Professional Documents
Culture Documents
RIZMA ALDILLAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Rizma Aldillah
NIM H451100281
RINGKASAN
Kedelai dijuluki sebagai Gold from the Soil, atau World's Miracle
mengingat kualitas protein tinggi, seimbang dan lengkap. Konsumsi kedelai
di Indonesia dipastikan akan terus meningkat setiap tahunnya mengingat
beberapa pertimbangan seperti bertambahnya populasi penduduk,
peningkatan pendapatan per kapita, kesadaran masyarakat akan gizi
makanan. Namun produksi kedelai belum mencukupi kebutuhan lokal,
sehingga pada 5 tahun terakhir impor rata-rata mencapai 80 persen per tahun
(FAO, 2013), walaupun demikian, dalam rencana strategis pengembagan
pertanian, Indonesia memiliki tujuan mencapai swasembada kedelai tahun
2020.
Permasalahan utama adalah produksi kedelai nasional lebih rendah
daripada kebutuhan dalam negeri, sehingga selalu mengalami defisit. Untuk
itu, dilakukan analisis produksi dan konsumsi kedelai nasional yang
bertujuan menganalisis variabel-variabel yang mempengaruhi produksi dan
konsumsi kedelai nasional, bagaimana proyeksi produksi dan konsumsi
kedelai nasional di tahun yang akan datang, serta bagaimana alternatif
simulasi yang dapat dilakukan guna meningkatkan produksi kedelai
nasional.
Hasil analisis simultan menyimpulkan bahwa produksi kedelai
nasional (PKN) dipengaruhi oleh luas area (LATKN) dan produktivitas
(PRKN), dimana perubahan LATKN dan PRKN resposif terhadap LATKN t-1
dan PRKNt-1. Sedangkan perubahan konsumsi (KKN) responsive terhadap
penawaran (SKN), dimana SKN mempengaruhi harga nasional (HKN),
begitupun harga impor (HKI) terintegrasi oleh HKN, sehingga perubahan
harga impor mempengaruhi volume impor (KIK), kesesuaian model bagus
(fit) berada dalam kisaran 75 98 persen.
Hasil peramalan tahun 2013 2020 menghasilkan rata-rata
pertumbuhan produksi sebesar 1.2 jutaan ton atau sekitar 6.8 persen per
tahun dan konsumsi sebesar 2.8 jutaan ton atau sekitar 2.1 persen per tahun,
namun demikian, defisit rata-rata mengalami penurunan rata-rata sekitar
0.98 persen atau 1.4 jutaan ton per tahun. Analisis simulasi kebijakan
bertujuan menganalisis strategi untuk meningkatkan produksi kedelai
nasional pada periode 2013 2020 sesuai hasil peramalan, dimana simulasi
tersebut diantaranya meningkatkan LATKN 7 persen, HKI 100 persen dan
HKN 50 persen.
Berdasarkan hasil penelitian, disarankan agar penerapan pembelian
harga petani spesifik lokasi, penetapan tarif impor kembali sesuai aturan
WTO, kontribusi agribisnis misalnya diversifikasi produk, serta pemotongan
jalur tataniaga yang lebih efisien dan efektif dari produsen ke konsumen.
Kata kunci: kebijakan, kedelai, konsumsi, peramalan, produksi, simulasi
SUMMARY
RIZMA ALDILLAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Suharno, M. Adev.
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr IrHen
Diketahui oleh
Penulis
ix
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 5
Tujuan Penelitian 7
Manfaat Penelitian 7
Batasan Penelitian 8
2 TINJAUAN PUSTAKA 9
Ekonomi Kedelai 9
Produksi Kedelai Nasional 11
Konsumsi Kedelai Nasional 14
Kebijakan Perdagangan Kedelai 16
Model Ekonomi Kedelai 19
Review Penelitian Terdahulu 19
Penelitian Kedelai di Negara Lain 19
Penelitian Kedelai di Indonesia 21
Model Simultan dan Non Simultan 26
Model Persamaan Simultan 27
Identifikasi dalam Model Persamaan Simultan 29
Metode Pendugaan Model Persamaan Simultan 30
3 KERANGKA PEMIKIRAN 33
Kerangka Pemikiran Teoritis 33
Teori Produksi 33
Teori Konsumsi 34
Teori Persamaan Simultan 37
Kerangka Pemikiran Operasional 40
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Luas Area Tanam 40
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas 41
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi 42
Model Persamaan Simultan 44
4 METODE PENELITIAN 47
Jenis dan Sumber Data 47
Metode Analisis 47
Penentuan Model 49
Metode Peramalan 50
Analisis Simulasi Kebijakan 50
x
1.2 Harga Ekspor dan Harga Impor Kedelai Nasional 1961 2012 7
3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual 40
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Produksi dan Konsumsi Kedelai
Nasional 44
5.1 Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 2013
2020 63
DAFTAR LAMPIRAN
2a Data Historis 80
2b Data Historis 81
2c Data Historis 83
3 Jenis Variabel Data dan Sumber Data 84
4 Perkembangan Neraca Historis Produksi dan Konsumsi Kedelai
Nasional 84
5a Perkembangan Pertumbuhan Data Historis 86
5b Perkembangan Pertumbuhan Data Historis 87
5c Perkembangan Pertumbuhan Data Historis 88
xii
1 PENDAHULUAN
1
) Agribisnis. 2001. Produksi Kedelai Nasional Belum Mencukupi. Jumat, 24 Agustus 2001; 18:21WIB.
Jakarta. www. agribisnis.tripod.com
2
Tabel 1.3 Ekspor dan Impor Kedelai Dunia Tahun 1961 2011
Tahun Ekspor (juta ton) Impor (juta ton)
1961 4.17 4.09
1970 12.63 12.29
1980 26.88 27.04
1990 25.88 26.33
2000 47.38 48.48
2003 65.03 65.80
4
Tabel 1.3 Ekspor dan Impor Kedelai Dunia Tahun 1961 2011 (lanjutan)
Tahun Ekspor (juta ton) Impor (juta ton)
2006 67.0 66.36
2009 81.54 79.94
2011 91.02 90.81
Jumlah rata-rata per tahun (juta ton) 32.73 32.76
Pertumbuhan rata-rata per tahun (%) -64.04 -63.93
Kontribusi Indonesia terhadap dunia (%) 0.007 1.93
Sumber: FAO (2013), diolah
Tabel 1.4 Kuantitas Ekspor dan Impor Kedelai Indonesia Tahun 1961 2012
Tahun Ekspor (juta ton) Impor (juta ton)
1961 0.000410 0
1970 0.002690 0
1980 0.000311 0.10
1990 0 0.54
2000 0.000290 1.28
2005 0.000876 1.086180
2010 0.003850 1.740505
2012 0.000466 1.914561
Jumlah Rata-rata per tahun (ton) 0.002374 0.631821
Pertumbuhan rata-rata/tahun (%) 357.76 264.42
Sumber: FAO (2013), diolah
Gambar 1.1 Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional 1961 2012 (sumber:
FAO 2013)
Gambar 1.2 Harga Ekspor (HKE) dan Harga Impor Kedelai (HKI) 1961 2012
(Sumber: FAO 2013)
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini berguna untuk
beberapa pihak, antara lain:
1. Bagi peneliti, sebagai sarana dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan untuk
mengatasi masalah penelitian.
8
Batasan Penelitian
II TINJAUAN PUSTAKA
9
sebesar 10 persen menjadi nol persen, sehingga kedelai impor bisa masuk dengan
harga yang lebih murah. Namun pada kenyataannya, harga kedelai impor tetap
mahal. Dampak penurunan tarif impor ini hanya menurunkan harga kedelai
domestik dari harga Rp. 7.500,- menjadi Rp. 6.750,- per kg pada tahun 2011.
Terakhir adalah pemerintah harus menghimbau pada pengrajin tahu dan tempe
agar melakukan diversifikasi dalam penggunaan bahan baku tempe, seperti
penggunaan singkong, kacang tanah dan kacang hijau.
Kebijakan jangka panjang terkait dengan aspek teknis, seperti dukungan
pemerintah terhadap penggunaan bibit unggul, penggunaan teknologi yang efektif
dan efisien, memperluas area tanam kedelai (Karo Karo 2011). Hal ini tentunya
tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah, sehingga secara bersama-sama
seluruh pihak yang berkepentingan dalam kepemerintahan dan masyarakat
tentunya harus saling mendukung dan terus meningkatkan kinerja usahataninya
dengan lebih efisien dan efektif. Kebijakan lainnya adalah dengan himbauan
pemerintah kepada masyarakat Indonesia untuk melakukan diversifikasi pangan,
misalnya dengan mengkonsumsi makanan tradisional khas Indonesia, tidak hanya
mengkonsumsi makanan yang asalnya dari luar negeri. Dengan demikian, dalam
jangka panjang bahan makanan yang berasal dari luar negeri akan semakin
menurun ketika permintaannya di dalam negeri juga menurun.
Umumnya negara sedang berkembang lebih memilih kebijakan ekonomi
terbuka, yaitu melakukan hubungan ekonomi dengan luar negeri. Kebijakan ini
akan membuka akses pasar ekspor bagi produk-produk mereka, sekaligus
membuka sumber pengadaan barang modal dan bahan baku industri dari negara-
negara lain. Secara teoretis, jika pengelolaan baik dan transparan, kebijakan
ekonomi terbuka dapat mempercepat pembangunan ekonomi. Kebijakan
perdagangan internasional terdiri atas kebijakan harga dan perdagangan (Irsyad
2011). Tujuan utama kebijakan perdagangan tersebut adalah untuk menjaga
kestabilan harga kedelai di dalam negeri pada tingkat yang cukup memberi
insentif kepada petani untuk meningkatkan produksi dan sekaligus member
insentif kepada pengrajin tahu tempe. Efisiensi pemasaran hanya dapat
ditingkatkan kalau pemerintah dapat memperbaiki infrastuktur transportasi,
mengembangkan sistem informasi harga, dan memperluas jangkauan terhadap
kredit bagi mereka yang sedang atau ingin masuk ke dalam bisnis pemasaran
kedelai.
Kebijakan harga dasar dimulai sejak tahun 1979 1991 dan setiap tahun
diterapkan melalui Inpres pada tanggal 1 Nopember kecuali untuk tahun 1991
yang ditetapkan sebulan lebih awal. Berdasarkan laporan perkembangan harga
FAO, harga dasar kedelai pada tahun mencapai Rp. 6.500,-/kg pada tahun 2011
sudah mencapai Rp. 7.000,- /kg, dari gambaran peningkatan harga dasar kedelai
ini memperlihatkan pemerintah mulai berpihak kepada petani kedelai. Walaupun
perubahan harga dasar tersebut menggambarkan perubahan perhatian pemerintah
terhadap kedelai dan padi dari tahun ke tahun. Dari segi nisbah harga dasar
kedelai terhadap harga kedelai di tingkat petani terlihat bahwa kebijakan harga
dasar kedelai tidak banyak berpengaruh positif terhadap petani kedelai (Siregar
2000).
Hasil penelitian oleh Zakiah (2011) menunjukkan bahwa harga kedelai
nasional secara nyata dipengaruhi oleh harga kedelai impor dengan korelasi
positif. Artinya, ketika harga impor meningkat, maka harga kedelai nasional juga
18
akan meningkat. Sedangkan variabel jumlah produksi kedelai dan jumlah kedelai
impor berkorelasi negatif. Ini menunjukkan harga kedelai di tingkat petani akan
menurun jika jumlah kedelai impor meningkat. Karena itu perlu adanya upaya
untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri tanpa harus mengimpor kedelai
dari luar negeri. Impor akan menurunkan harga kedelai di tingkat petani, dan ini
menyebabkan gairah petani untuk menanam kedelai menurun disebabkan petani
tidak mendapatkan keuntungan dari usahataninya.
Untuk menstabilkan harga kedelai di dalam negeri, pada awal tahun 1980
BULOG melaksanakan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran kedelai.
Tujuannya untuk menjamin ketersediaan kedelai bagi pengrajin tahu/tempe
terutama bagi anggota KOPTI. Pengadaan dalam negeri hanya berlangsung selam
3 tahun (1979-1983) dan jumlahnya sangat kecil atau kurang dari 1 persen dari
produksi dalam negeri. Sebaliknya pengadaan melalui impor berlangsung tiap
tahun dengan jumlah yang cukup besar. Sementara itu stok kedelai meningkat
terus dari tahun ketahun. Sebenarnya KOPTI diwajibkan untuk membeli kedelai
lokal sekitar 20 persen dari kedelai yang didistribusikan oleh BULOG (Irawan dan
Purwoto 1989), tapi pada kenyataannya hal itu tidak berjalan dengan baik, karena
harga kedelai impor lebih murah dari kedelai lokal.
Erwidodo dan Hadi (1999) menganalisis dampak penghapusan tarif impor
kedelai 5 persen pada tahun 1995 (Pakmei) dengan konsep consumer surplus dan
producer surplus. Fungsi permintaan dispesifikasikan sebagai fungsi dari harga
kedelai tingkat pedagang besar, sementara fungsi penyediaan dispesifikasikan
sebagai fungsi dari harga tingkat produsen, sehingga penghapusan tarif tersebut
akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dinikmati oleh konsumen.
Kebijakan perdagangan internasional lainnya adalah pengenaan tarif ad-
valorem untuk impor kedelai. Tarif tersebut dimulai sejak 1974 sebesar 30 persen
yang dipertahankan sampai tahun 1980. Sejak tahun 1981 1993 tarif impor
kedelai diturunkan menjadi 10 persen dan kemudian menjadi 5 persen pada tahun
1994 1996. Pada tahun 1997 tarif tersebut diturunkan lagi menjadi 2.5 persen
dan akhirnya tarif impor kedelai ditiadakan mulai tahun 1998 2012 (Siregar
2000 dan Dirjen Pajak 2012).
