You are on page 1of 129

ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI KEDELAI NASIONAL

RIZMA ALDILLAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Produksi


dan Konsumsi Kedelai Nasional adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014

Rizma Aldillah
NIM H451100281
RINGKASAN

RIZMA ALDILLAH. Analisis Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional.


Dibimbing oleh HARIANTO dan HENY K. DARYANTO.

Kedelai dijuluki sebagai Gold from the Soil, atau World's Miracle
mengingat kualitas protein tinggi, seimbang dan lengkap. Konsumsi kedelai
di Indonesia dipastikan akan terus meningkat setiap tahunnya mengingat
beberapa pertimbangan seperti bertambahnya populasi penduduk,
peningkatan pendapatan per kapita, kesadaran masyarakat akan gizi
makanan. Namun produksi kedelai belum mencukupi kebutuhan lokal,
sehingga pada 5 tahun terakhir impor rata-rata mencapai 80 persen per tahun
(FAO, 2013), walaupun demikian, dalam rencana strategis pengembagan
pertanian, Indonesia memiliki tujuan mencapai swasembada kedelai tahun
2020.
Permasalahan utama adalah produksi kedelai nasional lebih rendah
daripada kebutuhan dalam negeri, sehingga selalu mengalami defisit. Untuk
itu, dilakukan analisis produksi dan konsumsi kedelai nasional yang
bertujuan menganalisis variabel-variabel yang mempengaruhi produksi dan
konsumsi kedelai nasional, bagaimana proyeksi produksi dan konsumsi
kedelai nasional di tahun yang akan datang, serta bagaimana alternatif
simulasi yang dapat dilakukan guna meningkatkan produksi kedelai
nasional.
Hasil analisis simultan menyimpulkan bahwa produksi kedelai
nasional (PKN) dipengaruhi oleh luas area (LATKN) dan produktivitas
(PRKN), dimana perubahan LATKN dan PRKN resposif terhadap LATKN t-1
dan PRKNt-1. Sedangkan perubahan konsumsi (KKN) responsive terhadap
penawaran (SKN), dimana SKN mempengaruhi harga nasional (HKN),
begitupun harga impor (HKI) terintegrasi oleh HKN, sehingga perubahan
harga impor mempengaruhi volume impor (KIK), kesesuaian model bagus
(fit) berada dalam kisaran 75 98 persen.
Hasil peramalan tahun 2013 2020 menghasilkan rata-rata
pertumbuhan produksi sebesar 1.2 jutaan ton atau sekitar 6.8 persen per
tahun dan konsumsi sebesar 2.8 jutaan ton atau sekitar 2.1 persen per tahun,
namun demikian, defisit rata-rata mengalami penurunan rata-rata sekitar
0.98 persen atau 1.4 jutaan ton per tahun. Analisis simulasi kebijakan
bertujuan menganalisis strategi untuk meningkatkan produksi kedelai
nasional pada periode 2013 2020 sesuai hasil peramalan, dimana simulasi
tersebut diantaranya meningkatkan LATKN 7 persen, HKI 100 persen dan
HKN 50 persen.
Berdasarkan hasil penelitian, disarankan agar penerapan pembelian
harga petani spesifik lokasi, penetapan tarif impor kembali sesuai aturan
WTO, kontribusi agribisnis misalnya diversifikasi produk, serta pemotongan
jalur tataniaga yang lebih efisien dan efektif dari produsen ke konsumen.
Kata kunci: kebijakan, kedelai, konsumsi, peramalan, produksi, simulasi
SUMMARY

RIZMA ALDILLAH. Production and Consumption Analysist of National


Soybeans. Supervised by HARIANTO and HENY K. DARYANTO.

Soy dubbed as Gold from the Soil, or the World's Miracle


considering the quality of balanced and complete high protein. Soybean
consumption in Indonesia increase every year considering several
considerations such as increasing population, increasing income per capita,
public awareness of food nutrition. However, soybean production is
insufficient local demand, so that in the last 5 years average imports reached
80 percent per year (FAO, 2013), nevertheless, in the agricultural
development of the strategic plan, Indonesia have purpose to reach soybean
self-sufficiency by 2020.
The main problem is the national soybean production is lower than
the domestic demand, so it is always in deficit. So that, an analysis of
national soybean production and consumption aims to analyze the variables
that influence of national soybean production and consumption, how the
predictions of the national soybean production and consumption in the
future, and how alternative simulations that can be done to improve the
national soybean production.
The results of simultaneous analysis concluded that production is
influenced by area and yield, whereas of area and yield modification is
responsive by themselves in the previous year. However, modification of
consumption is responsive by quantity supplies which is influence by
nastional prices, and of course, the national prices integrated with import
prices, and also the modification of it influence of import quantity.
Goodness of fit of simultaneous model in the range of 73 98 percent.
The results of forecasting at 2013 - 2020 shows average production
growth of 1.2 million tons, or about 6.8 percent per year and average
consumption of 2.8 million tons, or about 2.1 percent per year, however, it
shows an average deficit of diminishing about 0.98 percent or 1.4 million
ton per year. Simulation analysis to make strategic policy performed in the
corresponding increase at national soybean production forecast results,
including increase the area harvested by 7 percent, import prices by 100
percent, and national prices by 50 percent.
Based on the research results, it is suggested that the application of
the purchase price at the farm level by spesific location, re import tariffs
according to the rules of the WTO, the contribution of agribusiness, for
example: product diversification, make the trading system more efficient
and effective from producers to consumers.
Key words: consumption, forecasting, policy, production, simulation,
soybeans
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh


karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI KEDELAI NASIONAL

RIZMA ALDILLAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Suharno, M. Adev.

Penguji Wakil Komisi Pendidikan : Dr Ir Burhanuddin, MS.


Judul Tesis : Analisis Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional
Nama : Rizma Aldillah
NIM : H451100281

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr IrHen

Diketahui oleh

Ketua Program Studi


Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Tanggal Ujian: 10 Juli 2014 Tanggal Lulus2 1 Agustus 2014


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taala


atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah produksi dan konsumsi,
dengan judul Analisis Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional. Terima
kasih penulis ucapkan kepada :
1. Dr Ir Harianto MS dan Dr Heny K Daryanto M Ec sebagai komisi
pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi, saran dan
perhatian baik secara moril maupun substansi dan teknis yang sangat
berarti dari awal penelitian hingga penyusunan tesis ini selesai.
2. Dr Ir Suharno MAdev dan Dr Ir Burhanuddin MS sebagai dosen penguji
dalam siding akhir tesis yang telah memberikan saran dan masukan
dalam penyempurnakan tesis.
3. Dr Ir Ana Fariyanti MS sebagai dosen evaluator kolokium atas saran
yang diberikan untuk proposal penelitian.
4. Dr Ir Parulian Hutagaol MS sebagai dosen moderator seminar hasil
penelitian atas saran yang diberikan untuk tesis.
5. Prof Dr Ir Rita Nurmalina MS sebagai Ketua Program Studi S2
Agribisnis yang selalu mendukung secara moril dan administratif dari
awal perkuliahan hingga kelulusan.
6. Kepala Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Dr Ir Handewi P
Saliem MS, dan Staf kepegawaian atas dukungan moril serta ke-
administrasi-an sejak awal perkuliahan hingga kelulusan.
7. Suami tercinta, Ya Thohir, SKM atas doa dan dukungan moril maupun
materil, serta kasih sayang yang diberikan, serta anak-anakku Ya
Muhammad Riztho Rizaldi dan Ya Ibrahim Ditho Al-Fathir yang selalu
menjadi penyemangat bunda dalam menyelesaikan studi di MSA
(Magister Sains Agribisnis).
8. Orang tua, H. Armadi Chaniago dan Hj. Maisaroh, adikku Rizda
Anferiz, SE atas doa dan dukungan moril maupun materil serta kasih
sayang yang diberikan.
9. Prof Dr Ir Budiman Hutabarat MS, Dr Ir Adang Agustian MSi, Rina
Hartini, SSi MB, dan Novindra Taher SP MS atas bantuan dalam
pengolahan data dan saran dalam pembahasan.
10. Seluruh dosen dan staf sekretariat Departemen Agribisnis atas ilmu yang
diberikan selama perkuliahan, serta bantuan ke-administrasi-an.
11. Teman-teman MSA angkatan pertama atas perhatian, dukungan dan
kerjasama kita selama di bangku perkuliahan.
12. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Bogor, Agustus 2014

Penulis
ix
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 5
Tujuan Penelitian 7
Manfaat Penelitian 7
Batasan Penelitian 8
2 TINJAUAN PUSTAKA 9
Ekonomi Kedelai 9
Produksi Kedelai Nasional 11
Konsumsi Kedelai Nasional 14
Kebijakan Perdagangan Kedelai 16
Model Ekonomi Kedelai 19
Review Penelitian Terdahulu 19
Penelitian Kedelai di Negara Lain 19
Penelitian Kedelai di Indonesia 21
Model Simultan dan Non Simultan 26
Model Persamaan Simultan 27
Identifikasi dalam Model Persamaan Simultan 29
Metode Pendugaan Model Persamaan Simultan 30
3 KERANGKA PEMIKIRAN 33
Kerangka Pemikiran Teoritis 33
Teori Produksi 33
Teori Konsumsi 34
Teori Persamaan Simultan 37
Kerangka Pemikiran Operasional 40
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Luas Area Tanam 40
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas 41
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi 42
Model Persamaan Simultan 44
4 METODE PENELITIAN 47
Jenis dan Sumber Data 47
Metode Analisis 47
Penentuan Model 49
Metode Peramalan 50
Analisis Simulasi Kebijakan 50
x

DAFTAR ISI (lanjutan)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 51


Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Kedelai Nasional 51
Keragaan Luas Area Tanam Kedelai Nasional 51
Keragaan Produktivitas Kedelai Nasional 53
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Kedelai 54
Keragaan Harga Kedelai Impor 54
Keragaan Kuantitas Impor Kedelai 55
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Kedelai Nasional 56
Keragaan Konsumi Kedelai Nasional 56
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Kedelai Nasional 57
Keragaan Harga Kedelai Nasional 57
Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional 61
Simulasi Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Kedelai Nasional 64
Simulasi Kebijakan Pertama 65
Simulasi Kebijakan Kedua 66
Simulasi Kebijakan Ketiga 67
7 SIMPULAN DAN SARAN 70
Simpulan 70
Saran 70
DAFTAR PUSTAKA 71
LAMPIRAN 80
RIWAYAT HIDUP 112
xi
DAFTAR TABEL

1.1 Perkembangan Area Tanam, Produksi, dan Produktivitas Kedelai

Dunia Tahun 2000 2010 2


1.2 Perkembangan Area Tanam, Produksi, dan Produktivitas Kedelai
Indonesia Tahun 19612012 3
1.3 Ekspor dan Impor Kedelai Dunia Tahun 1961 2011 3
1.4 Kuantitas Ekspor dan Impor Kedelai Indonesia Tahun 1961 2012 4
2.1 Perbedaan Model Regresi Simultan dan Non Simultan 26
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Produksi dan Konsumsi Kedelai
Nasional 44
5.1 Hasil Estimasi Parameter LATKN 52
5.2 Hasil Estimasi Parameter PRKN 53
5.3 Hasil Estimasi Parameter HKI 54
5.4 Hasil Estimasi Parameter KIK 56
5.5 Hasil Estimasi Parameter KKN 57
5.6 Hasil Estimasi Parameter HKN 58
5.7 Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun
2010 2020 62
5.8 Ringkasan Analisis Simulasi Kebijakan Pertama 65
5.9 Ringkasan Analisis Simulasi Kebijakan Kedua 66
5.10 Ringkasan Analisis Simulasi Kebijakan Ketiga 67
DAFTAR GAMBAR

1.1 Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional 1961 2012 5

1.2 Harga Ekspor dan Harga Impor Kedelai Nasional 1961 2012 7
3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual 40
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Produksi dan Konsumsi Kedelai
Nasional 44
5.1 Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 2013
2020 63
DAFTAR LAMPIRAN

1 Negara-Negara Produsen Kedelai Dunia Tahun 1961 2010 80

2a Data Historis 80
2b Data Historis 81
2c Data Historis 83
3 Jenis Variabel Data dan Sumber Data 84
4 Perkembangan Neraca Historis Produksi dan Konsumsi Kedelai
Nasional 84
5a Perkembangan Pertumbuhan Data Historis 86
5b Perkembangan Pertumbuhan Data Historis 87
5c Perkembangan Pertumbuhan Data Historis 88
xii

DAFTAR LAMPIRAN (lanjutan)

6a Ringkasan Penilaian Hasil Respesifikasi Model 89


6b Rekapitulasi Perangkingan Hasil Respesifikasi Model 102
7 Nilai U-Theil 102
8a Hasil Output SAS Model Simultan Terpilih 103
8b Hasil Output SAS, Peramalan 106
9 Hasil Output SAS, Simulasi Kebijakan 106
1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan dan merupakan


sumber utama protein dan minyak nabati utama dunia. Kedelai merupakan
tanaman pangan utama strategis terpenting setelah padi dan jagung. Kedelai juga
berguna untuk usaha peternakan yaitu untuk pakan ternak dan pupuk hijau dari
daun dan batangnya. Selain itu, kedelai dapat dimanfaatkan menjadi bahan
industri makanan, seperti tahu, tempe, susu, vetsin, kue, dan sebagainya,
sedangkan untuk industri non makanan seperti kertas, tinta cetak, cat air, dan
sebagainya. Kedelai dapat dimanfaatkan sebagai bahan Gliserida, seperti minyak
goreng, tinta, pernis, margarin, dan sebagainya. Kedelai dapat digunakan untuk
bahan Lecithin, seperti margarin, isolat protein, puff kedelai, insektisida, plastik,
industri farmasi, dan sebagainya (CGPRT Center 1986), sehingga ketersediaan
kedelai sebagai bahan pangan maupun non pangan sangat penting.
Begitu besarnya kontribusi kedelai dalam hal penyediaan bahan pangan
bergizi bagi manusia sehingga kedelai biasa dijuluki sebagai Gold from the Soil,
atau sebagai World's Miracle mengingat kualitas asam amino proteinnya yang
tinggi, seimbang dan lengkap. Konsumsi kedelai oleh masyarakat Indonesia
dipastikan akan terus meningkat setiap tahunnya mengingat beberapa
pertimbangan seperti bertambahnya populasi penduduk, peningkatan pendapatan
per kapita, kesadaran masyarakat akan gizi makanan. Dibandingkan protein
hewani, protein asal kedelai murah dan terjangkau oleh kebanyakan masyarakat.
Dengan demikian, tanaman kedelai memiliki manfaat ekonomis yang luas dan
1
strategis, sekaligus berkaitan erat dengan pengembangan industri hilir .
Peningkatan kebutuhan akan kedelai dapat dikaitkan dengan meningkatnya
konsumsi masyarakat terhadap produk tahu dan tempe, serta untuk pasokan
industri kecap (Mursidah 2005), serta berkembangnya olahan kedelai dan industri
pakan ternak (Siregar 2003).
Produsen terbesar di dunia adalah Amerika, hingga tahun 2012 produksi
kedelai USA telah mencapai 82 juta ton, dengan pertumbuhan produksi dan
produktivitas rata-rata selama periode 1961 2012 masing-masing sebesar 54 juta
ton dan 2.2 ton per tahun (FAO 2012). Tujuh negara produsen kedelai terbesar di
dunia dapat menghasilkan rata-rata produksi mencapai 1.4 jutaan ton hingga 53
jutaan ton per tahun, seperti negara Canada, China, Argentina, USA, Brazil, India,
Paraguay, dengan pertumbuhan produksi rata-rata sekitar 2 45 persen per tahun
(Lampiran 1). Pentingnya komoditas kedelai di dunia ditunjukkan oleh area
tanam, produksi dan produktivitas yang cenderung meningkat (Tabel 1.1).

1
) Agribisnis. 2001. Produksi Kedelai Nasional Belum Mencukupi. Jumat, 24 Agustus 2001; 18:21WIB.
Jakarta. www. agribisnis.tripod.com
2

Tabel 1.1 Perkembangan Area Tanam, Produksi, dan Produktivitas Kedelai


Dunia Tahun 2002 2012
Tahun Area Produksi Produktivitas
(Juta Ha) (Juta Ton) (Ton/Ha)
2002 79.0 181.7 2.3
2004 91.6 205.5 2.2
2006 95.3 221.9 2.3
2008 96.4 231.2 2.4
2010 102.4 261.6 2.5
2012 104.9 241.8 2.3
Pertumbuhan rata-rata per tahun 56.9 114.1 1.8
Sumber: FAO (2013), diolah

Tabel 1.2 menunjukkan bahwa rata-rata area tanam, produksi dan


produktivitas kedelai dunia masing-masing sebesar 56.9 juta ha, 114.1 juta ton,
dan 1.8 ton per ha per tahun, sedangkan Indonesia hanya memiliki luas area rata-
rata sebesar 0.83 juta ha, produksi rata-rata sebesar 0.85 juta ton dan produktivitas
rata-rata sebesar 1.001 ton per ha per tahun. Pertumbuhan area, produksi dan
produktivitas kedelai Indonesia yang cenderung kecil menunjukkan bahwa
kontribusi Indonesia dalam memenuhi kedelai dunia hanya sebesar 1.5 persen, 0.7
persen dan 5.4 persen terhadap luas area, produksi dan produktivitas kedelai
dunia.
Sampai saat ini, produktivitas kedelai di tingkat petani masih rendah, rata-
rata 1.3 ton/ha dengan kisaran 0.6-2.0 ton/ha, sedangkan potensi hasilnya bisa
mencapai 3.0 ton/ha. Senjang produktivitas yang sangat besar tersebut
memberikan peluang bahwa peningkatan produksi melalui peningkatan
produktivitas di tingkat petani masih bisa dilakukan. Hal tersebut telah dibuktikan
oleh Kementerian Pertanian, dimana dari laporan Balai Penelitian Tanaman
Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian (2012) bahwa selama kurun waktu 93 tahun
(19182012), pemerintah Indonesia telah melepas 73 varietas kedelai. Upaya
untuk meningkatkan produksi dan produktivitas kedelai salah satunya dengan
perluasan wilayah tanam. Namun, upaya peningkatan produktivitas kedelai tidak
hanya perluasan wilayah tanam, tetapi juga penggunaan varietas unggul. Varietas
unggul sangat menentukan tingkat produktivitas tanaman dan merupakan
komponen teknologi yang relatif mudah diadopsi petani (Zanetta, Waluyo dan
Karuniawan 2013).
Permasalahan yang menyebabkan terjadi kesenjangan antara produksi dan
konsumsi kedelai nasional yang dirangkum dari Kementerian Pertanian (2010)
dan Suyamto dan Nyoman (2010) yaitu: (1) Masih rendahnya tingkat
produktivitas dan keuntungan usahatani kedelai dibanding komoditas lain seperti
padi dan jagung, sehingga petani kurang berminat menanam kedelai dan
berpindah ke usahatani tanaman lain yang lebih menguntungkan. Sebagai
akibatnya luas areal pangan kedelai makin menurun tajam dan produksi kedelai
nasional makin menurun. (2) Belum berkembangnya industri perbenihan kedelai.
(3) Rentan terhadap serangan hama dan penyakit sehingga stabilitas hasih rendah.
(4) Persaingan penggunaan lahan dengan komoditas lain. (5) Swasta kurang
3

berminat mengembangkan kedelai karena resiko kegagalan yang tinggi dan


kurang menguntungi. (6) Petani belum mengusahakan kedelai secara intensif
dengan cara-cara budidaya yang maju. (7) Tata niaga kedelai belum kondusif,
impor kedelai lebih mudah dan lebih murah, sehingga petani yang rata-rata petani
kecil kurang dapat bersaing.

Tabel 1.2 Perkembangan Area Tanam, Produksi, dan Produktivitas Kedelai


Indonesia Tahun 19612012
Tahun Area Produksi Produktivitas
(juta ha) (juta ton) (ton/ha)
1961 0.62 0.43 0.07
1970 0.69 0.50 0.07
1980 0.73 0.65 0.09
1990 1.33 1.49 0.11
2000 0.82 1.02 0.11
2001 0.68 0.83 0.12
2005 0.62 0.81 0.13
2010 0.66 0.91 1.37
2012 0.57 0.85 1.50
Jumlah rata-rata per tahun Indonesia 0.83 0.85 1.001
Pertumbuhan rata-rata Indonesia per tahun (%) 0.81 2.39 1.64
Jumlah rata-rata dunia per tahun 1961 2012 56.9 114.1 1.85
Kontribusi Indonesia terhadap dunia (%) 1.5 0.7 5.4
Sumber: FAO (2013), diolah

Dinamika perdagangan kedelai dunia dapat mempertajam posisi Indonesia


dalam perdagangan internasional kedelai. Dengan mengetahui posisi kedelai
Indonesia di pasar internasional, pemerintah dapat mengantisipasi kebijakan apa
yang akan diambil untuk mendukung pembangunan ekonomi dan meningkatkan
kesejahteraan petani. Pilihan kebijakan mana yang diambil pemerintah tentu saja
dipengaruhi oleh keinginan politik penguasa (Oktaviani 2010). Tabel 1.3
memperlihatkan laju rata-rata penurunan ekspor dan impor kedelai dunia masing-
masing sudah mencapai 64.04 persen dan 63.93 persen, dengan perkembangan
ekspor dan impor masing-masing sebesar 32.73 juta ton dan 32.76 juta ton per
tahun.

Tabel 1.3 Ekspor dan Impor Kedelai Dunia Tahun 1961 2011
Tahun Ekspor (juta ton) Impor (juta ton)
1961 4.17 4.09
1970 12.63 12.29
1980 26.88 27.04
1990 25.88 26.33
2000 47.38 48.48
2003 65.03 65.80
4

Tabel 1.3 Ekspor dan Impor Kedelai Dunia Tahun 1961 2011 (lanjutan)
Tahun Ekspor (juta ton) Impor (juta ton)
2006 67.0 66.36
2009 81.54 79.94
2011 91.02 90.81
Jumlah rata-rata per tahun (juta ton) 32.73 32.76
Pertumbuhan rata-rata per tahun (%) -64.04 -63.93
Kontribusi Indonesia terhadap dunia (%) 0.007 1.93
Sumber: FAO (2013), diolah

Kontribusi Indonesia terhadap perdagangan kedelai dunia menunjukkan


bahwa Indonesia bukan sebagai negara produsen, tetapi Indonesia merupakan
negara importir kedelai, dimana kontribusi Indonesia terhadap impor kedelai
dunia sebesar 1.93 persen, sedangkan terhadap ekspor kedelai dunia hanya sebesar
0.007 persen. Seperti yang dijelaskan oleh Supadi (2009) bahwa semenjak Bulog
tidak lagi menjadi importir tunggal, mudahnya importir swasta mengimpor
kedelai, menyebabkan volume impor kedelai cenderung meningkat karena harga
kedelai di pasar internasional lebih murah. Hal tersebut ditunjukkan dalam Tabel
1.4 bahwa impor kedelai rata-rata mencapai 631 ribu ton, sedangkan ekspor rata-
rata hanya sebesar 2300 ton per tahun.

Tabel 1.4 Kuantitas Ekspor dan Impor Kedelai Indonesia Tahun 1961 2012
Tahun Ekspor (juta ton) Impor (juta ton)
1961 0.000410 0
1970 0.002690 0
1980 0.000311 0.10
1990 0 0.54
2000 0.000290 1.28
2005 0.000876 1.086180
2010 0.003850 1.740505
2012 0.000466 1.914561
Jumlah Rata-rata per tahun (ton) 0.002374 0.631821
Pertumbuhan rata-rata/tahun (%) 357.76 264.42
Sumber: FAO (2013), diolah

Dinamika perkedelaian nasional juga dipengaruhi harga kedelai,


rendahnya daya saing harga kedelai nasional terhadap harga kedelai internasional
disebabkan kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap petani kedelai di
Indonesia, seperti dijelaskan oleh Supadi (2009) bahwa di negara-negara maju
seperti USA, pemerintah selalu memberikan subsidi ekspor terhadap petani,
sehingga menjamin hasil panen petani yang selalu terserap oleh pasar
internasional dengan harga yang layak.
5

1.2 Perumusan Masalah

Kebutuhan kedelai di Indonesia akan terus meningkat, dari waktu ke


waktu, seiring pertumbuhan penduduk serta kesadaran masyarakat akan gizi
makanan yang bersumber dari protein nabati. Dalam kurun waktu 5 tahun (2010
2014), kebutuhan kedelai setiap tahunnya sekitar 2.3 jutaan ton, namun
kemampuan produksi kedelai nasional hanya berkisar 800 ribuan ton per tahun
(Dirjentanpan 2013 dan FAOSTAT 2012), sehingga untuk memenuhi kekurangan
kebutuhan tersebut harus dipenuhi dari impor. Seperti dikutip dari hasil penelitian
Kustiari et al (2009) bahwa laju produktivitas relatif stabil, namun laju
perkembangan luas area tanam relatif menurun, kondisi ini terjadi karena semakin
tebatasnya lahan pertanaman. Produksi kedelai dalam negeri makin tidak mampu
memenuhi kebutuhan dalam negeri selama hampir tiga dekade terakhir, sedangkan
kebutuhan kedelai untuk konsumsi diproyeksikan akan meningkat rata-rata 2.44
persen per tahun (Sudaryanto dan Swastika 2007). Permintaan kedelai per kapita
sejak tahun 1990 2010 diperkirakan tumbuh sebesar 2.92 persen per tahun
(Siregar 1999). Laju pertumbuhan rata-rata data historis menunjukkan bahwa
selama 52 tahun (1961 2012), konsumsi kedelai nasional meningkat sebesar 1.2
jutaan ton per tahun atau sekitar 5.4 persen per tahun (Lampiran 5b). Peningkatan
kebutuhan akan kedelai juga dapat dikaitkan dengan meningkatnya konsumsi
masyarakat terhadap produk tahu dan tempe, serta untuk pasokan industri kecap
(Mursidah 2005). Kesenjangan antara produksi dan konsumsi kedelai nasional
ditutup oleh kedelai impor, dimana menurut Amang dan Sawit (1996) impor
kedelai banyak menyita devisa negara.

Gambar 1.1 Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional 1961 2012 (sumber:
FAO 2013)

Kesenjangan antara produksi dan konsumsi kedelai nasional sudah dimulai


sejak tahun 1961 2012 (Gambar 1.1). Meningkatnya permintaan kedelai karena
6

berkembangnya industri pengolahan pangan yang menggunakan kedelai sebagai


bahan baku menyebabkan tingkat kebutuhan konsumsi kedelai meningkat
(Firdausy, Mulya dan Nurlia 2005). Saat ini kebutuhan kedelai dalam negeri sudah
mencapai 2.9 jutaan ton, dengan penggunaan konsumsi untuk makanan hampir 2.3
jutaan ton dan sisanya sekitar 600 ribuan ton digunakan untuk non makanan.
Produksi kedelai di dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 42 persen
konsumsi domestik (FAO 2012). Ketidakstabilan produksi kedelai di Indonesia
disebabkan oleh adanya penurunan luas panen kedelai yang mana produktivitas
kedelai relatif stabil (Malian, 2004). Kebutuhan kedelai dalam negeri sebesar 60
persen lebih dipenuhi dari kedelai impor (Departemen Pertanian 2008).
Lonjakan konsumsi kedelai disebabkan peningkatan konsumsi produk
industri rumahan (tahu dan tempe), semakin populer digunakan unuk substitusi
produk hewani pada beberapa kondisi. Kedelai bagi industri pengolahan pangan di
Indonesia tergolong skala kecilmenengah, namun dalam jumlah sangat banyak,
sehingga menyebabkan tingginya tingkat kebutuhan konsumsi kedelai.
Peningkatan konsumsi kedelai tidak diimbangi oleh gairah petani dalam budidaya
kedelai yang semakin menurun (Ariani 2003), menyebabkan areal tanam semakin
menurun dan produktivitas relatif stabil (Oktaviani 2010).
Soesastro dan Basri (1998) mengemukakan bahwa impor kedelai yang
semula merupakan monopoli pemerintah, dalam hal ini Bulog, sejak 1 Januari
1998 bebas diimpor dengan menggunakan lisensi impor. Tarif impor yang semula
20 persen turun menjadi 5 persen pada tahun 2003. Walaupun dalam kesepakatan
tersebut Indonesia masih diperkenankan untuk menetapkan tarif impor kedelai,
tetapi dalam kenyataan, kedelai dapat masuk dengan bebas. Pasar bebas yang
ditetapkan pemerintah sejak tahun 1999 menyebabkan impor kedelai terus
meningkat akibat dari turunnya bea masuk impor kedelai juga dikemukakan oleh
IPDN (2008). Penyebab lain meningkatnya impor adalah fasilitas GSM 102 yang
diberikan oleh Amerika Serikat yang memudahkan importir kedelai Indonesia
(Departemen Perindustrian dan Perdagangan 2002).
Impor kedelai yang semakin meningkat didukung oleh harga yang lebih
murah, sehingga berdampak pada kualitas kedelai itu sendiri. Seperti dikatakan
oleh Arifin (2012) bahwa kedelai impor yang berasal dari kedelai transgenik akan
berdampak buruk pada kesehatan manusia pada jangka panjang. Selain itu, impor
kedelai yang semakin meningkat juga akan menyebabkan devisa negara yang
menghilang semakin meningkat.
Ekspor kedelai tidak berhasil karena tidak adanya dukungan political
will dari pemerintah yang sangat besar, antara lain dalam bentuk subsidi agro
input (benih, pupuk dan obat-obatan), peralatan mekanisasi dan subsidi harga
dengan penetapan harga jual (support price). Ekspor kedelai juga dapat membuat
daya saing kedelai di pasar internasional menjadi lebih baik dari segi kualitas
maupun kontinyuitas, dan harga. Selain itu, adanya kebijakan penetapan tarif
impor yang menurun hingga 5 persen pada tahun 2004 juga membuat kondisi
pertanian kedelai semakin terpuruk (Departemen Pertanian 2002).
7

Gambar 1.2 Harga Ekspor (HKE) dan Harga Impor Kedelai (HKI) 1961 2012
(Sumber: FAO 2013)

Harga kedelai impor pada Gambar 1.2 secara keseluruhan mengalami


kenaikan dengan laju rata-rata 3 persen per tahun, sedangkan laju rata-rata harga
kedelai nasional mencapai 14 persen per tahun pada periode 1961 2012 (FAO
2012) . Dengan semakin meningkatnya harga kedelai impor, membuat posisi daya
saing harga kedelai lokal lebih baik.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka penelitian ini
menjawab pertanyaan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap produksi dan konsumsi
kedelai nasional?
2. Bagaimana pola kesenjangan yang terjadi antara produksi dan konsumsi
kedelai nasional di masa mendatang?
3. Bagaimana alternatif simulasi kebijakan untuk meningkatkan produksi
kedelai nasional?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:


1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi
kedelai di Indonesia.
2. Memproyeksikan tingkat produksi dan konsumsi kedelai Indonesia di masa
mendatang.
3. Merumuskan simulasi kebijakan alternatif untuk meningkatkan produksi
kedelai nasional.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini berguna untuk
beberapa pihak, antara lain:
1. Bagi peneliti, sebagai sarana dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan untuk
mengatasi masalah penelitian.
8

2. Bagi pemerintah (pengambil kebijakan), penelitian ini dapat menjadi salah


satu sumber informasi untuk acuan membuat aternatif-alternatif kebijakan
perkedelaian nasional.
3. Bagi pelaku akademisi, penelitian ini diharapkan dapat sebagai referensi
dalam melakukan analisis yang terkait dengan produksi dan konsumsi kedelai.

Batasan Penelitian

Batasan dan ruang lingkup penelitian ini adalah:


1. Penelitian difokuskan pada produksi dan konsumsi kedelai nasional dengan
faktor-faktor yang mempengaruhinya.
2. Penelitian menggunakan data sekunder, tidak dilakukan pengambilan data di
tingkat petani.
3. Penelitian memberikan gambaran simultan antara produksi dan konsumsi serta
faktor yang mempengaruhinya, melakukan proyeksi peramalan hingga
beberapa tahun ke depan, serta memberikan gambaran simulasi kebijakan
alternatif.

II TINJAUAN PUSTAKA
9

2.1 Ekonomi Kedelai

Indonesia hingga saat ini termasuk negara produsen kedelai keenam


terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, Brasil, Argentina, Cina, dan India.
Namun, produksi kedelai domestik belum mampu mencukupi kebutuhan dalam
negeri yang terus meningkat dari waktu ke waktu jauh melampaui peningkatan
produksi domestik. Untuk mencukupinya, pemerintah melakukan impor.
Diperkirakan kebutuhan kedelai Indonesia pada tahun 2010 mencapai 2.79 juta
ton (Nasution 1990). Untuk mengurangi ketergantungan pada kedelai impor yang
terus meningkat,diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan
produksi kedelai dalam negeri, baik melalui perluasan areal tanam, peningkatan
produktivitas maupun pemberian dukungan pemerintah melalui kebijakan yang
berpihak kepada petani, seperti pengaturan tata niaga kedelai, tarif bea masuk,
Dan penetapan harga dasar. Diharapkan berbagai kebijakan tersebut dapat
memotivasi petani untuk berpartisipasi dalam pengembangan ekonomi kedelai.
Kedelai dari sisi ekonomi dapat dikemukakan melalui naiknya nilai tukar
yang akan mempengaruhi jumlah kedelai yang diimpor yang selanjutnya akan
mempengaruhi penawaran dan stok kedelai di dalam negeri. Berdasarkan hasil
penelitian Kumenaung (1994), dengan naiknya nilai tukar 15 persen telah
menyebabkan turunnya jumlah impor sebesar 12.58 persen. Nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing turun, mengakibatkan kemampuan untuk membayar
kebutuhan kedelai melalui impor semakin kecil. Penurunan jumlah impor ini
menyebabkan terjadinya penurunan jumlah penawaran kedelai nasional. Jumlah
penawaran kedelai nasional menurun 2.63 persen karena impor kedelai
merupakan salah satu unsur yang menyusun jumlah penawaran kedelai. Kondisi
ini selanjutnya mempengaruhi industri tahu dalam negeri yang juga mengalami
penurunan produksi sebesar 1.33 persen. Jika harga impor naik, merangsang harga
kedelai domestik naik sehingga akan menguntungkan petani. Terjadi surplus,
begitupun dengan industri tahu dan tempe, ketika surplus, kebutuhan kedelai
dalam negeri akan terpenuhi oleh kedelai domestik, kemudian surplus di ekspor
untuk menambah devisa negara.
Ekonomi kedelai di Indonesia dapat dikemukakan melalui beberapa
implikasi kebijakan sebagai berikut: (1) penerapan kebijakan pemerintah untuk
meningkatkan ekstensifikasi dan intensifikasi pengusahaan komoditas kedelai
cukup tepat untuk meningkatkan permintaan akan kedelai lokal dan menurunkan
permintaan terhadap kedelai impor dari manca negara; (2) pengaruh yang cukup
besar dan berbeda-beda dari peubahan kebijakan perdagangan internasional dari
negara-negara pengekspor kedelai ke Indonesia dapat dimanfaatkan untuk
memperoleh volume impor kedelai yang dibutuhkan dengan meminimalkan
pengeluaran devisa; (3) pengaruh yang cukup besar dan berbeda-beda dari
perubahan biaya transportasi untuk setiap negara pengekspor kedelai ke
Indonesia, dapat dimanfaatkan untuk memperoleh kedelai impor dengan harga
lebih kompetitif, sehingga dapat menekan pengeluaran devisa Indonesia; (4)
pemerintah dapat memanfaatkan kondisi krisis moneter yang amsih berlangsung
di Indonesia untuk menurunkan permintaan impor kedelai, misalnya pelaksanaan
program yang dapat meningkatkan daya substitusi kedelai lokal, seperti
pengembangan benih kedelai yang disukai petani dan pengusaha tahu tempe, yang
10

dapat mensubstitusi kedelai impor, untuk mendukung efektivitas kebijakan


lainnya (Rachmawati 1999).
Kedelai saat ini merupakan salah satu komoditas pangan yang sangat
penting dalam kehidupan penduduk Indonesia, masalah yang dihadapi agribisnis
kedelai di Indonesia adalah pendapatan usahatani kedelai yang rendah. Akibatnya
kedelai nasional tidak berdaya saing dibandingkan dengan kedelai impor.
Usahatani kedelai telah mencapai efisiensi teknis, tetapi tidak efisien secara
ekonomis. Usahatani kedelai tanpa maupun dengan side product memiliki peluang
daya saing, sehingga diperlukan kebijakan harga (floorprice) diatas harga jual
petani (farm gate price) untuk meningkatkan efisiensi ekonomis komoditas
kedelai, serta apabila harga kedelai impor lebih rendah, maka diperlukan barier
dalam bentuk Rate Protection Tax dengan memperhitungkan Effective Rate of
Protection (ERP) .Untuk menambah tingkat daya saing perlu diperhitungkan side
product budidaya kedelai (Sutrisno, Titis dan Rini 2010).
Beberapa argumen tentang pentingnya pengembangan ekonomi kedelai
adalah: 1) pertambahan jumlah penduduk, 2) usahatani kedelai melibatkan lebih
dari dua juta rumah tangga petani, 3) peningkatan pendapatan masyarakat dan
kesadaran pentingnya mengonsumsi protein nabati, 4) perkembangan industri
makanan berbahan baku kedelai, seperti tahu, tempe, kecap, dan tauco, serta 5)
perkembangan industri pakan yang salah satu komponen utamanya adalah bungkil
kedelai. Kondisi tersebut menyebabkan permintaan terhadap kedelai terus
meningkat setiap tahun (Zakaria 2010c).
Ketahanan pangan merupakan konsep yang dinamis dalam arti dapat di
gunakan untuk mengkukur secara lagsung kualitas sumber daya dengan cara
mengatur kecukupan pangan dan gizinya karena sifat kedelai sangat ekonomis dan
dinamis. Dari sisi ekonomi, kedelai sebagai komoditas pangan yang strategis,
beresiko bila diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, pertimbangan
pokoknya adalah memegang peranan yang sangat kuat dalam menu pangan
penduduk. Kedelai berperan dari sisi sosial ekonomi, psikologis dan politis yang
cukup tinggi adanya gejolak seperti berkurangnya pasokan yang diikuti dengan
lonjakan harga akan membuat susah masyarakat, bukan hanya perajin tahu dan
tempe yang terancam bergulung tikar. Krisis kedelai seperti krisis komoditas
pangan lain sebenarnya akumulasi dari tidak adanya kesungguhan pemerintah
dalam membangun ketahanan pangan (Sri 2011).
Sintesis dari beberapa wacana mengenai ekonomi kedelai diatas dapat
disimpulkan bahwa dalam rangka membangun pertumbuhan ekonomi pertanian,
hal yang harus dicapai terlebih dahulu adalah memperkuat ketahanan pangan dari
ancaman globalisasi, dimana terdapat dua pilihan antara lain pencapaian
berswesembada artinya memenuhi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri
minimal tergantung pada perdagangan luar negeri, lalu yang kedua pencapaian
kemandirian dalam pangan yaitu berusaha menyediakan minimal pangan yaitu
berusaha menyediakan minimal pangan perkapita untuk melindungi dari
ketergantungan impor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan
akses terhadap pangan. Persoalan kedelai Indonesia di masa mendatang, harus
diarahkan ke swasembada, ketergantungan impor dapat mengganggu kestabilan
sosial, ekonomi, maupun politik. Untuk itu, ketika swasembada kedelai tercapai,
maka Indonesia akan memiliki peluang menjadi salah satu negara eksportir
terbesar di dunia. Hal ini tentunya berdampak pada nilai kepercayaan luar negeri
11

kepada komoditas pertanian Indonesia. Disaat produk pertanian Indonesia


memiliki daya saing yang baik di dunia internasional, maka hal ini dapat
membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan semakin membaik
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

