You are on page 1of 41

1

TUGAS PRESENTASI KASUS

SEORANG PEREMPUAN 20 TAHUN DENGAN KARDIOMIOPATI


PERIPARTUM, NSTEMI, SYOK KARDIOGENIK POST SC H + 25

Pembimbing :

dr. Musrifah Budi Utami Sp. PD, M. Kes

Disusun Oleh :
Dhanista Hastinata Sukarna Putra, S. Ked
J510 1650 32

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

RSUD KARANGANYAR

2017
2

LAPORAN KASUS
ILMU PENYAKIT DALAM

SEORANG PEREMPUAN 20 TAHUN DENGAN PERIPARTUM


KARDIOMIOPATI

Diajukan oleh :

Dhanista Hastinata Sukarna Putra, S. Ked J510165032

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta pada hari Selasa, 25 April
2017

Pembimbing :

dr. Musrifah Budi Utami, Sp. PD, M.Kes (..........................)

Dipresentasikan di hadapan :

dr. Musrifah Budi Utami, Sp. PD, M.Kes (..........................)

Disahkan Ka. Program Profesi :

dr. Dona Dewi Nirlawati (..........................)


3

BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
- Nama Pasien : Ny. L
- Umur : 20 tahun
- Jenis kelamin : Perempuan
- Alamat : Gentungan, Mojogedang
- No. RM : 3958xx
- Pekerjaan : Swasta
- Status perkawinan : Menikah
- Agama : Islam
- Suku : Jawa
- Tanggal masuk RS : 12 Maret 2017
- Tanggal pemeriksaan : 13 Maret 2017

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Sesak napas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan
sesak pada seluruh dada. Sesak napas seperti ditindih, bersifat mendadak
daan hilang timbul. Pasien merasa sesak napas meningkat jika berbaring
tanpa menggunakan bantal dan merasa nyaman pada posisi setengah
duduk. Pasien menyangkal adanya sesak nafas saat beraktivitas,
menyangkal terbangun malam hari karena sesak napas. Pasien juga
merasakan nyeri pada daerah bekas operasi. Selain itu pasien merasa
lemas karena nafsu makan berkurang, mual diakui, muntah disangkal,
belum berak , dan kencing normal.
Hari masuk Rumah Sakit pasien dalam keadaan lemas dan sesak
napas bertambah. Pasien mengeluhkan kembali pasien mengeluhkan
4

sesak napas pada terutama dada sebelah kiri. Sesak napas seperti
ditindih, bersifat mendadak daan hilang timbul. Pasien merasa sesak
napas meningkat jika berbaring tanpa menggunakan bantal dan menurun
pada posisi setengah duduk. Pasien menyangkal adanya sesak nafas saat
beraktivitas, menyangkal terbangun malam hari karena sesak napas.
Pasien merasa lemas karena nafsu makan berkurang, nyeri kepala, mual
diakui, muntah disangkal, belum berak , dan kencing normal.
Satu hari setelah masuk Rumah Sakit pasien dalam keadaan
lemas dan sesak napas. Pasien mengeluhkan kembali pasien
mengeluhkan sesak napas pada terutama dada sebelah kiri. Sesak napas
seperti ditindih, bersifat mendadak daan hilang timbul. Pasien merasa
sesak napas meningkat jika berbaring tanpa menggunakan bantal dan
nyaman pada posisi setengah duduk. Pasien menyangkal adanya sesak
nafas saat beraktivitas, menyangkal terbangun malam hari karena sesak
napas. Kondisi pasien sangat lemah dan lemas. Pasien merasa lemas
karena nafsu makan berkurang, nyeri kepala mual diakui, muntah
disangkal, belum berak , dan kencing menurun.
3. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat maag : disangkal
Riwayat darah tinggi : disangkal
Riwayat darah tinggi saat hamil : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat mondok : diakui (Saat melahirkan 25 hari yll)
Riwayat trauma pada perut : disangkal
4. RiwayatPribadi
Riwayat merokok : disangkal
Minum-minuman beralkohol : disangkal
5. Riwayat Keluarga
5

Riwayat darah tinggi : disangkal


Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
6. Riwayat Kebiasaan
Sebelum sakit pasien makan sehari 3 kali nasi 1 porsi dengan nasi
lauk ikan, tahu, tempe kadang telur, sayur bayam, buncis berganti ganti.
Nafsu makan baik. Pasien tidak suka makan makanan pedas dan minum
manis. Pasien tidak mengkonsumsi kopi namun sering konsumsi teh.
Pasien termasuk orang yang periang dan suka berbicara, tidak pemarah,
bila tidak sakit semua aktifitas pribadi dikerjakan sendiri, jarang minta
bantuan ke orang lain. Pasien sering melakukan aktivitas keagamaan
maupun sosial. Sejak 2 hari terakhir kegiatan pasien hanya di sekitar
tempat tidur. Pasien biasa tidur malam sekitar pukul 21.00 dan bangun
pagi sekitar pukul 04.30.
7. Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan
a. Keadaan Sosial
Kondisi lingkungan tempat tinggal pasien berada di kampung
dengan jarak dari jalan besar sekitar 1000 meter. Keadaan tempat
tinggal/ lingkungan: rumah orangtua, terdiri dari bangunan utama, teras,
dengan kamar mandi di belakang rumah. Kamar mandi berukuran 2 x 3
m, berlantai plester semen, lampu penerangan 15 watt. WC jongkok,
berukuran 1.25 x 1.25 m.
Pasien tinggal dengan suami, anak, dan kedua mertua. Sebelum
sakit, kegiatan memasak, mencuci baju, belanja dan bersih-bersih
rumah sering dilakukan oleh pasien dan ibu mertua. Sebelum sakit
pasien tidak memerlukan bantuan untuk aktivitas mandi dan berganti
pakaian. Sejak sakit pasien di antar kamar mandi. Makan dan minum
sendiri, tapi semenjak sakit diambilkan oleh suami atau ibu mertuanya.
Hubungan dengan keluarga baik terkadang ada keluarga yang datang
6

berkunjung ke rumah pasien. Hubungan dengan tetangga dan teman


baik serta tidak ada masalah.
b. Keadaan ekonomi
Pasien seorang Ibu rumah tangga, setelah melahirkan anaknya
pasien tidak bekerja. Keuangan pasien dibantu oleh suaminya yang
bekerja sebagai buruh bangunan dengan pendapatan yang kurang.
Sehingga dalam kesehariannya biaya hidup masih dibantu oleh kedua
mertuanya. Biaya rawat inap ditanggung secara mandiri.
Kesimpulan : Sosial ekonomi kurang.

C. ANAMNESIS SISTEM
Sistem Serebrospinal Gelisah (+), Lemah (+), Demam (-), pusing
(-)
Sistem Kardiovaskular Akral dingin (+), sianosis (-), anemis (-),
palpitasi (+), nyeri dada (-)
Sistem Respiratorius Batuk (-), sesak nafas (+)
Sistem Genitourinarius BAK (-) menurun, nyeri (-) darah (-)
Sistem Gastrointestinal Nyeri perut(+), mual (+), muntah (-), nafsu
makan menurun (+), BAB (-) 2 hari.
Sistem Muskuloskeletal Badan lemas (+), nyeri pinggang (-), atrofi
otot (-)
Sistem Integumentum Pucat (-), Clubbing finger (-), CRT > 2 detik
Kesan : terdapat masalah pada sistem serebrospinal, kardiovaskuler,
gastrointestinal, integumentum dan muskuloskeletal.

D. PEMERIKSAAN FISIK
1. KeadaanUmum :Tampak sesak napas
Kesadaran : Somnolen, (GCS E3V4M6)
Status Gizi : IMT 24,8 (pre obesitas)
BB : 65
TB : 165
Vital Signs :TD: 70/palpatoir mmHg;
Nadi: 146 x/menit;
Respirasi rate: 40 x/menit;
Suhu: 36,8C
7

SpO2 (64 %)
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kulit
Warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-), kering (-),
teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-), ekimosis (-), lebam
kemerahan (-), kulit tampak pucat (+)
b. Kepala
Bentuk normocephal, rambut warna hitam, uban (-), mudah rontok (-),
luka (-)
c. Wajah
Simetris, eritema (-), tampak pucat
d. Mata
Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter 3 mm/3
mm, reflek cahaya (+/+) normal, edema palpebra (-/-), strabismus (-/-).
e. Telinga
Membran timpani intak, sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-),
nyeri tekan tragus (-), gangguan fungsi pendengaran (-).
f. Hidung
Deviasi septum nasi (-), epistaksis (-), nafas cuping hidung (-), sekret
(-), fungsi pembau baik, foetor ex nasal (-)
g. Mulut
Sianosis (-), papil lidah atrofi (-), gusi berdarah (-), bibir kering (-),
stomatitis (-), pucat (-), lidah tifoid (-), luka pada sudut bibir (-),
sianosis (+)
h. Leher
JVP tidak miningkat, trakea di tengah, simetris, pembesaran tiroid (-),
pembesaran kelenjar getah bening (-), leher kaku (-), distensi vena
leher(-).
8

i. Thoraks
Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostalis (-),pernafasan
thorakoabdominal, sela iga melebar (-), pembesaran kelenjar getah
bening aksilla (-), rambut ketiak rontok (-), ginecomastia (-).
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat, thrill (-)
Perkusi :
kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
kiri bawah : SIC V linea midclavicularis sinistra
kanan atas : SIC II 2 cm dari linea sternalis dextra
kanan bawah : SIC IV 3 cm dari linea sternalis dextra
konfigurasi jantung kesan melebar
Auskultasi : HR 146 x/menit, bunyi jantung I-II intensitas
normal, regular, bising (-), gallop (-)
Pulmo :
Depan
- Inspeksi :
Statis : normochest, simetris kanan-kiri, sela iga tak melebar,
retraksi (-), sela iga tidak mendatar
Dinamis : simetris, pengembangan dada kanan = kiri, sela iga tak
melebar, retraksi (-),
- Palpasi :
Statis : simetris, sela iga tidak melebar, retraksi (-), tidak ada
yang tertinggal
Dinamis : pengembangan paru simetris, tidak ada yang tertinggal,
fremitus raba kanan = kiri
- Perkusi :
Kanan : sonor hingga SIC III, batas paru hepar redup
relatif di SIC
9