Review kebijakan perkedelaian nasional yang telah diuraikan secara
mendasar memuat misi bahwa disatu sisi sektor pertanian harus mampu
menyediakan kebutuhan konsumsi langsungbagi masyarakat dengan cukup, baik
jumlah maupun kualitasnya. Di sisi lain, sektor pertanian harus dapat menjadi
pendorong berkembangnya berbagai kegiatan, baik pada sektor hulu maupun hilir,
pada setiap pembangunan wilayah pertanian. Dalam operasionalnya, kebijakan
kedelai yang mendukung program pembangunan pertanian diantaranya adalah
kebijakan ekonomi terbuka atau perdagangan internasional, yang mencakup
kebijakan harga dan perdagangan, dalam hal ini yaitu kebijakan tarif impor dan
quota impor. Dengan adanya intervensi pemerintah melalui kebijakan
perkedelaian ini, maka produksi kedelai nasional akan dapat memenuhi kebutuhan
kedelai dalam negeri, sehingga tidak diperlukan impor kedelai, maka
pembangunan pertanian untuk mencapai swasembada kedelai nasional tercapai.
parameter kedelai dengan harga minyak kedelai di pasar domestik. Hal ini
dikarenakan harga minyak kedelai lokal bergantung pada harga minyak kedelai
internasional. Harga komoditi kedelai di India sangat berfluktuasi, karena sebgian
besar dipengaruhi oleh harga dan pasokan minyak kedelai Brazil dan Argentina
yang berlaku di pasar internasional. Sedangkan pengaruh dari harga sawit
Malaysia dan Indonesia dipengaruhi oleh intervensi pemerintah berupa tarif
impor.
Formasi harga di pasar minyak kedelai dunia, dalam sebuah analisis
ekonometrik oleh Sekhar (2008) menganalisis mekanisme pembentukan harga di
pasar minyak kedelai dunia untuk melihat tingkat kompetitifnya. Dengan
menggunakan model persamaan simultan struktural disimpulkan bahwa faktor
penentu utama harga minyak kedelai dunia sebagai substitusi minyak kelapa sawit
dunia dengan simulasi proyeksi permintaan minyak kedelai dunia hingga tahun
2015 adalah terdapat kesenjangan antara pasokan dan permintaan minyak dunia,
karena produksi menurun sedangkan permintaan meningkat di negara-negara
pengekspor minyak sawit dunia. Simulasi ini juga mengkombinasikan penurunan
harga minyak sawit dunia, dan hasilnya ketika harga minyak sawit dunia menurun
menyebabkan kuantitas dan harga ekspor kedelai dunia juga menurun.
Menurunnya harga minyak sawit dunia menyebabkan kuantitas impor minyak
sawit ke India juga semakin menurun, implikasinya adalah kehidupan petani
kedelai di daerah kering ini semakin sejahtera, karena penggunaan minyak kedelai
akan semakin meningkat.
Cooke and Robles (2009) menginterpretasikan bahwa sebelum dan
sesudah krisis pangan, aktivitas yang banyak spekulasi nya pada saat krisis sedang
berlangsung tidak mempengaruhi pembentukan harga kedelai di Mexico. Namun
bukan berarti sebelum dan sesudah krisis spekulasi harga tidak terjadi. Namun
tidak menyebabkan pergeseran harga kedelai. Dari analisis deret waktu dapat
disimpulkan bahwa kegiatan di pasar berjangka yang sifatnya spekulasi
mempengaruhi perilaku harga komoditas kedelai dalam beberapa tahun ini. Pada
kenyataannya, harga kedelai mulai pertengahan 2005 hingga Desember 2007
menunjukkan peningkatan kedelai ekspor dunia yang disebabkan meningkatnya
harga kedelai dunia. Hal ini juga dipengaruhi oleh kegiatan di pasar saham untuk
komoditi pertanian walaupun sifatnya spekulasi.
Sebuah analisis ekonometrik hubungan antara ethanol, jagung dan kedelai
serta harga minyak dunia di USA oleh Savernini (2009) menyimpulkan bahwa
harga jagung dan produksi ethanol di USA memiliki hubungan yang negatif.
Karena sebagian besar produksi ethanol di USA berbahan baku jagung, sehingga
ketika harga jagung dunia meningkat, maka produksi ethanol menurun. Harga
minyak dunia memiliki hubungan negatif dengan harga jagung dan kedelai.
Dimana harga minyak yang lebih tinggi menyebabkan permintaan bensin
menurun, sehingga permintaan ethanol berkurang. Akibatnya produksi jagung
menurun, maka harga jagung juga akan menurun. Implikasinya adalah produksi
kedelai meningkat dan harga kedelai akan menurun. Berdasarkan hasil estimasi,
karena shock harga minyak dunia baik menurun atau meningkat akan berpengaruh
kepada minyak jagung dan minyak kedelai di USA.
Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Argentina dalam meningkatkan
produksi kedelai adalah dengan cara adopsi teknologi melalui pakan ternak.
Meningkatnya penggunaan pakan ternak yang berbahan dasar
21
kedelai digunakan untuk sapi perah. Produksi sapi perah ditingkatkan, sehingga
kebutuhan akan pakan ternak yang berbahan dasar kedelai meningkat, maka
permintaan akan kedelai semakin meningkat, pada akhirnya produksi kedelai
semakin meningkat. Kebijakan ini telah dilakukan sejak tahun 2000, dan terus
mengalami kinerja yang semakin baik (Lence 2010).
Harga kedelai telah naik tajam sejak pertengahan Desember 2011 ketika
pasar berjangka menetapkan perdagangan kedelai rendah tepat di bawah 11 US $
per gantang. Harga kedelai dunia diakhir Desember 2011 terkait dengan beberapa
permintaan kedelai yang meningkat dari Cina. Keuntungan juga didorong oleh
berita bahwa, cuaca panas dan kering di Argentina menyebabkan kerusakan pada
tanaman jagung dan kedelai. Harga kemudian kembali meningkat tajam karena
cuaca panas dan kering yang berkelanjutan di Argentina dan Brazil Selatan yang
tampaknya menyebabkan kerugian yang signifikan, karena produktivitas kedelai
tidak potensial. Kemungkinan terjadi risiko di USA yang mana ketika harga
kedelai dunia meningkat, maka dampaknya permintaan kedelai dari Brazil dan
Argentina pun semakin berkurang, sehingga ekspor dari USA ke kedua negara
tersebut semakin menurun (Agroclipping 2012)2.
yaitu pengeluaran pangan dan non pangan, nilai konsumsi pangan, dan saldo.
Sedangkan rantai hubungan yang paling lemah adalah rantai hubungan peubah
banyaknya anggota rumahtangga yang mempengaruhi secara tak langsung
terhadap peubah endogen yaitu pengeluaran pangan dan non pangan, nilai
konsumsi pangan dan saldo.
Pendekatan sistem persamaan simultan yang dilakukan dalam penelitian
dampak kebijakan produksi dan perdagangan terhadap permintaan dan penawaran
kedelai di Indonesia oleh Hadipurnomo (2000) menggunakan model
overidentified dengan model pendugaan yaitu 2SLS. Secara ringkas hasilnya
adalah bahwa respon luas areal panen lebih besar daripada respon produktivitas
terhadap perubahan harga produsen, harga benih, harga pupuk, upah tenaga kerja
dan harga pestisida. Areal panen dan produktivitas bersifat responsif terhadap
intensifikasi produksi. Impor hanya responsif dalam jangka pajang terhadap tarif
impor, tetapi kurang responsif baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek
terhadap harga pedagang besar, harga impor, nilai tukar Rupiah, GNP dan dalam
jangka pendek terhadap tarif impor. Kebijakan produksi berdampak lebih besar
pada perubahan luas areal panen, produktivitas dan produksi, terutama di wilayah
potensial luar Pulau Jawa daripada di Pulau Jawa. Penerapan intensifikasi
produksi dan peningkatan harga dasar berdampak pada peningkatan kesejahteraan
petani (produsen kedelai) dan industri (konsumen kedelai). Penghapusan subsidi
pupuk atau benih dan kombinasi keduanya berdampak pada penurunan
kesejahteraan petani dan industri. Peningkatan kuota impor berdmpak pada
peningkatan kesejateraan industri, tetapi menurunkan kesejateraan petani.
Sebaliknya, penerapan tarif impor berdampak pada penurunan kesejahteraan
industri tetapi meningkatkan kesejahteraan petani. Penghapusan tarif impor
berdampak pada peningkatan kesejahteraan industri, tetapi menurunkan
kesejahteraan petani, yang mana penurunan kesejahteraan petani itu dapat
mengkombinasi penghapusan tarif impor dengan peningkatan harga dasar.
Penelitian oleh Simatupang, Marwoto dan Swastika (2005) mengenai
Pengembangan Kedelai dan Kebijakan Penelitian di Indonesia yang menggunakan
metode OLS menyimpulkan bahwa proyeksi konsumsi kedelai mengalami
peningkatan dari 2.35 juta ton pada tahun 2009 menjadi 2.71 juta ton pada tahun
2015 dan 3.35 juta ton pada tahun 2025. Jika sasaran produktivitas rata-rata
nasional 1.5 t/ha bisa dicapai, maka kebutuhan areal tanam diperkirakan sebesar
1.81 juta ha pada tahun 2015 dan 2.24 juta ha pada tahun 2025.
Analisis efisiensi usahatani kedelai oleh Fauziyah (2007) menggunakan
metode OLS memberikan gambaran tentang rata-rata pengaruh beberapa variabel
bebas terhadap produksi kedelai, diantaranya luas lahan yang berpengaruh secara
signifikan terhadap produksi, dimana hasilnya adalah jika luas lahan bertambah 1
persen, maka produksi kedelai akan bertambah sebesar 0.95 persen. Sedangkan
tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kedelai, karena jika
persentase tenaga kerja ditambah, produksi kedelai relatif tetap, justru varietas
kedelai yang berpengaruh terhadap produksinya. Penambahan jumlah bibit tidak
berpengaruh nyata terhadap produksi kedelai, karena walaupun jumlah bibit
ditambah 1 persen, maka produksi kedelai hanya bertambah sekitar 0.09 persen.
Namun penambahan pupuk urea akan membuat produksi kedelai menurun, ketika
pupuk urea ditambah 1 persen justru akan mengurangi produksi kedelai sekitar 0.2
persen, sama hal nya dengan pestisida.
23
kedelai lokal dipengaruhi oleh harga tingkat produsen, harga dan volume impor,
produk-tivitas dan harga tahun sebelumnya. Harga tingkat produsen dipengaruhi
oleh produksi, volume impor, konsumsi, dummy monologi Bulog dan harga
tingkat produsen tahun sebelumnya. Volume impor kedelai dipengaruhi produksi
dan konsumsi kedelai. Harga kedelai impor dipengaruhi oleh harga kedelai
internasional, nilai tukar rupiah, tarif impor dan harga kedelai impor tahun
sebelumnya. Kebijakan menaikkan harga kedelai akan menguntungkan petani dan
menggairahkan petani untuk meningkatkan produksi. Kebijakan kenaikan harga
akan efektif apabila diikuti peraturan pendukung dan terobosan teknologi,
sehingga terjadi peningkatan produksi sekaligus kualitas kedelai. Simulasi harga
kedelai tingkat produsen sama dengan harga impor menunjukkan bahwa harga
kedelai tingkat produsen mengalami penurunan, sehingga petani kurang berminat
untuk menanam kedelai yang berakibat pada penurunan luas panen dan produksi
kedelai. Peningkatan tarif impor, mengakibatkan harga kedelai lokal dan harga
tingkat produsen meningkat, sehingga terjadi peningkatan luas panen dan
produksi.
Simulasi dampak kebijakan produksi terhadap ketahan pangan kedelai
oleh Zakiah (2010) dan (2011) menggunakan metode simultan 2SLS dengan
tujuan menetapkan faktor-faktor penentu produksi dan permintaan kedelai,
sehingga dapat menghasilkan suatu kebijakan sehubungan dengan peningkatan
produksi kedelai untuk menyeimbangi kebutuhan akan kedelai yang semakin
meningkat. Luas panen kedelai secara nyata dipengaruhi oleh harga kedelai, harga
pupuk urea tahun sebelumnya, harga jagung sebagai komoditi alternatif. Variabel
harga kedelai dan lag luas panen kedelai berkorelasi positif dengan luas panen
kedelai, sedangkan variabel harga pupuk dan harga jagung berkorelasi negatif. Ini
menunjukkan luas panen kedelai akan meningkat jika harga kedelai di tingkat
petani meningkat. Produktitas kedelai secara nyata dipengaruhi oleh lag harga
kedelai, harga pupuk, teknologi dan produktivitas tahun sebelumnya. Variabel
harga kedelai, teknologi dan lag produktivitas kedelai berkorelasi positif dengan
produktivitas kedelai, sedangkan variabel harga pupuk berkorelasi negatif. Ini
menunjukkan produktivitas kedelai akan meningkat jika harga kedelai di tingkat
petani meningkat dan tingkat teknologi yang tinggi.
Review dari hasil studi empiris yang telah diuraikan sebelumnya adalah
bahwa produksi kedelai menurun sangat tajam sementara di sisi lain kebutuhan
kedelai dalam negeri terus meningkat, menyebabkan Indonesia bergantung pada
kedelai impor untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Kebutuhan kedelai terus
meningkat dari waktu ke waktu jauh melampaui kemampuan produksi domestik,
baik untuk memenuhi kebutuhan industri makanan maupun pakan dan
agroindustri lainnya. Sehingga upaya peningkatan produksi kedelai di tingkat
petani tidak hanya berkaitan dengan aspek teknis dan ekonomis maupun
intervensi melalui kebijakan pemerintah, tetapi juga strategi menggalang
partisipasi petani dalam pengembangan kedelai, sehingga komoditas kedelai lokal
dapat berdaya saing dengan kedelai impor. Untuk mengetahui sejauh mana
hubungan antar variabel mikroekonomi dalam produksi dan konsumsi kedelai
nasional lebih tepat menggunakan analisis simultan, karena dengan metode ini,
antar variabel dependen dengan independen dapat diketahui hubungan saling
pengaruh-mempengaruhinya. Secara teknis, teknologi dan luas area tanam paling
besar pengaruhnya secara nyata terhadap produksi kedelai, sedangkan secara
25
ekspor semakin meningkat. Maka tujuan akhir yaitu swasembada kedelai tercapai,
sehingga membuat ketahan pangan Indonesia semakin baik dan tentunya
meningkatkan pertumbuhan ekonomi pertanian dan akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini diantaranya, sumber
database yang digunakan berbeda, dimana penelitian terdahulu di Indonesia
mayoritas menggunaan data yang bersumber dari Kementerian Pertanian dan
BPS, timeseries hanya sampai tahun 2009, dengan hasil peramalan produksi dan
konsumsi hingga tahun 2014 dan 2025 menunjukkan hasil defisit dengan nilai
rata-rata 1 jutaan 2 jutaan ton per tahun, sedangkan dalam penelitian ini defisit
yang terjadi sekitar 1.1 jutaan ton per tahun dengan sumber data FAO.
