You are on page 1of 22

Mulai Hal 15

E. Folikel Praovulatorik
Sel-sel granulosa dalam folikel praovulatorik membesar dan memperoleh inklusi
lipid sedangkan teka mngalami vakuolisasi dan sangat granuler, sehingga folikel
praovulatorik tampak hiperemik. Oosit melanjut mengalami mengalami miosis,
mendekati akhir pembelahan reduksinya.
Mendekati maturitas, folikel praovulatorik memproduksi jumlah estrogen yang
makin banyak. Selama fase folikuler lanjut, pertama-tama estrogen meningkat perlahan-
lahan, kemudian dengan cepat, mencapai puncak sekitar 24-36 jam sebelum ovulasi.
Onset peningkatan tajam LH terjadi saat kadar puncak estradiol tercapai. Dalam
menyediakan stimulus ovulatorik untuk folikel terpilih, peningkatan tajam LH menutup
nasib folikel-folikel yang tersisa, dengan kadar estrogen dan FSH-nya yang lebih rendah,
dengan semakin meningkatkan superioritas androgen.
Dengan bekerja melalui reseptornya sendiri, LH mendorong luteinisasi granulosa
dalam folikel yang dominan dan menyebabkan produksi progesteron. Reseptor LH,
setelah diekspresikan, menghambat pertumbuhan sel lebih lanjut dan memfokuskan
energi sel pada steroidogenesis (aksi yang diperbaiki oleh IGF). Peningkatan dalam
progesteron dalam dideteksi dalam efluen fenosa ovarium yang membawa folikel
praovulatorik sedini hari 10 silkus. Peningkatan kecil namun bermakna dalam produksi
progesteron pada masa praovulatorik ini memiliki arti fisiologis yang sangat penting.
Sebelum munculnya progesteron folikuler ini, kada progesteron dalam sirkulasi diperoleh
dari kelenjar adrenal.
Reseptor-reseptor progesteron mulai tampak dalam sel-sel granulosa folikel
dominan pada masa praovulatorik. Data-data eksperimental pada monyet memberi bukti
yang baik bahwa LH merangsang ekspresi reseptor-reseptor progesteron dalam sel-sel
granulosa. Data-data in vitro menggunakan sel-sel manusia menunjukkan bahwa
progesteron praovulatorik dan ekspresi reseptor-reseptor progesteron secara langsung
menghambat mitosis sel granulosa, mungkin menjelaskan keterbatasan proliferasi sel
granulosa saat sel-sel ini memperoleh reseptor LH.
Progesteron mempengaruhi respon umpan balik positif terhadap estrogen dengan
cara yang bergantung pada waktu dan dosis. Jika diberikan setelah pematangan estrogen
yang adekuat, progesteron memfasilitas respon umpan balik positif, dalam aksi langsung
pada pituitari, dan pada adanya kadar estradiol di bawah ambang batas dapat menginduksi
peningkatan tajam LH yang khas. Karena itu, onset ovulasi yang mengejutkan kadang-
kadang dapat dijumpai pada wanita amenorik anovulatorik yang mendapat tes progestin.
Jika diberikan sebelum stimulus estrogen, atau dalam dosis tinggi (mencapai kadar dalam
darah lebih dari 2 mg/mL), progesteron memblokade peningkatan tajam LH pada
pertengahan siklus.
Progesteron dalam kadar rendah yang sesuai diperoleh dari folikel yang mengalami
maturasi ikut berperan bagi ketepatan sinkronisasi peningkatan tajam pada pertengahan
siklus. Disamping kerja fasilitatoriknya pada LH, progesteron pada pertengahan siklus
sangat bertanggung jawab untuk peningkatan tajam LH. Aksi progesteron ini dapat
dipandang sebagai satu langkah lebih lanjut dalam memastikan selesainya kerja FSH pada
folikel, terutama memastikan sebuah komplemen penuh reseptor-reseptor LH terdapat
dalam lapisan granulosa. Dalam situasi-sutuasi eksperimental tertentu, peningkatan
estradiol secaar bertahap saja dapat memicu peningkatan tajam LH dan FSH yang
stimulan, menunjukkan bahwa progesteron memank memperbaiki efek estradiol tetapi
tidak bersifat obligatorik. Namun demikian, blokade sintesis atau aktivitas progesteron
pada pertengahan siklus pada monyet mengganggu proses ovulatorik dan luteinisasi.
Kerja estrogen dan progesteron ini memerlukan adanya kerja GnRH yang berlanjut.
Masa praovulatorik dikaitkan dengan peningkatan kadar 17-hidroksiprogesteron
dalam plasma. Steroid tampaknya tidak memiliki peranan dalam regulasi siklus, dan
keberadaannya dalam darah hanya menggambarkan adanya sekresi suatu produk
intermediet. Namun demikian, steroid ini memberikan sinyal bagi stimulasi P450scc dan
P450c17 oleh LH, aktivitas enzim yang penting bagi produksi androgen teka, substrat
untuk estrogen granulosa. Setelah ovulasi, beberapa sel teka mengalami luteinisasi
sebagai bagian dari korpus luteum dan kehilangan kemampuan untuk memproduksi
androgen untuk aromatisasi menjadi estrogen.
Jika folikel yang kurang berkembang gagal mencapai maturisasi penuh dan
menjalani atresia, sel-sel teka kembali kepada asalnya sebagai komponen dari jaringan
stroma, namun mempertahankan kemampuan untuk merespon kepada LH dengan
aktivitas P450 dan produksi steroid. Karena produk dan jaringan teka adalan androgen,
peningkatan jaringan stroma pada fase folikuler lanjut dikaitkan dengan peningkatan
kadar androgen dalam plasma perifer dan pertengahan siklus. Terdapat peningkatan
androstenedion sebesar 15% dan testosteron sebesar 20%. Respon ini dikaitkan oleh
peningkatan inhibin, yang diketahui akan memperbaiki stimulasi produksi androgen oleh
LH dalam sel-sel teka.
Produksi androgen pada tahan siklus ini mungkin memiliki dua tujuan, yaitu (1)
peranan lokal dalam ovarium untuk memperbaiki proses atresia pada folikel-folikel yang
kurang berkembang, (2) efek sistemik untuk merangsang libido.
Androgen intraovarium mempercepat kematian sel granulosa dan atresia folikuler.
Mekanisme spesifik untuk hal ini tidak jelas, namun menarik untuk mencurigai adanya
interfensi dengan estrogen dan faktor-faktor autokrin-parakrin dalam memperbaiki
aktivitas FSH. Karena itu, androgen mungkin memegang peranan regulatorik dalam
memastikan bahwa hanya folikel yang dominan saja yang mencapai ovulasi.
Telah diketahui dengan baik bahwa libido dapat dirangsang oleh androgen. Jika
peningkatan androgen pada pertengahan siklus mempengaruhi libido, maka peningkatan
aktivitas seksual harus terjadi bersamaan dengan hal ini. Studi-studi awal gagal
menunjukkan polakonsisten dalam frekuensi koitus pada wanita karena adanya efek
inisiassi pasanga pria. Jika hanya perilaku seksual yang di inisiasi oleh wanita yang
dipelajari, dijumpai puncak aktivitas seksual yang di inisiasi oelh wanita selama fase
ovulatorik. Frekuensi koitus pasangan yang telah menikah juga tampak meningkat pada
saat ovulasi. Karena itu, peningkatan androgen pada pertengahan siklus dapat
meningkatkan aktivitas seksual pada saat dimana kemungkinan terjadinya kehamilan
paling besar.

