraksi gigi

Sumber Variasi p value


Waktu pengamatan 0,710

Pada tabel 7 terlihat bahwa berdasar sumber variasi waktu pengamatan

menunjukkan nilai p sebesar 0,710 (p>0,05) yang berarti tidak terdapat perbedaan

bermakna ekspresi mRNA OCN aplikasi GIC pada soket ekstraksi gigi pada hari

ke-0, ke-3, dan ke-14.

B. Pembahasan

Penelitian ini dilakukan untuk melihat dan mengkaji pengaruh aplikasi

GIC terhadap ekspresi mRNA OCN jaringan dari soket ekstaksi gigi

menggunakan teknik qPCR. Real time quantitative PCR merupakan metode

analisis kuantitatif untuk menghitung jumlah mRNA dalam sampel biologis

(Hugget dkk., 2005). Keunggulan pemeriksaan qPCR dalam kuantifikasi ekspresi

gen dibanding teknik lain adalah data yang diperoleh akurat dan tidak

memerlukan manipulasi post amplifikasi. Real time PCR 10000-100000 kali lebih

sensitif daripada RNase protection assay dan 1000 kali lebih sensitif daripada dot

blot hybridization. Kerugian menggunakan teknik ini adalah reagennya mahal

(Wong dan Medrano, 2005).

Keberhasilan pemeriksaan qpCR tergantung beberapa faktor antara lain

manipulasi sampel, teknik pipetting dan validasi housekeeping gene. Sampel


81

jaringan segera dimasukkan dalam RNAlater RNA stabilization untuk mencegah

terjadinya kontaminasi. Sampel yang disimpan dalam jangka waktu lama

sebaiknya disimpan pada suhu -700 C untuk mencegah degradasi OCN. Sampel

penelitian untuk melihat ekspresi OCN sebaiknya segera diproses karena OCN

tidak stabil dan cepat mengalami degradasi (Lee dkk, 2000). Penelitian in vitro

Garnero dkk (1994) menyatakan bahwa OCN intak mengalami degradasi 17%

setelah 2 jam inkubasi pada suhu ruang, oleh sebab itu sampel harus segera

diproses untuk mencegah degradasinya. Osteocalcin sensitif terhadap freeze-thaw

cycles dan hemolisis. Pengulangan freeze-thaw cycles mengurangi immunoreaktif

OCN sampai 40% (Lee dkk, 2000) sehingga berpengaruh pada jumlah ekspresi

gen yang diamati. Penelitian menggunakan qPCR umumnya duplicate atau

triplicate sehingga dapat melihat jika ada kontaminasi selama proses qPCR dan

nilai rata-rata Ct yang diperoleh lebih valid, tetapi pada penelitian ini masing-

masing sample diproses single.

Quantitative real time RT-PCR merupakan teknik yang sangat berguna

dalam menghitung ekspresi gen pada level mRNA. Ekspresi gen yang diamati

harus dibandingkan dengan gen kontrol mRNA tertentu. Jumlah mRNA yang

diamati fluktuatif antara lain karena perbedaan massa jaringan dan jumlah sel.

Idealnya, kondisi eksperimental seharusnya tidak mempengaruhi ekspresi gen

internal kontrol (Ullamnova dan Haskovec, 2003). Menurut Hugget dkk (2005),

housekeeping gene digunakan sebagai kontrol internal terhadap kualitas RNA

untuk menjamin kemurnian total RNA. GAPDH merupakan salah satu gen

referensi yang paling banyak digunakan (de Jonge dkk, 2007), karena ekspresinya
82

yang sangat stabil pada berbagai perlakuan (Hugget et al., 2005) dan banyak

penelitian menunjukkan keberhasilan menggunakan GAPDH sebagai HKG.

Menurut Bustin (2002), actin dan GAPDH tidak cocok digunakan sebagai

internal reference pada beberapa penelitian akibat variabilitasnya, oleh sebab itu

perlu dilakukan validasi internal reference untuk menghindari misinterpretasi.