Tabel 2.1 Perbedaan Model Regresi Simultan dan Non Simultan (lanjutan)
27
.(2.1.)
dan adalah jumlah kuadrat sisaan dari kedua bentuk fungsi
untuk peubah tak bebas Y yang telah ditransformasi oleh nilai c=exp[-logY t)/T],
dengan T adalah banyaknya contoh. Statistik d diasumsikan mengikuti sebaran
Chi kuadrat 2) dengan derajat bebas 1, sehingga jika d hitung lebih besar dari
2
nilai tabel dalam taraf kepercayaan yang dipilih, maka hipotesis nol, bahwa
kedua fungsi ekuivalen secara empiris akan ditolak. Artinya bentuk fungsi linier
lebih baik digunakan dibandingkan bentuk fungsi log linier.
Peubah endogen maupun eksogen dapat berbentuk waktu sekarang
(current variabel) atau beda kala (lagged variabel). Peubah eksogen selalu
berkedudukan sebagai peubah penjelas, sedangkan peubah endogen tidak selalu
merupakan peubah tak bebas namun bisa berperan sebagai peubah bebas.
Misalnya dalam model distribusi beda kala, khususnya model harapan adaptif
yang merupakan model autoregressif. Dengan demikian dalam model persamaan
simultan peubah yang menentukan atau peubah predetermined dapat berupa
peubah eksogen atau peubah endogen beda kala (Kmenta 1986).
3) Romio, Arifin Kasuga. 2011. Analisis Regresi dan Korelasi [Slide Presentasi].
http://arifinkasugaromio.files.wordpress.com/2011/01/analisis_regresi.pdf
Pada umumnya bentuk struktural dari model persamaan simultan yang
berupa sistem persamaan secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
11 1t + + 1G Gt + 11 x1t + + 1K xKt = U1t
28
dimana:
y1 adalah vektor kolom data peubah endogen yang tidak bebas
Y1 matriks data peubah endogen yang menerangkan (G 1) dalam Yi1
Y1 matriks data peubah endogen yang dikeluarkan (G G)
dan dengan cara yang sama matriks data peubah predetermined XTxK dibuat partisi
menjadi:
X= ( X1 X2 ) ....(2.7.)
TxKTxK Tx(KK*)
dimana:
X1 adalah matriks data peubah predetermined K* yang terkandung dalam sistem
di dalam Xi1
X2 adalah matriks data peubah predetermined K* yang dikeluarkan (KK*)
Dalam notasi matriks kedua persamaan diatas dapat ditulis:
Y1 = Y1 B1 +X1 1 + u1 ...(2.8.)
Tx1 T x(G 1) (G 1)x! TxK* K*x1 Tx1
Subskrip angka 1 menyatakan bahwa persamaan merupakan persamaan yang
pertama dari sistem persamaan tersaebut sebenarnya dipenuhi dalam persamaan
(2.5.3.) dan partisi matriks data Y dan X, sehingga:
- y1 + Y1 B1 + X1 1 = - u1 (2.9.)
Untuk model persamaan simultan yang dinyatakan dalam persamaan (2.9.)
terdapat masalah bias dalam pendugaan model. Kehadiran peubah endogen Y1
sebagai peubah yang menjelaskan, merupakan sumber terjadinya bias. Timbulnya
korelasi antara peubah bebas dengan unsur galat akan menyebabkan koefisien
regresi yang diduga dengan metoda OLS menjadi tidak konsisten.
b. v harus bebas dari peubah eksogen yang terdapat dalam seluruh persamaan
struktural (x1, x2, , xk)
Asumsi a biasanya dipenuhi oleh v, sebab v merupakan fungsi linier dari
unsur galat persamaan struktural u.
3. peubah-peubah penjelas tidak bersifat multikolinier dan peubah-peubah
makroekonomi dibuat agregat secara tepat.
4. Spesifikasi model diasumsikan benar, artinya peubah jelas dalam sistem telah
diketahui.
5. Jumlah sampel (pengamatan) diasumsikan cukup besar, khususnya jumlah
pengamatan harus lebih besar dari jumlah peubah predetermined dari sistem
struktural.
Penggunaan metode OLS pada persamaan yang pertama dalam sistem
seperti persamaan (2.5.8.) y1 = Y1 1 + x1 1 + u1. Penduga 2SLS akan
menghasilkan dugaan yang konsisten dengan cara menghilangkan komponen y1
yang berkorelasi dengan u1 dan menduga kembali persamaan regresi yang baru
dengan metode OLS (Intriligator 1980).
Tahap pertama dari metode 2SLS adalah menggunakan metode OLS pada
model regresi dimana setiap peubah endogen di ruas kanan diregresikan pada
seluruh peubah predetermined dalam sistem. Hal tersebut ekuivalen dengan
menduga persamaan bentuk reduksi yang bersesuaian dengan (G1) peubah
endogen pada ruas kanan, yaitu:
Y1 = x + V1
Dugaan parameter yang dihasilkan pada tahap pertama dengan metode OLS
adalah:
-1
= (x x) xY1
sehingga nilai dugaan Y1 adalah:
-1
1 = x = x (x x) xY1 ....(2.11.)
dan nilai dugaan sisaan adalah V 1 = Y1 - 1 serta tidak berkorelasi dengan semua
peubah predetermined.
Pada tahap kedua metode 2SLS, dilakukan pendugaan OLS untuk model
Y1 terhadap 1 dan x1 sehingga didapat dugaan parameter 2SLS untuk 1 dan 1,
untuk persamaan:
Y1 = 1 1 + x1 Y1 + u1, dimana:
1 = Y1 - V1 = [ x 1 x 1 x G ], maka
Y1 = (Y1 - V1 ) 1 + x1 Y1 + u1 ......(2.12.)
Dalam persamaan tahap ke dua ini (Y1 - V1 ) hanya tergantung pada
peubah x dan tidak melibatkan unsur galat u1 sehingga (1 - V1) tidak berkorelasi
dengan u1. Oleh karena itu, penggunaan metode OLS pada persamaan
(2.5.12.)memberikan dugaan 1 dan Y1 yang konsisten.
Apabila Z1 = [ 1 x1 ], maka pendugaan OLS untuk persamaan pada
tahap kedua menghasilkan dugaan 2SLS yang dalam bentuk matriks dinyatakan:
1
2SLS=
-1
1 2SLS= ( Z1 ' Z1) Z1 Y1
-1
= { [1 X1] [1X1]} [1 x1] y1
= 11 1X1 -1 1Y1
X1 1 X1X1 X1 Y1 .(2.13)
Karena alasan regresi tahap pertama tidak berkorelasi dengan semua peubah
predetermined, maka 1 tidak berkorelasi baik dengan X1 maupun 1, artinya:
32
V1 X1 = 0 dan V1 1 = 0
Karena Y1 kombinasi linier dari peubah predetermined, maka:
Y1 Y1 = (1 + V1 ) (1 + V1 ) = 1 1 + V1 V1
Sehingga 1 1 = Y 1 Y 1 - V1 V1 ...(2.14.)
dan X1 Y1 = X1 (1 + V1) = X1 1 ...(2.15.)
1X1 = (Y1 - V1) X1 = Y1 X1 (2.16.)
Substitusi persamaan (2.14.), (2.15.) dan (2.16.) pada persamaan (2.17.) didapat:
2SLS = 1 = (Y1 Y1 V1 V1) Y1 X1- 1 (Y1 V1) y1
1 X1 Y1 X1 X1x1 y1 .(2.17.)
Penduga 2SLS pada persamaan (2.5.17.) merupakan penduga parameter
model persamaan simultan yang memberikan dugaan berbias tapi konsisten
(Intriligator, 1980), sebab dapat dibuktikan bahwa : E ( 2SLS ) dan plim 2SLS
= .
Metode 2SLS lebih sering digunakan karena:
1. Dapat diterapkan pada setiap persamaan dalam suatu sistem (model) tanpa
memberikan pengaruh yang jelek pada persamaan lain dalam sistem.
2. Hanya memberikan satu dugaan untuk satu parameter.
3. Mudah dipahami penerapannya, serta sederhana perhitungannya.
4. Selain digunakan untuk menduga persamaan struktural yang bersifat
overidentified, dapat pula diterapkan pada persamaan bersifat
exactlyidentified, dengan catatan hasilnya akan sama dengan dugaan
metode ILS (Indirect Least Square).
5. Dapat memberikan nilai galat baku dari dugaan parameter, sebab koefisien
struktural diduga secara langsung pada regresi tahap kedua.
2
6. Apabila koefisien determinasi R pada tahap pertama sangat tinggi (lebih
dari 80 persen), maka nilai dugaan parameter dengan metode OLS dan
metode 2SLS akan sangat dekat.
minimal. Produksi dapat disederhanakan menjadi dua perilaku yang berbeda dan
dapat segera dikontrasan. Dalam jangka pendek, faktor tenaga kerja dianggap
sebagai faktor produksi variabel yang penggunaannya berubah-ubah sesuai
dengan perubahan volume produksi. Dalam jangka panjang, faktor produksi tetap,
dalam arti jumlahnya tidak berubah dan tidak terpengaruh oleh volume produksi.
Ahyari (1997) mengemukakan produksi adalah kegiatan yang dapat
menimbulkan tambahan manfaatnya atau penciptaan faedah baru. Faedah atau
manfaat ini dapat terdiri dari beberapa macam, misalnya faedah bentuk, faedah
waktu, faedah tempat, serta kombinasi dari beberapa faedah tersebut di atas.
Produksi tidak hanya terbatas pada pembuatan, tetapi sampai pada distribusi.
Komoditi bukan hanya dalam bentuk output barang, tetapi juga jasa.
Salvatore (2001) menjelaskan produksi adalah merujuk pada transformasi
dari berbagai input atau sumberdaya menjadi output berupa barang atau jasa.
Lebih spesifik lagi produksi adalah kegiatan perusahaan dengan
mengkombinasikan berbagai input untuk menghasilkan output dengan biaya yang
minimum. Produksi merupakan hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi
dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input (Joesran dan Fathorrozi
2003). Produksi atau memproduksi menambah kegunaan nilai guna suatu barang.
Kegunaan suatu barang akan bertambah bila memberikan manfaat baru atau lebih
dari bentuk semula.
Menurut Putong (2003), produksi atau memproduksi adalah menambah
kegunaan (nilai guna) suatu barang. Yang dimaksud fungsi produksi adalah
hubungan teknis yang antara faktor produksi (input) dan hasil produksi (output).
Hubungan teknis yang dimaksud adalah bahwa produksi hanya bisa dilakukan
dengan menggunakan faktor produksi yang dimaksud. Bila faktor produksi tidak
ada, maka tidak ada juga produksi. Produksi yang dihasilkan tanpa teknologi,
modal dan manusia, disebut produksi alami, yaitu produksi yang dilakukan oleh
proses alam, sedangkan produksi yang dilakukan dengan penggunaan modal,
teknologi dan manusia disebut produksi rekayasa. Faktor produksi yang paling
utama adalah manusia dan tanah (Sumber Daya Alam). Teori produksi yang telah
dijelaskan dapat memberikan gambaran bahwa produksi dipengaruhi oleh luas
area tanam dan produktivitas kedelai, harga kedelai serta harga komoditas
pesaingnya (komoditas substitusinya), teknologi, serta inut produksi seperti
jumlah kuantitas benih kedelai, kuantitas penggunaan pupuk, serta faktor produksi
seperti upah buruh.
yang mana konsumen bersedia dan mampu membeli dalam kondisi tertentu, per
unit waktu, di pasar tertentu dan pada harga tertentu.
Nicholson (1991) menyatakan bahwa persentase pendapatan yang
dibelanjakan untuk pangan cenderung turun jika pendapatan meningkat. Kondisi
ini menunjukkan adanya hubungan yang terbalik antara persentase kenaikan
pendapatan dengan persentase pengeluaran untuk pangan. Keadaan ini lebih
dikenal dengan Hukum Engel (Engels Law). Dalam hukum Engel dikemukakan
tentang kaitan antara tingkat pendapatan dengan pola konsumsi. Hukum ini
menerangkan bahwa pendapatan disposable yang berubah-ubah pada berbagai
tingkat pendapatan, dengan naiknya tingkat pendapatan maka persentase yang
digunakan untuk sandang dan pelaksanaan rumah tangga adalah cenderung
konstan. Sementara persentase yang digunakan untuk pendidikan, kesehatan dan
rekreasi semakin bertambah.
Faktor-faktor pokok yang mempengaruhi dan menentukan jumlah
pengeluaran untuk konsumsi adalah pendapatan disposable sebagai faktor utama,
pendapatan permanen dan pendapatan menurut daur hidup, kekayaan dan faktor
permanen lainnya seperti faktor sosial dan harapan tentang kondisi ekonomi di
masa yang akan datang (Samuelson dan Nordhaus 1992). Pengeluaran konsumsi
rumah tangga ditentukan oleh banyak faktor. Namun menurut Parkin (1993) yang
paling penting dari faktor-faktor yang menentukan pengeluaran konsumsi hanya
dua, yaitu: pendapatan disposable dan pengharapan terhadap pendapatan di masa
yang akan datang (expected future income).
Konsumsi adalah suatu hubungan antara tingkat konsumsi rumahtangga
dalam perekonomian dengan pendapatan nasional perekonomian tersebut.