2.2 Produksi Kedelai Nasional

Produksi kedelai dalam negeri secara tidak langsung di subsidi oleh


pemerintah melalui subsidi pupuk dan obat-obatan. Situasi ini menimbulkan
persoalan bagi kebijaksanaan nasional, karena biaya produksi kedelai di Indonesia
lebih tinggi daripada harganya di pasaran internasional. Hal ini berhubungan
dengan kelangsungan (viabilitas) ekonomi program subsidi pemerintah yang
ditujukan untuk meningkatkan produksi dalam negeri. Namun penting dilakukan
perlindungan terhadap produksi kedelai, karena banyak industri kecil pedesaan
kepada produksi kedelai setempat. Peningkatan produksi diperlukan agar biaya
ekonomi program pemerintah tidak menjadi beban yang terlalu berat bagi
ekonomi nasional (CGPRT Center 1986).
Suryana dan Sudaryanto (1997) menyatakan bahwa di masa yang akan
datang dinamika perubahan lingkungan strategis baik di tingkat nasional maupun
internasional akan mewarnai aspek produksi dan konsumsi pangan domestik.
Faktor-fakor yang menunjang meningkatnya produksi komoditas kedelai,
diantaranya adalah: (1). Dibangunnya prasarana irigasi; (2). Digunakannya
varietas unggul berproduksi tinggi dari lahan gangguan hama/penyakit; (3).
Penyuluhan tentang teknik budidaya kedelai yang baik; (4). Pemberian fasilitas
kredit berbunga rendah; (5). Pemberian subsidi pupuk; (6). Harga dasar yang
cukup relatif untuk kedelai; (7). Program intensifikasi seperti Bimas (Bimbingan
Massal), Inmas (Intensifikasi Massal), dan Insus (Intensifikasi Khusus), dan ada
program khusus untuk kedelai dan jagung yaitu Opsus (Operasi Khusus).
Program peningkatan produksi kedelai diarahkan untuk dapat memenuhi
kebutuhan kedelai nasional yang cenderung mengalami peningkatan sejalan
dengan peningkatan penduduk dan pendapatan masyarakat serta meningkatnya
pengetahuan masyarakat terhadap kandungan gizi beberapa produk makanan yang
berbahan baku kedelai. Diantara produk kedelai, konsumsi tahu dan tempe
meningkat lebih cepat dibandingkan dengan konsumsi biji kedelai dan keperluan
lainnya (Sahara dan Endang 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
kedelai adalah perkembangan luas areal tanam, jumlah benih yang tersedia,
produktivitas, kuantitas dan harga ekspor dan impor, serta harga jual di tingkat
petani. Konsep produksi menyatakan bahwa konsumen akan menyukai produk
yang tersedia di banyak tempat dan murah harganya (Ariani 2003).
Tuhana dan Novo (2004) mengemukakan beberapa faktor yang
menyebabkan produksi kedelai nasional rendah adalah cara bercocok tanam dan
pemeliharaan kurang intensif, mutu benih kurang baik dan daya tumbuh rendah,
varietas lokal yang digunakan tidak mempunyai daya produksi tinggi, suatu areal
yang sempit sering ditanami beberapa varietas kedelai yang berbeda, dan
pencegahan hama belum intensif. Untuk itu upaya yang perlu ditempuh untuk
meningkatan produksi kedelai nasional, antara lain: (1) Membantu pihak Usaha
Kecil (UK) dalam bidang agribisnis tanaman kedelai agar mereka mampu
12

memanfaatkan peluang dan sekaligus untuk memecahkan masalah yang dihadapi


yang dilaksanakan melalui pengembangan kebijakan di sektor pemerintah,
moneter dan sektor riil. (2) Mendorong usaha besar (UB) untuk turut aktif
meningkatkan produksi kedelai dalam bentuk kemitraan dengan UK dalam
Program Kemitraan Terpadu (PKT). (3) Mengarahkan pengembangan PKT
tanaman kedelai ke kawasan-kawasan yang masih potensial di luar Jawa,
khususnya daerah-daerah transmigrasi yang telah memiliki jaringan irigasi teknis,
atau daerah transmigrasi yang memiliki lahan usaha II tetapi belum dimanfaatkan
(lahan tidur) (Bank Indonesia 2004).
Prospek pasar kedelai baik di pasar domestik maupun pasar dunia sangat
cerah. Pasar kedelai domestik masih terbuka lebar, mengingat sampai saat ini
produksi kedelai Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhannya.
Meningkatnya konsumsi kedelai dunia terutama dari negara-negara Asia akibat
berkembang pesatnya industri pangan dan susu serta bahan bakar kedelai di
negara tersebut dan pasar kedelai dunia sangat terbuka lebar bagi para eksportir
baru). Tahun 1986, luas panen di luar Jawa mencapai 431.000 ha, atau meningkat
300 persen dari tahun 1982. Implikasinya adalah kedelai ditanam di lingkungan
yang lebih luas, sehingga kurang peka terhadap cuaca yang merugikan di
lingkungan tertentu. Kedelai sering ditanam di sawah pada bulan April setelah
panen padi, dan dipanen pada permulaan bulan Juli. Sekalipun luas panen
cenderung meningkat, namun besarannya beragam dari tahun ke tahun. Berbagai
faktor menyebabkan ketidakstabilan ini, khususnya cuaca dan hujan yang tidak
dapat diprakirakan, bencana alam seperti kemarau dan banjir, serta kepekaan
tanaman terhadap hama dan penyakit. Ketidak-pastian dalam penyediaan
masukan-masukan pokok seperti pupuk dan pestisida juga diduga turut
menentukan produksi kedelai (Departemen Pertanian 2005).
Secara teknis upaya peningkatan produksi dan produktivitas tanaman
kedelai sudah tentu harus mengubah pola tanam yang belum intensif menjadi pola
tanam intensif (Departemen Pertanian 2005). Hal tersebut dilaksanakan dengan
cara lebih memantapkan penataan yang meliputi perbaikan serta penyempurnaan
dalam penerapan teknologi pada setiap siklus produksi, yang dimulai dari: a.
Proses persiapan dan pembuatan serta penyediaan pembenihan kedelai yang
unggul. b. Persiapan lahan budidaya. c. Penerapan teknologi penanaman. d.
Pemeliharaan tanaman. e. Proses pemanenan. f. Proses penanganan hasil. g.
Distribusi dan pemasaran hasil.
Lonjakan importasi kedelai disebabkan peningkatan konsumsi produk
industri rumahan seperti tahu, tempe yang jenis makanan ini semakin banyak atau
populer digunakan sebagai pengganti daging. Untuk mencukupi kebutuhan dalam
negeri, dengan sasaran peningkatan produksi 15 persen per tahun, sasaran
produksi 60 persen dicapai pada tahun 2009. dan swasembada baru tercapai pada
tahun 2015. Untuk mendukung upaya khusus peningkatan produksi kedelai
tersebut diperlukan investasi sebesar Rp. 5.09 trilyun (2005-2009) dan 16.19
trilyun (2010-2025). Dalam periode yang sama, investasi swasta diperkirakan
masing-masing sebesar Rp. 0.68 trilyun dan Rp. 2.45 trilyun (Munandar et al
2008).
Produksi kedelai nasional dipengaruhi, kuantitas impor, depresiasi nilai
rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dollar AS, produktivitas dan nilai
tukar mata uang yang dapat menimbulkan penurunan kinerja ekonomi, depresiasi
13

nilai rupiah terhadap mata uang asing khususnya dollar AS menguntungkan


produk-produk Indonesia yang berbahan baku impor rendah untuk go
international. Khususnya dalam memanfaatkan peningkatan daya saing dalam
rangka melakukan substitusi impor, sehingga dapat meningkatan produksi dan
produktivitas kedelai nasional (Aji 2009).
Atman (2009) mengemukakan bahwa untuk menjamin keberhasilan
peningkatan produksi kedelai nasional ada lima strategi penting yang harus
dilaksanakan, yaitu: (1) Perbaikan harga jual; (2) Pemanfaatan potensi lahan; (3)
Intensifikasi pertanaman; (4) Perbaikan proses produksi; dan (5) Konsistensi
program dan kesungguhan aparat. Faktor dominan penyebab rendahnya
produktivitas tanaman pangan adalah (a) Penerapan teknologi budidaya di
lapangan yang masih rendah; (b)Tingkat kesuburan lahan yang terus menurun, (c)
Eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum optimal (Hutapea dan Ali
2010).
Produktivitas kedelai dipengaruhi oleh jenis tanah, kualitas benih, varietas.
Pengelolaan tanaman, takaran pupuk, pengendalian hama penyakit, waktu tanam
dan teknologi budidaya yang dianjurkan. Upaya peningkatan produksi kedelai
dalam negeri merupakan suatu keharusan, dan hal ini dapat dilaksanakan melalui
dua jalan yaitu: (1) program intensifikasi, untuk meningkatkan produktivitas lebih
dari 2 ton/ha, dan (2) ekstensifikasi, untuk meningkatkan perluasan areal menjadi
dua atau tiga kali lipat (Zakaria 2010a). Upaya peningkatan produksi kedelai di
tingkat usaha tani sulit diwujudkan karena beberapa alasan berikut: 1) varietas
kedelai di Indonesia mempunyai tingkat produktivitas yang relatif rendah, yaitu
1.50 2.50 ton/ha, 2) adopsi teknologi baru usaha tani kedelai oleh petani masih
rendah, dan 3) efisiensi usaha tani kedelai yang dipraktekkan petani masih rendah.
Kondisi tersebut menyebabkan pengembangan budi daya kedelai belum sesuai
dengan yang diharapkan sehingga tingkat produksi tidak dapat mengimbangi
kebutuhan kedelai nasional (Zakaria 2010b).
Kesimpulan review dari beberapa literatur mengenai produksi kedelai
nasional yang telah diuraikan sebelumnya adalah bahwa produksi kedelai nasional
dari tahun 1961 2010 mengalami kemunduran hingga 0.7 persen per tahun.
Sejak tahun 2000, impor kedelai semakin besar. Hal ini terjadi antara lain karena
meningkatnya kedelai impor hingga mencapai 1 persen per tahun, selain itu, kredit
pinjaman yang mudah diperoleh dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh importir
kedelai Indonesia, disisi lain produktivitas kedelai nasional yang rendah dan biaya
produksi semakin tinggi di dalam negeri, namun harga lebih rendah dibanding
total biaya produksi. Sementara itu, harga kedelai impor semakin rendah mencapai
Rp.6000,-/kg, sedangkan kedelai lokal sudah mencapai Rp. 8000,-/kg, sehingga
petani kedelai semakin terpuruk dan enggan untuk menanam kedelai. Dampaknya,
dari segi harga, kedelai lokal tidak bisa bersaing dengan kedelai Impor. Selain itu,
banyaknya program pemerintah mengenai teknologi budidaya pangan tidak
dilakukan dengan efektif dan efisien, sehingga kurang bermanfaat bagi petani
kedelai. Petani kedelai pun tidak mengerti dengan teknologi modern yang mana
pengenalannya masih belum maksimal oleh badan-badan penyuluhan maupun
litbang setempat. Selain itu tingkat kesuburan lahan pertanian produktif juga
semakin menurun, sehingga menyebabkan tingkat produktivitas kedelai rendah.
Hal ini dikarenakan pengembangan lahan pertanian pangan baru tidak seimbang
dengan konversi lahan pertanian produktif yang berubah menjadi fungsi lain
14

seperti permukiman dan pusat bisnis. Kurangnya inovasi terhadap pengolahan


agribisnis kedelai juga menjadi salah satu lemahnya daya saing kedelai lokal
terhadap kedelai impor.

2.2 Konsumsi Kedelai Nasional

Tingkat konsumsi suatu barang dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, harga


barang tersebut (relatif terhadap harga barang-barang lainnya), dan selera. Tingkat
partisipasi konsumsi kedelai meningkat dengan meningkatnya pendapatan. Hal ini
menunjukkan, pangsa kedelai yang dikonsumsi untuk pangan saat ini cukup besar,
begitupun dengan konsumsi kedelai yang lebih pesat bersumber dari industri tahu,
tempe, kecap dan susu (Suryana dan Sudaryanto 1997). Kedelai sebagai salah satu
komoditas substitusi beras dan jagung dapat dikonsumsi dalam berbagai bentuk
olahan. Sebagai pangan pokok, kedelai memperlihatkan sifat barang inferior, baik
di pedesaan maupun di perkotaan, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Namun
komoditas ini masih tetap merupakan penyumbang protein nabati terpenting bagi
penduduk pedesaan pada kelompok berpendapatan rendah (Kasryno et al 2001).
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, negara-negara berkembang secara
nyata telah mengubah pola konsumsi penduduknya dari pangan penghasil energi
ke produk penghasil protein. Oleh karena itu,kebutuhan akan protein nabati
maupun hewani terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk
dan peningkatan pendapatan (Silitonga, Santosa dan Indiarto 1996 dan Hutabarat
2003). Konsumsi kedelai yang tinggi menyebabkan Indonesia selalu mengalami
defisit kedelai nasional, hal ini ditunjukkan oleh net impor yang meningkat dari
sekitar 0.54 juta ton pada tahun 1990 menjadi sekitar 1.31 juta ton pada tahun
2004. Penurunan produksi kedelai jauh lebih tajam daripada penurunan total
konsumsi, maka untuk menutupi defisit diperkirakan impor akan terus meningkat.
Namun, Indonesia pernah berswasembada kedelai sebelum tahun 1976, dengan
indeks swasembada lebih besar dari satu (Swastika 1997 dan 2003).
Krisis ekonomi berdampak pada penurunan daya beli dan harga pangan
menjadi mahal. Penurunan tingkat partisipasi, tidak menyebabkan penurunan
jumlah kedelai yang dikonsumsi oleh penduduk. Saat krisis ekonomi, konsumsi
kedelai (termasuk tahu,tempe, kecap) meningkat sebesar 66.8 persen di kota dan
47.3 persen di desa pada tahun 1996. Artinya, terjadi subsitusi dari pangan sumber
protein yang harganya mahal seperti daging/telur/ikan beralih kepada pangan
nabati terutama tahu dan tempe sebagai lauk pauknya. Tingkat konsumsi tahu
tempe di kota pada periode 1996-1999 meningkat sebesar 46.6 persen (dari 30.4
kg menjadi 44.6 kg/kap/th), sedangkan di desa 63.5 persen, dari 19.0 kg menjadi
31.1 kg/kap/th (Ariani dkk 2003).
Ariani (2003) juga mengemukakan bahwa analisis konsumsi rumah tangga
dapat didekati dengan dua cara yaitu tingkat partisipasi konsumsi yang
mencerminkan proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi pangan tertentu dan
tingkat konsumsi pangan per kapita. Dalam penelitian ini analisis konsumsi
kedelai mencerminkan pendekatan konsumsi rumahtangga. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat konsumsi kedelai adalah tingkat pendapatan, jumlah
penduduk, harga pangan itu sendiri, harga pangan lain sebagai substitusinya
(dalam hal ini pangan umbi-umbian), gaya makan, budaya gengsi atau gaya hidup,
15

pendidikan atau pengetahuan, serta ketersediaan pangan. Disebutkan bahwa


dengan meningkatnya tingkat pendapatan masyarakat, maka tingkat konsumsi
kacang-kacangan juga semakin meningkat, dimana perubahan secara signifikan
terlihat pada konsumsi kedelai. Hal ini dikarenakan kedelai merupakan barang
normal.
Sebagai sumber protein nabati, kedelai umumnya dikonsumsi dalam bentuk
produk olahan, yaitu tahu, tempe, kecap, tauco, susu kedelai, dan berbagai bentuk
makanan ringan (snack). Data statistik FAO menunjukkan bahwa konsumsi per
kapita kedelai selama 1.5 dekade terakhir menurun dari sekitar 11.38 kg/kapita
pada tahun 1990 menjadi sekitar 8.97 kg/kapita pada tahun 2004, atau menurun
rata-rata 1.69 persen per tahun. Penurunan terjadi sejak tahun 1995. Selama
periode 1995 2000, konsumsi per kapita menurun dari 11.82 kg/kapita pada
tahun 1995 menjadi 10.92 kg/kapita pada tahun 2000, atau turun rata-rata 1.57
persen per tahun. Selanjutnya, penurunan paling tajam terjadi pada periode 2000
2004, yaitu rata-rata 4.81 persen per tahun (Swastika, Marwoto dan Swastika
2005).
Konsumen kedelai terbesar selama ini adalah untuk pangan dan industri
pakan. Semakin baiknya kehidupan ekonomi, maka konsumsi protein hewani akan
semakin meningkat. Hal ini berdampak langsung pada perkembangan industri
pengolahan agribisnis kedelai khususnya industri tahu dan tempe. (Syam et al
1996). Kedelai dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan protein murah bagi
masyarakat dalam upaya meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Sejalan dengan
pertambahan jumlah penduduk maka permintaan akan kedelai semakin
meningkat. (Munandar et al 2008).
Review konsumsi kedelai nasional yang telah diuraikan adalah bahwa
sejalan dengan proses pembangunan, tingkat pendapatan dan karakteristik
demografis penduduk Indonesia berubah, dimana perubahan tersebut jelas
membawa perubahan dalam pola konsumsi pangannya. Apalagi dengan azas
keterbukaan dan arus globalisasi, yang memungkinkan masyarakat dengan mudah
dapat mengakses budaya asing termasuk budaya makan. Karena pada dasarnya,
faktor yang mempengaruhi pola makan, tidak hanya pendapatan tetapi juga sosial
seperti gengsi, pendidikan/pengetahuan, ketersediaan pangan dan harga pangan.
Bahkan pada wilayah atau struktur masyarakat tertentu, gaya hidup berpengaruh
pada gaya makan dan budaya gengsi lebih menonjol dalam pemilihan menu
makanannya. Namun seiring dengan pesatnya informasi kesehatan melalui
berbagai media, sehingga masyarakat cenderung mengkonsumsi protein nabati
dibanding protein hewani yang memang harganya lebih mahal. Untuk itu, kedelai
menjadi pilihan utama sebagai substitusi protein hewani yang khususnya sebagai
bahan dasar tahu dan tempe. Di Indonesia, tahu dan tempe telah menjadi makanan
yang banyak dikonsumsi semua lapisan masyarakat, bahkan Warga Negara Asing
baik di Indonesia maupun di Negara-negara lainnya. Keadaan ini menunjukkan
bahwa dengan semakin sejahtera masyarakat, pangan umbi-umbian semakin
ditinggalkan masyarakat, dan sebaliknya untuk kacang-kacangan (termasuk
kedelai) semakin tinggi permintaannya.

2.3 Kebijakan Perdagangan Kedelai


16

Tujuan kebijakan perdagangan kedelai, seperti kebijakan tarif impor atau


hambatan -hambatan non-tarif misalnya bertujuan untuk melindungi komoditas
substitusi impor. Kebijakan pajak ekspor atau kebijakan pembatasan ekspor
terhadap barang ekspor bertujuan agar kebutuhan dalam negeri dapat tercukupi
atau mencegah kenaikan harga komoditas tersebut di dalam negeri. Kebijakan
perdagangan dalam negeri biasanya bertujuan untuk memperlancar atau
menghambat pemasaran komoditas antar daerah. Kebijakan harga terhadap
komoditas pertanian umumnya bertujuan sebagai berikut: (i) meningkatkan harga
domestik, pendapatan petani dan pemerataan pendapatan; (ii) menstabilkan harga
dan mencukupi kebutuhan bahan baku agroindustri; (iii) meningkatkan
swasembada sehingga mengurangi ketergantungan pada impor; (iv) menghemat
devisa dan memperbaiki neraca pembayaran; dan (v) menjaga kestabilan politik;
(vi) memperbaiki alokasi sumberdaya domestik sehingga dicapai pertumbuhan
ekonomi secara efisien (Tomeck dan Robinson 1972).
Timmer, Falcon dan Pearson (1983) mengatakan bahwa Kebijakan selalu
mengalami perkembangan dan telah berdampak terhadap keragaan ekonomi
berbagai komoditas pertanian. Untuk komoditas pangan seperti padi, jagung dan
kedelai, instrumen kebijakan pemerintah yang menonjol adalah kebijakan harga
dasar, stabilisasi harga dalam negeri dan perdagangan.
Kebijakan perdagangan kedelai pernah dilakukan pemerintah sejak tahun
1997 melalui Bulog dengan melakukan impor terbatas dengan menyesuaikan
volume impor dengan kebutuhan. Disamping itu, pemerintah di dalam negeri
melalui Bulog melakukan kebijakan perdagangan yang penyalurannya melalui
Kopti dan Non Kopti untuk menjaga stabilitas harga dengan tetap memperhatikan
tingkat harga dasar agar petani tetap meningkatkan produksinya. Kebijakan
lainnya adalah kebijakan pemerintah melalui Bulog terhadap industri olahan
kedelai adalah penetapan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10 persen dari harga
satuan. Pajak ini digeser dari produsen ke konsumen untuk menaikkan harga jual
(Amang dan Sawit 1996). Kenaikan harga jual produk olahan kedelai akan
mempengaruhi konsumsi, dan tentunya akan mempengaruhi permintaan kedelai
nasional.
Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan, pemerintah sering
melakukan intervensi dalam bentuk kebijakan produksi, pemasaran dan
perdagangan komoditas pertanian. Meskipun istilah perdagangan (trade) lebih
sering diartikan sebagi perdagangan antar negara, namun kebijakan perdagangan
(trade policy) tidak terlepas dari kebijakan produksi dan pemasaran dalam negeri.
Di samping itu, kebijakan perdagangan juga berkaitan erat dengan kebijakan
harga karena kebijakan perdagangan biasanya memberikan dukungan kepada
kebijakan harga (Siregar 2000).
Kebijakan perkedelaian nasional dapat dilakukan dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Seperti halnya diungkapkan oleh Karo Karo (2011)
bahwa kebijakan jangka pendek dapat dilakukan melalui kebijakan bagi
perusahaan pemegang izin impor untuk mengeluarkan pasokan atau stoknya ke
pasar, agar harganya tidak terlalu tinggi. Untuk meningkatkan supply, dalam
jangka pendek, pemerintah harus meningkatkan impor, namun hal ini sulit
dilakukan karena pemerintah tidak memiliki dana yang cukup dan dibutuhkan
waktu sekitar 5 7 bulan untuk melakukan kebijakan impor dan sampai barang
tiba di dalam negeri. Selanjutnya, pemerintah dapat menurunkan tarif impor
17

sebesar 10 persen menjadi nol persen, sehingga kedelai impor bisa masuk dengan
harga yang lebih murah. Namun pada kenyataannya, harga kedelai impor tetap
mahal. Dampak penurunan tarif impor ini hanya menurunkan harga kedelai
domestik dari harga Rp. 7.500,- menjadi Rp. 6.750,- per kg pada tahun 2011.
Terakhir adalah pemerintah harus menghimbau pada pengrajin tahu dan tempe
agar melakukan diversifikasi dalam penggunaan bahan baku tempe, seperti
penggunaan singkong, kacang tanah dan kacang hijau.
Kebijakan jangka panjang terkait dengan aspek teknis, seperti dukungan
pemerintah terhadap penggunaan bibit unggul, penggunaan teknologi yang efektif
dan efisien, memperluas area tanam kedelai (Karo Karo 2011). Hal ini tentunya
tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah, sehingga secara bersama-sama
seluruh pihak yang berkepentingan dalam kepemerintahan dan masyarakat
tentunya harus saling mendukung dan terus meningkatkan kinerja usahataninya
dengan lebih efisien dan efektif. Kebijakan lainnya adalah dengan himbauan
pemerintah kepada masyarakat Indonesia untuk melakukan diversifikasi pangan,
misalnya dengan mengkonsumsi makanan tradisional khas Indonesia, tidak hanya
mengkonsumsi makanan yang asalnya dari luar negeri. Dengan demikian, dalam
jangka panjang bahan makanan yang berasal dari luar negeri akan semakin
menurun ketika permintaannya di dalam negeri juga menurun.
Umumnya negara sedang berkembang lebih memilih kebijakan ekonomi
terbuka, yaitu melakukan hubungan ekonomi dengan luar negeri. Kebijakan ini
akan membuka akses pasar ekspor bagi produk-produk mereka, sekaligus
membuka sumber pengadaan barang modal dan bahan baku industri dari negara-
negara lain. Secara teoretis, jika pengelolaan baik dan transparan, kebijakan
ekonomi terbuka dapat mempercepat pembangunan ekonomi. Kebijakan
perdagangan internasional terdiri atas kebijakan harga dan perdagangan (Irsyad
2011). Tujuan utama kebijakan perdagangan tersebut adalah untuk menjaga
kestabilan harga kedelai di dalam negeri pada tingkat yang cukup memberi
insentif kepada petani untuk meningkatkan produksi dan sekaligus member
insentif kepada pengrajin tahu tempe. Efisiensi pemasaran hanya dapat
ditingkatkan kalau pemerintah dapat memperbaiki infrastuktur transportasi,
mengembangkan sistem informasi harga, dan memperluas jangkauan terhadap
kredit bagi mereka yang sedang atau ingin masuk ke dalam bisnis pemasaran
kedelai.
Kebijakan harga dasar dimulai sejak tahun 1979 1991 dan setiap tahun
diterapkan melalui Inpres pada tanggal 1 Nopember kecuali untuk tahun 1991
yang ditetapkan sebulan lebih awal. Berdasarkan laporan perkembangan harga
FAO, harga dasar kedelai pada tahun mencapai Rp. 6.500,-/kg pada tahun 2011
sudah mencapai Rp. 7.000,- /kg, dari gambaran peningkatan harga dasar kedelai
ini memperlihatkan pemerintah mulai berpihak kepada petani kedelai. Walaupun
perubahan harga dasar tersebut menggambarkan perubahan perhatian pemerintah
terhadap kedelai dan padi dari tahun ke tahun. Dari segi nisbah harga dasar
kedelai terhadap harga kedelai di tingkat petani terlihat bahwa kebijakan harga
dasar kedelai tidak banyak berpengaruh positif terhadap petani kedelai (Siregar
2000).
Hasil penelitian oleh Zakiah (2011) menunjukkan bahwa harga kedelai
nasional secara nyata dipengaruhi oleh harga kedelai impor dengan korelasi
positif. Artinya, ketika harga impor meningkat, maka harga kedelai nasional juga
18

akan meningkat. Sedangkan variabel jumlah produksi kedelai dan jumlah kedelai
impor berkorelasi negatif. Ini menunjukkan harga kedelai di tingkat petani akan
menurun jika jumlah kedelai impor meningkat. Karena itu perlu adanya upaya
untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri tanpa harus mengimpor kedelai
dari luar negeri. Impor akan menurunkan harga kedelai di tingkat petani, dan ini
menyebabkan gairah petani untuk menanam kedelai menurun disebabkan petani
tidak mendapatkan keuntungan dari usahataninya.
Untuk menstabilkan harga kedelai di dalam negeri, pada awal tahun 1980
BULOG melaksanakan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran kedelai.
Tujuannya untuk menjamin ketersediaan kedelai bagi pengrajin tahu/tempe
terutama bagi anggota KOPTI. Pengadaan dalam negeri hanya berlangsung selam
3 tahun (1979-1983) dan jumlahnya sangat kecil atau kurang dari 1 persen dari
produksi dalam negeri. Sebaliknya pengadaan melalui impor berlangsung tiap
tahun dengan jumlah yang cukup besar. Sementara itu stok kedelai meningkat
terus dari tahun ketahun. Sebenarnya KOPTI diwajibkan untuk membeli kedelai
lokal sekitar 20 persen dari kedelai yang didistribusikan oleh BULOG (Irawan dan
Purwoto 1989), tapi pada kenyataannya hal itu tidak berjalan dengan baik, karena
harga kedelai impor lebih murah dari kedelai lokal.
Erwidodo dan Hadi (1999) menganalisis dampak penghapusan tarif impor
kedelai 5 persen pada tahun 1995 (Pakmei) dengan konsep consumer surplus dan
producer surplus. Fungsi permintaan dispesifikasikan sebagai fungsi dari harga
kedelai tingkat pedagang besar, sementara fungsi penyediaan dispesifikasikan
sebagai fungsi dari harga tingkat produsen, sehingga penghapusan tarif tersebut
akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dinikmati oleh konsumen.
Kebijakan perdagangan internasional lainnya adalah pengenaan tarif ad-
valorem untuk impor kedelai. Tarif tersebut dimulai sejak 1974 sebesar 30 persen
yang dipertahankan sampai tahun 1980. Sejak tahun 1981 1993 tarif impor
kedelai diturunkan menjadi 10 persen dan kemudian menjadi 5 persen pada tahun
1994 1996. Pada tahun 1997 tarif tersebut diturunkan lagi menjadi 2.5 persen
dan akhirnya tarif impor kedelai ditiadakan mulai tahun 1998 2012 (Siregar
2000 dan Dirjen Pajak 2012).
Review kebijakan perkedelaian nasional yang telah diuraikan secara
mendasar memuat misi bahwa disatu sisi sektor pertanian harus mampu
menyediakan kebutuhan konsumsi langsungbagi masyarakat dengan cukup, baik
jumlah maupun kualitasnya. Di sisi lain, sektor pertanian harus dapat menjadi
pendorong berkembangnya berbagai kegiatan, baik pada sektor hulu maupun hilir,
pada setiap pembangunan wilayah pertanian. Dalam operasionalnya, kebijakan
kedelai yang mendukung program pembangunan pertanian diantaranya adalah
kebijakan ekonomi terbuka atau perdagangan internasional, yang mencakup
kebijakan harga dan perdagangan, dalam hal ini yaitu kebijakan tarif impor dan
quota impor. Dengan adanya intervensi pemerintah melalui kebijakan
perkedelaian ini, maka produksi kedelai nasional akan dapat memenuhi kebutuhan
kedelai dalam negeri, sehingga tidak diperlukan impor kedelai, maka
pembangunan pertanian untuk mencapai swasembada kedelai nasional tercapai.

2.4 Model Ekonomi Kedelai


19

Model ekonomi kedelai berdasarkan beberapa literatur oleh Sari (2005),


Adetama (2011), Handayani et al (2011) secara mendasar adalah model
permintaan dan penawaran kedelai. Dimana model permintaan pada dasarnya
dipengaruhi oleh harga kedelai dalam negeri, pendapatan per kapita dan jumlah
penduduk. Sementara model penawaran kedelai idealnya sama dengan permintaan
dalam negeri. Hal ini bertujuan untuk mencapai kemandirian pangan, dalam hal
ini untuk mengurangi bahkan menghilangkan impor kedelai. Sehingga program
pembangunan pertanian melalui yaitu berupa ketahanan pangan melalui program
swasembada pangan tercapai. Namun pada kenyataannya, harga kedelai dalam
negeri dipengaruhi oleh harga kedelai impor. Kedelai impor juga dipengaruhi oleh
produksi kedelai dalam negeri, bea masuk impor (tarif impor) kedelai, serta
permintaan kedelai impor di dalam negeri. Terlihat hubungan simultan, dimana
model permintaan yang awalnya dipengaruhi oleh harga kedelai nasional,
pendapatan per kapita dan jumlah penduduk, namun juga mempengaruhi kuantitas
kedelai impor.
Model ekonomi kedelai yang biasa dilakukan dalam beberapa penelitian
tersebut, bertujuan melihat bagaimana perkembangan permintaan dan penawaran
kedelai nasional saat ini dan ke depannya, yang mana dipengaruhi oleh variabel-
variabel mikro ekonomi maupun makro ekonomi. Pada akhirnya tujuan analisis
ini untuk melihat apakah antara penawaran dan permintaan yang melalui
pendekatan produksi dan konsumsi kedelai nasional seimbang atau bahkan
surplus di masa mendatang, dengan menganalisis simulasi kebijakan untuk
mengetahui apakah swasembada kedelai di masa mendatang dapat tercapai yang
dibantu dengan simulasi kebijakan.

2.5 Review Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu dibahas menjadi dua bagian, penelitian kedelai di


Indonesia dan di negara lain, secara rinci sebagai berikut:

2.5.1 Penelitian Kedelai di Negara Lain


Kebijakan kedelai di USA yaitu dapat melakukan intervensi terhadap
penetapan harga kedelai di tingkat petani. Besarnya subsidi pemerintah yang
diberikan kepada petani, membuat pemerintah USA menetapkan harga kedelai
ekspor rendah, agar ekspor semakin meningkat, namun hal ini membuat
pendapatan petani kedelai semakin rendah. Untuk meningkatkan pendapatan
petani sebesar 9 persen, maka pemerintah harus menurunkan harga kedelai ekspor
sebesar 7.8 persen pada tahun 1980 1987 dan 5.9 persen per tahun pada periode
1987 1991. Disimpulkan bahwa ketika petani kedelai tidak menerima subsidi
dari pemerintah, maka pemerintah tidak memiliki hak intervensi terhadap
penetapan harga kedelai di tingkat petani, sehingga petani dapat menentukan
harga berdasarkan biaya produksi total (Chen 1998). Analisis perdagangan saham,
ekspor dan perdagangan kedelai dengan pendekatan sistem simultan oleh Reddy
(2008) menunjukkan bahwa di India tingkat produksi mengalami peningkatan
rata-rata sebesar 20 persen per tahun dan ekspor kedelai meningkat rata-rata
sebesar 14.7 persen per tahun. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara
20

parameter kedelai dengan harga minyak kedelai di pasar domestik. Hal ini
dikarenakan harga minyak kedelai lokal bergantung pada harga minyak kedelai
internasional. Harga komoditi kedelai di India sangat berfluktuasi, karena sebgian
besar dipengaruhi oleh harga dan pasokan minyak kedelai Brazil dan Argentina
yang berlaku di pasar internasional. Sedangkan pengaruh dari harga sawit
Malaysia dan Indonesia dipengaruhi oleh intervensi pemerintah berupa tarif
impor.
Formasi harga di pasar minyak kedelai dunia, dalam sebuah analisis
ekonometrik oleh Sekhar (2008) menganalisis mekanisme pembentukan harga di
pasar minyak kedelai dunia untuk melihat tingkat kompetitifnya. Dengan
menggunakan model persamaan simultan struktural disimpulkan bahwa faktor
penentu utama harga minyak kedelai dunia sebagai substitusi minyak kelapa sawit
dunia dengan simulasi proyeksi permintaan minyak kedelai dunia hingga tahun
2015 adalah terdapat kesenjangan antara pasokan dan permintaan minyak dunia,
karena produksi menurun sedangkan permintaan meningkat di negara-negara
pengekspor minyak sawit dunia. Simulasi ini juga mengkombinasikan penurunan
harga minyak sawit dunia, dan hasilnya ketika harga minyak sawit dunia menurun
menyebabkan kuantitas dan harga ekspor kedelai dunia juga menurun.
Menurunnya harga minyak sawit dunia menyebabkan kuantitas impor minyak
sawit ke India juga semakin menurun, implikasinya adalah kehidupan petani
kedelai di daerah kering ini semakin sejahtera, karena penggunaan minyak kedelai
akan semakin meningkat.
Cooke and Robles (2009) menginterpretasikan bahwa sebelum dan
sesudah krisis pangan, aktivitas yang banyak spekulasi nya pada saat krisis sedang
berlangsung tidak mempengaruhi pembentukan harga kedelai di Mexico. Namun
bukan berarti sebelum dan sesudah krisis spekulasi harga tidak terjadi. Namun
tidak menyebabkan pergeseran harga kedelai. Dari analisis deret waktu dapat
disimpulkan bahwa kegiatan di pasar berjangka yang sifatnya spekulasi
mempengaruhi perilaku harga komoditas kedelai dalam beberapa tahun ini. Pada
kenyataannya, harga kedelai mulai pertengahan 2005 hingga Desember 2007
menunjukkan peningkatan kedelai ekspor dunia yang disebabkan meningkatnya
harga kedelai dunia. Hal ini juga dipengaruhi oleh kegiatan di pasar saham untuk
komoditi pertanian walaupun sifatnya spekulasi.
Sebuah analisis ekonometrik hubungan antara ethanol, jagung dan kedelai
serta harga minyak dunia di USA oleh Savernini (2009) menyimpulkan bahwa
harga jagung dan produksi ethanol di USA memiliki hubungan yang negatif.
Karena sebagian besar produksi ethanol di USA berbahan baku jagung, sehingga
ketika harga jagung dunia meningkat, maka produksi ethanol menurun. Harga
minyak dunia memiliki hubungan negatif dengan harga jagung dan kedelai.
Dimana harga minyak yang lebih tinggi menyebabkan permintaan bensin
menurun, sehingga permintaan ethanol berkurang. Akibatnya produksi jagung
menurun, maka harga jagung juga akan menurun. Implikasinya adalah produksi
kedelai meningkat dan harga kedelai akan menurun. Berdasarkan hasil estimasi,
karena shock harga minyak dunia baik menurun atau meningkat akan berpengaruh
kepada minyak jagung dan minyak kedelai di USA.
Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Argentina dalam meningkatkan
produksi kedelai adalah dengan cara adopsi teknologi melalui pakan ternak.
Meningkatnya penggunaan pakan ternak yang berbahan dasar
21

kedelai digunakan untuk sapi perah. Produksi sapi perah ditingkatkan, sehingga
kebutuhan akan pakan ternak yang berbahan dasar kedelai meningkat, maka
permintaan akan kedelai semakin meningkat, pada akhirnya produksi kedelai
semakin meningkat. Kebijakan ini telah dilakukan sejak tahun 2000, dan terus
mengalami kinerja yang semakin baik (Lence 2010).
Harga kedelai telah naik tajam sejak pertengahan Desember 2011 ketika
pasar berjangka menetapkan perdagangan kedelai rendah tepat di bawah 11 US $
per gantang. Harga kedelai dunia diakhir Desember 2011 terkait dengan beberapa
permintaan kedelai yang meningkat dari Cina. Keuntungan juga didorong oleh
berita bahwa, cuaca panas dan kering di Argentina menyebabkan kerusakan pada
tanaman jagung dan kedelai. Harga kemudian kembali meningkat tajam karena
cuaca panas dan kering yang berkelanjutan di Argentina dan Brazil Selatan yang
tampaknya menyebabkan kerugian yang signifikan, karena produktivitas kedelai
tidak potensial. Kemungkinan terjadi risiko di USA yang mana ketika harga
kedelai dunia meningkat, maka dampaknya permintaan kedelai dari Brazil dan
Argentina pun semakin berkurang, sehingga ekspor dari USA ke kedua negara
tersebut semakin menurun (Agroclipping 2012)2.

2.5.2 Penelitian Kedelai di Indonesia


Analisis dampak kebijakan ekonomi terhadap industri komoditi kedelai di
Indonesia oleh Kumenaung (1994) bertujuan membentuk model permintaan dan
penawaran komoditi kedelai Indonesia, dapat melihat perubahan kesejahteraan
para pelaku ekonomi karena adanya kebijakan ekonomi. Kebijakan ekonomi
melalui kebijakan peningkatan harga dasar petani, peningkatan tarif impor terkait
quota impor dan peningkatan harga impor kedelai. Menggunakan model
persamaan simultan 3SLS disimpulkan bahwa produksi kedelai Indonesia belum
dapat memenuhi kebutuhan kedelai yang terus meningkat, dimana kebutuhan
kedelai dalam negeri 35 persen masih berasal dari impor, nilai tukar dan
pendapatan per kapita, serta jumlah penduduk. Kebijakan tarif impor dan quota
impor mempengaruhi perdagangan luar negeri, namun permintaan kedelai di
dalam negeri tidak terpengaruh. Luas areal tanaman kedelai dipengaruhi oleh
harga kedelai, harga jagung, tingkat suku bunga, tingkat upah pada usahatani
kedelai dan harga faktor produksi kedelai, luas lahan dan mempengaruhi jumlah
produksi kedelai.
Ketika harga kedelai domestik meningkat, maka jumlah permintaan
kedelai dalam negeri akan menurun terhadap kedelai lokal, dan akan membuat
permintaan terhadap kedelai impor meningkat dengan catatan harga kedelai impor
lebih murah. Penyelesaian simultan persamaan -persamaan regresi rekursif
dibakukan oleh Budiwinarto (1999) menggunakan analisis lintas dengan sistem
rekursif atau one way causal, yang merupakan analisis regresi linier dengan
peubah-peubah baku, dengan konteks persamaan simultan yang digunakan adalah
2SLS dan 3SLS.
2) 2012. Soybean Supplies Could Get Tight [Article].
Agroclipping.
http://www.agroclipping.com.ar/2012/03/28/Soybean-supplies-could-get-tight/
Secara ringkas hasilnya adalah bahwa peubah pendapatan rumahtangga
memberikan pengaruh yang besar baik pengaruh langsung terhadap total
pengeluaran maupun pengaruh tak langsung terhadap peubah endogen lainnya,
22

yaitu pengeluaran pangan dan non pangan, nilai konsumsi pangan, dan saldo.
Sedangkan rantai hubungan yang paling lemah adalah rantai hubungan peubah
banyaknya anggota rumahtangga yang mempengaruhi secara tak langsung
terhadap peubah endogen yaitu pengeluaran pangan dan non pangan, nilai
konsumsi pangan dan saldo.
Pendekatan sistem persamaan simultan yang dilakukan dalam penelitian
dampak kebijakan produksi dan perdagangan terhadap permintaan dan penawaran
kedelai di Indonesia oleh Hadipurnomo (2000) menggunakan model
overidentified dengan model pendugaan yaitu 2SLS. Secara ringkas hasilnya
adalah bahwa respon luas areal panen lebih besar daripada respon produktivitas
terhadap perubahan harga produsen, harga benih, harga pupuk, upah tenaga kerja
dan harga pestisida. Areal panen dan produktivitas bersifat responsif terhadap
intensifikasi produksi. Impor hanya responsif dalam jangka pajang terhadap tarif
impor, tetapi kurang responsif baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek
terhadap harga pedagang besar, harga impor, nilai tukar Rupiah, GNP dan dalam
jangka pendek terhadap tarif impor. Kebijakan produksi berdampak lebih besar
pada perubahan luas areal panen, produktivitas dan produksi, terutama di wilayah
potensial luar Pulau Jawa daripada di Pulau Jawa. Penerapan intensifikasi
produksi dan peningkatan harga dasar berdampak pada peningkatan kesejahteraan
petani (produsen kedelai) dan industri (konsumen kedelai). Penghapusan subsidi
pupuk atau benih dan kombinasi keduanya berdampak pada penurunan
kesejahteraan petani dan industri. Peningkatan kuota impor berdmpak pada
peningkatan kesejateraan industri, tetapi menurunkan kesejateraan petani.
Sebaliknya, penerapan tarif impor berdampak pada penurunan kesejahteraan
industri tetapi meningkatkan kesejahteraan petani. Penghapusan tarif impor
berdampak pada peningkatan kesejahteraan industri, tetapi menurunkan
kesejahteraan petani, yang mana penurunan kesejahteraan petani itu dapat
mengkombinasi penghapusan tarif impor dengan peningkatan harga dasar.
Penelitian oleh Simatupang, Marwoto dan Swastika (2005) mengenai
Pengembangan Kedelai dan Kebijakan Penelitian di Indonesia yang menggunakan
metode OLS menyimpulkan bahwa proyeksi konsumsi kedelai mengalami
peningkatan dari 2.35 juta ton pada tahun 2009 menjadi 2.71 juta ton pada tahun
2015 dan 3.35 juta ton pada tahun 2025. Jika sasaran produktivitas rata-rata
nasional 1.5 t/ha bisa dicapai, maka kebutuhan areal tanam diperkirakan sebesar
1.81 juta ha pada tahun 2015 dan 2.24 juta ha pada tahun 2025.
Analisis efisiensi usahatani kedelai oleh Fauziyah (2007) menggunakan
metode OLS memberikan gambaran tentang rata-rata pengaruh beberapa variabel
bebas terhadap produksi kedelai, diantaranya luas lahan yang berpengaruh secara
signifikan terhadap produksi, dimana hasilnya adalah jika luas lahan bertambah 1
persen, maka produksi kedelai akan bertambah sebesar 0.95 persen. Sedangkan
tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kedelai, karena jika
persentase tenaga kerja ditambah, produksi kedelai relatif tetap, justru varietas
kedelai yang berpengaruh terhadap produksinya. Penambahan jumlah bibit tidak
berpengaruh nyata terhadap produksi kedelai, karena walaupun jumlah bibit
ditambah 1 persen, maka produksi kedelai hanya bertambah sekitar 0.09 persen.
Namun penambahan pupuk urea akan membuat produksi kedelai menurun, ketika
pupuk urea ditambah 1 persen justru akan mengurangi produksi kedelai sekitar 0.2
persen, sama hal nya dengan pestisida.
23

