You are on page 1of 14

BEBERAPA PERMASALAHAN PELESTARIAN

KAWASAN CAGAR BUDAYA DAN STRATEGI SOLUSINYA

Supratikno Rahardjo
Departemen Arkeologi Universitas Indonesia
kno_bui@yahoo.com

Abstrak : Seap kawasan cagar budaya pada dasarnya memiliki karakterisk tersendiri yang
berpotensi menjadi keunggulan. Namun apabila dak dikelola secara kreaf dan terintegrasi, dapat
berubah menjadi sumber bencana. Upaya-upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan
perlu dilakukan dengan menyiapkan konsep dasarnya dalam bentuk masterplan dan dokumen
implementasi secara rinci. Kekurangcermatan dalam memahami permasalahan dan dalam
menganalisis kondisi yang ada dapat mengakibatkan upaya pelestarian dak memberikan hasil yang
memuaskan. Mengingat kawasan cagar budaya di Indonesia sangat bervariasi, maka pengelolaannya
perlu strategi menyeluruh dengan memperhakan keunggulan dan keunikan masing-masing.
Kata kunci : kawasan, pelestarian, cagar budaya

Abstract : Each cultural property area principally has its own characters that could be its
excellence. However, it could also be source of disaster if it is not managed well and creavely.
Measure on protecon, development, and ulizaon should be conducted by preparing basic
concept in form of master plan and detail acon plan. Lack of carefulness in understanding
problems and analyzing present condion could cause unsasfying result. Considering
that Indonesia has many variaons of cultural property area, holisc strategy is needed by
management based on each excellence and uniqueness.
Keywords: area, preservaon, cultural property

I. PENDAHULUAN dalam kawasan tersebut. Tulisan ini akan membahas


Konsep kawasan cagar budaya merupakan permasalahan pelestarian kawasan cagar budaya
konsep baru yang diperkenalkan dalam Undang- dengan memusatkan perhaan pada empat hal, yaitu:
Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2010 (1) konsep pelestarian kawasan cagar budaya, (2)
tentang Cagar Budaya. Perhaan terhadap kawasan karakterisk kawasan cagar budaya, (3) permasalahan
sebagai salah satu jenis cagar budaya membawa pelestarian kawasan cagar budaya, dan (4) strategi
konsekuensi pada cara-cara pelestarian yang dak pelestariannya.
hanya terpusat pada peninggalan purbakalanya, tetapi
juga harus memperhakan unsur lingkungan sik II. KONSEP PELESTARIAN KAWASAN CAGAR BUDAYA.
yang menjadi bagian dak terpisahkan dari kawasan Konsep pelestarian cagar budaya dalam
cagar budaya tersebut. Permasalahan juga menjadi Undang-undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda
semakin kompleks karena harus memperhakan Cagar Budaya dak dirumuskan secara eksplisit
banyak variabel dan melibatkan berbagai pihak untuk namun cukup menggambarkan bahwa ar pelestarian
menanganinya. Undang-undang Cagar Budaya yang cenderung mengacu kepada upaya-upaya pelindungan
baru juga memperkenalkan tugas yang sebelumnya yang bersifat stas, misalnya dengan membuat
dak dikenal, yaitu pemeringkatan cagar budaya ke batasan-batasan secara relaf ketat pada aktas
dalam ga ngkatan, yaitu nasional, provinsi, dan pengembangan dan pemanfaatan yang dianggap
kabupaten/kota. Pemeringkatan ini berkaitan dengan berpotensi merusak cagar budaya. Oleh karena itu
wewenang yang diberikan kepada pemerintah sesuai munculah kesan bahwa upaya-upaya pengembangan
dengan hirarkinya. Permasalahan muncul keka batas- atau pemanfaatan dapat mengancam kelestarian jika
batas kawasan cagar budaya dan status peringkatnya dak dikendalikan secara ketat. Pemahaman tentang
belum ditetapkan sementara kegiatan manusia konsep pelestarian yang dipertentangkan dengan
yang berdampak merusak terus berlangsung di pengembangan atau pemanfaatan sesungguhnya

4
Supratikno, Beberapa Permasalahan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya dan Strategi Solusinya

masih terjadi hingga saat ini. Oleh karena itu pembahasan tentang pelestarian cagar budaya
dak mengherankan bila konsep pelestarian yang didasarkan atas asumsi bahwa proses registrasi telah
dirumuskan dalam undang-undang cagar budaya selesai dilakukan. Dapat ditambahkan di sini bahwa
yang baru belum banyak dipahami oleh masyarakat pendaaran cagar budaya merupakan kewajiban bagi
luas. Dalam bagian ketentuan umum Undang-undang semua orang untuk melakukannya, namun dak ada
No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya dijelaskan penjelasan apakah pemeringkatan juga merupakan
bahwa yang dimaksud dengan pelestarian adalah suatu kewajiban. Khusus tentang pemeringkatan
upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan ini, undang-undang hanya menyebutkan bahwa
cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, pemerintah dan pemerintah daerah dapat
mengembangkan, dan memanfaatkannya. Rumusan ini melakukan pemeringkatan cagar budaya berdasarkan
menegaskan bahwa pengembangan dan pemanfaatan kepenngannya menjadi peringkat nasional, provinsi,
juga merupakan bagian dari perlestarian. Paradigma dan kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi Tim
baru ini sesungguhnya juga berlaku untuk warisan Ahli Cagar Budaya. Mengingat upaya pelestarian
budaya tak benda (intangible cultural heritage) yang terkait dengan pembagian kewenangan antara
sebelumnya dikhawarkan terancam bahaya karena pemerintah (pusat) dengan pemerintah daerah, perlu
dieksploitasi untuk kepenngan pariwisata atau kiranya dijelaskan bahwa cagar budaya yang dak atau
terpinggirkan karena dampak globalisasi kebudayaan. belum diberi peringkat, dengan sendirinya menjadi
Konsep baru lain yang perlu dikemukakan dalam konteks kewenangan pemerintah kabupaten/kota untuk
pelestarian adalah kawasan cagar budaya. Konsep ini melakukan pelestarian. Untuk memahami makna
didenisikan sebagai satuan ruang geogras yang pelestarian cagar budaya kiranya perlu ditegaskan
memiliki dua situs atau lebih yang letaknya berdekatan prinsip-prinsip umum yang melandasinya. Pertama,
dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas. seap upaya pelestarian dilakukan berdasarkan studi
Adapun islah situs yang menjadi unsur pembentuk kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara
kawasan cagar budaya didenisikan sebagai lokasi di akademis, teknis dan administraf; kedua, kegiatan
darat dan/atau di air yang mengandung benda cagar pelestarian harus dilaksanakan atau dikoordinasikan
budaya, bangunan cagar budaya, dan/atau struktur oleh Tenaga Ahli Pelestarian dengan memperhakan
cagar budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau eka pelestarian; kega, tata cara pelestarian harus
buk kejadian pada masa lalu. Berdasarkan konsep itu mempermbangkan kemungkinan dilakukannya
maka pelestarian kawasan cagar budaya memasukkan pengembalian kondisi awal seper sebelum kegiatan
di dalamnya semua jenis cagar budaya beserta pelestarian; dan keempat pelestarian harus didukung
lingkungan yang membentuk kawasan cagar budaya oleh kegiatan pendokumentasian sebelum dilakukan
sebagai satu kesatuan. Islah lain yang diperkenalkan kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya
dalam Undang-undang Cagar Budaya yang baru adalah perubahan keasliannya. Secara lebih khusus pelestarian
pengelolaan. Bila pelestarian dirumuskan sebagai upaya kawasan cagar budaya perlu memperhakan
untuk mempertahankan cagar budaya dengan cara permasalahan utama yang melandasi kega unsurnya,
melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan, yaitu pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan.
maka pengelolaan didenisikan sebagai upaya
terpadu untuk melindungi, mengembangkan dan
memanfaatkan cagar budaya melalui kebijakan 1. Pelindungan.
pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan Perlindungan pada dasarnya merupakan
pengawasan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan upaya untuk mencegah (prevenf) dan menanggulangi
rakyat. Dalam tulisan ini konsep pelestarian kawasan (kuraf) cagar budaya dari kerusakan, kehancuran dan
cagar budaya akan ditempatkan dalam kerangka kemusnahan dengan cara penyelamatan, pengamanan,
pengelolaan. zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran. Dalam kaitannya
Berkaitan dengan permasalahan pengelolaan, dengan kawasan cagar budaya, zonasi merupakan
perlu dikemukakan bahwa menurut jalan pikiran yang ndakan perlindungan yang paling penng. Zonasi
termuat dalam pasal-pasal Undang-undang Cagar sebagai sarana untuk mengendalikan pemanfaatan
Budaya tahun 2010, upaya pelestarian cagar budaya ruang yang dilakukan dak hanya terhadap kawasan
merupakan suatu tahapan baru. Tahapan tersebut tetapi juga terhadap situs. Selain zonasi, terdapat
dapat dilakukan apabila cagar budaya bersangkutan kegiatan-kegiatan lain yang biasanya ditujukan
telah melewa tahap registrasi yang mencakup untuk melindungi benda, bangunan, dan struktur.
pendaaran, pengkajian, penetapan, pencatatan, Kegiatan-kegiatan tersebut mencakup penyelamatan,
dan pemeringkatan cagar budaya. Dengan demikian, pengamanan, pemeliharaan, dan pemugaran.