Konsumsi rumahtangga juga dipengaruhi beberapa faktor antara lain: (a).
ekspektasi merupakan keadaan di masa mendatang; (b). jumlah penduduk dan (c).
tingkat harga (Sukirno 2001). Konsumsi merupakan bagian dari permintaan,
dimana konsumsi itu dibagi menjadi konsumsi langsung dan konsumsi tidak
langsung. Konsumsi tidak langsung digunakan untuk bahan olahan, sedangkan
konsumsi langsung digunakan sebagai makanan yang langsung dikonsumsi oleh
konsumen atau pemakai akhir (Ruchjana 1992 Priyanti et al 1997 dan Ariani
2003).
Teori konsumsi dilihat dari sudut pandang perilaku konsumen menurut
Putong (2003) pada dasarnya menjelaskan bagaimana konsumen
mendayagunakan sumberdaya yang ada (uang) dalam rangka memuaskan
keinginan, kebutuhan dari suatu atau beberapa produk. Penilaian kepuasan
umumnya bersifat subyektif, baik bagi pemakai langsung maupun bagi penilai.
Secara teori tingkah laku konsumen dalam upayanya memuaskan diri dapat
dijelaskan melalui dua teori nilai guna, yaitu nilai guna ordinal dan nilai guna
kardinal. Teori nilai guna kardinal memberikan penilaian subyektif akan
pemuasan kebutuhan dari suatu barang. Artinya, tinggi rendahnya suatu barang
tergantung pada subyek yang memberikan penilaian. Dengan kata lain, suatu
barang akan memberikan nilai guna yang tinggi bila barang yang dimaksud
memberikan nilai guna yang tinggi bagi si pemakai. Teori nilai guna ordinal
menjawab keraguan teori nilai guna kardinal dalma mengukur kepuasan. Asumsi
teori nilai guna ordinal adalah sebagai berikut: (1). Rasionalitas, konsumen akan
berusaha meningkatkan kepuasannya atau akan memilih tingkat kepuasan yang
tertinggi yang bisa dicapainya; (2). Konveksitas; semakin tinggi tingkat kepuasan,
36
maksimisasi dapat diturunkan fungsi konsumsi sebagai fungsi dari harga barang
dan pendapatan. Konsumsi suatu komoditas berdasarkan tujuannya dapat
dibedakan menjadi konsumsi dalam negeri dan pasar internasional. Pembahasan
difokuskan pada konsumsi dalam negeri. Konsumsi berdasarkan penggunaannya
dibedakan menjadi konsumsi langsung untuk pangan rumahtangga, dan konsumsi
tidak langsung untuk penggunaan antara, yaitu sebagai bahan baku sektor industri
pengolahan (Kustiari et al 2009). Bahasan mengenai konsumsi mencakup
perkembangan secara agregat dan per kapita serta faktor-faktor yang
mempengaruhi konsumsi dan proyeksi konsumsi.
Pengeluaran konsumsi masyarakat atau rumahtangga merupakan salah
satu variabel makro ekonomi. Pengeluaran konsumsi seseorang adalah bagian dari
pendapatan yang dibelanjakan. Apabila pengeluaran-pengeluaran konsumsi semua
orang dalam suatu negara dijumlahkan, maka hasilnya adalah pengeluaran
konsumsimasyarakat negara yang bersangkutan (Rahardja 2001 dalam Siregar
2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi adalah harga barang yang
bersangkutan, harga dan ketersediaan barang lain yang berkaitan, perkiraan akan
perubahan harga, pendapatan konsumen, harga riil barang itu sendiri di tingkat
konsumen dan produsen, produksi barang itu sendiri, selera, preferensi konsumen,
populasi penduduk nasional, pengeluaran periklanan dan sebagainya (Pappas
(1995) dan Handayani et al (2011). Berdasarkan teori-teori konsumsi yang telah
dikemukakan sebelumnya, maka konsumsi kedelai nasional dalam penelitian ini
dipengaruhi oleh variabel-variabel ekonomi seperti harga kedelai nasional,
penawaran kedelai nasonal, pendapatan nasional perkapita, harga dan kuantitas
impor kedelai, harga kedelai internasional, produktivitas kedelai nasional, nilai
tukar Rupiah terhadap US Dollar, serta tarif impor kedelai.
4) Diennazola, Renda dan Ratna B. Wulandari. 2011. Sehat dengan Cara Murah ? Kedelai! [Artikel].
Tabloid Agrina 9 Mei 2011. http://www.agrina-online.com/redesign2.php?rid=12&aid=2985
3.5 Model Persamaan Simultan
44
1. Luas area kedelai nasional tahun ke-t adalah luas lahan atau area tanam
kedelai nasional pada tahun berjalan (LATKN).
2. Harga kedelai nasional tahun ke-t adalah harga kedelai nasional di tingkat
produsen tahun berjalan (HKN).
3. Harga jagung nasional tahun ke-t adalah harga jagung nasional pada tahun
berjalan (HJN).
4. TREN merupakan variabel dummy dari teknologi pada tahun ke-t
(TREN).
5. Luas area tanam kedelai tahun ke t-1 adalah luas area tanam kedelai tahun
sebelumnya (LLATKN).
6. Produktivitas kedelai nasional tahun ke-t adalah produksi kedelai nasional
per satuan hektar are pada tahun berjalan (PRKN).
7. Jumlah ketersediaan pupuk urea tahun ke-t adalah jumlah pasokan pupuk
urea pada tahun berjalan (JKPU).
8. Upah buruh tani tahun ke t-1 adalah upah buruh tani kedelai pada tahun
sebelumnya (LUBTK).
9. Produktivitas kedelai nasional tahun ke t-1 adalah produksi kedelai
nasional per satuan hektar are pada tahun sebelumnya (LPRKN).
10. Konsumsi total kedelai nasional tahun ke-t adalah konsumsi kedelai
nasional tahun berjalan (KKNt).
11. Harga kedelai nasional tahun ke-t adalah harga kedelai di tingkat produsen
pada tahun berjalan (HKN).
12. Penawaran kedelai nasional tahun ke-t adalah produksi kedelai nasional
ditambah kuantitas impor kedelai dan stok kedelai tahun sebelumnya
dikurangi kuantitas ekspor kedelai pada tahun berjalan (SKN).
13. Pendapatan nasional tahun ke t-1 adalah pendapatan nasional per kapita
yang merupakan pendapatan nasional total dibagi dengan jumlah penuduk
Indonesia pada tahun sebelumnya (LPNPK).
14. Harga kedelai impor tahun ke-t adalah harga kedelai impor pada tahun
berjalan (HKI).
15. Kuantitas impor kedelai tahun ke-t adalah kuantitas kedelai impor pada
tahun berjalan (KIK).
16. Konsumsi total kedelai nasional tahun ke t-1 adalah konsumsi kedelai
nasional tahun berjalan (LKKN).
17. Harga kedelai nasional tahun ke t-1 adalah harga kedelai nasional di
tingkat produsen tahun berjalan (LHKN).
18. Harga kedelai internasional tahun ke-t adalah harga kedelai dunia
berdasarkan harga kedelai di negara USA tahun berjalan (HKIN)
19. Nilai tukar Rupiah terhadap $ US tahun ke-t adalah nilai tukar 1 $ US
terhadap Rupiah pada tahun berjalan (ER).
20. Harga kedelai impor tahun ke t-1 adalah harga kedelai impor pada tahun
sebelumnya (LHKI).
21. Tarif impor kedelai tahun ke-t adalah bea masuk atau tarif impor kedelai
pada tahun berjalan (TIK).
22. Produksi kedelai nasional tahun ke-t adalah produksi kedelai nasional pada
tahun berjalan (PKN).
23. Stok kedelai nasional tahun ke-t adalah ketersediaan kedelai nasional
tahun sebelumnya (SK)
46
24. Kuantitas ekspor kedelai tahun ke-t adalah kuantitas kedelai ekspor pada
tahun berjalan (KEK).
47
26.
28.
30.
32.
33.
LATKN
24. t
25.
Dimana :
LATKNt
31.
HKN
29. t
HJN
27. t
TRENt
IV METODE PENELITIAN
Dimana:
HKIt = harga kedelai impor pada tahun ke-t (Rp/ton)
HKINt = harga kedelai internasional tahun ke-t (US $/ton)
HKNt = harga kedelai nasional tahun ke-t (Rp/ton)
ERt = nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar (Rp./US $)
HKIt-1 = harga kedelai impor tahun sebelumnya (Rp/ton)
e0 = intersep
ei = dugaan parameter (i = 1, 2, 3, 4)
3 = peubah pengganggu
Nilai parameter yang diharapkan e1, e2 > 0; e3 < 0; 0 < e4 < 1
Fungsi Kuantitas Impor Kedelai
KIKt = f0 + f1HKNt- + f2TIKt + f3HKIt + 4 .........................(5)
Dimana:
KIKt = kuantitas impor kedelai pada tahun ke-t (ton)
HKNt = harga kedelai nasional pada tahun ke-t (Rp/ton)
TIKt = tarif impor kedelai pada tahun ke-t (persen/tahun)
HKIt = harga kedelai impor pada tahun ke-t (Rp/ton)
f0 = intersep
fi = dugaan parameter (i = I, 2, 3)
4 = peubah pengganggu
Nilai parameter yang diharapkan f1, f3 > 0; f2 < 0
4.2.3 Penawaran
Fungsi Penawaran Kedelai Nasional
SKNt = PKNt + KIKt + SKt - KEKt ......................................................(6)
Dimana:
SKNt = penawaran kedelai nasional pada tahun ke-t (ton)
PKNt = produksi kedelai nasional pada tahun ke-t (ton)
KIKt = kuantitas impor kedelai pada tahun ke-t (ton)
SKt = stok kedelai pada tahun ke-t (ton)
KEKt = kuantitas ekspor kedelai pada tahun ke-t (ton)
49
KKNt
4.2.4 Konsumsi
Fungsi Konsumsi Kedelai Nasional
= c0 + c1HKNt + c2SKNt + c3PNPKt-1 + c4HKIt + c5KIKt + c6KKNt-1 + 5(7)
Dimana:
KKNt = konsumsi total kedelai nasional pada tahun ke-t (ton)
HKNt = harga kedelai nasional di tingkat produsen pada tahun ke-t (Rp/ton)
SKNt = penawaran kedelai nasional pada tahun ke-t (ton)
PNPKt-1 = pendapatan nasional per kapita pada tahun sebelumnya (Rp/tahun)
HKIt = harga kedelai impor pada tahun ke-t (Rp/ton)
KIKt = kuantitas impor kedelai pada tahun ke-t (ton)
KKNt-1 = konsumsi total kedelai nasional pada tahun sebelumnya (ton)
c0 = intersep
ci = dugaan parameter (i = 1, 2, 3, 4, 5, 6)
5 = peubah pengganggu
Nilai parameter yang diharapkan c2, c3, c4 > 0; c1, c5 < 0; 0 < c6 < 1
4.2.5 Harga
Fungsi Harga Kedelai Nasional
HKNt = d0 + d1KKNt + d2HKIt + d3SKNt + d4KIKt + d5HKNt-1 + 6.........................(8)
Dimana:
HKNt = harga kedelai nasional tahun ke-t (Rp/ton)
KKNt = konsumsi total kedelai nasional pada tahun ke-t (ton)
PRKNt = produktivitas kedelai nasional pada tahun ke-t (ton/ha)
HKIt = harga kedelai impor pada tahun ke-t (Rp/ton)
SKNt = penawaran kedelai nasional pada tahun ke-t (ton)
HKNt-1 = harga kedelai nasional di tingkat produsen pada tahun sebelumnya
(Rp/ton)
d0 = intersep
di = dugaan parameter (i = 1, 2, 3, 4, 5)
6 = peubah pengganggu
Nilai parameter yang diharapkan d1, d2, d4 > 0; d3 < 0; 0 < d5 < 1
Tabel 5.1 menyimpulkan bahwa luas area kurang responsif terhadap faktor
pembentuknya. Hal tersebut, artinya harga maupun teknologi tidak berpengaruh
secara nyata terhadap perubahan luas area. Hal tersebut juga mengindikasikan
adanya intervensi pemerintah dalam perluasan area tanam kedelai nasional,
misalnya dengan memanfaatkan lahan bera (lahan tidur), membuka lahan bekas
perkebunan sawit, serta membatasi terjadinya konversi lahan. Seperti yang di
kemukakan oleh Suyamto dan I Nyoman (2010) bahwa perluasan area dapat
dilakukan melalui peningkatan IP (Intensitas Pertanaman) pada lahan-lahan
tersedia yang baru ditanam 2 kali padi dan/atau 1 kali padi kemudian bera, seperti
pada lahan sawah irigasi di sepanjang pantura Jawa Barat dan pada lahan sawah
tadah hujan di Sulawesi. Cara ini dinilai lebih mudah dan murah, namun
diperlukan gerakan secara nyata di lapangan. Kedua, penanaman kedelai pada
lahan-lahan di bawah tegakan, dan bermitra dengan PT. Perhutani, PT.
Perkebunan, Hutan Tanaman Industri, KOPTI dan Swasta. Ketiga, perluasan areal
panen kedelai di daerah-daerah bukaan baru, termasuk peluang swasta untuk
membuka perkebunan kedelai (soybean estate) di Merauke. Tentunya hal tersebut
53
memerlukan gairah petani dalam berbudidaya kedelai yang lebih intens, serta
intervensi pemerintah sebagai fasilitator untuk kemitraan serta program
pembukaan lahan baru.
Penelitian ini membahas impor dari keragaan kualitas dan harga kedelai
impor, begitupun penelitian yang dilakukan oleh Hadipurnomo (2000)
Kumenaung (2002) bahwa impor dapat dilihat dari sisi harga, tarif, exchange rate.
Secara rinci keragaan kuantitas impor kedelai dan keragaan harga kedelai impor
sebagai berikut:
konsumsi kedelai nasional, tren waktu, harga kedelai di tingkat pedagang besar,
tingkat suku bunga, serta tingkat upah industri. Secara rinci, hasil estimasi
parameter model KKN disajikan dalam Tabel 5.5 di bawah ini.