Metode yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang


mempengaruhi volume impor kedelai di Indonesia adalah metode analisis linear
berganda dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Dalam
penelitian ini, analisis regresi linier berganda digunakan untuk melihat pengaruh
variabel produksi kedelai domestik, harga kedelai domestik, harga kedelai luar
negeri, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika dan dummy tarif impor sebesar
10 dan 5 persen terhadap volume impor kedelai ke Indonesia. Dari tahun ke tahun
impor kedelai relatif tinggi, sekitar 60 persen kebutuhan dalam negeri dipenuhi
dengan impor. Volume impor kedelai secara nyata dipengaruhi oleh harga kedelai
domestik, harga kedelai luar negeri, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika
dan dummy penetapan tarif impor sebesar 10 persen. jika harga kedelai
internasional rendah, maka tarif impor dapat dinaikkan. Berdasarkan hasil
penelitian, penetapan tarif impor sebesar 10 persen dapat mengurangi impor.
Dengan ditetapkannya tarif sebesar 10 persen, harga kedelai impor akan
meningkat, hal tersebut dapat memacu minat petani kedelai untuk kembali
berproduksi sehingga volume impor dapat berkurang (Anggasari 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Kustiari et al (2009) mengenai Model
Proyeksi Jangka Pendek Permintaan dan Penawaran dengan tujuan mengkaji
faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran komoditas pertanian
utama, mengestimasi elastisitas permintaan dan penawaran komoditas pertanian
utama, melakukan proyeksi permintaan dan penawaran komoditas pertanian
utama 2009 2014, serta merumuskan rekomendasi kebijakan untuk mencapai
ketahanan pangan dan pengembangan pertanian. Model parsial yang digunakan
untuk mengestimasi elastisitas permintaan adalah LA/AIDS (Linear
Approximation Almost Ideal Demand Sistem), sedangkan model parsial yang
digunakan untuk mengestimasi elastisitas penawaran adalah model koreksi
kesalahan (Error Correction Mechanism = ECM). Secara ringkas hasil penelitian
menunjukkan adanya laju peningkatan produktivitas yang lebih besar dibanding
laju peningkatan luas area. Kondisi ini terjadi karena semakin tebatasnya lahan
pertanaman. Produksi kedelai dalam negeri makin tidak mampu memenuhi
kebutuhan dalam negeri selama hampir tiga dekade terakhir. Oleh karena itu
pengembagan areal dan produksi perlu diupayakan secara seksama.
Analisis permintaan kedelai nasional dan dampak kebijakan tarif impor
yang dilakukan oleh Adetama (2011) menggunakan metode 2SLS. Pada
persamaan permintaan kedelai diperoleh bahwa variabel-variabel independen
yang berpengaruh nyata terhadap permintaan kedelai adalah variabel harga
kedelai dalam negeri. Pada persamaan impor kedelai diperoleh diperoleh bahwa
variabel-variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap impor kedelai
adalah variabel permintaan kedelai.
Handayani et al (2011) dalam penelitiannya mengenai simulasi kebijakan
dayasaing kedelai lokal pada pasar domestik mempelajari dan menetapkan faktor-
faktor penentu dalam meningkatkan daya saing kedelai lokal terhadap pemenuhan
kebutuhan dan keinginan konsumen dalam industri berbahan baku kedelai melalui
simulasi kebijakan untuk mengetahui peubah yang berpengaruh dalam upaya
meningkatkan daya saing kedelai lokal pada pasar nasional. Secara ringkas
menyimpulkan bahwa luas panen kedelai dipengaruhi oleh harga kedelai lokal,
harga jagung dan luas panen tahun sebelumnya. Produktivitas kedelai dipengaruhi
oleh curah hujan, harga jagung dan produktivitas tahun sebelumnya. Harga
24

kedelai lokal dipengaruhi oleh harga tingkat produsen, harga dan volume impor,
produk-tivitas dan harga tahun sebelumnya. Harga tingkat produsen dipengaruhi
oleh produksi, volume impor, konsumsi, dummy monologi Bulog dan harga
tingkat produsen tahun sebelumnya. Volume impor kedelai dipengaruhi produksi
dan konsumsi kedelai. Harga kedelai impor dipengaruhi oleh harga kedelai
internasional, nilai tukar rupiah, tarif impor dan harga kedelai impor tahun
sebelumnya. Kebijakan menaikkan harga kedelai akan menguntungkan petani dan
menggairahkan petani untuk meningkatkan produksi. Kebijakan kenaikan harga
akan efektif apabila diikuti peraturan pendukung dan terobosan teknologi,
sehingga terjadi peningkatan produksi sekaligus kualitas kedelai. Simulasi harga
kedelai tingkat produsen sama dengan harga impor menunjukkan bahwa harga
kedelai tingkat produsen mengalami penurunan, sehingga petani kurang berminat
untuk menanam kedelai yang berakibat pada penurunan luas panen dan produksi
kedelai. Peningkatan tarif impor, mengakibatkan harga kedelai lokal dan harga
tingkat produsen meningkat, sehingga terjadi peningkatan luas panen dan
produksi.
Simulasi dampak kebijakan produksi terhadap ketahan pangan kedelai
oleh Zakiah (2010) dan (2011) menggunakan metode simultan 2SLS dengan
tujuan menetapkan faktor-faktor penentu produksi dan permintaan kedelai,
sehingga dapat menghasilkan suatu kebijakan sehubungan dengan peningkatan
produksi kedelai untuk menyeimbangi kebutuhan akan kedelai yang semakin
meningkat. Luas panen kedelai secara nyata dipengaruhi oleh harga kedelai, harga
pupuk urea tahun sebelumnya, harga jagung sebagai komoditi alternatif. Variabel
harga kedelai dan lag luas panen kedelai berkorelasi positif dengan luas panen
kedelai, sedangkan variabel harga pupuk dan harga jagung berkorelasi negatif. Ini
menunjukkan luas panen kedelai akan meningkat jika harga kedelai di tingkat
petani meningkat. Produktitas kedelai secara nyata dipengaruhi oleh lag harga
kedelai, harga pupuk, teknologi dan produktivitas tahun sebelumnya. Variabel
harga kedelai, teknologi dan lag produktivitas kedelai berkorelasi positif dengan
produktivitas kedelai, sedangkan variabel harga pupuk berkorelasi negatif. Ini
menunjukkan produktivitas kedelai akan meningkat jika harga kedelai di tingkat
petani meningkat dan tingkat teknologi yang tinggi.
Review dari hasil studi empiris yang telah diuraikan sebelumnya adalah
bahwa produksi kedelai menurun sangat tajam sementara di sisi lain kebutuhan
kedelai dalam negeri terus meningkat, menyebabkan Indonesia bergantung pada
kedelai impor untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Kebutuhan kedelai terus
meningkat dari waktu ke waktu jauh melampaui kemampuan produksi domestik,
baik untuk memenuhi kebutuhan industri makanan maupun pakan dan
agroindustri lainnya. Sehingga upaya peningkatan produksi kedelai di tingkat
petani tidak hanya berkaitan dengan aspek teknis dan ekonomis maupun
intervensi melalui kebijakan pemerintah, tetapi juga strategi menggalang
partisipasi petani dalam pengembangan kedelai, sehingga komoditas kedelai lokal
dapat berdaya saing dengan kedelai impor. Untuk mengetahui sejauh mana
hubungan antar variabel mikroekonomi dalam produksi dan konsumsi kedelai
nasional lebih tepat menggunakan analisis simultan, karena dengan metode ini,
antar variabel dependen dengan independen dapat diketahui hubungan saling
pengaruh-mempengaruhinya. Secara teknis, teknologi dan luas area tanam paling
besar pengaruhnya secara nyata terhadap produksi kedelai, sedangkan secara
25

ekonomis, harga yang paling berpengaruh nyata terhadap produksi kedelai


nasional. Dari sisi konsumsi, pendapatan, jumlah penduduk serta harga paling
berpengaruh secara nyata terhadap laju peningkatan konsumsi kedelai nasional.
Sedangkan tarif impor paling berpengaruh nyata terhadap penurunan kuantitas
impor kedelai.
Model ekonomi mikro dari penawaran dan permintaan kedelai nasional
dilakukan dalam beberapa penelitian terdahulu bertujuan untuk melihat
perkembangan produksi dan konsumsi kedelai nasional mendatang. Apakah
kondisi defisit atau surplus. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi
ekonomi kedelai mendatang masih menunjukkan defisit. Hal ini karena secara
teknis usahatani kedelai belum berjalan secara efektif dan efisien, baik
penggunaan input produksi maupun sarana produksi. Selain itu, produksi yang
belum dapat mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri juga dikarenakan
keterbatasan luas area tanam dan semakin menyempitnya lahan pertanian yang
subur. Sehingga tingkat produktivitas tidak bisa mencukup kebutuhan dalam
negeri. Masalah yang paling mendasari adalah karena kebijakan harga kedelai
yang belum berpihak pada petani. Karena besarnya tingkat ketergantungan
Indonesia terhadap kedelai impor, membuat kuantitas impor kedelai jauh lebih
besar daripada produksi kedelai lokal, sehingga menyebabkan harga kedelai impor
lebih murah dibanding harga kedelai lokal. Selain itu, penetapan tarif impor
kedelai yang menjadi nol persen pada tahun 2012 juga menjadi penyebab semakin
mudahnya impor kedelai ke Indonesia. Apalagi kualitas kedelai Indonesia
dibawah kualitas kedelai impor. Secara ekonomi, ketika suatu harga barang lebih
murah dengan kualitas yang lebih bagus dibanding barang lainnya dengan jenis
yang sama, maka konsumen akan memilih barang tersebut.
Penelitian-penelitian tersebut juga menganalisis bagaimana simulasi
kebijakan dilakukan ketika intervensi pemerintah harus dilaksanakan guna
memperbaiki kondisi ekonomi kedelai dalam negeri maupun di pasar
internasional. Secara ringkas, pada dasarnya ketika tarif impor kedelai dinaikkan
hingga mencapai 20 persen, maka masuknya kedelai impor ke Indonesia akan
semakin sulit, karena saat ini hingga Januari 2012, harga kedelai dunia semakin
menurun. Hal ini juga terkait dengan krisis ekonomi yang saat ini sedang terjadi di
Eropa dan Amerika, diperparah dengan lambannya ekonomi di China. Sehingga
dengan jatuhnya harga kedelai dunia menyebabkan impor kedelai dari negara-
negara sentra kedelai tersebut menjadi semakin sulit. Harga kedelai Indonesia
memang sangat tergantung dari harga kedelai dunia. Karena harga yang berlaku di
pasar inetrnasional tidak menutupi biaya impornya, khsusnya tarif impor yang
diberlakukan hingga kedelai tersebut sampai di tujuan. Ketika kedelai impor
semakin berkurang, maka harga kedelai impor pun akan semakin meningkat,
karena hubungan antara harga kedelai impor dengan harga kedelai lokal positif,
sehingga ketika harga kedelai impor meningkat maka harga kedelai lokal juga
akan meningkat. Harga kedelai lokal menjadi baik di tingkat petani membuat
petani semakin bergairah untuk meningkatkan produktivitas kedelai. Ketika
produksi kedelai semakin meningkat maka tentunya Pemerintah akan semakin
memperhatikan petani dengan memberi dukungan langsung seperti subsidi input
sarana dan prasarana produksi dengan tujuan meningkatkan kualitas kedelai lokal.
Pada akhirnya tujuan untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri dengan
kedelai lokal tercapai dan bahkan bisa surplus, implikasinya adalah kuantitas
26

ekspor semakin meningkat. Maka tujuan akhir yaitu swasembada kedelai tercapai,
sehingga membuat ketahan pangan Indonesia semakin baik dan tentunya
meningkatkan pertumbuhan ekonomi pertanian dan akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini diantaranya, sumber
database yang digunakan berbeda, dimana penelitian terdahulu di Indonesia
mayoritas menggunaan data yang bersumber dari Kementerian Pertanian dan
BPS, timeseries hanya sampai tahun 2009, dengan hasil peramalan produksi dan
konsumsi hingga tahun 2014 dan 2025 menunjukkan hasil defisit dengan nilai
rata-rata 1 jutaan 2 jutaan ton per tahun, sedangkan dalam penelitian ini defisit
yang terjadi sekitar 1.1 jutaan ton per tahun dengan sumber data FAO.

2.6 Model Simultan dan Non Simultan

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali dijumpai hubungan antara suatu


variabel dengan satu atau lebih variabel lain. Hubungan ini merupakan konsep
dasar regresi. Ide dasar mengenai analisis regresi pertama kali diperkenalkan oleh
Sir Francis Galton. Regresi modern adalah merupakan studi mengenai
ketergantungan 1 variabel dependen dengan 1 atau lebih variabel independen,
dengan tujuan untuk mengestimasi dan atau memprediksi rata -rata populasi atau
nilai rata-rata variabel dependen berdasarkan nilai variabel independen yang
diketahui yang menitikberatkan pada hubungan statistik. Dimana hubungan antara
2 atau lebih variabel merupakan hubungan regresi Suliyanto (2011).
Manfaat analisis regresi adalah mengukur kekuatan hubungan antar
variabel, dan menunjukkan arah hubungan antara variabel independen dengan
variabel dependen. Regresi terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: Regresi
Linier Sederhana, Regresi Linier Berganda, Regresi Non Linier, Regresi dengan
Variabel Dummy, Regresi Logistik, dan Regresi Simultan. Secara ringkas
perbedaan regresi simultan dan regresi non simultan yang disajikan pada Tabel
2.1.

Tabel 2.1 Perbedaan Model Regresi Simultan dan Non Simultan

1. Regresi Linier Sederhana dengan 1 variabel dependen dan 1 variabel


independen independen
2. Regresi Linier Berganda dengan 1 variabel dependen dan lebih dari 1
variabel independen
3. Regresi Dugaan dengan Variabel Dummy dapat menggunakan variabel bebas
dengan skala ukuran non metrik
4. Regresi Non Linier merupakan model yang tidak dapat dinyatakan dalam
model tersebut.
5. Regresi SImultan menggunakan hipotesis sebagai berikut:

Tabel 2.1 Perbedaan Model Regresi Simultan dan Non Simultan (lanjutan)
27

H0 : Semua variabel bebas secara bersama-sama tidak mempengaruhi variabel


tidak bebas (Y)
H1 : Semua variabel bebas secara bersama-sama mempengaruhi variabel tidak
bebas (Y) atau paling tidak ada 1 variabel bebas yangmempengaruhi
variabel tidak bebas (Y)
Sumber: Romio, 20113

Penelitian ini menggunakan analisis regresi simultan. Sehingga


pembahasan lebih terkonsentrasi pada sistem persamaan simultan sebagai berikut:

2.7 Model Persamaan Simultan

Dalam merumuskan suatu model ekonometrik yang berupa sistem, perlu


diperhatikan masalah spesifikasi, identifikasi dan estimasi. Spesifikasi meliputi
tahapan mempelajari hubungan antar peubah dalam sistem, menentukan
pengukuran peubah, merumuskan bentuk persamaan termasuk memperkirakan
tanda koefisien. Sedangkan identifikasi model persamaan simultan akan
menentukan metode pendugaan yang akan dipakai dalam estimasi model
(Koutsoyiannis 1977). Untuk menentukan fungsi linier atau log linier. Rao dan
Miller (1971) memberikan suatu cara pengujian dengan statistik d sebagai berikut:

.(2.1.)
dan adalah jumlah kuadrat sisaan dari kedua bentuk fungsi
untuk peubah tak bebas Y yang telah ditransformasi oleh nilai c=exp[-logY t)/T],
dengan T adalah banyaknya contoh. Statistik d diasumsikan mengikuti sebaran
Chi kuadrat 2) dengan derajat bebas 1, sehingga jika d hitung lebih besar dari
2
nilai tabel dalam taraf kepercayaan yang dipilih, maka hipotesis nol, bahwa
kedua fungsi ekuivalen secara empiris akan ditolak. Artinya bentuk fungsi linier
lebih baik digunakan dibandingkan bentuk fungsi log linier.
Peubah endogen maupun eksogen dapat berbentuk waktu sekarang
(current variabel) atau beda kala (lagged variabel). Peubah eksogen selalu
berkedudukan sebagai peubah penjelas, sedangkan peubah endogen tidak selalu
merupakan peubah tak bebas namun bisa berperan sebagai peubah bebas.
Misalnya dalam model distribusi beda kala, khususnya model harapan adaptif
yang merupakan model autoregressif. Dengan demikian dalam model persamaan
simultan peubah yang menentukan atau peubah predetermined dapat berupa
peubah eksogen atau peubah endogen beda kala (Kmenta 1986).

3) Romio, Arifin Kasuga. 2011. Analisis Regresi dan Korelasi [Slide Presentasi].
http://arifinkasugaromio.files.wordpress.com/2011/01/analisis_regresi.pdf
Pada umumnya bentuk struktural dari model persamaan simultan yang
berupa sistem persamaan secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
11 1t + + 1G Gt + 11 x1t + + 1K xKt = U1t
28

21 1t + + 2G Gt + 21 x1t + + 2K xKt = U2t


. . . . .
. . . . .
G1 1t + + GG Gt + G1 x1t + + GK xKt = UGt ...................... (2.2.)
dengan sebagai peubah endogen sebanyak G, x sebagai peubah predetermined
sebanyak K, U sebagai unsur galat, t = 1,2,3, , T. dan diketahui sebagai
koefisien struktural.
Pada umumnya tidak semua peubah endogen dan peubah predetermined
akan muncul dalam setiap persamaan, artinya beberapa nilai dan akan sama
dengan nol. Selanjutnya dalam setiap persamaan diambil satu peubah endogen
dengan koefisien = 1 yang menunjukkan peubah tak bebas dalam persamaan
regresi biasa. Juga beberapa persamaaan dalam model semakin merupakan
persamaan identitas yang menghubungkan peubah endogen dengan
predetermined. Dalam persamaan identitas seluruh koefisien telah diketahui
nilainya secara a priori (berdasarkan teori ekonomi) dan tidak mengandung unsur
galat (Kmenta 1986). Apabila setiap persamaan mempunyai bentuk yang sama
berarti seluruh pengamatan sebanyak T dimasukkan dalam sistem. Dengan
menggunakan bentuk matriks maka model dapat dinyatakan sebagai berikut:
Y B + X = U ....(2.3.)
dimana: Y adalah matriks data peubah endogen (T x G)
X adalah matriks data peubah predetermined berukuran (T x K)
U adalah matriks unsur galat berukuran (T x G)
B adalah matriks koefisien struktural (G x G)
adalah matriks koefisien struktural (K x G)
Setiap unsur galat dalam persamaan (2.2.) dan (2.3.) dianggap memenuhi asumsi
regresi linier klasik.
Bentuk reduksi sistem persamaan diperoleh dengan memecahkan
persamaan bentuk struktural untuk nilai-nilai peubah endogen berdasarkan nilai
peubah predetermined, artinya menyatakan Y dalam bentuk X dan U. Secara
matematis dapat dinyatakan:
Y1t = 11 x1t + 12 x2t + + 1K xKt + v1t
Y2t = 21 x1t + 22 x2t + + 2K xKt + v2t
. . . . .
. . . . .
YGt = G1 x1t + G2 x2t + + GK xKt + vGt ..(2.4.)
dengan yang menyatakan koefisien bentuk reduksi dan v adalah unsur galat
bentuk reduksi. Secara umum setiap galat bentuk reduksi adalah fungsi linier
seluruh unsur galat struktural. Hubungan antara bentuk struktural dan bentuk
reduksi dapat diturunkan secara eksplisit dengan menggunakan B pada persamaan
(2.2.) sebagai matriks non singular sehingga diperoleh bentuk reduksi:
y = - B-1 xt + B-1 ut (2.5.)
masalah dalam pendugaan model persamaan simultan dengan
menggunakan matriks data Y dan X adalah menduga parameter-parameter sistem
persamaan (2.3.) yang berupa koefisien matriks B, dan matriks peragam
(Intriligator 1980). Apabila matriks data peubah endogen yTxG dibuat partisi
sekatan menjadi:
Y = ( y1 Y1 Y2 ) (2.6.)
TxGTx1 Tx(G-1) Tx(G-G)
29

dimana:
y1 adalah vektor kolom data peubah endogen yang tidak bebas
Y1 matriks data peubah endogen yang menerangkan (G 1) dalam Yi1
Y1 matriks data peubah endogen yang dikeluarkan (G G)
dan dengan cara yang sama matriks data peubah predetermined XTxK dibuat partisi
menjadi:
X= ( X1 X2 ) ....(2.7.)
TxKTxK Tx(KK*)
dimana:
X1 adalah matriks data peubah predetermined K* yang terkandung dalam sistem
di dalam Xi1
X2 adalah matriks data peubah predetermined K* yang dikeluarkan (KK*)
Dalam notasi matriks kedua persamaan diatas dapat ditulis:
Y1 = Y1 B1 +X1 1 + u1 ...(2.8.)
Tx1 T x(G 1) (G 1)x! TxK* K*x1 Tx1
Subskrip angka 1 menyatakan bahwa persamaan merupakan persamaan yang
pertama dari sistem persamaan tersaebut sebenarnya dipenuhi dalam persamaan
(2.5.3.) dan partisi matriks data Y dan X, sehingga:
- y1 + Y1 B1 + X1 1 = - u1 (2.9.)
Untuk model persamaan simultan yang dinyatakan dalam persamaan (2.9.)
terdapat masalah bias dalam pendugaan model. Kehadiran peubah endogen Y1
sebagai peubah yang menjelaskan, merupakan sumber terjadinya bias. Timbulnya
korelasi antara peubah bebas dengan unsur galat akan menyebabkan koefisien
regresi yang diduga dengan metoda OLS menjadi tidak konsisten.

2.8 Identifikasi dalam Model Persamaan Simultan

Identifikasi dalam model persamaan simultan adalah cara menyatakan


koefisien struktural dan dalam bentuk koefisien model bentuk reduksi . Suatu
persamaan dikatakan dapat diidentifikasi (identified) apabila perkiraan parameter
struktural dapat diperoleh dari perkiraan parameter bentuk reduksi. Persamaan
yang identified dapat bersifat identifikasi tepat (exactlyidentified) atau identifikasi
berlebihan (overidentified). Sedangkan kurang identifikasi dinamakan
underidentified (Kmenta 1986).
Dalam suatu persamaan yang identified, parameternya dapat diduga secara
statistik dengan metode pendugaan yang sesuai. Oleh karena itu, identifikasi akan
menentukan metode pendugaan yang dapat digunakan. Untuk identifikasi suatu
persamaan dalam model persamaan simultan perlu dipenuhi syarat order dan
syarat pangkat (Koutsoyiannis 1977).
Misalkan:
G = jumlah peubah endogen yang terdapat pada persamaan ke-g (jumlah
G = unsur 0 yang tidak sama dengan nol).
GG, banyaknya peubah endogen dalam sistem dikurangi banyaknya
peubah endogen dalam persamaan yang akan diidentifikasi.
K* = jumlah peubah predetermined yang terdapat dalam persamaan keg
(Jumlah unsur g yang tidak sama dengan nol).
30

K** = KK*, banyaknya peubah predetermined dalam sistem dikurangi


banyaknya peubah predetermined dalam persamaan yang akan
diidentifikasi.
Syarat order untuk identifikasi adalah:
K** G 1 ..(2.10.)
yang artinya jumlah peubah predetermined di luar persamaan yang diidentifikasi
paling sedikit sama atau lebih besar dari jumlah peubah endogen dalam persamaan
tersebut dikurangi satu. Persamaan (2.10.) merupakan syarat perlu namun tidak
cukup. Syarat cukup agar persamaan teridentifikasi adalah jika dan hanya jika
paling sedikit ada sebuah determinan yang tidak sama dengan nol dari matriks
koefisien berpangkat (G1) diluar persamaan yang bersangkutan.

2.9 Metode Pendugaan Model Persamaan Simultan

Untuk menduga model persamaan simultan terdapat beberapa metode


pendugaan yang didasari teknik kuadrat terkecil dan kemungkinan maksimum.
Metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Square) yang digunakan untuk
menduga model regresi persamaan tunggal akan memberikan dugaan parameter
terbaik (ragam minimum), tak bias dan linier (BLUE/Best Linier Unbiased
Estimate) dan juga konsisten. Tetapi untuk model persamaan simultan metode
OLS memberikan dugaan yang bias dan tak konsisten, sebab dalam model
persamaan simultan terdapat pelanggaran asumsi metode OLS seperti adanya
korelasi antar peubah endogen sebagai peubah penjelas dengan unsur galat
(Kshirsagar 1983).
Menurut Intriligator (1980), walaupun penduga OLS untuk model
persamaan simultan memberikan penduga yang berbias dan tak konsisten, namun
tidak seharusnya ditolak secara total sebagai suatu teknik pendugaan, sebab
metode OLS juga dapat digunakan dalam pendugaan parameter dengan
menggunakan beberapa penyempurnaan. Salah satu metode pendugaan dalam
pendekatan informasi terbatas yang menghasilkan penduga konsisten untuk
persamaan struktural bersifat overidentified adalah metode kuadrat terkecil dua
tahap atau 2SLS (Two-Stage Least Squares).
Metode 2SLS yang dikembangkan pertama kali oleh Theil (1958) dan
Theil dan Zellner (1962) dan Basmann (1957), secara teoritis merupakan
perluasan dari metode ILS (Indirect Least Square) dan metode instrumen variabel.
Metode 2SLS mencakup pemakaian kuadrat terkecil klasik terhadap dua jenis
fungsi, yaitu persamaan bentuk reduksi dan persamaan struktural yang
ditransformasi. Transformasi tersebut merupakan penggantian peubah endogen Y
oleh nilai dugaannya () yang diperoleh dari persamaan bentuk reduksi.
Penggunaan metode 2SLS didasari oleh asumsi-asumsi sebagai berikut:
1. Bentuk galat u dari persamaan struktural harus memenuhi asumsi-asumsi
stokastik biasa, yaitu mempunyai rataan nol, ragam konsisten dan peragam
nol.
2. Bentuk galat v dari persamaan bentuk reduksi harus memenuhi asumsi-
asumsi stokastik biasa, artinya:
a. v harus mempunyai rataan nol, ragam yang konstan dan peragam nol.
31

b. v harus bebas dari peubah eksogen yang terdapat dalam seluruh persamaan
struktural (x1, x2, , xk)
Asumsi a biasanya dipenuhi oleh v, sebab v merupakan fungsi linier dari
unsur galat persamaan struktural u.
3. peubah-peubah penjelas tidak bersifat multikolinier dan peubah-peubah
makroekonomi dibuat agregat secara tepat.
4. Spesifikasi model diasumsikan benar, artinya peubah jelas dalam sistem telah
diketahui.
5. Jumlah sampel (pengamatan) diasumsikan cukup besar, khususnya jumlah
pengamatan harus lebih besar dari jumlah peubah predetermined dari sistem
struktural.
Penggunaan metode OLS pada persamaan yang pertama dalam sistem
seperti persamaan (2.5.8.) y1 = Y1 1 + x1 1 + u1. Penduga 2SLS akan
menghasilkan dugaan yang konsisten dengan cara menghilangkan komponen y1
yang berkorelasi dengan u1 dan menduga kembali persamaan regresi yang baru
dengan metode OLS (Intriligator 1980).
Tahap pertama dari metode 2SLS adalah menggunakan metode OLS pada
model regresi dimana setiap peubah endogen di ruas kanan diregresikan pada
seluruh peubah predetermined dalam sistem. Hal tersebut ekuivalen dengan
menduga persamaan bentuk reduksi yang bersesuaian dengan (G1) peubah
endogen pada ruas kanan, yaitu:
Y1 = x + V1
Dugaan parameter yang dihasilkan pada tahap pertama dengan metode OLS
adalah:
-1
= (x x) xY1
sehingga nilai dugaan Y1 adalah:
-1
1 = x = x (x x) xY1 ....(2.11.)
dan nilai dugaan sisaan adalah V 1 = Y1 - 1 serta tidak berkorelasi dengan semua
peubah predetermined.
Pada tahap kedua metode 2SLS, dilakukan pendugaan OLS untuk model
Y1 terhadap 1 dan x1 sehingga didapat dugaan parameter 2SLS untuk 1 dan 1,
untuk persamaan:
Y1 = 1 1 + x1 Y1 + u1, dimana:
1 = Y1 - V1 = [ x 1 x 1 x G ], maka
Y1 = (Y1 - V1 ) 1 + x1 Y1 + u1 ......(2.12.)
Dalam persamaan tahap ke dua ini (Y1 - V1 ) hanya tergantung pada
peubah x dan tidak melibatkan unsur galat u1 sehingga (1 - V1) tidak berkorelasi
dengan u1. Oleh karena itu, penggunaan metode OLS pada persamaan
(2.5.12.)memberikan dugaan 1 dan Y1 yang konsisten.
Apabila Z1 = [ 1 x1 ], maka pendugaan OLS untuk persamaan pada
tahap kedua menghasilkan dugaan 2SLS yang dalam bentuk matriks dinyatakan:
1
2SLS=
-1
1 2SLS= ( Z1 ' Z1) Z1 Y1
-1
= { [1 X1] [1X1]} [1 x1] y1
= 11 1X1 -1 1Y1
X1 1 X1X1 X1 Y1 .(2.13)
Karena alasan regresi tahap pertama tidak berkorelasi dengan semua peubah
predetermined, maka 1 tidak berkorelasi baik dengan X1 maupun 1, artinya:
32

V1 X1 = 0 dan V1 1 = 0
Karena Y1 kombinasi linier dari peubah predetermined, maka:
Y1 Y1 = (1 + V1 ) (1 + V1 ) = 1 1 + V1 V1
Sehingga 1 1 = Y 1 Y 1 - V1 V1 ...(2.14.)
dan X1 Y1 = X1 (1 + V1) = X1 1 ...(2.15.)
1X1 = (Y1 - V1) X1 = Y1 X1 (2.16.)
Substitusi persamaan (2.14.), (2.15.) dan (2.16.) pada persamaan (2.17.) didapat:
2SLS = 1 = (Y1 Y1 V1 V1) Y1 X1- 1 (Y1 V1) y1
1 X1 Y1 X1 X1x1 y1 .(2.17.)
Penduga 2SLS pada persamaan (2.5.17.) merupakan penduga parameter
model persamaan simultan yang memberikan dugaan berbias tapi konsisten
(Intriligator, 1980), sebab dapat dibuktikan bahwa : E ( 2SLS ) dan plim 2SLS
= .
Metode 2SLS lebih sering digunakan karena:
1. Dapat diterapkan pada setiap persamaan dalam suatu sistem (model) tanpa
memberikan pengaruh yang jelek pada persamaan lain dalam sistem.
2. Hanya memberikan satu dugaan untuk satu parameter.
3. Mudah dipahami penerapannya, serta sederhana perhitungannya.
4. Selain digunakan untuk menduga persamaan struktural yang bersifat
overidentified, dapat pula diterapkan pada persamaan bersifat
exactlyidentified, dengan catatan hasilnya akan sama dengan dugaan
metode ILS (Indirect Least Square).
5. Dapat memberikan nilai galat baku dari dugaan parameter, sebab koefisien
struktural diduga secara langsung pada regresi tahap kedua.
2
6. Apabila koefisien determinasi R pada tahap pertama sangat tinggi (lebih
dari 80 persen), maka nilai dugaan parameter dengan metode OLS dan
metode 2SLS akan sangat dekat.

III KERANGKA PEMIKIRAN


33

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

Kebutuhan kedelai akan tercukupi ketika produksi kedelai sama dengan


atau melebihi kebutuhan dalam negeri. Namun dikarenakan, produksi kedelai
yang tidak pernah mencukupi konsumsinya, maka dari itu diperlukan upaya
peningkatan produksi kedelai, dengan cara peningkatan areal tanam dan
produktivitas. Kemudian, dalam meningkatkan produksi kedelai, upaya
meningkatkan gairah petani dalam berbudidaya kedelai dipengaruhi oleh tingkat
harga yang dapat memberikan keuntungan yang sesuai. Kebutuhan kedelai dalam
negeri yang tinggi dipenuhi 80 persen lebih dari kedelai impor. Permintaan
kedelai dipengaruhi oleh tingkat harga kedelai nasional maupun internasional.
Dengan demikian penelitian ini terdiri dari teori-teori yang berhubungan dengan
analisis dan parameter penelitian, seperti teori produksi dan konsumsi, serta teori
permodelan. Secara rinci disajikan sebagai berikut:

3.2 Teori Produksi

Hubungan fungsional antara berbagai faktor produksi termasuk


pengelolaannya memerlukan koordinasi yang baik sehingga dapat menghasilkan
output optimal (Mubyarto 1986) . Apabila keterbatasan biaya menjadi kendala,
maka tindakan yang dilakukan adalah dengan meminimumkan biaya (cost
minimization), dan jika tidak dihadapkan pada keterbatasan biaya maka dapat
dilakukan melalui pendekatan memaksimumkan keuntungan (profit
maximization).
Teori produksi adalah produksi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor
produksi. Faktor produksi sering disebut dengan korbanan produksi untuk
menghasilkan produksi. Faktor produksi disebut dengan input. Faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi dibedakan menjadi 2 kelompok (Soekartawi 1990),
antara lain: (1) Faktor biologi, seperti lahan pertanian dengan macam dan tingkat
kesuburannya, produktivitas, jumlah benih, varietas, pupuk, obat-obatan, gulma,
produksi barang substitusi, dan sebagainya; (2) Faktor sosial ekonomi, seperti
biaya produksi, harga input dan harga output, tenaga kerja, tingkat pendidikan,
tingkat pendapatan, nilai tukar petani, upah buruh, tarif impor, resiko dan
ketidakpastian, kelembagaan, tersedianya kredit dan sebagainya.
Produksi yaitu proses kombinasi dan koordinasi material-material dan
kekuatan-kekuatan (input, faktor, sumberdaya atau jasa-jasa produksi) dalam
pembuatan suatu barang atau jasa output atau produk (Beattie dan Taylor 1994).
Pappas dan Mark (1995) mengemukakan tentang teori produksi adalah berkaitan
dengan cara bagaimana sumberdaya (masukan) dipergunakan untuk menghasilkan
produk-produk perusahaan (keluaran).
Teori produksi oleh Sudarsono (1995) dijelaskan melalui pendekatan
fungsi produksi. Fungsi produksi merupakan hubungan teknis yang
menghubungkan antara faktor produksi (masukan atau input) dan hasil
produksinya (produk atau output). Fungsi produksi juga menggambarkan
teknologi yang dipakai oleh suatu perusahaan, suatu industri atau perekonomian
secara keseluruhan. Selain itu, fungsi produksi menggambarkan semua metode
produksi yang efisien secara teknis dalam arti menggunakan kuantitas bahan
mentah yang minimal, tenaga kerja minimal dan barang-barang modal lain yang
34

minimal. Produksi dapat disederhanakan menjadi dua perilaku yang berbeda dan
dapat segera dikontrasan. Dalam jangka pendek, faktor tenaga kerja dianggap
sebagai faktor produksi variabel yang penggunaannya berubah-ubah sesuai
dengan perubahan volume produksi. Dalam jangka panjang, faktor produksi tetap,
dalam arti jumlahnya tidak berubah dan tidak terpengaruh oleh volume produksi.
Ahyari (1997) mengemukakan produksi adalah kegiatan yang dapat
menimbulkan tambahan manfaatnya atau penciptaan faedah baru. Faedah atau
manfaat ini dapat terdiri dari beberapa macam, misalnya faedah bentuk, faedah
waktu, faedah tempat, serta kombinasi dari beberapa faedah tersebut di atas.
Produksi tidak hanya terbatas pada pembuatan, tetapi sampai pada distribusi.
Komoditi bukan hanya dalam bentuk output barang, tetapi juga jasa.
Salvatore (2001) menjelaskan produksi adalah merujuk pada transformasi
dari berbagai input atau sumberdaya menjadi output berupa barang atau jasa.
Lebih spesifik lagi produksi adalah kegiatan perusahaan dengan
mengkombinasikan berbagai input untuk menghasilkan output dengan biaya yang
minimum. Produksi merupakan hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi
dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input (Joesran dan Fathorrozi
2003). Produksi atau memproduksi menambah kegunaan nilai guna suatu barang.
Kegunaan suatu barang akan bertambah bila memberikan manfaat baru atau lebih
dari bentuk semula.
Menurut Putong (2003), produksi atau memproduksi adalah menambah
kegunaan (nilai guna) suatu barang. Yang dimaksud fungsi produksi adalah
hubungan teknis yang antara faktor produksi (input) dan hasil produksi (output).
Hubungan teknis yang dimaksud adalah bahwa produksi hanya bisa dilakukan
dengan menggunakan faktor produksi yang dimaksud. Bila faktor produksi tidak
ada, maka tidak ada juga produksi. Produksi yang dihasilkan tanpa teknologi,
modal dan manusia, disebut produksi alami, yaitu produksi yang dilakukan oleh
proses alam, sedangkan produksi yang dilakukan dengan penggunaan modal,
teknologi dan manusia disebut produksi rekayasa. Faktor produksi yang paling
utama adalah manusia dan tanah (Sumber Daya Alam). Teori produksi yang telah
dijelaskan dapat memberikan gambaran bahwa produksi dipengaruhi oleh luas
area tanam dan produktivitas kedelai, harga kedelai serta harga komoditas
pesaingnya (komoditas substitusinya), teknologi, serta inut produksi seperti
jumlah kuantitas benih kedelai, kuantitas penggunaan pupuk, serta faktor produksi
seperti upah buruh.

3.3 Teori Konsumsi

Spencer (1977) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi


konsumsi diantaranya adalah pendapatan disposable yang merupakan faktor
utama, banyaknya anggota keluarga, usia anggota keluarga, pendapatan yang
terdahulu dan pengharapan akan pendapatan di masa yang akan datang. Colman
dan Trevor (1990) mengatakan bahwa dalam teori ekonomi tradisional, yang
berdasarkan kepada selera dan preferensi konsumen, maka konsumsi untuk
komoditas tertentu ditentukan oleh beberapa hal yaitu: harga produk tersebut,
harga produk barang lain, dan pendapatan atau penghasilan konsumen. Konsumsi
suatu barang tertentu adalah sejumlah barang tertentu yang dikonsumsi langsung,
35

yang mana konsumen bersedia dan mampu membeli dalam kondisi tertentu, per
unit waktu, di pasar tertentu dan pada harga tertentu.
Nicholson (1991) menyatakan bahwa persentase pendapatan yang
dibelanjakan untuk pangan cenderung turun jika pendapatan meningkat. Kondisi
ini menunjukkan adanya hubungan yang terbalik antara persentase kenaikan
pendapatan dengan persentase pengeluaran untuk pangan. Keadaan ini lebih
dikenal dengan Hukum Engel (Engels Law). Dalam hukum Engel dikemukakan
tentang kaitan antara tingkat pendapatan dengan pola konsumsi. Hukum ini
menerangkan bahwa pendapatan disposable yang berubah-ubah pada berbagai
tingkat pendapatan, dengan naiknya tingkat pendapatan maka persentase yang
digunakan untuk sandang dan pelaksanaan rumah tangga adalah cenderung
konstan. Sementara persentase yang digunakan untuk pendidikan, kesehatan dan
rekreasi semakin bertambah.
Faktor-faktor pokok yang mempengaruhi dan menentukan jumlah
pengeluaran untuk konsumsi adalah pendapatan disposable sebagai faktor utama,
pendapatan permanen dan pendapatan menurut daur hidup, kekayaan dan faktor
permanen lainnya seperti faktor sosial dan harapan tentang kondisi ekonomi di
masa yang akan datang (Samuelson dan Nordhaus 1992). Pengeluaran konsumsi
rumah tangga ditentukan oleh banyak faktor. Namun menurut Parkin (1993) yang
paling penting dari faktor-faktor yang menentukan pengeluaran konsumsi hanya
dua, yaitu: pendapatan disposable dan pengharapan terhadap pendapatan di masa
yang akan datang (expected future income).
Konsumsi adalah suatu hubungan antara tingkat konsumsi rumahtangga
dalam perekonomian dengan pendapatan nasional perekonomian tersebut.
Konsumsi rumahtangga juga dipengaruhi beberapa faktor antara lain: (a).
ekspektasi merupakan keadaan di masa mendatang; (b). jumlah penduduk dan (c).
tingkat harga (Sukirno 2001). Konsumsi merupakan bagian dari permintaan,
dimana konsumsi itu dibagi menjadi konsumsi langsung dan konsumsi tidak
langsung. Konsumsi tidak langsung digunakan untuk bahan olahan, sedangkan
konsumsi langsung digunakan sebagai makanan yang langsung dikonsumsi oleh
konsumen atau pemakai akhir (Ruchjana 1992 Priyanti et al 1997 dan Ariani
2003).
Teori konsumsi dilihat dari sudut pandang perilaku konsumen menurut
Putong (2003) pada dasarnya menjelaskan bagaimana konsumen
mendayagunakan sumberdaya yang ada (uang) dalam rangka memuaskan
keinginan, kebutuhan dari suatu atau beberapa produk. Penilaian kepuasan
umumnya bersifat subyektif, baik bagi pemakai langsung maupun bagi penilai.
Secara teori tingkah laku konsumen dalam upayanya memuaskan diri dapat
dijelaskan melalui dua teori nilai guna, yaitu nilai guna ordinal dan nilai guna
kardinal. Teori nilai guna kardinal memberikan penilaian subyektif akan
pemuasan kebutuhan dari suatu barang. Artinya, tinggi rendahnya suatu barang
tergantung pada subyek yang memberikan penilaian. Dengan kata lain, suatu
barang akan memberikan nilai guna yang tinggi bila barang yang dimaksud
memberikan nilai guna yang tinggi bagi si pemakai. Teori nilai guna ordinal
menjawab keraguan teori nilai guna kardinal dalma mengukur kepuasan. Asumsi
teori nilai guna ordinal adalah sebagai berikut: (1). Rasionalitas, konsumen akan
berusaha meningkatkan kepuasannya atau akan memilih tingkat kepuasan yang
tertinggi yang bisa dicapainya; (2). Konveksitas; semakin tinggi tingkat kepuasan,
36

maka semakin besar anggaran yang harus dikeluarkan untuk memperoleh


kepuasan tersebut; (3). Nilai guna tergantung pada jumlah barang yang
dikonsumsi; (4). Transitivitas, konsumen akan menjatuhkan pada pilihan terbaik
dan beberapa pilihan; (5). Kurva kepuasan tidak boleh bersinggungan atau saling
berpotongan.
Konsumsi adalah pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang
dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari
orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan masyarakat atas
makanan, pakaian, dan barang-barang kebutuhan mereka yang lain digolongkan
pembelanjaan atau konsumsi. Barang-barang yang diproduksi untuk digunakan
oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi
(Dumairy 2004).
Godam (2007) menyebutkan terdapat 3 penyebab perubahan konsumsi,
yaitu: 1. Penyebab Faktor Ekonomi, diantaranya: a. Pendapatan; Pendapatan yang
meningkat tentu saja biasanya otomatis diikuti dengan peningkatan pengeluaran
konsumsi; b. Kekayaan; Kekayaan secara eksplisit maupun implisit, sering
dimasukan dalam fungsi konsumsi agregat sebagai faktor yang menentukan
konsumsi; c.Tingkat Bunga; Bunga bank yang tinggi akan mengurangi tingkat
konsumsi yang tinggi karena orang lebih tertarik menabung di bank dengan bunga
tetap tabungan atau deposito yang tinggi dibanding dengan membelanjakan
banyak uang; d. Perkiraan Masa Depan; Orang yang was-was tentang nasibnya di
masa yang akan datang akan menekan konsumsi. 2. Penyebab Faktor Demografi,
terdiri dari: a. Komposisi Penduduk; Dalam suatu wilayah jika jumlah orang yang
usia kerja produktif banyak maka konsumsinya akan tinggi. Bila yang tinggal di
kota ada banyak maka konsumsi suatu daerah akan tinggi juga. Bila tingkat
pendidikan sumber daya manusia di wilayah itu tinggi-tinggi maka biasanya
pengeluaran wilayah tersebut menjadi tinggi; b. Jumlah Penduduk; Jika suatu
daerah jumlah orangnya sedikit sekali maka biasanya konsumsinya sedikit. Jika
orangnya ada sangat banyak maka konsumsinya sangat banyak pula. 3.
Penyebab/Faktor lain, berupa: a. Kebiasaan Adat Sosial Budaya; Suatu kebiasaan
di suatu wilayah dapat mempengaruhi tingkat konsumsi seseorang. Di daerah
yang memegang teguh adat istiadat untuk hidup sederhana biasanya akan
memiliki tingkat konsumsi yang kecil. Sedangkan daerah yang memiliki
kebiasaan gemar pesta adat biasanya memiliki pengeluaran yang besar; b. Gaya
Hidup Seseorang; Seseorang yang berpenghasilan rendah dapat memiliki tingkat
pengeluaran konsumsi yang tinggi jika orang itu menyukai gaya hidup yang
mewah dan gemar berhutang baik kepada orang lain maupun lembaga keuangan
bank (kredit). Perkembangan ekonomi yang terjadi mengakibatkan bertambahnya
variabel yang dapat mempengaruhi pengeluaran konsumsi selain hal di atas antara
lain: (1). Selera; (2). Faktor sosial ekonomi; (3). Keuntungan/kerugian kapital; (4).
Tingkat harga; (5). Barang tahan lama; (6). Kredit; (7). Inflasi; (8). Pendapatan
domestik regional bruto.
Teori konsumsi menurut Dornbusch, Stanley dan Richard (2008) yaitu
berupa teori konsumsi lanjutan dimana konsumsi seumur hidup (lifetime
consumption) berhubungan dengan pendapatan seumur hidup (lifetime income),
tapi hubungan konsumsi tahun ini dengan pendapatan tahun ini adalah cukup
lemah. Fungsi konsumsi pada hakekatnya dapat diturunkan dari maksimisasi
utilitas (kegunaan) dengan kendala pendapatan (jumlah pengeluaran). Dari syarat
37

maksimisasi dapat diturunkan fungsi konsumsi sebagai fungsi dari harga barang
dan pendapatan. Konsumsi suatu komoditas berdasarkan tujuannya dapat
dibedakan menjadi konsumsi dalam negeri dan pasar internasional. Pembahasan
difokuskan pada konsumsi dalam negeri. Konsumsi berdasarkan penggunaannya
dibedakan menjadi konsumsi langsung untuk pangan rumahtangga, dan konsumsi
tidak langsung untuk penggunaan antara, yaitu sebagai bahan baku sektor industri
pengolahan (Kustiari et al 2009). Bahasan mengenai konsumsi mencakup
perkembangan secara agregat dan per kapita serta faktor-faktor yang
mempengaruhi konsumsi dan proyeksi konsumsi.
Pengeluaran konsumsi masyarakat atau rumahtangga merupakan salah
satu variabel makro ekonomi. Pengeluaran konsumsi seseorang adalah bagian dari
pendapatan yang dibelanjakan. Apabila pengeluaran-pengeluaran konsumsi semua
orang dalam suatu negara dijumlahkan, maka hasilnya adalah pengeluaran
konsumsimasyarakat negara yang bersangkutan (Rahardja 2001 dalam Siregar
2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi adalah harga barang yang
bersangkutan, harga dan ketersediaan barang lain yang berkaitan, perkiraan akan
perubahan harga, pendapatan konsumen, harga riil barang itu sendiri di tingkat
konsumen dan produsen, produksi barang itu sendiri, selera, preferensi konsumen,
populasi penduduk nasional, pengeluaran periklanan dan sebagainya (Pappas
(1995) dan Handayani et al (2011). Berdasarkan teori-teori konsumsi yang telah
dikemukakan sebelumnya, maka konsumsi kedelai nasional dalam penelitian ini
dipengaruhi oleh variabel-variabel ekonomi seperti harga kedelai nasional,
penawaran kedelai nasonal, pendapatan nasional perkapita, harga dan kuantitas
impor kedelai, harga kedelai internasional, produktivitas kedelai nasional, nilai
tukar Rupiah terhadap US Dollar, serta tarif impor kedelai.