VI LMCD, batas paru hepar redup absolut di SIC VII


LMCD
Kiri : sonor, sesuai batas paru jantung pada SIC VI LMCS.
- Auskultasi :
Kanan : suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing
(-)
ronki basah kasar (+), ronki basah halus (-), krepitasi (-)
Kiri : suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing
(-)
ronki basah kasar (+), ronki basah halus (-), krepitasi (-)
Belakang
- Inspeksi :
Statis : punggung kanan kiri simetris
Dinamis : pengembangan dada simetris
- Palpasi :
Statis : punggung kanan dan kiri simetris
Dinamis : pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
- Perkusi :
Kanan : sonor, mulai redup pada batas paru bawah V Th X
Kiri : sonor, mulai redup pada batas paru bawah V Th XI
Peranjakan diafragma 5 cm kanan sama dengan kiri.

- Auskultasi :
Kanan : suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing
(-), ronki basah kasar (+), krepitasi (-)
Kiri : suara dasar vesikuler normal, suara tambahan
wheezing (-), ronki basah kasar (+), krepitasi (-)
10

j. Punggung
kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok kostovertebra (-/-)

k. Abdomen
- Inspeksi :dinding abdomen lebih rendah dari diding thorax,
tidak tampak massa, luka bekas operasi SC
(tampak basah, terdapat eksudat )
- Auskultasi :peristaltik (+) normal
- Palpasi :nyeri tekan (-), turgor kulit normal, hepatomegali (-
), splenomegali (-).
- Perkusi : tympani (+)
l. Genitourinaria
Ulkus (-), secret (-), tanda-tanda radang (-)

m. Kelenjar getah bening inguinal


Tidak membesar
n. Ekstremitas
Akral dingin Edema Sianosis
(+/+) / (+/+) (-/-) / (-/-) (-/-) / (-/-)

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium DarahRutin 12 Maret 2017
Hematologi Rutin Hasil Satuan Rujukan
Hb 11.8 g/dl 12 16
HCT 35.4 37.00 47.00
AL 10.7 103/l 5 10
AT 285 103/l 150 300
AE 3.84 106/l 4,00 5,50
Index Eritrosit
MCV 92.2 /um 82,0 92,0
MCH 30.7 Pg 27,0 31,0
11

MCHC 33.3 g/dl 32,0 37,0


RDW 14.0 % 11,6 14,6
Hitung Jenis
Granulosit 55.4 % 50,0 70,0
Limfosit 37.2 % 25,0 40,0
Monosit % 7.4 % 3,0 9,0
Limfosit 4.0 Ribu/ul 1,25 4,0
Monosit # 0.8 Ribu/ul 0,30 1,00
Granulosit # 5,9 Ribu/ul 2,50 7,00
Kimia Klinik
GDS 134 mg/dL 70 150

Pemeriksaan Laboratorium Darah tanggal 13 Maret 2017


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
GDS 130 mg/100 ml 70-150
Kreatinin 1.24 mg/dL 0.5-0.9
Ureum 33 mg/dl 10-50
Albumin 4.1 g/dl 3.5-5.5

Hitung GFR : (140 20) x 68 / 72 x 1,24 = 91, 39 x 0,85 = 77,6


Pemeriksaan EKG pada tanggal 20 Januari 2017
12

Kesan : Terdapat VES di Lead II III AVF

F. RESUME
Dari hasil anamnesis didapatkan keluhan pada pasien yaitu sesak napas
pada terutama dada sebelah kiri. Sesak napas seperti ditindih, bersifat
mendadak daan hilang timbul. Pasien merasa sesak napas meningkat jika
berbaring tanpa menggunakan bantal dan nyaman pada posisi setengah
duduk. Pasien menyangkal adanya sesak nafas saat beraktivitas,
menyangkal terbangun malam hari karena sesak napas. Kondisi pasien
sangat lemah dan lemas. Pasien merasa lemas karena nafsu makan
berkurang, nyeri kepala mual diakui, muntah disangkal, belum berak ,
dan kencing menurun.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak lemah.
Kesadaran somnolen, Gizi normal, Vital Sign: Tekanan darah
70/palpatoir mmHg, nadi 140 x/menit, Respirasi rate: 35 x/menit; suhu
36,8C. didapatkan CRT < 2 detik, tampak pucat, kardiomegali.
Hasil laboratorium menunjukkan adanya leukositosis, eosinopenia, dan
peningkatan kreatinin.
Hasil pemeriksaan EKG tampak ada VES di II, III, AVF
G. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis fungsional : Syok kardiogenik, CHF NYHA IV
Diagnosis anatomi : VES
Diagnosis etiologi : Kardiomiopati peripartum
Azotemia dd: AKI, CKD
13

H. Planning
- Pemeriksaan Rontgen thorax
- Pemeriksaan Analisa Gas Darah
- Pemeriksaan DR3
- Pemeriksaan elektrolit
- Pemeriksaan Ecokardiografi
I. TERAPI
RL guyur 300 cc/ 1 jam
RL 12 tpm
SP Dopamin kec 5,4 cc/ jam
Meropenem 1 gr / 8 jam
Pantoprazol 1 amp/24 jam
Amiodaron 1x 200 mg (tunda sampai kondisi TD stabil)
J. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad malam
Quo ad funtionam : ad malam
Quo ad sanam : ad malam
K. HASIL FOLLOW UP
14 S/
Mare pasien mengeluhkan nyeri sesak di dada(+), muntah (-), mual (+),
t 2017 nyeri pada kepala (+), tidak bisa tidur, BAK (+), BAB (-).
(05.00 O/
) TD : 150/90, N : 140, S : 35.6, RR : 38 x/menit SpO2 : 99 %
KU/Kes : Gelisah/ CM
K/L : Normochepal, SI-/-, CP-/- ,PKGB
Tho : SDV+/+,Rh-/-,Wh-/-, BJ I/II reg, bising -

Abd : Inspeksi : dinding perut datar (+), tidak tampak


massa.
Auskultasi :peristaltik (+) normal
Palpasi :nyeri tekan (-), turgor kulit normal
14

hepatomegali(-), splenomegali (-).


Perkusi : tympani (+)
Ext : akral dingin tidak ada, udem (-)
Produksi urine : 100 cc (sejak 1 jam sebelum pemeriksaan)

Pemeriksaan Laboratorium Darah Rutin 14 Maret 2017


Hematologi Rutin Hasil Satuan Rujukan
Hb 12.0 g/dl 12 16
HCT 35.6 37.00 47.00
AL 18.0 103/l 5 10
AT 33 103/l 150 300
AE 3.78 106/l 4,00 5,50
Index Eritrosit
MCV 94.2 /um 82,0 92,0
MCH 31.7 Pg 27,0 31,0
MCHC 33.7 g/dl 32,0 37,0
RDW 13.0 % 11,6 14,6
Hitung Jenis
Granulosit % 78.8 % 50,0 70,0
Limfosit % 14.7 % 25,0 40,0
Monosit % 6.5 % 3,0 9,0
Limfosit # 2.6 Ribu/ul 1,25 4,0
Monosit # 1.2 Ribu/ul 0,30 1,00
Granulosit # 14.2 Ribu/ul 2,50 7,00
Kimia Klinik
GDS 134 mg/dL 70 150
15

Pemeriksaan Analisa Gas Darah tanggal 14 Maret 2017

Hasil Satuan Rujukan


Suhu 37.8 Celcius
pH 7.3 7.2-7.6
PCO2 24.0 mmHg 30-50
PO2 176.0 mmHg 70.0-700.0
HCO3 11.7 mmol/L 22.0-26.0
O2 Saturasi 99.0 % 75.00-99.00
BE -13.0 mmol/L -3.00-3.00
Natrium Gas Darah 127.0 mmol/L 135.0-145.0
Kalium Gas Darah 3.5 mmol/L 3.50-5.10
Ion Ca Gas Darah 0.7 mmol/L 1.120 -1.320