Ringkasan Kejadian-Kejadian Kunci Dalam Folikel Praovulatorik


1. Produksi estrogen menjadi cukup untuk mencapai dan mempertahankan konsentrasi
ambang batas perifer estradiol yang diperlukan untuk menginduksi peningkatan tajam
LH
2. Dengan bekerja melalui reseptornya, LH mengnisiasi luteinisasi dan produksi
progesteron dalam lapisan granulosa.
3. Peningkatan progesteron praovulatorik memfasilitasi kerja umpan balik positif
estrogen dan mungkin diperlukan untuk menginduksi pemuncakan FSH pada
pertengahan siklus.
4. Terjadi peningkatan androgen lokal dan perifer pada pertengahan siklus, derifat dari
jaringan teka dari folikel-folikel yang gagal dan kurang berkembang.
F. Ovulasi
Folikel praovulatorik melalui kerjasama estradiol, menyediakan stimulus
ovulatoriknya sendiri. Terdapat variasi yang cukup besar dalam penentuan waktu dari
siklus ke siklus, bahkan pada wanita yang sama. Perkiraan yang masuk akal dan akurat
menempatkan ovulasi kurang lebih 10-12 jam setelah LH mencapai puncak dan 24-36
jam setelah kadar puncak estradiol tercapai. Onset penigkatan tajam LH merupakan
indikator yang paling dapat diandalkan sebagai tanda adanya ovulasi yang akan segera
terjadi, yang terjadi 34-36 jam sebelum rupturnya folikel. Sebuah ambang batas
konsentrasi LH harus dipertahankan selama setidaknya 14-27 jam agar maturasi penuh
oosit dapat terjadi. Biasanya peningkatan tajam LH berlangsung 48-50 jam.
Penigkatan tajam LH cenderung terjadi pada sekitar pukul 03.00 pagi, dimulai
antara tengah malam dan pukul 08.00 pagi, pada lebih dari dua pertiga wanita. Ovulasi
terjadi terutama pada pagi hari selama musim semi, dan terutama pada malam hari
selama musim gugur dan musim dingin. Dari bulan Juli sampai Februari di Belahan
Bumi Utara, sekitar 90% wanita mengalami ovulasi antara pukul 04.00 pagi dan pukul
07.00 malam; selama musim semi, 50% wanita mengalami ovulasi antara tengah malam
dan pukul 11.00 pagi. Kebanyakan studi telah menyimpulkan bahwa ovulasi terjadi lebih
sering (hampir 50%) pada ovarium kanan dibandingkan ovarium kiri, dan oosit dari
ovarium kanan memiliki potensi kehamilan lebih tinggi. Sisi mana yang mengalami
ovulasi tidak mempengaruhi karakteristik siklus, tetapi siklus dengan fase pendek
cenderung diikuti oleh ovulasi kontra lateral, dan ovulasi terjadi secara acak setelah
siklus dengan fase folikuler panjang.
Ovulasi yang terjadi bergantian antara kedua ovarium merupakan hal
mendominasi siklus pada wanita-wanita yang lebih muda, tetapi setelah usia 30 tahun
ovulasi terjadi lebih sering dari ovarium yang sama, namun selama masa reproduktif
lebih banyak ovulasi yang terjadi dari ovarium kanan. Kehamilan lebih besar
kemungkinannya terjadi pada ovulasi kontralateral daripada ovulasi ipsilateral, dan
ovulasi ipsilateral meningkat dengan pertambahan usia dan berkurangnya fertilitas.
Gambar x : Siklus Kenaikan Hormon