5
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 2, Desember 2013, Hal 4-17

2. Pengembangan. pemerintah daerah memfasilitasi pemanfaatan dalam


Dalam konteks pelestarian, upaya bentuk pemberian izin pemanfaatan, dukungan Tenaga
pengembangan dideniskan sebagai peningkatan Ahli Pelestarian, dukungan dana, dan/atau pelahan.
potensi nilai, informasi, dan promosi cagar budaya Di samping itu diberikan juga fasilitas melalui promosi
serta pemanfaatannya melalui penelian, revitalisasi, cagar budaya untuk memperkuat identas budaya
dan adaptasi. Kegiatan pengembangan harus dan meningkatkan kualitas hidup dan pendapatan
memperhakan prinsip kemanfaatan, keamanan, masyarakat. Pemanfaatan yang dapat menyebabkan
keterawatan, keaslian, dan nilai-nilai yang melekat terjadinya kerusakan wajib didahului dengan kajian,
padanya. Adapun arah pengembangan adalah untuk penelian, dan/atau analisis mengenai dampak
memacu pengembangan ekonomi yang hasilnya lingkungan. Terhadap cagar budaya yang keka
untuk pemeliharaan cagar budaya dan kesejahteraan ditemukan sudah dak berfungsi dimungkinkan untuk
masyarakat. Penelian dalam konteks pengembangan dimanfaatkan untuk kepenngan tertentu. Ketentuan
ini dilakukan untuk menghimpun informasi serta mengenai pemanfaatan sebenarnya cukup ketat
mengungkap, mendalami, dan menjelaskan nilai- termasuk kewajiban untuk meminta izin pemanfaatan,
nilai budaya. Penelian untuk pengembangan dapat memperhakan fungsi ruang, dan perlindungannya
dilakukan sebagai bagian yang berdiri sendiri, baik dan kewajiban untuk mengembalikan kondisi semula
berupa penelian dasar atau penelian terapan. sebelum dimanfaatkan apabila cagar budaya tersebut
Penelian juga dapat dilaksanakan dalam kerangka dak lagi dimanfaatkan. Ketentuan lainnya terutama
analisis mengenai dampak lingkungan. Adapun berkaitan dengan penggandaan benda-benda
revitalisasi ditujukan untuk menumbuhkan kembali atau koleksi benda cagar budaya yang disimpan di
nilai-nilai penng cagar budaya dengan penyesuaian museum.
ruang baru yang dak bertentangan dengan prinsip
pelestarian dan nilai budaya masyarakat. Revitalisasi 4. Pengelolaan.
hanya dilakukan terhadap situs dan kawasan cagar Berbeda dengan pelestarian yang dapat dipilah-
budaya untuk memunculkan potensinya dengan pilah ke dalam ga aspeknya, yaitu perlindungan,
memperhakan tata ruang, tata letak, fungsi sosial, pengembangan, dan pemanfaatan. Pengelolaan
dan/atau lansekap budaya asli berdasarkan kajian. merupakan upaya terpadu untuk melindungi,
Revitalisasi ini dilakukan dengan menata kembali fungsi mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya
ruang, nilai budaya, dan penguatan informasi tentang melalui kebijakan perencanaan, pelaksanaan,
cagar budaya. Di samping itu revitalisasi juga harus dan pengawasan. Dengan demikian pengelolaan
memperhakan ciri budaya lokal. Mengiku prinsip pada dasarnya merupakan aspek manajemen dari
pengembangan pada umumnya, revitalisasi harus pelestarian. Tujuan yang menjiwai pengelolaan adalah
memberi manfaat untuk meningkatkan kualitas hidup memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat.
masyarakat. Sedangkan adaptasi merupakan upaya Mengenai pengelolaan cagar budaya, pemerintah
pengembangan terhadap bangunan, struktur, situs, pusat dan pemerintah daerah memiliki tugas-tugas
dan kawasan cagar budaya untuk disesuaikan dengan antara lain mencakup (a) melakukan pelestarian
kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan yang mencakup perlindungan, pengembangan, dan
terbatas yang dak akan mengakibatkan kemerosotan pemanfaatan; (b) mewujudkan, mengembangkan,
nilai penngnya atau kerusakan pada bagian yang dan meningkatan kesadaran masyarakat tentang hak
mempunyai nilai penng. Adaptasi dilakukan dengan dan tanggungjawab dalam pengelolaan cagar budaya;
mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada (c) mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang
cagar budaya, menambah fasilitas sesuai kebutuhan, dapat menjamin agar cagar budaya dapat dilindungi dan
mengubah susunan ruang secara terbatas dan/atau dimanfaatkan; (d) menyediakan informasi dan promosi
mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan cagar budaya kepada masyarakat; (e) melakukan
keharmonisan esteka lingkungan di sekitarnya. penanggulangan bencana dan memberikan dukungan
terhadap daerah yang yang mengalami bencana, (f)
3. Pemanfaatan. melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi
Pemanfaatan merupakanpendayagunaan cagar terhadap kegiatan pelestarian, dan (g) mengalokasikan
budaya yang dilakukan dalam rangka meningkatkan dana bagi kepenngan pelestarian cagar budaya. Di
kesejahteraan rakyat dengan tetap memperhakan samping itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah
kelestariannya. Pemanfaatan cagar budaya dapat memiliki kewajiban-kewajiban, di antaranya melipu:
dilakukan untuk kepenngan agama, sosial, (a) menetapkan eka pelestarian cagar budaya, (b)
pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, melakukan koordinasi pelestarian secara lintas sektor,
dan pariwisata. Untuk kepenngan ini pemerintah dan (c) menghimpun data cagar budaya dan menetapkan