Kesan : Asidosis Respiratorik


Pemeriksaan elektrolit tanggal 14 Maret 2017
Na + 127 mmol/L
K+ 3.5 mmol/L
Ca2+ 0.73 mmol/L

A/Diagnosis fungsional : Syok kardiogenik teratasi ec


Kardiomiopati peripartum
Diagnosis anatomi : VES
Diagnosis etiologi : Idiopatik
Obs trombositopenia DD ITP
P/
RL 20 tpm
SP Dopamin kec 5,4 cc/ jam
Meropenem 1 gr / 8 jam

Pantoprazol 1 amp/24 jam


16

Santagesic 1 amp/8 jam


Furosemide /KP
Amiodaron 1x 200mg dan pemeriksaan urinalisa
15 S/
Mare pasien mengeluhkan nyeri sesak di dada(+), muntah (-), mual (+),
t 2017 nyeri pada kepala (+), tidak bisa tidur, BAK (+), BAB (-).
(05.00 O/
) TD : 140/90, N : 140, S : 35.6, RR : 35 x/menit
KU/Kes : Gelisah/ CM
K/L : Normochepal, SI-/-, CP-/- ,PKGB
Tho : SDV+/+,Rh-/-,Wh-/-, BJ I/II reg, bising -

Abd : Inspeksi : dinding perut datar (+), tidak tampak


massa.
Auskultasi :peristaltik (+) normal
Palpasi :nyeri tekan (-), turgor kulit normal
hepatomegali(-), splenomegali (-).
Perkusi : tympani (+)
Ext : akral dingin tidak ada, udem (-)

Pemeriksaan Laboratorium Urin Rutin tanggal 15 Maret


2017
Pemeriksaan Hasil Rujukan
Warna- Kuning-
Kuning-jernih
kekeruhan jernih
BJ >1.025 1.005 1.030
pH 6.0 5.0 6.5
Keton - -
Protein + -
Glukosa - -
Darah Samar - -
17

Nitrit - -
Urobilinogen normal
Bilirubin - -
URINALISA
Leukosit 7-9 0-3
Erytrosit 5-7 0-5
Silinder Granula + -
Epitel Bulat - -
Epitel Squamous +1 +1
Epitel
(22.00 - -
Transisional
) Bakteri + -
Kristal - -
Lain-lain - -
Jamur - -

A/

Diagnosis fungsional : Syok kardiogenik ec Kardiomiopati


peripartum
Diagnosis anatomi : VES
Diagnosis etiologi : Idiopatik
ISK
Obs.Trombositopenia dd: DF, DHF

P/RL 20 tpm
Meropenem 1 gr / 8 jam
Pantoprazol 1 amp/24 jam
Santagesic 1 amp/8 jam
Amiodaron 1x 200mg
Urinter 3x1
Cek Trombosit rutin
18

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Syok kardiogenik adalah kondisi dimana jantung mengalami gangguan,
tidak mampu mencakupi pasokan darah sesuai kebutuhan tubuh.
Kardiomiopati peripartum (peripartum cardiomyopathy, PPCM)
adalahkeadaan kardiomiopati idiopatik yang berhubungan dengan
kehamilan.Penyakit ini bermanifestasi sebagai gagal jantung karena disfungsi
sistolik ventrikel kiri, biasanya terjadi selama 1 bulan terakhir kehamilan
sampai 5 bulan postpartum. Merupakan diagnosis eksklusi pada wanita tanpa
penyakit kardiovaskular lain, tidak harus disertai dilatasi ventrikel kiri, namun
fraksi ejeksi biasanya selalu <45%. (Ramachandran et al, 2011)
B. Epidemiologi
Penyakit kardiovaskuler menyebabkan sekitar 1/3 kasus kematian, menjadi
penyebab utama kematian pada wanita di seluruh dunia. Di Amerika Utara,
sekitar 38,2 juta wanita (34%) hidup dengan penyakit kardiovaskuler.
Beberapa jenis penyakit kardiovaskuler yang dialami wanita sama dengan pria,
yakni penyakit jantung koroner untuk kasus terbanyak, penyakit jantung katup,
penyakit jantung reumatik, penyakit pembuluh darah, kelainan irama jantung,
penyakit jantung kongenital dan penyakit yang mengenai miokardium
(Ramachandran et al, 2011)
Di Amerika Serikat, insidens penyakit kardiomiopati peripartum antara
1:4000 kehamilan, variasi ini diyakini akibat faktor genetik dan budaya
setempat. Walaupun secara definisi kardiomiopati peripartum dapat terjadi
sejak bulan terakhir kehamilan hingga 5 bulan pasca melahirkan, sekitar 60%
kasus terjadi dalam 2 bulan pertama masa nifas, hanya sekitar 7% kasus terjadi
pada trimester akhir periode kehamilan. Selain itu, kejadian PPCM 1:1000
19

(Afrika Selatan), dan 1:300 (Haiti). Di Asia didapati 1:1374 (Rumah Sakit
Tersier di India), 1:1000 (Jepang), 1:837 (Pakistan), 34:100000 (Malaysia)
(Ramachandran et al, 2011)
Analisis retrospektif di pusat kesehatan tersier di Singapura mendapatkan
insiden 0.89:1000 kelahiran hidup. Wanita keturunan Afrika-Amerika memiliki
risiko yang lebih tinggi, terutama disebabkan oleh tingginya prevalensi
hipertensi pada populasi ini. Wanita keturunan Afrika-Amerika memiliki angka
kejadian kardiomiopati peripartum 15,7 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
wanita bukan keturunan Afrika-Amerika. Kasus tertinggi dilaporkan di
Nigeria, sebesar 1% dari semua kelahiran hidup. Hal ini karena budaya orang
Nigeria yang mengharuskan setiap ibu postpartum memakan kanwa (garam
danau yang sudah dikeringkan) sembari tidur di atas tempat tidur dari tanah liat
yang dipanaskan 2 hari sekali selama 40 hari setelah melahirkan. Tingginya
masukan garam menyebabkan overload cairan. Kardiomiopati peripartum unik
untuk wanita hamil usia reproduktif. Di Amerika didapatkan umur rerata
penderita 31 6 tahun, sedangkan di India 31,81 3,7 tahun. Sebagai acuan,
umur rerata kejadian PPCM adalah wanita antara 19-38 tahun (Ramachandran
et al, 2011)
C. Etiologi
Secara garis besar, faktor risiko PPCM diidentifikasi berupa penyakit yang
menyebabkan gangguan kardiovaskuler, seperti hipertensi (tekanan darah
>140/90 mmHg setelah kehamilan minggu ke-20), diabetes melitus, dan
merokok. Sedangkan faktor risiko yang berhubungan dengan kehamilan antara
lain, umur saat hamil >32 tahun, multipara (>3 kali hamil), kehamilan
multifetal, preeclampsia, penggunaan obat-obatan untuk membantu proses
melahirkan, dan malnutrisi terutama obesitas (BMI >30). Ras yang merupakan
faktor risiko adalah Afrika-Amerika. Masih belum jelas apakah ras
merepresentasikan faktor risiko independen atau suatu interaksi dari
kebudayaan dan hipertensi yang meningkatkan risiko PPCM (Ramachandran
et al, 2011)
D. Patogenesis
20

Beberapa hipotesis telah diajukan namun tidak ada yang dapat menjadi
penjelasan utama bagi semua kasus PPCM. PPCM diketahui mempunyai
patogenesis yang melibatkan banyak faktor. yaitu:
1. Stres oksidatif
Data baru menunjukkan keterlibatan stres penelitian ini ditunjang
dengan data bahwa penekanan produksi prolaktin oleh agonis reseptor
dopamin D2 , bromokriptin, dapat mencegah terjadinya PPCM. Miokarditis
Selain stres oksidatif, infl amasi jantung disebut juga miokarditis, telah
diketahui berhubungan dengan PPCM. Salah satu penelitian hubungan
miokarditis dengan PPCM mengemukakan bahwa dari 26 pasien, 8 pasien
menunjukkan adanya viral genome pada biopsi miokardium. Virus tersebut
antara lain, parvovirus B19, human herpes virus 6, Epstein-Barr virus, dan
human cytomegalovirus. Penelitian itu berdasarkan hipotesis bahwa
perubahan sistem imun saat hamil dapat mengeksaserbasi infeksi de novo
atau mereaktivasi virus laten pada wanita hamil, menyebabkan miokarditis
yang berujung pada kardiomiopati. Marker inflamasi yang terdapat di serum
(termasuk soluble death receptor sFas/Apo-1), C-reactive protein, interferon
gama (IFN- (), dan IL-6, ditemukan meningkat pada penderita PPCM.
Mekanisme ini didukung dengan non-randomized trial pada 58 pasien
menggunakan pentoxifylline. Juga ditemukan bahwa kegagalan perbaikan
klinis behubungan dengan kadar IFN-() yang tetap tinggi; hal ini penting
sebagai faktor penentu prognosis PPCM.1 Infeksi virus pada jantung
merupakan salah satu etiologi yang mungkin menyebabkan inflamasi
peripartum (Ramachandran et al, 2011)
Beberapa penelitian melaporkan bahwa sejenis cardiotropic enterovirus
bertanggung jawab atas terjadinya PPCM. Autoimun Serum pasien PPCM
ditemukan mempengaruhi maturisasi sel dendrit in vitro, berbeda
dibandingkan dengan serum wanita postpartum sehat. Serum wanita PPCM
mengandung titer autoantibodi tinggi terhadap protein jaringan kardium
yang tidak terdapat pada pasien kardiomiopati idiopatik. Warraich dkk.
menyatakan bahwa tidak seperti yang ditemukan pada DCM, yaitu up-
21