Peningkatan tajam gonadotropin merangsang sejumlah kejadian yang akhirnya


menyebabkan ovulasi, pelepasan fisik oosit dan massa kumulus sel-sel granulosanya. Ini
bukan merupakan kejadian yang eksplosif, karena itu, harus terjadi suatu seri perubahan
komplek yang menyebabkan maturasi akhir oosit dan dekomposisi lapisan kolagenosa
dari dinding folikuler.
Peningkatan tajam LH menginisiasi miosis dalam oosit (miosis tidaklah selesai
sampai sperma telah masuk dan bahan polar kedua dilepaskan), luteinisasi sel-sel
granulosa, ekspansi kumulus, dan sintesis prostaglandin dan eikosanoid-eikosanoid lain
yang penting untuk ruptur folikel. Maturasi oosit dan luteinisasi yang prematur dicegah
oleh faktor-faktor lokal. Aktivitas siklik AMP yang diinduksi oleh LH dapat mengatasi
kerja inhibitorik lokal dari inhibitor maturasi oosit (OMI) dan inhibitor luteinisasi (LH).
LI dapat berupa endoletelin-1, suatu produk dari sel-sel endotel vaskuler. OMI berasal
dari sel-sel granulosa, dan aktivitasnya bergantung pada kumulus ooforus yang intak.
Aktivin juga menekan produksi progesteron oleh sel-sel luteal, memberikan sebuah cara
lain untuk mencegah luteinisasi prematur.
Terdapat banyak sekali bukti bahwa oosit memiliki kontrol terhadap fungsi
granulosa. Kumulus ooforus berbeda dari sel-sel granulosa lainnya, yaitu tidak memiliki
reseptor LH dan tidak memproduksi progesteron. Ekspresi resptor LH yang diinduksi
oleh FSH dalam sel-sel granulosa yang paling berkaitan mengalami supresi oleh oosit.
Oosit memungkinkan sel-sel kumulus untuk merespon kepada perubahan-
perubahan fisik dan biokimiawi yang diinduksi oleh gonadotropin tidak lama sebelum
ovulasi. Faktor-faktor lokal yang mencegah maturasi oosit dan luteinisasi prematur
mungkin berbeda dibawah kontrol oosit.
Dengan peningkatan tajam LH, kadar progesteron dalam folikel terus meningkat
sampai terjadi ovulasi. Peningkatan progresif dalam kadar progesteron ini dapat
bertindak menghentikan peningkatan tajam LH saat dikeluarkan efek umpan balik
negatif pada konsentrasi yang lebih tinggi. Disamping efek sentralnya, perogesteron
meningkatkan distensibilitas dinsing folikel. Perubahan sifat elastis dinding folikel
diperlukan untuk menjelaskan peningkatan cepat volume cairan folikuler, yang terjadi
segera sebelum ovulasi, tanpa disertai oleh perubahan bermakna dalam tekanan
intrafolikuler. Lepasnya ovum dikaitkan dengan perubahan-perubahan degeneratif
kolagen dalam dinding folikuler sehingga tidak lama sebelum ovulasi dinding folikel
menjadi tipis dan teregang. FSH, LH, dan progesteron merangsang aktivitas enzim-
enzim proteolitik, mengakibatkan dogesti kolagen dalam dinding folikuler dan
meningkatkan distensibilitas dinsing folikuler. Peningkatan tajam gonadotropin juga
melepaskan histamin, dan histamin dapat menginduksi ovulasi pada beberapa model
percobaan.
Enzim-enzim proteollitik diaktivasi dalam urutan yang teratur. Sel-sel granulosa
dan teka memproduksi aktivator plaminogen sebagai respon terhadap peningkatan tajam
gonadotropin. Plaminogen diaktovasi oleh salah atu dari dua aktivator plasminogen,
aktovator plasmonigen tipe jaringan aktivator plasminogen tipe urokinase. Aktovator-
aktovator ini dikode oleh gen-gen yang terpisah dan diatur juga oleh inhibitor.
Aktivator plasminogen yang diproduksi oleh sel-sel granulosa mengaktivasi
plasminogen dalam cairan folikuler untuk memproduksi plasmin. Selanjutnya, plasmin
memproduksi kolagenase aktif untuk memecah dinding folikuler. Pada model hewan
coba tikus, sintesis aktivator plasminogen dipicu oleh stimulasi LH (maupun growth
factor dan FSH), sedangkan sintesis inhibitor berada pada nadirnya. Regulasi molekuler
dari faktor-faktor ini diperlukan untuk terjadinya koordinasi yang menyebabkan ovulasi.
Sintesis aktovator plasminogen dalam sel-sel granulosa diekspresikan hanya pada tahap
praovulatorik yang tepat sebagai respon terhadap LH.
Sistem inhibitor, yang sangat aktif dalam sel-sel teka dan sel-sel intertsisial,
mencegah tidak tepatnya aktivitas plasminogen dan disrupsi folikel-folikel yang sedang
bertumbuh. Sistem inhibitor telah terbukti terdapat dalam sel-sel granulosa manusia dan
cairan folikuler praovulatorik dan responsif terhadap substansi-substansi parakrin,
epidermal growth factor, dan interleukin-1. Pergerakan volikel yang akan mengalami
ovulasi menuju ke permukaan ovarium penting dalam hal bahwa permukaan folikel yang
terpapar sekarang rentan terhadap ruptur karena terpisah dari sel-sel yang kaya akan
sistem inhibitor plasminogen. Ovulasi terjadi akibat digesti proteolitik apeks folikuler,
sebuah daerah yang disebut stigma.
Prostaglandin seri E dan F dan eikosanoid- eikosanoid lain (terutama HETE-ester
metil asam hidroksieikotetraenoat) menunjukkan peningkatan nyata dalam cairan
folikuler praovulatorik, mencapai konsentrasi puncak saat ovulasi. Sintesis prostaglandin
dirangsang oleh interleukin-1, sehingga mengimplikasikan sitokin ini dalam ovulasi.
Inhibisi sintesis produk-produk ini dari asam arakidonat memblokade rupturnya folikel
tanpa mempengaruhi proses-proses lain yang diinduksi oleh LH yaitu luteinisasi,
steroidoogenesis, dan maturasi oosit.
Prostaglandin dapat bekerja membebaskan enzim-enzim proteolitik dalam
dinding folikuler, dan HETE dapat mendorong angiogenesis dan hiperemi (suatu respon
yang menyerupai inflamasi). Prostaglandin juga dapat menyebabkan kontraksi otot polos
yang pernah diidentifikasi dalam ovarium, sehingga membantu penonjolan massa oosit
sel kumulus. Peranan prostaglandin ini telah diketahui dengan sangat baik sehingga
pasien-pasien dengan infertilitas harus disarankan untuk menghindari penggunaan obat-
obatan yang menghambat sintesis prostaglandin.
(Folikel Matang dan hormon yang keluar)