3.4 Teori Persamaan Simultan

Regresi linear klasik dicirikan oleh adanya variabel dependen Y


dipengaruhi oleh satu atau beberapa independen X, namun dalam bidang ekonomi
sering terjadi interdependensi, dimana bukan hanya X yang mempengaruhi Y,
bahkan Y juga bisa mempengaruhi X, sehingga terjadi suatu hubungan dua arah.
Dalam keadaan dimana terdapat beberapa variabel yang saling pengaruh-
mempengaruhi inilah digunakan model persamaan simultan (Simultaneous
Equation Model).
Menurut Chow (1964 dan 1968), model persamaan simultan baik
digunakan karena dua alasan sebagai berikut:
1. Sistem persamaan simultan merupakan suatu model yang cocok untuk banyak
aplikasi ekonomi.
2. Sistem persamaan simultan merumuskan suatu model stokastik yang cocok
untuk menguji teori ekonomi serta menguji hubungan ekonomi tersebut
dengan uji statistik.
Model persamaan simultan dapat memberikan suatu gambaran yang lebih
baik tentang dunia nyata dibandingkan dengan model persamaan tunggal, hal ini
karena variabel-variabel antara satu persamaan dengan persamaan lainnya dapat
berinteraksi satu sama lain. Sebuah model ekonomi biasanya mengandung
beberapa hubungan yang bersifat saling mempengaruhi yang digambarkan dalam
38

sebuah sistem persamaan. Model persamaan simultan ini dalam kenyataannya


dapat menjelaskan permasalahan ekonomi yang begitu kompleks, dimana ada
beberapa variabel didalam suatu persamaan mempunyai keterkaitan dengan
variabel yang sama, yang terdapat didalam persamaan lainnya atau dengan kata
lain peubah ekonomi mempunyai kaitan satu sama lain dan saling mempengaruhi.
Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk memperoleh nilai
taksiran dari parameter model persamaan tunggal. Salah satunya adalah metode
Kuadrat Terkecil (Ordinary Least Squares-OLS). Masalah yang kemudian muncul
adalah pendugaan dengan menggunakan metode OLS menjadi tidak berarti,
apabila model yang dibuat merupakan suatu persamaan simultan dimana pada
model ini berlaku hubungan dua arah yang membuat variabel bebas dan variabel
tak bebas menjadi tidak jelas atau dengan kata lain menjadi meragukan yang mana
sebenarnya variabel bebas dan variabel tak bebasnya. Hal ini terjadi karena model
persamaan simultan memiliki beberapa persamaan. Pada persamaan yang satu
suatu variabel dapat bertindak sebagai variabel yang bebas dan pada persamaan
yang lainnya variabel tersebut dapat juga bertindak sebagai variabel yang tak
bebas. Oleh karena itu, pemberian nama variabel bebas dan variabel tak bebas di
dalam sistem persamaan simultan sudah tidak tepat lagi. Sehingga untuk
selanjutnya dalam persamaan simultan akan ada yang namanya variabel endogen
dan variabel eksogen (Gujarati 2003).
Model persamaan simultan perlu metode yang lebih spesifik untuk
memperoleh penaksir dari parameter-parameternya sehingga yang dihasilkan
konsisten. Terdapat beberapa metode pendugaan dalam mengestimasi persamaan
simultan. Diantaranya adalah Metode Kuadrat Terkecil Tidak Langsung (Indirect
Least Squares-ILS), Kuadrat Terkecil Dua Tahap (Two Stage Least Squares-
2SLS), Kuadrat Terkecil Tiga Tahap (Three Stage Least Squares-3SLS),
Instrumental Variabel (IV), k - class estimator, Informasi Terbatas Kemungkinan
Terbesar (Limited Information Maximum Likelihood LIML), Informasi Penuh
Kemungkinan Terbesar (Full Information Maximum Likelihood FIML) dan lain
sebagainya (Gujarati, 2003).
Bentuk model persamaan simultan adalah sebagai berikut:
Y = + 11X1 21X2
X1 = 02 + 12Y
Persamaan ini memiliki harapan bahwa baik X 1 dan X2 adalah faktor yang
mempengaruhi Y. Sedangkan pada persamaan lainnya, memiliki harapan bahwa Y
adalah faktor yang mempengaruhi X1.Terlihat di kedua persamaan dapat
diharapkan bahwa antara Y dan X1 mempengaruhi satu sama lain.
Dua istilah yang dikenal dalam persamaan simultan berkenaan dengan
model yaitu Model Struktural dan Model Reduksi (reduced form). Model
struktural disebut juga model perilaku, mempunyai bentuk yang didasarkan pada
teori yang mendasarinya sehingga sesuai dengan perilaku atau struktur pasar yang
ada. Model struktural memiliki karakteristik yang terdiri dari variabel endogen
yang berada pada ruas kiri, dan di ruas kanan terdapat variabel eksogen dan
endogen. Model Reduksi adalah model struktural yang disederhanakan. Model ini
memiliki karakteristik yaitu semua variabel endogen berada di ruas kiri persamaan
dan semua variabel eksogen berada di ruas kanan persamaan (Gujarati 2003).
39

Setelah perumusan model, tahap berikutnya adalah identifikasi model.


Ada dua kemungkinan yang akan muncul pada tahap identifikasi model, yaitu:
1. Underidentified (tidak teridentifikasi), jika tidak ada cara menduga parameter
persamaan struktural dari persamaan model reduksi.
2. Identified (teridentifikasi), jika dapat memperoleh dugaan parameter
persamaan struktural dari persamaan model. Suatu persamaan struktural
dikatakan:
a. Exactly identified (terindikasi dengan tepat), jika diperoleh dugaan
parameter yang khas atau unik, menggunakan metode ILS (Indirect Least
Squares).
b. Over Identified (terindikasi berlebih), jika diperoleh dugaan parameter
persamaan struktural yang tidak khas (lebih dari satu nilai) dari persamaan
model reduksi, dengan metode 2SLS atau 3SLS.
Identifikasi model ditentukan berdasarkan order condition sebagai syarat
perlu dan rank condition sebagai syarat kecukupan, yaitu:
1. Order condition. Order condition digunakan untuk menentukan apakah
persamaan yang ada identified atau underidentified. Langkah-langkah dalam
order condition, yaitu:
a. Jika (K - M) > (G - 1) maka persamaan tersebut identified
b. Jika (K - M) < (G - 1) maka persamaan tersebut underidentified
dimana:
K = Total variabel dalam model (variabel endogen dan variabel predetermined)
M = Jumlah variabel yang dimasukkan dalam persamaan tertentu dalam model
G = Total persamaan dalam model, yaitu jumlah variabel endogen dalam model
2. Rank condition. Identifikasi melalui order condition hanya merupakan
prasyarat dasar tetapi belum merupakan prasyarat cukup (sufficient
condition). Melalui metode rank condition bisa memenuhi kedua prasyarat
identifikasi persamaan simultan. Rank condition digunakan untuk
mengidentifikasi persamaan yang setelah dilakukan uji order condition
menghasilkan kesimpulan dapat diidentifikasi dan selanjutnya dilihat apakah
persamaan tersebut exactly identified atau over identified.
Jika setidaknya satu determinan tidak sama dengan nol maka disimpulkan:
a) persamaan overidentified, jika (K - M) > (G - 1), dan b) persamaan exactly
identified, jika (K - M) = (G - 1). Selanjutnya jika semua determinan sama dengan
nol, maka persamaan underidentified.
Teori-teori yang digunakan sebagai konsep dalam penelitian ini,
sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, maka secara ringkas
disajikan pada Gambar 3.1.

Teori Produksi Teori Konsumsi


40

Variabel Endogen: Variabel Endogen:


1. Produksi Kedelai Nasional 1. Konsumsi Kedelai Nasional
2. Luas Area Tanam Kedelai 2. Harga Kedelai Nasional
Nasional 3. Harga Kedelai Impor
3. Produktivitas Kedelai 4. Kuantitas Impor Kedelai
Nasional 5. Penawaran Kedelai Nasional

Variabel Eksogen: Variabel Eksogen:


1. Harga jagung nasional 1. Pendapatan nasional perkapita
2. Teknologi 2. Harga Kedelai Internasional
3. Jumlah ketersediaan pupuk 3. Nilai Tukar Rupiah terhadap
urea US DOllar
4. Upah buruh tani kedelai 4. Tarif Impor Kedelai
5. Stok Kedelai Nasional
6. Kuantitas Ekspor Kedelai

Keterangan: = terdiri dari = mempengaruhi

Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual

3.4 Kerangka Pemikiran Operasional

Dinamika produksi dan konsumsi kedelai nasional selalu menunjukkan


defisit, sehingga untuk meningkatkan produksi kedelai, perlu diketahui ffaktor-
faktor apa saja yang mempengaruhi produksi dan konsumsi kedelai nasional.
Untuk menangkap adanya hubungan antara variabel yang mempengaruhi produksi
dengan variabel yang mempengaruhi konsumsi, maka dapat dilakukan analisis
simultan. Setelah itu, dilakukan prediksi produksi dan konsumsi kedelai nasional
di tahun yang akan datang. Kemudian, mengacu kepada peningkatan produksi,
maka perlu juga dianalisis bagaimana alternatif kebijakan alternatif yang dapat
dilakukan untuk peningkatan produksi kedelai nasional. Secara rinci hubungan
antar variabel ekonomi kedelai dengan produksi dan konsumsi kedelai nasional
dijelaskan sebagai berikut:

3.4.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Luas Area Tanam

Perluasan areal tanam dapat diupayakan melalui: (1) Memanfaatkan lahan


lebak dan pasang surut termasuk di kawasan pasang surut (2) Mengoptimalkan
lahan tidur dan lahan tidak produktif di pulau Jawa. Kedua pilihan di atas mutlak
harus di barengi dengan menerapkan teknologi produktivitas mengingat sebagian
besar lahan tersebut tidak subur untuk tanaman pangan (Alihamsyah, Muhrizal
dan Isdianto 2002). Kustiari et al (2009) mengemukakan areal tanam kedelai
dipengaruhi oleh luas area tanam tahun sebelumnya, harga komoditas itu sendiri,
serta harga komoditas alternatif lainnya, yang mana dalam penelitian ini harga
kedelai, harga jagung, harga singkong dan harga ubi jalar dalam skala nasional.
Selain itu, luas area tanam kedelai juga dipengaruhi oleh luas area total, dimana
kedelai merupakan tanaman yang hanya tumbuh di lahan sawah.
41

Upaya peningkatan produksi kedelai nasional dapat ditempuh dengan tiga


pendekatan, yaitu peningkatan produktivitas, peningkatan intensitas tanam, dan
perluasan areal tanam. Pemerintah telah mencanangkan Program Khusus Kedelai
Bangkit Kedelai atau Program Peningkatan Produksi Kedelai Nasional (P2KN).
Potensi lahan untuk perluasan kedelai di lahan sawah cukup besar. Daerah-daerah
yang pernah menjadi sentra produksi kedelai di era tahun 1980-1990-an terutama
merupakan lahan sawah di mana kedelai ditanam setelah musim tanam padi pada
MK-1 dan/atau MK-2. Telah tersedia inovasi teknologi produksi hasil penelitian
untuk mendukung pengembangan budidaya kedelai di lahan sawah di antaranya
melalui pengembangan varietas- varietas unggul kedelai yang sesuai di lahan
sawah yang sudah dihasilkan saat ini. Perkembangan harga kedelai yang baik saat
ini sangat memungkinkan dan merangsang petani untuk mau menanam kedelai
dan hal ini merupakan peluang perluasan penanaman kedelai di lahan sawah
(Rachman 2012).

3.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas

Produktivitas kedelai dipengaruhi oleh ekspor impor kedelai, ketika impor


kedelai semakin banyak, maka kedelai lokal akan semakin kalah saing dengan
kedelai impor, baik dari aspek harga maupun kualitas. Dampaknya, produksi
kedelai lokal akan menurun. Indonesia memiliki prospek pengembangan kedelai
di dalam negeri untuk menekan impor. Mengingat ketersediaan sumberdaya lahan
yang cukup luas, iklim yang cocok, teknologi yang telah dihasilkan, serta
sumberdaya manusia yang cukup terampil dalam usahatani. Disamping itu, pasar
komoditas kedelai masih terbuka lebar. Sehingga, dengan besarnya peluang
ekspor kedelai, akan membuat gairah petani semakin baik dalam meningkatkan
produksinya, karena harga kedelai ekspor lebih bagus daripada harga kedelai lokal
yang diterima petani. Upaya untuk menekan laju impor, salah satunya dapat
ditempuh melalui strategi peningkatan produktivitas.
Indonesia mempunyai potensi untuk meningkatkan produkivitas
kedelainya. Lebih banyak kedelai dapat diproduksi dengan menanam di luar
musim dengan sistem non-tradisionil, tumpangsari, dan penanaman di lahan
marjinal dimana tanaman lain sulit tumbuh. Cara-cara ini dapat di kombinasikan,
tetapi tumpangsari cocok terutama untuk Jawa, sedangkan cara-cara lainnya untuk
luar Jawa. Fluktuasi hasil produktivitas makin berkurang, disebabkan semakin
baiknya teknologi produksi di luar Jawa. Secara keseluruhan, ada kecenderungan
yang tetap mengenai peningkatan hasil per satuan hektar are (CGPRT Center
1986).
Produktivitas kedelai yang rendah tidak bisa membuat produksi
mencukupi kebutuhan kedelai lokal. Rendahnya produktivitas dan daya saing
kedelai yang diusahakan menyebabkan turunnya minat petani untuk
mengembangkan usaha budidaya kedelainya, sehingga dalam skala luas
mempengaruhi produktivitas nasional. Faktor dominan penyebab rendahnya
produktivitas tanaman pangan adalah (a) Penerapan teknologi budidaya di
lapangan yang masih rendah; (b) Tingkat kesuburan lahan yang terus menurun
(Adiningsih S dkk 1994), (c) Eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih
belum optimal (Gurdev S Kush 2002).
42

Upaya peningkatan produktivitas kedelai juga dipengaruhi oleh tingkat


kesejahteraan petani dalam berbudidaya suatu komoditas tertentu, termasuk dalam
hal ini, yaitu kedelai. Salah satu indikator kesejahteraan petani adalah Nilai tukar
Petani (NTP), yakni indeks rasio harga yang diterima dengan harga yang dibayar
oleh rumah tangga tani. Artinya, tingkat kesejahteraan petani dapat dilihat dari
tingkat pendapatannya melalui usaha budidaya tersebut. Pendapatan petani adalah
produktivitas tenaga kerja yang diukur sebagai nilai PDB per tenaga kerja di
sektor pertanian. Ukuran keberhasilan pertumbuhan pertanian dapat dilihat dari
tingkat pertumbuhan produksi komoditas pertanian. Kontribusi sektor pertanian
dalam pertumbuhan ekonomi nasional, dapat dilihat dari PDB nasional
(Departemen Pertanian 2006).
Produktivitas kedelai yang efisien, dipengaruhi juga oleh tenaga kerja.
Tenaga kerja akan merasa sejahtera ketika upah yang diterima dapat mencukupi
kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, tingkat efisiensi dalam penggunaan input
dan saprodi. Beberapa diantaranya dijabarkan oleh Departemen Pertanian (2007)
mengenai strategi pengembangan sistem produksi kedelai dapat ditempuh melalui
penerapan teknologi budidaya tepat guna, pemanfaatan lahan yang masih luas
untuk perluasan areal tanam kedelai, baik sebagai tanaman utama maupun
tanaman sela, penyediaan kredit lunak yang mudah diakses petani, penyediaan
kredit dan pendampingan untuk penerapan teknologi PTT, penanaman kedelai
pada Musim Kering di lahan tidur, pelatihan penyuluh dalam identifikasi dan
penanggulangan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) serta anomali iklim.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas secara ringkas yaitu harga
output, dalam hal ini merupakan harga kedelai itu sendiri, harga input tidak tetap,
seperti upah tenaga kerja, harga teknologi yang digunakan, namun karena data
harga teknologi tidak dipublikasikan dan biasanya bersifat confidential
perusahaan, penggunaan teknologi, sumberdaya manusia, iklim, perdagangan
kedelai, NTP, serta pelatihan dan penyuluhan.

3.4.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi

Faktor yang mempengaruhi konsumsi kedelai nasional berdasarkan hasil


penelitian Ariani (2003), Kustiari et al (2009) dan Adetama (2011) serta
Handayani et al (2011) yaitu harga kedelai nasional, pendapatan per kapita,
jumlah penduduk, harga kedelai impor dan kuantitas kedelai impor, serta harga
komoditas substitusinya, yang utama adalah umbi-umbian dan jagung. Secara
ringkas dibuktikan oleh hasil penelitian tersebut bahwa ketika harga kedelai impor
meningkat, maka harga kedelai dalam negeri juga meningkat. Namun
permasalahannya adalah harga kedelai dalam negeri lebih tinggi dibanding harga
kedelai impor, sehingga, konsumen industri maupun rumahtangga cenderung
membeli kedelai impor yang kualitasnya juga lebih bagus dibanding kedelai lokal.
Untuk itu, kuota impor kedelai seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah,
agar masuknya kedelai impor bisa dibatasi dan tidak melebihi jumlah produksi
kedelai nasional. Dengan begitu, harga kedelai impor akan semakin melambung
karena jumlah ketersediaannya di dalam negeri semakin sedikit. Implikasinya
adalah permintaan akan kedelai di dalam negeri akan berpindah pada kedelai
lokal, sehingga dengan harga kedelai lokal yang sama dengan harga kedelai impor
43

akan membuat petani kedelai semakin bergairah untuk meningkatkan


produktivitas usahatani kedelainya. Untuk itu, diperlukan analisis mengenai
tingkat perkembangan harga kedelai yang selalu bergejolak di Indonesia dan
selalu dipengaruhi oleh harga kedelai dunia. Perilaku tingkat perubahan harga
kedelai dapat dilihat dari suatu indeks harga.
Kenaikan harga-harga yang terjadi dari satu periode ke periode lainnya
tidak berlaku secara seragam. Kenaikan tersebut biasanya berlaku untuk banyak
komoditas pertanian, tetapi kenaikannya berbeda antar komoditas. Berlakunya
tingkat perubahan harga yang berbeda tersebut menyebabkan perlunya indeks
harga dibentuk untuk menggambarkan tingkat perubahan harga yang berlaku
dalam suatu wilayah pada periode tertentu. Indeks Harga Konsumen merupakan
salah satu indikator ekonomi yang populer digunakan untuk mengukur tingkat
perubahan harga dan tingkat inflasi (Rizqal 2010).
Konsumsi kedelai oleh masyarakat Indonesia dipastikan akan terus
meningkat setiap tahunnya mengingat beberapa pertimbangan seperti:
bertambahnya populasi penduduk, peningkatan pendapatan per kapita, dan
kesadaran masyarakat akan gizi makanan. Sehingga tingkat konsumsi masyarakat
terhadap jenis makanan berupa kacang-kacangan juga dipengaruhi oleh
ketersediaan jenis makanan lain seperti umbi-umbian dan jagung. Karena pola
fikir masyarakat Indonesia saat ini dalam hal kandungan gizi dalam makanan
sudah lebih baik. Sebagai contoh dalam penelitian Arini (2003) dikatakan bahwa
dahulu masyarakat cenderung mengkonsumsi makanan dengan kandungan
dominan karbohidrat, karena lebih cepat mengenyangkan. Namun sekarang
masyarakat Indonesia cenderung mengkonsumsi makanan yang kandungan
gizinya dominan protein nabati, karena khasiat bagi kesehatan lebih baik.
Konsumsi kedelai tidak ada batas maksimal karena dapat dikategorikan
sebagai pangan fungsional. Artinya pangan yang boleh dikonsumsi tanpa takaran
saji, berapapun boleh dikonsumsi, yang menentukan nantinya adalah selera
(Diennazola dan Ratna 2011)4. Hal ini juga ditunjang oleh sasaran pembangunan
kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 adalah prilaku hidup sehat yang salah
satunya meningkatnya jumlah penduduk dengan gizi seimbang.
Data Departemen Kesehatan tahun 1999 dalam Nurmalita (2011),
menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia yang mengalami perimenopouse akan
bertambah jumlahnya hingga 80 juta orang pada tahun 2025. Implikasinya adalah
pada pola hidup masyarakat yang semakin natural, dimana salah satunya adalah
mengkonsumsi kedelai yang juga sering dikampanyekan mengenai manfaat
kedelai yang begitu banyak untuk kesehatan, diantaranya untuk anti oksidan,
meningkatkan daya tahan tubuh, mereduksi kadar kolestrol dalam darah,
mengobati penyakit semacam ginjal dan impotensi, menghaluskan kulit,
menyuburkan rambut, mengurangi potensi penuaan dini, pembentukan kecerdasan
genetik manusia khususnya anak-anak, menanggulangi penyakit diabetes, dan
sebagainya.

4) Diennazola, Renda dan Ratna B. Wulandari. 2011. Sehat dengan Cara Murah ? Kedelai! [Artikel].
Tabloid Agrina 9 Mei 2011. http://www.agrina-online.com/redesign2.php?rid=12&aid=2985
3.5 Model Persamaan Simultan
44

Model persamaan simultan dalam penelitian ini berdasarkan teori-teori dan


penelitian-penelitian terdahulu mengenai dinamika produksi dan konsumsi kedelai
nasional dan variabel-variabel yang mempengaruhinya. Produksi kedelai nasional
dipengaruhi oleh luas area dan produktivitas kedelai nasional.
Luas area dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti harga kedelai nasional di
tingkat produsen, harga benih kedelai dan harga jagung (produk substitusi) dan
luas area tanam kedelai pada tahun sebelumnya. Produktivitas itu sendiri
dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti jumlah ketersediaan benih kedelai,
pupuk urea dan tenaga kerja, harga kedelai dan jagung nasional, upah buruh, dan
produktivitas tahun sebelumnya. Terlihat bahwa harga kedelai dan jagung nasional
sama-sama mempengaruhi produksi kedelai nasional.
Konsumsi kedelai nasional dipengaruhi oleh konsumsi kedelai nasional
per kapita dan jumlah penduduk nasional, sehingga diperoleh konsumsi kedelai
nasional total. Konsumsi kedelai nasional per kapita tentunya dipengaruhi oleh
konsumsi kedelai nasional per kapita tahun sebelumnya, harga kedelai dan jagung
nasional, pendapatan nasional dan jumlah penduduk Indonesia, serta harga dan
kuantitas kedelai impor. Terlihat bahwa harga kedelai dan jagung nasional sama-
sama mempengaruhi area tanam, produktivitas, produksi dan konsumsi kedelai
per kapita.
Variabel harga merupakan variabel yang selalu turut serta dalam perdagangan
kedelai nasional maupun internasional. Model persamaan simultan dari sisi
perdagangan ini terbagi menjadi model fungsi harga kedelai nasional, kuantitas
ekspor dan impor kedelai, serta harga kedelai impor. Fungsi harga kedelai nasional
dipengaruhi oleh harga dan kuantitas impor kedelai, harga kedelai nasional tahun
sebelumnya dan produktivitas kedelai nasional.
Kuantitas ekspor kedelai dipengaruhi oleh harga kedelai internasional,
produksi kedelai nasional, juga harga dan kuantitas ekspor. Selanjutnya, kuantitas
impor kedelai dipengaruhi oleh harga kedelai internasional, produksi dan
konsumsi total, jumlah penduduk dan kuantitas impor tahun sebelumnya. Fungsi
harga kedelai impor dipengaruhi juga oleh harga kedelai internasional, nilai tukar
rupiah, tarif impor dan harga kedelai impor tahun sebelumnya. Secara operasional,
model persamaan simultan ekonomi kedelai secara operasional disajikan pada
Gambar 3.2.

Keterangan: = variabel endogen =variabel eksogen


= fungsi = variabel lag endogen
Gambar 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Produksi dan Konsumsi Kedelai
Nasional
Definisi variabel operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
45

1. Luas area kedelai nasional tahun ke-t adalah luas lahan atau area tanam
kedelai nasional pada tahun berjalan (LATKN).
2. Harga kedelai nasional tahun ke-t adalah harga kedelai nasional di tingkat
produsen tahun berjalan (HKN).
3. Harga jagung nasional tahun ke-t adalah harga jagung nasional pada tahun
berjalan (HJN).
4. TREN merupakan variabel dummy dari teknologi pada tahun ke-t
(TREN).
5. Luas area tanam kedelai tahun ke t-1 adalah luas area tanam kedelai tahun
sebelumnya (LLATKN).
6. Produktivitas kedelai nasional tahun ke-t adalah produksi kedelai nasional
per satuan hektar are pada tahun berjalan (PRKN).
7. Jumlah ketersediaan pupuk urea tahun ke-t adalah jumlah pasokan pupuk
urea pada tahun berjalan (JKPU).
8. Upah buruh tani tahun ke t-1 adalah upah buruh tani kedelai pada tahun
sebelumnya (LUBTK).
9. Produktivitas kedelai nasional tahun ke t-1 adalah produksi kedelai
nasional per satuan hektar are pada tahun sebelumnya (LPRKN).
10. Konsumsi total kedelai nasional tahun ke-t adalah konsumsi kedelai
nasional tahun berjalan (KKNt).
11. Harga kedelai nasional tahun ke-t adalah harga kedelai di tingkat produsen
pada tahun berjalan (HKN).
12. Penawaran kedelai nasional tahun ke-t adalah produksi kedelai nasional
ditambah kuantitas impor kedelai dan stok kedelai tahun sebelumnya
dikurangi kuantitas ekspor kedelai pada tahun berjalan (SKN).
13. Pendapatan nasional tahun ke t-1 adalah pendapatan nasional per kapita
yang merupakan pendapatan nasional total dibagi dengan jumlah penuduk
Indonesia pada tahun sebelumnya (LPNPK).
14. Harga kedelai impor tahun ke-t adalah harga kedelai impor pada tahun
berjalan (HKI).
15. Kuantitas impor kedelai tahun ke-t adalah kuantitas kedelai impor pada
tahun berjalan (KIK).
16. Konsumsi total kedelai nasional tahun ke t-1 adalah konsumsi kedelai
nasional tahun berjalan (LKKN).
17. Harga kedelai nasional tahun ke t-1 adalah harga kedelai nasional di
tingkat produsen tahun berjalan (LHKN).
18. Harga kedelai internasional tahun ke-t adalah harga kedelai dunia
berdasarkan harga kedelai di negara USA tahun berjalan (HKIN)
19. Nilai tukar Rupiah terhadap $ US tahun ke-t adalah nilai tukar 1 $ US
terhadap Rupiah pada tahun berjalan (ER).
20. Harga kedelai impor tahun ke t-1 adalah harga kedelai impor pada tahun
sebelumnya (LHKI).
21. Tarif impor kedelai tahun ke-t adalah bea masuk atau tarif impor kedelai
pada tahun berjalan (TIK).
22. Produksi kedelai nasional tahun ke-t adalah produksi kedelai nasional pada
tahun berjalan (PKN).
23. Stok kedelai nasional tahun ke-t adalah ketersediaan kedelai nasional
tahun sebelumnya (SK)
46

24. Kuantitas ekspor kedelai tahun ke-t adalah kuantitas kedelai ekspor pada
tahun berjalan (KEK).
47

26.
28.
30.
32.
33.
LATKN
24. t
25.
Dimana :
LATKNt
31.
HKN
29. t
HJN
27. t
TRENt

IV METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Sumber Data


Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang
merupakan data time series tahunan pada Lampiran 2a, 2b dan 2c. Secara rinci
variabel data dan sumbernya dijelaskan dalam Lampiran 3. Penelitian
dilaksanakan mulai bulan Juli tahun 2012 sampai dengan Agustus tahun 2013.

4.2 Metode Analisis

Hubungan antara produksi dan konsumsi kedelai nasional serta variabel-


variabel yang mempengaruhinya perlu dibentuk suatu model persamaan simultan.
Model ini dicirikan dengan adanya saling keterkaitan antara variabel-variabel
ekonomi, sehingga dalam model akan dijumpai lebih dari satu persamaan. Pada
persamaan simultan, terdapat suatu model dimana terdapat saling keterkaitan antar
variabel yang ada dalam model. Diharapkan melalui penyelesaian suatu
persamaan yang ada dalam model itu, diperoleh koefisien-koefisien persamaan
simultan, dimana pemilihan model yang telah dilakukan sebanyak 16 kali
respesifikasi, yang terdiri dari 2 persamaan identitas dan 6 persamaan struktural.
Analisis simultan dilakukan dengan bantuan komputer yaitu menggunakan
program software SAS 9.1. Secara rinci model penelitian sebagai berikut:
4.2.1 Produksi
PKNt = LATKNt * PRKNt .....(1)
Dimana : = produksi kedelai nasional pada tahun ke-t (ton)
PKNt
LATKNt = luas area tanam kedelai nasional tahun ke-t (ha)
PRKNt = produktivitas kedelai pada tahun ke-t (ton/ha)
Fungsi Luas Area Tanam Kedelai
= a0 + a1HKNt + a2HJNt + a3TRENt + a4LATKNt-1 + 1 .(2)

= luas area tanam kedelai nasional pada tahun ke-t (ha)


= harga kedelai nasional di tingkat produsen pada tahun ke-t (Rp/ton)
= harga jagung nasional pada tahun ke-t (Rp/ton)
= dummy yang menggambarkan teknologi yang digunakan
LATKNt-1 = luas area tanam kedelai nasional pada tahun sebelumnya (ha)
a0 = intersep
ai = dugaan parameter (i = 1, 2, 3, 4)
1 = peubah pengganggu
Nilai parameter yang diharapkan a1, a3 > 0; a2 < 0; 0 < a4 < 1
Fungsi Produktivitas Kedelai Nasional
48

PRKNt = b0 + b1JKPUt + b2UBTKt-1 + b3LATKNt + b4PRKNt-1 + 2...(3)


Dimana :
PRKNt = produktivitas kedelai nasional pada tahun ke-t (ton/ha)
JKPUt = jumlah ketersediaan pupuk urea pada tahun ke-t (ton/ha)
UBTKt-1 = upah buruh tani kedelai tahun sebelumnya (Rp)
LATKNt = luas area tanam kedelai nasional tahun ke-t (ha)
LPRKNt-1 = produktivitas kedelai nasional tahun sebelumnya (ton/ha)
b0 = intersep
bi = dugaan parameter (i = 1, 2, 3, 4)
2 = peubah pengganggu
Nilai parameter yang diharapkan b1, b3 > 0; b2 < 0; 0 < b4 < 1 4.2.2
Impor
Fungsi Harga Kedelai Impor
HKIt = e0 + e1HKINt + e2HKNt + e3ERt + e4HKIt-1 + 3 ...(4)

Dimana:
HKIt = harga kedelai impor pada tahun ke-t (Rp/ton)
HKINt = harga kedelai internasional tahun ke-t (US $/ton)
HKNt = harga kedelai nasional tahun ke-t (Rp/ton)
ERt = nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar (Rp./US $)
HKIt-1 = harga kedelai impor tahun sebelumnya (Rp/ton)
e0 = intersep
ei = dugaan parameter (i = 1, 2, 3, 4)
3 = peubah pengganggu
Nilai parameter yang diharapkan e1, e2 > 0; e3 < 0; 0 < e4 < 1
Fungsi Kuantitas Impor Kedelai
KIKt = f0 + f1HKNt- + f2TIKt + f3HKIt + 4 .........................(5)

Dimana:
KIKt = kuantitas impor kedelai pada tahun ke-t (ton)
HKNt = harga kedelai nasional pada tahun ke-t (Rp/ton)
TIKt = tarif impor kedelai pada tahun ke-t (persen/tahun)
HKIt = harga kedelai impor pada tahun ke-t (Rp/ton)
f0 = intersep
fi = dugaan parameter (i = I, 2, 3)
4 = peubah pengganggu
Nilai parameter yang diharapkan f1, f3 > 0; f2 < 0
4.2.3 Penawaran
Fungsi Penawaran Kedelai Nasional
SKNt = PKNt + KIKt + SKt - KEKt ......................................................(6)
Dimana:
SKNt = penawaran kedelai nasional pada tahun ke-t (ton)
PKNt = produksi kedelai nasional pada tahun ke-t (ton)
KIKt = kuantitas impor kedelai pada tahun ke-t (ton)
SKt = stok kedelai pada tahun ke-t (ton)
KEKt = kuantitas ekspor kedelai pada tahun ke-t (ton)
49

KKNt

4.2.4 Konsumsi
Fungsi Konsumsi Kedelai Nasional
= c0 + c1HKNt + c2SKNt + c3PNPKt-1 + c4HKIt + c5KIKt + c6KKNt-1 + 5(7)
Dimana:
KKNt = konsumsi total kedelai nasional pada tahun ke-t (ton)
HKNt = harga kedelai nasional di tingkat produsen pada tahun ke-t (Rp/ton)
SKNt = penawaran kedelai nasional pada tahun ke-t (ton)
PNPKt-1 = pendapatan nasional per kapita pada tahun sebelumnya (Rp/tahun)
HKIt = harga kedelai impor pada tahun ke-t (Rp/ton)
KIKt = kuantitas impor kedelai pada tahun ke-t (ton)
KKNt-1 = konsumsi total kedelai nasional pada tahun sebelumnya (ton)
c0 = intersep
ci = dugaan parameter (i = 1, 2, 3, 4, 5, 6)
5 = peubah pengganggu
Nilai parameter yang diharapkan c2, c3, c4 > 0; c1, c5 < 0; 0 < c6 < 1
4.2.5 Harga
Fungsi Harga Kedelai Nasional
HKNt = d0 + d1KKNt + d2HKIt + d3SKNt + d4KIKt + d5HKNt-1 + 6.........................(8)
Dimana:
HKNt = harga kedelai nasional tahun ke-t (Rp/ton)
KKNt = konsumsi total kedelai nasional pada tahun ke-t (ton)
PRKNt = produktivitas kedelai nasional pada tahun ke-t (ton/ha)
HKIt = harga kedelai impor pada tahun ke-t (Rp/ton)
SKNt = penawaran kedelai nasional pada tahun ke-t (ton)
HKNt-1 = harga kedelai nasional di tingkat produsen pada tahun sebelumnya
(Rp/ton)
d0 = intersep
di = dugaan parameter (i = 1, 2, 3, 4, 5)
6 = peubah pengganggu
Nilai parameter yang diharapkan d1, d2, d4 > 0; d3 < 0; 0 < d5 < 1

4.3 Penentuan Model

Penentuan model berdasarkan kriteria statistik secara umum, yaitu


penilaian terhadap slope koefisien (F-value) yang berarti paling tidak ada 1
variabel bebas yang mempengaruhi secara nyata terhadap variabel terikat, nilai
signifikansi yaitu Prob > [T], dan nilai kesesuaian model atau goodness of fit (R2),
serta penilaian terhadap autokorelasi (DW atau DH statistik), dimana DH-stat jika
terdapat lag endogen dalam suatu model. Terlepas dari ada tidaknya masalah serial
korelasi yang serius, Pindyck dan Rubinfield (2008) membuktikan bahwa masalah
serial korelasi hanya mengurangi ke-efisiensi-an estimasi parameter dan serial
korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi.
50

4.4 Metode Peramalan

Peramalan produksi dan konsumsi kedelai nasional dilakukan selama


periode 2013 2020. Metode peramalan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 2SLS, dengan beberapa pertimbangan yaitu: penerapan 2SLS
menghasilkan penafsiran yang konsisten, lebih sederhana dan lebih mudah,
sedangkan metode 3SLS dan FIML menggunakan informasi yang lebih banyak
dan lebih sensitif terhadap kesalahan spesifikasi model, sedangkan OLS tidak
dapat digunakan dalam peramalan dengan persamaan ssimultanis (Gujarati 2003).

4.5 Analisis Simulasi Kebijakan

Simulasi dilakukan untuk menghasilkan alternatif kebijakan dalam


meningkatkan produksi kedelai nasional. Untuk melihat pengaruh perubahan
dampak kebijakan dan faktor ekonomi terhadap keragaan produksi kedelai dalam
penelitian digunakan simulasi. Simulasi kebijakan dibuat untuk menentukan
alternatif apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi kedelai
nasional, dimana produksi kedelai nasional yang digunakan adalah sesuai hasil
peramalan yang dilakukan dalam penelitian ini.
Kebijakan alternatif dibuat berdasarkan uraian permasalahan serta hasil
estimasi parameter, untuk meningkatkan produksi sebesar hasil proyeksi produksi
dan konsumsi yang dilakukan, dengan justifikasi bahwa jika produksi sama
dengan konsumsi, maka Indonesia akan dapat berswasembada kedelai. Sehingga
simulasi kebijakan yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Simulasi pertama : LATKN naik 5 10 persen.
2. Simulasi kedua : HKI naik 15 100 persen.
3. Simulasi ketiga : HKN naik 15 100 persen
51

V HASIL DAN PEMBAHASAN

Kriteria-kriteria statistika yang umum digunakan dalam mengevaluasi hasil


estimasi model cukup meyakinkan. Seluruh nilai persamaan perilaku memiliki
2
koefisien determinasi adjusted (R ) antara 75 98 persen, artinya, goodness of fit
antara data dengan model adalah baik, karena nilai koefisien determinasinya
mendekati angka satu. Secara umum model yang dianalisis dalam penelitian ini
memiliki rata-rata 80 persen lebih variasi dari variabel -variabel independen yang
dapat menerangkan dengan baik atas prediksi dari variabel dependennya.
Proses respesifikasi disajikan dalam Lampiran 6a, sedangkan rekapitulasi
perangkingan hasil respesifikasi disajikan dalam Lampiran 6b, dimana hasil
output SAS disajikan dalam Lampiran 8a dan 8b, masing-masing persamaan
perilaku tersebut dijelaskan secara detil sebagai berikut:

5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Kedelai Nasional

Jumlah produksi kedelai di Indonesia di peroleh dari perhitungan antara


luas area tanam kedelai yang dikalikan dengan produktivitasnya, sehingga untuk
mengetahui keragaan produksi kedelai juga melalui fungsi perkalian antar kedua
variabel tersebut, seperti pada hasil penelitian oleh Sastra et al (2012) bahwa
produksi kedelai nasional dipengaruhi oleh produktivitas dan luas area tanam
kedelai nasional, serta kebijakan impor seperti tarif dan harga impor kedelai, dan
teknologi. Luas area tanam dipengaruhi oleh variabel seperti harga kedelai
nasional, harga jagung nasional, serta harga benih kedelai nasional. Sedangkan
produktivitas kedelai nasional dipengaruhi oleh jumlah ketersediaan benih kedelai
nasional, jumlah ketersediaan pupuk urea, upah buruh tani kedelai, serta luas area
tanam kedelai itu sendiri. Berikut secara rinci keragaan dari luas area tanam dan
produktivitas kedelai nasional yang dipengaruhi berbagai variabel bebas yang
mana fungsi kedua variabel tersebut mempengaruhi produksi kedelai.