6
Supratikno, Beberapa Permasalahan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya dan Strategi Solusinya

peringkatnya serta menetapkan dan mencabut status berupa fosil manusia, binatang maupun tumbuhan
cagar budaya, (d) membuat peraturan pelestarian, serta artefak-artefak yang diciptakan oleh manusia
(e) melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum, yang pernah hidup di kawasan ini. Cagar budaya yang
(f) mengelola kawasan cagar budaya, (g) mendirikan menjadi sajian utama kawasan ini dak terdapat di
dan membubarkan UPT, dan (h) menghenkan proses lapangan, tetapi di dalam museum. Meskipun demikian
pemanfaatan ruang atau proses pembangunan bagi pengunjung yang memiliki minat khusus, lansekap
yang dapat menyebabkan cagar budaya mengalami kawasan akan memberikan pemandangan yang khas
kerusakan, hilang atau musnah, baik seluruh maupun berupa formasi geologi yang menjadi lingkungan
bagian-bagiannya. Selain itu, pemerintah (pusat) hidup manusia prasejarah. Ar penng kawasan
berwewenang untuk (a) menyusun dan menetapkan ini terutama dirasakan dari sudut pandang ilmu
Rencana Induk Pelestarian Cagar Budaya, (b) melakukan pengetahuan, khususnya tentang evolusi manusia.
pelestarian cagar budaya di wilayah perbatasan Masyarakat lokal semakin menyadari penngnya
dengan negara tetangga, (c) menetapkan cagar budaya temuan fosil di lapangan bagi pengembangan
sebagai cagar budaya nasional, (d) mengusulkan cagar kawasan, meskipun demikian upaya-upaya untuk
budaya nasional sebagai warisan budaya dunia, dan (e) mendapatkan fosil dan menjualnya secara ilegal masih
menetapkan norma, standar, dan kriteria pelestarian belum dapat dihenkan sepenuhnya. Hal ini dapat
cagar budaya. dipahami karena sebagian besar penduduknya adalah
Berdasarkan rincian tugas dan wewenang di petani dengan kondisi ekonomi lemah. Masalah ini
atas tampak bahwa pemerintah memiliki kewenangan merupakan agenda penng dari pengelola karena
yang besar dalam pengelolaan cagar budaya. Meskipun harus menjalankan fungsi perlindungan terhadap cagar
demikian dalam pelaksanaannya tugas pengelolaan budaya serta mengembangkan dan memanfaatkannya
dak harus ditangani langsung oleh pemerintah secara maksimal sebagai sumber ilmu pengetahuan.
sendiri. Khusus untuk kawasan cagar budaya, Namun demikian, pengelola juga dituntut juga untuk
pengelolaan dilakukan oleh badan pengelola yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan
dibentuk oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, yang perlu perlindungan khusus, terlebih lagi sesudah
dan/atau masyarakat hukum adat. Badan Pengelola ini menjadi warisan budaya dunia (cf. Ditjen Sejarah dan
dapat terdiri dari unsur pemerintah pusat dan/atau Purbakala, 2006; Sulistyanto 2008).
pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat.
2. Borobudur.
III. KARAKTERISTIK KAWASAN CAGAR BUDAYA Kawasan Borobudur merupakan lansekap yang
menampilkan sebuah struktur monumental di tengah
Untuk memahami permasalahan pelestarian berupa candi agama Buddha yang mewakili pencapaian
kawasan cagar budaya, di bawah ini diberikan contoh- nggi dari periode Hindu Buddha di Indonesia.
contoh kasus tentang bagaimana sejumlah kawasan Meskipun di kawasan ini terdapat banyak situs lain,
cagar budaya dikelola dan bagaimana para pengelola bahkan menumen lain yang relaf utuh, misalnya candi
mengoperasikan prinsip-prinsip pelestarian kawasan Mendut dan candi Pawon, namun kemegahan candi
di wilayahnya masing-masing. Sebelum upaya Borobudur itu sendiri masih menjadi daya tarik utama.
perbandingan disajikan perlu diberikan gambaran Masyarakat lokal dan pendatang yang melihat peluang
umum mengenai karakterisk masing-masing kawasan ekonomi di kawasan ini lebih banyak memanfaatkan
cagar budaya tersebut. Kawasan cagar budaya yang peluang kerja sebagai penjual sovenir, makanan, jasa
dijadikan contoh kasus dipilih empat lokasi, yaitu foto, dan lain-lain. Masalah utama yang dihadapi adalah
Sangiran, Borobudur, Banten Lama, dan Kota Tua sulitnya mmenditribusikan pengunjung ke wilayah
Jakarta. Masing-masing kawasan ini mewakili lansekap pedesaan di sekitar monumen untuk mengurangi
budaya yang berbeda-beda. Unsur-unsur yang beban pengunjung yang memada Borobudur. Sebagai
menentukan sifat kawasan mencakup bentuk lahan, warisan budaya dunia Candi Borobudur mampu
lansekap, komposisi, kondisi cagar budaya, dan kondisi menyedot banyak pengunjung sehingga menyebabkan
sosial menyangkut sikap masyarakat lokal terhadap tempat ini menjadi arena kontestasi berbagai kelompok
kawasan, ar penng kawasan dan masalah utama kepenngan untuk mendapatkan ruang penghidupan.
yang dihadapi. Organisasi-organisasi masyarakat tumbuh subur
di lokasi ini berhadapan dengan pengelola yang
1. Sangiran. mendominasi kepenngan ekonomi di tempat ini,
Kawasan cagar budaya Sangiran merupakan termasuk kekuatan-kekuatan pemerintah lokal yang
lansekap alam yang di dalamnya tersimpan sisa-sisa memiliki hak terhadap perolehan pemasukan dari
kehidupan masa awal prasejarah Indonesia, baik hasil pemanfaatan sumberdaya yang ada di kawasan

7
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 2, Desember 2013, Hal 4-17

ini (Rahardjo 2008). pusat pemerintahan kolonial di tengah wilayah kota


modern yang terus bertumbuh di sekelilingnya.
3. Banten Lama. Komponen utama dari kawasan ini adalah cagar
Kawasan Banten Lama merupakan lansekap budaya berupa bangunan-bangunan kolonial yang
budaya yangmenampilkan sisa-sisa monumen dari pusat jumlahnya mencapai 283 buah, namun magnet yang
pemerintahan Kesultanan Banten. Sisa-sisa bangunan menarik pengunjung terutama adalah keberadaan
dan struktur-struktur serta situs-situs penng tersebar enam museum dan sebuah ruang publik yang dulunya
di wilayah seluas 800 hektar, baik berupa peninggalan merupakan halaman Balai Kota pada masa VOC hingga
yang bercorak Islam maupun kolonial. Beberapa artefak masa Hindia Belanda (kini Museum Sejarah atau
yang menggambarkan karakterisk kehidupan kota Museum Fatahillah). Satu lokasi lagi yang menarik
Banten Lama dapat disaksikan pada museum situs. adalah pelabuhan Sunda Kelapa yang fungsinya
Meskipun demikian daya tarik utamanya bukanlah sebagai pelabuhan masih digunakan hingga sekarang.
pesona peninggalan sik yang bersifat monumental, Dari segi pengelolaan kawasan yang luasnya mencapai
tetapi justru tradisi ziarah. Ziarah biasanya dilakukan 846 hektar ini, masalah yang dihadapi terutama adalah
pada beberapa lokasi makam-makam para tokoh, aspek pemanfaatan ruang publik yang terkait dengan
akan tetapi lokasi yang paling penng terpusat di penataan pedagang kaki lima. Adapun dari aspek
lingkungan Masjid Agung Banten dimanan pada lokasi perlindungan adalah kontrol yang lemah terhadap
tersebut terdapat kompleks besar makam para Sultan. cagar budaya oleh pemerintah DKI Jakarta. Hal ini
Kawasan cagar budaya Banten Lama berada di tengah disebabkan karena kepemilikan atau penguasaan
pemukiman penduduk pedesaan yang umumnya terhadap aset cagar budaya oleh pemerintah sangat
petani, sehingga permasalahan utama yang masih terbatas, yaitu hanya lima bangunan dari seluruh
muncul hingga sekarang adalah konik kepemilikan bangunan yang ada. Ketersediaan fasilitas umum
tanah dan hak-hak untuk memanfaatkan lahan untuk juga menjadi kendala, terutama kurang berfungsinya
berbagai kepenngan, termasuk mendirikan bangunan pedestrian dan ketersediaan lahan parkir.
di tengah-tengah situs. Gambaran umum mengenai karakterisk
masing-masing kawasan cagar budaya yang dibahas
4. Kota Tua Jakarta. dalam tulisan ini tampak dalam tabel berikut:
Kawasan Kota Tua Jakarta merupakan
lansekap budaya yang menampilkan pola pemukiman

BEBERAPA CONTOH KAWASAN CAGAR BUDAYA DENGAN KARAKTERISTIKNYA MASING-MASING

KAWASAN CAGAR BUDAYA


UNSUR-UNSUR
PEMBENTUK
KARAKTER KOTA TUA
SANGIRAN BOROBUDUR BANTEN LAMA
KAWASAN JAKARTA

Lansekap desa Lansekap


Lansekap
pertanian dengan pemukiman kota
Lansekap formasi pemukiman kota
sebuah bangunan kuno yang sudah
geologi di tengah kolonial di tengah
BENTUK LAHAN monumental di mati di tengah
desa pertanian yang pemukiman kota
tengah yang pemukiman
sedang tumbuh modern yang
mendominasi pedesaan yang
sedang tumbuh.
pemandangan. sedang tumbuh