sejumlah besar leukosit masik ke dalam folikel sebelum ovulasi. Netrofil


merupakan gambaran menonjol dalam kompartemen teka dari folikel-folikel sehat
maupun folike-folikel antral atretik. Akumulasi lekosit dimediasi oleh mekanisme
kemotaktik dari sistem interleikun. Sel-sel imun ini mungkin ikut menyumbang untuk
terjadinya perubahan-perubahan seluler yang dikaitkan dengan ovulasi, fungsi korpun
luteum, dan opoptosis.
Kadar estradiol menurun saat LH mencapai puncaknya. Ini mungkin merupakan
akibat dari down-regulasi LH terhadap reseptor-reseptornya sendiri pada folikel. Jaringan
teka yang berasal dari folikel-folikel antral yang sehat menunjukkan supresi
steroidogenesis yang nyata saat dipaparkan terhadap LH dalam kadar tinggi, sedangkan
pemaparan terhadap kadar rendah merangsang produksi steroid. Rendahnya kadar
progesteron pada pertengahan siklus menyebabkan aksi inhibitorik pada multiplikasi sel
granulosa lebih lanjut, dan oenurunan estrogen mungkin juga mencerminkan peranan
folikuler lokal dariprogesteron ini. Akhirnya, estrogen dapat menyebabkan efek
inhibitorik pada P450c17, sebuah aksi langsung pada gen yang tidak dimediasi oleh
reseptor.
Sel-sel granulosa yang melekat pada membran basement dan mengelilingi folukel
menjadi sel-sel luteal. Sel-sel granulosa kumulus melekat pada oosit. Pada tikus, sel-sel
kumulus secara metabolik berkaitan dengan oosit dan merespon kepada peningkatan
tajam FSH dengan mensekresi asam hialuronat, yang menyebabkan dispersi sel-sel
kumulus sebelum ovulasi. Respon asam hialuronat ini bergantung pada dipertahankannya
kaitan dengan oosit, menunjukkan adanya sekresi suatu faktor pendung. Oosit lebih
lanjut mensekresi faktor-faktor yang mendorong proliferasi sel granulosa dan
mempertahankan organisasi struktural folikel. Proliferasi sel-sel kumulus ditekan oleh
FSH, sebaliknya FSH merangsang proliferasi sel granulosa mural, didukung oleh faktor
oosit.
Pemuncakan FSH, sebagian dan mungkin benar-benar bergantung pada
peningkatan progesteron praovulatorik, memiliki beberapa fungsi. Produksi aktivator
plasminogen sensitif terhadap FSH maupun LH. Ekspansi dan dispersi sel-sel kumulus
memungkinkan massa oosit sel kumulus berenang bebas dalam cairan antral tepat
sebelum folikel pecah. Proses ini melibatkan deposisi matriks asam hialuronat, yang
sintesisnya dirangsang oleh FSH. Akhirnya, pemuncakan FSH yang adekuat memastikan
adanya komplemen reseptor LH yang adekuat pada lapisan granulosa.
Harus dicatat bahwa fase luteal yang memndek atau inadekuat dijumpai pada
siklus-siklus dimana FSH terdapat dalam kadar rendah atau mengalami supresi selektif
selama fase folikuler.
Mekanisme yang menghentikan peningkatan tajam LH tidaj diketahui.. dalam
beberapa jam setelah peningkatan LH, terdapat penurunan mendadak kadar estrogen
dalam sirkulasi. Penurunan LH dapat disebabkan oleh hilangnya kerja stimulatorik
positif dan estradiol atau lebih penggunaan umpan balik negatif dari progesteron.
Penurunan kadar LH secara mendadak juga dapat mencerminkan deplesi kandungan LH
dalam pituitari karena down-regulasi reseptor-reseptor GnRH, baik karena perubahan
dalam frekuensi pulpasi GnRH atau karena perubahan dalam kadar estradiol. LH
meungin lebih lanjut dikontrol oleh umpan balik negatif pendek dari LH pada produksi
hypothalamic-realeasing hormone pernah ditunjukkan. Peningkatan tajam LH berakhir
sebelum sinyal-sinyal GnRH mulai menurun. Sebuah kemungkinan lain telah diajukan,
yaitu suatu faktor penghambat peningkatan tajam gonadotropin (GnSIF) yang berasal
dari ovarium.GnSIF diproduksi oleh sel-sel granulosa dibawah kontrol FSH dan
mencapai kadar puncak dalam sirkulasi pada fase midffolikuler. Pernana utamanya
dianggap adalah untuk mencegah luteinisasi prematur. Besar kemungkinannya bahwa
kombinasi semua pengaruh ini menyebabkan penurunan cepat dalam sekresi
gonadotropin.
Banyaknya konstribusi progesteron bagi ovulasi ditonjolkano leh hasil-hasil
percobaan-percobaan pada monyet. Supresi steroidogenesis pada pertengahan siklus
mencegah ovulasi, tetapi teidak mencegah berlanjutnya kemnbali meiosis oosit.
Pemberian agonis progestin pada model eksperimental ini mengembalikan ovulasi.
Peningkatan tajam gonadotropin yang adekuat tidak memastikan terjadinya
ovulasi. Folikel harus berada pada tahap kematangan yang tepat agar dapat merepon
kepada rangsang ovulatorik. Dalam siklus normal, pelepasan gonadotropin dan maturasi
akhir folikel terjadi bersamaan karena penentuan waktu penongkatan tajam gonadotropin
dikontrol oleh kadar estradiol, yang sebaliknya merupakan fungsi dari pertumbuhan dan
maturasi folikuler. Karena itu, pelepasan gonadotropin dan maturasi morfologis biasanya
terkoosdinasi dan terjadi bersamaan. Pada mayoritas siklus manusia, hubungan umpan
balik yang diperlukan dalam sistem ini hanya memungkinkan satu folikel mencapai titik
ovulasi. Karena multipel nonidentik dapat sebagian, mencerminkan kemungkinan
stastistik acak adanya lebih dari satu folikel yang memnuhi persyaratan untuk ovulasi.

Rangsangan Kejadian-Kejadian Ovulatorik Kunci


1. Peningkatan tajam LH menginisiasi berlanjutnya miosis dalam oosit, luteinisasi
granulosa, dan sintesis progesteron dan prostaglandin dalam folikel.
2. Progesteron memperbaiki aktivitas enzim-enzim proteolitik yang bersama dengan
prostaglandin, bertanggung jawab untuk digesti dan ruptur dinding folikuler
3. Peningkatan FSH pada pertengahan siklus yang dipengaruhi oleh progesteron
bertindak membebaskan oosit dari perlekatan folikuler, untuk mengubah
plasminogen menjadi enzim proteolitik, plasmin, dan untuk memastikan adanya
cukup reseptor LH untuk memungkinkan terjadinya fase luteal normal yang adekuat

G. Fase Luteal
Sebelum terjadinya ruptur folikel dan pelepasan ovum, sel-sel granulosa mulai
bertambah besar dan memiliki gambaran bervakuolisasi yang dikaitkan dengan akumulasi
pigmen kuning, lutein yang mendapatan namanya dari proses luteinisasi dan subunit
anatomis, korpus luteum. Selama 3 hari pertama setelah berdiferensiasi dari teka dan
stroma disekitarnya untuk menjadi bagian dari korpus luteum. Dosolusi lamina nasalis
dan vaskularisasi, luteinisasi cepat menyebabkan seluitnya membedakan asal sel-sel
spesifik.
Kapiler-kapiler mulai menembus ke dalam lapisan granulosa setelah berhentinya
peningkatan tajam LH, mencapai kavitas sentral, dan seringkali mengisi ruang tersebut
dengan darah. Angiogenesis merupakan gambaran penting dari proses luteinisasi, suatu
respon terhadap LH yang dimediasi oleh growth factor seperti vascular endhotelial
growth factor (VEGF) dan angiopoitein yang diproduksi di dalam sel-sel granulosa
luteinisasi. Pada fase luteal dini, angiogenesis menyertai peningkatan ekspresi VEGF,
disertai dengan stabilisasi pertumbuhan pembuluh darah yang dipertahankan oleh
angiopoitein-1 yang berkaitan dengan reseptor tie-2 endotel. Dengan regresi korpus
luteum, ekspresi VEGF dan angiopoitein-1 menurun sehingga memungkinkan lebih
besarnya pendudukan reseptor tie-2 oleh angipoitein-2, menyebabkan peluruhan vaskuler
yang menyertai luteolisis.
Pada hari 8-9 setelah ovulasi, tercapai puncak vaskularisasi, dikaitkan dengan
kadar puncak progesteron dan estradiol dalam darah. Korpus luteum merubah salah satu
struktur dengan aliran darah tertinggi tiap unit massa dalam tubuh. Kadang-kadang,
pertumbuhan pembuluh darah ke dalam dan perdarahan ini menyebabkan perdarahan
yang tidak diketahui dan menjadi kedaruratan bedah akut yang dapat terjadi kapan saja
selama fase luteal. Memang ini merupakan resiko klinis yang bermakna pada wanita-
wanita yang mendapat antikoagulan, maka wanita-wanita demikian harus mendapatkan
medikasi untuk mencegah ovulasi.