Proses penyembuhan tulang terjadi secara alami melalui tahapan yang

saling tumpang tindih terdiri dari fase inflamasi, proliferasi dan remodeling. Fase

tersebut melibatkan proses selular yang terjadi secara terus menerus. Penelitian

Canuto dkk (2011) untuk melihat pengaruh Hydroxyapatite paste Ostim terhadap

ekspresi gen pada penyembuhan alveolar soket ekstraksi gigi dilakukan pada hari

ke-1, 7 dan 14, sedangkan pada penelitian ini pengaruh GIC terhadap ekspresi

mRNA OCN dilakukan pada hari ke-0, 3 dan 14.

Hasil penelitian (tabel 5) menunjukkan nilai rata-rata rasio ekspresi OCN

pada sampel perlakuan hari ke-0 nilainya 4,51 kali dibanding kontrol, hari ke-3

menurun menjadi 2,54 kali dibanding kontrol, dan hari ke-14 menurun lagi

menjadi 0,78 kali dibanding kontrol. Data tersebut menunjukkan penurunan rasio

ekspresi mRNA OCN dari hari ke -0, 3 dan hari ke-14. Rasio ekspresi mRNA

OCN yang semakin menurun pada periode pengamatan sama dengan penelitian

yang dilakukan oleh Canuto, dkk (2011). Pengaruh Hydroxyapatite paste Ostim

terhadap ekspresi mRNA OCN pada soket ekstraksi gigi berakar tunggal menurun

dari hari ke-1, 7 dan 14. Perbedaannya dengan penelitian ini terletak pada jumlah

sampel, usia rata-rata pasien, bahan yang diaplikasikan, banyaknya ekspresi gen

yang diamati serta waktu pengamatan.


83

Penelitian Itagaki dkk (2008) mengamati beberapa ekspresi gen pada

proses penyembuhan defek tulang kalvaria tikus menunjukkan bahwa ekspresi

kolagen dan OCN secara signifikan lebih tinggi pada minggu ke-2 jika

dibandingkan dengan sebelum dan sesudah minggu ke-2. Hasil penelitian Canuto

dkk (2011) dan penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian tersebut, ekspresi

mRNA OCN menurun pada hari ke-14 (minggu ke-2) tetapi meningkat pada awal

inflamasi proses penyembuhan soket ekstraksi gigi. Ekspresi mRNA OCN tinggi

pada awal inflamasi menurut Gortz dkk (2004) sebagai akibat inflamasi

meningkatkan diferensiasi osteoblast secara langsung maupun tidak langsung.

Osteocalcin merupakan produk spesifik osteoblast (Price dan Parthemore, 1980).

Li dan DenBesten (1993) mengamati ekspresi mRNA protein tulang kultur

osteoblas tikus pada konsentrasi fluor fisiologis menyimpulkan bahwa fluor tidak

meningkatkan ekspresi protein seperti OCN selama fase proliferasi hari ke-5

sampai hari ke-11.

Kadar OCN serum terdiri atas 10-40% dari total OCN dalam tubuh

sedangkan selebihnya terikat pada matriks tulang. Half life OCN serum singkat

sehingga dihidrolisis pada ginjal dan liver (Lee dkk., 2000). Osteocalcin yang

dirilis di sirkulasi merupakan molekul intak yang baru disintesis oleh osteoblast

(Diaz dkk, 1998). Menurut Ingram dkk (1994), Osteocalcin mempunyai distribusi

berbeda tergantung usia dan jenis kelamin. Fares dkk (2003) menyatakan bahwa

dewasa muda laki-laki mempunyai konsentrasi Osteocalcin pada sirkulasi lebih

tinggi jika dibandingkan dengan dewasa muda perempuan pada usia yang sama

karena laki-laki mempunyai tulang yang lebih panjang dan lebih lebar, selain laki-
84

laki lebih lama mencapai puncak bone mineral density daripada perempuan (Szulc

dkk, 2007).

Konsentrasi OCN serum laki-laki usia 25-49 tahun menurun

(Hannemann dkk, 2013) jika dibandingkan dengan laki-laki usia paruh baya atau

tua (50-60 tahun) yang stabil atau sedikit meningkat (Gundberg dkk, 2002),

sedangkan pada perempuan konsentrasi OCN serum stabil pada saat pre

menopause 35-45 tahun (Ardawi dkk, 2010). Rata-rata usia subyek penelitian

laki-laki adalah 26 tahun mempunyai konsentrasi OCN serum rendah, sedangkan

rata-rata usia perempuan 38,3 tahun mempunyai konsentrasi OCN serum stabil

dan telah mencapai skeletal maturity dan fase stabil bone turnover (Glover dkk,

2008).

