You are on page 1of 21

I.

TUJUAN

Tujuan dilakukannya praktikum kali ini adalah untuk mempelajari serta


mengidentifikasi perubahan tekstur dalam berbagai jenis makanan, baik sebelum
penyimpanan maupun setelah penyimpanan beberapa hari.
II. TEORI DASAR
2.1 Tekstur
Tekstur merupakan salah satu sifat penting yang harus dimiliki bahan
pangan baik produk segar ataupun olahannya. Tektur yang baik, secara kasat mata
akan menimbulkan kesan yang baik. Jika ada sedikit penyimpangan dari tekstur
maka akan mengurangi mutu dari produk tersebut. Parameter tekstur dibagi
menjadi finger feel dan mouth feel. Finger feel adalah kesan kinestetik jari tangan
mencakup kelompok kesan yang dinyatakan dengan firmness, softness, dan
juiciness. Mouth feel adalah kesan kinestetik pengunyahan makanan dalam mulut
yang mencakup kelompok kesan yang dinyatakan dengan istilah chesiness,
fibrousness, grittiness, mealiness, stickiness, dan oiliness.
Tekstur pangan merupakan salah satu sifat pangan yang dapat mengalami
perubahan. Perubahan karakteristik tersebut antara lain terjadinya kerusakan atau
penyimpangan dari sifat bahan makanan tersebut. Perubahan sifat tersebut dapat
meliputi sifat fisik, kimia, dan biologis. Kerusakan pada bahan makanan
disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal dari bahan makanan tersebut.
Faktor internal yang dapat menyebabkan kerusakan makanan antara lain enzim,
jenis (genetik), dan bahan kimia yang dikandung bahan makanan tersebut.
Sedangkan faktor eksternalnya antara lain suhu penyimpanan, jenis pengemas,
persediaan oksigen, kelembaban udara (RH) cahaya, dan lain-lain.
2.2 Penyimpanan
Penyimpanan adalah usaha untuk melindungi bahan pangan dari kerusakan
yang disebabkan oleh berbagai hal antara lain seperti mikroorganisme, serangga,
tikus dan kerusakan fisiologis atau biokimia. Penyimpanan bahan pangan atau
hasil pertanian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pengolahan,
khususnya pengawetan dan pengemasan bahan pangan. Penyimpanan berfungsi
sebagai pengendali persediaan makanan. Cara penyimpanan bahan pangan selama
proses pengolahan dan tingkat distribusi serta penjualan merupakan salah satu
faktor dalam menentukan keamanan dan mutu bahan pangan (Buckle et al, 2009).
Faktor yang sangat berpengaruh selama penyimpanan bahan pangan adalah faktor
biotik dan faktor abiotik. Faktor biotik dapat disebabkan oleh serangga, tungau,
hewan pengerat, dan mikroorganisme (kapang, khamir dan bakteri). Sedangkan
faktor abiotic adalah suhu, kelembaban, O2, dan CO2 di tempat penyimpanan.
Interaksi antara kedua faktor tersebut akan menentukan kondisi penyimpanan
selanjutnya berpengaruh pada tingkat penyusutan bahan pangan yang disimpan
(Sinha dan Muir, 1973 dalam Erawaty, 2001).
Penyimpanan terhadap produk pangan pada suhu kamar akan
mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan kimia, mikrobiologi dan
organoleptik yang mencirikan berlangsungnya proses pembusukan yang relative
cepat dengan berjalannya waktu penyimpanan (Suparno dan Martini, 1980 dalam
Lestari, 2002). Kerusakan bahan pangan dapat diartikan sebagai perubahan yang
terjadi pada pangan (mentah atau olahan) dimana sifat-sifat kimiawi, fisik dan
organoleptik bahan pangan telah ditolak oleh konsumen. Suatu bahan pangan
dikatakan rusak bila menunjukkan adanya penyimpangan yang melewati batas
yang dapat diterima secara normal oleh panca indera atau parameter lain yang
digunakan (Muchtadi, 1989).
Lama simpan suatu produk pangan, sangat dipengaruhi oleh kondisi
penyimpanan produk pangan itu sendiri. Kondisi penyimpanan yang baik akan
memperpanjang lama simpan produk permen karamel susu, apabila kondisinya
tidak baik maka produk akan lebih cepat mengalami kerusakan. Kerusakan
produk pangan selama penyimpanan biasanya disebabkan oleh kesalahan dalam
teknik penyimpanan, reaksi kimia dalam bahan dan aktivitas mikroba.Sebelum
mengemas suatu makanan kita perlu mengetahui sifat karakteristik bahan yang
akan dikemas dengan jenis kemasan yang akan digunakan. Kecocokan antara
kemasan dengan makanan ini akan dapat mempengaruhi lama penyimpanan
makanan tersebut.
Menurut Winarno dan Jennie (1983) diacu dalam Amelia (2000)
menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi penyimpanan adalah
kadar air. Pengaruh kadar air sangat penting dalam menentukan daya awet dari
makanan, karena faktor ini akan mempengaruhi sifat fisik (kekerasan dan
kekeringan) dan sifat-sifat fisiko-kimia, perubahan-perubahan kimia (browning
non enzimatis), kerusakan mikrobiologis dan enzimatis terutama pada makanan
yang tidak diolah. Tumbuhnya kapang di dalam bahan pangan dapat mengubah
komposisi bahan pangan. Beberapa mikroba dapat menghidrolisa lemak sehingga
menyebabkan ketengikan. Jika makanan mengalami kontaminasi secara spontan
dari udara, maka akan terdapat campuran beberapa tipe mikroba (Muchtadi,
1989).
2.3 Pengemasan
Pengemasan bertujuan untuk mencegah kebusukan, memudahkan dalam
transportasi, penyimpanan, pengawasan mutu, dan membuat produk menjadi lebih
menarik (Zaitsev et al 1969). Selain itu kemasan mempunyai peranan penting
dalam mempertahankan mutu bahan. Kerusakan yang terjadi dalam bahan pangan
dapat terjadi secara spontan dan hal ini sering disebabkan oleh pengaruh keadaan
dari luar. Pengemasan juga digunakan untuk membatasi antara bahan pangan
dengan keadaan sekelilingnya untuk menunda proses kerusakan dalam jangka
waktu tertentu (Buckle et al., 2009).
Menurut Winarno dan Jenie (1983) diacu dalam Amelia (2000), faktor-
faktor yang mempengaruhi kerusakan bahan pangan sehubungan dengan kemasan
yang digunakan dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu pertama, kerusakan yang
ditentukan oleh sifat alamiah dari produk dan tidak dapat dicegah dengan
pengemasan, misalnya keruskan kimia, biokimia, fisik dan mikrobiologi. Kedua,
kerusakan yang ditentukan oleh lingkungan dan hampir seluruhnya dapat
dikontrol dengan pengemasan yang digunakan, misalnya kerusakan mekanis,
perubahan kadar air bahan, absorbsi dan interaksi dengan oksigen serta
kehilangan dan penambahan citarasa yang diinginkan.
Kemasan, sampai batas tertentu memang dapat mengurangi pengaruh
buruk dari unsur perusak dari luar tersebut. Dengan demikian produk didalamnya
akan dapat lebih lama bertahan dalam kondisi yang baik. Hal ini sering
disalahartikan oleh sementara orang bahwa kemasan dapat mengawetkan produk.
Kemasan tidak dapat mengawetkan produk, yang dapat mengawetkan produk
adalah proses pembuatannya yang lebih baik dan/atau karena digunakannya
bahan-bahannya yang lebih baik. Kemasan hanya dapat menghambat atau
mengurangi derajat daya perusak dari unsur perusak luar. Bahkan, bila unsur
perusaknya telah berada di dalam produk tersebut, misalnya karena produknya
telah tercemar oleh mikroba-mikroba perusak, atau adanya proses kimia atau
biokimia yang masih dapat berlanjut maka kemasan tidak dapat berbuat banyak
(Anonim, 2013).
Plastik merupakan polimer, dimana komponen utamanya adalah monomer,
yaitu rantai paling pendek, dimana bila rantai tersebut dikelompokkan bersama-
sama dalam suatu pola acak, akan menyerupai tumpukan jerami, maka disebut
amorp. Jika pola yang terbentuk teratur, maka disebut kristalin dengan sifat yang
lebih keras dan tegar. Menurut Syarief, dkk. (1989) penggunaan plastik dalam
pengemasan makanan cukup menarik karena sifat sifatnya yang fleksibel,
mudah dibentuk, mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap produk, tidak korosif
serta mudah dalam penanganannya. Sedangkan kertas merupakan bahan yang tipis
dan rata, yang dihasilkan dengan kompresi serat yang berasal dari pulp. Kertas
memiliki permeabilitas yang tinggi dimana oksigon dapat keluar dan masuk dan
jenis kemasan seperti ini cocok untuk bahan makanan yang masih melakukan
respirasi seperti sayur dan buah (Herudiyanto, 2010).
III. ALAT DAN BAHAN

