You are on page 1of 14

A.

DEFINISI
Appendisitis adalah inflamasi akut pada appendisits verniformis dan
merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Brunner &
Suddart, 1997). Apendiksitis adalah radang apendiks, suatu tambahan seperti
kantung yang tak berfungsi terletak pada bagian inferior dzri sekum. Penyebab yang
paling umum dari apendisitis adalah abstruksi lumen oleh feses yang akhirnya
merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi (Wilson
& Goldman, 1989). Appendiks adalah ujung seperti jari-jari yang kecil panjangnya
kira-kira 10 cm (4 inchi), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal
(Smeltzer, Suzanne, C., 2001).

B. ANATOMI FISOLOGI
Appendiks merupakan
suatu organ limfoid seperti tonsil,
payer patch (analog dengan Bursa
Fabricus) membentuk produk
immunoglobulin, berbentuk
tabung, panjangnya kira-kira 10
cm (kisaran 3-15 cm) dengan
diameter 0,5-1 cm, dan
berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar dibagian
distal. Basis appendiks terletak pada bagian postero medial caecum, di bawah katup
ileocaecal. Ketiga taenia caecum bertemu pada basis appendiks. Apendiks
vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum) yang bergabung dengan
mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesenteriolum berisi a.
Apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup
ileocecal. Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh
appendiceal dan terkadang juga memiliki limfonodi kecil.
Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa,
submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa.
Apendiks mungkin tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang merupakan
lapisan peritoneum yang menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal,
menutup caecum dan appendiks. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat
kendor dan jaringan elastic membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan
lymphe. Antara Mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri dari
satu lapis collumnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta
lieberkuhn. Dinding dalam sama dan berhubungan dengan sekum (inner circular
layer). Dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia
colli pada pertemuan caecum dan apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai
pegangan untuk mencari apendiks. Appendiks terletak di ujung sakrum kira-kira 2
cm di bawah anterior ileo saekum, bermuara di bagian posterior dan medial dari
saekum. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu: taenia anterior, medial dan posterior.
Secara klinik appendiks terletak pada daerah Mc. Burney yaitu daerah 1/3 tengah
garis yang menghubungkan sias kanan dengan pusat.

FISIOLOGI
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke seikum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.
Immunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT ( Gut Associated
Lymphoid Tissue ) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks ,
ialah IgA immunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Namun pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab
jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran
cerna dan seluruh tubuh.

C. ETIOLOGI
Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetus apendisitis. Sumbatan pada
lumen apendiks merupakan faktor penyebab dari apendisitis akut, di samping
hiperplasia (pembesaran) jaringan limfoid, timbunan tinja/feces yang keras
(fekalit), tumor apendiks, cacing ascaris, benda asing dalam tubuh (biji cabai, biji
jambu, dll) juga dapat menyebabkan sumbatan.
Diantara beberapa faktor diatas, maka yang paling sering ditemukan dan
kuat dugaannya sebagai penyebab appendisitis adalah faktor penyumbatan oleh
tinja/feces dan hyperplasia jaringan limfoid. Penyumbatan atau pembesaran inilah
yang menjadi media bagi bakteri untuk berkembang biak. Perlu diketahui bahwa
dalam tinja/feces manusia sangat mungkin sekali telah tercemari oleh
bakteri/kuman Escherichia Coli, inilah yang sering kali mengakibatkan infeksi yang
berakibat pada peradangan usus buntu (Anonim,2008).
Menurut Joyce, M.Black tahun 1995 apendisitis dapat disebabkan oleh:
1. Fekolit yang terperangkap dalam lumen
Adanya fekolit menyebabkan terjadinya obstruksi sekret appendiks yang
disertai pelebaran alaat tubuh. Pelebaran ini mengakibatkan terjadinya
tekanan pada pembuluh-pembuluh darah yang menyebabkan edema dinding
apendiks, karena edema maka resistensi selaput berkurang dan mudah
diserang kuman.
2. Kekakuan appendiks
Sama halnya dengan peyumbatan oleh fekolit, dimana appendiks yang kaku
dapat meyebabkan terjadinya obstruksi pada lumen.
3. Bengkak pada dinding usus / tumor appendiks.
Jenis tumor yang paling sering pada appendiks adalah tumor carcinoid.
Carcinoid pada appendiks tumbuh mengelilingi rongga, tidak mempunyai
batas yang jelas dan dapat tumbuh infiltrat kedalam lapisan otot sehingga
menimbulkan obstruksi pada lumen.
4. Fibrosis yang luas disekeliling appendiks.
Benang fibrin juga akan dapat menyebabkan terjadinya obstruksi pada lumen.
5. Tersumbatnya usus oleh adhesi
Iritasi atau adhesi pada usus menyebabkan obstruksi pada appendiks.
6. Hiperplasia jaringan limfe
Pembesaran jaringan limfe dapat menyebabkan penyumbatan yang berakibat
radang pada appendiks.
7. Cacing Ascaris
Cacing ascaris lumbricoides jika masuk appendiks dapat menyebabkan
penyumbatan radang sekunder.
8. Erosi mukosa appendiks karena parasit seperti Entamoeba Histolytica dapat
menyebabkan terjadi infeksi.
Penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis. Konstipasi
akan menyebabkan meningkatnya tekanan intra sekal yang mengakibatkan
timbulnya sumbatan fungsional appendiks dan meningkatkan pertumbuhan
kuman flora normal kolon, semua ini akan mempermudah timbulnya apendisitis
akut.