8
Supratikno, Beberapa Permasalahan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya dan Strategi Solusinya

Sebagian besar
merupakan lahan Merupakan
pertanian subur kawasan pesisir
Merupakan lahan dengan hunian yang sebagian
pertanian yang yang tidak terlalu Merupakan besar lahannya
kurang subur. padat. Semula kawasan pesisir berupa pemukim-
Zona inti dengan dibagi ke dalam lima yang tidak subur an padat yang
lahan paling luas zona, tetapi dalam dengan kualitas dipengaruhi
memiliki potensi penerapannya hanya air yang buruk. oleh kondisi
kandungan temuan dibagi ke dalam tiga pasang surut di
cagar budaya paling zona, yaitu inti/zona I Dibagi dalam beberapa lokasi
KONDISI DAN besar. (44,8 ha); penyangga/ tiga zona (inti, sehingga sering
LUAS KAWASAN zona II (42,3 ha), dan penyangga, dan terjadi banjir.
Dibagi ke dalam zona pengembangan/ pengembangan). Luas kawasan
tiga zona, yaitu zona III (932 ha). Tidak ada rincian sekitar 846 ha
inti (57,4032 Km); Pembagian zona luas masing- dibagi dalam
penyangga/ zona II ini berbeda dengan masing zona. lima zona, tetapi
(3003,68 ha); dan rencana zonasi tahun Luas keseluruhan dalam arti distrik-
pengembangan/ 1979, yaitu zona I kawasan 800 distrik, bukan
zona III (1,8064 (25,382 ha); zona II hektar. dalam pengertian
Km2). (60,02 ha) dan zona pengaturan ruang
III (10,1 km2); zona IV untuk tujuan
(26 km2); dan zona V perlindungan.
(78,5 km2).

Berupa bangunan-
bangunan
(keraton, masjid,
Berupa fosil- tiamah, rumah, Terutama berupa
Berupa menumen
fosil manusia, benteng), struktur- bangunan-
dalam bentuk
binatang, sisa-sisa struktur dan situs- bangunan
bangunan candi,
tumbuhan, dan situs (taman tasik kolonial, struktur-
situs-situs dan
artefak-artefak dari ardi, pangindelan, struktur dan situs
beberapa artefak
masa prasejarah jem-batan, (pelabuhan,
berupa arca, anatomi
KARAKTERISTIK awal dari periode pelabuhan, dan jembatan, jalan
candi bercorak
CAGAR BUDAYA sekitar 2 juta tahun makam-ma-kam), kereta api,
agama Buddha dan
yang lalu dengan dan juga berbagai makam-makam,
sebagian Hindu yang
periode puncak jenis artefak jalan kereta api),
ditempatkan secara
yang berlangsung dan eko-fak di dan artefak-
tersendiri. Berasal
antara 900.000 s/d museum yang artefak (sebagian
dari periode abad ke-
300.000 tahun yang menggam-barkan tersimpan di mu-
8 s/d 9 Masehi.
lalu. kehidupan kota seum-museum).
dari abad ke-16
s/d abad ke-19
Masehi.

9
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 2, Desember 2013, Hal 4-17

Sebagian besar
cagar budaya
Sebagian besar
dikuasai oleh
cagar budaya,
pemerintah,
dimiliki atau
demikian juga
Cagar budaya dikuasai oleh
lahan-lahan
Cagar budaya sepenuhnya dikuasai masyarakat
yang barada di
sepenuhnya pemerintah terutama demikian juga
sekeliling cagar
dikuasai yang berada di status kepemilikan
PENGUASAAN budaya. Namun
pemerintah, tetapi zona inti dan dan penguasaan
ASET sebagian yang
sebagian besar zona penyangga. lahan. Pemerintah
lainnya dikuasai
lahan dimiliki Di luar zona itu Daerah sebagai
oleh masyarakat
masyarakat. sebagian besar milik pengelola hanya
lokal, termasuk
masyarkat. menguasai
Masjid Agung
sebagian kecil
Banten dan
bangunan dan
sejumlah makam
lahan.
yang menjadi
objek ziarah.

Masyarakat kota
yang bersifat
heterogen yang
Sebagian besar
Sebagian besar bergerak di
petani atau
petani atau buruh Sebagian besar bidang jasa.
buruh tani. Di
tani. Di antaranya petani atau buruh Sebagian bekerja
antaranya dengan
KONDISI terlibat di sektor jasa tani. Di antaranya sebagai pedagang
terlibat di sektor
MASYARAKAT wisata, khususnya terlibat di sektor informal yang
pengembangan
kerajinan souvenir, jasa makanan dan menawarkan
kerajinan souvenir
petugas keamanan, souvenir.. kerajinan
dan sektor jasa
jasa makanan dll. souvenir,
wisata lain.
makanan murah
dan jasa parkir
dan keamanan.

IV. PERMASALAHAN UTAMA PELESTARIAN KAWASAN penetapan zonasi dan konik pemanfaatan.
Seap kawasan cagar budaya memiliki corak
tersendiri yang juga memiliki permasalahan khas karena 1. Penetapan Status Kawasan Cagar Budaya yang
keunikannya tersebut. Permasalahan kawasan cagar belum jelas.
budaya dak hanya dipengaruhi oleh corak kawasannya, Kupan rumusan UU Cagar Budaya tahun 2010
tetapi juga pengelolanya, khususnya komitmen di depan sudah jelas menyebutkan bahwa kawasan
pemerintah lokal yang memiliki tanggung jawab tersusun dari kumpulan lebih dari satu situs. Menurut
terhadap pelestarian dan kemampuan sumberdaya prosedurnya, penetapan status suatu kawasan sebagai
yang dimilikinya. Di bawah ini dikemukakan empat cagar budaya baru dapat dilakukan bila benda-benda,
permasalahan utama dengan memberi fokus pada bangunan-bangunan, struktur-struktur, dan situs-situs
kasus-kasus kawasan cagar budaya yang dipilih untuk yang ada di dalamnya telah ditetapkan lebih dahulu
kajian ini. Keempat permasalahan tersebut berkaitan sebagai cagar budaya. Permasalahannya adalah bahwa
dengan status kawasan, perencanaan pengelolaan, sejumlah wilayah purbakala yang kini disebut dengan
islah kawasan cagar budaya, sebelumnya disebut