Osteocalcin merupakan vitamin K dependent, selain dipengaruhi oleh usia

dan jenis kelamin juga dipengaruhi oleh berbagai kondisi seperti pemakaian obat-

obatan antikonvulsan dan antikoagulan, glucocorticoid, penyakit tertentu seperti

osteomalacia, hyperthyroidism dan hypothyroidism serta pagets disease (Lee dkk,

2000). Hormon estrogen pada perempuan, testosteron pada laki-laki, parathyroid

hormone (PTH) juga berpengaruh terhadap konsentrasi OCN .

Aplikasi GIC pada soket ekstraksi gigi menggunakan takaran volume

yang sama, tetapi volume GIC di dalam soket tidak dapat dikendalikan oleh

peneliti mungkin berpengaruh terhadap hasil penelitian. Kelebihan penelitian ini

adalah penelitian eksperimental klinis aplikasi GIC pada soket ekstraksi gigi

dengan subyek manusia. Ekspresi mRNA OCN soket ekstraksi gigi dihitung

dengan teknik relative quantification qPCR.


85

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik tidak terdapat

perbedaan signifikan ekspresi Osteocalcin antara kelompok perlakuan yang

diaplikasi GIC dengan kelompok kontrol tanpa aplikasi GIC pada soket ekstraksi

gigi (p = 0,710)
86

2. Saran

Penelitian klinis selanjutnya untuk melihat ekspresi mRNA Osteocalcin

disarankan untuk:

a. Memperbanyak jumlah subyek penelitian


b. Memperpanjang waktu pengamatan
c. Melakukan pemilihan housekeeping gene yang paling cocok sebelum

penelitian dilakukan
d. Sampel penelitian Real-Time qPCR diproses duplicate atau triplicate .
Daftar Pustaka

Anusavice, K.J., 2004, Philips science of dental material, 12th ed, Elsevier, India.

Ardawi, M.S., Maimani, A.A., Bahksh, T.A., Rouzi, A.A., Qari, M.H., Raddadi,
R.M., 2010, Reference intervals of biochemical bone turnover markers for
Saudi Arabian women: a cross-sectional study, Bone, 47:804814.

Beck Jr., G.R., Shin-Woo Ha, Camalier, C.E., Yamaguchi, M., Li, Y., Jin-Kyu Lee,
and Weitzmann, M.N., 2012, Bioactive silica based nanoparticles stimulate
bone forming osteoblasts, suppress bone esorbing osteoclasts, and enhance
bone mineral density in vivo, Nanomedicine, 8(6): 793803.

Blumenthal, N.C., and Posner, A.S., 1984, In vitro model of aluminium-induced


osteomalacia: inhibition of hydroxyapatite formation and growth, Calcif
Tissue Int,36:438-41.

Boix, D.,Weis, P., Gauthier, O., Guicheux, J., Bouler, J-M., Pilet, P., Daculsi, G.,
and Grimandi, G., 2006, Injectable bone substitute to preserve alveolar
ridge resorption after tooth extraction: A study in dog, J Mater Sci: Mater
Med 17:11451152.

Brook, I.M., Craig, G.T., and Lamb, D.J., 1991, In vitro interaction between
primary bone organ cultures, glass-ionomer cements and
hydroxyapatite/tricalcium phosphate ceramics, Biomaterials, 12:179-86.

Brentegani, L.G., Bombonato, K.F., and Carvalho, T.L.L, 1996, Immediate


Implantation of Glass-Ionomer Cement Granules Increases Osteogenesis
during Rat Alveolar Wound Healing, J. Nihon Univ. Sch. Dent., 38:141-145.

Brook, I.M., Craig, G.T., and Lamb, D.J., 1991, Initial in vivo evaluation of glass-
ionomer cements for use as alveolar bone substitutes, Clin Mater, 7:295-
300.

Brook, I.M., and Hatton, P.V., 1998, Glass-ionomers: bioactive implant materials,
Biomaterials, 19:565-571.