D. KLASIFIKAS PENDISITIS
a. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut
pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh
proses infeksi dari apendiks.
Penyebab obstruksi dapat berupa :
1. Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
2. Fekalit
3. Benda asing
4. Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi
tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra
luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks
sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada
dinding apendiks.
Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi
dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.
b. Appendicitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan
trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks.
Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks
menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi
eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema,
hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai
dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik
Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan
defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-
tanda peritonitis umum.
c. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat
: riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopik dan mikroskopik, dan keluhan menghilang
satelah apendektomi.
Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut
dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens
apendisitis kronik antara 1-5 persen.
d. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil
patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn
apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak
perna kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut.
Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis
rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik.
Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering
penderita datang dalam serangan akut.
e. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat
adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan
fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun
jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa
menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut
kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu
saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya
adalah apendiktomi.
f. Tumor Apendiks
Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu
apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke
limfonodi regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi
harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.
g. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis
prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas
spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom
karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas
karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6%
kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang
menyebabkan gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan
residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila
spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas
tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan

E. PATOFISIOLOGI
Menurut Mansjoer (2000) Apendiksitis biasa disebabkan oleh adanya penyumbatan
lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena
fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Feses yang terperangkap
dalam lumen apendiks akan menyebabkan obstruksi dan akan mengalami
penyerapan air dan terbentuklah fekolit yang akhirnya sebagai kausa sumbatan.
Obstruksi yang terjadi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Semakin lama mukus semakin banyak, namun elastisitas
dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen. Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukus. Pada saat ini terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Sumbatan menyebabkan
nyeri sekitar umbilicus dan epigastrium, nausea, muntah. invasi kuman E Coli dan
spesibakteroides dari lumen ke lapisan mukosa, submukosa, lapisan muskularisa, dan
akhirnya ke peritoneum parietalis terjadilah peritonitis lokal kanan bawah.Suhu tubuh
mulai naik.Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri di area kanan bawah. Keadaan ini yang
kemudian disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri
terganggu akan terjadi infark diding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium
ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh pecah, akan
menyebabkan apendisitis perforasi.
Bila proses tersebut berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut akan menyebabkan abses atau bahkan
menghilang.
Pada anak-anak karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan demikian ditambah dengan daya tahan tubuh yang
masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi
mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.