3.1 Alat
Gelas
Piring
Pisau
Sendok
Kantong plastik
Kantong kertas
Karet gelang
3.2 Bahan
Kerupuk
Gula merah
Roti tawar
Pisang
Mentimun
IV. PROSEDUR
1. Semua jenis makanan yang disajikan diamati dan diperiksa, kemudian
tabel hasil pengamatan diisi dengan teliti.
2. Sebagian dari makanan tersebut dimasukan kedalam 2 jenis kantong, yaitu
kantong kertas dan kantong plastik, kemudian kantong tersebut diikat
dengan karet. Label diberikan pada semua kantong dan dituliskan nama,
jenis makanan/contoh, dan tanggal pada saat disimpan. Semua sampel
disimpan pada suhu kamar.
3. Perubahan tekstur yang terjadi selama penyimpanan diperiksa setiap 2-3
hari sekali selama seminggu.
4. Tekstur sebelum penyimpanan dan sesudah penyimpanan dibandingkan,
kemudian diskusikan hasil pengamatan dengan teman.
V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Praktikum penilaian sensori pangan kali ini dilakukan pengamatan tekstur


pada beberapa bahan pangan sebelum dan selama penyimpanan menggunakan
kemasan plastik dan kemasan kertas. Sampel yang digunakan yaitu kerupuk, roti
tawar, gula merah, mentimun, dan pisang. Semua sampel tersebut disimpan
selama 1 minggu. Pengamatan dilakukan selama 3 kali dalam seminggu.
Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat bahwa sampel yang disimpan dengan
menggunakan kemasan kertas maupun kemasan plastik mengalami perubahan
tekstur. Hasil pengamatannya disajikan sebagai berikut.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Perubahan Tekstur Kerupuk
Tanggal Tekstur
Contoh
Pemeriksaan Keutuhan Kerenyahan Kekerasan
Kerupuk 15 03 - 16 Utuh Renyah - Keras
Kerupuk 17 03 16 Utuh Tidak renyah Keras -
dalam 18 - 03 16 Utuh Melempem + Keras -
kantong 22 03 - 16 Utuh Melempem + Keras --
plastik +
Kerupuk 17 03 16 Utuh - Tidak renyah Liat +
dalam 18 - 03 16 Utuh - Liat + Liat +++
kantong 22 03 - 16 Utuh - Liat +++ Liat ++++
kertas
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016
Kerupuk adalah suatu jenis makanan kering yang terbuat dari bahan-bahan
yang mengandung pati cukup tinggi. Kerupuk merupakan bahan pangan berongga
yang memiliki kadar air yang rendah (kurang dari 3%). Pengertian lain
menyebutkan bahwa kerupuk merupakan jenis makanan kecil yang mengalami
pengembangan volume membentuk produk yang porus dan mempunyai densitas
rendah selama proses penggorengan (Koswara, 2009). Berdasarkan hasil
pengamatan, kerupuk sebelum penyimpanan memiliki karakteristik utuh, agak
renyah, dan keras. Kerenyahan kerupuk dapat dipengaruhi oleh volume
pengembangan kerupuk. Sedangkan volume pengembangan dapat dipengaruhi
oleh kandungan amilopektin dan kandungan protein yang terkandung pada bahan.
Menurut Zulviani (1992), pada dasarnya kerupuk dengan kandungan
amilopektin yang lebih tinggi akan memiliki pengembangan yang tinggi, karena
pada saat proses pemanasan akan terjadi proses gelatinisasi dan akan terbentuk
struktur yang elastis yang kemudian dapat mengembang pada tahap penggorengan
sehingga kerupuk dengan volume pengembangan yang tinggi akan memiliki
kerenyahan yang tinggi. Selain kandungan amilopektin, volume pengembangan
juga dapat dipengaruhi oleh kandungan protein yang terdapat pada kerupuk.
Menurut Lavlinesia (1995), kandungan protein yang tinggi dapat menyebabkan
kantong-kantong udara kerupuk yang dihasilkan semakin kecil karena padatnya
kantong-kantong udara tersebut terisi oleh bahan lain sehingga dapat
menyebabkan volume pengembangan semakin kecil yang akhirnya dapat
menyebabkan kerenyahan semakin menurun.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa adanya perubahan tekstur kerupuk
yang dibungkus dengan kantong plastik maupun kertas selama penyimpanan. Bila
dua jenis kemasan yang digunakan dibandingkan maka terlihat bahwa kemasan
plastik lebih melindungi kerupuk dibanding kertas. Penggunaan plastik tetap
mempertahankan keutuhan namun kekerasan dan kerenyahan kerupuk berkurang
menjadi melempem. Sedangkan penggunaan kertas membuat keutuhan kerupuk
berkurang dan tekstur kerupuk menjadi liat. Nurhimah (2002) menyatakan bahwa
penggunaan plastik sebagai bahan pengemas mempunyai keunggulan dibanding
bahan pengemas lain karena sifatnya yang ringan, transparan, kuat, termoplatis
dan selektif dalam permeabilitasnya terhadap uap air, O 2, CO2. Sifat permeabilitas