Brook, I.M., and Lamb, D.J., 1994, Clinical evaluation of ionogran for use in the
restoration and treatment of alveolar bone atrophy, European Conf on
Biomaterials, 11:466-68.

Bukka, P., McKee, M.D., and Karaplis, A.C., 2014, Molecular regulation of
osteoblas differentiation in Bronner F et.al. Bone formation, Spinger-Verlac
London, p.3.
88

Buric, N., Jovanovic, G., Krasic, D., and Kesic, L., 2003, Investigation of the
bone tissue response to glass-ionomer microimplants in the canine maxillary
alveolar ridge, Journal of Oral Science, 45:207-212.

Burr, D.B., and Allen, W.A., 2014, Basic and applied bone biology, Elsevier, New
York, p 3-5.
Bustin, S.,A., 2002, Quantification of mRNA using real time reverse transcription
PCR (RT-PCR): Trends and problems, J. Mol. Endocrinol, 1:23-29.
Camargo, P.M., Lekovic, V., and Weinlaender, M., 2000, Influence of bioactive
glass on changes in alveolar process dimensions after exodontia, Oral
Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod, 90:581-6.

Caverzasio, J., Palmer, G., Suzuki, A., and Jean-Philippe Bonjour, 1997,
Mechanism Of The Mitogenic Effect Of Fluoride On Osteoblast-Like
Cells: Evidences For A G ProteinDependent Tyrosine Phosphorylation
Process, Journal of bone and mineral research, 12: 1975-83.

Canuto, R. A., Pol, R., Martinasso, G., Muzio, G., Gallesio, G., and Mozzati, M.,
2013, Hydroxyapatite paste Ostim, without elevation of full-thickness
flaps, improves alveolar healing stimulating BMP- and VEGF-mediated
signal pathways: an experimental study in humans, Clin. Oral Impl. Res.,
24: 4248.

Chenu, C., 1994, Osteocalcin induces chemotaxis, secretion of matrix proteins


and calcium-mediated intercelluler signaling in human osteoclast - like
cells, The journal of cell biology, 127:1149-58.

Cioban, C., 2013, Early healing after ridge preservation with a new collagen
matrix in dog extraction sockets: preliminary observations, Rom J Morphol
Embryol, 54(1):125130.

Dahlan, S.M., 2011, Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 5. Salemba
Medika, Jakarta, pp

De-Bruyne, M.A.A., and De-Moore, R.J.G., 2004, The use of glass ionomer
cement in both conventional and surgical endodontics, International
endodontic journal, 37:91-104.

De Jonge, H.J.M., Fehrmann, R.S.N., DeBont, E.S.J.M., Hofstra, R.M.W,


Gerbens, F., Kamps, W.A., de Vries, E.G.E., van der Zee, A.G.J., tee
Mernan, G.J., ter Elst., 2007, Evidence based selsction of housekeeping
genes, PloS one, 2(9):e898.
89

Doblare, M., Garc, J.M., and Gomez, M.J., 2004, Modelling bone tissue fracture
and healing: a review, Engineering Fracture Mechanics, 71:1809-40.

Diaz, D.E., Nacher, M., Rapado, A., Serrano, S., Bosch, J., Aubia, J., 2002,
Immunoreactive osteocalcin forms in conditioned media from human
osteoblast culture and in sera from healthy adult control subjects and
patients with bone pathologies. Eur J Clin Invest, 28:48-58.
Fares, J.E., Choucair, M., Nabulsi, M., Salamoun, M., Shahihe, C., H., Fuleihan,
G.,E., 2003, Effect of gender, puberty, and vitamin D status on biochemical
markers of bone remodeling, Bone, 33:242-47
Farley, J.R., Wergedal, J.R., and Baylink, D.J., 1983, Fluoride directly stimulates
proliferation and alkaline phosphatase activity of bone forming cells,
Science, 222:330-2.

Fawcett, D.W., 1994, Buku ajar histologi. EGC, Jakarta, pp

Feng, J., Yan, W., Gou, Z., Weng, W., and Yang, D., 2007, Stimulating effect of
silica-containing nanospheres on proliferation of osteoblast-like cells, J
Mater Sci: Mater Med, 18:21672172.

Fraga, D., Meulia, T., and Fenster, S., 2008, Real-time PCR. In: Current protocols
essential laboratory techniques. John Wiley & Sons, Inc. New York. pp.
10.3.1-10.3.33.