(gambar luteinized granulosa cell)

Fungsi luteal normal memerlukan perkembangan folikuler praovulatorik yang


optimal. Supresi FSH selama fase folikuler dikaitkan dengan kadar estradiol
praovulatorik yang lebih rendah, penekanan produksi perogesteron pada fase midluteal,
dan penurunan massa sel luteal. Bukti ekperimental menudukung pendapat bahwa
akumulasi reseptor LH selama fase folikuler menjadi jaringan luteal tervaskularisasi juga
memiliki arti penting. Karena produksi steroid bergantung pada transpor kolesterol oleh
lipoprotein densitas rendah (LDL), vaskularisasi lapisan granulosa penting untuk
meningkatkan LDL-kolesterol mencapai sel-sel luteal untuk menyediakan cukup substrat
bagi produksi progesteron. Salah satu tugas penting LH adalah untuk mengatur
pengikatan reseptor LDL, internalisasi, dan pemrosesan pasca reseptor, induksi ekspresi
reseptor LDL terjadi dalam sel-sel granulosa selama tahap dini luteinisasi sebagai respon
terhadap peningkatan tajam LH pada pertengahan siklus. Mekanisme ini menyediakan
kolesterol bagi mitokondria untuk dipergunakan sebagai blok pembangun dasar dalam
steroidogenesis.
Waktu hidup dan kapasitas sterodogenik korpus luteum bergantung pada sekresi
LH tonik yang kontinyu. Studi-studi pada wanita yang telah menjalani hipofisektomi
telah menunjukkan bahwa fungsi korpus luteum normal memerlukan keberadaan
sejumlah kecil LH secara kontinyu. Ketergantungan korpus luteum pada LH lebih lanjt
didukung oleh luteolisis yang segera terjadi ovulasi setelah pemberian agonis atau
antagonis GnRH atau withdrawal GnRH saat ovulasi telah diinduksi oleh pemberian
GnRH pulsatil. Tidak ada bukti bahwa hormon-hormon luteotropik lain, seperti prolaktin,
memegang peranan selama siklus menstruasi pada primata.
Korpus luteum tidaklah homogen. Disamping sel-sel luteal, terdapat juga sel-sel
endotel, lekosit, dan fibroblas. Sel-sel nonsteroigogenik membentuk sebagian besar (70-
85%) dari seluruh populasi sel. Sel-sel imun lekosit memproduksi beberapa sitokin,
termasuk interleukin-1 dan faktor nekrosis tumor-. Banyaknya nekrosis yang berbeda
dalam korpus luteum juga merupakan sumber yang kaya untuk enzim-enzim sitolitik,
prostaglandin dan growth factor yang terlibat dalam angigenesis, steroidogenesis, dan
luteolisis.
Bahakn populasi sel luteal tidaklah homogen, terdiri setidaknya dari dua tipe sel
yang berbeda, sel-sel besar dan kecil. Beberapa ahli percaya bahwa sel-sel besar berasal
dari sel-sel granulosa dan sel-sel kecil berasal dari sel teka. Sel-sel kecil merupakan sel
yang paling banyak. Walaupun terdapat fakta bahwa steroidogenesis yang lebih besar
terjadi pada sel-sel besar, adalah sel-sel kecil yang mengandung reseptor LH dan HCG.
Tidak ada reseptor LH/HCG pada sel-sel besar, yang diperkirakan berasal dari sel-sel
granulosa yang memperoleh reseptor LH pada fase folikuler lanjut, memerlukan
penjelasan. Mungkin sel-sel besar berfungsi maksimal dengan reseptor benar-benar
terduduki dan fungsional, atau karena komunikasi antar sel melalui gap junction, sel-sel
besar tidak memerlukan dukungan gonadotropin langsung. Karenanya, sel-sel besar dapat
berfungsi pada kadar tinggi, dibawah kontrol faktor-faktor regulatorik yang berasal dari
sel-sel kecil sebagai respon terhadap gonadotropin. Disamping itu, fungsi secara
umumnya dipengaruhi oelh sinyal-sinyal autokrin-parakrin dari sel-sel endotel dan sel-sel
imun.
Sel-sel luteal besar memproduksi peptoda (oksitosin, relaksin, inhibin, growth,
dan faktor lain) dan lebih aktif dalam steroidogenesis, dengan aktivitas aromatase lebih
besar dan lebih banyak sintesis progesteron daripada sel-sel kecil. Sel-sel granulosa
manusia (telah mengalami luteinisasi saat diperoleh dari pasien-pasien yang menjalani
fertilitas in vitro) mengandung mRNA P450c17 dalam jumlah minimal. Hal ini
konsistensi dengan penjelasan dua sel, yang menugaskan produksi androgen (dan
P450c17) pada sel-sel yang berasal dari sel teka. Dengan luteinisasi, ekspresi P450scc dan
3-hidroksisteroid dehidrogenase mengalami peningkatan nyata sepeeti yang
diperkirakan, untuk menjelaskan peningkatan produksi progesteron, dan terus
diekspresikannya mRNA untuk enzim-enzim ini memerlukan LH. Tentu saja sistem
aromatase (P450arom) tetap aktif dalam granulosa luteinisasi.
Kadar progesteron normalnya meningkat tajam setelah ovulasi, mencapai puncak
sekitar 8 hari setelah peningkatan tajam LH. Inisiasi pertumbuhan folikuler baru selama
fase luteal dihambat oleh rendahnya kadar gionadotropin akibat aksi umpan balik negatif
estrogen, progesteron, dan inhibin-A. Dengan munculnya reseptor-reseptor LH pada sel-
sel granulosa dari folikel yang dominan dan perkembangan folikel selanjutnya menjadi
korpus luteum, ekspresi inhibin-B menjadi inhibin-A, kadar inhibin-A dalam sirkulasi
mengalami peningkatan pada fase folikuler lanjut untuk mencapai kadar puncak pada
fase midluteal. Karena itu, inhibin-A ikut menyumbang untuk terjadi supresi FSH
mencapai kadar nadir selama fase luteal, dan untuk terjadinya perubahan-perubahan pada
saat transisi fese luteal dan fase folikuler.
Sekresi progesteron dan estradiol selama fase luteal bersifat episodik, dan
perubahan-perubahan yang terjadi berkolerasi erat dengan populasi LH. Karena sekresi
episodik inilah, kadar progesteron relatif rendah pada fase midluteal, yang oleh beberapa
ahli dianggap menunjukkan fase luteal yang inadekuat, dapat dijumpai dalam perjalanan
fase luteal yang benar-benar normal.
Dalam siklus normal jangka waktu dari peningkatan tajam LH pada pertengahan
siklus sampai terjadinya menstruasi selalu kurang lebih 14 hari. Untuk tujuan praktis,
fase luteal yang berlangsung antara 11-17 hari dapat dianggap normal. Insiden fase luteal
pendek adalah sekitar 5-6%. Telah diketahui dengan baik bahwa variabilitas besar dalam
panjang siklus antara wanita disebabkan oleh bervariasinya jumlah hari yang diperlukan
untuk pertumbuhan dan maturasi folikuler pada fase folikuler. Fase luteal tidak dapat
diperpanjang tanpa batas tertentu bahkan dengan terus menmbah paparan LH, ini
menunjukkan bahwa kerusakan korpus luteum disebabkan oleh mekanisme luteolitik
aktif.
Korpus luteum segera menurun 9-11 hari setelah ovulasi, dan mekanisme
degenerasinya masih belum diketahui. Faktor luteolitik yang berasal dari dalam uterus
(prostaglandin F2) mengatur masa hidup korpus luteum. Belum ada faktor luteolitik
pasti yang telah diidentifikasi dalam siklus menstruasi primata, dan pengangkatan uterus
pada primata tidak mempengaruhi siklus ovarium. Regresi morfologis sel-sel luteal dapat
diinduksi oleh estradiol yang diproduksi oleh korpus luteum. Peningkatan prematur