Tabel 5.5 menyimpulkan bahwa konsumsi kedelai nasional responsif
terhadap penawaran kedelai nasional. Penawaran kedelai dalam negeri berasal
dari produksi kedelai nasional dan impor kedelai, seperti yang terjadi beberapa
saat yang lalu, yaitu pada tahun 2012-2013, ketika terjadi musim banjir
berkepanjangan di banyak wilayah di Indonesia, produksi kedelai menurun,
sehingga penawaran kedelai di pasaran langka, akibatnya industri pengolahan
yang berbahan baku kedelai, khususnya industri tahu dan tempe mengurangi
produksinya, hal tersebut dikarenakan harga kedelai melonjak, sehingga harga
tahu dan tempe juga ikut melonjak, bahkan beberapa industri olahan kedelai
memberhentikan pekerjanya, sehingga konsumsi makanan yang berbahan dasar
kedelai pun menurun, khususnya tahu dan tempe. Dampaknya, banyak
masyarakat Indonesia yang mensubstitusi tahu dan tempe dengan makanan
lainnya, seperti ubi kayu dan jagung. Secara rinci, hasil estimasi parameter model
KKN disajikan dalam Tabel 5.5 di bawah ini.
(2011) menunjukkan bahwa harga kedelai nasional secara nyata dipengaruhi oleh
produksi kedelai nasional, kuantitas kedelai impor, harga kedelai impor,
permintaan kedelai, serta harga kedelai nasional tahun sebelumnya.
Tabel 5.6 menyimpulkan bahwa penawaran kedelai nasional paling
responsif pengaruhnya terhadap perubahan HKN, dimana ketika SKN meningkat
1 persen, maka HKN akan menurun sebesar 1.3 persen dalam jangka pendek,
sedangkan KIK dan LHKN responsif terhadap perubahan HKN dalam jangka
panjang. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa HKI dapat merangsang perubahan
HKN (Kumenaung 2002). Berbeda dengan hasil penelitian oleh Zakiah (2011)
bahwa harga kedelai relatif respon terhadap permintaan kedelai dibanding
keempat peubah penjelas lainnya. Begitupun hasil penelitian oleh Handayani
(2007) menunjukkan bahwa PKN dan KKN responsif terhadap HKN baik dalam
jangka pendek dan jangka panjang, sama hal nya dengan hasil penelitian
Kumenaung (1994) permintaan dan penawaran kedelai responsif terhadap HKN.
Sebaliknya, harga kedelai impor tidak responsif terhadap HKN, ini sama dengan
hasil penelitian Kumenaung (2002) bahwa respon inelastis harga kedelai impor
terhadap harga kedelai nasional dalam jangka pendek dan jangka panjang. Secara
rinci hasil estimasi parameter model harga kedelai nasional disajikan dalam Tabel
5.6 berikut.
baik yang berasal dari produksi kedelai dalam negeri maupun yang berasal dari
kedelai impor. Akar utama dari permasalahan produksi kedelai di Indonesia tidak
pernah mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri adalah karena keterbatasan
luas area tanam kedelai. Seperti dikutip dari RPJPN5) bahwa ketersediaan pangan
semakin terbatas disebabkan oleh semakin meningkatnya konversi lahan sawah
dan lahan pertanian produktif lainnya, sehingga menyebabkan rendahnya
peningkatan produktivitas hasil pertanian, serta buruknya kondisi jaringan irigasi
dan prasarana irigasi di lahan produksi. Dilansir dari sebuah artikel bahwa
Kementerian Pertanian tetap melanjutkan program perluasan areal tanam kedelai
6)
pada 2014 seluas 340 ribu hektar guna meningkatkan produksi kedelai .
Review hasil estimasi model produksi dan konsumsi kedelai nasional,
yaitu untuk meningkatkan produksi kedelai nasional harus dilakukan perluasan
area tanam, perbaikan harga kedelai di tingkat produsen hingga bantuan subsidi
input produksi. Hasil estimasi model produksi kedelai nasional, bahwa ketika
harga input produksi kedelai meningkat maka luas area tanam kedelai yang
berimplikasi secara langsung dengan produktivitasnya akan menurun.
Ketika kuantitas input produksi meningkat, seperti pupuk, benih, jumlah
tenaga kerja dan ketersediaan lahan, maka produktivitas kedelai akan meningkat,
karena petani akan semakin bergairah untuk menanam kedelai, serta memperluas
area tanam kedelai pada lahan sawah yang tersedia. Begitupun ketika teknologi
budidaya semakin baik, seperti sarana dan prasarana irigasi serta infrastuktur, hal
tersebut dibuktikan oleh hasil penelitian Widitono dan Zainul (2008) bahwa
tingkat penerapan teknologi budidaya kedelai masih rendah, untuk itu hasil
penelitian oleh Supadi (2009), Hamundu dan Rianse (2004) menunjukkan bahwa
untuk meningkatkan produktivitas kedelai adalah dengan adopsi teknologi.
Luas area sangat dipengaruhi oleh teknologi serta dukungan pemerintah,
teknologi megindikasikan penggunaan pupuk, benih, saprotan lainnya, tentunya
terkait dengan harga saprodi dan saprotan, ketika biaya yang dikeluarkan lebih
kecil, keuntungan yang diperoleh petani lebih besar, dampaknya luas area
semakin meningkat, untuk itu, guna menekan biaya produksi, diperlukan subsidi
saprodi dan saprotan dari pemerintah. Produktivitas relatif stabil, hanya pengaruh
lag produktivitas tahun sebelumnya saja dalam jangka panjang yang responsif
terhadap produktivitas kedelai tahun berjalan. Seperti penelitian oleh Setiabakti
(2013), Kumenaung (2002), dan Hadipurnomo (2000) menyimpulkan bahwa
produksi kedelai secara keseluruhan dipengaruhi oleh harga saprodi dan saprotan,
dimana harga tersebut lebih responsif dalam mempengaruhi perubahan luas area
dibanding produktivitas.
Ketika semua input produksi mendukung kegiatan budidaya kedelai, maka
petani akan semangat dan bergairah untuk memperluas area tanam kedelai dari
ketersediaan lahan sawah yang sudah ada, sehingga produktivitas secara
berkesinambungan juga akan meningkat. Hal tersebut juga dijelaskan dalam
penelitian Widotono dan Zainul (2008) bahwa jika semakin besar output dengan
input yang sama atau semakin kecil input dengan output yang sama, maka
usahatani lebih efisien. Namun daripada itu, pemerintah juga harus
memperhatikan sistem distribusi kedelai mulai dari tengkulak, pemasok, hingga
pedagang besar sampai ke konsumen.
60
5) Draft Rancangan Awal: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 2025.
http://search.4shared.com/postDownload/EwEpAHPH/04-draft-rpjp-final-4-feb-2005.html.
6) Artikel: Kementan Lanjutkan Perluasan. Areal Tanam Kedelai. Kamis 30 Mei 2013, 15:28 WIB. Pewarta:
Subagyo. http://www.antaranews.com/berita/377464/kementan-lanjutkan-perluasan-areal-tanam-kedelai
Hasil analisis estimasi konsumsi kedelai memperlihatkan bahwa ketika
harga kedelai lokal meningkat, maka permintaan akan komoditas tersebut semakin
menurun, menyebabkan konsumsi kedelai impor akan meningkat. Jagung,
merupakan komplementer dari kedelai, ketika harga jagung meningkat, maka
permintaan jagung semakin menurun, sehingga permintaan kedelai akan
meningkat. Sama halnya ketika pendapatan nasional per kapita meningkat, maka
konsumsi kedelai nasional juga meningkat.
Sebaliknya, ketika harga kedelai impor meningkat, maka permintaan
kedelai impor menurun, menyebabkan permintaan kedelai lokal meningkat.
Seperti yang terjadi pada tahun 2013 ini di sekitar bulan september desember,
bahwa harga kedelai impor naik hingga mencapai Rp.10.000,-/kg. Impor kedelai
dapat dianalisis dari dua sisi utama, yaitu harga dan kuantitas kedelai impor,
dimana harga impor dipengaruhi oleh harga internasional dan exchange rate,
sedangkan volume impor dipengaruhi oleh tarif dan harga impor. Harga kedelai
impor dapat berdampak pada harga kedelai nasional di tingkat petani, seperti hasil
penelitian oleh Kumenaung (1994) jika harga impor naik, maka akan merangsang
harga di tingkat petani naik, sehingga menguntungkan petani. Tetapi jika tarif
impor yang diaikkan, maka volume impor akan berkurang, menyebabkan
penurunan jumlah penawaran kedelai nasional.
Gejolak kenaikan harga kedelai impor dipicu oleh melemahnya nilai tukar
Rupiah terhadap US Dollar, hingga per 6 september 2013 sudah mencapai Rp.
11.450,- hingga Rp. 11.950,- per 1 USD (sumber: BCA). Pernyataan oleh
7)
Wamentan dalam TribunNews bahwa menurutnya gejolak harga kedelai impor
terus meningkat disebabkan oleh nilai tukar Rupiah yang semakin melemah
terhadap USD, mengingat impor kedelai di Indonesia paling banyak berasal dari
USA.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa ketika Rupiah menguat, maka
kuantitas kedelai impor akan berkurang, karena harga kedelai impor di dalam
negeri semakin menurun, membuat importir kedelai enggan melakukan impor
kedelai ke Indonesia. Sehingga ketersediaan stok kedelai impor juga sedikit,
ketika kedelai impor tidak dapat memenuhi permintaan kedelai dalam negeri,
maka permintaan kedelai lokal akan semakin meningkat.
Ketika ketersediaan kedelai impor berkurang dan tidak dapat memenuhi
konsumsi kedelai dalam negeri, maka pedagang atau pengrajin dalam industri
kedelai akan mengkonsumsi kedelai lokal, sehingga permintaan akan kedelai lokal
meningkat. Sesuai dengan hasil penelitian oleh Riana dan Ikbal (2011) bahwa
produksi hanya dapat memenuhi 35 persen kebutuhan kedelai dalam negeri.
Kondisi ini tentunya lebih baik untuk produsen kedelai lokal, karena dapat
meningkatkan harga kedelai lokal. Seperti yang dilansir dari Tempo online 8)
bahwa harga kedelai impor semakin meningkat karena disebabkan pasokan
kedelai impor yang tidak bisa langsung didatangkan ke Indonesia.
61
7) Artikel: TribunNews.com. Wamentan Salahkan Rupiah Soal Harga Kedelai. Jumat, 30 Agustus 2013;
17:07 WIB. http://www.tribunnews.com/bisnis/2013/08/30/wamentan-salahkan-rupiah-soal-harga-kedelai
8) Artikel: Perajin Tempe Minta Penetapan Harga Jual Kedelai. Kamis, 5 September 2013; 09:10 WIB.
http://www.tempo.co/read/news/2013/09/05/092510761/Perajin-Tempe-Minta-Penetapan-Harga-Jual-
Kedelai
Selain itu, gejolak harga impor kedelai juga disebabkan oleh adanya
praktek kartel, serta data stok kedelai yang tidak sama antara kementerian
9)
pertanian dengan kementerian perdagangan . Artikel yang dikutip dari Sumatera
10)
Ekspres yang dikemukakan oleh Mentan Suswono bahwa fluktuasi nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS membawa dampak peningkatan harga kedelai di pasaran
karena 70 persen kebutuhan kedelai dalam negeri harus diimpor.
Hasil estimasi harga kedelai nasional diperoleh bahwa ketika penawaran
kedelai nasional meningkat, maka harga kedelai nasional akan semakin menurun,
namun jika konsumsi atau permintaan kedelai lokal meningkat, maka peluang
bagi harga kedelai nasional semakin meningkat. Seperti yang terjadi saat ini,
bahwa adanya kecurangan dari importir kedelai yang dengan sengaja menahan
suplai kepada pengrajin tahu dan tempe, sehingga tersebarlah informasi bahwa
pasokan kedelai tidak ada, sehingga timbul persepsi di masyarakat bahwa suplai
kedelai juga tidak ada, akibatnya penjual kedelai menahan penjualan dengan
11)
asumsi jika dijual dikemudian hari akan lebih mahal . Terbukti hingga saat ini
harga kedelai masih tinggi dan bertahan pada tingkat petani hingga mencapai rata-
rata Rp 9.000 per kilogram. Saat ini tercatat produksi dalam negeri hanya sekitar
700.000 ton, sementara kebutuhan kedelai mencapai 2,5 juta ton per tahun.
Gejolak impor kedelai, disebabkan oleh dinamika nilai tukar rupiah, tarif
impor, serta harga kedelai di tingkat internasional. Hasil estimasi menunjukkan
bahwa ketika harga kedelai di tingkat internasional, tarif impor kedelai, serta
kuantitas impor kedelai semakin meningkat, maka harga kedelai impor meningkat.
Begitupun ketika nilai tukar rupiah melemah, maka kuantitas impor kedelai akan
semakin meningkat. Kuantitas kedelai impor meningkat saat harga kedelai
nasional meningkat, menyebabkan permintaan terhadap kedelai lokal menurun.
Sehingga permintaan kedelai impor semakin besar.
9) Artikel: Komisi Temukan Indikasi Kartel Impor Kedelai. Jumat, 6 September 2013; 09:05 WIB.
http://www.tempo.co/read/news/2013/09/06/090510898/Komisi-Temukan-Indikasi-Kartel-Impor-Kedelai
10) Artikel: Tekan Harg Kedelai, Kementan Perluas Lahan Tanam. Kamis, 5 September 2013; 21:35 WIB.
http://www.sumeks.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=18805:tekan-harga-kedelai-
kementan-perluas-lahan-tanam&catid=60:news-update&Itemid=134
11) Artikel: KPU Tuding Importir Tahan Stok. Suara Karya Online, Jumat, 6 september 2013.
