You are on page 1of 9

Hak Asasi Manusia:

Pelanggaran dan Pengadilan *

Patra M Zen
zen@patramzen.com

Pelanggaran HAM Berat

Istilah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat sendiri di Indonesia merupakan terjemahan dari
gross violation of human rights, yang muncul dalam UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Berdasarkan
UU 26/2000 tentang pengadilan HAM, kejahatan yang dimaksud terbatas pada kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dalam UU 26/2000 tidak dirinci dan dijelakan element of crimes atau unsur delik dari dua jenis kehatan
HAM berat tersebut.

Genosida dalam Pasal 8 UU 26/2000 diartikan setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,
kelompok agama, dengan cara:
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik
seluruh atau sebagiannya;
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e. memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu ke kelompok lain.

** Pengantar Diskusi pada Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI)
bekerjasama dengan SKK MIGAS dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) bidang Migas, Jakarta 28 April 2016.

1
Mahkamah Agung RI pernah mengeluarkan sebuah pedoman, yang memberi penjelasan unsur-unsur
perbuatan genosida:
- Pengertian dengan maksud : esensi dari definisi ini adalah gambaran tentang perlunya maksud
yang spesifik. Pelaku harus memiliki maksud untuk melakukan pemusnahan, sebagian atau
seluruhnya, salah satu dari keempat kelompok yang dilindungi.
- Pengertian seluruhnya atau sebagian : bahwa pelaku tidak perlu bermaksud untuk
menghancurkan seluruh anggota kelompok tetapi cukup sebagian intinya saja.
- Pengertian kelompok yang dilindungi : ada empat kelompok yang memiliki peluang untuk
dijadikan sebagai sasaran dari kejahatan genosida. Kelompok tersebut adalah yang didasari oleh
oleh kebangsaan, etnisitas, ras dan agama.

Selanjutnya, rumusan kejahatan terhadap kemanusiaan ( crimes against humanity) dimuat dalam Pasal 9
UU No 26 tahun 2000, Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b
adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik
yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa,
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan secara fisik lain secara sewenang-
wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f. Penyiksaan,
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan
atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan
paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah
diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i. penghilangan orang secara paksa; atau
j. kejahatan apartheid.

2
Penjelasan yang dibuat oleh Mahkamah Agung RI sebagai berikut:

- Pengertian salah satu perbuatan : Setiap tindakan yang disebutkan di Pasal 9 adalah merupakan
kejahatan terhadap kemanusiaan. Tidak ada syarat yang mengatur jika lebih dari satu tindak
pidana dilakukan (misalnya : pembunuhan dan perkosaan), atau kombinasi dari tindak pidana itu.
- Pengertian yang dilakukan sebagai bagian dari serangan : Tindakan harus dilakukan sebagai
bagian dari serangan. Unsur serangan adalah:
(1) tindakan baik secara sistematis atau meluas, yang dilakukan secara berganda yang
dihasilkan atau merupakan bagian dari kebijakan Negara atau organisasi. Tindakan
Berganda berarti harus bukan tindakan tunggal atau terisolasi;
(2) serangan baik secara meluas atau sistematis tidaklah semata-mata serangan militer
seperti yang diatur dalam Hukum Humaniter Internasional. Tetapi, serangan dapat juga berarti
lebih luas misalnya kampanye atau operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil. Serangan
tersebut tidak hanyaharus melibatkan angkatan bersenjata, atau kelompok bersenjata, dan
(3) Syarat terpenuhi juka penduduk sipil adalah objek utama dari serangan.
- Pengertian meluas atau sistematis yang ditujukan kepada penduduk sipil :
o Syarat meluas atau sistematis ini adalah syarat yang fundamental untuk membedakan
kejahatan ini dengan kejahatan umum lain yang bukan merupakan kejahatan
internasional.
o Kata meluas menunjuk pada jumlah korban, dan konsep ini mencakup massa yang
banyak (massive), sering/berulang-ulang, tindakan dalam skala yang besar, dilaksanakan
secara kolektif dan berakibat yang serius.
o Istilah sistematis mencerminkan suatu pola atau metode tertentu yang diorganisir
secara menyeluruh dan menggunakan pola yang tetap.
o Kata-kata meluas atau sistematis tidak mensyaratkan bahwa setiap unsur kejahatan
yang dilakukan harus selalu meluas atau sistematis. Dengan kata lain, jika terjadi
pembunuhan, perkosaan dan pemukulan, maka setiap kejahatan itu tidak perlu harus
meluas atau sistematis, jika kesatuan dari tindakan-tindakan di atas sudah memenuhi
unsur meluas atau sistematis.