plastik terhadap uap air dan udara menyebabkan plastik mampu berperan
memodifikasi ruang kemas selama penyimpanan (Winarno, 1987 dalam
Nurhimah, 2002).
Berkurangnya tingkat kerenyahan kerupuk selama penyimpanan tersebut
merupakan tanda bahwa produk kerupuk tersebut telah mengalami kerusakan
(Muchtadi, 1989). Terjadinya penurunan kerenyahan kerupuk disebabkan karena
volume pengembangan kerupuk yang semakin menurun selama penyimpanan
akibat kadar air yang ada pada kerupuk tersebut yang semakin meningkat selama
penyimpanan. Supartono (2000) menyatakan bahwa sifat produk kerupuk adalah
kemudahan menyerap air (higroskopis). Semakin mudah dan cepat menyerap air
maka produk kerupuk akan semakin mudah melempem sehingga tidak renyah.
Tingkat penyerapan air tergantung pada kondisi lingkungan. Lingkungan
yang memiliki RH tinggi, mengakibatkan kerupuk akan lebih cepat menyerap air
dari lingkungannya sebagai reaksi untuk menuju kondisi keseimbangan yang akan
menyebabkan kerupuk menjadi melempem. Katz dan Labuza (1981) menduga air
akan melarutkan dan melunakkan matriks pati dan protein yang ada pada sebagian
bahan pangan yang mengakibatkan perubahan kekuatan mekanik termasuk
kerenyahan. Laju penyerapan air juga dipengaruhi oleh kemampuan air
menembus kemasan plastik. Makin besar pori-pori plastik maka laju penyerapan
air akan makin cepat. Laju penyerapan air akan semakin kecil pada saat kerupuk
hampir mencapai kondisi keseimbangan terhadap lingkungan.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Perubahan Tekstur Roti Tawar
Tanggal Tekstur
Contoh
Pemeriksaan Keutuhan Kelembaban Kekerasan
Roti 15 03 - 16 Utuh Lembab Lembut
Roti dalam 17 03 16 Utuh Kering Lembut -
kantong 18 - 03 16 Terobek di Kering Keras +
plastik ujung sedikit
22 03 - 16 Terobek di Kering ++ Keras ++
ujung sedikit
Roti dalam 17 03 16 Utuh Kering + Keras
kantong 18 - 03 16 Utuh Kering ++ Keras +
kertas 22 03 - 16 Utuh kering ++++ Keras ++
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016
Tekstur roti tawar dapat dilihat dengan mata dan dirasakan dengan jari-jari
tangan, meliputi kelembaban/kekeringan, serta kelembutan atau kekerasan roti.
Sama halnya dengan kerupuk, tekstur roti pun mengalami perubahan baik dari
kelembaban maupun kekerasan dan kelembutan. Berdasarkan hasil pengamatan,
roti tawar sebelum penyimpanan memiliki karakteristik lembab dan lembut.
Proses fermentasi dan pemanggangan (baking) mengubah adonan menjadi bentuk
roti bertekstur lembut dengan struktur bagian dalam berbentuk porous seperti busa
(Syamsir, 2014).
Proses koagulasi gluten dan gelatinisasi pati membentuk crumb dan
tekstur yang lembut. Pada saat pemanggangan, molekul pati menyerap air
sehingga mengalami pengembangan dan menjadi semi-firm (setengah keras). Hal
ini mengakibatkan pembentukan struktur lembut dengan aktivitas air tinggi pada
roti bagian dalam (crumb) sedangkan bagian kulit (crust) memiliki tekstur crispy
(renyah) karena aktivitas air rendah (Aini, 2014). Berdasarkan hal tersebut, maka
roti memang berkarakteristik lembab dan lembut.
Berdasarkan hasil pengamatan roti yang telah disimpan beberapa hari,
menjadi bertambah kering dan keras jika dibandingkan dengan pengamatan awal.
Apabila dibandingkan maka produk roti yang disimpan pada kemasan kantong
kertas memiliki tekstur yang lebih kering dan lebih keras dibandingkan dengan
yang disimpan pada kantong plastik. Hal ini berarti tekstur roti lebih terlindungi
bila dikemas menggunakan plastik. Roti mudah mengalami kerusakan termasuk
kategori pangan semi basah yang memiliki aktivitas air cukup tinggi. Umur
simpan roti secara normal biasanya hanya mencapai tiga sampai empat hari.
Kerusakan yang umum dijumpai pada produk-produk rerotian adalah bread
staling. Bread staling merupakan proses yang berhubungan dengan rekristalisasi
atau retrogradasi molekul pati yang tergelatinisasi selama pemanggangan (Aini,
2014).
Staling tidak disebabkan oleh mikroorganisme pembusuk, melainkan
peristiwa kimia terutama keluarnya air dari bagian remah roti. Proses staling
terjadi setelah roti keluar dari pemanggangan. Pada saat roti keluar dari oven dan
mengalami pendinginan, molekul pati mulai mengalami retrogradasi. Air yang
terserap selama pemanggangan perlahan-lahan akan menguap sehingga roti yang