Garagiola, U., 2006, Biointegration of bone grafting materials and


osseointegrated implants in oral and maxillofacial surgery, A
thesis, Semmelweis University, Budapest, p.

Garnero, P., Grimaux, M.,Sequin, P., Delmas, P.,D., 1994,


Characterization of immunoreactive forms of human
osteoblast generated in vivo and in vitro, J. Bone Miner
Bone, 9(2):255-64.

Gerhardt, Lutz-Christian., and Boccaccini, A.R., 2010, Bioactive Glass and Glass-
Ceramic Scaffolds for Bone Tissue Engineering, Materials, 3: 3867-3910.

Geyer, G., and Helms, J., 1990, Reconstructive measures in the middle ear and
mastoid using a biocompatible cement-Preliminary clinical experience.
Clinical implant materials In: Heimke E, Soltese U, Lee AJC, Advances in
biomaterials, 10:529-35. Elsevier, Amsterdam.

Glover, S.J., Garnero, P., Naylor, K., Rogers, A., Eastell, R., 2008, Establishing a
reference range for bone turnover markers in young, healthy women, Bone,
90

42:623630.

Goenka, S., Balu, R., and Kumar, T.S.S., 2011, Effects of nanocrystalline calcium
deficient hydroxyapatite (nCDHA) incorporation in glass ionomer cements
(GIC), thesis,

Goodman, W.G., and O-Connor J., 1991, Aluminium alters calcium influx and
efflux from bone in vitro, Kidney Int, 39:602-7.

Goodman, W.G., 1986, Bone disease and aluminium: pathologenic considerations,


Am J Kidney Res, 6:330-35.

Gortz, B., Hayer, S., Redlich, K., Zwerina, J., Tohidast-Akrad M., Tuerk, B.,
Hartmann, C., Kollias, G., Steiner, G., Smolen, J.,S., Schett, G., 2004,
Arthritis induces lymphocytic bone marrow inflammation and endosteal
bone formation, J Bone Miner Res, 19:990998.

Grieve, W.G, Johnson, G.K, Moore, R.N, Reinhart, R.A, Dubois, L.M., 1994,
Prostaglandin E (PGE) dan Interleukin 1- Levels in Gingival Crevicular
Fluid During Human Orthodontic Tooth Movement, Am J Orthod
Dentofacial Orthop, p. 369-74.

Gundberg, C.M, Looker, A.C., Nieman, S.D., Calvo, M.S., 2002, Patterns of
osteocalcin and bone specific alkaline phosphatase by age, gender, and race
or ethnicity, Bone, 31:703708.

Hannemann, A., Friedrich, N., Spielhagen, C., Rettig, R., Ittermann, T., Nauck,
M., Wallaschofski, H., 2013, Reference interval for serum osteocalcin
concentration in adult men and women from the study of health in
Pomerania, BMC Endocrine disorders, 13(11):1-9.

Hatton, P.V., Hurrel-Gillingham, K., and Brook, I.M., 2006, Biocompatibility of


Glass Inomer Bone Cements. J Dent Res, 34:598-601.

Hugget, J., Dheda, K., Bustin, S., dan Zumla, A., 2005, Real-time PCR
normalisation: Strategies and consideration, Genes and Immunity, 6:279-
284.

Iasella, J.M., Geenwell, H., Miller, R.L., Hill, M., Drisko, C., Bohra, A.A., and
Scheetz, J.P., 2003, Ridge preservation with freeze-dried bone allograft
and a collagen membrane compared to extraction alone for implant site
development: a clinical and histologic study in humans, J. Periodontol,
74:990-999.
91

Ingram, R.T., Park, Yong-Koo., Clarke, B.L., Fitzpatrick, L.A., 1994, Age- and
Gender related in the distribution of osteocalcin in the extracellular matrix
of normal male and female bone, J. Clin. Invest, 93:989-97.

Irinakis, T., 2006, Rationale for Socket Preservation after Extraction of a Single-
Rooted Tooth when Planning for Future Implant Placement, J Can Dent
Assoc, 72(10):91722.