3
o Unsur meluas (widespread) atau sistematis (systematic) tidak harus dibuktikan keduanya,
kejahatan yang dilakukan dapat saja merupakan bagian dari serangan yang meluas
semata atau sistematis saja, dan tidak harus dibuktikan keduanya.
- Pengertian yang diketahuinya : Pelaku harus melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan
dengan maksud untuk melakukan serangan secara meluas atau sistematis terhadap penduduk
sipil. Hal ini tidak berarti bahwa dalam semua serangan harus selalu ada pengetahuan.
Pengetahuan tersebut bisa pengetahuan yang aktual atau konstrukstif. Secara khusus, pelaku
tidak perlu mengetahui bahwa tindakannya itu adalah tindakan yang tidak manusiawi atau
merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pengadilan HAM

Gagasan pembentukan sebuah pengadilan internasional untuk mengadili para pelaku yang
bertanggungjawab dalam kejahatan HAM berat diberikan jalan dari praktik hukum internasional. Paska
Perang Dunia Ke-1, dilaksanakan Paris Peace Conference pada 1919 yang melahirkan sebuah pengadilan
internasional yang memeriksa dan mengadili para pemimpin Negara yang kalah perang. Saat itu, dibentuk
apa yang disebut Commission of Responsibilites.

Kemudian pada sebuah konferensi di Jenewa yang dilaksanakan Liga Bangsa-Bangsa pada 1937 dibahas
gagasan untuk membentuk sebuah pengadilan internasional yang permanen untuk memeriksa dan
mengadili kejahatan terorisme internasional. Ide ini tidak sampai terealisasi.

Selanjutnya, setelah usai Perang Dunia Ke-2, Negara-negara pemenang perang membentuk 2 (dua)
pengadilan ad hoc untuk mengadili para pemimpin sipil dan militer dari Negara-negara yang kalah, yang
dituduh telah melakukan kejahatan perang ( war crimes) yakni (1) the International Military Tribunal di
Nurenberg, yang mengadili para pemimin Jerman; dan (2) the International Military Tribunal for the Far
East di Tokyo, yang mengadili dan menghukum para pemimpin Jepang.

Gagasan pembentukan pengadilan internasional yang permanen sempat mandeg karena era perang
dingin, yang tidak memungkinkan gagasan ini dilaksanakan secara politik. Baru diawal era 1990-an, ide ini

4
kembali menguat. Dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di bekas Negara Yugoslavia dan Rwanda,
membuka pintu bagi pembentukan sebuah pengadilan permanen.

Untuk peristiwa di bekas Negara Yugoslavia, Dewan Keamanan PBB membentuk pengadilan internasional
ad hoc pada 1993, dan pengadilan internasional ad hoc untuk mengadili pelaku genosida di Rwanda, pada
1994. Ditahun yang sama, 1994, International Law Commission menyelesaikan draft statute International
Criminal Court dan selanjutnya, pada pertemuan Majelis Umum PBB di Roma, Juni 1998, Negara-negara
peserta mengadopsi Rome Statute of the International Criminal Court, dengan melakukan pemungutan
suara: 120 negara mendukung, 7 negara menolak dan 21 negara menyatakan abstain. Negara yang
menolak Statuta Roma pada saat itu adalah China, Irak, Israel, Libya, Qatar, the United States, and
Yaman. Statuta Roma sendiri berlaku pada 1 Juli 2002 setelah 60 negara didunia meratifikasinya. Majelis
Hakim pertama yang terdiri dari 18 orang dipilih oleh anggota Majelis Umum PPB pada Februari 2003.
Kasus pertama yang diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal
Court) adalah perkara Thomas Lubanga Dyilo yang dituduh melakukan kejahatan perang karena memaksa
anak-anak dibawah umur menjadi serdadu di Kongo.

Pengadilan HAM di Indonesia

Di Indonesia, terbentuknya pengadilan hak asasi manusia tidak dapat dilepaskan dari konteks pengaruh
dunia internasional akibat peristiwa yang terjadi selama proses jajak pendapat di Timor Leste (dahulu
Timor Timur) pada 1999. Komisi Tinggi HAM PBB meminta pemerintah RI untuk membentuk pengadilan
HAM karena adanya dugaan pelanggaran HAM berat di Timor Leste ini. Pilihannya ketika itu, membentuk
pengadilan HAM sendiri, atau dugaan pelanggaran HAM berat ini diproses ke pengadilan HAM
internasional.

Pada 8 Oktober 1999, Presiden B.J. Habibie menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1999. Perpu ini sempat ditolak oleh DPR dalam sidang Paripurna bulan Maret
2000 karena dinilai tidak menenuhi persyaratan adanya kegentingan yang memaksa. Pemerintah
kemudian mengajukan RUU Pengadilan HAM ke DPR dan hanya dalam kurang lebih 7 (tujuh) bulan, RUU
ini disahkan menjadi UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

5
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus dibawah peradilan umum, yang khusus memeriksa dan
memutus perkara kejahatan genosida (genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan ( crimes against
humanity). Pengadilan HAM di Indonesia, tidak seperti Pengadilan HAM Internasional, tidak memiliki
yurisdiksi untuk memeriksa dan memutus perkara kejahatan perang ( war crimes) dan kejahatan agresi
(crimes of aggression).
Kekhususan lainnya:
- penyelidikan dilaksanakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
- majelis yang memeriksa dan memutus terdiri dari hakim karir dan hakim ad hoc.
- Selain itu, asas hukum yang berlaku adalah asas rektro-aktif, dimana seseorang dapat dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut.
- Perkara pelanggaran HAM berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM dalam waktu paling
lama 180 hari (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan
HAM.
- adanya pengaturan tentang perlindungan saksi dan korban; serta
- adanya pengaturan tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagai hak korban
pelanggaran HAM berat.