awalnya lembut dan lembab menjadi semakin keras dan kering. Air merupakan
bahan yang berperan penting dalam proses staling karena pelunakan roti dan
pengerasan remah roti berhubungan dengan redistribusi air selama penyimpanan
(Lent dan Grant, 2001 dalam Aini, 2014).
Selama pembuatan roti, air mengalami perubahan mulai saat drying out,
moisture equilibration (kesetimbangan air) antara bagian crumb dan crust, serta
tahap redistribusi air antar komponen roti. Aktivitas air pada crumb yang lebih
tinggi dari crust menyebabkan air berpindah dari bagian crumb ke crust.
Perpindahan air ini menyebabkan kadar air crust yang meningkat dan teksturnya
berubah dari crispy menjadi lunak dan alot, sehingga terjadilah proses staling.
Penampakan crust yang awalnya mengkilap (glossy) juga berubah menjadi opak
(tidak jernih).
Bagian crust akan menjadi keras pada udara kering dan menjadi lembek
pada udara yang lembab. Roti yang memiiki crust (kulit) mengalami proses
staling lebih cepat dibandingkan roti tanpa kulit. Hal ini disebabkan perbedaan
aktivitas air yang cukup besar antara bagian crust dan crumb. Proses staling bisa
dipengaruhi karena pengaruh waktu, suhu, dan kelembaban. Bread staling terjadi
lebih cepat pada suhu rendah karena berhubungan dengan rekristalisasi pati pada
suhu penyimpananan. Bread staling lebih aktif terjadi padakisaran suhu 0 sampai
10 oC, sehingga lebih baik roti tidak disimpan di dalam refrigerator. Berbeda
dengan penyimpanan dingin, penyimpanan pada suhu beku (dibawah -5 oC) justru
dapat memperlambat staling.
Bread staling dapat dikendalikan dengan mengatur jumlah ingredient dan
metode pembuatan roti, modifikasi penyimpanan dan menggunakan bahan
tambahan makanan. Roti yang sudah mengalami staling dapat dikembalikan
teksturnya menjadi lembut kembali dengan jalan memanaskan roti. Pada kondisi
tersebut pati yang sudah mengalami retrogradasi akan mencapai suhu gelatinisasi
dan menyerap air lagi sehingga teksturnya kembali empuk. Kondisi tersebut dapat
terjadi asalkan roti belum terlalu lama disimpan atau kehilangan air terlalu
banyak, pemanasan akan membuat roti enak untuk dikonsumsi kembali. Proses
pemanasan ini hanya dapat dilakukan sekali, dan setelah dipanaskan kembali,
kecepatan staling akan meningkat dua kali dibandingkan keadaan awal.
Tabel 3. Hasil Pengamatan Perubahan Tekstur Gula Merah
Tanggal Tekstur
Contoh
Pemeriksaan Keutuhan Kelembaban Kekerasan
Gula merah 15 03 - 16 Utuh Kering Keras,
berpasir
Gula merah 17 03 16 Utuh Lembab Keras -,
dalam berpasir
kantong 18 - 03 16 Utuh Lembab Keras --,
plastik berpasir
22 03 - 16 Utuh Lembab + Keras --.
berpasir
Gula merah 17 03 16 Utuh Kering Keras,
dalam berpasir
kantong 18 - 03 16 Utuh Kering Keras,
kertas berpasir
22 03 - 16 Utuh Kering Keras,
berpasir
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016
Tekstur gula merah dapat dilihat dari kelembaban dan kekerasannya. Di
awal pengamatan, gula merah memiliki tekstur yang kering, keras, dan berpasir.
Kekerasan gula merah dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti mutu nira, kadar
air, dan kadar lemak. Mutu nira berhubungan dengan jumlah sukrosa yang
terdapat di dalamnya. Semakin baik mutu nira, jumlah sukrosa akan semakin
tinggi dan gula merah yang terbentuk akan memiliki tekstur yang baik. Apabila
sukrosa telah terinversi maka gula merah akan sulit mengeras.
Air merupakan salah satu komponen yang berpengaruh terhadap
keempukan gula. Semakin tinggi air maka kekerasan gula merah akan semakin
rendah, sebaliknya keempukan gula akan semakin meningkat dengan
meningkatnya kadar air dalam gula merah (Sudarmadji et al. 1989). Lemak juga
berperan dalam menentukan keempukan gula merah. Molekul-molekul lemak di
dalam gula merah membentuk globula-globula yang menyebar diantara kristal
atau butiran gula sehingga kekerasan gula akan berkurang atau keempukannya
akan bertambah (Santoso, 1993).
Setelah dilakukan penyimpanan beberapa hari, tekstur gula merah dalam
kantung plastik menjadi agak lembab dan kekerasannya berkurang sedangkan
gula dalam kantung kertas memiliki tekstur yang tetap kering. Berdasarkan hal
tersebut diperoleh bahwa pengemasan oleh kantung kertas lebih baik untuk gula