regulation selektif G3 subclass immunoglobulin (IgG3s), pada PPCM


terdapat kenaikan kelas G dan semua subclass immunoglobulin terhadap
myosin heavy chain, oksidatif, prolactin-cleaving protease cathepsin D, dan
prolaktin pada patofisiologi PPCM. Stres oksidatif adalah suatu stimulus
poten untuk mengaktivasi Cathepsin D dan Matrix Metalloproteinase-2
(MMP-2), suatu enzim yang dapat menggenerasi prolaktin 16 kDa.
Belakangan ini ditemukan korelasi erat antara N-terminal brain natriuretic
peptide (NTproBNP), suatu marker tingkat stres dinding ventrikel dan gagal
jantung, prolaktin, dan marker untuk stres oksidatif (LDL teroksidasi) dan
infl amasi (interferon-gama) (Ramachandran et al, 2011)
2. Prolaktin, Prolaktin 16 Kda dan Katepsin D
Stres oksidatif sebagai trigger aktivasi cathepsin D dalam kardiomiosit
akan memotong prolaktin menjadi angiostatic and pro-apoptotic
subfragment. Pasien PPCM akut mempunyai kadar low density lipoprotein
(LDL) serum tinggi (suatu indikasi stres oksidatif tinggi) dan juga
peningkatan kadar serum katepsin D yang teraktivasi, prolaktin total dan
fragmen prolaktin 16kDa yang bersifat angiostatik. Pada penelitian mencit,
fragmen prolaktin 16 kDa mempunyai efek merusak kardiovaskular yang
dapat menjelaskan patofisiologi PPCM. Fragmen tersebut menginhibisi
proliferasi dan migrasi sel endotel, menginduksi apoptosis dan merusak
struktur kapiler yang telah terbentuk. Bentuk prolaktin ini meningkatkan
vasokonstriksi dan merusak fungsi kardiomiosit. Kadar prolaktin 16kDa
yang tinggi tanpa keadaan PPCM telah terbukti merusak mikrovaskuler
jantung, menurunkan fungsi jantung dan meningkatkan dilatasi ventrikel.
Efek prolaktin 16kDa berlawanan dengan efek kardioprotektif prolaktin
bentuk lengkap. Prolaktin 16kDa tidak berfungsi melalui reseptor prolaktin
bentuk lengkap. Pro-apoptotic serum markers (soluble death receptor
sFas/Apo-1) telah ditemukan kadarnya meningkat pada pasien PPCM.
Marker ini juga dapat memprediksi status fungsional, dan mortalitas
penderita PPCM. (Ramachandran et al, 2011)
3. Miokarditis
22

Selain stres oksidatif, inflamasi jantung disebut juga miokarditis, telah


diketahui berhubungan dengan PPCM. Salah satu penelitian hubungan
miokarditis dengan PPCM mengemukakan bahwa dari 26 pasien, 8 pasien
menunjukkan adanya viral genome pada biopsi miokardium. Virus tersebut
antara lain, parvovirus B19, human herpes virus 6, Epstein-Barr virus, dan
human cytomegalovirus. Penelitian itu berdasarkan hipotesis bahwa
perubahan sistem imun saat hamil dapat mengeksaserbasi infeksi de novo
atau mereaktivasi virus laten pada wanita hamil, menyebabkan miokarditis
yang berujung pada kardiomiopati. Marker inflamasi yang terdapat di serum
(termasuk soluble death receptor sFas/Apo-1), C-reactive protein, interferon
gama (IFN- (), dan IL-6, ditemukan meningkat pada penderita PPCM.
Mekanisme ini didukung dengan non-randomized trial pada 58 pasien
menggunakan pentoxifylline. Juga ditemukan bahwa kegagalan perbaikan
klinis behubungan dengan kadar IFN-() yang tetap tinggi, hal ini penting
sebagai faktor penentu prognosis PPCM. Infeksi virus pada jantung
merupakan salah satu etiologi yang mungkin menyebabkan inflamasi
peripartum. Beberapa penelitian melaporkan bahwa sejenis cardiotropic
enterovirus bertanggung jawab atas terjadinya PPCM (Ramachandran et al,
2011)
4. Autoimune
Serum pasien PPCM ditemukan mempengaruhi maturisasi sel dendrit in
vitro, berbeda dibandingkan dengan serum wanita postpartum sehat. Serum
wanita PPCM mengandung titer autoantibodi tinggi terhadap protein
jaringan kardium yang tidak terdapat pada pasien kardiomiopati idiopatik.
menyatakan bahwa tidak seperti yang ditemukan pada DCM, yaitu up-
regulation selektif G3 subclass immunoglobulin (IgG3s). Pada PPCM
terdapat kenaikan kelas G dan semua subkelas immunoglobulin terhadap
myosin heavy chain (Warraich, et al 2012)
Autoantibodi berasal dari sel fetal (microchimerism) (yang dapat
masuk ke dalam sirkulasi maternal), dan beberapa protein (seperti aktin dan
miosin) yang dilepaskan oleh uterus selama proses melahirkan telah
23

terdeteksi pada pasien PPCM. Autoantibodi ini bereaksi dengan protein


miokardium maternal yang kemudian menyebabkan PPCM.1,3,14
Multiparitas adalah faktor risiko PPCM, menyimpulkan adanya pajanan
terhadap antigen fetal atau paternal dapat menyebabkan respon infl amasi
miokardium abnormal (Ramachandran et al, 2011)
5. Genetik
The European Society of Cardiology mengklasifikasikan PPCM
sebagai suatu bentuk DCM nonfamilial dan nongenetik berhubungan
dengan kehamilan. Tetapi beberapa kasus PPCM telah terbukti berhubungan
dengan faktor genetik. Beberapa literatur melaporkan wanita PPCM
mempunyai ibu atau saudara perempuan didiagnosis PPCM, ada pula yang
melaporkan hubungan antara first-degree relative berjenis kelamin
perempuan. Ada juga yang melaporkan bahwa perempuan yang mempunyai
gen DCM (dilated cardiomyopahty), dapat berujung pada PPCM setelah
kehamilan karena adanya stres hemodinamik. Selain itu, terdapat hubungan
antara wanita dengan keluarga laki-laki yang mempunyai DCM. Penelitian
90 keluarga familial DCM dan PPCM mengungkapkan adanya causative
mutation yang dapat dideteksi lebih awal dengan penapisan. Penelitian
tersebut menemukan adanya mutasi (c.149A>G, p.Gln50Arg) di dalam gen
yang mengkode cardiac troponin C (TNNC1). Selain itu, adanya variasi
genetik dalam JAK/STAT signaling cascade juga dapat menjadi salah satu
penyebab PPCM.
E. Manifestasi klinis
Kehamilan normal dihubungkan dengan perubahan fisiologis sistem
kardiovaskuler seperti peningkatan volume darah, peningkatan kebutuhan
metabolik, anemia ringan, perubahan resistensi vaskuler dengan adanya dilatasi
ringan ventrikel dan peningkatan curah jantung. Karenanya, awal manifestasi
klinis PPCM mudah terselubung (Givertz et al, 2013)
Presentasi klinis PPCM kurang lebih sama dengan gagal jantung sistolik
sekunder terhadap kardiomiopati. Tanda dan gejala awal PPCM biasanya
menyerupai temuan normal fisiologis kehamilan, termasuk oedem pedis,
24

dyspneu deff ort, ortopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, dan batuk


persisten. Tanda dan gejala tambahan pasien PPCM adalah: abdominal
discomfort sekunder terhadap kongesti hepar, pusing, nyeri sekitar jantung dan
epigastrium, palpitasi, pada stadium lanjut didapat hipotensi postural,
peningkatan tekanan vena jugularis, murmur regurgitasi yang tidak ditemukan
sebelumnya, serta gallop S3 dan S4. Pada mayoritas pasien, 78% gejala
didapati pada 4 bulan setelah melahirkan, hanya 9% pasien menunjukkan
gejala pada bulan terakhir kehamilan. Tanda dan gejala paling sering dijumpai
pada saat pasien datang adalah dengan NYHA functional class III atau IV.
Kadang pasien datang dengan aritmi ventrikel atau cardiac arrest. Gejala
PPCM diklasifikasikan menggunakan sistem New York Heart Association
sebagai berikut :
1. Class I Keadaan tanpa gejala
2. Class II Gejala ringan hanya pada aktivitas berat
3. Class III Gejala dengan aktivitas ringan
4. Class IV Gejala pada saat istirahat Trombosis ventrikel kiri tidak jarang
ditemui pada pasien PPCM dengan LVEF< 35 % (Givertz et al, 2013)
F. Pemeriksaan Penunjang
Kardiomiopati peripartum merupakan diagnosis eksklusi hanya jika
seluruh kemungkinan mekanisme dasar penyakit jantung lain sebagai faktor
etiologi telah disingkirkan dengan analisis riwayat perjalanan penyakit,
pemeriksaan fisik yang terarah dan hasil pemeriksaan penunjang lainnya.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan antara lain
elektrokardiografi , ekokardiografi , dan pemeriksaan darah.
1. Elektrokardiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai dan memantau aktivitas
kelistrikan otot jantung secara non-invasif dengan tingkat akurasi cukup
tinggi. Dengan pemeriksaan EKG dapat dideteksi tanda adanya gagal
jantung dan faktor pencetus lain misalnya gangguan irama jantung
(takikarida ventrikular, takikardia supraventrikular dan sindroma
preeksitasi) serta abnormalitas segmen ST dan gelombang T.4 Hipertrofi
25