Itagaki, T., Honma, T., Takahashi, I., Echigo, S., Sasano, Y., 2008, Quantitative
analysis and localization of mRNA transcripts of type I collagen,
osteocalcin, MMP2, MMP8, and MMP13 during bone healing in a rat
calvarial experimental defect model, The anatomical record, 291:1038-46.

Jahangiri, L., Devlin H, Ting K, and Nishimura I, 1998, Current perspectives in


residual ridge remodeling and its clinical implication: a review. J. Prosthet
Dent, 80(2): 224-37.

Johal, K., Craig, G.T., Hill, R., Devlin, A.J., and Brook, I.M., 1995, In vivo
response of ionomeric cements: effect of glass composition, increasing soda
or calcium fluoridaide content, J Mater Sci Med, 7:690-94.

Jonck, L.M., Grobbelaar, C.J., and Strating, H., 1989, Biological evaluation of a
glass-ionomer cement Ketac-O as an interface material in joint replacement.
A screening test, Clin Mater, 4:201-24..

Jonck, L.M., and Grobbelaar, C.J., 1990, Ionos bone cement (glass-ionomer): an
experimental and clinical evaluation in joint replacement, Clin Mater, 6:323-
59.

Kalfas, I.H., 2001, Principles of bone healing, Neurosurg. Focus, 10:1-4.

Kaneki, H., Ishibashi, K., Kurokawa, M., Fujieda, M., Kiriu, M., Mizuochi, S.,
and Ide, H., 2004, Mechanism underlying the aluminum induced stimulation
of bone nodule formation by rat calvarial osteoblasts, Journal of health
science, 50(1):47-57.

Kawahara, H., Imanishi, Y., and Oshima, H.,1979, Biological Evaluation on Glass
Ionomer Cement, J Dent Res, 58: 1080-6.

Kim, E.J., Bu, S.Y., Sung, M.K., and Choi, M.K., 2012, Effects of Silicon on
Osteoblast Activity and Bone Mineralization of MC3T3-E1 Cells, Biol
Trace Elem Res.,

Khoroushi, M., and Keshani, F., 2010, Review on glass-ionomers: From


conventional glass-ionomer to bioactive glass-ionomer, Dental research
journal, 10:411-20.
92

Khoroushi, M., and Keshani, F., 2013, A review of glass-ionomers: From


conventional glass-ionomer to bioactive glass-ionomer, Dental research
journal, 10:411-20.

Khoroushi, M., Mansoori-Karvandi, T., and Hadi, S., 2012, The effect of pre-
warming and delayed irradiation on marginal integrity of a resin-modified
glass-ionomer, Gen Dent, 60:383-8.

Kubilius, M., Kubilius, R., and Gleiznys, A., 2012, The preservation of alveolar
bone ridge during tooth extraction, Stomatologija, Baltic dental and
maxillofacial journal, 14:3-11.

Lau, K.H.W., and Baylink, D.J., Molecular Mechanism of Action of Fluoride on


Bone Cells, J Bone Miner Res, 13:16607.

Lee, A.J., Hodges, S., Eastell, R., 2000, Measurement of osteocalcin, Ann Clin
Biochem, 37:432-46.

Lekovic, V., Kenney, E. B., Weinlaender, M., Han, T., Klokkevold, P., Nedic, M.,
and Orsini, M., 1997, A Bone Regenerative Approach to Alveolar Ridge
Maintenance Following Tooth Extraction. Report of 10 Cases, J
Periodontol, 68 (6): 563-570.

Li, R., and DenBesten, P.,K., 1993, Expression of bone protein mRNA at
physiological fluoride concentrations in rat osteoblast culture, Bone and
mineral, 22:187-96.

Lian, J.B., Stein, G.S., Gerstenfeld, L., and Glowacki, J., 1989, Gene expression
and functional studies of the vitamin-K dependent protein of bone,
osteocalcin in Lindh, E. Clinical impact of bone and connective tissue
markers. Academic press, London, pp.

Loescher, A.R., Robinson, P.P., and Brook, I.M., 1994, The effects of implanted
ionomeric and acrylic bone cements on peripheral nerve function, J mater
sci med, 5:108-12.

Mao, T., and Kamakshi V., 2014, Bone grafts and bone substitutes, Int j pharm
pharm sci, 6: 88-91.