10
Supratikno, Beberapa Permasalahan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya dan Strategi Solusinya

dengan islah situs. Kawasan Sangiran, misalnya dokumen perencanaan yang dikenal sebagai naskah
sebelumnya dikenal dengan sebutan situs Sangiran, rencana induk atau masterplan. Namun sayangnya
bahkan UNESCO menetapkan sangiran sebagai masterplan-masterplan itu dak dapat dilaksanakan
warisan budaya dunia dengan sebutan The Sangiran sesuai rencana, bahkan ada pula yang dak dapat
Early Man Site. Demikian juga sebutan kawasan dituntaskan. Menurut prosedur, masterplan hanya
Cagar Budaya Banten Lama dalam dokumen-dokumen dapat dibuat keka status kawasan yang bersangkutan
resmi pada masa lalu dikenal dengan sebutan sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Kawasan
situs Banten Lama. Kasus serupa bisa diperpanjang Sangiran misalnya telah ditetapkan sebagai (benda)
dengan menambah daar lain. Kawasan cagar budaya cagar budaya pada tahun 1977 melalui SK Mendikbud,
Trowulan dan Batujaya dahulu masing-masing juga kemudian ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh
dikenal dengan sebutan situs Trowulan dan situs UNESCO pada 7 Desember 1996. Namun masterplan
Batujaya. Permasalahan yang dihadapi sekarang adalah untuk pengelolaan kawasannya baru disusun pada
bagaimana status sejumlah kawasan cagar budaya yang tahun 2006. Masterplan tersebut dirancang untuk
sebelumnya ditetapkan sebagai situs? Penegasan ini rencana lima tahun sampai dengan 2011 (Ditjen Sejarah
penng mengingat konsep situs dan konsep kawasan dan Purbakala 2006). Namun demikian, hingga tahun
yang diatur dalam UU cagar Budaya tahun 2010 ini (Oktober 2013) pelaksanaan program-program
memiliki ar berbeda, yang disebut pertama menjadi yang direncanakan belum dapat dituntaskan.
bagian dari yang kedua. Adapun masterplan candi Borobudur
Permasalahan kedua adalah semakin seringnya bahkan sudah dibuat pada 1979 dengan melibatkan
muncul situasi keka sejumlah kawasan kepurbakalaan lembaga konsultan internasional JICA dari Jepang.
terancam rusak atau hancur oleh ndakan manusia, Atas dasar dokumen inilah Borobudur ditetapkan
namun sulit dicegah karena kawasan tersebut belum sebagai warisan dunia pada 13 Desember 1991.
ditetapkan sebagai cagar budaya. Persoalan utamanya Namun dalam pelaksanaannya bukan masterplan
adalah pada tataran mekanisme penetapannya. yang dijadikan acuan, melainkan Keppres Nomor 1
Terdapat penafsiran yang memang masuk akal bahwa Tahun 1992 tentang Pengelolaan Taman Wisata Candi
penetapan kawasan harus didahului dengan penetapan Borobudur dan Taman Wisata Candi Prambanan Serta
situs-situs yang ada di dalamnya, sedangkan penetapan Pengendalian Lingkungan Kawasannya. Beberapa
situs itu sendiri harus didahului oleh penetapan aspek penng yang termuat dalam Keppres tersebut
bangunan atau struktur yang mungkin ada di dalamnya. dak sesuai dengan isi dari dokumen JICA tahun
Selanjutnya jika di dalam bangunan terdapat benda- 1979. Hasil monitoring dan evaluasi oleh UNESCO
benda purbakala yang penng maka benda-benda itu pada tahun 2003 dan 2006 terhadap pengelolaan
juga harus ditetapkan statusnya sebagai cagar budaya. Borobudur merekomendasikan perlunya perbaikan-
Rangkaian prosedur penetapan status cagar budaya perbaikan termasuk masterplan pelestariannya.
yang panjang itu tentu akan membutuhkan waktu Upaya untuk melakukan perubahan-perubahan terus
lama. Tertunda-tundanya penetapan status tersebut dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak menyusul
berar memberi peluang semakin besar pada akvitas rekomendasi tersebut, di antaranya memperbaiki
destrukf di kawasan kepurbakalaan yang dak dapat Keppres No. 1 Tahun 1992, evaluasi masterplan JICA
dicegah. 1979, revisi RTRW Kabupaten Magelang 2005 dan
Dalam kenyataan, proses penetapan kawasan lain-lain (cf. Dra Awal kajian pengelolaan Kawasan
cagar budaya dengan mengiku aturan UU yang baru Cagar Budaya Cadi Borobudur sebagai Magnit
belum pernah dilakukan sama sekali di Indonesia. Kepariwisataan Dunia, 2008). Namun seluruh upaya
Pertanyaannya, apakah penetapan status kawasan tersebut ternyata belum bisa dilaksanakan hingga kini.
cagar budaya harus mengiku prosedur lengkap Sementara itu, Kawasan Cagar Budaya Banten Lama
sebagaimana digambarkan di atas. Jika memang harus telah dirancang untuk dikelola secara terintegrasi sejak
demikian maka agenda pekerjaan pemerintah akan 1989. Rencana ini dindak lanju dengan keluarnya
sangat banyak memakan waktu, tenaga, dan biaya. Perda Kabupaten Serang tahun 1990 tentang Kawasan
Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Banten Lama
2. Perencanaan Pengelolaan Kawasan yang dak sebagai Taman Wisata Budaya. Perda ini kemudian
Tuntas dijadikan rujukan untuk membuat RUTR kawasan
Pada umumnya, kawasan cagar budaya Banten Lama pada tahun 1994 yang kemudian disusul
yang memiliki potensi nggi untuk dimanfaatkan masterplan beserta gambar perencanaan serta
mendapatkan perhaan khusus. Hal ini tercermin maket bangunannya sekaligus (Badan Perencanaan
dari upaya-upaya pengelolaan kawasan yang Pemda Kab. Da II Serang. 1994). Namun masterplan
disiapkan secara serius dengan membuat dokumen- tersebut dak diiku dengan ndakan kongkrit hingga

11
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 2, Desember 2013, Hal 4-17

tahun 2000. Dua tahun kemudian muncul lagi rencana candi Borobudur. Sementara monumen-monumen
untuk membentuk Badan Pengelola Pelestarian lain, misalnya candi Mendut, candi Pawon dan situs-
dan Pengembangan Banten Lama. Rencana inipun situs kecil lainnya dak dibuatkan zonasi tersendiri,
gugur karena struktur organisasinya dak pernah melainkan di tempatkan seluruhnya ke sistem
ditandatangani oleh Gubernur Banten. Sesudah itu zonasi candi Borobudur dalam zona III atau zona
kawasan Banten dimanfaatkan dan dikelola oleh pengembangan (cf. Mundardjito 2003:2). Di dalam
berbagai pihak, di antaranya oleh Balai Pelestarian zona pengembangan ngkat perlindungan relaf
Cagar Budaya, Kenadziran Masjid Banten, pemerintah lebih rendah karena banyak kemungkinan melakukan
daerah provinsi Banten, pengusaha swasta dan modikasi baik untuk kepenngan rekreasi, konservasi
masyarakat lokal. Masing-masing memiliki akses alam, kehidupan budaya maupun pariwisata.
terhadap cagar budaya yang berbeda-beda. Permasalahan semacam ini lebih banyak lagi terjadi di
Permasalahan yang dak jauh berbeda juga kawasan-kawasan cagar budaya yang berada di tengah
terjadi dalam kasus pengelolaan Kawasan Kota Tua permukiman penduduk, baik di wilayah perdesaan
Jakarta. Rencana pengelolaan kawasan ini (khususnya seper di Sangiran, dan Banten Lama maupun di
di sekitar Daerah Taman Fatahillah, Jakarta Kota, dan perkotaan seper di Kawasan Kota Tua Jakarta.
Pasar Ikan), sudah disiapkan melalui SK Gubernur Penetapan zonasi dengan sistem tunggal
DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada tahun 1970, 1972, 1973, seper model Borobudur juga terjadi dalam kasus-
dan 1975. Namun penyusunan Rencana Induk sebagai kasus lain, yaitu Kawasan Banten Lama, dan kawasan
Rencana Strategis Revitalisasi Kawasan Terpadu baru warisan budaya dunia Prambanan. Sementara itu
disusun tahun 2005, yaitu pada masa kepemimpinan sistem zonasi yang diterapkan di Kawasan Kota Tua
Gubernur Suyoso. Rencana induk ini dinyatakan Jakarta bahkan berbeda sekali pengerannya dengan
sebagai dedicated program yaitu program unggulan konsep zonasi sebagaimana dirumuskan dalam UU
yang harus terwujud dan harus diteruskan oleh Cagar Budaya. Kawasan Kota Tua dibagi ke dalam lima
gubernur-gubernur berikutnya. Namun perubahan- zona, namun zona-zona tersebut bukanlah konsep
perubahan masterplan terus berlangsung hingga pembagian ruang untuk kepenngan perlindungan,
tahun 2008, dan sesudah itu dak ada ndak lanjut melainkan merupakan sistem pengelompokkan
yang berar (Hamid, 2009: 6-8). Pada saat ini, bangunan atau lingkungan pemukiman ke dalam
pengelolaan Kawasan Kota Tua dijalankan oleh Unit klaster-klaster (cf. Hamid 2008).
Pengelola Kawasan Kota Tua, yaitu UPT di bawah Dinas Zonasi terhadap Kawasan Cagar Budaya
Pariwisata dan Kebudayaan Prov. DKI Jakarta. Landasan Sangiran juga bersifat tunggal, tetapi mengandung
pengelolaan yang digunakan adalah Peraturan permasalahan yang khas. Di kawasan ini dak
Gubernur DKI Jakarta tahun 2006 tentang Penguasaan dijumpai peninggalan purbakala berupa struktur-
Perencanaan dalam rangka Penataan Kota Tua, dan struktur, bangunan-bangunan atau situs-situs yang
Peraturan Gubernur tahun 2007 tentang Pembentukan menjadi buk adanya objek purbakala yang bersifat
Organisasi dan Tata Kerja Unit Penataan dan dak-bergerak (permanen). Dasar penetapan ruang
Pengembangan Kawasan Kota Tua Dinas Kebudayaan kawasan adalah distribusi tempat-tempat temuan
dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta. Masalah yang fosil atau artefak yang seluruhnya merupakan benda
dihadapi masih sama, yaitu belum tertatanya dengan bergerak. Oleh karena itu, zonasi dak dibuat untuk
baik kawasan kota tua ini. Pengelolaan yang dak melindungi bangunan atau struktur maupun benda-
terintegrasi menjadikan kawasan tersebut seolah-olah benda cagar budaya sebagaimana berlaku dalam
seper no mans land. Hingga tahun 2012, rencana kasus Borobudur atau Banten Lama, melainkan untuk
pembuatan masterplan untuk percepatan penataan melindungi lokasi-lokasi potensial (bukan objek sik)
dan pengembangan kawasan masih belum tersedia (cf. atas dasar indikasi yang ditunjukkan oleh objek-objek
Unit Pengelola Kawasan Kota Tua 2012). arkeologi yang pernah ditemukan di tempat tersebut.
Kawasan Sangiran adalah kawasan cagar budaya
3. Penetapan zonasi yang kurang melindungi yang mengkombinasikan dua hal, yaitu unsur budaya
keseluruhan aset kawasan. dalam bentuk fosil dan artefak dan unsur alam dalam
Zonasi merupakan kegiatan yang sangat bentuk formasi geologi. Zonasi yang kini diterapkan
penng dalam rangka perlindungan kawasan di Sangiran masih lebih banyak melindungi aspek-
cagar budaya, namun dalam praktek dak jarang aspek yang berkaitan dengan buk arkeologis, namun
menghadapi banyak kendala, bahkan sering masalah belum cukup memberikan perlindungan pada aspek
dibiarkan dak dituntaskan. Kawasan candi Borobudur geologinya. Permalahan zonasi terhadap kawasan-
misalnya, hanya mengenal satu sistem zonasi yang kawasan yang mengandung warisan budaya dan
hanya diterapkan untuk monumen utamanya, yaitu warisan alam sekaligus akan dihadapi nan misalnya