5.1.1 Keragaan Luas Area Tanam Kedelai Nasional

Hasil estimasi menunjukkan bahwa luas area tanam kedelai nasional


(LATKN) dipegaruhi secara signifikan oleh harga kedelai nasional (HKN), harga
jagung nasional (HJN) dan teknologi, serta luas area tanam kedelai nasional tahun
sebelumnya (LLATKN) pada taraf nyata 1, 5 dan 10 persen. Penelitian
sebelumnya oleh Sastra et al (2012) juga menyimpulkan bahwa luas area tanam
kedelai nasional secara nyata dipengaruhi oleh tingkat konsumsi dan luas area
tahun sebelumnya. Begitupun hasil penelitian Zakiah (2011) mengenai keragaan
luas area tanam kedelai dipengaruhi secara nyata oleh harga kedelai, harga pupuk
urea, harga jagung dan luas area tanam sebelumnya, begitupun hasil penelitian
oleh Kumenaung (1994) bahwa LATKN dipengaruhi oleh HKN HJN, tingkat
suku bunga, UBTK, harga faktor produksi kedelai lainnya.
52

Hasil estimasi yang disajikan dalam Tabel 5.1 menunjukkan bahwa


perubahan luas area tanam responsif terhadap luas area tanam pada tahun
sebelumnya, namun dinamika teknologi menunjukkan bahwa ketika dalam jangka
panjang, teknologi akan mempengaruhi luas area secara negatif, artinya ketika
teknologi semakin baik, justru akan mengurangi luas area tanam, namun dalam
jangka pendek perubahan teknologi berhubungan positif dengan perubahan luas
area. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ketika adopsi teknologi secara terus
menerus akan menambah biaya produksi, sehingga untuk mensiasatinya, petani
mengurangi luas area tanam, guna menekan biaya produksi.
Berbeda dengan hasil penelitian Kumenaung (2002), dimana respon
LATKN dalam jangka pendek dan jangka panjang elastis terhadap harga kedelai
di tingkat petani di luar Jawa, berbeda juga dengan hasil penelitian oleh
Handayani (2007) bahwa harga kedelai lokal dan jagung lebih responsif terhadap
luas area dalam jangka panjang dan jangka pendek, dibanding curah hujan, harga
benih kedelai dan lag luas area, lain halnya penelitian oleh Setiabakti (2013)
bahwa luas area panen resonsif terhadap perubahan harga dan upah baik jangka
panjang dan jangka pendek. Secara rinci Tabel 5.1 menunjukkan hasil estimasi
dari model luas area tanam kedelai nasional.

Tabel 5.1 Hasil Estimasi Parameter LATKN

Variabel Parameter Elastisitas Pr > |T| Varibel Label


Estimasi SR LR
Intercep 62.327 0.121
HKN 0.068 0.093 0.100 0.0175 harga kedelai nasional
HJN -0.213 -0.164 -0.136 0.0100 harga jagung nasional
TREN 3.756 0.120 -0.044 0.077 teknologi
LLATKN 0.874 0.879 6.979 <.0001 luas area tanam kedelai nas t-1
R2 adj = 86% Pr>|F| <.0001 Durbin-H stat = -1.112

Tabel 5.1 menyimpulkan bahwa luas area kurang responsif terhadap faktor
pembentuknya. Hal tersebut, artinya harga maupun teknologi tidak berpengaruh
secara nyata terhadap perubahan luas area. Hal tersebut juga mengindikasikan
adanya intervensi pemerintah dalam perluasan area tanam kedelai nasional,
misalnya dengan memanfaatkan lahan bera (lahan tidur), membuka lahan bekas
perkebunan sawit, serta membatasi terjadinya konversi lahan. Seperti yang di
kemukakan oleh Suyamto dan I Nyoman (2010) bahwa perluasan area dapat
dilakukan melalui peningkatan IP (Intensitas Pertanaman) pada lahan-lahan
tersedia yang baru ditanam 2 kali padi dan/atau 1 kali padi kemudian bera, seperti
pada lahan sawah irigasi di sepanjang pantura Jawa Barat dan pada lahan sawah
tadah hujan di Sulawesi. Cara ini dinilai lebih mudah dan murah, namun
diperlukan gerakan secara nyata di lapangan. Kedua, penanaman kedelai pada
lahan-lahan di bawah tegakan, dan bermitra dengan PT. Perhutani, PT.
Perkebunan, Hutan Tanaman Industri, KOPTI dan Swasta. Ketiga, perluasan areal
panen kedelai di daerah-daerah bukaan baru, termasuk peluang swasta untuk
membuka perkebunan kedelai (soybean estate) di Merauke. Tentunya hal tersebut
53

memerlukan gairah petani dalam berbudidaya kedelai yang lebih intens, serta
intervensi pemerintah sebagai fasilitator untuk kemitraan serta program
pembukaan lahan baru.

5.1.2 Keragaan Produktivitas Kedelai Nasional

Produktivitas kedelai nasional (PRKN) dipengaruhi oleh jumlah kuantitas


pupuk urea (JKPU), upah buruh tani kedelai nasional pada tahun sebelumnya
(LUBTK), luas area tanam kedelai nasional (LATKN) dan produktivitas kedelai
nasional itu sendiri pada tahun sebelumnya (LPRKN) pada taraf nyata 1 dan 5
persen. Namun, hasil penelitian Zakiah (2011) memperlihatkan keragaan
produktivitas yang dipengaruhi secara nyata oleh harga pupuk, teknologi dan
produktivitas sebelumnya, secara tidak nyata dipengaruhi oleh harga kedelai,
sedangkan hasil penelitian oleh Handayani (2007) menunjukkan bahwa PRKN
dipengaruhi oleh JKPU, HJN, HKN, curah hujan, LPRKN, sama hal nya dengan
Kumenaung (2002) namun ditambahkan variabel penjelas suku bunga dan
LATKN.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa seluruh peubah penjelas tidak
responsif terhadap produktvitas, kecuali LPRKN, hal ini dikarenakan
perkembangan produktivitas relatif stabil. Begitupun hasil penelitian oleh Zakiah
(2011), menunjukkan elastisitas jangka pendek dan jangka panjang produktivitas
kedelai tidak respon terhadap semua peubah penjelas yang dimasukkan dalam
model, begitupun hasil penelitian oleh Setiabakti (2013) bahwa produktivitas
relatif stabil, artinya kurang responsif terhadap faktor-faktor pembentuknya, sama
hal nya dengan hasil penelitian Kumenaung (2002) menunjukkan bahwa
mempengaruhi produktivitas kedelai memberikan respon yang inelastis dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam penelitian ini hasil estimasi
menunjukkan bahwa lag produktivitas tahun sebelumnya (LPRKN) lebih
responsif terhadap PRKN pada jangka panjang, dimana ketika LPRKN
meningkat 1 persen, maka PRKN dalam jangka panjang akan meningkat sebesar
4.6 persen. Secara rinci penjelasan mengenai hasil estimasi parameter model
PRKN disajikan dalam Tabel 5.2 berikut.

Tabel 5.2 Hasil Estimasi Parameter PRKN

Variabel Parameter Elastisitas Pr > |T| Varibel Label


Estimasi SR LR
Intercept 0.116 0.005
JKPU 0.00003 0.072 0.072 0.007 jumlah ketersediaan pupuk urea
LUBTK -0.00003 -0.013 -0.013 0.081 upah buruh tani kedelai t-1
LATKN 0.00003 0.025 0.025 0.053 luas area tanam kedelai nas
LPRKN 0.822 0.814 4.575 <.0001 provitas kedelai nasional t-1
R2 adj = 98% Pr>|F| <.0001 Durbin-H stat = -1.270
54

Tabel 5.2 menyimpulkan bahwa perubahan produktivitas relatif stabil,


artinya semua variabel penjelas tidak responsif terhadap perubahan PRKN,
kecuali peubah LPRKN dalam jangka panjang lebih responsif. Hal ini sedikit
berbeda dari hasil penelitian oleh Handayani (2007) yang menunjukkan bahwa
produktivitas lebih responsif terhadap harga jagung pada jangka panjang. Relatif
stabilnya produktivitas kedelai nasional, serta tidak adanya variabel penjelas yang
responsif terhadap perubahan PRKN mengindikasikan bahwa perubahan PRKN
tergantung dari gairah petani dalam berbudidaya kedelai, dimana ketika PRKN
meningkat pada tahun sebelumnya, maka PRKN tahun berikutnya akan meningkat
juga.

5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Kedelai

Penelitian ini membahas impor dari keragaan kualitas dan harga kedelai
impor, begitupun penelitian yang dilakukan oleh Hadipurnomo (2000)
Kumenaung (2002) bahwa impor dapat dilihat dari sisi harga, tarif, exchange rate.
Secara rinci keragaan kuantitas impor kedelai dan keragaan harga kedelai impor
sebagai berikut:

5.2.1 Keragaan Harga Kedelai Impor

Harga Kedelai Impor (HKI) dipengaruhi secara signifikan oleh Harga


Kedelai Internasional (HKIN), Harga Kedelai Nasional (HKN), Nilai tukar
Rupiah terhadap US $ atau Exchange Rate (ER), serta Harga Kedelai Impor tahun
sebeluumnya (LHKI) pada taraf nyata 1 dan 10 persen. Sebagaimana penelitian
terdahulu oleh Handayani (2007) bahwa harga kedelai impor dipengaruhi oleh
harga kedelai internasional, exchange rate, tarif impor kedelai, lag harga kedelai
impor.
Tabel 5.3 memperlihatkan bahwa HKI responsif terhadap HKIN dan LHKI
dengan sifat elastis saat jangka panjang. Ketika LHKI meningkat 1 persen, maka
HKI akan meningkat sebesar 1.5 persen, sedangkan ketika HKIN meningkat 1
persen, maka HKI akan meningkat sebesar 1.03 persen. Hal yang berbeda
diperlihatkan dari hasil penelitian oleh Handayani (2007) bahwa tidak ada
satupun variabel penjelas yang memberikan respon elastis kepada harga kedelai
impor. Begitupun juga dengan hasil penelitian oleh Kumenaung (2002) bahwa
harga kedelai internasional dan tarif impor memberikan respon yang inelastis
terhadap harga kedelai impor baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Secara rinci, hasil estimasi parameter model HKI disajikan dalam Tabel 5.3
berikut ini.

Tabel 5.3 Hasil Estimasi Parameter HKI

Variabel Parameter Elastisitas Pr > |T| Varibel Label


Estimasi SR LR
intercept -17.581 0.315
55

HKIN 0.529 0.49 1.03 0.007 harga kedelai internasional


HKN 0.013 0.06 0.06 0.072 harga kedelai nasional
Tabel 5.3 Hasil Estimasi Parameter HKI (lanjutan)

Variabel Parameter Elastisitas Pr > |T| Varibel Label


Estimasi SR LR
ER -0.003 -0.06 -0.05 0.258 exchange rate
LHKI 0.608 0.59 1.51 <.0001 harga kedelai impor t-1
R2 adj = 85% Pr>|F| <.0001 Durbin-H stat = -0.397

Tabel 5.3 menyimpulkan bahwa seluruh variabel penjelas mempengaruhi


harga impor secara positif, hanya exchange rate yang mempengaruhi secara
negatif, sedangkan HKIN dan LHKI lebih responsif terhadap perubahan HKI.
Sesuai hasil penelitian sebelumnya bahwa harga kedelai impor terbentuk oleh
integrasi pasar, sehingga hal tersebut mengindikasikan bahwa perubahan harga
kedelai dunia terintegrasi sempurna sampai ke harga impor kedelai di Indonesia
Indonesia (Kumenaung 2002).

5.2.2 Keragaan Kuantitas Impor Kedelai

Kuantitas Impor Kedelai (KIK) dipengaruhi oleh Harga Kedelai Impor


(HKI), Harga Kedelai Nasional (HKN), serta Tarif Impor Kedelai (TIK) pada taaf
nyata 1 persen. CGPRT 1986 menunjukkan bahwa impor kedelai semakin
meningkat karena konsumsi kedelai dalam negeri semakin meningkat, serta
permintaan terhadap kedelai yang digunakan untuk pakan ternak juga meningkat.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Kumenaung (1994 dan 2002),
Hadipurnomo (2000), dan Handayani (2007) bahwa volume impor dipengaruhi
oleh harga dan tarif impor, konsumsi dan produksi nasional, harga kedelai
internasional, exchange rate, populasi penduduk, dan pendapatan per kapita.
Kuantitas impor kedelai (KIK) lebih responsif terhadap Tarif Impor
Kedelai (TIK), dimana ketika TIK naik 1 satuan, maka KIK akan menurun sebesar
53.714 satuan. Jika dilihat nilai elastisitasnya, tidak ada satupun variabel penjelas
yang responsif secara elastis terhadap KIK. Secara rinci, hasil estimasi parameter
model KIK disajikan dalam Tabel 5.4 di bawah ini.
Pengaruh TIK terhadap perubahan KIK telah diperlihatkan sejak tahun
1970an lalu, bahwa saat itu pemerintah telah menetapkan tarif ad valorem sebesar
30 persen, namun sejak tahun 1998 TIK ditiadakan, dampaknya, sebelum tahun
1998 rata-rata KIK hanya sekitar 200 ribuan ton per tahun, atau meningkat hanya
sebesar 200 persen per tahun, tetapi sejak tahun 1998, rata- rata KIK sudah di atas
1 juta ton bahkan mencapai 1.6 jutaan ton per tahun. Tetapi sejak tahun 2004, TIK
kembali ditetapkan antara 10 15 persen, alhasil, rata-rata KIK hanya meningkat
sebesar 35 persen per tahun (FAO 2013). Hasil estimasi memperlihatkan bahwa
tarif impor memiliki pengaruh yang lebih responsif terhadap perubahan volume
impor. Untuk itu dibutuhkan kebijakan pemerintah dalam merealisasikan dan
mengawasi pajak impor kedelai yang berlaku di lapangan.
56

Tabel 5.4 Hasil Estimasi Parameter KIK

Variabel Parameter Elastisitas Pr > |T| Varibel Label


Estimasi SR LR
intercept 970.76 0.003
HKN 0.221 0.40 0.51 <.0001 harga kedelai nasional
TIK -53.714 -0.94 -0.0171 0.002 tarif impor kedelai
HKI 0.032 0.01 0.01 0.483 harga kedelai impor
R2 adj = 73% Pr>|F| <.0001 Durbin-W stat = 2.715

Tabel 5.4 menyimpulkan bahwa seluruh variabel penjelas kurang responsif


terhadap perubahan kuantitas impor, namun hanya TIK yang memberikan
pengaruh cukup besar terhadap perubahan KIK. Yaitu, ketika TIK berubah sedikit
saja, maka KIK akan berubah cukup besar, hasil tersebut mengindikasikan bahwa
TIK dapat berpengaruh langsung terhadap kuota impor, misalnya ketika TIK
diturunkan maka volume impor semakin banyak, sehingga dapat memberikan
implikasi bagi petani untuk meningkatkan provitas kedelai lokal-nya, sebaliknya,
ketika TIK dinaikkan, tujuan pemerintah membatasi masuknya volume impor
kedelai, guna membuat HKI meningkat melebihi HKN, sehingga kedelai nasional
memiliki daya saing yag baik terhadap kedelai impor. Berbeda dengan hasil
penelitian terdahulu yang menyimpulkan bahwa KIK responsif secara langsung
terhadap HKI (Handayani 2007).

5.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Kedelai Nasional

Konsumsi kedelai nasional pada penelitian ini dipengaruhi oleh harga


kedelai nasional, penawaran kedelai nasional, pendapatan nasional per kapita
tahun sebelumnya, harga kedelai impor, kuantitas impor kedelai, serta konsumsi
kedelai nasional itu sendiri pada tahun sebelumnya. Secara rinci, perilaku
konsumsi kedelai nasional yang dianalisis disajikan pada sub bahasan sebagai
berikut:

5.3.1 Keragaan Konsumsi Kedelai Nasional

Semua variabel penjelas kurang responsif terhadap perubahan KKN, hanya


penawaran kedelai nasional (SKN) saja yang menunjukkan respon elastis positif
terhadap KKN. Beda hal nya dengan penelitian terdahulu oleh Susetyanto (1994)
bahwa konsumsi kedelai responsif terhadap harga kedelai dalam negeri. Hasil
penelitian terdahulu oleh Riana dan Ikbal (2011) memperlihatkan bahwa
konsumsi kedelai nasional dipengaruhi secara nyata oleh pendapatan nasional,
sedangkan harga kedelai dan konsumsi kedelai tahun sebelumnya berpengaruh
tidak signifikan. Beda hal nya dengan hasil penelitian Kumenaung (2002) bahwa
konsumsi kedelai nasional dipengaruhi oleh harga tempe, harga benih, lag
57

konsumsi kedelai nasional, tren waktu, harga kedelai di tingkat pedagang besar,
tingkat suku bunga, serta tingkat upah industri. Secara rinci, hasil estimasi
parameter model KKN disajikan dalam Tabel 5.5 di bawah ini.
Tabel 5.5 menyimpulkan bahwa konsumsi kedelai nasional responsif
terhadap penawaran kedelai nasional. Penawaran kedelai dalam negeri berasal
dari produksi kedelai nasional dan impor kedelai, seperti yang terjadi beberapa
saat yang lalu, yaitu pada tahun 2012-2013, ketika terjadi musim banjir
berkepanjangan di banyak wilayah di Indonesia, produksi kedelai menurun,
sehingga penawaran kedelai di pasaran langka, akibatnya industri pengolahan
yang berbahan baku kedelai, khususnya industri tahu dan tempe mengurangi
produksinya, hal tersebut dikarenakan harga kedelai melonjak, sehingga harga
tahu dan tempe juga ikut melonjak, bahkan beberapa industri olahan kedelai
memberhentikan pekerjanya, sehingga konsumsi makanan yang berbahan dasar
kedelai pun menurun, khususnya tahu dan tempe. Dampaknya, banyak
masyarakat Indonesia yang mensubstitusi tahu dan tempe dengan makanan
lainnya, seperti ubi kayu dan jagung. Secara rinci, hasil estimasi parameter model
KKN disajikan dalam Tabel 5.5 di bawah ini.

Tabel 5.5 Hasil Estimasi Parameter KKN

Variabel Parameter Elastisitas Pr > |T| Varibel Label


Estimasi SR LR
Intercept -39.339 0.2065
HKN -0.246 -0.22 -0.17 <.0001 harga kedelai nasional
SKN 0.639 0.69 1.92 <.0001 penawaran kedelai nasional
LPNPK 0.09 0.27 0.30 <.0001 pendapatan nasional per kapita t-1
HKI 0.149 0.03 0.03 0.275 harga kedelai impor
KIK -0.402 -0.20 -0.14 0.0003 kuantitas impor kedelai
LKKN 0.377 0.37 0.59 <.0001 konsumsi kedelai nasional t-1
R2 adj = 97% Pr>|F| <.0001 Durbin-H stat = -3.432

5.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Kedelai Nasional

Variabel yang mempengaruhi harga kedelai nasional yaitu konsumsi


kedelai nasional, harga kedelai impor, penawaran kedelai nasional, kuantitas
impor kedelai, serta harga kedelai nasional pada tahun sebelumnya. Berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh Kumenaung (2002) bahwa harga kedelai di
tingkat petani dipengaruhi oleh harga kedelai impor. Secara rinci, keragaan harga
kedelai nasional sebagai berikut:

5.4.1 Keragaan Harga Kedelai Nasional

Hasil estimasi menunjukkan bahwa model HKN lebih dinamis dan


variatif, hasil menunjukkan bahwa HKI, SKN dan KIK memberikan pengaruh
paling besar terhadap perubahan HKN. Begitupun hasil penelitian oleh Zakiah
58

(2011) menunjukkan bahwa harga kedelai nasional secara nyata dipengaruhi oleh
produksi kedelai nasional, kuantitas kedelai impor, harga kedelai impor,
permintaan kedelai, serta harga kedelai nasional tahun sebelumnya.
Tabel 5.6 menyimpulkan bahwa penawaran kedelai nasional paling
responsif pengaruhnya terhadap perubahan HKN, dimana ketika SKN meningkat
1 persen, maka HKN akan menurun sebesar 1.3 persen dalam jangka pendek,
sedangkan KIK dan LHKN responsif terhadap perubahan HKN dalam jangka
panjang. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa HKI dapat merangsang perubahan
HKN (Kumenaung 2002). Berbeda dengan hasil penelitian oleh Zakiah (2011)
bahwa harga kedelai relatif respon terhadap permintaan kedelai dibanding
keempat peubah penjelas lainnya. Begitupun hasil penelitian oleh Handayani
(2007) menunjukkan bahwa PKN dan KKN responsif terhadap HKN baik dalam
jangka pendek dan jangka panjang, sama hal nya dengan hasil penelitian
Kumenaung (1994) permintaan dan penawaran kedelai responsif terhadap HKN.
Sebaliknya, harga kedelai impor tidak responsif terhadap HKN, ini sama dengan
hasil penelitian Kumenaung (2002) bahwa respon inelastis harga kedelai impor
terhadap harga kedelai nasional dalam jangka pendek dan jangka panjang. Secara
rinci hasil estimasi parameter model harga kedelai nasional disajikan dalam Tabel
5.6 berikut.

Tabel 5.6 Hasil Estimasi Parameter HKN

Variabel Parameter Elastisitas Pr > |T| Varibel Label


Estimasi SR LR
intercept 66.486 0.380
KKN 0.426 0.486 0.846 0.122 konsumsi kedelai nasional
HKI 3.055 0.623 -0.303 0.002 harga kedelai impor
SKN -1.077 -1.332 -0.641 0.013 penawaran kedelai nasional
KIK 1.129 0.630 -4.881 0.008 kuantitas impor kedelai
LHKN 0.829 0.719 4.207 <.0001 harga kedelai nasional t-1
R2 adj = 92% Pr>|F| <.0001 Durbin-H stat = 3.973

Hasil estimasi pada Tabel 5.6 memperlihatkan bahwa harga nasional


paling responsif terhadap penawaran kedelai nasional, volume impor serta harga
kedelai nasional pada tahun sebelumnya. Artinya, untuk meningkatkan daya saing
harga kedelai nasional terhadap harga kedelai impor, maka ketersediaan kedelai
lokal di dalam negeri harus lebih besar dibanding ketersediaan kedelai impor.
Untuk itu, stok kedelai nasional dijaga agar jangan sampai langka, karena jika hal
ini terjadi, maka HKN akan lebih mahal dibanding HKI.
Hasil estimasi model simultan menunjukkan bahwa faktor yang
mempengaruhi produksi kedelai nasional adalah luas area tanam dan produktivitas
kedelai nasional pada tahun sebelumnya. Konsumsi kedelai nasional dipengaruhi
secara langsung dan responsif oleh penawaran kedelai nasional. Harga
internasional terintegrasi langsung dengan harga impor di dalam negeri, yang
mana implikasinya terhadap perubahan harga nasional. Namun, harga kedelai
nasional sendiri terintegrasi langsung dengan penawaran kedelai dalam negeri
59

baik yang berasal dari produksi kedelai dalam negeri maupun yang berasal dari
kedelai impor. Akar utama dari permasalahan produksi kedelai di Indonesia tidak
pernah mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri adalah karena keterbatasan
luas area tanam kedelai. Seperti dikutip dari RPJPN5) bahwa ketersediaan pangan
semakin terbatas disebabkan oleh semakin meningkatnya konversi lahan sawah
dan lahan pertanian produktif lainnya, sehingga menyebabkan rendahnya
peningkatan produktivitas hasil pertanian, serta buruknya kondisi jaringan irigasi
dan prasarana irigasi di lahan produksi. Dilansir dari sebuah artikel bahwa
Kementerian Pertanian tetap melanjutkan program perluasan areal tanam kedelai
6)
pada 2014 seluas 340 ribu hektar guna meningkatkan produksi kedelai .
Review hasil estimasi model produksi dan konsumsi kedelai nasional,
yaitu untuk meningkatkan produksi kedelai nasional harus dilakukan perluasan
area tanam, perbaikan harga kedelai di tingkat produsen hingga bantuan subsidi
input produksi. Hasil estimasi model produksi kedelai nasional, bahwa ketika
harga input produksi kedelai meningkat maka luas area tanam kedelai yang
berimplikasi secara langsung dengan produktivitasnya akan menurun.
Ketika kuantitas input produksi meningkat, seperti pupuk, benih, jumlah
tenaga kerja dan ketersediaan lahan, maka produktivitas kedelai akan meningkat,
karena petani akan semakin bergairah untuk menanam kedelai, serta memperluas
area tanam kedelai pada lahan sawah yang tersedia. Begitupun ketika teknologi
budidaya semakin baik, seperti sarana dan prasarana irigasi serta infrastuktur, hal
tersebut dibuktikan oleh hasil penelitian Widitono dan Zainul (2008) bahwa
tingkat penerapan teknologi budidaya kedelai masih rendah, untuk itu hasil
penelitian oleh Supadi (2009), Hamundu dan Rianse (2004) menunjukkan bahwa
untuk meningkatkan produktivitas kedelai adalah dengan adopsi teknologi.
Luas area sangat dipengaruhi oleh teknologi serta dukungan pemerintah,
teknologi megindikasikan penggunaan pupuk, benih, saprotan lainnya, tentunya
terkait dengan harga saprodi dan saprotan, ketika biaya yang dikeluarkan lebih
kecil, keuntungan yang diperoleh petani lebih besar, dampaknya luas area
semakin meningkat, untuk itu, guna menekan biaya produksi, diperlukan subsidi
saprodi dan saprotan dari pemerintah. Produktivitas relatif stabil, hanya pengaruh
lag produktivitas tahun sebelumnya saja dalam jangka panjang yang responsif
terhadap produktivitas kedelai tahun berjalan. Seperti penelitian oleh Setiabakti
(2013), Kumenaung (2002), dan Hadipurnomo (2000) menyimpulkan bahwa
produksi kedelai secara keseluruhan dipengaruhi oleh harga saprodi dan saprotan,
dimana harga tersebut lebih responsif dalam mempengaruhi perubahan luas area
dibanding produktivitas.
Ketika semua input produksi mendukung kegiatan budidaya kedelai, maka
petani akan semangat dan bergairah untuk memperluas area tanam kedelai dari
ketersediaan lahan sawah yang sudah ada, sehingga produktivitas secara
berkesinambungan juga akan meningkat. Hal tersebut juga dijelaskan dalam
penelitian Widotono dan Zainul (2008) bahwa jika semakin besar output dengan
input yang sama atau semakin kecil input dengan output yang sama, maka
usahatani lebih efisien. Namun daripada itu, pemerintah juga harus
memperhatikan sistem distribusi kedelai mulai dari tengkulak, pemasok, hingga
pedagang besar sampai ke konsumen.
60

5) Draft Rancangan Awal: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 2025.
http://search.4shared.com/postDownload/EwEpAHPH/04-draft-rpjp-final-4-feb-2005.html.
6) Artikel: Kementan Lanjutkan Perluasan. Areal Tanam Kedelai. Kamis 30 Mei 2013, 15:28 WIB. Pewarta:
Subagyo. http://www.antaranews.com/berita/377464/kementan-lanjutkan-perluasan-areal-tanam-kedelai
Hasil analisis estimasi konsumsi kedelai memperlihatkan bahwa ketika
harga kedelai lokal meningkat, maka permintaan akan komoditas tersebut semakin
menurun, menyebabkan konsumsi kedelai impor akan meningkat. Jagung,
merupakan komplementer dari kedelai, ketika harga jagung meningkat, maka
permintaan jagung semakin menurun, sehingga permintaan kedelai akan
meningkat. Sama halnya ketika pendapatan nasional per kapita meningkat, maka
konsumsi kedelai nasional juga meningkat.
Sebaliknya, ketika harga kedelai impor meningkat, maka permintaan
kedelai impor menurun, menyebabkan permintaan kedelai lokal meningkat.
Seperti yang terjadi pada tahun 2013 ini di sekitar bulan september desember,
bahwa harga kedelai impor naik hingga mencapai Rp.10.000,-/kg. Impor kedelai
dapat dianalisis dari dua sisi utama, yaitu harga dan kuantitas kedelai impor,
dimana harga impor dipengaruhi oleh harga internasional dan exchange rate,
sedangkan volume impor dipengaruhi oleh tarif dan harga impor. Harga kedelai
impor dapat berdampak pada harga kedelai nasional di tingkat petani, seperti hasil
penelitian oleh Kumenaung (1994) jika harga impor naik, maka akan merangsang
harga di tingkat petani naik, sehingga menguntungkan petani. Tetapi jika tarif
impor yang diaikkan, maka volume impor akan berkurang, menyebabkan
penurunan jumlah penawaran kedelai nasional.
Gejolak kenaikan harga kedelai impor dipicu oleh melemahnya nilai tukar
Rupiah terhadap US Dollar, hingga per 6 september 2013 sudah mencapai Rp.
11.450,- hingga Rp. 11.950,- per 1 USD (sumber: BCA). Pernyataan oleh
7)
Wamentan dalam TribunNews bahwa menurutnya gejolak harga kedelai impor
terus meningkat disebabkan oleh nilai tukar Rupiah yang semakin melemah
terhadap USD, mengingat impor kedelai di Indonesia paling banyak berasal dari
USA.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa ketika Rupiah menguat, maka
kuantitas kedelai impor akan berkurang, karena harga kedelai impor di dalam
negeri semakin menurun, membuat importir kedelai enggan melakukan impor
kedelai ke Indonesia. Sehingga ketersediaan stok kedelai impor juga sedikit,
ketika kedelai impor tidak dapat memenuhi permintaan kedelai dalam negeri,
maka permintaan kedelai lokal akan semakin meningkat.
Ketika ketersediaan kedelai impor berkurang dan tidak dapat memenuhi
konsumsi kedelai dalam negeri, maka pedagang atau pengrajin dalam industri
kedelai akan mengkonsumsi kedelai lokal, sehingga permintaan akan kedelai lokal
meningkat. Sesuai dengan hasil penelitian oleh Riana dan Ikbal (2011) bahwa
produksi hanya dapat memenuhi 35 persen kebutuhan kedelai dalam negeri.
Kondisi ini tentunya lebih baik untuk produsen kedelai lokal, karena dapat
meningkatkan harga kedelai lokal. Seperti yang dilansir dari Tempo online 8)
bahwa harga kedelai impor semakin meningkat karena disebabkan pasokan
kedelai impor yang tidak bisa langsung didatangkan ke Indonesia.
61

7) Artikel: TribunNews.com. Wamentan Salahkan Rupiah Soal Harga Kedelai. Jumat, 30 Agustus 2013;
17:07 WIB. http://www.tribunnews.com/bisnis/2013/08/30/wamentan-salahkan-rupiah-soal-harga-kedelai
8) Artikel: Perajin Tempe Minta Penetapan Harga Jual Kedelai. Kamis, 5 September 2013; 09:10 WIB.
http://www.tempo.co/read/news/2013/09/05/092510761/Perajin-Tempe-Minta-Penetapan-Harga-Jual-
Kedelai
Selain itu, gejolak harga impor kedelai juga disebabkan oleh adanya
praktek kartel, serta data stok kedelai yang tidak sama antara kementerian
9)
pertanian dengan kementerian perdagangan . Artikel yang dikutip dari Sumatera
10)
Ekspres yang dikemukakan oleh Mentan Suswono bahwa fluktuasi nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS membawa dampak peningkatan harga kedelai di pasaran
karena 70 persen kebutuhan kedelai dalam negeri harus diimpor.
Hasil estimasi harga kedelai nasional diperoleh bahwa ketika penawaran
kedelai nasional meningkat, maka harga kedelai nasional akan semakin menurun,
namun jika konsumsi atau permintaan kedelai lokal meningkat, maka peluang
bagi harga kedelai nasional semakin meningkat. Seperti yang terjadi saat ini,
bahwa adanya kecurangan dari importir kedelai yang dengan sengaja menahan
suplai kepada pengrajin tahu dan tempe, sehingga tersebarlah informasi bahwa
pasokan kedelai tidak ada, sehingga timbul persepsi di masyarakat bahwa suplai
kedelai juga tidak ada, akibatnya penjual kedelai menahan penjualan dengan
11)
asumsi jika dijual dikemudian hari akan lebih mahal . Terbukti hingga saat ini
harga kedelai masih tinggi dan bertahan pada tingkat petani hingga mencapai rata-
rata Rp 9.000 per kilogram. Saat ini tercatat produksi dalam negeri hanya sekitar
700.000 ton, sementara kebutuhan kedelai mencapai 2,5 juta ton per tahun.
Gejolak impor kedelai, disebabkan oleh dinamika nilai tukar rupiah, tarif
impor, serta harga kedelai di tingkat internasional. Hasil estimasi menunjukkan
bahwa ketika harga kedelai di tingkat internasional, tarif impor kedelai, serta
kuantitas impor kedelai semakin meningkat, maka harga kedelai impor meningkat.
Begitupun ketika nilai tukar rupiah melemah, maka kuantitas impor kedelai akan
semakin meningkat. Kuantitas kedelai impor meningkat saat harga kedelai
nasional meningkat, menyebabkan permintaan terhadap kedelai lokal menurun.
Sehingga permintaan kedelai impor semakin besar.

5.5 Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional

Hasil peramalan produksi dan konsumsi hingga tahun 2020 menunjukkan


adanya defisit dengan nilai rata-rata sebesar 1.6 jutaan ton per tahun atau dengan
kata lain, defisit rata-rata setiap tahunnya menurun sekitar 0.984 persen.
Peramalan produksi hingga tahun 2020 mencapai 1.2 jutaan ton per tahun atau
meningkat rata-rata sebesar 6.79 persen per tahun, sedangkan konsumsinya
meningkat rata-rata sebesar 2.8 jutaan ton per tahun atau sebesar 2.1 persen per
tahun, sedangkan hasil peramalan dengan OLS oleh Simatupang, Marwoto dan
Swastika (2005) bahwa proyeksi konsumsi 2009 2025 rata-rata meningkat
sebesar 2.3 persen per tahun.
62

9) Artikel: Komisi Temukan Indikasi Kartel Impor Kedelai. Jumat, 6 September 2013; 09:05 WIB.
http://www.tempo.co/read/news/2013/09/06/090510898/Komisi-Temukan-Indikasi-Kartel-Impor-Kedelai
10) Artikel: Tekan Harg Kedelai, Kementan Perluas Lahan Tanam. Kamis, 5 September 2013; 21:35 WIB.
http://www.sumeks.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=18805:tekan-harga-kedelai-
kementan-perluas-lahan-tanam&catid=60:news-update&Itemid=134
11) Artikel: KPU Tuding Importir Tahan Stok. Suara Karya Online, Jumat, 6 september 2013.
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=333923

Peramalan sebaiknya dilakukan untuk jangka waktu yang tidak panjang,


karena peramalan merupakan sesuatu yang tidak pasti, dimana kondisi di tahun
mendatang, seperti cuaca, kemungkinan terjadinya bencana alam, kemungkinan
terjadinya krisis ekonomi dan politik, dapat menyebabkan hasil peramalan tidak
sesuai dengan kenyataan yang akan terjadi di tahun yang diramalkan tersebut,
untuk itu, peramalan sebaiknya dilakukan tidak terlalu panjang. Seperti teori
peramalan bahwa, peramalan merupakan suatu ketidakpastian, sehingga dapat
dilakukan untuk waktu yang tidak panjang, agar lebih mendekati kenyataan
(Hanke, 2003), dimana asumsi utamanya adalah ketidakpastian cuaca, gejolak
politik dan ekonomi.
Hasil hasil penelitian sebelumnya mengenai proyeksi produksi dan
konsumsi kedelai nasional selalu menunjukkan defisit antara produksi dan
konsumsi kedelai nasional di tahun yang akan datang, diantaranya sebagai berikut.
Produksi kedelai nasional belum dapat memenuhi kebutuhan yang terus
meningkat, kebutuhan kedelai dalam negeri sebesar 35 persen masih berasal dari
impor, selanjutnya jumlah produksi kedelai akan mempengaruhi suplai kedelai
(Kumenaung, 1994).
Berbeda dengan hasil penelitian oleh Riana dan Ikbal (2011) menunjukkan
bahwa hasil peramalan 2010 2019 dengan OLS menunjukkan defisit rata-rata
meningkat 4 persen per tahun, begitupun hasil penelitian oleh Komalasari (2008)
menunjukkan hasil prediksi dengan metode Winters Multiplikatif bahwa produksi
kedelai nasional 2009 2010 meningkat sebesar 2.6 persen per tahun. Perbedaan
hasil peramalan juga dilakukan oleh Santoso (2006) bahwa peramalan produksi
kedelai dengan metode SUR yang dibandingkan dengan hasil ramal BPS pada
tahun 2005, dimana model produksi dipengaruhi oleh luas panen, harga kedelai
nasional, harga kedelai impor tarif impor, tenaga kerja. Hasil peramalan terjadi
perbedaan antara Aram BPS dengan metode SUR, dimana hasil SUR lebih rendah
dibanding hasil Aram BPS. Secara rinci hasil penelitian peramalan hingga tahun
2020 dalam penelitian ini dilampirkan dalam Tabel 5.7.

Tabel 5.7 Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 2013
2020
Partum Partum Pertumbuhan
Defisit
Tahun PKN buhan KKN buhan Defisit
(%)
(%) (%)
naik turun
2013 933699 2626395 -1692696 1.263
2014 1024721 9.749 2738803 4.280 -1714082
2015 1139761 11.226 2866630 4.667 -1726869 0.746 -15.695
2016 1222550 7.264 2678386 -6.567 -1455836 16.086
2017 1272334 4.072 2962363 10.603 -1690029
63

Partum Partum Pertumbuhan


Defisit
Tahun PKN buhan KKN buhan Defisit
(%)
(%) (%)
naik turun
2018 1333744 4.827 2930139 -1.088 -1596395 0.216 -5.540
2019 1405660 5.392 3005511 2.572 -1599851 -3.965
2020 1475965 5.002 3012377 0.228 -1536412
Rata-rata 1226054 6.790 2852576 2.099 -1626521 -0.984
Perbandingan produksi terhadap konsumsi (%) 42.981

Hasil peramalan menunjukkan bahwa swasembada kedelai belum dapat


dilaksanakan hingga tahun 2020, karena dari hasil proyeksi menunjukkan bahwa
kebutuhan kedelai nasional hanya mampu dipenuhi oleh produksi kedelai nasional
sebesar 42.981 persen, namun trend produksi dan konsumsi menunjukkan
kecenderungan meningkat, begitupun dengan defisit yang terjadi juga
menunjukkan kecenderungan semakin menurun, dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Untuk itu, perlu dilakukan strategi peningkatan produksi kedelai nasional untuk
memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri, dimana untuk meningkatkan produksi
rata-rata sebesar 6.79 persen per tahun diperlukan analisis simulasi kebijakan
alternatif yang dalam penelitian ini dibahas pada sub bab selanjutnya. Kesimpulan
dari hasil peramalan produksi dan konsumsi kedelai yang terlihat dari Gambar 5.1
adalah bahwa jumlah rata-rata produksi belum dapat memenuhi konsumsi kedelai
dalam negeri. Artinya, terjadi defisit dalam neraca kedelai hingga beberapa tahun
mendatang. Namun, dilihat dari perkembangannya, defisit kedelai semakin
menurun, artinya terdapat peluang di masa yang akan datang bahwa produksi
kedelai nasional memungkinkan untuk memenuhi sebagian besar dari konsumsi
kedelai dalam negeri. Sedangkan rata-rata konsumsi kedelai nasional relatif lebih
stabil perkembangannya.

Gambar 5.1 Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 2013
2020

Hal tersebut mengindikasikan bahwa diperlukan diversifikasi pangan


dalam komoditas kedelai, misalnya penggunaan kedelai tidak melulu hanya
64

sebagai bahan makanan tradisional seperti tahu dan tempe, tetapi kedelai juga
dapat digunakan untuk bahan makanan yang modern, misalnya dapat dijadikan
bahan untuk membuat kue tart, kue lapis, dan sejenis pancake lainnya. Seperti
yang saat ini juga sudah tersedia jus tempe atau sereal tempe, namun diperlukan
strategi pemasaran yang lebih baik lagi untuk ke depannya. Selain itu, belum
berhasilnya Indonesia dalam memenuhi konsumsi kedelai dalam negeri,
dimungkinkan kualitas kedelai yang masih terbilang kurang bagus dibanding
kedelai impor, misalnya kedelai lokal memiliki kadar air lebih banyak sehingga
cepat busuk dan berbau tidak sedap, serta lebih kotor bercampur dengan tanah
serta ranting dan daun, ukurannya tidak seragam dan cenderung kecil, kulit ari
sulit terkelupas.
Berdasarkan hasil estimasi dalam penelitian ini serta ditunjang oleh
berbagai teori serta penelitian terdahulu, maka pencapaian peningkatan produksi
kedelai dapat dilakukan melalui strategi sebagai berikut:
1. Peningkatan Produktivitas
Upaya peningkatan produktivitas dilaksanakan melalui peningkatan
kualitas dan kuantitas sistem perbenihan kedelai melalui industri perbenihan
yang kuat, mekanisasi usahatani berskala besar dan efisien seperti: perbaikan
teknik budidaya kedelai di tingkat petani, memperlancar penyediaan saprodi,
modal dan teknologi, dan mempercepat adopsi paket teknologi melalui SL
-PTT disertai pengawalan, sosialisasi, pemantauan, pendampingan dan
koordinasi.
2. Perluasan Areal dan Pengelolaan Lahan
Perluasan areal dapat dilakukan melalui pemanfaatan lahan bera (lahan
tidur), pembukaan lahan baru di luar Pulau Jawa, seperti lahan bekas
perkebunan kelapa sawit, hingga pembatasan konversi lahan pertanian ke non
pertanian.
3. Penyempurnaan Manajemen
Penyempurnaan manajemen dimulai dari tingkat petani hingga
stakeholder, yang dikhususkan pada kebijakan harga kedelai nasional, hingga
penetapan tarif impor untuk membatasi volume kedelai impor ke Indonesia.