Sedangkan hukum acara yang digunakan tetap berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, terutama prosedur pembuktiannya.

Sebagai catatan penting, dalam UU 26/2000 dikenal bentuk pertanggungjawaban pelaku komandan militer
dan atasan polisi atau sipil. Rumusan pertanggungjawaban komando/atasan ( command responsibility) ini
diatur dalam Pasal 42 UU 26/2000:

(1) Komandan militer atau seseorang yg secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat
dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana dalam jurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan
oleh pasukan yang berada di bawah komando pengendaliannya yang efektif, atau di bawah
kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari
tidak dilakukannya pengendalian secara patut, yaitu :

6
a. komandan militer/seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu,
seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja
melakukan pelanggaran HAM yang berat; dan
b. Komandan militer/seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yg layak dan diperlukan dalam
ruang lingkup kekuasannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau
menyerahkan pelakunya pada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan
(2) Seseorang atasan, baik polisi/sipil, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran ham
yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaannya dan
pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakuan pengendaliannya terhadap
bawahannya secara patut dan benar, yakni :
a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yg secara jelas
menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran ham
yg berat; dan
b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup
kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan
pelakunya pada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan.

Sebelum terbitnya UU 26/2000, pernah dibentuk Pengadilah HAM ad hoc, yang memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran HAM berat di Timor Timur pada 1999 dan peristiwa Tanjung Priok. Dalam perkara ini,
mekanisme pembentukan pengadilan HAM sebagai berikut:
- Komnas HAM melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat lalu hasil penyelidikan
diserahkan kepada Jaksa Agung;
- Jaksa Agung melalukan penyidikan, dan hasil penyidikan diserahkan kepada Presiden;
- Presiden mengirimkan surat ke DPR lalu DPR mengeluarkan rekomendasi pembentukan
Pengadilan HAM ad hoc.
- Presiden menindaklanjuti rekomendasi dengan menerbitkan Keputusan Presiden tentang
pembentukan pengadilan HAM ad hoc.

7
Setelah terbitnya UU 26/2000, baru 1 (satu) dugaan pelanggaran HAM berat yang dilanjutkan dengan
pembentukan Pengadilan HAM, yakni perkara pelanggaran HAM berat peristiwa Abepura yang terjadi pada
7 Desember 2000. Perkara ini disidangkan di Pengadilan Negeri Makassar, hal mana berdasarkan
ketentuan Pasal 45 UU 26/2000, untuk pertama kalinya pengadilan HAM dibentuk di Jakarta, Medan,
Surabaya dan Makassar . Pengadilan Negeri Makassar mempunyai yurisdiksi meliputi wilayah Papua.

Dalam perkembangannya, dengan dalih, alasan dan argumentasi yang disampaikan baik oleh Jaksa
Agung maupun DPR, hasil penyelidikan Komnas HAM yang sudah dilakukan, sampai hari ini tidak
dilanjutkan ke tahap penuntutan dan atau pembentukan pengadilan HAM. Setidaknya ada 7 (tujuh)
peristiwa dugaan pelanggaran berat HAM yang telah dilakukan penyelidikannya oleh Komnas HAM, yakni:
1. Peristiwa Trisakti Semanggi I tahun 1998 dan Semanggi II tahun 1999;
2. Peristiwa kerusuhan Mei 1998;
3. Peristiwa penghilangan orang sepanjang 1997-1998;
4. Peristiwa Talangsari Lampung tahun 1989,
5. Peristiwa 1965-1966;
6. Peristiwa penembakan misterius sepanjang periode 1982-1985 ; serta
7. Peristiwa Wasior tahun 2001 dan Wamena tahun 2003 di Papua.

*****

Daftar Bacaan Lanjutan:

Peraturan Perundang-undangan, a.l..:


- Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
- Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

UN doc.:
- Rome Statute of the International Court, UN doc. A/CONF.183/9 of 17 July 1998, entered into force
on 1 July 2002.

Referensi:

- Philip Alston & Ryan Goodman. 2012. International Human Rights. Oxford University Press.

8
- Ian Brownlie. 2006. Basic Documents on Human Rights. Oxford: Clarendon Press..
- Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen. 2007. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi
Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

You might also like