merah dibandingkan dengan kantung plastik. Hal ini tidak sesuai literatur karena
seharusnya plastik lebih bisa melindungi gula merah sebab permeabilitasnya lebih
rendah. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan suhu dan kelembaban
penyimpanan. Tekstur yang lembab pada gula merah karena menurut Santoso
(1993), sifat gula kelapa mudah menarik air (higroskopis). Gula merah bersifat
mudah menarik air (higrokopis) karena mengandung gula reduksi yang tinggi (
10%) sehingga menyebabkan gula merah relatif tidak dapat bertahan lama.
Penurunan mutu selama penyimpanan disebabkan oleh pengemasan yang
kurang baik sehingga masuk uap air dari lingkungan. Kerusakan pada gula merah
kelapa dapat terjadi karena menyerap uap air dari lingkungan. Peningkatan kadar
air selama penyimpanan menyebabkan gula menjadi berair dalam waktu 2-4
minggu, hal ini menurunkan mutu dan penerimaan konsumen (Santoso, 1993).
Penyimpanan gula kelapa sampai dengan 30 hari apabila tanpa pengemas rata-rata
kenaikan kadar air 0,76% per minggu; dengan pengemas kertas kadar air naik
0,57% per minggu, dan; dengan pengemas plastik kenaikan kadar air hanya 0,21%
per minggu (Santoso, 1993).
Tabel 4. Hasil Pengamatan Perubahan Tekstur Mentimun
Contoh Tanggal Tekstur
Pemeriksaan Keutuhan Kelembaban Kekerasan
Mentimun 15 03 - 16 Utuh Lembab Keras
Mentimun 17 03 16 Utuh Lembab Keras
dalam 18 - 03 16 Utuh Lembab - Keras -
kantong 22 03 - 16 Utuh Lembab -- Keras -
plastik
Mentimun 17 03 16 Utuh Lembab Keras
dalam 18 - 03 16 Utuh Kering Keras -
kantong 22 03 - 16 Sedikit kerut kering Keras --
kertas
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016
Tekstur mentimun dapat dilihat dari kelayuan/kerut, kelembaban, dan
kekerasannya dengan ditekan menggunakan ujung jari. Mentimun pada saat awal
pengamatan memiliki tekstur lembab dan keras. Tekstur lembab disebabkan
karena mentimun ini termasuk produk hortikultura. Kebanyakan produk
hortikultura memiliki kandungan air tinggi (Utama dan Permana, 2002). Setelah
disimpan selama beberapa hari tekstur pada mentimun yang dikemas dalam
kantung kertas, teksturnya lebih kering dan lebih lunak dibandingkan dengan
mentimun dalam kantung plastik. Selain itu, mentimun ini juga sedikit mengalami
pengerutan.
Hal tersebut membuktikan bahwa untuk mentimun, kemasan kantung
plastik lebih baik digunakan dibandingkan dengan kantung kertas. Kemasan
plastik cukup efektif mengurangi kehilangan air (Handayani, 2008). Brown dalam
Pudja (2009) juga menyatakan bahwa kemasan plastik berperan dalam jalannya
transpirasi buah dan sayur dalam kemasan, sehingga penyusutan berat dapat
dihambat. Plastik juga alat yang baik melindungi produk dari dehidrasi yang
tinggi melalui kelembaban atmosfer sekitar produk dalam kemasan.
Permeabilitas plastik yang rendah akan menekan laju keluar masuknya uap
air. Permeabilitas uap air yang rendah akan meningkatkan kelembapan dalam
kemasan. Hal ini akan menurunkan suhu selama kemasan, sehingga akan
menekan proses kehilangan air akibat transpirasi. Uap air akan pindah secara
langsung ke konsentrasi yang rendah melalui pori-pori di permukaan buah,
apabila konsentrasi uap air selama dalam kemasan tinggi akan mengurangi
penguapan oleh buah. Plastik film memberikan perlindungan terhadap kehilangan
air pada buah, sehingga buah yang dikemas masih terlihat segar.
Mentimun yang dikemas dalam kertas teksturnya menjadi kering
menandakan terjadinya penguapan air. Kehilangan air merupakan penyebab
utama kerusakan pada produk selama penyimpanan. Banyaknya air yang hilang
dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban relatif udara dalam ruangan penyimpanan.
Bila suhu tinggi dan kelembaban udara semakin rendah transpirasi akan
berlangsung lebih cepat yang menyebabkan kelayuan pada produk.
Mentimun yang dikemas dengan plastik maupun kertas sama-sama
mengalami penurunan tingkat kekerasan. Menurut Pantastico (1997) melunaknya
tekstur dipengaruhi oleh kinerja enzim. Penurunan nilai kekerasan ini terjadi
akibat degradasi pektin yang tidak larut air (protopektin) dan berubah
menjadipektin yang larut dalam air. Hal ini mengakibatkan menurunnya daya
kohesi dinding sel yang mengikat dinding sel yang satu dengan dinding sel yang
lain.
Tabel 5. Hasil Pengamatan Perubahan Tekstur Pisang
Tanggal Tekstur