5.6 Simulasi Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Kedelai Nasional

Simulasi kebijakan dilakukan guna melihat seperti apa kebijakan yang


dapat digunakan untuk meningkatkan produksi kedelai nasional atau menurunkan
impor kedelai, seperti penelitian terdahulu yang telah diakukan oleh Kumenaung
(1994 dan 2002). Kasryno dan Pribadi (1991) menyarankan empat kebijakan yang
dapat ditempuh untuk meningkatkan produksi kedelai, yaitu: (1) kebijakan harga
yang berorientasi pada produsen; (2) pengembangan paket teknologi; (3) subsidi
sarana produksi; dan (4) pengendalian impor dan perdagangan dalam negeri.
Kebijakan menaikkan harga kedelai untuk meningkatkan produksi kedelai sesuai
dengan tujuan kebijaksanaan pemerintah dalam penentuan harga dasar padi dan
palawija, serta penghapusan subsidi pupuk (Susetyanto 1994). Simulai yang
dilakukan oleh Handayani (2007) bertujuan untuk mengetahui keinginan petani
kedelai dengan industri untuk meningkatkan produksi kedelai. Kebijakan dalam
penelitian oleh Susetyanto (2012) meliputi skenario kenaikan harga kedelai 25
65

dan 37.5 persen, serta kombinasi antara harga kedelai dengan harga input
produksi seperti harga benih, pupuk, pestisida, upah tenaga kerja dan harga gabah.
Permasalahan kedelai dalam negeri selama ini terkait dengan produktivitas
kedelai yang rendah dan tidak mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri,
sehingga dilakukan impor kedelai yang jumlahnya jauh melebihi produksi kedelai
lokal. Sehingga pola perilaku produksi kedelai nasional bergantung dari dinamika
pergerakan harga kedelai lokal dan impor, serta ketersediaan area tanam yang
implikasinya adalah pada jumlah benih kedelai, karena kuantitas dan mutu benih
akan mempengaruhi gejolak harga kedelai nasional maupun impor. Untuk itu,
perlu beberapa alternatif kebijakan dalam rangka peningkatan produksi kedelai
nasional, yang direncanakan dapat berswasembada kedelai di masa yang akan
datang. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka analisis simulasi kebijakan
ditentukan oleh perubahan luas area tanam, harga kedelai nasional, dan harga
kedelai impor. Simulasi kebijakan dalam penelitian ini dilakukan untuk periode
2013 2020, seperti pada penelitian oleh Kumenaung (2002) bahwa simulasi
dapat dilakukan untuk periode historis atau periode peramalan atau keduanya.
Secara rinci hasil analisis simulasi kebijakan sebagai berikut:

5.6.1 Simulasi Kebijakan Pertama

Hasil analisis simulasi alternatif yang pertama adalah ketika LATKN naik 7
persen, maka PKN akan meningkat sebesar 6.77 persen, sesuai dengan hasil
peramalan yang dilakukan. Kenaikan PKN memungkinkan adanya indikasi bahwa
terjadi kenaikan pada SKN sebesar 2.99 persen. Implikasinya adalah KKN
meningkat sebesar 3.5 persen, hal ini dapt memicu penurunan HKN sebesar 3.96
persen. Sedangkan kenaikan harga kedelai impor relatif kecil yaitu sebesar 1.29
persen, kemudian diikuti penurunan HKI sebesar 0.21 persen, yang berdampak
pada penurunan KIK sebesar 1.57 persen. Seperti penelitian oleh Susetyanto
(1994) bahwa untuk menaikkan produksi kedelai, diantaranya diperlukan
kebijakan kenaikan harga benih kedelai dan harga kedelai di tingkat petani.
Menurut Hadipurnomo (2000) bahwa kebijakan produksi berdampak lebih besar
pada perubahan luas area panen dan produktivitas terutama di wilayah potensial
luar Pulau Jawa dibanding di Pulau Jawa. Secara rinci analisis simulasi yang
pertama disajikan dalam Tabel 5.8.

Tabel 5.8 Ringkasan Analisis Simulasi Kebijakan Pertama

Variabel Simulasi Dasar (rata-rata) Simulasi 1 (rata-rata) Perubahan (%)


LATKN 831.4 886.3 6.60
PRKN 1.016 1.018 0.17
KKN 1313 1359.1 3.50
HKN 1149 1103.8 -3.96
HKI 234.9 234.4 -0.21
KIK 642.5 632.4 -1.57
PKN 860.1 918.3 6.77
SKN 1610.8 1659.0 2.99
66

Simulasi kebijakan pertama: LATKN naik 7 %

Simulasi pertama dapat dikatakan wajar karena logik, karena sulitnya


Pemerintah untuk memperluas lahan pertanian, khususnya untuk budidaya
kedelai, mengingat prosesnya yang sedikit lebih sulit dibanding padi, namun
provitas kecil. Namun jika LATKN dinaikkan 7 persen per tahun, maka PKN
dapat meningkat sesuai hasil proyeksi, juga dikarenakan adanya kenaikan SKN,
sehingga KKN meningkat, walaupun dapat menyebabkan HKN menurun, tetapi
dampaknya HKI juga menurun, sehingga dapat memicu penurunan KIK. Ketika
KIK turun, stok kedelai dalam negeri diperkirakan akan langka, dengan demikian
kedelai lokal dapat beraksi unjuk gigi dalam pemenuhan kebutuhan kedelai
dalam negeri. Sehingga, hal tersebut memicu para petani kedelai untuk
meningkatkan produktivitas kedelai nya. Sehingga analisis simulasi yang pertama
dapat digunakan untuk meningkatkan produksi kedelai nasional. Hasil penelitian
oleh Tastra et al (2012) memperlihatkan hasil penelitian mengenai skenario
simulasi sistem dinamik untuk meningkatkan produksi kedelai nasional di atas 10
persen, dengan meningkatkan luas area tanam kedelai 15 persen dan produktivitas
4 persen per tahun. Begitupun hasil penelitian Kumenaung (2002) bahwa
peningkatan area dan produktivitas sebesar 10 12 persen per tahun, akan
meningkatkan produksi sebesar 35 persen per tahun.

5.6.2 Simulasi Kebijakan Kedua

Analisis simulasi kedua yaitu dengan meningkatkan HKI sebesar 105


persen akan meningkatkan PKN sesuai harapan hasil peramalan yaitu sebesar 6.79
persen per tahun. Harga impor terintegrasi hingga ke dalam harga nasional, maka
kenaikan HKI juga menyebabkan HKN juga meningkat sebesar 64 persen.
Kebijakan menaikkan harga kedelai impor berdampak pada kenaikan harga
kedelai nasional, sehingga merangsang petani untuk memperbesar usahataninya
(Kumenaung, 1994), dalam penelitian ini juga terbukti dengan peningkatan
LATKN sebesar 6 persen. Begitupun hasil penelitian oleh Hadipurnomo (2000)
bahwa kebijakan impor berdampak pada perubahan volume impor, harga impor
serta permintaan kedelai di tingkat industri.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa kenaikan PKN ditenggarai oleh
kenaikan HKN yang cukup tinggi. Selain itu kenaikan PKN memicu kenaikan
SKN, sehingga membuat gairah petani meningkatkan provitas kedelai dalam
usahataninya, terbukti dari kenaikan LATKN. Hal ini merupakan salah satu cara
yang efektif untuk meningkatkan PKN yang berdampak pada kenaikan HKN.
Secara rinci hasil analisis simulasi yang kedua disajikan dalam Tabel 5.9.

Tabel 5.9 Ringkasan Analisis Simulasi Kebijakan Kedua

Variabel Simulasi Dasar (rata-rata) Simulasi 2 (rata-rata) Perubahan (%)


LATKN 831.4 881.2 5.99
67

PRKN 1.016 1.018 0.17


KKN 1313 1250.4 -4.78
HKN 1149 1881.7 63.73
HKI 234.9 501.2 113.37
KIK 642.5 812.9 26.52
PKN 860.1 918.5 6.79
SKN 1610.8 1839.7 14.21
Simulasi Kebijakan Kedua: HKI naik 100%
Kesimpulan simulasi kedua yaitu dengan meningkatkan HKI 105 persen
dapat meningkatkan PKN sesuai hasil peramalan yang dilakukan. Ketika HKI
meningkat maka akan diikuti oleh kenaikan HKN, sehingga memicu petani
meningkatkan provitas kedelai, dengan demikian, memungkinkan pemerintah
merealisasikan perluasan area tanam kedelai bagi petani. Ketika provitas kedelai
meningkat, maka SKN juga akan meningkat. Jika stok kedelai lokal dalam negeri
meningkat maka daya saing kedelai lokal terhadap kedelai impor juga semakin
baik dari sisi kualitas dan kuantitas.

5.6.3 Simulasi Kebijakan Ketiga

Simulasi ketiga dengan menaikkan HKN sebesar 64 persen diharapkan


dapat meningkatkan PKN sesuai hasil peramalan. Seperti hasil penelitian oleh
Simatupang, Marwoto dan Swastika (2005) menyimpulkan bahwa harga kedelai
ditentukan oleh mekanisme pasar, oleh permintaan dan persediaan, sehingga
diperlukan kebijakan pemerintah untuk menentukan harga kedelai di tingkat
petani guna meningkatkan gairah petani dalam berbudidaya kedelai. Petani sangat
diuntungkan dengan adanya kebijakan naiknya harga kedelai nasional di tingkat
petani, naiknya harga impor, dan kuota impor (Kumenaung 1994).
Hasil simulasi menunjukkan bahwa dengan meningkatkan HKN sebesar 64
persen, maka PKN akan meningkat sebesar 6.79 persen. Sesuai teori konsumsi
ketika harga naik maka permintaan akan turun. Begitupun ketika HKN naik
sebesar 64 persen, maka KKN akan turun sebesar 6.3 persen. Namun kenaikan
HKN hanya memicu sedikit saja kenaikan HKI, yaitu sebesar 3.5 persen, sehingga
kenaikan KIK hanya sebesar 21.6 persen, masih lebih kecil dibanding kenaikan
rata-rata KIK selama 52 tahun terakhir ini, yaitu mencapai 260 persen per tahun.
Secara rinci hasil analisis simulasi yang ketiga disajikan dalam Tabel 5.10.

Tabel 5.10 Ringkasan Analisis Simulasi Ketiga

Variabel Simulasi Dasar (rata-rata) Simulasi 3 (rata-rata) Perubahan (%)


LATKN 831.4 874.0 5.12
PRKN 1.016 1.018 0.17
KKN 1313 1230.4 -6.31
HKN 1149 1776.4 54.56
HKI 234.9 243.1 3.49
68

Variabel Simulasi Dasar (rata-rata) Simulasi 3 (rata-rata) Perubahan (%)


KIK 642.5 781.3 21.60
PKN 860.1 918.5 6.79
SKN 1610.8 1808.1 12.25
Simulasi Kebijakan Ketiga: HKN naik 64%

Kesimpulan dari hasil analisis simulasi kebijakan ketiga yaitu dengan


meaikkan HKN 64 persen, akan memicu kenaikan LATKN, sehingga tentunya
akan menambah gairah petani kedelai dalam meningkatkan hasil usatahaninya.
Kenaikan HKN yang lebih besar ini tidak diikuti serta merta oleh kenaikan HKI,
karena sejatinya importir berharap dengan kenaikan HKN yang lebih tinggi
membuat konsumen beralih kepada kedelai impor. Namun untuk jangka panjang,
ketika HKN terus meningkat, maka PKN juga akan terus meningkat, dan pada
akhirnya pemerintah akan membatasi kuota kedelai impor guna mencapai cita-cita
Indonesia sejak dahulu dalam pembangunan jangka panjang program strategis
Indonesia, yaitu menjadi negara swasembada pangan, termasuk kedelai yang
merupakan komoditas terpenting dan strategis di Indonesia setelah padi dan
jagung.
Langkanya kedelai impor di pasaran, membuat harga kedelai nasional ikut
naik, bisa saja terjadi kenaikan harga kedelai impor namun tidak diimbangi
dengan meningkatnya kuantitasnya, justru semakin menurun karena tarif yang
semakin meningkat. Sehingga kenaikan harga kedelai nasional melambung tinggi,
hal ini memacu luas area tanam kedelai meningkat, sehingga dampaknya produksi
kedelai nasional juga meningkat. Namun, pada kenyataannya, untuk membuat
harga kedelai nasional di pasaran meningkat, maka penawaran kedelai nasional
dibuat menurun oleh para pelaku pasar, sehingga seolah-olah terjadi kelangkaan
kedelai nasional juga di pasaran. Dengan begitu, harga kedelai nasional dapat
dinaikkan setinggi-tingginya, namun akibatnya akan membuat permintaan
terhadap kedelai nasional tidak meningkat, kalaupun meningkat, nilainya tidak
signifikan, ini bisa terjadi jika konsumen mengganti kedelai dengan produk
subtitusinya, misalnya dengan jagung. Sistem pengendalian dan pemantauan harga
kedelai ini yang tentunya diperlukan bantuan dari Pemerintah, mulai dari harga di
tingkat petani hingga ke konsumen, sehingga stok kedelai di pasaran tidak menjadi
permainan lagi bagi pelaku pasar kedelai.
Hasil ketiga analisis kebijakan diatas dapat digunakan untuk meningkatkan
produksi kedelai nasional, agar kebutuhan kedelai dalam negeri selalu terpenuhi
oleh kedelai lokal. Untuk itu, dalam rangka meningkatkan produksi kedelai,
diperlukan sejumlah kebijakan, antara lain: pertama, memperbaiki kualitas benih
guna meningkatkan produktivitas. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka
meningkatkan mutu untuk dapat bersaing dengan kedelai impor. Apabila kualitas
benih sudah ditingkatkan, diharapkan mutu kedelai produksi dalam negeri juga
akan meningkat. Jika mutu kedelai lokal telah bagus, maka secara otomatis
pengrajin tahu dan tempe akan lebih memilih kedelai lokal ketimbang kedelai
impor. Petani harus melakukan pemupukan tanaman sesuai aturan yang telah
digariskan oleh Kementerian Pertanian. Untuk kedua kegiatan ini, pemilihan
benih unggul dan pemupukan harus sesuai aturan dan diperlukan bimbingan yang
69

intensif oleh aparat Kementerian Pertanian. Oleh karena itu, Penyuluh Pertanian
Lapangan (PPL) Kementerian Pertanian perlu lebih aktif mendampingi petani
dalam bercocok tanam.
Kebijakan yang kedua melalui perluasan areal tanam. Perluasan areal
tanam berkaitan erat dengan peningkatan produktivitas dan pengelolaan lahan.
Upaya peningkatan produktivitas dapat dilaksanakan melalui peningkatan kualitas
dan kuantitas sistem perbenihan kedelai, perbaikan teknik budidaya kedelai,
memperlancar penyediaan saprodi, modal dan teknologi, sosialisasi, pemantauan,
pendampingan dan koordinasi. Perluasan areal dan optimasi lahan dilaksanakan
dengan menarik minat dan gairah petani dan investor dalam pengembangan
kedelai, meningkatkan IP (intensitas produksi) dalam rangka optimalisasi lahan
dan teknologi, perluasan wilayah baru untuk mengembangkan pusat pertumbuhan,
pengembangan kerjasama investor dengan petani dan koperasi, pengembangan
produksi kedelai skala besar untuk bahan baku industri, dan pengembangan
budidaya tumpang sari.
Kebijakan yang ketiga adalah dengan memberikan jaminan harga.
Kebijakan ini dapat dilaksanakan dengan memberi peran yang lebih besar kepada
Perum Bulog yaitu disamping sebagai penyalur juga sebagai stabilitator harga.
Usahatani kedelai dapat berjalan dengan efektif dan efisien apabila petani
memperoleh insentif atau keuntungan yang memadai. Oleh karena itu, pemerintah
perlu menjaga kestabilan harga dan pasar melalui penetpan harga pembelian oleh
pemerintah. Dalam pengendalian tersebut diperlukan koordinasi dengan instansi
dan stakeholder terkait, baik pada tingkat pusat, Provinsi maupun
Kabupaten/Kota. Jaminan harga juga dapat dilakukan dengan menyederhanakan
tataniaga, karena rantai tataniaga kedelai nasional cenderung rumit dan panjang,
sehingga selisih harga di tingkat produsen (petani) dengan harga di tingkat grosir
dan eceran cukup mencolok. Untuk meminimalisir hal tersebut, pemerintah perlu
mengatur tataniaga kedelai agar lebih sederhana dengan rantai tataniaga yang
lebih pendek. Sedangkan penetapan harga impor terkait langsung oleh penetapan
tariff impor kedelai, dimana jika pemerintah menetapkan tarif impor lebih tinggi,
maka harga impor juga akan meningkat, bahkan bias lebih mahal dibanding harga
kedelai lokal, sehingga, kedelai lokal memiliki daya saing dari sisi harga yang
lebih kompetitif dengan harga kedelai impor.
70

VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil dan bahasan yang telah diuraikan, disimpulkan sebagai


berikut:
1. Produksi kedelai secara nyata dipengaruhi oleh luas area tanam dan
produktivitas. Dimana perubahan luas area responsif terhadap perubahan
luas area tahun sebelumnya, begitupun perubahan produktivitas responsif
terhadap perubahan produktivitas tahun sebelumnya.
2. Perubahan konsumsi kedelai nasional responsif terhadap perubahan
penawaran, dimana ketika penawaran meningkat maka konsumsi juga
akan meningkat. Penawaran mempengaruhi harga nasional yang
terintegrasi langsung dengan harga internasional dan harga impor, yang
mana harga impor mempengaruhi volume impor.
3. Peramalan produksi dan konsumsi kedelai nasional hingga tahun 2020
memperlihatkan defisit, namun tingkat defisit relatif menurun.
Diperkirakan impor kedelai di masa yang akan datang masih diperlukan
untuk memenuhi setengah dari kebutuhan kedelai dalam negeri.
4. Hasil simulasi kebijakan untuk meningkatkan produksi kedelai nasional
sebesar hasil peramalan, diperlukan perluasan area yang hanya kurang dari
10 persen, serta meningkatkan harga nasional minimal setengah dari harga
yang berlaku saat ini, tetapi diimbangi dengan menaikka harga impor 2
kali lipat daripada harga saat ini.

6.2 Saran

Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai


berikut:
1. Penentuan harga beli petani seharusnya spesifik lokasi, karena di setiap daerah
(provinsi dan kabupaten) berbeda biaya produksi nya maupun teknologinya.
2. Pemberlakuan tarif impor kembali sebesar maksimal, dimana dalam WTO
telah ditentukan maksimum tarif 30 persen.
71

3. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor kedelai, dapat mencari


bahan baku alternatif lain untuk pembuatan tahu dan tempe, misalnya dari
kacang koro dan kacang tunggak.
4. Pendampingan terhadap petani oleh penyuluh lapang dan dinas pertanian
setempat untuk penentuan harga kedelai di pasar yang dapat memberikan
keuntungan yang sesuai dengan kesepakatan petani dengan tengkulak.
72

DAFTAR PUSTAKA

Adetama, Dwi Sartika. 2011. Analisis Permintaan Kedelai Nasional dan Dampak
Kebijakan Bea Masuk Impor. Jakarta: Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia.
Adiningsih J., Sri; M. Soepartini, A. kusno, Mulyadi, dan Hartati, Wiwik. 1994.
Teknologi untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Sawah dan Lahan
Kering. Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan Untuk
Pembangunan Kawasan Timur Indonesia di Palu 17 20 Januari 1994.
Ahyari, Agus. 1997. Manajemen Produksi Perencanaan Sistem Produksi. Edisi
Keempat. Yogyakarta: Penerbit Balai Pustaka Fakultas Ekonomi.
Aji. 2009. Analisis Tanaman Kedelai. Pasuruan: Agrobisnis Yudharta Pasuruan.
Rabu, 6 Maret 2013.
http://ajichrw.wordpress.com/author/ajichrw/page/301/.
Alihamsyah T.; Sarwani, Muhrizal dan Ar-Riza, Isdianto. 2002. Komponen
Utama Teknologi Optimalisasi lahan Pasang Surut Sebagai Sumber
Pertumbuhan Produksi Padi Masa Depan. Makalah disampaikan Pada
Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.
Amang, Bedu dan Sawit, M. Husein. 1996. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Bogor:
IPB Press.
Anggasari, Popy. 2008. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume
Impor Kedelai Indonesia [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Ekonomi,
Institut Pertanian Bogor.
Ariani, Mewa; Saliem, Handewi Purwati; S. H. Suhartini; Wahida; Sawit, M.
Husein. 2003. Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Konsumsi Pangan
Rumah Tangga. Bogor: Laporan Penelitian. Puslitbang Sosek Pertanian.
Ariani, Mewa. 2003. Penawaran dan Permintaan Komoditas Kacang-Kacangan
dan Umbi-Umbian di Indonesia. Jurnal Socca. Bali. P. 47 72.
Arifin, Bustanul. 2012. Krisis Kedelai, Potret Kebijakan Pangan yang Buruk.
Kamis, 18 April 2013.
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=9328&coid=2&caid=19
&gid=2
Atman. 2009. Strategi Peningkatan Produksi Kedelai di Indonesia. Jurnal Ilmiah
Tambua. Jakarta. Vol. VIII, No.1, Januari-April 2009. P. 39-45. ISSN
1412-5838.
Balitkabi. 2012. Kedelai Hitam: Kaya Gizi dan Bernilai Ekonomi Kedelai Hitam:
Kaya Gizi dan Bernilai Ekonomi. Selasa, 1 Juli 2014. Malang: Balai
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-
Umbian. http://balitkabi.litbang.deptan.go.id
Bank Indonesia. 2004. Pola Pembiayaan Usaha Kecil (PPUK) Budidaya Kedelai.
Jakarta: Direktorat Kredit, BPR dan UMKM. Bank Indonesia. Senin, 23
Juni 2014. http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/50136021-7442-455A-
8ED7-E91CC6C3C17/16004/BudidayaKedelai2.pdf
Basmann, R.L. 1957. A Generalized Classical Method of Linear Estimation of
Coefficients in A Structural Equation. Econometrica 25 (1). JSTOR
1907743
73

Beattie R, Bruce dan Taylor, Robert C. 1994. Ekonomi Produksi. Yogyakarta:


UGM Press.
BPS (Biro Pusat Statistik) . 2001. Stasistik Indonesia 2000. BPS Jakarta.
Budiwinarto, Kim. 1999. Penyelesaian Simultan Persamaan-Persamaan Regresi
Rekursif Dibakukan [Tesis]. Program Studi Statistika, Program Pasca
Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
CGPRT Center. 1986. Sistem Komoditas Kedelai di Indonesia. CGPRT No. 17.
Bogor: Pusat Palawija, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian.
Chen, Yu Hui. 1998. Quarterly Econometric Analysis of US Soybean Market
[Annual Meeting]. Taiwan: National Taiwan university.
Chow, Gregory C. 1964. A Comparison of Alternative Estimators for
Simultaneous Equations. Econometrica 32. P. 532-553.
Chow, G.C. 1968. Two Methods of Computing Full-Information Maximum
Likelihood Estimates in Simultaneous Stochastic Equations. International
Economic Review.
Colman, David and Young, Trevor. 1990. Principals of Agricultural Economics:
Market and Pricesin Less Developed Countries. New York: Cambridge
University Press.
Cooke, Bryce and Robles, Miguel. 2009. Recent Food Prices Movements: A Time
Series Analysis. IFPRI Discussion Paper No. 00942, December 2009.
USA: International Food Policy Research Institute.
Deparetemen Perindustrian dan Perdagangan. 2002. Analisis Bea Masuk Impor
Kedelai. Jakarta: Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Departemen Pertanian. 2002. Sektor Pertanian Pulih Kembali [Bahan Konferensi
Pers, 27 Desember 2001]. Jakarta: Departemen Pertanian. Jumat, 17 Mei
2013.
http://www.deptan.go.id/pengumuman/berita/konferensipers271202.htm
Departemen Pertanian. 2005. Pengembangan Usaha Agribisnis Kedelai. Jakarta:
Ditrektorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Direktorat Jenderal
Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian.
. 2005. Agro Inovasi; Prospek dan Arah Pengembangan
Agribisnis Kedelai. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
. 2006. Program dan Kegiatan Departemen Pertanian
Tahun 2007. Jakarta: Departemen Pertanian.
. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis
Kedelai, Edisi Kedua. Jakarta: Badan Litbang Pertanian. Jumat, 17 Mei
2013.
. 2008. Mutu Kedelai Nasional Lebih Baik dari Kedelai
Impor [Siaran Pers]. Jakarta: Badan Litbang Pertanian.
Dirjentanpan (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan). 2013. Pedoman Teknis
Pengelolaan Kedelai. Jakarta: Kementerian Pertanian.
Dornbusch, Rudiger; Fischer, Stanley; and Startz, Richard. 2008. Makroekonomi.
Edisi 10. Jakarta: PT. Media Global Edukasi.
Dumairy, 2004. Perekonomian Indonesia, cetakan ke-lima. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
74

Erwidodo dan Hadi, Prayogo U. 1999. Effects of Trade on Agriculture in


Indonesia: Commodity Aspects. Working Paper 48, October 1999. Bogor:
The CGPRT Centre.
Fauziyah, Elys. 2007. Analisis Efisiensi Usahatani Kedelai di Desa Sukosari
Kecamatan Gondanglegi. Embryo Vol. 4 No. 1. ISSN 0216-0188, Juni
2007. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. P. 23 47.
FAOSTAT. 2012. Database. Selasa, 3 Juli 2012.
http://faostat.fao.org/site/339/default.aspx
FAO. 2013. Jumat, 20 September 2013. http://faostat3.fao.org/faostat-
gateway/go/to/download/T/TP/E
Firdausy; Carunia, Mulya; Listiani, Nurlia. 2005. Kondisi Ekspor dan Impor
Subsektor Tanaman Kedelai di Era Golablisasi [Makalah]. Pusat Penelitian
Ekonomi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. P. 44 71.
Godam. 2007. Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi/Pengeluaran
Rumahtangga Pendidikan Ekonomi Dasar. Rabu, 5 Februari 2014.
http://organisasi.org/faktor-yang-mempengaruhi-tingkat-konsumsi-
pengeluaran-rumah-tangga-pendidikan-ekonomi-dasar
Gujarati, DN. 2003. Basic Econometrics. Singapore: MacGraw Hill International
Edition.
Gurdev S. khush. 2002. Food Security By Design: Improving The Rice Plant in
Partnership With NARS. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK Padi
Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002. Cianjur.
Hadipurnomo, Tidar. 2000. Dampak Kebijakan Produksi dan Perdagangan
Terhadap Penawaran dan Permintaan Kedelai di Indonesia [Tesis].
Program Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Hamundu, Mahmud dan Rianse, Usman. 2004. Kebijakan Pembangunan
Pertanian Berkelanjutan Berbasis Petani dan Nelayan menunjang
Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian Indonesia dalam Rekonstruksi
dan Restrukturisasi Ekonomi Pertanian. Jakarta: PERHEPI.
Handayani, Dian. 2007. Simulasi Kebijakan Dayasaing Kedelai Lokal pada Pasar
Domestik [Tesis]. Program Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
, Dian; Bantacut, Tajuddin; Munandar, Jono M.; Budijanto, Slamet.
2011. Simulasi Kebijakan Daya Saing Kedelai Lokal Pada Pasar
Domestik. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. Bogor. Vol. 19 No. 1. P. 7
15.
Hanke, J.E., Wichern, D.W., Reitsch, A.G. 2003. Peramalan Bisnis. Jakarta: PT.
Prenhallindo.
Hutabarat, B. 2003. Prospect of Feed Crops to Support the Livestock Revolution
in South Asia Framework of the Study CGPRT Centre Monograph No. 42.
Bogor: UN-ESCAP.
Hutapea , Jaegopal, DR. dan Mashar, Ali Zum SP. 2010. Ketahanan Pangan dan
Teknologi Produktivitas Menuju Kemandirian Pertanian Indonesia.
Jakarta. Rabu, 5 Februari 2014. http://zaifbio.wordpress.com/2010/05/
Intriligator, M.D. 1980. Econometric Model, Techniques and Applications. New
Delhi: Prentice Hall of India Private Limited.
IPDN. 2008. Prospek Pengembangan Kacang Kedelai [Artikel]. Rabu, 5 Februari
2014. Selasa, 5 November 2013. http://ipdn-
75

artikelgratis.blogspot.com/2008/09/prospek-pengembangan-kacang-
kedelai.html
Irawan, B. dan A. Purwoto. 1989. Kebijaksanaan Pengolahan Agro Industri dan
Mekanisasi Pertanian. dalam Masdjidin . 2003. Kebijakan Perdagangan
dan Daya Saing Komoditas Kedelai. Selasa, 5 November 2013. Available
online with updates at http://pse.litbang.deptan.go.id.
Irsyad. 2011. Kebijakan Perdagangan Komoditas Pertanian. Selasa, 5 November
2013. http://thetawonlanang.blogspot.com/2011/06/kebijakan-
perdagangan-komoditas.html
Joesran dan Fathorrozi. 2003. Teori Ekonomi Mikro. Jakarta: Salemba Empat.
Karo Karo, Feryanto W. 2011. Kedelai dan Kita [Artikel]. Selasa, 5 November
2013. http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2011/03/08/kedelai-dan-
kita/
Kasryno, F., E. Pasandaran, P. Simatupang, Erwidodo, dan T. Sudaryanto. 2001.
Membangun kembali sektor pertanian dan kehutanan. Buku I, hlm. 131.
dalam I.W. Rusastra, P.U. Hadi, A.R. Nurmanaf, E. Jamal, dan A. Syam
(Ed.). Prosiding Seminar Perspektif Pembangunan Pertanian dan
Kehutanan Tahun 2001. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian.
Kasryno, F. dan N. Pribadi. 1991. Evaluasi Kebijaksanaan Kedelai di Indonesia
dan Alternatif Pengembangannya. Halaman 1-18. Risalah Lokakarya
Pengembangan Kedelai: Potensi, Kendala dan Peluang. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Kementerian Pertanian. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun
2010 2014. Jakarta: Kementerian Pertanian.
Kmenta, J. 1986. Elements of Econometrics. 2nd Edition. New York: Macmillan
Publishing Co. Inc.
Komalasari, Wieta B. 2008. Prediksi Penawaran dan Permintaan Kedelai dengan
Analisis Deret Waktu. Jurnal Informatika Pertanian, Volume 17, No. 2,
halaman 1195 1209. Jakarta: Pusat Data dan Informasi, Kementerian
Pertanian.
nd
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics. 2 Edition. New York: Harper
and Row Publisher, Inc. Barners and Nobles Import Division.
Kshirsagar, A. 1983. A Course in Linear Models. New York: Marcell Dekker, Inc.
Kumenaung, Anderson Guntur. 1994. Analisis Dampak Kebijakan Ekonomi
terhadap Industri Komoditi Kedelai di Indonesia [Tesis]. Bogor: Sekolah
Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
. 2002. Dampak Kebijkan Ekonomi dan
Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Industri Komoditas Kedelai
Indonesia [Disertasi]. Program Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Kustiari, Reni; Pantjar Simatupang; Dewa Ketus Sadra S; Wahida; Adreng
Purwoto; Helena Juliani Purba; Tjetjep Nurrasa. 2009. Model Proyeksi
Jangka Pendek Permintaan dan Penawaran Komoditas Pertanian Utama.
Laporan Akhir Penelitian TA 2009. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kementerian Pertanian.
76

Lence, Sergio H. 2010. The Agricultural Sector in Argentina: Major Trends and
Recent DevelopmentsMajor Trends and Recent Development. The Shifting
Patterns of Agricultural Production and Productivity Worldwide. The
Midwest Agribusiness Trade Research and Information Center, Iowa State
University, Ames, Iowa. Chapter 14.
Malian, A. Husni. 2004. Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas
Pertanian di Indonesia. Analisis Kebijakan Perdagangan, Vol. 2 No. 2,
Juni 2004. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Mubyarto. 1986. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES.
Munandar, Azhar; Marlianda, Dias; Nopriyanti, Rini; Cempakapuri, Tirtha. 2008.
Komoditi Kedelai [Makalah Agribisnis]. Jurusan Manajemen Agribisnis.
Fakultas Ekonomi. Jambi: Universitas Jambi.
Mursidah. 2005. Perkembangan Produksi Kedelai Nasional dan Upaya
Pengembangannya di Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal LIPI. P. 21 - 45.
Nasution, L.T. 1990. Faktor Pendukung Eksternal Program Benih Kedelai.
Risalah Lokakarya Pengembangan Kedelai. 13 Desember 1990. Bogor:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Nicholson, Walter. 1991. Teori Ekonomi Mikro I, terjemahan Deliarnov. Jakarta:
Penerbit Rajawali.
Nur, Yudha Hadian; Nuryati, Yati; Resnia, Ranni; Santoso, A. Sigit. 2012. Analisis
Faktor dan Proyeksi Konsumsi Pangan Nasional: Kasus Pada Komoditas:
Beras, Kedelai dan Daging Sapi. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol.
6, No. 1, Juli 2012. P. 37 52.
Nurmalita, Yanne. 2011. Tinjauan Konsumsi Kedelai dan Haisl Olahannya
terhadap Syndrom Perimenopause pada Wanita Usia45 55 Tahun di
Jorong III Kenagarian Tanjung Beringin Kec. Lubuk Sikaping Kab.
Pasaman Tahun 2010 [Artikel]. Jumat, 12 Juli 2013.
http://yannenurmalita.blogspot.com/2011/06/tinjauan-konsumsi-kedelai-
dan-hasil.html
Oktaviani, Rina. 2010. Impor Kedelai: Dampaknya terhadap Stabiliats Harga
dan Permintaan Kedelai Dalam Negeri. Jumat, 12 Juli 2013.
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=perdagangan%20kedelai%20d
unia%20&source=web&cd=3&ved=0CDEQFjAC&url=http%3A%2F%2F
agrimedia.mb.ipb.ac.id%2Fuploads%2Fdoc%2F2010-07-06_rinaO-
Impor_Kedelai.doc&ei=ReaGT6uUI_GXiAe4xZHhBw&usg=AFQjCNFs
vJGqfqSSjaQNaNXbLtfGq1zkOg&cad=rja
Pappas, James L dan Mark, Hirschey. 1995. Ekonomi Manajerial. Edisi Keenam,
Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara Indonesia.
Parkin, Michael. 1993. Economics. New York: Adison Wesley Publishing
Company.
Pindyck, Robert S dan Rubinfield, Daniel L. 2008. Econometric Models and
Economic Forecasts; 5th edition. Boston, Mass: Irwin/McGraw-Hill.
Priyanti, Atien; T.D. Soedjana; R. Matondang; P. Sitepu. 1997. Estimasi Sistem
Permintaan dan Penawaran Daging Sapi di Provinsi Lampung. Jurnal
Ilmu Ternak dan Veteriner 3 (2). P. 71-77.
Putong, Iskandar. 2003. Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro. Edisi Kedua.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
77

Rachman, Jan. 2012. Analisis Kelayakan Perluasan Areal Kedelai di Lahan


Sawah pada Pola Tanam Padi Padi Bera [Artikel]. Bogor: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang pertanian.
Kementerian Pertanian. Jumat, 12 Juli 2013.
http://pangan.litbang.deptan.go.id/index.php?bawaan=berita/fullteks_berit
a&&id_menu=3&id_submenu=3&id=179
Rachmawati, Merry. 1999. Analisis Perdagangan Kedelai Indonesia (Penerapan
Model Armington) [Skripsi]. Program Studi Agribisnis, Jurusan Ilmu
Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Bogor: Institut
Pertanian Bogor. Jumat, 12 Juli 2013.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/39774/A99MRA_a
bstract.pdf?sequence=2
Rao, Potluri dan Miller, Roger LeRoy. 1971. Applied Econometrics. California:
Wadsworth Publishing Company, Inc.
Reddy Dilip. 2008. Futures Trade, Export and Direction of Trade in Soya: an
Econometric Analysist [Thesis]. Dharwad: Departement of Agribusiness
Management, University of Agricultural Sciences.
Riana, Fitria Dina dan Ikbal Hardiyanto. 2011. Analisis Peramalan Konsumsi
Kedelai di Indonesia Tahun 2010 2019. AGRISE, Volume XI Nomor 1
Bulan Januari 2011, halaman 8 18. Malang: Universitas Brawijaya.
Rizqal, Mochammad. 2010. Analisis Hubungan Simultan Antara Tingkat Upah
dan Penyerapan Tenaga Kerja serta Variabel yang Mempengaruhinya
[Tesis]. Program Studi Ilmu Ekonomi. Sekolah Pasca Sarjana. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Ruchjana, Budi Nurani. 1992. Model Ekonomi Mikro Penawaran dan Permintaan
Daging Broiler di Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat (Suatu
Pendekatan Persamaan Simultan) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Sahara, Dewi dan Gunawati, Endang S. 2004. Analisis Permintaan Kedelai di
Kabupaten Banyusmas Jawa Tengah.Jawa Tengah. Selasa, 18 Maret 2014.
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/ persen2812 persen29 persen20soca-
dewi persen20sahara-permintaan persen20kedele persen281 persen29.pdf
Said, Nusa Idaman; Indriatmoko, Haryoto; Raharjo, Nugro; dan Herlambang,
Arie. 2010. Teknologi Pengolahan Limbah Tahu-Tempe dengan Proses
Biofilter Anaerob dan Aerob [Artikel]. Kelompok Teknologi Pengelolaan
Air Bersih dan Limbah Cair. Direktorat Teknologi Lingkungan.
Kedeputian Bidang Teknologi, Informasi, Energi dan Material. Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Selasa, 18 Maret 2014.
http://www.kelair.bppt.go.id/Sitpa/Artikel/Limbahtt/limbahtt.html
Salvatore, Dominicck. 2001. Managerial Economics, dalam Perekonomian
Global. Edisi Keempat, Jilid ke 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Samuelson. P. A. and W.D. Nordhaus. 1992. Economics. Fourteenth Edition. New
York: McGraw-Hill, Inc.
Santoso, Paulus Basuki Kuwat. 2006. Pemodelan Produksi Kedeli Naional
dengan Metode SUR [Tesis]. Program Pasca Sarjana. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
78

Sari, Novita Kartika. 2005. Analisis Permintaan Kedelai Indonesia [Skripsi].


Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian. Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang.
Savernini, Maira Q.M. 2009. An Econometric Analysis of the Relationships
among the U.S. Ethanol, Corn and Soybean Sectors, and the World Oil
Prices [Thesis]. USA: Faculty of Art and Sciences, Ohio University.
Sekhar, CSC.2008. Price Formation in The World Soybean Oil Marke an
Econometric Analysist. Indian Economic Review Vol. XXXXIII No. 2. P.
183 204.
Setiabakti, Devi. 2013. Dampak Kebijakan Pengembangan Kedelai Terhadap
Kinerja dan Kesejahteraan Konsumen dan Produsen Kedelai di Indonesia
[Disertasi]. Program Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Silitonga, C., B. Santosa, dan N. Indiarto. 1996. Peranan Kedelai dalam
Perekonomian Nasional. dalam Ekonomi Kedelai di Indonesia. Bogor:
IPB Press.
Simatupang, P., Marwoto, dan D.K.S. Swastika. 2005. Pengembangan kedelai
dan kebijakan penelitian di Indonesia. Makalah disampaikan pada
Lokakarya Pengembangan Kedelai di Lahan Sub Optimal. Malang, 26 Juli
2005. Malang: Balitkabi.
Siregar, Masjidin. 1999. Metode Alternatif Penentuan Tigkat Hasil dan Harga
Kompetitif: Kasus Kedelai. Jurnal Forum Agro Ekonomi (FAE), 22 (2), P.
26-41. Bogor: Pusat Analisis Sosial Eonomi dan Kebijakan Pertanian.
. 2000. Tinjauan Kebijakan Perdagangan Komoditas Kedelai
[Jurnal Pertanian]. Selasa, 18 Maret 2014.
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/%283%29%20soca-asjidin%20siregar-
perdg%20komoditas%20kedele.pdf
. 2003. Kebijakan Perdagangan dan Daya Saing Komoditas
Kedelai. [Laporan Analisis Kebijakan]. Bogor: Pusat Analisis Sosial
Eonomi dan Kebijakan Pertanian.
, Khairani. 2009. Analisis determinan Konsumsi Masyarakat di
Indonesia [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Medan: Universitas Sumatera
Utara. Selasa, 18 Maret 2014.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7210/1/09E00793.pdf
Soekartawi. 1990. Teori Ekonomi Produksi, dengan Pokok Bahasan Analisis
Fungsi Cobb-Douglas. Jakarta: Rajawali Press.
Soesastro, Hadi dan Basri, M. Chatib. 1998. Survey of Recent Development.
Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 34 No. 1, April 1998,
halaman 3 54.
Spencer, H. Milton. 1977. Contemporary Macroeconomics. New York: Worth
Publicer Inc.
Sri, Rahayu. 2011. Dampak Ketahan Kedelai di Indonesia [Artikel]. Selasa, 18
Maret 2014. http://rahayu91.wordpress.com/2011/02/13/dampak-
ketahanan-kedelai-di-indonesia/
Sudarsono. 1995. Pengantar Ekonomi Mikro. Cetakan ke-Delapan, Edisi Revisi.
Jakarta: LP3ES.
Sudaryanto, T. dan D. K. S. Swastika. 2007. Ekonomi Kedelai di Indonesia.
Forum Agro Ekonomi (FAE), 12 (3), P. 1 27. Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
79

Sujoni M., Nurhadi; Mahfudz, Masyhuri; dan Siswadi, Bambang. 2007. Model
Simulasi Kebijakan Ekonomi Kedelai Dan Prospek Swasembada Pada
Era Liberalisasi Perdagangan Menuju Ketahanan Pangan Di Indonesia.
[Laporan Penelitian]. Malang: Fakultas Pertanian, Universitas Islam
Malang. Kamis, 10 April 2014. Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah -
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
PDII-LIPI .
http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/58256
Sukirno, Sadono. 2001. Teori Pengantar Makro Ekonomi, edisi ke-2. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Suliyanto. 2011. Ekonometrika Terapan: Teori dan Aplikasi dengan SPSS. Edisi
pertama. Yogyakarta: Penerbit CV ANDI OFFSET.
Supadi. 2009. Dampak Impor kedelai Berkelanjutan Terhadap Ketahanan
Pangan. Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 7 Nomor 1. Maret 2009:
87 102. Kamis, 10 April 2014.
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART7-1e.pdf
Suryana, Ahmad dan Sudaryanto, Tahlim. 1997. Penawaran, Konsumsi Pangan
dan Kebiasaan Perilaku Makan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Susetyanto. 1994. Analisis Dampak Alternatif Kebijaksanaan Terhadap Produksi,
Pendapatan, dan Konsumsi Rumahtangga Petani Kedelai di Kabupaten
Subang [Tesis]. Program Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Susetyanto. 2012. Model Eonomi Rumahtangga Petani Kedeli di Indonesia:
Analisis Dampak Kebijkan terhadap Tenaga Kerja, Pendapatan dan
Pengeluaran [Disertasi]. Program Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Sutrisno, Salyo; Adisarwanto, Titis; dan Susilowati, Rini. 2010. Analisis Efisiensi
Kedelai Varietas Unggul Baru dalam Rangka Peningkatan Daya Saing
Kedelai Nasional [Laporan Hasil Penelitian]. Malang: Universitas
Brawijaya.
Suyamto dan Widiarta, I Nyoman. 2010. Kebijakan Pengebangan Kedelai
Nasional. Prosiding Simposium dan Pameran Teknologi Aplikasi Isotop
dan Radiasi. Halaman 37 50. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan.
Swastika, Dewa K Sadra. 1997. Swasembada Kedelai Antara Harapan dan
Kenyataan. Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol.15(1), P. 5766. Bogor:
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
. 2003. Soybean Self-Sufficiency in Indonesia: Dream
or Reality?. Shoert Article. CGPRT-Flash. Vol.1(5), P. 15-29. Bogor:
CGPRT.
Syam, M., A. Widjono, Hermanto, G. I. Ismail, H. Anwarhan, dan M. Sabrani.
1996. Usaha tani Tanaman Meningkatkan Produktivitas Lahan dan
Pendapatan Petani. Puslitbangtan. Bogor: Badan Litbang Pertanian.
Tastra, IK.; Ginting, Erliana dan Fatah, Gatot S. A. 2012. Menuju Swaembada
Kedelai Melalui Penerapan Kebijakan yang Sinergis. Jurnal IPTEK
Tanaman Pangan, Volume 7, No. 1, P. 47 57. Malang: Balai Penelitian
Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian, Kementerian Pertanian.
80

Theil, H. 1958. Economic Forecasts and Economic Policy, (second edition),


Amsterdam: North-Holland Publishing Co.
Theil, H and A. Zellner. 1962. Three Stages Least Squares; Simultaneous
Estimation of Simultaneous Equation. Econometrica 1.
Timmer CP, Falcon WP dan Pearson SR. 1983. Food Policy Analysis. Baltimore
and London: The Johns Hopkins University Press.
Tomeck, WG dan KL Robinson. 1972. Agricultural Product Price. Ithaca and
London: Cernell Univercity Press.
Tuhana, Taufiq Andriyanto dan Indarto, Novo. 2004. Budidaya dan Analisis
Usahatani Kedelai, Kacang Hijau, Kacang Panjang. Yogyakarta: Absolut.
Widitono, Hendri dan Arifin, M. Zainul. 2008. Upaya Peningkatan Produksi
Kedelai Sebagai Upaya Meningkatkan Keuntungan Petani di Jawa Timur.
J-SEP, Vol. 2, No. 1, P. 38 47. Jawa Timur: Universitas Bondowoso.
Zakaria, Amar. K. 2010 (a). Dampak Penerapan Teknologi Usahatani Kedelai di
Agrosistem Lahan Kering Terhadap pendapatan Petani. Agrika, Volume
4, No. 2, November 2010. P. 27 59. Malang: Universitas Widyagama.
. 2010 (b). Kebijakan Pengembangan Budidaya Kedelai Menuju
Swasembada melalui Partisipasi Petani. Analisis Kebijakan Pertanian:
Volume 8 No. 3. September 2010, P. 259-272. Bogor: Pusat Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
. 2010 (c). Program Pengembangan Agribisnis Kedelai dalam
Peningkatan Produksi dan Pendapatan Petani. Jurnal Litbang Pertanian,
29(4), P. 31 56. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Bogor: Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.
Zakiah. 2010. Elastisitas Produksi dan Permintaan Kedelai di Indonesia. Jurnal
Agrisep. Vol. 11 No.2, P. 53-61.
. 2011. Simulasi Dampak Kebijakan Produksi Terhadap Ketahan Pangan
Kedelai. Sains Riset Volume 1 No. 2, P. 49 - 72. Banda Aceh:
Universitas Syiah Kuala.
Zanetta,Chindy Ulima; Budi Waluyo dan Agung Karuniawan. 2013. Karakteristik
Fisik dan Kandungan Kimia GalurGalur Harapan Kedelai Hitam
UNPAD Sebagai Bahan Baku Kecap. Dipresentasikan pada Seminar
Nasional Hasil Penelitian Tanaman Kacang- kacangan dan Umbi-umbian
Inovasi Komoditas Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung
Kedaulatan Pangan dan Peningkatan Perekonomian Masyarakat Pertanian
yang diselenggarakan di Balitkabi Malang, 22 Mei 2013. Malang: Balai
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-
Umbian.
81

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Negara-Negara Produsen Kedelai Dunia Tahun 1961 2012


Tahun Negara
USA Brazil Argentina China India Paraguay Canada Lainnya
1961 18,47 0,27 0,0009 6,26 0,005 0,002 0,18 1,69
1970 30,67 1,51 0,03 8,77 0,01 0,04 0,28 2,39
1980 48,92 15,16 3,50 7,965 0,44 0,54 0,69 3,83
1990 52,42 19,90 10,70 11,01 2,60 1,79 1,26 8,78
2002 75,01 42,77 30,00 16,50 4,65 3,30 2,33 7,12
2004 85,01 49,55 31,58 17,40 6,88 3,58 3,04 8,48
2006 87,00 52,46 40,54 15,50 8,86 3,80 3,46 10,34
2008 80,75 59,83 46,24 15,54 9,91 6,31 3,33 9,35
2010 90,61 68,52 52,68 15,08 9,81 7,46 4,34 16,75
2012 82,05 65,85 40,10 12,8 11,5 8,35 4,87 16,32
Rata-rata
Produksi 53,04 20,88 11,97 10,97 2,94 1,66 1,37 7,93
(juta ton)
Pertum-
buhan rata- 3,93 13,5 44,9 2,22 19,56 22,35 9,39 5,05
rata (%)
Negara yang berkontribusi dalam perkedelaian dunia ada 103 negara
Total negara di dunia ada 237 negara
Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2013, diolah

Lampiran 2a. Data Historis


TAHUN PKN LATKN PRKN HBKN HKN HJN JKPU
1961 426.300 625.000 0.682 1.113 27.258 0.804 9.844
1962 396.800 594.000 0.668 1.390 29.138 0.932 12.152
1963 350.200 539.000 0.650 1.738 31.152 1.080 15.000
1964 391.700 571.000 0.686 2.173 33.304 1.251 46.000
1965 409.500 584.000 0.701 2.714 35.601 1.450 46.000
1966 416.900 605.000 0.689 3.389 38.057 1.680 41.000
1967 415.900 589.000 0.706 8.625 40.682 4.275 44.000
1968 419.932 677.000 0.620 36.189 43.488 12.400 42.100
1969 388.907 553.000 0.703 41.544 46.488 18.009 39.300
1970 497.883 695.000 0.716 41.490 49.694 17.793 45.267
1971 515.644 680.000 0.758 53.019 53.122 20.115 48.185
1972 518.229 698.000 0.742 54.909 56.786 21.384 53.682
1973 541.040 744.000 0.727 81.954 60.702 23.886 56.194
1974 589.239 753.499 0.782 99.320 64.889 34.800 95.255
1975 589.831 752.000 0.784 128.680 69.365 46.540 182.600
1976 521.777 646.336 0.807 142.000 74.150 62.000 168.500
1977 522.821 646.121 0.809 160.000 79.264 56.000 376.700
1978 616.599 733.000 0.841 177.000 84.731 51.000 666.953
82

1979 679.825 784.489 0.867 259.856 90.576 69.000 841.025


1980 652.762 732.000 0.892 306.394 96.823 90.000 920.533
Lampiran 2a. Data Historis (lanjutan)
TAHUN PKN LATKN PRKN HBKN HKN HJN JKPU
1981 703.811 810.000 0.869 352.647 103.501 110.000 929.543
1982 521.394 607.788 0.858 376.407 110.640 125.000 896.276
1983 536.103 639.876 0.838 376.407 118.272 125.000 1030.942
1984 769.384 859.000 0.896 425.340 126.429 141.250 1236.900
1985 869.718 896.220 0.970 501.900 135.150 166.670 1632.100
1986 1226.727 1253.767 0.978 566.400 144.472 141.000 1713.900
1987 1160.963 1100.565 1.055 666.400 154.437 178.250 1861.200
1988 1270.418 1177.400 1.079 748.899 165.089 196.394 1912.200
1989 1315.113 1198.096 1.098 748.547 176.310 207.414 2235.830
1990 1487.433 1334.100 1.115 855.822 188.471 231.800 2323.200
1991 1555.453 1368.199 1.137 923.821 281.417 267.948 2287.700
1992 1869.713 1665.000 1.123 893.839 268.781 247.700 2277.000
1993 1708.530 1470.210 1.162 990.780 317.667 273.352 2359.900
1994 1564.847 1406.920 1.112 1109.290 385.248 339.510 2433.000
1995 1680.010 1477.432 1.137 1131.725 434.206 394.087 2712.000
1996 1517.180 1273.290 1.192 1231.884 450.449 477.614 2852.000
1997 1356.891 1119.079 1.213 1367.704 485.286 499.048 2900.600
1998 1305.640 1095.070 1.192 2454.813 679.055 868.854 2831.100
1999 1382.848 1151.079 1.201 2608.220 824.103 1073.870 2745.600
2000 1017.634 825.000 1.233 2268.290 906.305 930.320 2749.900
2001 826.932 678.848 1.218 2663.080 1352.578 1230.540 2445.308
2002 673.056 544.522 1.236 3110.249 1438.723 1212.018 2762.861
2003 671.600 526.796 1.275 3278.278 1557.654 1255.018 5731.409
2004 723.483 565.155 1.280 3499.490 1689.040 1366.810 5848.655
2005 808.353 621.541 1.301 3893.734 1942.989 1338.403 5848.655
2006 747.611 580.534 1.288 3730.961 2549.582 1501.983 5654.692
2007 592.634 459.116 1.291 4300.021 2549.853 1707.971 5865.856
2008 776.491 591.899 1.312 6211.928 7022.728 2499.516 6213.292
2009 974.512 722.791 1.348 6588.062 8096.471 2730.707 7396.031
2010 907.031 660.823 1.373 8221.901 6712.67 2933.9 8816.07
2011 843.838 620.928 1.359 10260.933 7672.584 3579.35 10508.8
2012 851.647 567.871 1.500 12805.644 8769.764 4366.81 12526.4
rata-rata 847.669 828.276 1.001 1745.518 1132.985 639.471 2409.408
Sumber: FAO, Kemenkeu (TIK), Kementan (JKPU, UBTK), 2011
Lampiran 2b. Data Historis

TAHUN JKTK UBTK KKN PNPK HKI SKN HKIN


1961 3.430 1.145 381.890 3 0.000 425.890 95.566
1962 3.948 1.334 352.110 4 0.000 394.110 96.629
1963 4.544 1.555 308.889 5 0.000 349.889 97.704
1964 5.230 1.812 348.700 6 0.000 391.700 98.790
1965 6.019 2.112 365.210 8 0.000 409.210 99.889
1966 6.928 2.462 345.454 10 0.000 389.454 101.000
1967 7.974 2.869 361.042 13 0.000 409.042 91.000
83

1968 9.178 3.344 364.616 16 0.000 411.616 89.000


1969 10.563 3.897 347.158 21 0.000 388.158 86.000
Lampiran 2b. Data Historis (lanjutan)
TAHUN JKTK UBTK KKN PNPK HKI SKN HKIN
1970 12.158 4.541 440.930 24 0.000 493.930 105.000
1971 13.994 5.293 462.189 26 21.661 515.189 111.000
1972 16.106 6.168 462.357 31 43.716 515.357 161.000
1973 18.538 7.189 448.141 44 118.812 505.141 209.000
1974 21.336 8.378 523.241 69 86.667 585.241 244.000
1975 24.557 9.764 545.603 80 52.466 607.603 181.000
1976 28.264 11.380 628.969 97 118.367 692.969 250.000
1977 32.531 13.263 551.531 114 248.822 611.911 216.000
1978 37.442 15.457 678.877 130 284.625 747.097 245.000
1979 43.095 18.014 779.443 169 315.870 856.443 231.000
1980 61.270 26.172 683.640 246 328.397 753.640 279.000
1981 75.922 34.184 995.879 298 329.640 1064.751 223.000
1982 83.621 34.623 821.384 362 268.698 882.384 210.000
1983 110.545 49.170 685.602 439 280.333 757.602 288.000
1984 93.155 42.800 1069.408 469 323.125 1170.408 215.000
1985 99.868 46.631 1080.674 503 263.827 1171.674 186.000
1986 124.248 56.938 1459.481 506 232.284 1586.481 176.000
1987 137.644 61.992 1332.828 603 220.247 1447.828 216.000
1988 160.031 82.386 1597.360 669 296.336 1736.360 273.000
1989 169.140 85.735 1569.673 763 328.378 1705.673 209.000
1990 159.002 69.743 1870.413 883 270.719 2028.413 211.000
1991 197.649 106.288 2047.072 1004 273.461 2228.072 205.000
1992 215.018 102.601 2369.798 1119 268.333 2559.798 204.000
1993 247.838 133.304 2242.454 1445 272.316 2431.454 235.000
1994 277.322 130.530 2190.046 1650 304.492 2365.046 201.000
1995 247.499 109.007 2110.007 1961 297.320 2287.007 247.000
1996 255.183 134.176 2093.791 2288 337.192 2262.791 247.000
1997 457.572 234.040 1827.886 2624 335.306 1972.886 238.000
1998 659.961 333.903 1527.721 4078 287.631 1648.721 181.000
1999 659.961 333.903 2511.987 4478 231.754 2683.987 170.000
2000 758.966 390.081 2133.687 5453 215.609 2293.687 167.000
2001 887.990 460.296 1817.399 6973 210.593 1960.399 161.000
2002 1056.709 552.355 1890.009 7508 219.168 2037.009 203.000
2003 1278.617 673.873 1724.576 8018 277.095 1862.576 270.000
2004 1572.699 835.603 1700.879 9111 373.952 1838.879 211.000
2005 1965.874 1052.859 1751.568 11158 283.571 1892.568 208.000
2006 2496.660 1347.660 1733.348 12752 264.612 1874.348 236.000
2007 2496.950 1751.958 2679.361 14964 213.954 2830.361 371.000
2008 3271.005 2312.584 1787.010 18975 594.992 1948.010 366.000
2009 4317.727 3052.612 2117.639 20936 697.840 2288.639 347.000
2010 5043.105 3629.555 2231.992 25245 482.640 2407.648 415.000
2011 5890.346 4315.541 2352.519 30496 596.550 2532.846 430.000
2012 6879.924 5131.178 2479.555 36839 544.773 2664.554 448.920
rata-rata 821.440 535.274 1291.981 4532 231.080 1401.470 212.625
Sumber: FAO, Kemenkeu (TIK), Kementan (JKPU, UBTK), 2013
84

Lampiran 2c. Data Historis


TAHUN ER TIK KIK SK KEK
1961 1951.605 20.000 0.000 44.000 0.410
1962 1951.605 20.000 0.000 42.000 2.690
1963 1951.832 20.000 0.000 41.000 0.311
1964 1952.059 20.000 0.000 43.000 0.000
1965 1952.059 20.000 0.000 44.000 0.290
1966 1952.059 20.000 0.000 44.000 27.446
1967 1952.059 20.000 0.002 48.000 6.860
1968 1952.059 20.000 0.000 47.000 8.316
1969 1952.059 20.000 0.000 41.000 0.749
1970 1952.059 20.000 0.000 53.000 3.953
1971 1952.059 15.000 0.277 53.000 0.732
1972 1952.059 15.000 0.183 53.000 3.055
1973 1952.059 15.000 0.101 57.000 36.000
1974 1952.059 15.000 0.150 62.000 4.148
1975 1952.059 15.000 17.802 62.000 0.030
1976 1952.059 15.000 171.746 64.000 0.554
1977 1952.059 15.000 89.100 60.380 0.010
1978 1952.059 15.000 130.498 68.220 0.000
1979 1952.059 15.000 176.620 77.000 0.002
1980 1952.059 15.000 100.878 70.000 0.000
1981 1952.059 10.000 361.000 68.872 0.060
1982 1952.059 10.000 361.000 61.000 0.010
1983 1952.059 10.000 221.515 72.000 0.016
1984 1952.059 10.000 401.024 101.000 0.000
1985 1952.059 10.000 301.956 91.000 0.000
1986 1952.059 10.000 359.271 127.000 0.000
1987 1952.059 10.000 286.705 115.000 0.000
1988 1952.059 10.000 465.839 139.000 0.038
1989 1950.224 10.000 390.471 136.000 0.151
1990 1950.224 10.000 541.060 158.000 0.240
1991 1950.224 10.000 672.757 181.000 0.265
1992 2030.068 10.000 694.133 190.000 3.911
1993 2087.171 10.000 723.864 189.000 0.746
1994 2160.674 10.000 800.461 175.000 0.031
1995 2248.609 5.000 607.393 177.000 0.083
1996 2342.430 5.000 746.329 169.000 0.240
1997 2909.389 5.000 616.375 145.000 0.006
1998 10015.557 5.000 343.124 121.000 0.000
1999 7856.084 5.000 1301.760 172.000 0.016
2000 8422.911 5.000 1277.690 160.000 0.521
2001 10262.351 5.000 1136.420 143.000 1.188
2002 9312.123 5.000 1365.250 147.000 0.235
2003 8577.389 5.000 1192.720 138.000 0.433
2004 8927.270 5.000 1117.790 138.000 1.300
2005 9695.553 5.000 1086.180 141.000 0.876
2006 9157.980 5.000 1132.140 141.000 4.633
85

2007 9139.258 5.000 2240.800 151.000 1.872


2008 9698.560 5.000 1173.100 161.000 1.025
Lampiran 2c. Data Historis (lanjutan)
TAHUN ER TIK KIK SK KEK
2009 10324.498 5.000 4505.528 171.000 5.119
2010 10964.617 5.000 1740.510 178.508 3.850
2011 11644.423 5.000 2088.620 180.042 0.547
2012 12366.380 5.000 1914.561 178.915 0.466
rata-rata 4243.278 11 631.821 109.422 2.374
Sumber: FAO, Kemenkeu (TIK), Kementan (JKPU, UBTK), 2013

Lampiran 3. Jenis Variabel Data dan Sumber Data

NO. VARIABEL ENDOGEN KODE SATUAN SUMBER DATA


1 Produksi Kedelai Nasional PKN RIBU TON FAO
2 Luas Area Tanam Kedelai Nasional LATKN RIBU HA FAO
3 Produktivitas Kedelai Nasional PRKN TON/HA FAO
4 Harga Kedelai Nasional HKN RIBU RP/TON FAO
5 Konsumsi Kedelai Nasional KKN RIBU TON FAO
6 Harga Kedelai Impor HKI US $/TON FAO
7 Penawaran Kedelai Nasional SKN RIBU TON FAO
8 Kuantitas Impor Kedelai KIK RIBU TON FAO
NO. VARIABEL ENDOGEN KODE SUMBER DATA
1 Harga Jagung Nasional HJN RIBU RP/TON FAO
2 Jumlah Kuantitas Pupuk Urea JKPU RIBU TON Kementan
3 Upah Buruh Tani Kedelai UBTK RIBU RP/HA Kementan
4 Pendapatan Nasional Per Kapita PNPK RIBU RP./JIWA/TH FAO
5 Harga Kedelai Internasional HKIN US $/TON FAO
6 Tarif Impor Kedelai TIK % Kemenkeu
7 Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar USA ER RP/US $ FAO
8 Stok Kedelai Nasional SK RIBU TON FAO
9 Kuantitas Ekspor Kedelai KEK RIBU TON FAO

Lampiran 4. Perkembangan Neraca Historis Produksi dan Konsumsi Kedelai


Nasional
Tahun PKN Pertumbuhan KKN Pertumbuhan Neraca Pertumbuhan
(%) (%) (%)
1961 426.300 381.890 44.410 (%)
1962 396.800 -6.92 352.110 -7.80 44.690 0.63
1963 350.200 -11.74 308.889 -12.27 41.311 -7.56
1964 391.700 11.85 348.700 12.89 43.000 4.09
1965 409.500 4.54 365.210 4.73 44.290 3.00
1966 416.900 1.81 345.454 -5.41 71.446 61.31
1967 415.900 -0.24 361.042 4.51 54.858 -23.22
1968 419.932 0.97 364.616 0.99 55.316 0.83
1969 388.907 -7.39 347.158 -4.79 41.749 -24.53
1970 497.883 28.02 440.930 27.01 56.953 36.42
86

1971 515.644 3.57 462.189 4.82 53.455 -6.14


Lampiran 4. Perkembangan Neraca Historis Produksi dan Konsumsi Kedelai
Nasional (lanjutan)
Tahun PKN Pertumbuhan KKN Pertumbuhan Neraca Pertumbuhan
(%) (%) (%)
1972 518.229 0.50 462.357 0.04 55.872 4.52
1973 541.040 4.40 448.141 -3.07 92.899 66.27
1974 589.239 8.91 523.241 16.76 65.998 -28.96
1975 589.831 0.10 545.603 4.27 44.228 -32.99
1976 521.777 -11.54 628.969 15.28 -107.192 -342.36
1977 522.821 0.20 551.531 -12.31 -28.710 -73.22
1978 616.599 17.94 678.877 23.09 -62.278 116.92
1979 679.825 10.25 779.443 14.81 -99.618 59.96
1980 652.762 -3.98 683.640 -12.29 -30.878 -69.00
1981 703.811 7.82 995.879 45.67 -292.068 845.88
1982 521.394 -25.92 821.384 -17.52 -299.990 2.71
1983 536.103 2.82 685.602 -16.53 -149.499 -50.17
1984 769.384 43.51 1069.408 55.98 -300.024 100.69
1985 869.718 13.04 1080.674 1.05 -210.956 -29.69
1986 1226.727 41.05 1459.481 35.05 -232.754 10.33
1987 1160.963 -5.36 1332.828 -8.68 -171.865 -26.16
1988 1270.418 9.43 1597.360 19.85 -326.942 90.23
1989 1315.113 3.52 1569.673 -1.73 -254.560 -22.14
1990 1487.433 13.10 1870.413 19.16 -382.980 50.45
1991 1555.453 4.57 2047.072 9.44 -491.619 28.37
1992 1869.713 20.20 2369.798 15.77 -500.085 1.72
1993 1708.530 -8.62 2242.454 -5.37 -533.924 6.77
1994 1564.847 -8.41 2190.046 -2.34 -625.199 17.10
1995 1680.010 7.36 2110.007 -3.65 -429.997 -31.22
1996 1517.180 -9.69 2093.791 -0.77 -576.611 34.10
1997 1356.891 -10.56 1827.886 -12.70 -470.995 -18.32
1998 1305.640 -3.78 1527.721 -16.42 -222.081 -52.85
1999 1382.848 5.91 2511.987 64.43 -1129.139 408.44
2000 1017.634 -26.41 2133.687 -15.06 -1116.053 -1.16
2001 826.932 -18.74 1817.399 -14.82 -990.467 -11.25
2002 673.056 -18.61 1890.009 4.00 -1216.953 22.87
2003 671.600 -0.22 1724.576 -8.75 -1052.976 -13.47
2004 723.483 7.73 1700.879 -1.37 -977.396 -7.18
2005 808.353 11.73 1751.568 2.98 -943.215 -3.50
2006 747.611 -7.51 1733.348 -1.04 -985.737 4.51
2007 592.634 -20.73 2679.361 54.58 -2086.727 111.69
2008 776.491 31.02 1787.010 -33.30 -1010.519 -51.57
2009 974.512 25.50 2117.639 18.50 -1143.127 13.12
2010 907.031 -6.92 2231.992 5.40 -1324.961 15.91
2011 843.838 -6.97 2352.519 5.40 -1508.681 13.87
2012 851.647 0.93 2479.555 5.40 -1627.908 7.90
Rata-rata (%) 847.669 2.39 1291.981 5.37 -444.312 23.80
perbandingan produksi thd konsumsi 65.61
Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2013, diolah
87

Lampiran 5a. Laju Pertumbuhan Data Historis


Tahun PKN LATKN PRKN HBKN HKN JKPU
1961 (%) (%) (%) (%) (%) (%)
1962 -6.920 -4.960 -2.062 24.936 6.897 23.436
1963 -11.744 -9.259 -2.738 25.029 6.910 23.442
1964 11.850 5.937 5.582 25.016 6.910 206.667
1965 4.544 2.277 2.217 24.871 6.897 0.000
1966 1.807 3.596 -1.727 24.880 6.897 -10.870
1967 -0.240 -2.645 2.470 154.500 6.897 7.317
1968 0.969 14.941 -12.155 319.583 6.897 -4.318
1969 -7.388 -18.316 13.378 14.797 6.897 -6.651
1970 28.021 25.678 1.864 -0.130 6.897 15.183
1971 3.567 -2.158 5.852 27.787 6.897 6.446
1972 0.501 2.647 -2.090 3.565 6.897 11.408
1973 4.402 6.590 -2.053 49.254 6.897 4.679
1974 8.909 1.277 7.536 21.190 6.897 69.511
1975 0.100 -0.199 0.300 29.561 6.897 91.696
1976 -11.538 -14.051 2.924 10.351 6.897 -7.722
1977 0.200 -0.033 0.233 12.676 6.897 123.561
1978 17.937 13.446 3.958 10.625 6.897 77.051
1979 10.254 7.024 3.018 46.811 6.897 26.100
1980 -3.981 -6.691 2.904 17.909 6.897 9.454
1981 7.820 10.656 -2.562 15.096 6.897 0.979
1982 -25.918 -24.964 -1.271 6.738 6.897 -3.579
1983 2.821 5.279 -2.335 0.000 6.897 15.025
1984 43.514 34.245 6.905 13.000 6.897 19.978
1985 13.041 4.333 8.346 18.000 6.897 31.951
1986 41.049 39.895 0.825 12.851 6.897 5.012
1987 -5.361 -12.219 7.813 17.655 6.897 8.594
1988 9.428 6.981 2.287 12.380 6.897 2.740
1989 3.518 1.758 1.730 -0.047 6.797 16.924
1990 13.103 11.352 1.573 14.331 6.897 3.908
1991 4.573 2.556 1.967 7.945 49.316 -1.528
1992 20.204 21.693 -1.224 -3.245 -4.490 -0.468
1993 -8.621 -11.699 3.486 10.845 18.188 3.641
1994 -8.410 -4.305 -4.290 11.961 21.274 3.098
1995 7.359 5.012 2.236 2.022 12.708 11.467
1996 -9.692 -13.817 4.787 8.850 3.741 5.162
1997 -10.565 -12.111 1.759 11.025 7.734 1.704
1998 -3.777 -2.145 -1.667 79.484 39.929 -2.396
1999 5.913 5.115 0.760 6.249 21.360 -3.020
2000 -26.410 -28.328 2.676 -13.033 9.975 0.157
2001 -18.740 -17.715 -1.245 17.405 49.241 -11.076
2002 -18.608 -19.787 1.470 16.791 6.369 12.986
2003 -0.216 -3.255 3.141 5.402 8.266 107.445
2004 7.725 7.282 0.414 6.748 8.435 2.046
2005 11.731 9.977 1.595 11.266 15.035 0.000
2006 -7.514 -6.598 -0.981 -4.180 31.220 -3.316
88

2007 -20.730 -20.915 0.234 15.252 0.011 3.734


2008 31.024 28.921 1.631 44.463 175.417 5.923
Lampiran 5a. Laju Pertumbuhan Data Historis (lanjutan)
Tahun PKN LATKN PRKN HBKN HKN JKPU
2009 25.502 22.114 2.775 6.055 15.290 19.036
2010 -6.92 -8.57 1.81 24.80 -17.09 8.51
2011 -6.97 -6.04 -0.99 24.80 14.30 0.00
2012 0.93 -8.54 10.35 24.80 14.30 0.00
rata-rata (%) 2.393 0.809 1.636 24.881 13.735 2.160
Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2011, diolah
Lampiran 5b. Laju Pertumbuhan Data Historis

Tahun JKTK UBTK KKN PNPK HKI SKN


1961 (%) (%) (%) (%) (%) (%)
1962 15.096 16.544 -7.798 28.168 0.000 -7.462
1963 15.096 16.544 -12.275 28.320 0.000 -11.220
1964 15.096 16.544 12.888 28.179 0.000 11.950
1965 15.096 16.544 4.735 28.151 0.000 4.470
1966 15.096 16.544 -5.409 28.205 0.000 -4.828
1967 15.096 16.544 4.512 28.130 0.000 5.030
1968 15.096 16.544 0.990 28.146 0.000 0.629
1969 15.096 16.544 -4.788 25.448 0.000 -5.699
1970 15.096 16.544 27.011 18.480 0.000 27.250
1971 15.096 16.544 4.821 6.826 0.000 4.304
1972 15.096 16.544 0.036 19.393 101.821 0.033
1973 15.096 16.544 -3.075 41.554 171.782 -1.982
1974 15.096 16.544 16.758 57.400 -27.056 15.857
1975 15.096 16.544 4.274 15.767 -39.462 3.821
1976 15.096 16.544 15.280 21.524 125.606 14.050
1977 15.096 16.544 -12.312 16.825 110.213 -11.697
1978 15.096 16.544 23.090 14.002 14.389 22.092
1979 15.096 16.544 14.814 30.674 10.978 14.636
1980 42.176 45.288 -12.291 45.321 3.966 -12.003
1981 23.913 30.613 45.673 21.164 0.379 41.281
1982 10.140 1.284 -17.522 21.203 -18.487 -17.128
1983 32.197 42.015 -16.531 21.259 4.330 -14.141
1984 -15.731 -12.955 55.981 6.970 15.265 54.489
1985 7.206 8.951 1.053 7.278 -18.352 0.108
1986 24.412 22.103 35.053 0.614 -11.956 35.403
1987 10.781 8.876 -8.678 19.129 -5.182 -8.740
1988 16.265 32.898 19.847 10.865 34.547 19.929
1989 5.692 4.065 -1.733 14.130 10.813 -1.767
1990 -5.994 -18.653 19.159 15.688 -17.559 18.922
1991 24.306 52.400 9.445 13.736 1.013 9.843
1992 8.787 -3.469 15.765 11.400 -1.875 14.888
1993 15.264 29.925 -5.374 29.121 1.484 -5.014
1994 11.896 -2.081 -2.337 14.186 11.816 -2.731
1995 -10.754 -16.489 -3.655 18.857 -2.355 -3.300
89

1996 3.105 23.089 -0.769 16.696 13.410 -1.059


1997 79.311 74.427 -12.700 14.682 -0.559 -12.812
Lampiran 5b. Laju Pertumbuhan Data Historis (lanjutan)
Tahun JKTK UBTK KKN PNPK HKI SKN
1998 44.231 42.670 -16.421 55.427 -14.218 -16.431
1999 0.000 0.000 64.427 9.796 -19.427 62.792
2000 15.002 16.825 -15.060 21.777 -6.967 -14.542
2001 17.000 18.000 -14.824 27.883 -2.326 -14.531
2002 19.000 20.000 3.995 7.670 4.072 3.908
2003 21.000 22.000 -8.753 6.792 26.431 -8.563
2004 23.000 24.000 -1.374 13.629 34.954 -1.272
2005 25.000 26.000 2.980 22.470 -24.169 2.920
2006 27.000 28.000 -1.040 14.285 -6.686 -0.963
2007 0.012 30.000 54.577 17.353 -19.144 51.005
2008 31.000 32.000 -33.305 26.803 178.093 -31.175
2009 32.000 32.000 18.502 10.333 17.286 17.486
2010 16.80 18.90 5.40 20.58 -30.84 5.20
2011 16.80 18.90 5.40 20.80 23.60 5.20
2012 16.80 18.90 5.40 20.80 -8.68 5.20
rata-rata (%) 16.850 18.986 5.370 20.861 12.568 5.169
Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2011, diolah
Lampiran 5c. Laju Pertumbuhan Data Historis

Tahun HKIN ER TIK KIK SK KEK


1961 (%) (%) (%) (%) (%) (%)
1962 1.112 0.000 0.000 0.000 -4.545 556.1
1963 1.112 0.012 0.000 0.000 -2.381 -88.439
1964 1.112 0.012 0.000 0.000 4.878 -100
1965 1.112 0.000 0.000 0.000 2.326 100
1966 1.112 0.000 0.000 0.000 0.000 9364.1
1967 -9.901 0.000 0.000 0.000 9.091 -75.005
1968 -2.198 0.000 0.000 0.000 -2.083 21.224
1969 -3.371 0.000 0.000 0.000 -12.766 -90.993
1970 22.093 0.000 0.000 0.000 29.268 427.77
1971 5.714 0.000 -25.000 0.000 0.000 -81.482
1972 45.045 0.000 0.000 -33.935 0.000 317.35
1973 29.814 0.000 0.000 -44.809 7.547 1078.4
1974 16.746 0.000 0.000 48.515 8.772 -88.478
1975 -25.820 0.000 0.000 11768.000 0.000 -99.277
1976 38.122 0.000 0.000 864.757 3.226 1746.7
1977 -13.600 0.000 0.000 -48.121 -5.656 -98.195
1978 13.426 0.000 0.000 46.462 12.984 -100
1979 -5.714 0.000 0.000 35.343 12.870 100
1980 20.779 0.000 0.000 -42.884 -9.091 -100
1981 -20.072 0.000 -33.333 257.858 -1.611 100
1982 -5.830 0.000 0.000 0.000 -11.430 -83.333
1983 37.143 0.000 0.000 -38.639 18.033 60
1984 -25.347 0.000 0.000 81.037 40.278 -100
90

1985 -13.488 0.000 0.000 -24.704 -9.901 0


1986 -5.376 0.000 0.000 18.981 39.560 0
Lampiran 5c. Laju Pertumbuhan Data Historis (lanjutan)
Tahun HKIN ER TIK KIK SK KEK
1987 22.727 0.000 0.000 -20.198 -9.449 0
1988 26.389 0.000 0.000 62.480 20.870 100
1989 -23.443 -0.094 0.000 -16.179 -2.158 297.37
1990 0.957 0.000 0.000 38.566 16.176 58.94
1991 -2.844 0.000 0.000 24.341 14.557 10.417
1992 -0.488 4.094 0.000 3.177 4.972 1375.8
1993 15.196 2.813 0.000 4.283 -0.526 -80.926
1994 -14.468 3.522 0.000 10.582 -7.407 -95.845
1995 22.886 4.070 -50.000 -24.120 1.143 167.74
1996 0.000 4.172 0.000 22.874 -4.520 189.16
1997 -3.644 24.204 0.000 -17.412 -14.201 -97.5
1998 -23.950 244.249 0.000 -44.332 -16.552 -100
1999 -6.077 -21.561 0.000 279.385 42.149 100
2000 -1.765 7.215 0.000 -1.849 -6.977 3156.3
2001 -3.593 21.839 0.000 -11.057 -10.625 128.02
2002 26.087 -9.259 0.000 20.136 2.797 -80.219
2003 33.005 -7.890 0.000 -12.637 -6.122 84.255
2004 -21.852 4.079 0.000 -6.282 0.000 200.23
2005 -1.422 8.606 0.000 -2.828 2.174 -32.615
2006 13.462 -5.545 0.000 4.231 0.000 428.88
2007 57.203 -0.204 0.000 97.926 7.092 -59.594
2008 -1.348 6.120 0.000 -47.648 6.623 -45.246
2009 -5.191 6.454 0.000 284.070 6.211 399.41
2010 19.60 6.20 0.00 -61.37 4.39 -24.79
2011 3.61 6.20 0.00 20.00 0.86 -85.79
2012 4.40 6.20 0.00 -8.33 -0.63 -14.81
rata-rata (%) 4.690 6.186 -2.124 264.425 3.534 367.561
Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2013, diolah
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil Respesifikasi Model

Alternatif respesifikasi ke 1
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -1.112 bagus 10
9.75
PRKN rangking
kesesuaian 4/5 80% 8
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 0.98 10
Durbin-H stat -1.28 bagus 10
9
KKN rangking
91

kesesuaian 5/6 83% 9


signifikansi 5/6 83% 9
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil
Respesifikasi Model (lanjutan)

R2 adj 95% 10
Durbin-H stat -3.275 ada +/- 0
7
HKN rangking
kesesuaian 4/7 57% 6
signifikansi 3/7 43% 5
R2 adj 95% 10
Durbin-H stat -26.606 ada +/- 0
5.25
HKI rangking
kesesuaian 4/6 67% 7
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 88% 9
Durbin-H stat 0.563 bagus 10
8.75
KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 10
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.715 bagus 10
8.75
Alternatif respesifikasi ke 2
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -1.112 bagus 10
9.75
PRKN rangking
kesesuaian 4/5 80% 8
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 10
Durbin-H stat -1.303 bagus 10
9
KKN rangking
kesesuaian 6/6 100% 10
signifikansi 6/6 100% 10
R2 adj 97% 10
Durbin-H stat -4.415 ada +/- 0
7.5
HKN rangking
kesesuaian 4/7 57% 6
signifikansi 2/7 29% 3
R2 adj 95% 10
Durbin-H stat 176.5 ada+/- 0
92

4.75
HKI rangking
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil
Respesifikasi Model (lanjutan)
kesesuaian 5/6 83% 9
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 92% 10
Durbin-H stat 1.152 bagus 10
9.5
KIK rangking
kesesuaian 2/3 67% 7
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.74 bagus 10
8
Alternatif respesifikasi ke 3
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -4.686 ada +/- 0
7.25
PRKN rangking
kesesuaian 5/5 100% 10
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 10
Durbin-H stat 1.27 bagus 10
9.5
KKN rangking
kesesuaian 5/6 83% 9
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 95% 10
Durbin-H stat -3.328 ada+/- 0
7
HKN rangking
kesesuaian 4/7 57% 6
signifikansi 3/7 43% 5
R2 adj 95% 10
Durbin-H stat -26.786 ada+/- 0
5.25
HKI rangking
kesesuaian 4/6 67% 7
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 87% 9
Durbin-H stat 0.523 bagus 10
8.75
KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 10
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
93

Durbin-W stat 2.716 bagus 10


8.75
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil
Respesifikasi Model (lanjutan)
Alternatif respesifikasi ke 4
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -4.686 ada +/- 0
7.25
PRKN rangking
kesesuaian 4/5 80% 8
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 10
Durbin-H stat -1.291 bagus 10
9
KKN rangking
kesesuaian 6/6 100% 10
signifikansi 6/6 100% 10
R2 adj 97% 10
Durbin-H stat -4.398 bagus 0
7.5
HKN rangking
kesesuaian 4/7 57% 6
signifikansi 3/7 43% 5
R2 adj 95% 10
Durbin-H stat -27.236 ada+/- 0
5.25
HKI rangking
kesesuaian 5/6 83% 9
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 87% 9
Durbin-H stat -0.33 bagus 10
9.25
KIK rangking
kesesuaian 2/3 67% 7
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.74 bagus 10
8
Alternatif respesifikasi ke 5
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -4.669 ada +/- 0
7.25
PRKN rangking
kesesuaian 4/5 80% 8
94

signifikansi 4/5 80% 8


R2 adj 98% 10
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil
Respesifikasi Model (lanjutan)
Durbin-H stat -1.282 bagus 10
9
KKN rangking
kesesuaian 5/6 83% 9
signifikansi 5/6 83% 5
R2 adj 95% 10
Durbin-H stat -3.275 ada +/- 0
6
HKN rangking
kesesuaian 3/7 43% 5
signifikansi 3/7 43% 5
R2 adj 95% 10
Durbin-H stat -26.606 ada+/- 0
5
HKI rangking
kesesuaian 4/6 67% 7
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 88% 9
Durbin-H stat 0.57 bagus 10
8.75
KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 10
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.691 bagus 10
8.75
Alternatif respesifikasi ke 6
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -4669 ada +/- 0
7.25
PRKN rangking
kesesuaian 4/5 80% 8
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 10
Durbin-H stat -1.303 bagus 10
9
KKN rangking
kesesuaian 6/6 100% 5
signifikansi 6/6 100% 4
R2 adj 97% 10
Durbin-H stat -4.415 bagus 0
4.75
HKN rangking
95

kesesuaian 4/7 57% 6


signifikansi 2/7 29% 3
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil
Respesifikasi Model (lanjutan)
R2 adj 95% 10
Durbin-H stat -27.026 ada+/- 0
4.75
HKI rangking
kesesuaian 5/6 83% 9
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 88% 9
Durbin-H stat 1.152 bagus 10
9.25
KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 5
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.689 bagus 10
7.5
Alternatif respesifikasi ke 7
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -4.686 ada +/- 0
7.25
PRKN rangking
kesesuaian 5/5 100% 10
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 10
Durbin-H stat -1.27 bagus 10
9.5
KKN rangking
kesesuaian 5/6 83% 9
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 95% 10
Durbin-H stat -3.328 ada +/- 0
7
HKN rangking
kesesuaian 4/7 57% 6
signifikansi 3/7 43% 5
R2 adj 95% 10
Durbin-H stat -26.786 ada +/- 0
5.25
HKI rangking
kesesuaian 4/6 67% 7
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 87% 9
Durbin-H stat 0.523 bagus 10
8.75
96

KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 10
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil
Respesifikasi Model (lanjutan)
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.69 bagus 10
8.75
Alternatif respesifikasi ke 8
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -4.775 ada +/- 0
7.25
PRKN rangking
kesesuaian 4/5 80% 8
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 10
Durbin-H stat -1.287 bagus 10
9
KKN rangking
kesesuaian 6/6 100% 10
signifikansi 6/6 100% 10
R2 adj 97% 10
Durbin-H stat -5.848 ada +/- 0
7.5
HKN rangking
kesesuaian 7/7 100% 10
signifikansi 5/7 71% 8
R2 adj 95% 10
Durbin-H stat -14.878 ada +/- 0
7
HKI rangking
kesesuaian 5/6 83% 9
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 87% 9
Durbin-H stat 0.973 bagus 10
9.25
KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 10
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.682 bagus 10
8.75
Alternatif respesifikasi ke 9
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
97