ventrikel kiri akibat gangguan fungsi sistolik dan diastolik jantung ditandai
dengan gambaran gelombang R di aVL >11 mm; atau R di V5-V6 >27
mm; atau S di V1+ R di V5/V6 >35 mm dengan depresi segmen ST dan
inversi gelombang T pada sadapan prekordial kiri dan lateral (LV Strain
pattern). Kasus gagal jantung kanan akibat berbagai sebab dapat disertai
dengan hipertrofi ventrikel kanan yang ditandai dengan gambaran EKG
deviasi aksis ke kanan (aksis > +110o ), tidak ditemukan adanya penyebab
deviasi sumbu jantung yang lain (misalnya defek konduksi interventrikular,
left posterior hemiblock), rasio gelombang R: S >1 pada sadapan prekordial
kanan (V1/V2) dan masih ditemukannya gelombang S dalam pada lead
prekordial kiri (V5/V6) (Givertz et al, 2013)
Pemeriksaan Holter kadang diperlukan untuk pasien gagal jantung
pada kardiomiopati peripartum dengan aritmia transien misalnya fibrilasi
atrial atau takikardi ventrikel. Foto rontgen toraks Pemeriksaan radiologi
dapat menilai ukuran jantung (kardiomegali), kondisi parenkim paru,
derajat kongesti, edema alveoli, edema interstitial, efusi pleura dan dilatasi
pembuluh darah lobus superior paru/sefalisasi. Perlu diingat pemeriksaan
rontgen toraks memberikan risiko cukup signifikan terhadap janin dalam
kandungan. Penggunaan teknik diagnostik ini sedapat mungkin dihindari
dan dalam keadaan terpaksa dapat dilakukan dengan menggunakan alat
pelindung regio abdomen ibu selama proses pengambilan gambar (Givertz
et al, 2013)
2. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai fungsi sistolik dan
diastolik pasien kardiomiopati peripartum dengan kondisi gagal jantung
kronik. Selain itu pemeriksaan ekokardiografi dapat digunakan untuk
mencari kemungkinan penyebab utama gagal jantung lain, misalnya
iskemia, kardiomiopati, gangguan katup jantung dan sebagainya. Pada
pemeriksaan ekokardiografi dapat ditemukan bukti disfungsi sistolik
ventrikel kiri dengan fraksi ejeksi< 45 % dan ditemukan regurgitasi mitral
(Givertz et al, 2013).
26

3. Pemeriksaan darah rutin


Pemeriksaankimia darah dan kadar elektrolit (natrium, kalium) sangat
penting dilakukan terutama untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya
aritmia. Pemeriksaan laboratorium lain dapat ditambahkan sesuai kondisi
klinis masing-masing pasien. Pemeriksaan biomarker jantung, seperti BNP
(brain natriuretic peptide) dan NT Pro-BNP (N-terminal pro-brain
natriuretic peptide), selain untuk kepentingan diagnosis, dapat juga
digunakan untuk pemantauan hasil terapi dan menilai prognosis (Okeke et
al, 2013)
G. Diagnosis
Kardiomiopati peripartum adalah diagnosis eksklusi, pasien harus telah
diperiksa dan disingkirkan penyebab lain gagal jantung selain kehamilan. Hal
ini untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis idiopathic dilated
cardiomyopathy (IDCM). Pertimbangan diagnosis PPCM biasanya pada masa
postpartum, sedangkan IDCM pada trimester ke-2 kehamilan. Kejadian
miokarditis banyak ditemukan pada PPCM, sehingga antigen dan antibodi
terhadap agen penyebab miokarditis dapat ditemukan, hal ini biasanya tidak
ditemukan pada IDCM. Ukuran jantung dapat kembali normal pada PPCM,
namun dapat juga menjadi progresif dan mempunyai prognosis buruk jika tidak
segera ditangani (Okeke et al, 2013)
Setelah berbagai etiologi telah disingkirkan, harus dipertimbangkan
kriteria berikut: keadaan kardiomiopati idiopatik, berhubungan dengan
kehamilan, bermanifestasi sebagai gagal jantung karena disfungsi sistolik
ventrikel kiri, biasanya terjadi selama 1 bulan terakhir kehamilan sampai 5
bulan masa postpartum, adalah diagnosis eksklusi, terjadi pada wanita tanpa
penyakit kardiovaskular lain, tidak harus disertai dilatasi ventrikel kiri, namun
fraksi ejeksi biasanya selalu< 45 % (Okeke et al, 2013)
Spektrum tanda dan gejala gagal jantung yang disebabkan oleh
kardiomiopati peripartum sangat bervariasi. Sekitar 50% pasien gagal jantung
sistolik bahkan tidak bergejala sama sekali. Pada pasien asimptomatik, salah
satu indikasi awal diagnosis ini hanya pada saat evaluasi kondisi janin
27

menggunakan monitor dan teknik ultrasonografi fetal. Presentasi klinis dan ciri
hemodinamik pasien kardiomiopati peripartum tidak bisa dibedakan dari
kondisi kardiomiopati dilatasi dan gagal jantung sistolik yang disebabkan
etiologi lain. Diagnosis gagal jantung pada kardiomiopati peripartum dibuat
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terarah. Pasien akan
mengalami penurunan kapasitas latihan, takipnea, palpitasi/takikardia, tekanan
nadi yang sempit dan merasa mudah lelah (Johnson et al, 2012)
Gangguan perfusi jaringan otak akibat kurangnya cardiac output akan
bermanifestasi sebagai rasa pusing dan melayang, bahkan kadang berupa
penurunan kesadaran (syncope), terutama pada aktivitas fisik berlebihan. Pada
gagal jantung tingkat lanjut dengan gejala kongesti berat dapat ditemukan nyeri
perut, anorexia, batuk, susah tidur dan gangguan mood. Pasien kardiomiopati
peripartum akan mengalami tanda dan gejala khas gagal jantung kronik.
Namun perlu diingat bahwa fatigue, gejala sesak nafas saat beraktivitas dan
edema kaki wajar ditemukan pada wanita hamil mulai trimester ke-2 hingga
tahap akhir, sehingga kondisi kardiomiopati dilatasi akan lebih sulit dideteksi
hanya melalui gejala klinis (Johnson et al, 2012)
Gejala klinis lain yang merupakan tanda peringatan pada pasien
kardiomiopati peripartum antara lain nyeri dada tidak spesifik, rasa tidak
nyaman abdomen, distensi perut, batuk, hemoptisis, tanda edema paru,
orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea yang biasanya terjadi pada
wanita yang mungkin telah memiliki kelainan jantung sebelumnya. Sebagian
besar kardiomiopati peripartum berada pada kondisi NYHA (New York Heart
Association) kelas fungsional III-IV saat pertama kali datang ke tenaga
kesehatan. Tanda fisik pasien gagal jantung akibat kardiomiopati dilatasi pada
masa peripartum bervariasi tergantung derajat kompensasi, tingkat kronisitas
(gagal jantung akut dibandingkan dengan gagal jantung kronik), dan
keterlibatan ruang jantung (jantung sebelah kiri atau kanan) (Mishra et al,
2013)
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan konfigurasi jantung dan hepar
yang membesar dengan tingginya tekanan vena sistemik. Tanda fi sik overload
28

cairan atau kongesti yang dapat ditemukan pada pasien dengan gagal jantung
kronik antara lain ronkhi basah pada auskultasi paru, tanda efusi pleura,
distensi/peningkatan tekanan vena jugularis, asites, hepatomegali, edema
perifer, bising sistolik sebagai tanda adanya regurgitasi mitral akibat dilatasi
masif lumen ventrikel dan atrium kiri, serta gallop S3 pada auskultasi akibat
peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri pada penurunan fungsi
ventrikel kiri akibat dilatasi. Gangguan perfusi perifer terutama pada pasien
gagal jantung tingkat lanjut dengan penyakit penyerta anemia, dapat dilihat
melalui pemeriksaan ekstremitas yang teraba dingin, pucat, sianosis, dan
pemanjangan waktu pengisian kapiler (Mishra et al, 2013)
Khusus pada pasien kardiomiopati peripartum, dapat ditemukan tanda
bergesernya perabaan ictus cordis ke arah lateral dan bising ejeksi sistolik di
tepi kiri sternum akibat regurgitasi mitral. Selain itu tanda embolisasi organ
perifer tubuh misalnya ekstremitas bawah, usus dan otak dapat terjadi akibat
trombus yang terbentuk di ventrikel kiri yang berdilatasi. Pada kasus jarang
dapat pula terjadi emboli paru akibat terlepasnya trombus yang terbentuk di
ventrikel kanan yang berdilatasi (McNamara, 2011)
Kriteria Framingham (tabel 1) dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis
gagal jantung menggunakan kriteria klinis (anamnesis dan pemeriksaan fisik).
Diagnosis ditegakkan jika didapatkan 2 gejala mayor pada pemeriksaan klinis
atau minimal terdapat 1 gejala mayor dengan 2 gejala minor yang terpenuhi
(Mishra et al, 2013)
29