Contoh
Pemeriksaan Keutuhan Kelembaban Kekerasan
Pisang 15 03 - 16 Utuh Lembab Lembut
Pisang dalam 17 03 16 Utuh Lembab Lembut
kantong 18 - 03 16 Utuh Lembab + Lembut +
plastik 22 03 - 16 Utuh Lembab ++ Tidak layak
makan
Pisang dalam 17 03 16 Utuh Lembab + Lembut +
kantong 18 - 03 16 Utuh Lembab ++ Tidak layak
kertas (berkapang) makan
22 03 - 16 Utuh Lembab +++
(berkapang)
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016
Berdasarkan hasil pengamatan, tekstur awal pisang sebelum penyimpanan
yaitu lembut dan lembab. Setelah dilakukan penyimpanan selama beberapa hari,
tekstur pisang yang disimpan di dalam plastik maupun kertas teksturnya semakin
lembab dan semakin lunak bahkan tumbuh kapang pada pisang yang dikemas
dengan kertas. Tekstur buah ditentukan oleh senyawa-senyawa pektin dan
selulosa. . Penurunan nilai kekerasan ini terjadi akibat degradasi pektin yang tidak
larut air (protopektin) dan berubah menjadi pektin yang larut dalam air. Hal ini
mengakibatkan menurunnya daya kohesi dinding sel yang mengikat dinding sel
yang satu dengan dinding sel yang lain.
Pisang tergolong buah klimakterik, ditandai dengan peningkatan CO2
secara mendadak, yang dihasilkan selama pematangan. Klimakterik adalah suatu
periode mendadak yang khas pada buah-buahan tertentu, dimana selama proses
tersebut terjadi serangkaian perubahan biologis yang diawali dengan proses
pembentukan etilen. Hal tersebut ditandai dengan terjadinya proses pematangan
(Syarief dan Irawati, 1988). Laju respirasi klimakterik ini terjadi secara cepat
sehingga apabila kemasannya tidak baik maka akan tumbuh kapang seperti pada
pisang yang dikemas menggunakan kertas. Pisang yang disimpan pada
kelembaban yang lebih tinggi sering tampak kapang tumbuh pada permukaan
bintik-bintik hitam (Badan Ketahanan Pangan, 2006). Aspergillus sp., A. niger,
Penicillium sp.,P.italicum, P.digitatum, Gloeosporium musae, Fusarium sp, dan
Monocillium spp ditemukan mengkontaminasi buah pisang (Matashi dan
Kentarou, 2009).
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap tekstur roti, gula merah, kerupuk,
mentimun, dan pisang dapat disimpulkan bahwa perubahan tekstur bahan pangan
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (suhu, kelembaban udara), perlakuan fisik,
dan jenis kemasan. Rata-rata hasil pengamatan menunjukkan bahwa kemasan
plastik yang digunakan pada praktikum lebih baik dibandingkan kemasan kertas
karena permeabilitasnya rendah sehingga lebih kedap udara, artinya perpindahan
uap air dari udara ke bahan atau sebaliknya dapat diminimalisir. Perpindahan uap
air terjadi karena RH bahan dengan RH lingkungan tidak sama. Oleh karena itu,
suatu bahan yang memiliki RH yang lebih rendah daripada RH lingkungan (bahan
kering), akan menyerap uap air dari udara (lingkungan) sehingga bahan tersebut
menjadi lebih berair, sedangkan jika suatu bahan memiliki RH yang lebih tinggi
dari RH lingkungan, maka uap air dari bahan akan diserap oleh lingkungan dan
menyebabkan bahan tersebut menjadi lebih kering.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari kegiatan praktikum kali ini yaitu :
Perubahan tekstur makanan selama penyimpanan dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain jenis kemasan, suhu, dan kelembaban.
Rata-rata hasil pengamatan menunjukkan penggunaan plastik sebagai
kemasan lebih baik dibanding menggunakan kertas.
Penggunaan plastik tetap mempertahankan keutuhan kerupuk namun
kekerasan dan kerenyahannya berkurang menjadi melempem. Sedangkan
penggunaan kertas membuat keutuhan kerupuk berkurang dan tekstur
kerupuk menjadi liat.
Roti tawar yang disimpan pada kemasan kantong kertas memiliki tekstur
yang lebih kering dan lebih keras dibandingkan dengan yang disimpan
pada kantong plastik.
Tekstur gula merah dalam kantung plastik menjadi agak lembab dan
kekerasannya berkurang sedangkan gula dalam kantung kertas memiliki
tekstur yang tetap kering.
Tekstur mentimun yang dikemas dalam kantung kertas lebih kering dan
lebih lunak dibandingkan dengan mentimun dalam kantung plastik. Selain
itu, mentimun ini juga sedikit mengalami pengerutan.
Tekstur pisang yang disimpan di dalam plastik maupun kertas teksturnya
semakin lembab dan semakin lunak bahkan tumbuh kapang pada pisang
yang dikemas dengan kertas.