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=333923
Tabel 5.7 Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 2013
2020
Partum Partum Pertumbuhan
Defisit
Tahun PKN buhan KKN buhan Defisit
(%)
(%) (%)
naik turun
2013 933699 2626395 -1692696 1.263
2014 1024721 9.749 2738803 4.280 -1714082
2015 1139761 11.226 2866630 4.667 -1726869 0.746 -15.695
2016 1222550 7.264 2678386 -6.567 -1455836 16.086
2017 1272334 4.072 2962363 10.603 -1690029
63
Gambar 5.1 Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 2013
2020
sebagai bahan makanan tradisional seperti tahu dan tempe, tetapi kedelai juga
dapat digunakan untuk bahan makanan yang modern, misalnya dapat dijadikan
bahan untuk membuat kue tart, kue lapis, dan sejenis pancake lainnya. Seperti
yang saat ini juga sudah tersedia jus tempe atau sereal tempe, namun diperlukan
strategi pemasaran yang lebih baik lagi untuk ke depannya. Selain itu, belum
berhasilnya Indonesia dalam memenuhi konsumsi kedelai dalam negeri,
dimungkinkan kualitas kedelai yang masih terbilang kurang bagus dibanding
kedelai impor, misalnya kedelai lokal memiliki kadar air lebih banyak sehingga
cepat busuk dan berbau tidak sedap, serta lebih kotor bercampur dengan tanah
serta ranting dan daun, ukurannya tidak seragam dan cenderung kecil, kulit ari
sulit terkelupas.
Berdasarkan hasil estimasi dalam penelitian ini serta ditunjang oleh
berbagai teori serta penelitian terdahulu, maka pencapaian peningkatan produksi
kedelai dapat dilakukan melalui strategi sebagai berikut:
1. Peningkatan Produktivitas
Upaya peningkatan produktivitas dilaksanakan melalui peningkatan
kualitas dan kuantitas sistem perbenihan kedelai melalui industri perbenihan
yang kuat, mekanisasi usahatani berskala besar dan efisien seperti: perbaikan
teknik budidaya kedelai di tingkat petani, memperlancar penyediaan saprodi,
modal dan teknologi, dan mempercepat adopsi paket teknologi melalui SL
-PTT disertai pengawalan, sosialisasi, pemantauan, pendampingan dan
koordinasi.
2. Perluasan Areal dan Pengelolaan Lahan
Perluasan areal dapat dilakukan melalui pemanfaatan lahan bera (lahan
tidur), pembukaan lahan baru di luar Pulau Jawa, seperti lahan bekas
perkebunan kelapa sawit, hingga pembatasan konversi lahan pertanian ke non
pertanian.
3. Penyempurnaan Manajemen
Penyempurnaan manajemen dimulai dari tingkat petani hingga
stakeholder, yang dikhususkan pada kebijakan harga kedelai nasional, hingga
penetapan tarif impor untuk membatasi volume kedelai impor ke Indonesia.
dan 37.5 persen, serta kombinasi antara harga kedelai dengan harga input
produksi seperti harga benih, pupuk, pestisida, upah tenaga kerja dan harga gabah.
Permasalahan kedelai dalam negeri selama ini terkait dengan produktivitas
kedelai yang rendah dan tidak mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri,
sehingga dilakukan impor kedelai yang jumlahnya jauh melebihi produksi kedelai
lokal. Sehingga pola perilaku produksi kedelai nasional bergantung dari dinamika
pergerakan harga kedelai lokal dan impor, serta ketersediaan area tanam yang
implikasinya adalah pada jumlah benih kedelai, karena kuantitas dan mutu benih
akan mempengaruhi gejolak harga kedelai nasional maupun impor. Untuk itu,
perlu beberapa alternatif kebijakan dalam rangka peningkatan produksi kedelai
nasional, yang direncanakan dapat berswasembada kedelai di masa yang akan
datang. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka analisis simulasi kebijakan
ditentukan oleh perubahan luas area tanam, harga kedelai nasional, dan harga
kedelai impor. Simulasi kebijakan dalam penelitian ini dilakukan untuk periode
2013 2020, seperti pada penelitian oleh Kumenaung (2002) bahwa simulasi
dapat dilakukan untuk periode historis atau periode peramalan atau keduanya.
Secara rinci hasil analisis simulasi kebijakan sebagai berikut:
Hasil analisis simulasi alternatif yang pertama adalah ketika LATKN naik 7
persen, maka PKN akan meningkat sebesar 6.77 persen, sesuai dengan hasil
peramalan yang dilakukan. Kenaikan PKN memungkinkan adanya indikasi bahwa
terjadi kenaikan pada SKN sebesar 2.99 persen. Implikasinya adalah KKN
meningkat sebesar 3.5 persen, hal ini dapt memicu penurunan HKN sebesar 3.96
persen. Sedangkan kenaikan harga kedelai impor relatif kecil yaitu sebesar 1.29
persen, kemudian diikuti penurunan HKI sebesar 0.21 persen, yang berdampak
pada penurunan KIK sebesar 1.57 persen. Seperti penelitian oleh Susetyanto
(1994) bahwa untuk menaikkan produksi kedelai, diantaranya diperlukan
kebijakan kenaikan harga benih kedelai dan harga kedelai di tingkat petani.
Menurut Hadipurnomo (2000) bahwa kebijakan produksi berdampak lebih besar
pada perubahan luas area panen dan produktivitas terutama di wilayah potensial
luar Pulau Jawa dibanding di Pulau Jawa. Secara rinci analisis simulasi yang
pertama disajikan dalam Tabel 5.8.
intensif oleh aparat Kementerian Pertanian. Oleh karena itu, Penyuluh Pertanian
Lapangan (PPL) Kementerian Pertanian perlu lebih aktif mendampingi petani
dalam bercocok tanam.
Kebijakan yang kedua melalui perluasan areal tanam. Perluasan areal
tanam berkaitan erat dengan peningkatan produktivitas dan pengelolaan lahan.
Upaya peningkatan produktivitas dapat dilaksanakan melalui peningkatan kualitas
dan kuantitas sistem perbenihan kedelai, perbaikan teknik budidaya kedelai,
memperlancar penyediaan saprodi, modal dan teknologi, sosialisasi, pemantauan,
pendampingan dan koordinasi. Perluasan areal dan optimasi lahan dilaksanakan
dengan menarik minat dan gairah petani dan investor dalam pengembangan
kedelai, meningkatkan IP (intensitas produksi) dalam rangka optimalisasi lahan
dan teknologi, perluasan wilayah baru untuk mengembangkan pusat pertumbuhan,
pengembangan kerjasama investor dengan petani dan koperasi, pengembangan
produksi kedelai skala besar untuk bahan baku industri, dan pengembangan
budidaya tumpang sari.
Kebijakan yang ketiga adalah dengan memberikan jaminan harga.
Kebijakan ini dapat dilaksanakan dengan memberi peran yang lebih besar kepada
Perum Bulog yaitu disamping sebagai penyalur juga sebagai stabilitator harga.
Usahatani kedelai dapat berjalan dengan efektif dan efisien apabila petani
memperoleh insentif atau keuntungan yang memadai. Oleh karena itu, pemerintah
perlu menjaga kestabilan harga dan pasar melalui penetpan harga pembelian oleh
pemerintah. Dalam pengendalian tersebut diperlukan koordinasi dengan instansi
dan stakeholder terkait, baik pada tingkat pusat, Provinsi maupun
Kabupaten/Kota. Jaminan harga juga dapat dilakukan dengan menyederhanakan
tataniaga, karena rantai tataniaga kedelai nasional cenderung rumit dan panjang,
sehingga selisih harga di tingkat produsen (petani) dengan harga di tingkat grosir
dan eceran cukup mencolok. Untuk meminimalisir hal tersebut, pemerintah perlu
mengatur tataniaga kedelai agar lebih sederhana dengan rantai tataniaga yang
lebih pendek. Sedangkan penetapan harga impor terkait langsung oleh penetapan
tariff impor kedelai, dimana jika pemerintah menetapkan tarif impor lebih tinggi,
maka harga impor juga akan meningkat, bahkan bias lebih mahal dibanding harga
kedelai lokal, sehingga, kedelai lokal memiliki daya saing dari sisi harga yang
lebih kompetitif dengan harga kedelai impor.
70
6.1 Simpulan
6.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Adetama, Dwi Sartika. 2011. Analisis Permintaan Kedelai Nasional dan Dampak
Kebijakan Bea Masuk Impor. Jakarta: Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia.
Adiningsih J., Sri; M. Soepartini, A. kusno, Mulyadi, dan Hartati, Wiwik. 1994.
Teknologi untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Sawah dan Lahan
Kering. Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan Untuk
Pembangunan Kawasan Timur Indonesia di Palu 17 20 Januari 1994.
Ahyari, Agus. 1997. Manajemen Produksi Perencanaan Sistem Produksi. Edisi
Keempat. Yogyakarta: Penerbit Balai Pustaka Fakultas Ekonomi.
Aji. 2009. Analisis Tanaman Kedelai. Pasuruan: Agrobisnis Yudharta Pasuruan.
Rabu, 6 Maret 2013.
http://ajichrw.wordpress.com/author/ajichrw/page/301/.
Alihamsyah T.; Sarwani, Muhrizal dan Ar-Riza, Isdianto. 2002. Komponen
Utama Teknologi Optimalisasi lahan Pasang Surut Sebagai Sumber
Pertumbuhan Produksi Padi Masa Depan. Makalah disampaikan Pada
Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.
Amang, Bedu dan Sawit, M. Husein. 1996. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Bogor:
IPB Press.
Anggasari, Popy. 2008. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume
Impor Kedelai Indonesia [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Ekonomi,
Institut Pertanian Bogor.
Ariani, Mewa; Saliem, Handewi Purwati; S. H. Suhartini; Wahida; Sawit, M.
Husein. 2003. Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Konsumsi Pangan
Rumah Tangga. Bogor: Laporan Penelitian. Puslitbang Sosek Pertanian.
Ariani, Mewa. 2003. Penawaran dan Permintaan Komoditas Kacang-Kacangan
dan Umbi-Umbian di Indonesia. Jurnal Socca. Bali. P. 47 72.
Arifin, Bustanul. 2012. Krisis Kedelai, Potret Kebijakan Pangan yang Buruk.
Kamis, 18 April 2013.
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=9328&coid=2&caid=19
&gid=2
Atman. 2009. Strategi Peningkatan Produksi Kedelai di Indonesia. Jurnal Ilmiah
Tambua. Jakarta. Vol. VIII, No.1, Januari-April 2009. P. 39-45. ISSN
1412-5838.
Balitkabi. 2012. Kedelai Hitam: Kaya Gizi dan Bernilai Ekonomi Kedelai Hitam:
Kaya Gizi dan Bernilai Ekonomi. Selasa, 1 Juli 2014. Malang: Balai
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-
Umbian. http://balitkabi.litbang.deptan.go.id
Bank Indonesia. 2004. Pola Pembiayaan Usaha Kecil (PPUK) Budidaya Kedelai.
Jakarta: Direktorat Kredit, BPR dan UMKM. Bank Indonesia. Senin, 23
Juni 2014. http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/50136021-7442-455A-
8ED7-E91CC6C3C17/16004/BudidayaKedelai2.pdf
Basmann, R.L. 1957. A Generalized Classical Method of Linear Estimation of
Coefficients in A Structural Equation. Econometrica 25 (1). JSTOR
1907743
73
artikelgratis.blogspot.com/2008/09/prospek-pengembangan-kacang-
kedelai.html
Irawan, B. dan A. Purwoto. 1989. Kebijaksanaan Pengolahan Agro Industri dan
Mekanisasi Pertanian. dalam Masdjidin . 2003. Kebijakan Perdagangan
dan Daya Saing Komoditas Kedelai. Selasa, 5 November 2013. Available
online with updates at http://pse.litbang.deptan.go.id.
Irsyad. 2011. Kebijakan Perdagangan Komoditas Pertanian. Selasa, 5 November
2013. http://thetawonlanang.blogspot.com/2011/06/kebijakan-
perdagangan-komoditas.html
Joesran dan Fathorrozi. 2003. Teori Ekonomi Mikro. Jakarta: Salemba Empat.
Karo Karo, Feryanto W. 2011. Kedelai dan Kita [Artikel]. Selasa, 5 November
2013. http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2011/03/08/kedelai-dan-
kita/
Kasryno, F., E. Pasandaran, P. Simatupang, Erwidodo, dan T. Sudaryanto. 2001.
Membangun kembali sektor pertanian dan kehutanan. Buku I, hlm. 131.
dalam I.W. Rusastra, P.U. Hadi, A.R. Nurmanaf, E. Jamal, dan A. Syam
(Ed.). Prosiding Seminar Perspektif Pembangunan Pertanian dan
Kehutanan Tahun 2001. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian.
Kasryno, F. dan N. Pribadi. 1991. Evaluasi Kebijaksanaan Kedelai di Indonesia
dan Alternatif Pengembangannya. Halaman 1-18. Risalah Lokakarya
Pengembangan Kedelai: Potensi, Kendala dan Peluang. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Kementerian Pertanian. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun
2010 2014. Jakarta: Kementerian Pertanian.
Kmenta, J. 1986. Elements of Econometrics. 2nd Edition. New York: Macmillan
Publishing Co. Inc.
Komalasari, Wieta B. 2008. Prediksi Penawaran dan Permintaan Kedelai dengan
Analisis Deret Waktu. Jurnal Informatika Pertanian, Volume 17, No. 2,
halaman 1195 1209. Jakarta: Pusat Data dan Informasi, Kementerian
Pertanian.
nd
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics. 2 Edition. New York: Harper
and Row Publisher, Inc. Barners and Nobles Import Division.
Kshirsagar, A. 1983. A Course in Linear Models. New York: Marcell Dekker, Inc.
Kumenaung, Anderson Guntur. 1994. Analisis Dampak Kebijakan Ekonomi
terhadap Industri Komoditi Kedelai di Indonesia [Tesis]. Bogor: Sekolah
Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
. 2002. Dampak Kebijkan Ekonomi dan
Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Industri Komoditas Kedelai
Indonesia [Disertasi]. Program Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Kustiari, Reni; Pantjar Simatupang; Dewa Ketus Sadra S; Wahida; Adreng
Purwoto; Helena Juliani Purba; Tjetjep Nurrasa. 2009. Model Proyeksi
Jangka Pendek Permintaan dan Penawaran Komoditas Pertanian Utama.
Laporan Akhir Penelitian TA 2009. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kementerian Pertanian.