Pemeriksaan laboratorium pada PPCM biasanya tidak menunjukkan


abnormalitas kecuali telah terjadi komplikasi hipoksia lanjut. Pemeriksaan
dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial seperti
preeclampsia dan noncardiogenic pulmonary edema. Noncardiogenic
pulmonary edema selama kehamilan adalah suatu keadaan tekanan onkotik
rendah, digambarkan dengan penurunan kadar albumin serum (kadar yang
diharapkan ~3,2 mg/dL); sehingga ketika ada stressor lain, dapat terjadi edema
pulmonar dengan tekanan pengisian jantung normal; trigger paling sering
antara lain pyelonephritis dan infeksi lain, corticosteroids, dan tocolytics
seperti beta agonists dan magnesium sulfat (McNamara, 2011)
Pemeriksaan rontgen thoraks dapat untuk menegakkan diagnosis secara.
Dispnea akut, takikardia atau hipoksia, harus disertai Ro thorax untuk
mendeteksi edema pulmoner, mencari etiologi dan menyingkirkan pneumonia;
dilaksanakan dengan menggunakan pelindung abdomen. Fetal radiation
exposure dengan 2 maternal chest radiographs menggunakan abdominal
shielding adalah sekitar 0.00007 rads. Sedangkan batasan yang diterima untuk
fetal radiation exposure selama kehamilan adalah 5 rads. Patchy infiltrates di
daerah paru bawah, dengan vascular redistribution, kardiomegali, dan efusi
pleura, mengindikasikan adanya gagal jantung kongestif. Harus
dipertimbangkan bahwa noncardiogenic pulmonary edema dapat ditemukan
jika wanita hamil terkena infeksi berulang, juga pada keadaan tekanan jantung
normal dan tidak ditemukan adanya cephalization pembuluh darah (Patten et
al, 2012)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) Lebih akurat untuk menilai volume
ruang jantung dan fungsi ventrikel dibandingkan ekokardiografi , juga lebih
sensitif untuk melihat trombus. Magnetic resonance imaging dapat mengukur
kontraksi miokard secara segmental dan dapat mengidentifi kasi perubahan
miokard secara detail. Magnetic resonance imaging menggunakan gadolinium
jauhlebih sensitif untuk menyingkirkan diagnosis PPCM dari miokarditis
30

lainnya, tetapi gadolinium harus dihindari pada wanita hamil (Patten et al,
2012)
H. Tatalaksana
Penatalaksanaan medis PPCM secara garis besar sama dengan terapi
Congestive Heart Failure (CHF) karena disfungsi sistolik, dengan pengecualian
pemberian terapi pada ibu hamil harus dipikirkan efek toksisitas pada
janin.Tujuan utama terapi pasien kardiomiopati peripartum dengan gagal
jantung kronik adalah memperbaiki gejala, memperpanjang angka harapan
hidup, meningkatkan status fungsional, mempertahankan kualitas hidup,
mencegah progresivitas penyakit, mencegah rekurensi, dan menurunkan angka
mortalitas. Penanganan pasien kardiomiopati peripartum dengan tanda dan
gejala gagal jantung kronik dapat menggunakan dua pendekatan klinis, yakni
terapi non-medikamentosa dan terapi medikamentosa (Hardawayet al, 2009).
Terapi non-medikamentosa yang dapat dilakukan antara lain edukasi
pasien, melakukan aktivitas fisik yang sesuai dengan kondisi klinis, intervensi
diet dengan pembatasan konsumsi garam, mencegah asupan cairan berlebih,
menghindari penggunaan obat golongan NSAID tanpa indikasi mutlak.
Pembatasan garam kurang dari 2 g/ hari dapat mencegah retensi air danrestriksi
cairan kurang dari 2 L/hari mungkin diperlukan pada kasus PPCM berat
(Hardawayet al, 2009).
Secara umum, penanganan medikamentosa pada pasien kardiomiopati
peripartum dengan gejala gagal jantung meliputi kontrol kadar garam dan
cairan dalam sirkulasi untuk mencegah retensi cairan menggunakan diuretik
dan meminimalisir progresivitas penyakit melalui inhibisi remodeling otot
jantung menggunakan agen modulator sistem neurohormonal.Oksigen dapat
diberikan lewat face mask atau continuous positive airway pressure (CPAP)
dengan tekanan 5-7,5 cm H2 O untuk membantu meringankan cardiac output
dan mendapatkan saturasi oksigen arteri 95%.Sindrom gagal jantung pada
pasien kardiomiopati peripartum ditatalaksana sesuai panduan terapi gagal
jantung akut maupun kronis dengan beberapa pengecualian. Tata laksana
medikamentosa yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
31

1. Terapi angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-I)


Obat ini merupakan terapi lini pertama pada wanita postpartum, tetapi
kontraindikasi pada ibu hamil. Karena mempunyai efek teratogenik pada
trimester kedua dan ketiga, yaitu hubungan peningkatan angka abortus,
fetopati karena hipotensi fetus, oligohidramnion, dan renal tubular
dysplasia. Obat golongan ini terbukti dapat menurunkan angka morbiditas,
mortalitas dan angka hospitalisasi pada pasien dengan gangguan fungsi
sistolik ventrikel kiri. Obat ini bekerja melalui modulasi sistem
neurohumoral dengan cara menurunkan kadar angiotensin II, norepinefrin
dan aldosteron sehinggamencegah progresivitas remodeling otot jantung.
Golongan ACE-I juga memiliki efek menaikkan kadar bradikinin sehigga
memperbaiki fungsi vaskular dan hemodinamik pasien dengan gagal
jantung kronik (Shah et al, 2013).
Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan ACE-I antara lain
hipotensi, insufi siensi ginjal dan hiperkalemia sehingga monitoring tekanan
darah, kadar elektrolit dan fungsi ginjal (BUN dan kreatinin serum) harus
sering dilakukan dalam terapi jangka panjang khususnya pada pasien dengan
penyakit penyerta. Efek samping lain berupa batuk kering (akibat efek
bradikinin) dan pada kasus jarang dapat menyebabkan angioedema. Dosis
ACE-I dimulai dari dosis kecil kemudian dinaikkan bertahap hingga
mencapai target dosis optimal terapi (Ramaraj et al, 2010)

2. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)


32

ARB juga dikontraindikasikan pada saat kehamilan karena efek


toksisitasnya pada janin.Obat ini merupakan antagonis spesifik reseptor
angiotensin II tipe 1. Obat golongan ini biasa digunakan sebagai obat
antihipertensi, namun penggunaan pada gagal jantung kronik makin
meningkat karena sama seperti golongan ACE-I, obat golongan ini dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.Penggunaan dan
pemantauanobat golongan ARB sama dengan golongan ACE-I, pemeriksaan
kadar kalium dan kreatinin serum harus dilakukan secara berkala pada terapi
jangka panjang. ARB digunakan apabila pasien intoleran terhadap efek
samping ACE-I, namun secara klinis obat golongan ini lebih sering dipakai
karena dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping obat golongan ARB
sebagian besar sama dengan yang ditimbulkan oleh golongan ACE-I
(hipotensi, insufi siensi ginjal dan hiperkalemia) dengan insidensi lebih
rendah. Kombinasi ACE-I dan ARB dapat memberikan keuntungan pada
pasien gangguan ginjal dengan proteinuria masif, namun terapi kombinasi
ini masih bersifat kontroversial karena dapat memperberat efek samping
(Ramaraj et al, 2010).