kadar estradiol dalam sirkulasi pada fase luteal dini menyebabkan penurunan segera
konsentrasi progesteron. Injeksi langsung estradiol ke dalam ovarium yang membawa
korpus luteum menginduksi luteolisis sementara perlakuan yang sama pada ovarium
kontralateral tidak menimbulkan efek apapun.
Aksi estrogen ini mungkin dimediasi oleh nitrit oksida. Nitrit oksida merangsang
sintesis prostaglandin luteal dan menurunkan produksi progesteron. Nitrit oksida dan
HCG memiliki kerja yang berlawanan dalam korpus luteum manusia, nitrit oksida
dikaitkan dengan apoptosis sel-sel luteal. Namun, sinyal akhir untuk luteolisis adalah
prostaglandin F2, yang diproduksi dalam ovarium sebagai respon terhadap estrogen
luteal disintesis secara lokal.
Ada satu kemungkinan lain mengenai peranan estrogen yang diproduksi oleh
korpus luteum. Dengan meilhat kebutuhan estrogen untuk sintesis reseptor progesteron
dalam endometrium, estrogen fase luteal mungkin diperlukan untuk memungkinkan
terjadinya perubahan-perubahan yang diinduksi oleh progesteron dalam endometrium
setelah ovulasi. Kandungan reseptor progesteron yang inadekuat karena pematangan
estrogen yang inadekuat merupakan suatu kemungkinan mekanisme lain untuk terjadinya
infertilitas atau abortus ini, suatu bentuk lain defisiensi fase luteal.
Bukti eksperimental menunjukkan bahwa untuk luteolitik prostaglandin F2,
sebagian dimediasi oleh endotelin-1. Prostaglandin F2, merangsang sintesis endotelin,
endotelin-1 merangsang produksi prostaglandin dalam sel-sel luteal. Disamping itu,
endotelin-1 merangsang pelepasan faktor nekrosis tumor , suatu growth factor yang
diketahui menginduksi apoptosis.
Korpus luteum melibatkan interaksi seluler yang memerlukan kontak sel dengan
sel. Gap junction merupakan gambaran menonjol dari sel-sel luteal, seperti juga dalam
folikel sebelum ovulasi. Jika berbagai tipe sel korpus luteum dipelajari bersama-sama,
performanya berbeda dibandingkan dengan studi-studi tipe-tipe sel tunggal,
steroidogenesis yang lebih besar mendekati fungsi total korpus luteum. Diyakini bahwa
komunikasi dan pertukaran sinyal terjadi melalui struktur gap junction, ini menjelaskan
bagaimana sel-sel merespon kepada LH dan HCG, tetapi sel-sel besar merupakan tempat
utama steroidogenesis. Regulasi sistem gap junction dipengaruhi oleh oksitosin, ini
merupakan peranan parakrin oksitosin dalam korpus luteum.
Jika ovulasi diinduksi dengan pemberian GnRH, kerusakan fase luteal normal
tetap terjadi walaupun tidak ada perubahan perlakuan, hal ini membantah pendapat
mengenai perubahan LH sebagai mekanisme luteolitik. Disamping itu, afinitas
pengikatan reseptor LH tidak mengalami perubahan sepanjang fase luteal, karenanya
penurunan steroidogenesis pasti mencerminkan deaktivasi sistem (sehingga
menyebabkan korpus luteum refrakter terhadap LH), mungkin melalui uncoupling sistem
adenilat siklase protein G. Hal ini didukung oleh studi-studi pada monyet dimana
prubahan frekuensi atau amplitudo pulsasi LH tidak menyebabkan luteolisis.
Proses luteolisis melibatkan enzim-enzim proteolitik, terutama matriks
metaloproteinase (MMP). Enzim-enzim ini berada di bawah kontrol inhibitorik oleh
inhibitor jaringan metaloproteinase (TIMP) yang disekresi oleh sel-sel luteal
steroidogenik, dan karena kadar TIMP tidak mengalami perubahan dalam jaringan luteal
sampai akhir fase luteal, luteolisis dianggap melibatkan peningkatan langsung ekspresi
MMP. Sebuah bagian penting dari misi human chorionoc gonadotropin (HCG) (salah
satu cara penghindaran apoptosis) adalah u ntuk mencegah peningkatan ekspresi MMp
ini. Para peneliti lain telah mengindikasikan bahwa HCG dapat meingkatkan produksi
TIMP, dan hal ini akan menghambat aktivitas MMP dan luteolisis. Disamping itu,
ovarium manusia mengandung sistem interleukin-1 lengkap, sehingga menyediakan
sebuah sumber lain untuk enzim-enzim sitolitik.
Survival korpus luteum dapat diperpanjang dengan munculnya suatu stimulus
baru dengan intensitas yang meningkat dengan cepat, yaitu HCG. Stimulus baru ini
pertama kali muncul pada puncak perkembangan korpus luteum (9-13 hari setelah
ovulasi), tepat pada waktunya untuk mencegah regresi luteal. HCG bertindak
mempertahankan steroidogenesis vital korpus luteum sampai kurang lebih minggu
kesembilan atau kesepuluh setelah masa gestasi, pada saat steroidogenesis plasenta telah
terjadi. Pada sejummlah kehamilan, steroidogenenis plasenta telah terjadi pada minggu
ketujuh. Disamping itu, penyelamatan korpus luteum oleh kehamilan dini dengan HCG
dikaitkan dengan pemeliharaan sistem vaskuler (bukan pertumbuhan pembuluh darah
baru), suatu proses y ang bergantung pada faktor-faktor angiogenik VEGF
danangiopoitein-2.
(gambar kurva kenaikan hormon fsh, lh, hcg saat ovulasi dan implantasi)
Berlainan dengan pola bifasik yang ditunjukkan oleh kadar progesteron dalam
sirkulasi (penurunan setelah ovulasi dan kemudian puncak baru yang lebih tinggi pada
fase midluteal), kadar mRNA untu kedua enzim utama yang terlihat dalam sintesis
progesteron (pembelahan rantai samping kolesterol dan 3-hidroksisteroid
dehidrogenase) mencapai maksimal pada saat ovulasi dan menurun sepanjang fase luteal.
Hal ini menunjukkan bahwa masa hidup korpus luteum ditentukan pada saat ovulasi, dan
regresi luteal tidak dapat dihindari kecuali korpus luteum diselamatkan oleh HCG saat
kehamilan. Karena itu, primata telah mengembangkan sebuah sistem yang memerlukan
penyelamatan korpus luteum, berlawanan dengan binatang-binatang yang lebih rendah
yang menggunakan mekanisme yang secara aktif menyebabkan kerusakan korpus luteum
(luteolisis).
Ringkasan kejadian-kejadian kunci pada fase luteal:
1. Fungsi luteal normal memerlukan perkembangan folikuler praovulatorik yang
optimal (terutama stimulasi FSH yang adekuat) dan adanya dukungan FSH tonik
secara kontinyu.
2. Fase luteal dini ditandai oleh angiogenesis aktif yang dimediasi oleh VEGF.
Pertumbuhan pembuluh darah baru diatur oleh angiopoitein-1 yang bekerja
melalui reseptornya yaitu Tie-2 pada sel-sel endotel. Regresi korpus luteum
dikaitkan dengan penurunan ekspresi VEGF dan angiopoitein-1 dan peningkatan
aktivitas angiopoitein-2
3. Progesteron, estradiol, dan inhibin-A bekerja secara sentral untuk menekan
gonadotropin dan pertumbuhan folikuler baru
4. Regresi korpus luteum dapat melibatkan kerja luteolitik daro produksi
estrogennya sendiri, dimediasi oleh perubahan dalam konsentrasi prostaglandin
lokal dan melibatkan nitrit oksida, endotelin, dan faktor-faktor lain.
5. Pada masa-masa wal kehamilan, HCG menyelamatkan korpus luteum,
mempertahankan fungsi luteal sampai steroidogenesis plasenta telah terjadi