76
Lence, Sergio H. 2010. The Agricultural Sector in Argentina: Major Trends and
Recent DevelopmentsMajor Trends and Recent Development. The Shifting
Patterns of Agricultural Production and Productivity Worldwide. The
Midwest Agribusiness Trade Research and Information Center, Iowa State
University, Ames, Iowa. Chapter 14.
Malian, A. Husni. 2004. Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas
Pertanian di Indonesia. Analisis Kebijakan Perdagangan, Vol. 2 No. 2,
Juni 2004. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Mubyarto. 1986. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES.
Munandar, Azhar; Marlianda, Dias; Nopriyanti, Rini; Cempakapuri, Tirtha. 2008.
Komoditi Kedelai [Makalah Agribisnis]. Jurusan Manajemen Agribisnis.
Fakultas Ekonomi. Jambi: Universitas Jambi.
Mursidah. 2005. Perkembangan Produksi Kedelai Nasional dan Upaya
Pengembangannya di Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal LIPI. P. 21 - 45.
Nasution, L.T. 1990. Faktor Pendukung Eksternal Program Benih Kedelai.
Risalah Lokakarya Pengembangan Kedelai. 13 Desember 1990. Bogor:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Nicholson, Walter. 1991. Teori Ekonomi Mikro I, terjemahan Deliarnov. Jakarta:
Penerbit Rajawali.
Nur, Yudha Hadian; Nuryati, Yati; Resnia, Ranni; Santoso, A. Sigit. 2012. Analisis
Faktor dan Proyeksi Konsumsi Pangan Nasional: Kasus Pada Komoditas:
Beras, Kedelai dan Daging Sapi. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol.
6, No. 1, Juli 2012. P. 37 52.
Nurmalita, Yanne. 2011. Tinjauan Konsumsi Kedelai dan Haisl Olahannya
terhadap Syndrom Perimenopause pada Wanita Usia45 55 Tahun di
Jorong III Kenagarian Tanjung Beringin Kec. Lubuk Sikaping Kab.
Pasaman Tahun 2010 [Artikel]. Jumat, 12 Juli 2013.
http://yannenurmalita.blogspot.com/2011/06/tinjauan-konsumsi-kedelai-
dan-hasil.html
Oktaviani, Rina. 2010. Impor Kedelai: Dampaknya terhadap Stabiliats Harga
dan Permintaan Kedelai Dalam Negeri. Jumat, 12 Juli 2013.
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=perdagangan%20kedelai%20d
unia%20&source=web&cd=3&ved=0CDEQFjAC&url=http%3A%2F%2F
agrimedia.mb.ipb.ac.id%2Fuploads%2Fdoc%2F2010-07-06_rinaO-
Impor_Kedelai.doc&ei=ReaGT6uUI_GXiAe4xZHhBw&usg=AFQjCNFs
vJGqfqSSjaQNaNXbLtfGq1zkOg&cad=rja
Pappas, James L dan Mark, Hirschey. 1995. Ekonomi Manajerial. Edisi Keenam,
Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara Indonesia.
Parkin, Michael. 1993. Economics. New York: Adison Wesley Publishing
Company.
Pindyck, Robert S dan Rubinfield, Daniel L. 2008. Econometric Models and
Economic Forecasts; 5th edition. Boston, Mass: Irwin/McGraw-Hill.
Priyanti, Atien; T.D. Soedjana; R. Matondang; P. Sitepu. 1997. Estimasi Sistem
Permintaan dan Penawaran Daging Sapi di Provinsi Lampung. Jurnal
Ilmu Ternak dan Veteriner 3 (2). P. 71-77.
Putong, Iskandar. 2003. Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro. Edisi Kedua.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
77
Sujoni M., Nurhadi; Mahfudz, Masyhuri; dan Siswadi, Bambang. 2007. Model
Simulasi Kebijakan Ekonomi Kedelai Dan Prospek Swasembada Pada
Era Liberalisasi Perdagangan Menuju Ketahanan Pangan Di Indonesia.
[Laporan Penelitian]. Malang: Fakultas Pertanian, Universitas Islam
Malang. Kamis, 10 April 2014. Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah -
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
PDII-LIPI .
http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/58256
Sukirno, Sadono. 2001. Teori Pengantar Makro Ekonomi, edisi ke-2. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Suliyanto. 2011. Ekonometrika Terapan: Teori dan Aplikasi dengan SPSS. Edisi
pertama. Yogyakarta: Penerbit CV ANDI OFFSET.
Supadi. 2009. Dampak Impor kedelai Berkelanjutan Terhadap Ketahanan
Pangan. Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 7 Nomor 1. Maret 2009:
87 102. Kamis, 10 April 2014.
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART7-1e.pdf
Suryana, Ahmad dan Sudaryanto, Tahlim. 1997. Penawaran, Konsumsi Pangan
dan Kebiasaan Perilaku Makan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Susetyanto. 1994. Analisis Dampak Alternatif Kebijaksanaan Terhadap Produksi,
Pendapatan, dan Konsumsi Rumahtangga Petani Kedelai di Kabupaten
Subang [Tesis]. Program Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Susetyanto. 2012. Model Eonomi Rumahtangga Petani Kedeli di Indonesia:
Analisis Dampak Kebijkan terhadap Tenaga Kerja, Pendapatan dan
Pengeluaran [Disertasi]. Program Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Sutrisno, Salyo; Adisarwanto, Titis; dan Susilowati, Rini. 2010. Analisis Efisiensi
Kedelai Varietas Unggul Baru dalam Rangka Peningkatan Daya Saing
Kedelai Nasional [Laporan Hasil Penelitian]. Malang: Universitas
Brawijaya.
Suyamto dan Widiarta, I Nyoman. 2010. Kebijakan Pengebangan Kedelai
Nasional. Prosiding Simposium dan Pameran Teknologi Aplikasi Isotop
dan Radiasi. Halaman 37 50. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan.
Swastika, Dewa K Sadra. 1997. Swasembada Kedelai Antara Harapan dan
Kenyataan. Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol.15(1), P. 5766. Bogor:
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
. 2003. Soybean Self-Sufficiency in Indonesia: Dream
or Reality?. Shoert Article. CGPRT-Flash. Vol.1(5), P. 15-29. Bogor:
CGPRT.
Syam, M., A. Widjono, Hermanto, G. I. Ismail, H. Anwarhan, dan M. Sabrani.
1996. Usaha tani Tanaman Meningkatkan Produktivitas Lahan dan
Pendapatan Petani. Puslitbangtan. Bogor: Badan Litbang Pertanian.
Tastra, IK.; Ginting, Erliana dan Fatah, Gatot S. A. 2012. Menuju Swaembada
Kedelai Melalui Penerapan Kebijakan yang Sinergis. Jurnal IPTEK
Tanaman Pangan, Volume 7, No. 1, P. 47 57. Malang: Balai Penelitian
Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian, Kementerian Pertanian.
80
DAFTAR LAMPIRAN
Alternatif respesifikasi ke 1
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -1.112 bagus 10
9.75
PRKN rangking
kesesuaian 4/5 80% 8
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 0.98 10
Durbin-H stat -1.28 bagus 10
9
KKN rangking
91
R2 adj 95% 10
Durbin-H stat -3.275 ada +/- 0
7
HKN rangking
kesesuaian 4/7 57% 6
signifikansi 3/7 43% 5
R2 adj 95% 10
Durbin-H stat -26.606 ada +/- 0
5.25
HKI rangking
kesesuaian 4/6 67% 7
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 88% 9
Durbin-H stat 0.563 bagus 10
8.75
KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 10
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.715 bagus 10
8.75
Alternatif respesifikasi ke 2
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -1.112 bagus 10
9.75
PRKN rangking
kesesuaian 4/5 80% 8
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 10
Durbin-H stat -1.303 bagus 10
9
KKN rangking
kesesuaian 6/6 100% 10
signifikansi 6/6 100% 10
R2 adj 97% 10
Durbin-H stat -4.415 ada +/- 0
7.5
HKN rangking
kesesuaian 4/7 57% 6
signifikansi 2/7 29% 3
R2 adj 95% 10
Durbin-H stat 176.5 ada+/- 0
92
4.75
HKI rangking
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil
Respesifikasi Model (lanjutan)
kesesuaian 5/6 83% 9
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 92% 10
Durbin-H stat 1.152 bagus 10
9.5
KIK rangking
kesesuaian 2/3 67% 7
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.74 bagus 10
8
Alternatif respesifikasi ke 3
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -4.686 ada +/- 0
7.25
PRKN rangking
kesesuaian 5/5 100% 10
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 10
Durbin-H stat 1.27 bagus 10
9.5
KKN rangking
kesesuaian 5/6 83% 9
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 95% 10
Durbin-H stat -3.328 ada+/- 0
7
HKN rangking
kesesuaian 4/7 57% 6
signifikansi 3/7 43% 5
R2 adj 95% 10
Durbin-H stat -26.786 ada+/- 0
5.25
HKI rangking
kesesuaian 4/6 67% 7
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 87% 9
Durbin-H stat 0.523 bagus 10
8.75
KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 10
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
93
KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 10
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil
Respesifikasi Model (lanjutan)
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.69 bagus 10
8.75
Alternatif respesifikasi ke 8
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -4.775 ada +/- 0
7.25
PRKN rangking
kesesuaian 4/5 80% 8
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 10
Durbin-H stat -1.287 bagus 10
9
KKN rangking
kesesuaian 6/6 100% 10
signifikansi 6/6 100% 10
R2 adj 97% 10
Durbin-H stat -5.848 ada +/- 0
7.5
HKN rangking
kesesuaian 7/7 100% 10
signifikansi 5/7 71% 8
R2 adj 95% 10
Durbin-H stat -14.878 ada +/- 0
7
HKI rangking
kesesuaian 5/6 83% 9
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 87% 9
Durbin-H stat 0.973 bagus 10
9.25
KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 10
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.682 bagus 10
8.75
Alternatif respesifikasi ke 9
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
97
R2 adj 97% 10
Durbin-H stat -5.998 ada +/- 0
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil
Respesifikasi Model (lanjutan)
7.25
HKN rangking
kesesuaian 3/5 60% 6
signifikansi 5/5 100% 10
R2 adj 96% 10
Durbin-H stat 1.808 ada +/- 0
6.5
HKI rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 75% 8
R2 adj 84% 9
Durbin-H stat -0.688 bagus 10
9.25
KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 10
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.688 bagus 10
8.75
Alternatif respesifikasi ke 11
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -4.704 ada +/- 0
7.25
PRKN rangking
kesesuaian 4/5 80% 8
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 10
Durbin-H stat -1.303 bagus 10
9
KKN rangking
kesesuaian 6/6 100% 10
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 97% 10
Durbin-H stat -5.286 ada +/- 0
7.25
HKN rangking
kesesuaian 3/6 50% 5
signifikansi 4/6 67% 7
R2 adj 95% 10
Durbin-H stat -33.63 ada +/- 0
5.5
HKI rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
99
signifikansi 75% 8
R2 adj 85% 9
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil
Respesifikasi Model (lanjutan)
Durbin-H stat -0.397 bagus 10
9.25
KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 10
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.685 bagus 10
8.75
Alternatif respesifikasi ke 12
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -4.722 ada +/- 0
7.25
PRKN rangking
kesesuaian 4/5 80% 8
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 10
Durbin-H stat -1.299 bagus 10
9
KKN rangking
kesesuaian 6/6 100% 10
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 97% 10
Durbin-H stat -5.998 ada +/- 0
7.25
HKN rangking
kesesuaian 4/6 67% 7
signifikansi 4/6 67% 7
R2 adj 96% 10
Durbin-H stat -53.85 ada +/- 0
6
HKI rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 75% 8
R2 adj 84% 9
Durbin-H stat -0.688 bagus 10
9.25
KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 5
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.688 bagus 10
7.5
Alternatif respesifikasi ke 13
100
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil
Respesifikasi Model (lanjutan)
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -4.722 ada +/- 0
7.25
PRKN rangking
kesesuaian 4/5 80% 8
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 10
Durbin-H stat -1.299 bagus 10
9
KKN rangking
kesesuaian 6/6 100% 10
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 97% 10
Durbin-H stat -5.998 ada +/- 0
7.25
HKN rangking
kesesuaian 2/5 40% 4
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 92% 10
Durbin-H stat 6.43 ada +/- 0
5.5
HKI rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 75% 8
R2 adj 84% 10
Durbin-H stat -0.688 bagus 10
9.5
KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 10
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.688 bagus 10
8.75
Alternatif respesifikasi ke 14
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -4.722 ada +/- 0
7.25
PRKN rangking
kesesuaian 4/5 80% 8
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 10
Durbin-H stat -1.299 bagus 10
101
9
KKN rangking
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil
Respesifikasi Model (lanjutan)
kesesuaian 6/6 100% 10
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 97% 10
Durbin-H stat -5.998 ada +/- 0
7.25
HKN rangking
kesesuaian 6/6 100% 10
signifikansi 6/6 100% 10
R2 adj 88% 9
Durbin-H stat -13.24 ada +/- 0
7.25
HKI rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 75% 8
R2 adj 84% 9
Durbin-H stat -0.688 bagus 10
9.25
KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 10
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.688 bagus 10
8.75
Alternatif respesifikasi ke A
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -1.112 bagus 10
9.75
PRKN rangking
kesesuaian 4/5 80% 8
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 0.98 10
Durbin-H stat -1.28 bagus 10
9
KKN rangking
kesesuaian 6/6 100% 10
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 97% 10
Durbin-H stat -3.432 ada +/- 0
7.25
HKN rangking
kesesuaian 5/6 83% 9
signifikansi 4/6 67% 7
R2 adj 92% 10
102
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.715 bagus 10
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil
Respesifikasi Model (lanjutan)
8.75
Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2011, diolah
LATKN 9.8 9.8 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3
PRKN 9.0 9.0 9.5 9.0 9.0 9.0 9.5 9.0 9.0 9.0 9.0 9.0 9.0 9.0
KKN 7.0 7.5 7.0 7.5 6.0 4.8 7.0 7.5 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3
HKN 5.3 4.8 5.3 5.3 5.0 4.8 5.3 7.0 5.0 6.5 5.5 6.0 5.5 7.3
HKI 8.8 9.5 8.8 9.3 8.8 9.3 8.8 9.3 9.3 9.3 9.3 9.3 9.5 9.3
KIK 8.8 8.0 8.8 8.0 8.8 7.5 8.8 8.8 8.8 8.8 8.8 7.5 8.8 8.8
rata-rata 8.1 8.1 7.8 7.7 7.5 7.1 7.8 8.1 7.8 8.0 7.8 7.7 7.9 8.1
keterangan warna abu-abu adalah model terpilih dari nilai rangking respesifikasi yang paling
bagus, yang kemudian untuk dikombinasikan kembali
1. LATKN 1, karena nilai signifikansinya ada yang lebih kecil pada variabel HJN
2. PRKN terpilih 1, karena niai Dh-stat paling kecil, variabel lainnya sama
3. KKN 2, nilai rangking paling tinggi
4. HKN 14 paling bagus kriterianya
5. HKI 2 paling banya variabel penjelasnya dan paling tinggi rangking nya
6. KIK 1 & 14 semua variabel sama, dipilih 1 karena variabel eksogen yang dipilih HKI,
bukan LHKI
kombinasi hasil respesifikasi ke 1, 2, dan 14 menjadi 2 bagian respesifikasi sebagai berikut:
respesifikasi ke- A B
model
HKN 51 376882 0.96 0.00 0.00 1.00 0.01 0.99 0.2432 0.1230
HKI 51 4550.4 0.91 0.00 0.00 1.00 0.03 0.97 0.2340 0.1184
KIK 51 170839 0.86 0.00 0.00 1.00 0.08 0.92 0.4001 0.2090
PKN 51 16590.9 0.95 0.00 0.00 0.99 0.01 0.99 0.1355 0.0678
SKN 51 184982 0.91 0.00 0.00 1.00 0.06 0.94 0.2244 0.1137
Nilai U-Theil Simulasi Pertama, LATKN naik 7 persen
Theil Forecast Error Statistics
MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variabel N MSE (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
LATKN 51 17652.3 0.92 0.17 0.03 0.80 0.00 0.83 0.1498 0.0728
PRKN 51 0.00122 0.99 0.09 0.11 0.81 0.07 0.84 0.0337 0.0167
KKN 51 46754.7 0.96 0.05 0.02 0.93 0.00 0.95 0.1429 0.0704
HKN 51 378013 0.96 0.01 0.00 0.99 0.01 0.98 0.2436 0.1237
HKI 51 4555.3 0.91 0.00 0.00 1.00 0.03 0.97 0.2341 0.1186
KIK 51 171285 0.86 0.00 0.00 1.00 0.08 0.92 0.4006 0.2101
PKN 51 21629.2 0.95 0.18 0.06 0.76 0.01 0.81 0.1548 0.0749
SKN 51 187015 0.91 0.01 0.00 0.99 0.04 0.95 0.2256 0.1129
Nilai U-Theil Simulasi Kedua
Theil Forecast Error Statistics
MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variabel N MSE (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
LATKN 51 17741.1 0.92 0.13 0.01 0.86 0.01 0.85 0.1501 0.0733
PRKN 51 0.00124 0.99 0.08 0.12 0.80 0.08 0.83 0.0339 0.0169
KKN 51 50538.3 0.96 0.07 0.00 0.93 0.03 0.90 0.1485 0.0760
HKN 51 1246708 0.95 0.42 0.17 0.40 0.10 0.48 0.4424 0.1949
HKI 51 106953 0.91 0.66 0.30 0.04 0.25 0.09 1.1343 0.3680
KIK 51 219907 0.85 0.13 0.05 0.82 0.00 0.87 0.4539 0.2161
PKN 51 23345.9 0.94 0.17 0.04 0.79 0.00 0.83 0.1608 0.0779
SKN 51 275610 0.90 0.19 0.08 0.73 0.01 0.80 0.2739 0.1295
Nilai U-Theil Simulasi Ketiga
Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions
Model LATKN
The SAS System
The SYSLIN Procedure
TwoStage Least Squares Estimation
Model LATKN
Dependent Variabel LATKN
Analysis of Variance
Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F
Model 4 4166144 1041536 76.82 <.0001
105
SKN 51 184982 0.91 0.00 0.00 1.00 0.06 0.94 0.2244 0.1137
Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Relative Change MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
Lampiran 9. Hasil Output SAS, Simulasi Kebijakan (lanjutan)
LATKN 50 0.0226 0.20 0.00 0.11 0.88 0.19 0.81 1.0402 0.6706
PRKN 50 0.00138 0.41 0.03 0.01 0.97 0.32 0.66 0.8547 0.5050
KKN 50 0.0276 0.53 0.00 0.00 1.00 0.37 0.63 0.8174 0.5242
HKN 50 8.5316 0.01 0.00 0.99 0.01 0.82 0.17 10.0229 0.9126
HKI 50 . . . . . . . . .
KIK 50 . . . . . . . . .
PKN 50 0.0234 0.21 0.00 0.11 0.89 0.19 0.81 1.0182 0.6474
SKN 50 0.0744 0.54 0.00 0.12 0.88 0.03 0.97 0.8788 0.4721
NOTE: Percent error statistics for 2 variabels were set to missing values because an
actual value was too close to zero to compute the percent error at one or more
observations.
Simulasi Kebijakan Pertama, Jika LATKN Naik 7 Persen
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Model Summary
Model Variabels 8
Endogenous 8
Parameters 32
Equations 8
Number of Statements 8
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
WARNING: Solution values are missing because of missing input values for observation 1 at
NEWTON iteration 0.
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Data Set Options
DATA= SIMULTAN
Solution Summary
Variabels Solved 8
Solution Method NEWTON
CONVERGE= 1E8
Maximum CC 8.822E9
Maximum Iterations 3
Total Iterations 103
Average Iterations 2.019608
Observations Processed
Read 52
Solved 51
Failed 1
Variabels Solved For LATKN PRKN KKN HKN HKI KIK PKN SKN
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Descriptive Statistics
Actual Predicted
Variabel N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev
LATKN 51 51 832.3 310.4 886.3 309.3
PRKN 51 51 1.0076 0.2450 1.0180 0.2544
KKN 51 51 1309.8 765.8 1359.1 766.3
HKN 51 51 1154.7 2266.9 1103.8 2206.7
HKI 51 51 235.6 167.8 234.4 156.5
KIK 51 51 644.2 815.6 632.4 698.5
PKN 51 51 855.9 417.1 918.3 432.0
SKN 51 51 1608.4 1053.1 1659.0 965.8
Statistics of fit
Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %
Variabel N Error Error Error % Error Error Error RSquare
LATKN 51 54.0151 8.1007 101.6 13.2273 132.9 17.7099 0.8131
PRKN 51 0.0104 0.9697 0.0262 2.7540 0.0349 3.8259 0.9793
KKN 51 49.3089 7.4050 162.6 14.0251 216.2 16.3953 0.9187
110
Actual Predicted
Variabel N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev
LATKN 51 51 832.3 310.4 881.2 296.7
PRKN 51 51 1.0076 0.2450 1.0178 0.2551
KKN 51 51 1309.8 765.8 1250.4 728.6
Lampiran 9. Hasil Output SAS, Simulasi Kebijakan (lanjutan)
HKN 51 51 1154.7 2266.9 1881.7 2619.7
HKI 51 51 235.6 167.8 501.2 333.8
KIK 51 51 644.2 815.6 812.9 802.3
PKN 51 51 855.9 417.1 918.5 426.2
SKN 51 51 1608.4 1053.1 1839.7 1096.3
Statistics of fit
Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %
Variabel N Error Error Error % Error Error Error RSquare
LATKN 51 48.9340 7.9227 101.5 13.2893 133.2 18.0944 0.8122
PRKN 51 0.0102 0.9382 0.0264 2.7672 0.0352 3.8297 0.9790
KKN 51 59.4132 2.2079 147.1 11.4059 224.8 14.5362 0.9121
HKN 51 727.0 321.5 866.3 428.5 1116.6 618.2 0.7525
HKI 51 265.5 . 265.5 . 327.0 . 2.874
KIK 51 168.6 . 341.3 . 468.9 . 0.6628
PKN 51 62.6002 8.8866 112.6 13.7660 152.8 18.9077 0.8631
SKN 51 231.2 16.7136 374.6 28.0461 525.0 34.5362 0.7465
Theil Forecast Error Statistics
MSE Decomposition Proportions
Variabel N MSE Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
(R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
LATKN 51 17741.1 0.92 0.13 0.01 0.86 0.01 0.85 0.1501 0.0733
PRKN 51 0.00124 0.99 0.08 0.12 0.80 0.08 0.83 0.0339 0.0169
KKN 51 50538.3 0.96 0.07 0.00 0.93 0.03 0.90 0.1485 0.0760
HKN 51 1246708 0.95 0.42 0.17 0.40 0.10 0.48 0.4424 0.1949
HKI 51 106953 0.91 0.66 0.30 0.04 0.25 0.09 1.1343 0.3680
KIK 51 219907 0.85 0.13 0.05 0.82 0.00 0.87 0.4539 0.2161
PKN 51 23345.9 0.94 0.17 0.04 0.79 0.00 0.83 0.1608 0.0779
SKN 51 275610 0.90 0.19 0.08 0.73 0.01 0.80 0.2739 0.1295
Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Relative Change MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
LATKN 50 0.0283 0.20 0.14 0.16 0.71 0.08 0.78 1.1632 0.6360
PRKN 50 0.00141 0.41 0.04 0.01 0.95 0.30 0.66 0.8619 0.5002
KKN 50 0.0348 0.40 0.07 0.01 0.92 0.27 0.65 0.9169 0.6188
HKN 50 44.3573 0.12 0.29 0.71 0.00 0.64 0.07 22.8539 0.9518
HKI 50 . . . . . . . . .
KIK 50 . . . . . . . . .
PKN 50 0.0314 0.22 0.17 0.17 0.66 0.06 0.78 1.1800 0.6014
SKN 50 0.1247 0.50 0.19 0.26 0.55 0.01 0.80 1.1378 0.4961
NOTE: Percent error statistics for 2 variabels were set to missing values because an
actual value was too close to zero to compute the percent error at one or more
observations.
Simulasi Kebijakan Ketiga, Jika HKN Naik 64 Persen
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Model Summary
Model Variabels 8
Endogenous 8
Parameters 32
Equations 8
Number of Statements 8
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
WARNING: Solution values are missing because of missing input values for observation 1
at NEWTON iteration 0.
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Data Set Options
DATA= SIMULTAN
Solution Summary
112
Variabels Solved 8
Solution Method NEWTON
CONVERGE= 1E8
Maximum CC 6.114E9
Maximum Iterations 3
Lampiran 9. Hasil Output SAS, Simulasi Kebijakan (lanjutan)
Total Iterations 110
Average Iterations 2.156863
Observations Processed
Read 52
Solved 51
Failed 1
Variabels Solved For LATKN PRKN KKN HKN HKI KIK PKN SKN
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Descriptive Statistics
Actual Predicted
Variabel N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev
LATKN 51 51 832.3 310.4 874.0 277.3
PRKN 51 51 1.0076 0.2450 1.0176 0.2560
KKN 51 51 1309.8 765.8 1230.4 678.4
HKN 51 51 1154.7 2266.9 1776.4 3402.5
HKI 51 51 235.6 167.8 243.1 169.8
KIK 51 51 644.2 815.6 781.3 951.4
PKN 51 51 855.9 417.1 918.5 424.9
SKN 51 51 1608.4 1053.1 1808.1 1256.9
Statistics of fit
Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %
Variabel N Error Error Error % Error Error Error RSquare
LATKN 51 41.7755 8.0794 110.6 14.7437 150.5 21.1769 0.7602
PRKN 51 0.0100 0.8990 0.0267 2.7905 0.0357 3.8538 0.9783
KKN 51 79.4568 0.9755 178.4 13.5130 270.1 16.5910 0.8731
HKN 51 621.8 18.1398 831.6 315.5 1492.2 445.8 0.5580
HKI 51 7.4868 . 43.9211 . 71.6585 . 0.8140
KIK 51 137.1 . 331.2 . 506.8 . 0.6061
PKN 51 62.5706 9.0908 128.1 15.2265 189.6 22.5598 0.7892
SKN 51 199.7 9.8049 375.4 26.1454 611.4 32.2442 0.6561
Theil Forecast Error Statistics
MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
LATKN 51 22653.7 0.88 0.08 0.00 0.92 0.05 0.88 0.1696 0.0835
PRKN 51 0.00128 0.99 0.08 0.13 0.79 0.09 0.83 0.0345 0.0171
KKN 51 72976.4 0.94 0.09 0.02 0.89 0.10 0.81 0.1785 0.0927
HKN 51 2226769 0.96 0.17 0.66 0.17 0.57 0.26 0.5912 0.2356
HKI 51 5134.9 0.91 0.01 0.06 0.93 0.00 0.99 0.2486 0.1227
KIK 51 256884 0.86 0.07 0.25 0.68 0.07 0.86 0.4906 0.2246
PKN 51 35950.7 0.91 0.11 0.06 0.83 0.00 0.89 0.1995 0.0967
SKN 51 373858 0.89 0.11 0.27 0.62 0.11 0.78 0.3190 0.1487
Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Relative Change MSE Decomposition Proportions
Variabel Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
LATKN 50 0.0399 0.11 0.10 0.38 0.52 0.00 0.90 1.3817 0.6607
PRKN 50 0.00143 0.39 0.04 0.02 0.95 0.27 0.69 0.8692 0.5026
KKN 50 0.0406 0.31 0.04 0.12 0.85 0.11 0.86 0.9911 0.6027
HKN 50 21.0478 0.01 0.01 0.99 0.00 0.88 0.11 15.7428 0.9383
HKI 50 . . . . . . . . .
KIK 50 . . . . . . . . .
PKN 50 0.0468 0.14 0.12 0.42 0.46 0.00 0.88 1.4405 0.6370
SKN 50 0.0948 0.57 0.07 0.28 0.65 0.01 0.92 0.9922 0.4537
NOTE: Percent error statistics for 2 variabels were set to missing values because an
actual value was too close to zero to compute the percent error at one or more
observations.
Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2013, diolah
113
RIWAYAT HIDUP
RIWAYAT HIDUP