12
Supratikno, Beberapa Permasalahan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya dan Strategi Solusinya

pada saat melakukan zonasi terhadap Kawasan V. STRATEGI PELESTARIAN


Kehidupan di Gua-gua Maros-Pangkep di Sulawesi
Selatan, dan di Kawasan Sangkulirang Mangkalihat di Sedaknya ada 4 strategi yang diasumsikan
Kalimantan Timur. akan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan
Persoalan lain yang masih belum disentuh utama sebagaimana dikemukakan diatas. Keempat
adalah penyusunan konsep zonasi terhadap kawasan strategi tersebut adalah sebagai berikut:
yang sepenuhnya merupakan living monument
dan kombinasi antara living monument dan dead 1. Penetapan Status Kawasan Cagar Budaya Secara
monument. Persoalan yang memerlukan pembahasan Efekf dan Esien.
khusus ini dak dibahas pada tulisan ini. Ada dua strategi untuk dua masalah yang
berbeda dalam penetapan status kawasan cagar
4. Konik Pemanfaatan dan Pengelolaan budaya. Strategi pertama dirancang untuk memecahkan
Ada dua sumber konik utama yang berkaitan masalah perubahan penamaan situs menjadi kawasan
dengan pemanfaatan kawasan cagar budaya, yaitu sebagaimana terjadi dalam kasus Sangiran, Banten
masalah lahan dan masalah cagar budayanya sendiri. Lama, dan mungkin kawasan-kawasan lainnya. Solusi
Terdapat korelasi antara ngkat konik dengan kondisi yang paling efekf untuk memecahkan masalah ini
kepemilikan lahan. Di kawasan-kawasan cagar budaya adalah melalui penerbitan surat keputusan baru
yang status kepemilikan tanahnya lebih banyak yang menggankan surat keputusan sebelumnya. Isi
dikuasasi oleh masyarakat, maka ngkat potensi pokoknya adalah menyebutkan bahwa penggunaan
koniknya relave nggi. Hal ini berkaitan dengan islah situs yang disebut dalam SK yang lama digankan
lemahnya dukungan hukum bagi pengelola untuk dengan islah kawasan dalam SK yang baru. Argumen
melindungi temuan-temuan arkeologi yang ada di penetapannya adalah bahwa pengeran situs yang
atas dan di dalam tanah milik masyarakat. Termasuk di ditetapkan dalam SK yang lama memiliki pengeran
dalamnya adalah sulitnya mengendalikan pemanfaatan baru sesuai ketentuan UU Cagar Budaya Tahun 2010.
lahan untuk keperluan pertanian, perumahan dan Alasan lainnya adalah bahwa dari segi substansi yang
pembangunan sarana publik, baik yang dilakukan ditetapkan mengacu kepada ruang geogras yang sama.
atas dasar hak kepemilikan pribadi, penyewaan lahan Jika strategi ini dapat diterima, maka semua kawasan
maupun penjualan lahan. Kasus seper ini terjadi cagar budaya yang sebelumnya ditetapkan dengan
dimana-mana, dak terkecuali di Borobudur, Banten sebutan situs dak lagi memerlukan penetapan baru
Lama, dan Kota Tua Jakarta. Permasalahan konik melalui prosedur berjenjang yang akan membutuhkan
akan semakin kompleks bila kawasan cagar budaya waktu yang jauh lebih lama. Strategi seper ini sangat
yang dimanfaatkan merupakan wilayah pemukiman efekf dan esien karena sifatnya administraf semata-
padat yang sedang berkembang seper halnya di mata.
Trowulan, Banten Lama dan terlebih lagi di Kawasan Adapun strategi kedua dirancang untuk
Kota Tua Jakarta (Sulisyanto 2008; Hamid, 2009; mengatasi ancaman kerusakan terhadap kawasan
Rahardjo 2011). kepurbakalaan yang belum pernah ditetapkan statusnya
Sumber konik lain adalah status kepemilikan sebagai kawasan cagar budaya. Solusi yang dapat
atau penguasaan cagar budayanya sendiri. Kawasan diusulkan adalah melalui prosedur pengusulan dan
Cagar Budaya Sangiran dan Borobudur dari segi penetapan secara paket, arnya penetapan kawasan
penguasaan cagar budayanya sendiri dak banyak cagar budaya dak perlu menunggu penetapan satu
bermasalah karena hampir seluruhnya dikuasai oleh persatu terhadap kategori-kategori cagar budaya yang
pemerintah. Tidak demikian halnya dengan kawasan- ada di dalam kawasan tersebut, akan tetapi dilakukan
kawasan lain. Kawasan Cagar Budaya Banten Lama secara bersama-sama. Mekanisme seper ini dak
hanya sebagian cagar budayanya dikuasai dan dikelola diatur dalam perundang-undangan, tetapi juga dak
oleh pemerintah, khususnya yang masuk kategori ada pasal-pasal yang melarangnya. Prosedur seper ini
dead monument, sedangkan sebagian lainnya yang dapat dilakukan terhadap kawasan yang seluruh cagar
justru paling intensif dimanfaatkan berada di bawah budayanya belum ditetapkan atau baru sebagian saja
pengelolaan masyarakat, terutama cagar budaya yang penetapannya dari cagar budayanya belum ditetapkan.
masuk kategori living monument, misalnya Masjid Bila strategi ini dapat diterima maka kekhawaran
Agung dan makam-makam para Sultan Banten dan terhadap potensi kerusakan kawasan kepurbakalaan
tokoh-tokoh lainnya. Hal yang sama berlaku juga untuk yang belum dilindungi secara hukum, akan sangat
kasus Kawasan Kota Tua Jakarta, terutama karena berkurang.
sebagian besar asetnya justru dimiliki atau dikuasai
oleh swasta.