H. Transisi Luteal Folikuler


Interval antara penurunan produksi estradiol dan progesteron pada fase luteal
sampai sekresi folikel yang dominan merupakan waktu yang penting dan menentukan,
ditandai terjadinya menstruasi, tetapi yang tidak terlalu jelas dan sangat penting adalah
perubahan-perubahan hormon yang menginisiasi siklus berikutnya. Faktor-faktor yang
penting itu mencakup GnRH, FSH, LH, estradiol, progesteron, dan inhibin.
Dengan mengingat pentingnya peranan aksi yang dimediasi oleh FSH pada sel-sel
granulosa, tepat bahwa penarikan folikel baru yang sedang mengalami ovulasi diatur
oleh peningkatan selektif FSH yang dimulai sekitar 2 hari sebelum onset menstruasi.
Dengan menggunakan biossay FSH yang sensitif, peningkatan bioaktivitas FSH dapat
diukur sejak sedini fase midluteal. Terdapat setidaknya dua perubahan yang berpengaruh
dan menyebabkan peningkatan FSH yang penting ini, penurunan steroid dan inhibin
luteal dan perubahan sekresi GnRH pulsatil.
Inhibin-B, berasal dari sel-sel granulosa korpus luteum dan saat ini dibawah
regulasi LH, mencapai nadir dalam sirkulasi pada masa midluteal. Inihibin-A ,encapai
puncak pada fase luteal, dan karenanya dapat membantu menekan sekresi FSH oleh
pituitari untuk mencapai kadar terendah yang dapat dicapai selama siklus menstruasi.
Proses luteolisis, apapun mekanismenya, yang disertai dengan rusaknya korpus luteum,
mempengaruhi sekresi inhibin-A maupun steroidogenesis. Pemberian inhibin-A pada
monyet efektif menekan FSH dalam sirkulasi. Karenanya, sebuah pengaruh supresif
penting pada sekresi FSH dibuang dari pituitari anterior selama beberapa hari terakhir
fase luteal. Kerja selektif inhibin pada FSH (bukan LH) bertanggung jawab sebagian
untuk lebih tingginya peningkatan FSH yang dijumpai selama transisi luteal folikuler
dibandingkan dengan perubahan LH. Pemberian FSH rekombinan (murni) pada wanita-
wanita dengan defisiensi gonadotropin telah menunjukkan bahwa pertumbuhan dini
folikel memerlukan FSH, dan bahwa LH tidaklah esensial selama tahapan siklus ini.
Kada inhibin-B mulai meningkat perlahan-lahan setelah peningkatan FSH
(sebagai akibat dari stimulasi FSH pada sekresi inhibin oleh sel-sel granulosa) dan
mencapai kadar puncak sekitar 4 hari setelah terjadinya peningkatan maksimal FSH.
Karenanya, supresi sekresi FSH selama fase folikuler merupakan aksi yang ditunjukkan
oleh inhibin-B, sedangkan lolosnya inhibin FSH selama transisi luteal-folikuler sebagian
merupaan respon terhadap menurunnya sekresi inhibin-A oleh korpus luteum.
Kadar aktivin dalam sirkulasi mengalami peningkatan pada fase luteal lanjut dan
mencapai puncak pada saat menstruasi. Namun, aktivin berada dalam keadaan sangat
terikat dalam sirkulasi, dan tidak jelas apakah aktivin memiliki peranan endokrin. Namun
demikian, waktu yang tepat bagi aktivin untuk ikut berperan dalam peningjatan FSH
selama transisi luteal-folikuler. Aktivin memperbaiki dan folistatin menekan aktivitas
GnRH. Bukti in vivo dan in vitro menunjukkan bahwa respon gonadotropin terhadap
GnRH memerlukan aktivitas aktivin.
Peningkatan selektif FSH juga sangat dipengaruhi oleh perubahan dalam sekresi
GnRH pulsatif, yang sebelumnya sangat ditekan oleh tingginya kadar estradiol dan
progesteron fse luteal yang memberikan efek umpan balik negatif pada hipotalamus.
Peningkatan pulsasi GnRH secara progresif san cepat (seperti yang dinilai melalui
pengukuran pulsasi LH) terjadi selama transis luteal-folikuler. Dari fasemidluteal sampai
terjadinya menstruasi, terdapat 4,5 kali lipat peningkatan frekuensi pulsasi LH (dan
mungkin juga GnRH) dari sekitar 3 pulsasi setiap 24 jam menjadi 14 pulsasi setiap 24
jam. Selama masa ini, rata-rata kadar LH meningkat kurang lebih 2 kali lipat, dari sekitar
rata-rata 4,8 IU/L menjadi 8 IU/L. Peningkatan FSH, seperti yang terlihat, lebih besar
daripada peningkatan LH. Frekuensi pulsasi FSH meningkat 3,5 kali lipat dari fase
midluteal sampai saaat terjadinya menstruasi, dan kadar FSH meningkat dari rata-rata
sekitar 4 IU/L menjadi 5 IU/L.
Peningkatan frekuensi pulsasi GnRH dan sekresi kadar rendah telah dikaitkan
dengan peningkatan selektif awak FSH pada beberapa model eksperimental, termasuk
monyet yang telah menjalani ovariektomi disertai dengan perusakan hipotalamus. Tetapi
wanita-wanita hipogonad dengan GnRH pulsatil pertama-tama menyebabkan dominansi
sekresi FSH (dibandingkan LH). Respon eksperimental ini serta perubahan-perubahan
yang terjadi selama transisi luteal-folikuler mirip dengan apa yang dijumpai selama
pubertas, yaitu predominasi sekresi FSH sering dengan mulai meningkatnya sekresi
GnRH pulsatil.
Respon pituitari terhadap GnRH juga merupakan faktor. Estradiol menekan
sekresi FSH melalui hubungan umpan balik negatif klasiknya pada tingkat pituitari.
Penurunan estradiol pada fase luteal lanjut mengembalikan kemampuan pituitari untuk
merespon dengan peningkatan sekresi FSH.
Rangkuman kejadian kunci pada transisi luteal folikuler
1. Kerusakan korpus luteum menyebabkan terjadinya kadar nadir estradiol,
progesteron, dan inhibin dalam sirkulasi
2. Penurunan inhibin-A menghilangkan suatu pengaruh supresif pada sekresi FSH
dalam pituitari.
3. Penurunan estradiol dan progesteron memungkinkan peningkatan progresif dan
cepat frekuensi sekresi GnRH pulsatif dan penyingkiran pituitari dari supresi
umpan balik negatif
4. Pembuangan inhibin-A dan estradiol dan peningkatan pulsasi GnRH bekerja sama
memungkinkan sekresi FSH yanglebih besar dibandingkan dengan LH, disertai
dengan peningkatan frekuensi sekresi episodik.
5. Peningkatan FSH bersifat instrumental dalam menyelamatkan kurang lebih satu
kelompok folikel yang sudah siap yang berumur 70 hari dari atresia, sehingga
memungkinkan sebuah folikel yang dominan memmulai kemunculannya.