6.2 Saran
Saran untuk kegiatan praktikum kali ini yaitu sebaiknya diketahui jenis
plastik apa yang digunakan untuk mengemas.
DAFTAR PUSTAKA

Amelia, A. 2000. Kajian pengemasan kerupuk mentah siap goreng selama


penyimpanan [skripsi]. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Aini, N. 2014. Proses Staling pada Produk Bakeri. Available online at


http://kulinologi.biz/ (diakses pada 27 Maret 2016)

Anonim. 2013. Pengemasan Bahan Pangan. Available online at


http://tekpan.unimus.ac.id/ (diakses pada 27 Maret 2016)

Badan Ketahanan Pangan. 2006. Teknologi Pengawetan Bahan Segar. Available


online at http://bkp.madiunkab.go.id/ (diakses pada 27 Maret 2016)

Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wootton. 2009. Ilmu Pangan.


Penerjemah : Hari Purnomo dan Adiono. UI Press. Jakarta.

Erawaty WR. 2001. Pengaruh bahan pengikat, waktu penggorengan


dan daya simpan terhadap sifat fisik dan organoleptik produk
nugget ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) skripsi. Jurusan
Teknologi Hasil Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Handayani, R. T. 2008. Pengemasan atmosfer termodifikasi jamur tiram putih


(Pleurotus ostreatus). [Skripsi]. Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Herudiyanto, M. 2010. Teknologi Pengemasan Pangan. Widya Padjadjaran,


Bandung.

Katz, E. E. dan Labuza. 1981. Effect of water activity on the sensory crispness
and mechanical deformation of snack food product. J. Food. Sci. 46 : 403

Koswara, S. 2009. Pengolahan Aneka Kerupuk. Available online at


http://tekpan.unimus.ac.id/ (diakses pada 27 Maret 2016)

Lavlinesia. 1995. Kajian beberapa faktor pengembangan volumetrik dan


kerenyahan kerupuk ikan [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor.