Tahapan Peradangan Apendisitis


1. Apendisitis akuta (sederhana, tanpa perforasi)
2. Apendisitis akuta perforate (termasuk apendisitis gangrenosa, karena dinding
apendiks sebenarnya sudah terjadi mikroperforasi)

F. PATHWAYS

Idiopatik makan tak teratur Kerja fisik yang keras

Massa keras feses

Obstruksi lumen
Suplay aliran darah menurun
Mukosa terkikis

Perforasi Peradangan pada appendiks distensi abdomen


Abses
Peritonitis Nyeri
Menekan gaster

Appendiktomy pembatasan intake cairan peningk prod HCL

Insisi bedah mual, muntah

Resiko kurang
Terputusnya Resiko terjadi volume cairan
kontinuitas jaringan infeksi

Nyeri

G. TANDA DAN GEJALA


Untuk menegakkan diagnosa pada apendisitis didasarkan atas anamnese
ditambah dengan pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya. 3
anamnesa penting yakni:
a. Anoreksia biasanya tanda pertama.
b. Nyeri, permulaan nyeri timbul pada daerah sentral (viseral) lalu kemudian menjalar
ketempat appendics yang meradang (parietal). Retrosekal/nyeri
punggung/pinggang. Postekal/nyeri terbuka.
c. Diare, Muntah, demam derajat rendah, kecuali ada perforasi.

Gejala usus buntu bervariasi tergantung stadiumnya;


1. Penyakit Radang Usus Buntu akut (mendadak)
Pada kondisi ini gejala yang ditimbulkan tubuh akan panas tinggi Demam bisa
mencapai 37,8-38,8 Celsius, mual-muntah, nyeri perut kanan bawah, buat berjalan
jadi sakit sehingga agak terbongkok, namun tidak semua orang akan menunjukkan
gejala seperti ini, bisa juga hanya bersifat meriang, atau mual-muntah saja
2. Penyakit Radang Usus Buntu kronik
Pada stadium ini gejala yang timbul sedikit mirip dengan sakit maag dimana terjadi
nyeri samar (tumpul) di daerah sekitar pusar dan terkadang demam yang hilang
timbul. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang muntah, kemudian
nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas pada
apendisitis akut yaitu nyeri pd titik Mc Burney (titik tengah antara umbilicus dan
Krista iliaka kanan).
Penyebaran rasa nyeri akan bergantung pada arah posisi/letak usus buntu itu sendiri
terhadap usus besar, Apabila ujung usus buntu menyentuh saluran kencing ureter,
nyerinya akan sama dengan sensasi nyeri kolik saluran kemih, dan mungkin ada
gangguan berkemih. Bila posisi usus buntunya ke belakang, rasa nyeri muncul pada
pemeriksaan tusuk dubur atau tusuk vagina. Pada posisi usus buntu yang lain, rasa
nyeri mungkin tidak spesifik. (Anonim, 2008)
Pemeriksaan Diagnosa Penyakit
Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menentukan dan
mendiagnosa adanya penyakit radang usus buntu (Appendicitis). Diantaranya adalah
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiology:
1. Pemeriksaan fisik.
a. Inspeksi: akan tampak adanya pembengkakan (swelling) rongga perut dimana
dinding perut tampak mengencang (distensi).
b. Palpasi: didaerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa nyeri dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign) yang mana merupakan
kunci dari diagnosis apendisitis akut.
c. Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat / tungkai di angkat tinggi-
tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah (psoas sign)
d. Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah bila pemeriksaan
dubur dan atau vagina menimbulkan rasa nyeri juga.
e. Suhu dubur (rectal) yang lebih tinggi dari suhu ketiak (axilla), lebih menunjang
lagi adanya radang usus buntu.
f. Pada apendiks terletak pada retro sekal maka uji Psoas akan positif dan tanda
perangsangan peritoneum tidak begitu jelas, sedangkan bila apendiks terletak di
rongga pelvis maka Obturator sign akan positif dan tanda perangsangan
peritoneum akan lebih menonjol
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium darah, yang dapat ditemukan adalah kenaikan dari
sel darah putih (leukosit) hingga sekitar 10.000 18.000/mm3. Jika terjadi
peningkatan yang lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami
perforasi (pecah).
3. Pemeriksaan radiologi
Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit. Namun pemeriksaan ini
jarang membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis. Ultrasonografi (USG)
cukup membantu dalam penegakkan diagnosis apendisitis, terutama untuk wanita
hamil dan anak-anak. Tingkat keakuratan yang paling tinggi adalah dengan
pemeriksaan CT scan (93 98 %). Dengan CT scan dapat terlihat jelas gambaran
apendiks. Pada kasus yang kronik dapat dilakukan rontgen foto abdomen, USG
abdomen dan apendikogram.

Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya demam ringan


Mual, muntah
Anoreksia, malaisse
Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney
Spasme otot
Konstipasi, diare
(Brunner & Suddart, 1997)

H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Sel darah putih : lekositosis diatas 12000/mm3, netrofil meningkat sampai 75%
Urinalisis : normal, tetapi eritrosit/leukosit mungkin ada
Foto abdomen: Adanya pergeseran material pada appendiks (fekalis) ileus terlokalisir
Tanda rovsing (+) : dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah
(Doenges, 1993; Brunner & Suddart, 1997)

I. KOMPLIKASI
Komplikasi utama adalah perforasi appediks yang dapat berkembang menjadi
peritonitis atau abses apendiks
Tromboflebitis supuratif
Abses subfrenikus
Obstruksi intestinal

J. PENATALAKSANAAN
Tidak ada penatalaksanaan appendicsitis, sampai pembedahan dapat di lakukan.
Cairan intra vena dan antibiotik diberikan intervensi bedah meliputi pengangkatan
appendics dalam 24 jam sampai 48 jam awitan manifestasi. Pembedahan dapat
dilakukan melalui insisi kecil/laparoskop. Bila operasi dilakukan pada waktunya laju
mortalitas kurang dari 0,5%. Penundaan selalu menyebabkan ruptur organ dan akhirnya
peritonitis. Pembedahan sering ditunda namun karena dianggap sulit dibuat dan klien
sering mencari bantuan medis tapi lambat. Bila terjadi perforasi klien memerlukan
antibiotik dan drainase.
Komplikasi yang dapat terjadi akibat apendisitis yang taktertangani yakni:
1. Perforasi dengan pembentukan abses.
2. Peritonitis generalisata
3. Pieloflebitis dan abses hati, tapi jarang.
a. Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan
b. Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedhan dilakukan
c. Analgetik diberikan setelah diagnosa ditegakkan
d. Apendektomi dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.
(Brunner & Suddart, 1997)

1. Sebelum operasi
a. Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis
seringkali masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan.
Pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laktasif tidak boleh
diberikan bila dicurigai adanya apendisitis ataupun bentuk peritonitis lainnya.
Pemeriksaan abdomen dan rectal serta pemeriksaan darah (lekosit dan hitung
jenis) diulang secara periodic. Foto abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk
mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis
ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah
timbulnya keluhan.
b. Antibiotik.
Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotic,
kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforate. Penundaan
tindak bedah sambil memberikan antibiotic dapat mengakibatkan abses atau
perforasi.

2. Operasi
1.Appendiktomi cito (appendicitis akut, abses, dan perforasi)
2.Appendiktomi elektif (appendisitis kronis)
3.Konservatif kemudian operasi elektif (appendisitis infiltrat)
Operasi Appendisitis akut disebut : A. Chaud
Operasi Appendisitis kronis disebut : A. Froid

3. Pascaoperasi
Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
pendarahan di dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernafasan. Angkat sonde
lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah.
Baringkan pasien dalam posii Fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak
terjai gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar,
misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi
usus kembali normal.
Satu hari pascaoperasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama
2x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar. Hari ke
tujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media
Aesculapius: FK UI
Schwartz, et al. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Edisi Keenam. EGC: Jakarta
Soda, K., et al. 2001. Detection of Pinpoint Tenderness on the Appendix Under
Ultrasonography Is Useful to Confirm Acute Appendicitis.
Jong, W., Sjamsuhidajat, R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC: Jakarta.
Jehan, E. 2003. Peran C Reaktif Protein Dalam Menentukan Diagnosa Appendisitis Akut.
Bagian Ilmu bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.
Reksoprodjo, S., dkk. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf Pengajar
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bina Rupa Aksara: Jakarta.
Hardin, M. 1999. Acute Appendisitis :Review and Update. The American Academy of
Family Physicians. Texas A&M University Health Science Center, Temple, Texas
LAPORAN PENDAHULUAN

APPENDICITIS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Surgical

Disusun oleh:

RINDIKA ILLA KURNIAWAN


NIM.150070300011006

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN K3LN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

You might also like