I. Siklus Menstruasi Normal


Lama siklus menstruasi ditentukan oleh kecepatan dan kualitas pertumbuhan dan
perkembangan folikuler, dan variasi siklus pada wanita indivisual adalah normal. Lama
siklus yang paling pendek (dengan variabilitas yang paling kecil) pada usia akhir 30an,
saat dimana terjadi peningkatan FSH yang samar-samar tetapi nyata dan penurunan
inhibin. Hal ini dapat digambarkan sebagai percepatan pertumbuhan folikuler (karena
adanya perubahan-perubahan dalam FSH dan inhibin-B). Pada saat yang sama, lebih
sedikit folikel yang bertumbuh tiap siklusnya seiring dengan bertambahnya usia seorang
wanita. Kurang lebih 2-4 tahun (6-8 tahun menurut Trelolar) sebelum menopause, siklus
akan memanjang lagi. Dalam 10-15 tahun terakhir sebelum menopause, terdapat
percepatan kehilangan folikuler. Kehilangan yang dipercepat ini dimulai saat jumlah total
folikel mencapai kurang lebih 25000, suatu jumlah yang ada pada wanita normal dan
dicapai pada usia 37-38 tahun. Akhirnya terjadi menopause karena asupan folikel telah
mengalami deplesi.
(gambar lenght of mentrual cycle by age)

Perubahan-perubahan dalam tahun-tahun akhir masa resproduktif mencerminkan


kompetensi folikuler lebih rendah karena folikel-folikel primordial yang lebih baik
merespon lebih dini, meninggalkan folikel-folikel yang kurang berkembang, atau
kenyataan bahwa total pool folikuler berkurang jumlahnya (atau kedua faktor). Hal yang
mendukung adanya peranan bagi pool folikuler yang diperoleh dari folikel-folikel
praovulatorik wanita-wanita yang lebih tua mengandung jumlah inhibin-A dan B yang
serupa dengan apa yang diukur dalam cairan folikuler dari wanita0wanita muda.

Variasi aliran dan lama siklus menstruasi sering terjadi pada masa-masa ekstrim
dari masa reproduktif, selama awal-awal masa remaja, dan beberapa tahun sebelum
menopause. Prevalensi siklus praovulatorik paling tinggi pada wanita-wanita dibawah
usia 20 tahun dan diatas usia 40 tahun. Menarche biasanya diikuti oleh kurang lebih 5-7
tahun siklus yang relatif panjang yangberangsur-angsur memendek dan menjadi lebih
teratur. Walaupun karakteristik siklus menstruasi umumnya tidak menunjukkan
perubahan besar selama masa reproduktif, rata-rata panjang siklus dan variabilitas
perlahan-lahan berkurang. Rata-rata panjang siklus dan variabilitas mencapai tingkat yang
rendah pada usia sekitar 40-42 tahun. Selama 8-10 tahun selanjutnya sebelum menopause,
kecendrungan ini berbalik, baik rata-rata panjang siklus dan variabilitas mengalami
peningkatan tetap sejalan dengan berkurangnya keteraturan dan frekuensi ovulasi. Rata-
rata panjang siklus paling besar pada wanita-wanita dengan masa dan komposis tubuh
yang ekstrim, baik indeks massa tubuh yang tinggi dan rendah dikaitkan dengan
peningkatan panjang siklus rata-rata.
Secara umum, variasi dalam panjang siklus mencerminkan perbedaan-perbedaan
dalam lamanya fase folikuler dari siklus ovarium. Wanita-wanita dengn siklus 25 hari
mengalami ovulasi pada/atau sekitar hari 10-12 siklus, dan mereka dengan siklus 35 hari
mengalami ovulasi kurang lebih 10 hari kemudian. Dalam beberapa tahun setelah
menarche, fase luteal menjadi sangat konsisten (13-15 hari) dan tetap demikian sampai
memasuki masa perimenopause. Pada usia 25-35 tahun, lebih daro 60% siklus
panjangnya adalah 25 dan 28 hari. Walaupun merupakan intrval menstruasi yang paling
sering dilaporkan, hanya sekitar 15% dari siklus pada wanita-wanita usia reproduktif yang
benar-benar berlangsung 28 hari. Kurang dari 1% wanita mengalami siklus teratur yang
berlangsung kurang dari 21 hari atau lebih dari 25 hari. Kebanyakan wanita mengalami
siklus yang berlangsung selama 24 sampai 35 hari, tetapi setidaknya 20% wanita
mengalami seklus ireguler.

You might also like