13
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 2, Desember 2013, Hal 4-17

2. Penetapan Sistem Zonasi yang Melindungi semua Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman dan
Komponen Cagar Budaya. dipayungi lagi oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan
Sistem zonasi yang diterapkan di Indonesia yang salanjutnya bernaung di bawah Kementrian
sekarang masih banyak menimbulkan permasalahan Pendidikan dan Kebudayaan. Penyusunan visi, misi
karena belum efekf sebagai instrumen untuk perlu menyesuaikan dengan lembaga yang berada
melindungi situs dan kawasan. Penetapan zonasi di atasnya, demikian juga program-programnya.
seharusnya dimulai dari situs, sehingga di dalam Semakin konsisten perencanaannya semakin besar
seap kawasan akan terdapat lebih dari satu sistem kemungkinan program-program dapat terus berlanjut.
zonasi karena seap situs memiliki sistem zonasinya Meskipun demikian masterplan dak cukup hanya
sendiri-sendiri. Contoh semacam ini sudah dirins memperhakan visi dan misi dari instansi induknya
dalam Masterplan Kawasan Trowulan yang dibuat sendiri, tetapi juga harus memperhakan masterplan
pada tahun 1986 (Mundardjito dkk, 1986). Sistem yang disusun oleh lembaga lain yang mempunyai
zonasi seper ini dapat dilakukan dalam dua cara, kepenngan terhadap kawasan cagar budaya yang
yaitu zonasi terhadap satu situs yang memuat satu dikelolanya. Baik yang bersifat nasional maupun
bangunan atau satu struktur yang dianggap penng. provinsi maupun kabupaten. Sektor-seltor lain yang
Cara kedua adalah dengan membuat pengelompokan perlu diperhitungkan adalah organisasi-organisasi
bangunan atau struktur ke dalam klaster-klaster ataupun komunitas-komunitas yang memiliki
kemudian memberinya zonasi terhadap seap klaster kepenngan terhadap kawasan cagar budaya
tersebut. Cara pertama dapat dicontohkan dalam kasus yang dikelola. Oleh karena itu dalam penyusunan
penetapan sistem sel sebagaimana diterapkan pada masterplan sebaiknya wakil-wakil lembaga dan
sejumlah bangunan dan struktur di kawasan cagar organiosasi-organisasi masyarakat perlu dilibatkan.
budaya Trowulan. Sedangkan cara kedua dicontohkan Keberhasilan upaya pelestarian kawasan cagar budaya
dalam kasus kawasan Kota Tua Jakarta. Dalam kasus akan sangat dipengaruhi oleh pengelolanya dalam
yang terakhir ini penggunaan islah zonasi sebenarnya membina hubungan sinergis di antara stekholder.
merupakan bentuk pengelompokkan atau klasteriasi Satu hal lagi yang perlu ditekankan adalah bahwa
cagar budaya yang pengerannya berbeda dengan seluruh upaya pengelolaan harus ditujukan pada
konsep zonasi dalam UU Cagar Budaya. Dalam UU Cagar sasaran yang dirumuskan dalam visi dan misi. Dalam
Budayai konsep zonasi bukan suatu ndakan untuk kaitannya dengan pelestariaon kawasan adalah untuk
mengelompokan cagar budaya menurut karakternya, melestarikan kawasan cagar budaya dan meningkatkan
tetapi merupakan sarana untuk tujuan perlindungan kesejahteraan masyarakat, utamanya yang berada di
cagar budaya melalui pengaturan fungsi ruang. sekitar kawasan cagar budaya.

3. Perencanaan Pelestarian secara Terintegrasi dan 4. Penetapan Bentuk Pengelolaan yang sesuai
Berkesinambungan. Karakterisk Kawasan
Masterplan pelestarian merupakan peta Bentuk organisasi pengelolaan bisa berpotensi
jalan (roadmap) yang menjadi panduan dalam rangka menimbulkan konik atau sebaliknya mengatasi
melakukan perlindungan, pengembangan, dan konik pemanfaatan. Hal ini dapat disebabkan karena
pemanfaatan. Pengelolaan kawasan cagar budaya di faktor sejarah maupun karena faktor pilihan. Kawasan
Indonesia ini biasanya merupakan bagian dari urusan cagar budaya yang keka ditemukan sepenuhnya
UPT (Unit Pelaksana Teknis) Pelestarian yang ada di terdiri dari dead monument cenderung lebih mudah
daerah-daerah. Kawasan ini dapat dikelola oleh satu dikelola daripada kawasan cagar budaya yang terdiri
UPT yang khusus menangani satu kawasan, misalnya dari campuran antara dead moniment dan living
Kawasan Cagar Budaya Sangiran, Kawasan Cagar monument. Hal ini antara lain disebabkan karena
Budaya Borobudur atau Kawasan Cagar Budaya Kota kawasan cagar budaya jenis pertama lazimnya dikelola
Tua Jakarta. Namun dapat juga merupakan salah satu oleh satu lembaga, yaitu oleh instansi pemerintah.
bagian dari beberapa kawasan cagar budaya yang Contoh pengelolaan jenis ini misalnya berlaku pada
dikelola oleh satu UPT, misalnya Kawasan Trowulan Kawasan cagar budaya Sangiran dan Candi Borobudur.
yang kelola oleh BPCB wilayah Jawa Timur dan Banten Sedangkan jenis kedua dikelola secara gabungan, baik
Lama yang dikelola oleh BPCB wilayah Banten, Jawa oleh pemerintah untuk cagar budaya berupa monumen
Barat, DKI Jakarta dan Lampung. Dengan demikian, ma dan oleh masyarakat lokal untuk cagar untuk cagar
masterplan kawasan cagar budaya tersebut harus budaya hidup. Contoh kategori ini adalah kawasan
dibawah payung masterplan UPT yang memayunginya. cagar budaya Banten Lama, Trowulan, dan Kawasan
Selanjutnya harus juga diingat bahwa UPT-UPT Kota Tua Jakarta. Potensi konik itu disebabkan karena
merupakan bagian dari pelaksana teknis dari Direktorat masing-masing pihak memiliki paradigma sendiri