3. Kombinasi Hydralazine dan Isosorbid Dinitrat


Obat golongan ini merupakan terapi lini pertama pasien
kardiomiopati peripartum dengan gejala gagal jantung untuk mengurangi
afterload. Kombinasi obat ini sekarang sudah tersedia dalam fixed dose
combination (FDC) dan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas,
khususnya pada pasien gagal jantung (terutama NYHA kelas fungsional
III-IV) keturunan Afrika-Amerika. Kedua obat ini merupakan golongan
33

vasodilator. Isosorbid dinitrat bekerja sebagai venodilator dan


hidralazin sebagai arteriodilator. Selain itu, pada pasien yang mengalami
angioedema, gagal ginjal berat atau kehamilan yang tidak mungkin diberi
obat golongan ACE-I atau ARB, dapat digunakan kombinasi hidralazine
dan isosorbid dinitrat. Efek samping yang mungkin timbul oleh
penggunaan hidralazine antara lain takikardia refleks dan sindrom mirip-
lupus, sedangkan penggunaan nitrat jangka panjang dapat menimbulkan
toleransi serta menyebabkan sakit kepala dan flushing wajah (Shah et al,
2013)
4. Beta Blocker
Obat golongan ini awalnya dikontraindikasikan pada pasien gagal
jantung karena dapat menurunkan fungsi miokardium akibat sifat inotropik
dan kronotropik negatif terutama pada fase akut. Namun, berdasarkan
penelitian klinis baru-baru ini, penggunaan beta-blocker pada gagal
jantung fase kronik terbukti dapat memberikan keuntungan pada angka
mortalitas, sehingga obat ini sekarang menjadi lini pertama terapi jangka
panjang pasien gagal jantung (NYHA kelas fungsional II atau III) yang
memiliki gejala. Mekanisme kerja golongan obat ini dalam menurunkan
angka mortalitas pasien gagal jantung tidak diketahui pasti, namun
diyakini memberikan efek positif terhadap modulasi sistem aksis
neurohumoral. Obat golongan BB disarankan untuk pasien yang
hemodinamik sudah stabil dan tidak ada kontraindikasi (misalnya, asma
bronkial atau gangguan konduksi jantung) dengan dosis awal kecil,
dititrasi perlahan dalam 2-4 minggu selama 3-4 bulan hingga mencapai
dosis target. Obat golongan ini baru memberikan efek positif setelah terapi
2-3 bulan (De Jong et al, 2011).
Beta-blocker juga dapat dikombinasikan dengan obat-obatan jangka
panjang lain untuk terapi gagal jantung. Obat golongan BB tidak boleh
dihentikan mendadak walau pasien sudah tidak ada gejala karena dapat
menimbulkan perburukan status klinis tibatiba. Efek samping yang
mungkin timbul pada pengunaan obat golongan BB antara lain nyeri
34

kepala, dizziness, bradikardia, blok konduksi jantung, hipotensi, dan


perburukan klinis gagal jantung pada pasien dengan profil hemodinamik
buruk. Beta-blocker yang disarankan untuk pasien gagal jantung adalah
yang bersifat kardioselektif, antara lain carvedilol, metoprolol suksinat,
bisoprolol dan atenolol. Sedangkan beta bloker lain yang bersifat tidak
kardioselektif (asebutolol, propanolol, pindolol, nebivolol), tidak
bolehdigunakan untuk pasien gagal jantung yang sedang hamil karena
dapat mengganggu sirkulasi uteroplasental. Pada wanita yang
mendapatkan terapi menggunakan obat golongan penyekat beta selama
kehamilan, maka bayi yang baru dilahirkan harus diawasi selama 24-48
jam untuk menyingkirkan adanya tanda hipoglikemia, gangguan depresi
pernafasan dan bradikardia (De Jong et al, 2011).
5. Diuretik
Obat golongan ini hanya digunakan jika terdapat gejala kongesti,
karena jika penggunaannya tidak tepat, dapat menimbulkan kondisi
hipovolemia yang berbahaya terhadap aliran darah menuju plasenta dan
janin. Penggunaan diuretik bertujuan mengurangi kelebihan cairan dan
garam agar dapat mempertahankan status euvolemia. Pasien dengan status
cairan dan preload yang baik akan mengalami perbaikan gejala klinis
sehingga dapat meningkatkan kapasitas latihan dan kualitas hidup.
Penggunaan diuretik berlebihan dapat menyebabkan hipovolemia
(berkurangnya perfusi organ perifer akibat gagal ginjal) dan gangguan
kadar elektrolit darah yang dapat menimbulkan aritmia. Pasien gagal
jantung yang tidak mengeluhkan gejala dan tidak terbukti ada tanda
overload cairan dapat tanpa diuretik. Resistensi diuretik merupakan suatu
kondisi pasien masih mengalami retensi cairan walaupun sudah
mendapatkan terapi restriksi cairan, garam dan terapi diuretik dosis
optimal. Pada kasus ini sebaiknya digunakanterapi kombinasi diuretik dari
beberapa golongan dan menggunakan regimen infus intravena secara
berkesinambungan untuk memperbaiki gejala overload cairan. Apabila
dengan metode ini masih tidak berhasil mengurangi gejala kongesti, dapat
35

digunakan teknik ultrafiltrasi yang hanya bisa dilakukan di pusat rujukan.


Furosemid dan hidroklorotiazid merupakan obat golongan diuretik yang
terbukti cukup aman karena tidak bersifat teratogenik dan paling sering
digunakan pada kondisi kehamilan (De Jong et al, 2011).
6. Antagonis Reseptor Aldosteron (spironolakton dan eplerenon)
Termasuk ke dalam golongan diuretik potensi lemah hemat kalium.
Penggunaan obat golongan ini sebaiknya dihindari selama periode
kehamilan karena memiliki sifat antiandrogen terhadap janin jika
digunakan pada trimester pertama. Aldosteron antagonis digunakan untuk
pasien gagal jantung tahap lanjut pasca melahirkan jika obat golongan
ACE-I/ARB dan diuretik loop tidak memberikan respons adekuat.
Spironolakton diindikasikan pada pasien gagal jantung sistolik tingkat
lanjut (NYHA kelas fungsional III-IV dan fraksi ejeksi 5 mEq/L).
Sedangkan eplerenon diindikasikan pada pasien gagal jantung (fraksi
ejeksi 45%) akibat infark miokard. Penggunaan eplerenonjarang
menimbulkan efek samping sehingga lebih baik ditoleransi. Jika
menggunakan diuretik hemat kalium, suplementasi kalium sebaiknya
dihindari karena dapat menimbulkan hiperkalemia. Pemantauan kadar
kreatinin dan kalium sebaiknya rutin setiap 1-2 minggu setelah terapi
dimulai. Efek samping spironolakton terutama adalah hiperkalemia
(terutama pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan diabetes
mellitus), ginekomastia, dan galaktorea (De Jong et al, 2011).
7. Inotropik
Dopamin, dobutamin dan levosimendan merupakan obat golongan
inotropik yang dapat digunakan dengan aman pada pasien hamil dengan
kondisi hemodinamik tidak stabil misalnya gagal jantung akut. Dopamin
dan dobutamin diberikan dengan dosis 2-20 g/kgBB/menit secara
intravena dosis titrasi sedangkan levosimendan diberikan dengan dosis
awal 24 g/kgBB bolus intravena selama 10 menit serta dosis rumatan 0,1
g/kgBB/ menit secara infus intravena selama 24 jam pertama. Selain itu,
digitalis yang merupakan obat inotropik positif dan kronotropik negatif
36

juga dapat digunakan secara aman pada pasien hamil untuk meningkatkan
kualitas profil hemodinamik dan memperbaiki gejala klinis, baik pada saat
istirahat atau saat beraktivitas. Digitalis diindikasikan pada pasien gagal
jantung yang disertai fibrilasi atrium dan aman digunakan untuk
menurunkan angka hospitalisasi secara signifi kan. Obat golongan digitalis
di Indonesia adalah digoksin dengan dosis 0,125 mg/hari pada pasien
gagal jantung dengan fungsi ginjal normal. Efek samping digoksin
berhubungan dengan fungsi ginjal yang buruk dan hipokalemia (De Jong
et al, 2011)
8. Suplementasi kalium
Pasien gagal jantung yang diberi terapi diuretik loop sering
mengalami hipokalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia dan defi siensi
tiamin. Secara umum suplementasi kalium dapat diberikan pada pasien
untuk mempertahankan kadar kalium darah berkisar antara 4,0-5,0 mEq/L.
Suplementasi kalium harus lebih hati-hati pada pasien yang mendapat
terapi ACE-I, antagonis aldosteron dan insufi siensi ginjal karena sering
mengalami hiperkalemia yang dapat menyebabkan aritmia (Lata et al,
2014).