Lestari DS. 2002. Pengaruh lama penyimpanan daging rajungan


(Portunus pelagicus) rebus pada suhu kamar. [skripsi].
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Matashi, K. dan Kentarou, Y. 2009. Microorganism-deterioration of banana in
transport [in Japanese]. Journal of Memoirs of the Faculty of Agriculture
of Kinki University 207-213

Muchtadi TR. 1989. Teknologi Pengolahan Pangan. Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nurhimah, M. 2002. Penelitian Sifat Berbagai Bahan Kemasan Plastik dan Kertas
serta Pengaruhnya terhadap Bahan yang Dikemas. Available online at
http://library.usu.ac.id/ (diakses pada 27 Maret 2016)

Pantastico, E. R. 1986. Fisiologi Pengemasan Pasca Panen Buah dan Sayuran


Tropis. Penerjemah : Kamariyani. Gadjah Mada Press. Yogyakarta.

Pudja, I. A. 2009. Kajian penyimpanan buah salak bali segar pada pengemasan
plastik polyethylene terperforasi dalam atmosfer termodifikasi.
Prosding seminar Nasional FTP UNUD ISBN: 978-602-8659-02-4. P
116-122.

Santoso, H. B. 1993. Pembuatan Gula Kelapa. Kanisius. Yogyakarta.

Sudarmaji, S, Haryono, B dan Suhardi 1997, Analisa Bahan Makanan dan Hasil
Pertanian. Edisi ke 2. Pusat Antar Universitas Ilmu Pangan dan Gizi UGM,
Yogyakarta.

Supartono, W. 2000. Pengembangan Produk dan Standarisasi Kualitas Kerupuk


Rambak. Seminar Nasional Industri Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian.
UGM.. Yogyakarta.

Syamsir, E. 2014. Mengendalikan Proses Fermentasi. Available online at


http://kulinologi.biz/ (diakses pada 27 Maret 2016)

Syarief, R dan A, Irawati. 1986. Pengetahuan Bahan Untuk Industri Pertanian.


MSP. Jakarta.

Syarief, R., S.Santausa, dan St. B. Ismayana. 1989. Teknologi Pengemasan


Pangan. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, PAU Pangan dan Gizi,
IPB. Bogor.

Utama, I. M. S. dan I. D. G. M. Permana. Teknologi Pascapanen Hortikultura.


Available online at http:// http://staff.unud.ac.id/ (diakses pada 27 Maret
2016)

Winarno dan B. S. L. Jenie. 1982. Kerusakan Bahan Bangan dan Cara


Pencegahannya. Ghalia Indonesia. Bogor.
Zaitsev V, Kizevetter I, Lagunov C, Makarova T, Minder L,
Podsevalov. 1969. Fish Curing and Processing. Mir Publisher
Moscow. Uni soviet.

Zulviani R. 1992. Pengaruh berbagai tingkat suhu penggorengan terhadap pola


pengembangan kerupuk sagu goreng [skripsi]. Jurusan Teknologi Pangan
dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
JAWABAN PERTANYAAN
1. Diantara beberapa sampel yang diamati, sampel manakah yang paling
cepat mengalami perubahan tekstur? Mengapa demikian?
Sampel yang cepat mengalami perubahan tekstur ialah pisang. Hal ini
mungkin disebabkan karena pisang termasuk produk hortikultura sehingga
masih melakukan respirasi setelah dipanen. Selain itu, pisang termasuk ke
dalam buah dengan pola respirasi klimakterik.
2. Uraikan masing-masing penyebab perubahan tekstur pada masing-masing
sampel!
- Penyebab perubahan tekstur pada kerupuk adalah karena kerupuk
berkadar air rendah sehingga bersifat higroskopis yang dapat
menyebabkan penyerapan air oleh kerupuk dari lingkungan.
- Penyebab perubahan tekstur pada roti adalah aktivitas air bagian
crumb roti yang tinggi sehingga menyebabkan terjadinya bread
staling.
- Penyebab perubahan tekstur pada gula merah adalah sifat gula yang
higroskopis sehingga dapat menyerap air dari lingkungan yang
menyebabkan tekstur menjadi lembab dan melunak.
- Penyebab perubahan tekstur pada mentimun adalah karena masih
terjadi respirasi dan transpirasi pada mentimun.
- Penyebab perubahan tekstur pada pisang adalah karena masih terjadi
respirasi klimakterik pada pisang.
3. Manakah kemasan yang lebih sesuai untuk mengemas mentimun dan
pisang? Jelaskan alasannya!
Kemasan yang lebih sesuai untuk mengemas mentimun dan pisang adalah
kemasan plastik terutama jenis polietilen karena permeabilitasnya rendah.
Dengan adanya plastik polietilen ini, maka laju respirasi produk akan
menurun karena polietilen mempunyai sifat permeabilitas terhadap uap air
dan air rendah, stabil terhadap panas, memiliki kerapatan tinggi sebagai
pelindung terhadap tekanan luar, serta tidak bereaksi dengan makanan dan
tidak menimbulkan racun (Winarno dan Jenie, 1982).

You might also like