Marending, M., Stark, W.J., Brunner, T.J., Fischer, J., and Zehnder, M., 2009,
Comparative assessment of time-related bioactive glass and calcium
hydroxide effects on mechanical properties of human root dentin, Dent
Traumatol, 25:126-9.
93

Mardas, N., Chadha, V., and Donos, N., 2010, Alveolar ridge preservation with
guided bone regeneration and a synthetic bone substitute or a bovine-
derived xenograft: a randomized, controlled clinical trial, Clin. Oral Impl.
Res., 21: 688698.

Matsuura, T., Tokutomi, K., Sasaki, M., Katafuchi, M., Mizumachi, E., and Sato,
H., Distinct Characteristics of Mandibular Bone Collagen Relative to Long
Bone Collagen: Relevance to Clinical Dentistry. Review Article, BioMed
Research International.,

McCabe, J.F., and Walls, A.W., 2008, Applied Dental Materials, 9th ed, Blackwell
publishing Ltd., Oxford, p. 245-64.

Meyer, U., Szulczewski, D. H., Barckhaus, R.H., Atkinsont, M., and Jones, D.B.,
1993, Biological evaluation of an ionomeric bone cement by osteoblast cell
culture methods, Biomaterials, Vol. 14 No. 12.

Michael, W., Pfaff, Tichopad, A., Prgomet, C., and Neuvians, T.P., 2005,
Determination of stable housekeeping genes, differentially regulated target
genes and sample integrity: BestKeeper Excel-based tool using pair-wise
correlations Biotechnology Letters 26:509-515.

Mickenautsch, S., Mount, G., and Yengopal, V., 2011, Therapeutic effect of glass-
ionomers: An overview of evidence, Aust Dent J, 56:10-5.

Muller, J., Geyer, G., and Helms, J., 1993, Ionomer cement in cochlear implant
surgery, Laryngorhinootologie, 72(1):36-38.

Nagaraja, Upadhya, P., and Kishore, G., 2015, Glass ionomer cement:The
different generations, Trends Biomater Artif Organs, 18:158-65.

Neve, A., Corrado, A., and Cantatore, F.P., 2010, Osteoblast physiology in normal
and pathological conditions. Cell Tissue Res.,.......

Nicholson, J.W., Braybook, J.H., and Wasson, E.A., 1991, The biocompatibility of
glass-poly(alkenoat)(glass ionomer) cements: A review, J. Biomater sci
polym edn, 2(4): 277-85.

Nicholson, J.W., 1998, Glass-ionomers in medicine and dentistry, Journal of


Engineering in Medicine;212: 121.

Noort, R., 2002, Introduction to dental materials. 2nd ed. p. 137.

Nordenvall, K.J., 1992, Glass-ionomer cement used as surgical dressing after


radical surgical exposure of impacted teeth, Swed Dent J, 6(3):87-92.
94

Oliva, A., Ragione, F.D., Salerno,., Riccio, A.V.,Tartarot, G., Cozzolino, A.,
Amatol, S.D., Pontoni, G., and Zamia, V., 1996, Biocompatibility studies
on glass ionomer cements by primarf cultures of human osteoblasts,
Biomaterials, 17:1351-1356.

Orlando, C., Pinzani, P., and Pazzagli, M., 1998, Developments in quantitative
PCR, Clin. Chem. Lab. Med, 36:255-69.

Patti, A., Gennari, L., Merlotti, D., Dotta, F., and Nuti, R., 2013, Endocrine
Actions of Osteocalcin, Journal of Endocrinology: 1-11.

Peterson, L.J., 1998, Contemporary oral and maxillofacial surgery. 3rd ed, Mosby,
pp 132-3.
Pivonka, P., Dunstan, C.R., 2012, Role of mathematical modeling in bone
fracture healing, Bone key reports, 221:1-10.
Price, P.A., Parthemore, J.G., Deftos, L.J., 1980, New biochemical marker for
bone metabilosm. Measurement by radioimmunoassay of bone GLA protein
in the plasma of normal subjects and patients with bone disease, J Clin
Invest, 66:878-83.
Pryor, L.S., Gage, E., Langevin, C. J., 2009, Review of bone substitute
Craniomaxillofac Trauma Reconstruction, 2:151160.
Purton, D.G., and Rodda, J.C., 1988, Artificial caries around restorations in roots,
J Dent Res, 67:817-21.