9. Antikoagulan
Periode peripartum merupakan suatu kondisi peningkatan aktivitas
prokoagulan, sehingga obat golongan antikoagulan harus digunakan secara
hati-hati sesaat setelah melahirkan, namun dapat segera diberikan setelah
perdarahan dapat ditangani. Antikoagulan harus diberikan pada pasien
gagal jantung dengan fraksi ejeksi sangat rendah karena trombus
intramural ventrikel kiri dan embolisme perifer terutama emboli otak
sering terjadi pada kardiomiopati dilatasi. Selain itu, pasien gagal jantung
dengan fi brilasi atrial baik paroksismal maupun persisten harus diberi
antikoagulan secara adekuat untuk mencegah stroke emboli (Lata et al,
2014).
37

Obat golongan antikoagulan yang sering dipakai pada kondisi ini


antara lain LMWH (low molecular weight heparin) atau antagonis vitamin
K oral (warfarin), tergantung tahapan periode kehamilan pasien. LMWH
direkomendasikan digunakan pada trimester pertama dan periode akhir
kehamilan (usia kehamilan >36 minggu), sedangkan warfarin digunakan
mulai awal trimester ke-2 kehamilan hingga usia kehamilan mencapai 36
minggu. LMWH diberikan secara injeksi subkutan dengan dosis 1
mg/kgBB setiap 12 jam dengan evaluasi kadar faktor anti-Xa, sedangkan
warfarin diberikan secara oral dengan target INR berkisar antara 2,0-3,0
(Lata et al, 2014)
Selanjutnya untuk terapi mekanik akan melibatkan tenaga ahli dalam
pengambilan keputusan. Terapi ini melibatkan pembedahan, terapi mekanik
dan intervensi invasif minimal misalnya pemasangan IABP (Intra Aortic
Baloon Counterpulsation) dan LVAD (Left Ventricular Assisst Device)
terutama pada pasien dengan kondisi hemodinamik tidak stabil. Mengingat
prognosis kardiomiopati peripartum berbeda dengan kondisi kardiomiopati
dilatasi lainnya, karena pada sekitar 50% pasien mengalami perbaikan fungsi
ventrikel kiri dalam waktu 6 bulan setelah diagnosis, maka pengambilan
keputusan untuk menggunakan terapi mekanik harus benar-benar dievaluasi
dengan baik (Habliet al, 2012).
Pada pasien hamil dengan kondisi gagal jantung berat disertai status
hemodinamik yang tidak stabil, terminasi kehamilan tanpa memandang usia
gestasi harus segera dilakukan melalui tindakan operasi menggunakan
kombinasi teknik anestesi spinal dan epidural. Kelahiran prematur dialami oleh
sekitar 17% pasien tanpa efek negatif terhadap bayi. Sedangkan pada pasien
dengan kondisi hemodinamik stabil tanpa komplikasi obstetrik, metode
melahirkan per vaginam lebih disukai menggunakan teknik anestesi epidural
dan monitoring hemodinamik secara ketat. Setelah melahirkan, sebagian besar
pasien akan mengalami perbaikan status hemodinamik, sehingga terapi standar
gagal jantung dapat segera dimulai (Habliet al, 2012).
38

Untuk wanita dengan gejala dan tanda disfungsi ventrikel kiri berat
dengan durasi QRS >120 ms setelah 6 bulan diagnosis awal ditegakkan
walaupun sudah diterapi optimal menggunakan pendekatan farmakologis,
disarankan terapi teknik cardiac resynchronization therapy (CRT) dan
pemasangan implantable cardioverter defibrillator (ICD) Transplantasi jantung
merupakan pilihan terakhir pada pasien dengan disfungsi berat ventrikel kiri,
yang tidak mungkin menggunakan, tidak menginginkan alat bantu sirkulasi
mekanik untuk alasan tertentu atau tidak memberikan respons klinis yang
positif setelah 6-12 bulan terapi dengan menggunakan modalitas terapi
mekanik ini (Habliet al, 2012).
I. Prognosis
Prognosis pasien setelah mengalami kardiomiopati peripartum bervariasi
tergantung dari derajat disfungsi sistolik ventrikel kiri saat diagnosis awal
ditegakkan. Secara umum prognosis lebih baik dibandingkan dengan
kardiomiopati noniskemik akibat penyebab lain. Sekitar 50-60% wanita akan
mengalami perbaikan fungsi kontraktil ventrikel kiri serta ukuran dimensi
ruang jantung dalam 6 bulan setelah melahirkan dan berlanjut 2 hingga 3 tahun
berikutnya. Sisanya akan mengalami disfungsi ventrikel kiri menetap atau
mengalami perburukan kondisi klinis walaupun sudah diterapi optimal dengan
perkiraan tingkat kematian maternal berkisar antara 10-50% terutama dalam
periode 3 bulan pasca melahirkan jika tidak dilakukan transplantasi jantung
(Mandras, 2009)
Pasien dengan kondisi kardiomegali persisten setelah 6 bulan diagnosis
memiliki angka kematian sekitar 85% dalam 5 tahun. Pasien dengan dimensi
sistolik akhir ventrikel kiri kurang dari 5,5 cm, fraksi ejeksi ventrikel kiri lebih
dari 30% dan kadar troponin jantung rendah pada saat pemeriksaan awal,
memiliki prognosis lebih baik. Wanita yang telah terdiagnosis kardiomiopati
peripartum dan mengalami disfungsi sistolik ventrikel kiri menetap setelah
melahirkan akan menghadapi risiko tinggi komplikasi kardiovaskular jika
kembali hamil, sehingga sebaiknya menghindari kehamilan berikutnya.58
Selain itu, wanita yang pernah terdiagnosis dengan kardiomiopati peripartum
39

tetap memiliki risiko rekurensi dengan insidensi 30- 50%, walaupun fungsi
ejeksi sistolik ventrikel kiri sudah kembali normal (Habliet al, 2014).
Angka mortalitas dan morbiditas pasien dengan PPCM berbeda antara
USA, Haiti, dan Afrika Selatan. Faktor prediksi mortalitas independen yang
masih perlu dipelajari lebih lanjut adalah gejala, kelas NYHA, LVEF, durasi
QRS, dan onset lambat. Pada penelitian Sliwa, et al (2013) angka mortalitas
untuk 29 wanita berkisar antara 32%, sedangkan pada penelitian besar pada
populasi di Haiti oleh Fett, et al (2012) angka mortalitas berkisar antara 15,8%.

Daftar Pustaka

Carson MP. Peripartum cardiomyopathy [Internet]. 2014 October 6. Available


from: http://emedicine.medscape.com/article/153153-overview.

Chopra S, Verghese PP, Jacob JJ. Bromocriptine as a new therapeutic agent


for peripartum cardiomyopahty. Indian J Endocrinol Metabolism
2012; 16(7): 60-2.

De Jong JSSG, Rietveld K, van Lochem LT, Bouma BJ. Rapid left ventricular
recovery after cabergoline treatment in a patient with peripartum
cardiomyopathy; A case report. Eur J Heart Failure 2011; 11: 220-2.

Fett, Hilfi ker-Kleiner D, Petrie MC, Mebazaa A, Pieske B, Buchmann E, et


al. Position statement on current state of knowledge on etiology,
diagnosis, management, and therapy of peripartum cardiomyopathy:
A position statement from the heart failure association of the
European society of cardiology working group on peripartum
cardiomyopathy. 2012. Eur J Heart
40

Givertz MM. Perpartum cardiomyopathy. Circulation 2013; 127: 622-6.

Habli M, OBrien T, Nowack E, Khoury S, Barton JR, Sibai B. Peripartum


cardiomyopathy: prognostic factors for long-term maternal outcome.
Am J Obstet Gynecol 2014;199:415 e411e415.

Hardaway B., Tang W.H.W. Heart Failure With Systolic Dysfunction. Dalam.
Griffi n B.P., Topol E.J., Nair D., Ashley K., editor. Manual of
Cardiovascular Medicine Third Edition. USA : Lippincott Williams
& Wilkins, 2009; Hal 105 122.

Johnson-Coyle L, Jensen L, Sobey A. Peripartum cardiomyopathy: Review


and practice guidelines. Am J Crit Care 2012; 21: 89-98.

Lata I, Gupta R, Sahu S, Singh H. Emergency management of decompensated


peripartum cardiomyopathy. J Emergency, Trauma and Shock 2014;
2(2) 124-8.

Mandras S. Cardiovascular Diseases in Special Population. Dalam. Cuculich


P.S., Kates A.M., Henderson K.E., De Fer T.M, editor. The
Washington Manual Subspeciality Consult Series Cardiology. China
: Lippincott Williams & Wilkins, 2009; Hal 380-401.

McNamara DM. Treatment of peripartum cardiomyopathy. 2nd Virtual


Congress of Cardiology 2011.

Mishra VN, Mishra N, Devanshi. Review article: Peripartum cardiomyopathy.


JAPI 2013; 61:268-73.

Okeke TC, Ezenyeaku CCT, Ikekako LC. Peripartum cardiomyopathy. Ann


Med Health Sci Res 2013; 3(3): 313-19.

Patten IS, Rana S, Shahul S, Rowe GC, Jang C, Liu L, et al. Cardiac
angiogenic imbalance leads to peri-partum cardiomyopathy. Nature
2012; 485(7398): 333-8. doi: 10.1038/nature11040

Ramachandran R, Rewari V, Trikha A. Anaesthetic management of patients


with peripartum cardiomyopahty. J ObstetrAnaesth and Crit Care
2011; 1(1):5-12.

Ramaraj R, Sorell VL. Peripartum cardiomyopathy: Causes, diagnosis, and


treatment. Cleveland Clin J Med 2009; 76(5): 289-96.

Shah T, Ather S, Bavishi C, Bambhroliya A, Ma T, Bozkurt B. Peripartum


Cardiomyopathy: A contemporary review. Methodist Debakey
Cardiovasc J. 2013 Jan-Mar; 9(1): 3843.
41

Sliwa K, et al. 2013. Position statement on current state of kowledge on


aetiology, diagnosis, management, and therapy of peripartum
cardiomyopathy: a position statement from the Heart Failure
Association of the European Society of Cardiology Working Group
on Peripartum Cardiomyopathy. European J. Heart Failure;12:767-
78. http://eurjhf.oxfordjournals.org/content/12/8/767.full.pdf+html

You might also like