Durbin-H stat -4.704 ada +/- 0


7.25
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil
Respesifikasi Model (lanjutan)
PRKN rangking
kesesuaian 4/5 80% 8
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 10
Durbin-H stat -1.303 bagus 10
9
KKN rangking
kesesuaian 6/6 100% 10
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 97% 10
Durbin-H stat -5.286 ada +/- 0
7.25
HKN rangking
kesesuaian 2/5 40% 4
signifikansi 3/5 60% 6
R2 adj 95% 10
Durbin-H stat 1.014 ada +/- 0
5
HKI rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 75% 8
R2 adj 85% 9
Durbin-H stat -0.392 bagus 10
9.25
KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 10
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.685 ada +/- 10
8.75
Alternatif respesifikasi ke 10
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -4.722 ada +/- 0
7.25
PRKN rangking
kesesuaian 4/5 80% 8
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 10
Durbin-H stat -1.299 bagus 10
9
KKN rangking
kesesuaian 6/6 100% 10
signifikansi 5/6 83% 9
98

R2 adj 97% 10
Durbin-H stat -5.998 ada +/- 0
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil
Respesifikasi Model (lanjutan)
7.25
HKN rangking
kesesuaian 3/5 60% 6
signifikansi 5/5 100% 10
R2 adj 96% 10
Durbin-H stat 1.808 ada +/- 0
6.5
HKI rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 75% 8
R2 adj 84% 9
Durbin-H stat -0.688 bagus 10
9.25
KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 10
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.688 bagus 10
8.75
Alternatif respesifikasi ke 11
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -4.704 ada +/- 0
7.25
PRKN rangking
kesesuaian 4/5 80% 8
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 10
Durbin-H stat -1.303 bagus 10
9
KKN rangking
kesesuaian 6/6 100% 10
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 97% 10
Durbin-H stat -5.286 ada +/- 0
7.25
HKN rangking
kesesuaian 3/6 50% 5
signifikansi 4/6 67% 7
R2 adj 95% 10
Durbin-H stat -33.63 ada +/- 0
5.5
HKI rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
99

signifikansi 75% 8
R2 adj 85% 9
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil
Respesifikasi Model (lanjutan)
Durbin-H stat -0.397 bagus 10
9.25
KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 10
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.685 bagus 10
8.75
Alternatif respesifikasi ke 12
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -4.722 ada +/- 0
7.25
PRKN rangking
kesesuaian 4/5 80% 8
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 10
Durbin-H stat -1.299 bagus 10
9
KKN rangking
kesesuaian 6/6 100% 10
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 97% 10
Durbin-H stat -5.998 ada +/- 0
7.25
HKN rangking
kesesuaian 4/6 67% 7
signifikansi 4/6 67% 7
R2 adj 96% 10
Durbin-H stat -53.85 ada +/- 0
6
HKI rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 75% 8
R2 adj 84% 9
Durbin-H stat -0.688 bagus 10
9.25
KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 5
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.688 bagus 10
7.5
Alternatif respesifikasi ke 13
100

LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil
Respesifikasi Model (lanjutan)
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -4.722 ada +/- 0
7.25
PRKN rangking
kesesuaian 4/5 80% 8
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 10
Durbin-H stat -1.299 bagus 10
9
KKN rangking
kesesuaian 6/6 100% 10
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 97% 10
Durbin-H stat -5.998 ada +/- 0
7.25
HKN rangking
kesesuaian 2/5 40% 4
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 92% 10
Durbin-H stat 6.43 ada +/- 0
5.5
HKI rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 75% 8
R2 adj 84% 10
Durbin-H stat -0.688 bagus 10
9.5
KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 10
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.688 bagus 10
8.75
Alternatif respesifikasi ke 14
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -4.722 ada +/- 0
7.25
PRKN rangking
kesesuaian 4/5 80% 8
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 10
Durbin-H stat -1.299 bagus 10
101

9
KKN rangking
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil
Respesifikasi Model (lanjutan)
kesesuaian 6/6 100% 10
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 97% 10
Durbin-H stat -5.998 ada +/- 0
7.25
HKN rangking
kesesuaian 6/6 100% 10
signifikansi 6/6 100% 10
R2 adj 88% 9
Durbin-H stat -13.24 ada +/- 0
7.25
HKI rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 75% 8
R2 adj 84% 9
Durbin-H stat -0.688 bagus 10
9.25
KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 10
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.688 bagus 10
8.75
Alternatif respesifikasi ke A
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -1.112 bagus 10
9.75
PRKN rangking
kesesuaian 4/5 80% 8
signifikansi 4/5 80% 8
R2 adj 98% 0.98 10
Durbin-H stat -1.28 bagus 10
9
KKN rangking
kesesuaian 6/6 100% 10
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 97% 10
Durbin-H stat -3.432 ada +/- 0
7.25
HKN rangking
kesesuaian 5/6 83% 9
signifikansi 4/6 67% 7
R2 adj 92% 10
102

Durbin-H stat -10.839 ada +/- 0


6.5
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil
Respesifikasi Model (lanjutan)
HKI rangking
kesesuaian 4/6 67% 7
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 88% 9
Durbin-H stat 0.57 bagus 10
8.75
KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 10
signifikansi 2/3 67% 7
R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.715 bagus 10
8.75
Alternatif respesifikasi ke B
LATKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 86% 9
Durbin-H stat -1.112 bagus 10
9.75
PRKN rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 4/4 100% 10
R2 adj 98% 9
Durbin-H stat -1.27 bagus 10
9.75
KKN rangking
kesesuaian 6/6 100% 10
signifikansi 5/6 83% 9
R2 adj 97% 10
Durbin-H stat -3.432 ada +/- 0
7.25
HKN rangking
kesesuaian 5/5 100% 10
signifikansi 5/5 100% 10
R2 adj 92% 10
Durbin-H stat 3.973 ada +/- 0
7.5
HKI rangking
kesesuaian 4/4 100% 10
signifikansi 75% 8
R2 adj 85% 9
Durbin-H stat -0.397 bagus 10
9.25
KIK rangking
kesesuaian 3/3 100% 10
signifikansi 2/3 67% 7
103

R2 adj 73% 8
Durbin-W stat 2.715 bagus 10
Lampiran 6a. Ringkasan Penilaian Hasil
Respesifikasi Model (lanjutan)
8.75
Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2011, diolah

Lampiran 6b. Rekapitulasi Perangkingan* Hasil Respesifikasi Model


model/respesi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
fikasi ke-

LATKN 9.8 9.8 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3
PRKN 9.0 9.0 9.5 9.0 9.0 9.0 9.5 9.0 9.0 9.0 9.0 9.0 9.0 9.0
KKN 7.0 7.5 7.0 7.5 6.0 4.8 7.0 7.5 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3 7.3
HKN 5.3 4.8 5.3 5.3 5.0 4.8 5.3 7.0 5.0 6.5 5.5 6.0 5.5 7.3
HKI 8.8 9.5 8.8 9.3 8.8 9.3 8.8 9.3 9.3 9.3 9.3 9.3 9.5 9.3
KIK 8.8 8.0 8.8 8.0 8.8 7.5 8.8 8.8 8.8 8.8 8.8 7.5 8.8 8.8
rata-rata 8.1 8.1 7.8 7.7 7.5 7.1 7.8 8.1 7.8 8.0 7.8 7.7 7.9 8.1
keterangan warna abu-abu adalah model terpilih dari nilai rangking respesifikasi yang paling
bagus, yang kemudian untuk dikombinasikan kembali
1. LATKN 1, karena nilai signifikansinya ada yang lebih kecil pada variabel HJN
2. PRKN terpilih 1, karena niai Dh-stat paling kecil, variabel lainnya sama
3. KKN 2, nilai rangking paling tinggi
4. HKN 14 paling bagus kriterianya
5. HKI 2 paling banya variabel penjelasnya dan paling tinggi rangking nya
6. KIK 1 & 14 semua variabel sama, dipilih 1 karena variabel eksogen yang dipilih HKI,
bukan LHKI
kombinasi hasil respesifikasi ke 1, 2, dan 14 menjadi 2 bagian respesifikasi sebagai berikut:
respesifikasi ke- A B
model

LATKN 9.75 9.75


PRKN 9.00 9.75
KKN 7.25 7.25
HKN 6.50 7.50
HKI 8.75 9.25
KIK 8.75 8.75
rata-rata 8.33 8.71 B, model terpilih
Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2013, diolah
* perangkingan berdasarkan kriteria kesesuaian tanda pada slope, nilai Pr>[T], nilai Dh atau
Dw-stat dan R2adj

Lampiran 7. Nilai U-Theil

Nilai U-Theil Simulasi Dasar


104

Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions

Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef


Variabel N MSE (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
LATKN 51 14220.3 0.92 0.00 0.00 1.00 0.03 0.97 0.1344 0.0675
PRKN 51 0.00119 0.99 0.06 0.11 0.83 0.07 0.86 0.0333 0.0166
Lampiran 7. Nilai U-Theil (lanjutan)
KKN 51 44249.4 0.96 0.00 0.00 1.00 0.01 0.99 0.1390 0.0696

HKN 51 376882 0.96 0.00 0.00 1.00 0.01 0.99 0.2432 0.1230
HKI 51 4550.4 0.91 0.00 0.00 1.00 0.03 0.97 0.2340 0.1184
KIK 51 170839 0.86 0.00 0.00 1.00 0.08 0.92 0.4001 0.2090
PKN 51 16590.9 0.95 0.00 0.00 0.99 0.01 0.99 0.1355 0.0678
SKN 51 184982 0.91 0.00 0.00 1.00 0.06 0.94 0.2244 0.1137
Nilai U-Theil Simulasi Pertama, LATKN naik 7 persen
Theil Forecast Error Statistics
MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variabel N MSE (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
LATKN 51 17652.3 0.92 0.17 0.03 0.80 0.00 0.83 0.1498 0.0728
PRKN 51 0.00122 0.99 0.09 0.11 0.81 0.07 0.84 0.0337 0.0167
KKN 51 46754.7 0.96 0.05 0.02 0.93 0.00 0.95 0.1429 0.0704
HKN 51 378013 0.96 0.01 0.00 0.99 0.01 0.98 0.2436 0.1237
HKI 51 4555.3 0.91 0.00 0.00 1.00 0.03 0.97 0.2341 0.1186
KIK 51 171285 0.86 0.00 0.00 1.00 0.08 0.92 0.4006 0.2101
PKN 51 21629.2 0.95 0.18 0.06 0.76 0.01 0.81 0.1548 0.0749
SKN 51 187015 0.91 0.01 0.00 0.99 0.04 0.95 0.2256 0.1129
Nilai U-Theil Simulasi Kedua
Theil Forecast Error Statistics
MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variabel N MSE (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
LATKN 51 17741.1 0.92 0.13 0.01 0.86 0.01 0.85 0.1501 0.0733
PRKN 51 0.00124 0.99 0.08 0.12 0.80 0.08 0.83 0.0339 0.0169
KKN 51 50538.3 0.96 0.07 0.00 0.93 0.03 0.90 0.1485 0.0760
HKN 51 1246708 0.95 0.42 0.17 0.40 0.10 0.48 0.4424 0.1949
HKI 51 106953 0.91 0.66 0.30 0.04 0.25 0.09 1.1343 0.3680
KIK 51 219907 0.85 0.13 0.05 0.82 0.00 0.87 0.4539 0.2161
PKN 51 23345.9 0.94 0.17 0.04 0.79 0.00 0.83 0.1608 0.0779
SKN 51 275610 0.90 0.19 0.08 0.73 0.01 0.80 0.2739 0.1295
Nilai U-Theil Simulasi Ketiga
Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions

Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef


Variabel N MSE (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
LATKN 51 22653.7 0.88 0.08 0.00 0.92 0.05 0.88 0.1696 0.0835
PRKN 51 0.00128 0.99 0.08 0.13 0.79 0.09 0.83 0.0345 0.0171
KKN 51 72976.4 0.94 0.09 0.02 0.89 0.10 0.81 0.1785 0.0927
HKN 51 2226769 0.96 0.17 0.66 0.17 0.57 0.26 0.5912 0.2356
HKI 51 5134.9 0.91 0.01 0.06 0.93 0.00 0.99 0.2486 0.1227
KIK 51 256884 0.86 0.07 0.25 0.68 0.07 0.86 0.4906 0.2246
PKN 51 35950.7 0.91 0.11 0.06 0.83 0.00 0.89 0.1995 0.0967
SKN 51 373858 0.89 0.11 0.27 0.62 0.11 0.78 0.3190 0.1487
Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2011, diolah
Lampiran 8a. Hasil Output SAS Model Simultan Terpilih

Model LATKN
The SAS System
The SYSLIN Procedure
TwoStage Least Squares Estimation
Model LATKN
Dependent Variabel LATKN
Analysis of Variance
Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F
Model 4 4166144 1041536 76.82 <.0001
105

Error 46 623697.6 13558.64


Corrected Total 50 4818002
Root MSE 116.44159 RSquare 0.86979
Dependent Mean 832.26196 Adj RSq 0.85846
Coeff Var 13.99098
Parameter Estimates
Lampiran 8a. Hasil Output SAS Model Simultan Terpilih (lanjutan)
Parameter Standard

Variabel DF Estimate Error t Value Pr > |t|


Intercept 1 62.32692 52.41442 1.19 0.2405
HKN 1 0.067987 0.031263 2.17 0.0348
HJN 1 0.21281 0.088509 2.40 0.0203
TREN 1 3.755558 2.593729 1.45 0.1544
LLATKN 1 0.874492 0.070693 12.37 <.0001
DurbinWatson 2.264958
Number of Observations 51
FirstOrder Autocorrelation 0.14102
Model PRKN
The SAS System
The SYSLIN Procedure
TwoStage Least Squares Estimation
Model PRKN
Dependent Variabel PRKN
Analysis of Variance
Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F
Model 4 2.951034 0.737758 666.98 <.0001
Error 46 0.050881 0.001106
Corrected Total 50 3.001442
Root MSE 0.03326 RSquare 0.98305
Dependent Mean 1.00759 Adj RSq 0.98158
Coeff Var 3.30078
Parameter Estimates
Parameter Standard
Variabel DF Estimate Error t Value Pr > |t|
Intercept 1 0.116511 0.042556 2.74 0.0088
JKPU 1 0.000025 9.676E6 2.57 0.0136
LUBTK 1 0.00003 0.000020 1.43 0.1607
LATKN 1 0.000033 0.000020 1.66 0.1047
LPRKN 1 0.822145 0.062444 13.17 <.0001
DurbinWatson 2.308117
Number of Observations 51
FirstOrder Autocorrelation 0.19511
Model HKI
The SAS System
The SYSLIN Procedure
TwoStage Least Squares Estimation
Model HKI
Dependent Variabel HKI
Analysis of Variance
Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F
Model 4 1206294 301573.6 70.08 <.0001
Error 46 197959.0 4303.457
Corrected Total 50 1407957
Root MSE 65.60074 RSquare 0.85903
Dependent Mean 235.61067 Adj RSq 0.84677
Coeff Var 27.84286
Parameter Estimates
Parameter Standard
Variabel DF Estimate Error t Value Pr > |t|
Intercept 1 17.5811 36.14529 0.49 0.6290
HKIN 1 0.529315 0.207806 2.55 0.0143
HKN 1 0.012844 0.008636 1.49 0.1438
ER 1 0.00283 0.004317 0.66 0.5154
LHKI 1 0.607902 0.094547 6.43 <.0001
DurbinWatson 2.081249
Number of Observations 51
106

FirstOrder Autocorrelation 0.07639


Model KIK
The SAS System
The SYSLIN Procedure
TwoStage Least Squares Estimation
Lampiran 8a. Hasil Output SAS Model Simultan Terpilih (lanjutan)
Model KIK
Dependent Variabel KIK
Analysis of Variance
Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F
Model 3 25060498 8353499 46.50 <.0001
Error 47 8443344 179645.6
Corrected Total 50 33259111
Root MSE 423.84621 RSquare 0.74799
Dependent Mean 644.20969 Adj RSq 0.73190
Coeff Var 65.79321
Parameter Estimates
Parameter Standard
Variabel DF Estimate Error t Value Pr > |t|
Intercept 1 970.7603 330.9181 2.93 0.0052
HKN 1 0.221376 0.039810 5.56 <.0001
TIK 1 53.7138 17.57710 3.06 0.0037
HKI 1 0.032397 0.754336 0.04 0.9659
DurbinWatson 2.715187
Number of Observations 51
FirstOrder Autocorrelation 0.39117
Model KKN
The SAS System
The SYSLIN Procedure
TwoStage Least Squares Estimation
Model KKN
Dependent Variabel KKN
Analysis of Variance
Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F
Model 6 27684609 4614102 238.36 <.0001
Error 44 851733.3 19357.57
Corrected Total 50 29318809
Root MSE 139.13150 RSquare 0.97015
Dependent Mean 1309.82561 Adj RSq 0.96608
Coeff Var 10.62214
Parameter Estimates
Parameter Standard
Variabel DF Estimate Error t Value Pr > |t|
Intercept 1 39.3390 47.61689 0.83 0.4132
HKN 1 0.24616 0.041545 5.93 <.0001
SKN 1 0.639167 0.093363 6.85 <.0001
LPNPK 1 0.089962 0.012888 6.98 <.0001
HKI 1 0.149264 0.248111 0.60 0.5505
KIK 1 0.40174 0.107601 3.73 0.0005
LKKN 1 0.376952 0.065396 5.76 <.0001
DurbinWatson 2.205933
Number of Observations 51
FirstOrder Autocorrelation 0.11599
Model HKN
The SAS System
The SYSLIN Procedure
TwoStage Least Squares Estimation
Model HKN
Dependent Variabel HKN
Analysis of Variance
Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F
Model 5 2.396E8 47920272 119.04 <.0001
Error 45 18114847 402552.2
Corrected Total 50 2.5694E8
Root MSE 634.46999 RSquare 0.92971
107

Dependent Mean 1154.66545 Adj RSq 0.92190


Coeff Var 54.94838
Parameter Estimates
Parameter Standard
Variabel DF Estimate Error t Value Pr > |t|
Intercept 1 66.48659 215.0266 0.31 0.7586
Lampiran 8a. Hasil Output SAS Model Simultan Terpilih (lanjutan)
KKN 1 0.425862 0.361028 1.18 0.2444

HKI 1 3.055597 1.010912 3.02 0.0041


SKN 1 1.07671 0.467576 2.30 0.0260
KIK 1 1.129197 0.453400 2.49 0.0165
LHKN 1 0.828689 0.091379 9.07 <.0001
DurbinWatson 1.825687
Number of Observations 51
FirstOrder Autocorrelation 0.074224
Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2013, diolah

Lampiran 8b. Hasil Output SAS Peramalan


The SAS System
Obs _TYPE_ _LEAD_ LATKN PRKN KKN HKN HKI
52 ACTUAL 0 567.871 1.5 2479.555 8769.764 544.773
53 FORECAST 1 636.61816505 1.4772772703 2626.3947377 6646.166894 528.42543317
54 FORECAST 2 707.92232937 1.4712920334 2738.8033561 5706.4600459 520.40934547
55 FORECAST 3 793.71182401 1.4748164169 2866.6297635 5788.1251944 518.01023946
56 FORECAST 4 854.82171174 1.4837438127 2678.3857051 5043.8527573 519.39803403
57 FORECAST 5 893.12883826 1.4957409991 2962.3633404 4234.5668371 523.33891083
58 FORECAST 6 939.10951252 1.5094823262 2930.1392634 4749.9240608 529.00104455
59 FORECAST 7 988.9489552 1.5242146092 3005.5110302 4955.682469 535.8236287
60 FORECAST 8 1044.3776635 1.5395099163 3012.377 4830.1616483 543.42857439
Obs KIK PKN SKN HJN TREN LLATKN JKBKN
52 1914.561 851.8065 2944.8165 4366.811 52 620.93 51
53 1926.481323 933.69939689 3200.1867213 3909.9781786 53 705.11 53.917612511
54 1881.3418653 1024.7214426 3184.3539996 3560.1824785 54 775.55 55.522077167
55 1911.4732384 1139.761144 3309.9273417 3294.8855642 55 849.07 57.684644309
56 1918.5104878 1222.5496299 3344.7333286 3096.2948983 56 938.57 58.639141897
57 1956.0125208 1272.3337345 3426.8656988 2950.3644396 57 1001.51 60.374374097
58 1984.1675402 1333.7440678 3478.6196642 2846.0057602 58 1039.99 61.881752545
59 2024.6527416 1405.6601547 3546.213025 2774.4652735 59 1087.08 62.876414149
60 2061.354874 1475.9655824 3603.6392121 2728.832597 60 1138.62 63.862768127
Obs JKPU LUBTK LPRKN LPNPK LKIK LKKN LHKN UBTK
52 12526.435 4315.54 1.35900 30496.00 2088.62 2352.52 7672.58 5131.178
53 11125.387452 3791.33 1.38432 27495.78 1750.26 2499.81 5438.02 4556.819083
54 10133.275302 3380.58 1.40644 25122.77 1915.95 2634.11 4434.08 4099.4457765
55 9443.1341571 3060.56 1.42644 23259.52 1804.32 2748.58 4522.48 3737.1275766
56 8975.9780813 2813.07 1.44503 21810.54 1896.32 2872.91 3714.23 3452.0451429
57 8673.4813279 2623.58 1.46269 20698.24 1876.28 2684.10 4330.44 3229.7196069
58 8492.5742962 2480.46 1.47973 19859.58 1938.50 2966.56 4610.60 3058.3863559
59 8401.4530122 2374.42 1.49636 19243.29 1955.47 2933.52 4503.83 2928.4862099
60 8376.6324023 2298.02 1.51272 18807.72 2005.67 3008.10 4820.29 2832.2519838
Obs HBKN HKIN LHKI ER TIK
52 12805.644 448.92 596.550 12366.377 5
53 11060.121207 417.41157934 555.647 12012.149111 3.8005705349
54 9786.0145981 396.11657601 531.870 11749.558969 2.8420905085
55 8865.365261 382.12462911 519.346 11563.211287 2.0556549631
56 8209.7302522 373.35469864 514.216 11440.297209 1.3920638767
57 7752.7970376 368.31874665 513.945 11370.159789 0.8161870897
58 7444.845968 365.95275856 516.866 11343.932464 0.3029407084
59 7248.5983664 365.4959157 521.885 11354.238269 0.165585852
60 7136.1035174 366.40419822 528.283 11394.93958 0.60218124
Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2011, diolah

Lampiran 9. Hasil Output SAS, Simulasi Kebijakan


108

Simulasi Kebijakan Dasar


The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Model Summary
Model Variabels 8
Lampiran 9. Hasil Output SAS, Simulasi Kebijakan (lanjutan)
Endogenous 8
Parameters 32
Equations 8
Number of Statements 8
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
WARNING: Solution values are missing because of missing input values for observation 1
at NEWTON iteration 0.
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Data Set Options
DATA= SIMULTAN
Solution Summary
Variabels Solved 8
Solution Method NEWTON
CONVERGE= 1E8
Maximum CC 8.037E9
Maximum Iterations 3
Total Iterations 103
Average Iterations 2.019608
Observations Processed
Read 52
Solved 51
Failed 1
Variabels Solved For LATKN PRKN KKN HKN HKI KIK PKN SKN
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Descriptive Statistics
Actual Predicted
Variabel N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev
LATKN 51 51 832.3 310.4 831.4 290.4
PRKN 51 51 1.0076 0.2450 1.0163 0.2543
KKN 51 51 1309.8 765.8 1313.2 750.5
HKN 51 51 1154.7 2266.9 1149.3 2206.7
HKI 51 51 235.6 167.8 234.9 156.6
KIK 51 51 644.2 815.6 642.5 699.7
PKN 51 51 855.9 417.1 860.1 404.7
SKN 51 51 1608.4 1053.1 1610.8 950.8
Statistics of fit
Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %
Variabel N Error Error Error % Error Error Error RSquare
LATKN 51 0.8716 1.3982 87.5360 10.9048 119.2 14.8383 0.8495
PRKN 51 0.00875 0.8006 0.0260 2.7366 0.0345 3.7941 0.9798
KKN 51 3.3658 3.1132 148.6 11.9861 210.4 14.1782 0.9230
HKN 51 5.3987 23.7221 319.3 193.3 613.9 284.7 0.9252
HKI 51 0.6663 . 43.5109 . 67.4565 . 0.8352
KIK 51 1.7443 . 260.5 . 413.3 . 0.7380
PKN 51 4.1451 2.1251 91.4071 10.6301 128.8 14.9267 0.9027
SKN 51 2.4008 2.2174 267.1 19.4529 430.1 23.5489 0.8299
Theil Forecast Error Statistics
MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
LATKN 51 14220.3 0.92 0.00 0.00 1.00 0.03 0.97 0.1344 0.0675
PRKN 51 0.00119 0.99 0.06 0.11 0.83 0.07 0.86 0.0333 0.0166
KKN 51 44249.4 0.96 0.00 0.00 1.00 0.01 0.99 0.1390 0.0696
HKN 51 376882 0.96 0.00 0.00 1.00 0.01 0.99 0.2432 0.1230
HKI 51 4550.4 0.91 0.00 0.00 1.00 0.03 0.97 0.2340 0.1184
KIK 51 170839 0.86 0.00 0.00 1.00 0.08 0.92 0.4001 0.2090
PKN 51 16590.9 0.95 0.00 0.00 0.99 0.01 0.99 0.1355 0.0678
109

SKN 51 184982 0.91 0.00 0.00 1.00 0.06 0.94 0.2244 0.1137
Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Relative Change MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
Lampiran 9. Hasil Output SAS, Simulasi Kebijakan (lanjutan)
LATKN 50 0.0226 0.20 0.00 0.11 0.88 0.19 0.81 1.0402 0.6706

PRKN 50 0.00138 0.41 0.03 0.01 0.97 0.32 0.66 0.8547 0.5050
KKN 50 0.0276 0.53 0.00 0.00 1.00 0.37 0.63 0.8174 0.5242
HKN 50 8.5316 0.01 0.00 0.99 0.01 0.82 0.17 10.0229 0.9126
HKI 50 . . . . . . . . .
KIK 50 . . . . . . . . .
PKN 50 0.0234 0.21 0.00 0.11 0.89 0.19 0.81 1.0182 0.6474
SKN 50 0.0744 0.54 0.00 0.12 0.88 0.03 0.97 0.8788 0.4721
NOTE: Percent error statistics for 2 variabels were set to missing values because an
actual value was too close to zero to compute the percent error at one or more
observations.
Simulasi Kebijakan Pertama, Jika LATKN Naik 7 Persen
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Model Summary
Model Variabels 8
Endogenous 8
Parameters 32
Equations 8
Number of Statements 8
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
WARNING: Solution values are missing because of missing input values for observation 1 at
NEWTON iteration 0.
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Data Set Options
DATA= SIMULTAN
Solution Summary
Variabels Solved 8
Solution Method NEWTON
CONVERGE= 1E8
Maximum CC 8.822E9
Maximum Iterations 3
Total Iterations 103
Average Iterations 2.019608
Observations Processed
Read 52
Solved 51
Failed 1
Variabels Solved For LATKN PRKN KKN HKN HKI KIK PKN SKN
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Descriptive Statistics
Actual Predicted
Variabel N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev
LATKN 51 51 832.3 310.4 886.3 309.3
PRKN 51 51 1.0076 0.2450 1.0180 0.2544
KKN 51 51 1309.8 765.8 1359.1 766.3
HKN 51 51 1154.7 2266.9 1103.8 2206.7
HKI 51 51 235.6 167.8 234.4 156.5
KIK 51 51 644.2 815.6 632.4 698.5
PKN 51 51 855.9 417.1 918.3 432.0
SKN 51 51 1608.4 1053.1 1659.0 965.8
Statistics of fit
Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %
Variabel N Error Error Error % Error Error Error RSquare
LATKN 51 54.0151 8.1007 101.6 13.2273 132.9 17.7099 0.8131
PRKN 51 0.0104 0.9697 0.0262 2.7540 0.0349 3.8259 0.9793
KKN 51 49.3089 7.4050 162.6 14.0251 216.2 16.3953 0.9187
110

HKN 51 50.8998 53.8822 327.4 200.2 614.8 297.4 0.9250


HKI 51 1.2578 . 43.6233 . 67.4927 . 0.8350
KIK 51 11.8190 . 258.8 . 413.9 . 0.7373
PKN 51 62.4012 9.0587 110.6 13.8701 147.1 18.1879 0.8732
SKN 51 50.5823 5.9361 272.3 19.8989 432.5 24.3073 0.8280
Lampiran 9. Hasil Output SAS, Simulasi Kebijakan (lanjutan)
Theil Forecast Error Statistics
MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
LATKN 51 17652.3 0.92 0.17 0.03 0.80 0.00 0.83 0.1498 0.0728
PRKN 51 0.00122 0.99 0.09 0.11 0.81 0.07 0.84 0.0337 0.0167
KKN 51 46754.7 0.96 0.05 0.02 0.93 0.00 0.95 0.1429 0.0704
HKN 51 378013 0.96 0.01 0.00 0.99 0.01 0.98 0.2436 0.1237
HKI 51 4555.3 0.91 0.00 0.00 1.00 0.03 0.97 0.2341 0.1186
KIK 51 171285 0.86 0.00 0.00 1.00 0.08 0.92 0.4006 0.2101
PKN 51 21629.2 0.95 0.18 0.06 0.76 0.01 0.81 0.1548 0.0749
SKN 51 187015 0.91 0.01 0.00 0.99 0.04 0.95 0.2256 0.1129
Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Relative Change MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
LATKN 50 0.0271 0.20 0.14 0.12 0.74 0.13 0.73 1.1376 0.6432
PRKN 50 0.00140 0.41 0.04 0.00 0.95 0.32 0.64 0.8585 0.4989
KKN 50 0.0311 0.51 0.08 0.00 0.91 0.27 0.65 0.8667 0.4990
HKN 50 9.1650 0.03 0.02 0.97 0.01 0.81 0.16 10.3883 0.9179
HKI 50 . . . . . . . . .
KIK 50 . . . . . . . . .
PKN 50 0.0292 0.21 0.18 0.11 0.72 0.13 0.69 1.1373 0.6074
SKN 50 0.0761 0.54 0.02 0.13 0.86 0.02 0.96 0.8891 0.4661
NOTE: Percent error statistics for 2 variabels were set to missing values because an
actual value was too close to zero to compute the percent error at one or more
observations.
Simulasi Kebijakan Kedua, Jika HKI Naik 105 Persen
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Model Summary
Model Variabels 8
Endogenous 8
Parameters 32
Equations 8
Number of Statements 8
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
WARNING: Solution values are missing because of missing input values for observation 1
at NEWTON iteration 0.
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Data Set Options
DATA= SIMULTAN
Solution Summary
Variabels Solved 8
Solution Method NEWTON
CONVERGE= 1E8
Maximum CC 9.256E9
Maximum Iterations 3
Total Iterations 104
Average Iterations 2.039216
Observations Processed
Read 52
Solved 51
Failed 1
Variabels Solved For LATKN PRKN KKN HKN HKI KIK PKN SKN
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Descriptive Statistics
111

Actual Predicted
Variabel N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev
LATKN 51 51 832.3 310.4 881.2 296.7
PRKN 51 51 1.0076 0.2450 1.0178 0.2551
KKN 51 51 1309.8 765.8 1250.4 728.6
Lampiran 9. Hasil Output SAS, Simulasi Kebijakan (lanjutan)
HKN 51 51 1154.7 2266.9 1881.7 2619.7
HKI 51 51 235.6 167.8 501.2 333.8
KIK 51 51 644.2 815.6 812.9 802.3
PKN 51 51 855.9 417.1 918.5 426.2
SKN 51 51 1608.4 1053.1 1839.7 1096.3
Statistics of fit
Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %
Variabel N Error Error Error % Error Error Error RSquare
LATKN 51 48.9340 7.9227 101.5 13.2893 133.2 18.0944 0.8122
PRKN 51 0.0102 0.9382 0.0264 2.7672 0.0352 3.8297 0.9790
KKN 51 59.4132 2.2079 147.1 11.4059 224.8 14.5362 0.9121
HKN 51 727.0 321.5 866.3 428.5 1116.6 618.2 0.7525
HKI 51 265.5 . 265.5 . 327.0 . 2.874
KIK 51 168.6 . 341.3 . 468.9 . 0.6628
PKN 51 62.6002 8.8866 112.6 13.7660 152.8 18.9077 0.8631
SKN 51 231.2 16.7136 374.6 28.0461 525.0 34.5362 0.7465
Theil Forecast Error Statistics
MSE Decomposition Proportions
Variabel N MSE Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
(R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
LATKN 51 17741.1 0.92 0.13 0.01 0.86 0.01 0.85 0.1501 0.0733
PRKN 51 0.00124 0.99 0.08 0.12 0.80 0.08 0.83 0.0339 0.0169
KKN 51 50538.3 0.96 0.07 0.00 0.93 0.03 0.90 0.1485 0.0760
HKN 51 1246708 0.95 0.42 0.17 0.40 0.10 0.48 0.4424 0.1949
HKI 51 106953 0.91 0.66 0.30 0.04 0.25 0.09 1.1343 0.3680
KIK 51 219907 0.85 0.13 0.05 0.82 0.00 0.87 0.4539 0.2161
PKN 51 23345.9 0.94 0.17 0.04 0.79 0.00 0.83 0.1608 0.0779
SKN 51 275610 0.90 0.19 0.08 0.73 0.01 0.80 0.2739 0.1295
Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Relative Change MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
LATKN 50 0.0283 0.20 0.14 0.16 0.71 0.08 0.78 1.1632 0.6360
PRKN 50 0.00141 0.41 0.04 0.01 0.95 0.30 0.66 0.8619 0.5002
KKN 50 0.0348 0.40 0.07 0.01 0.92 0.27 0.65 0.9169 0.6188
HKN 50 44.3573 0.12 0.29 0.71 0.00 0.64 0.07 22.8539 0.9518
HKI 50 . . . . . . . . .
KIK 50 . . . . . . . . .
PKN 50 0.0314 0.22 0.17 0.17 0.66 0.06 0.78 1.1800 0.6014
SKN 50 0.1247 0.50 0.19 0.26 0.55 0.01 0.80 1.1378 0.4961
NOTE: Percent error statistics for 2 variabels were set to missing values because an
actual value was too close to zero to compute the percent error at one or more
observations.
Simulasi Kebijakan Ketiga, Jika HKN Naik 64 Persen
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Model Summary
Model Variabels 8
Endogenous 8
Parameters 32
Equations 8
Number of Statements 8
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
WARNING: Solution values are missing because of missing input values for observation 1
at NEWTON iteration 0.
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Data Set Options
DATA= SIMULTAN
Solution Summary
112

Variabels Solved 8
Solution Method NEWTON
CONVERGE= 1E8
Maximum CC 6.114E9
Maximum Iterations 3
Lampiran 9. Hasil Output SAS, Simulasi Kebijakan (lanjutan)
Total Iterations 110
Average Iterations 2.156863
Observations Processed
Read 52
Solved 51
Failed 1
Variabels Solved For LATKN PRKN KKN HKN HKI KIK PKN SKN
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Descriptive Statistics
Actual Predicted
Variabel N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev
LATKN 51 51 832.3 310.4 874.0 277.3
PRKN 51 51 1.0076 0.2450 1.0176 0.2560
KKN 51 51 1309.8 765.8 1230.4 678.4
HKN 51 51 1154.7 2266.9 1776.4 3402.5
HKI 51 51 235.6 167.8 243.1 169.8
KIK 51 51 644.2 815.6 781.3 951.4
PKN 51 51 855.9 417.1 918.5 424.9
SKN 51 51 1608.4 1053.1 1808.1 1256.9
Statistics of fit
Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %
Variabel N Error Error Error % Error Error Error RSquare
LATKN 51 41.7755 8.0794 110.6 14.7437 150.5 21.1769 0.7602
PRKN 51 0.0100 0.8990 0.0267 2.7905 0.0357 3.8538 0.9783
KKN 51 79.4568 0.9755 178.4 13.5130 270.1 16.5910 0.8731
HKN 51 621.8 18.1398 831.6 315.5 1492.2 445.8 0.5580
HKI 51 7.4868 . 43.9211 . 71.6585 . 0.8140
KIK 51 137.1 . 331.2 . 506.8 . 0.6061
PKN 51 62.5706 9.0908 128.1 15.2265 189.6 22.5598 0.7892
SKN 51 199.7 9.8049 375.4 26.1454 611.4 32.2442 0.6561
Theil Forecast Error Statistics
MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variabel N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
LATKN 51 22653.7 0.88 0.08 0.00 0.92 0.05 0.88 0.1696 0.0835
PRKN 51 0.00128 0.99 0.08 0.13 0.79 0.09 0.83 0.0345 0.0171
KKN 51 72976.4 0.94 0.09 0.02 0.89 0.10 0.81 0.1785 0.0927
HKN 51 2226769 0.96 0.17 0.66 0.17 0.57 0.26 0.5912 0.2356
HKI 51 5134.9 0.91 0.01 0.06 0.93 0.00 0.99 0.2486 0.1227
KIK 51 256884 0.86 0.07 0.25 0.68 0.07 0.86 0.4906 0.2246
PKN 51 35950.7 0.91 0.11 0.06 0.83 0.00 0.89 0.1995 0.0967
SKN 51 373858 0.89 0.11 0.27 0.62 0.11 0.78 0.3190 0.1487
Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Relative Change MSE Decomposition Proportions
Variabel Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
LATKN 50 0.0399 0.11 0.10 0.38 0.52 0.00 0.90 1.3817 0.6607
PRKN 50 0.00143 0.39 0.04 0.02 0.95 0.27 0.69 0.8692 0.5026
KKN 50 0.0406 0.31 0.04 0.12 0.85 0.11 0.86 0.9911 0.6027
HKN 50 21.0478 0.01 0.01 0.99 0.00 0.88 0.11 15.7428 0.9383
HKI 50 . . . . . . . . .
KIK 50 . . . . . . . . .
PKN 50 0.0468 0.14 0.12 0.42 0.46 0.00 0.88 1.4405 0.6370
SKN 50 0.0948 0.57 0.07 0.28 0.65 0.01 0.92 0.9922 0.4537
NOTE: Percent error statistics for 2 variabels were set to missing values because an
actual value was too close to zero to compute the percent error at one or more
observations.
Sumber data: FAO, Kemenkeu, Kementan, 2013, diolah
113

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 6 Maret tahun 1982. Penulis


merupakan anak pertama dari Bapak H. Armadi Chaniago dan Ibu Hj. Maisaroh.
Penulis menikah pada November tahun 2010 dengan Ya Thohir dan memiliki dua
orang anak lelaki, Ya Muhammad Riztho Rizaldi yang lahir tanggal 29 Agustus
2011, dan Ya Ibrahim Ditho Al-Fathir yang lahir pada tanggal 29 Maret 2013.

Penulis menyelesaikan studi di IPB sejak tahun 2000 2003 di jurusan


Budidaya Hutan Tanaman, Fakultas Kehutanan, kemudian tahun 2003 2006 di
jurusan ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, dan tahun 2010
2014 di jurusan Magister Sains Agribisnis, Fakultas Ekonomi Manajemen. Penulis
memiliki pengalaman bekerja tahun 2006 di bidang telekomunikasi PT. TELKOM
yang bertempat di Bogor, kemudian pada tahun 3007 di bidang percetakan,
Majalah Franchaise Indonesia, Jakarta, selanjutnya di bidang geodesi, tahun 2007
2008 di PT. Eksamap Asia, Jakarta. Saat ini, penulis bekerja sebagai peneliti di
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang
Kementerian Pertanian, Bogor, tahun 2008 sekarang.
Tesis penelitian ini juga dijadikan artikel ilmiah untuk di beberapa jurnal
dengan 3 judul yang berbeda. Pertama, telah diterima untuk dipublikasikan di
Jurnal Agribisnis Indonesia, Departemen Agribisnis, IPB, Bogor, pada edisi Juni
2014. Kedua, diterima di Jurnal Agro Ekonomi, Pusat Analisis Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian, Litbang Kementerian Pertanian, Bogor, pada edisi
Desember 2014. Ketiga, masih dalam proses review kedua untuk kemudian
diterima di Journal of Agriculture Resources Economy and Environment
(JAREE), Departemen Ekonomi dan Sumberdaya Lahan, IPB, Bogor, pada edisi
tahun 2014.
115

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 6 Maret tahun 1982. Penulis


merupakan anak pertama dari Bapak H. Armadi Chaniago dan Ibu Hj. Maisaroh.
Penulis menikah pada November tahun 2010 dengan Ya Thohir dan memiliki dua
orang anak lelaki, Ya Muhammad Riztho Rizaldi yang lahir tanggal 29 Agustus
2011, dan Ya Ibrahim Ditho Al-Fathir yang lahir pada tanggal 29 Maret 2013.

Penulis menyelesaikan studi di IPB sejak tahun 2000 2003 di jurusan


Budidaya Hutan Tanaman, Fakultas Kehutanan, kemudian tahun 2003 2006 di
jurusan ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, dan tahun 2010
2014 di jurusan Magister Sains Agribisnis, Fakultas Ekonomi Manajemen. Penulis
memiliki pengalaman bekerja tahun 2006 di bidang telekomunikasi PT. TELKOM
yang bertempat di Bogor, kemudian pada tahun 3007 di bidang percetakan,
Majalah Franchaise Indonesia, Jakarta, selanjutnya di bidang geodesi, tahun 2007
2008 di PT. Eksamap Asia, Jakarta. Saat ini, penulis bekerja sebagai peneliti di
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang
Kementerian Pertanian, Bogor, tahun 2008 sekarang.
Tesis penelitian ini juga dijadikan artikel ilmiah untuk di beberapa jurnal
dengan 3 judul yang berbeda. Pertama, telah diterima untuk dipublikasikan di
Jurnal Agribisnis Indonesia, Departemen Agribisnis, IPB, Bogor, pada edisi Juni
2014. Kedua, diterima di Jurnal Agro Ekonomi, Pusat Analisis Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian, Litbang Kementerian Pertanian, Bogor, pada edisi
Desember 2014. Ketiga, masih dalam proses review kedua untuk kemudian
diterima di Journal of Agriculture Resources Economy and Environment
(JAREE), Departemen Ekonomi dan Sumberdaya Lahan, IPB, Bogor, pada edisi
tahun 2014.

You might also like