Szulc, P., Kaufman, J.M., Delmas, P.D., 2007, Biochemical assessment of bone
turnover and bone fragility in men, Osteoporos Int , 18:14511461.

Quaker, A.S., 2011, Consequences of tooth loss on oral function and Need for
replacement of missing teeth among patients attending muhimbili dental
clinic. A Thesis.

Quarles, L.D., Murphy, G., Vogler, J.B., and Derzner, M.K., 1990, Aluminium
induced neo osteogenesis. A generalised process aecting trabecular
networking in the axial skeleton, J Bone Miner Res, 5:625-35.

Raso, A., and Biassoni, R., 2014, Quantitative Real-Time PCR: Methods and
Protocols, Methods in Molecular Biology. Springer Science+Business
Media, New York, pp......

Renard, J.L., Felten, D., and Bequet, D., 1994, Post-otoneurosurgery aluminium
encepohalopathy, Lancet, 344:63-64.

Saladin, K.S., 2010, Anatomy and physiology. The unity of form and function, 5th
ed, Mc. Graw Hill, Boston, pp......
95

Salata, L.A., Sverzut, C.E., and Xavier, S.P., 1999, Recent advances in the use of
glass ionomers: bone substitutes, Rev Odontol Univ So Paulo, 13:203-207.

Sanz, M., and Vignoletti, F., Key aspects on the use of bone substitutes for bone
regeneration of edentulous ridges, Dental materials, 31: 640647.

Sasanaluckit, P., Albustany, K.R., Dockerty, P.J., and Williams, D.F., 1993,
Biocompatibility of glass-ionomer cements, Biomaterials, 14(12):906-16.

Sherwood, L., 2011, Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Alih bahasa, Brahm U.
Pendit. 6th ed, EGC, Jakarta, pp 23-25
Smith, D.C., 1990, Composition and characteristics of glass ionomer cements,
Jada: 120.

Sogaard, C.H., Mosekilde, L., Schwartz, W., Leidig, G., Minne, H.W., and
Ziegler, R., 1995, Effects of fluoride on rat vertebral body biomechanical
competence and bone mass, Bone, 16:163-69.

Suprastiwi, E., 2009, Potensi Semen ionomer Kaca Sebagai Material bioaktif,
Jurnal PDGI, 58:2.

Wang, J., Ramakrishnan, R., and Tang, Z., 2010, Quantifying EGFR alterations in
the lung cancer genome with nanofluidic digital PCR arrays, Clin Chem,
56:623632.

Watson, J.D, Baker, T. A., Bell, S.P., Gann, A., Levine, M., and Losick, R., 2004,
Molecular Biology of the Gene, 5th ed., Benjamin Cummings, San Fransisco,
pp.....

Weijden, F., DellAcqua F., and Slot, D.E., 2009, Alveolar bone dimensional
changes of post-extraction sockets in humans: a systematic review, J Clin
Periodontol, 36: 10481058.

Wiens, M., Wang, X., Schoeder, H.C., Kolb, U., SchloBmacher, U., Ushijima, H.,
and Muller, W.E.G., 2010, The role of biosilica in the
osteoprotegerin/RANKL ratio in human osteoblast-like cells, J.
Biomaterials, 07:002.

Wilson, A.D., and McLean, J.W., 1985, Glass-ionomer cement. Quintessence,


Chicago, pp.....

Wong, M.L. and Medrano, J.F., 2005, Real-time PCR for mRNA quantification.
BioTechniques, 39(1):75-83
96

Yengopal, V., Mickenautsch, S., Bezerra, A.C., and Leal, S.C., 2009, Caries
preventive effect of glass ionomer and resin-based fissure sealants on
permanent teeth: A meta analysis, J Oral Sci, 51:373-82.

Yuwono, T., 2006, Teori dan aplikasi polymerase chain reaction, Penerbit Andi,
Yogyakarta, pp

Zanatta, L.C.B., Boguszewski, C.L., Borba, V.Z.C., and Kulak, C.A.M., 2014,
Osteocalcin, energy and glucose metabolism, Arq Bras Endocrinol Metab,
58(5).

You might also like