14
Supratikno, Beberapa Permasalahan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya dan Strategi Solusinya

tentang bagaimana objek-objek yang dikelola, misalnya dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya
dalam hal pengetahuan dan cara-caranya melindungi, yang paling utama adalah sifat cagar budaya dan
mengembangkan dan memanfaatkan. Kini sumber- lingkungan alam di sekelilingnya. Karakterisk utama
sumber konik dak hanya dipengaruhi oleh fraktor yang menjadi objek kawasan cagar budaya Sangiran
sejarah dari cagar budaya itu sendiri tetapi juga oleh adalah fosil-fosil manusia dan fauna yang memiliki
dinamika sosial dan polik. Kini masyarakat semakin nilai penng terutama dari sudut ilmu pengetahuan.
menyadari hak-haknya dan pemerintah nasional juga Unggulan lainnya adalah formasi geologi yang menjadi
telah mengubah kebijakan di bidang kebudayaan, lokasi tempat cagar budaya itu ditemukan. Oleh
termasuk dalam mengelola cagar budaya. UU tentang karena itu, jika kawasan ini hendak dikembangkan
pemerintahan daerah tahun 2004 telah memberikan menjadi desnasi pariwisata maka targetnya bukanlah
hak semakin besar kepada pemerintah daerah untuk pariwisata massal, melainkan minat khusus. Berbeda
mengurusi kebudayaan, UU ini juga direspon oleh dengan itu, kawasan candi Borobudur di samping
munculnya UU tentang Cagar Budaya yang baru. memiliki nilai penng dari segi pendidikan dan
Bahkan ditegaskan bahwa dalam pengelolaannya agama, juga memiliki potensi untuk menarik minat
peran masyarakat dan dunia usaha diberi peluang pengunjung karena memiliki nilai keindahan dan
untuk ikut berparsipasi. Oleh karena itu pengelolaan rekreasi yang nggi, baik cagar budayanya maupun
cagar budaya sekarang harus mempermbangkan lansekapnya. Oleh karena itu dapat dirancang dengan
ga stakeholder utamanya, yaitu pemerintah, dunia target pengunjung yang bersifat massal. Namun
usaha, dan masyarakat lokal. Pengelolaan dengan cara demikian, keunggulan ini bisa menjadi ancaman
demikian disebut dengan islah co-management. jika manajemen pengunjung dak dirancang secara
Meskipun demikian peran seap pihak bisa berbeda- matang, misalnya harus didistribusikan ke wilayah-
beda tergantung karakterisk kawasan cagar wilayah disekitarnya sebagaimana sedang dijalankan
budayanya. Untuk kawasan cagar budaya Sangiran sekarang ini. Lain lagi dengan kawasan cagar budaya
dominasi dilakukan oleh pemerintah mungkin menjadi Banten Lama. Keunggulan kawasan ini sesungguhnya
perhaan utama dengan permbangan bahwa bukan pada objek sik dari cagar budaya yang ada
misi utamanya adalah untuk pengembangan ilmu di kawasan ini, melainkan pada tradisi yang hidup,
pengetahuan dan daya tarik objeknya dak terlalu khususnya tradisi ziarah di makam-makam Sultan dan
nggi bagi publik dengan demikian misi ideologik tokoh-tokoh sejarah Banten. Meskipun nilai penng
menjadi tujuan yang dominan. Sedangkan pada Candi dari sudut pendidikan dapat dijumpai di kawasan ini,
Borobudur perlu keterlibatan yang seimbang antara tetapi nilai agama jauh melampauinya. Karena magnet
pihak pemerintah dan swasta karena di samping utamanya adalah pada tradisi maka aktas perayaan
memiliki potensi untuk tujuan pendidikan juga memiliki atau fesfal-fesfal keagamaan menjadi unggulan
daya tarik bagi publik sebagai sarana rekreasi. Banten utama. Adapun kawasan Kota Tua Jakarta mimiliki
Lama mungkin lebih cocok jika ada keseimbangan keunggulan pada pemandangan lansekap kota kolonial
pada dua unsur utamanya, yaitu pemerintah dan yang dikitari oleh museum-museum terpenng yang
masyarakat lokal. Hal ini disebabkan karena di dalam dimiliki pemerintah DKI. Mengingat kekhasan ini,
kawasannya terdapat cagar budaya yang dikelola baik nilai penng cagar budayanya adalah pendidikan.
oleh pemerintah maupun masyarakat lokal. Adapun Di kawasan ini terdapat ruang publik yang menjadi
pengelolaan kawasan Kota Tua Jakarta mungkin lebih pusat interaksi masyarakat yaitu Taman Fatahilah
cocok bila didominasi oleh pihak swasta, di samping yang terletak di depan Museum Sejarah Jakarta. Oleh
keterlibatan masyarakat lokal sampai ngkat yang karena itu, target pengunjungnya adalah massal. Jika
ditentukan. Hal ini disebabkan karena pemilikan atau dikembangkan tradisi fesval di tempat ini, maka
penguasaan aset cagar budayanya hampir seluruhnya keunggulan tempat ini dak hanya pada lansekap kota
dikuasai oleh swasta atau masyarakat. Bagaimana kolonial dan museum-museumnya, tetapi juga fesval-
pembagian peran dari kega unsur pengelola itu dapat fesvalnya.
diupayakan melalui mekanisme keputusan bersama Mengingat seap kawasan memiliki
mengenai bentuk dan struktur organisasinya. karakterisk khas, maka permasalahan juga berbeda-
beda. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan bentuk
5. Penetapan Fungsi Unggulan dan Pengembangan kerjasama antar kawasan cagar budaya sejenis
Kerjasama Antar Kawasan (semacam sister site), sehingga dapat saling
Di bagian depan telah disebutkan bahwa seap belajar dari pengalaman masing-masing. Kawasan
kawasan cagar budaya memiliki karekterisk sendiri- cagar budaya yang telah ditetapkan sebagai warisan
sendiri. Karakterisk tersebut bisa menjadi kekuatan budaya dunia sebaiknya menjadi partner kerjasama
atau kelemahan masing-masing. Karakterisk tersebut dengan kawasan sejenis di luar negeri. Dalam hal

15
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 2, Desember 2013, Hal 4-17

ini Sangiran dapat membangun jaringan kerjasama kekurangannya dapat diisi oleh kelebihan kawasan
misalnya dengan kawasan sejenis di Cina dan Afrika lain.
Selatan, sedangkan Borobudur dengan kawasan- 3. Dokumen masterplan sebagai landasan awal
kawasan sejenis yang terdapat di Asia Tenggara, Afrika dari upaya pengelolaan seringkali dak dapat
(terutama Mesir), dan Amerika Lan. Sementara itu, dimplementasikan di lapangan. Hal ini sering terjadi
Kawasan Cagar Budaya Banten Lama perlu menjalin karena kurangnya perencanaan yang bersifat
kerjasama dengan kawasan cagar budaya sejenis di kota kesinambungan dan lemahnya koordinasi dengan
Demak, dan Yogyakarta khususnya Kota Gede. Adapun sektor-sektor atau instansi-instansi terkait. Oleh
Kawasan Kota Tua Jakarta dapat membangun jaringan karena itu, perencanaan pengelolaan kawasan
kerjasama dengan kawasan-kawasan kota tua bercorak cagar budaya harus melibatkan semua stakeholder
kolonial yang umumnya terdapat di ibukota-ibukota untuk mendapatkan k temunya.
provinsi, misalnya Bandung, Semarang, Surabaya, dan 4. Kajian untuk pengembangan model pengelolaan di
Medan. Tentu saja dapat juga kerjasama dilakukan tempat lain akan memberikan pemahaman yang
dengan kawasan-kawasan sejenis di luar negeri. lebih luas tentang persoalan-persoalan dalam
Jaringan kerjasama tersebut bisa berar dak terbatas pengelolaan. Dalam kenyataannya, upaya meniru
pada aspek pemanfaatan, tetapi juga perlindungan, sepenuhnya model dari luar dak akan berhasil
khususnya konservasi, dan pengembangan, yang jika dak memperhitungkan kekhasan di ap-ap
mencakup penelian, revitalisasi, dan adaptasi. kawasan.
5. Penetapan bentuk organisasi pengelolaan kawasan
VI. KESIMPULAN cagar budaya dengan model apapun hendaknya
memperhakan misi UU RI No. 11 Tahun 2010
1. Secara umum, upaya pelestarian kawasan di tentang cagar budaya, yaitu menjaga kelestarian
beberapa lokasi di Indonesia, belum memberikan cagar budaya dan melibatkan parsipasi masyarakat
hasil yang diharapkan, bahkan cenderung kurang dalam rangka meningkatkan kesejahteraan.
berhasil bila dilihat dari kemampuan merealisasi 6. Pemanfaatan kawasan cagar budaya hendaknya
program-programnya dan reaksi-reaksi masyarakat diarahkan pada keunggulan dan keunikan
yang umumnya dak puas. masing-masing. Keunggulan dan keunikan ini
2. Keunikan kawasan cagar budaya merupakan perlu disampaikan ke publik sehingga mereka
keunggulan, namun bila dak dikelola secara dak memiliki harapan yang melebihi kenyataan.
kreaf dapat menjadi ancaman. Seap kawasan Promosi dalam rangka pemanfaatan untuk
cagar budaya dengan kekhasannya masing- kepenngan publik perlu disampaikan sebagai
masing, dapat menjadi pusat-pusat unggulan yang program sosialisasi untuk mendidik masyarakat
memiliki kelebihan-kelebihan tertentu di samping untuk memanfaatkan kawasan cagar budaya sesuai
kekurangan-kekurangannya. Kelebihan yang dimiliki dengan kebutuhan masing-masing.
dapat mengisi kekurangan kawasan lain, dan

Daar Pustaka

Ambary, Hasan Muarif. 1994. Sumberdaya Kultural Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. 2006.
Banten Lama: Potensi serta Pemanfaatannya. Pengelolaan Situs Sangiran. Kementrian
Dalam Kabupaten Serang Menyingsong Masa Kebudayaan dan Pariwisata.
Depan (Hasan Muarif Ambary dkk, peny.), h.
404-424. Hamid, Sadika Nurani. 2009. Persepsi Pemilik dan
Pengelola Bangunan di Kawasan Taman
Badan Perencanaan Pemda Kab. Da II Serang. 1994. Fatahilah: Kasus Revitalisasi Kawasan Kota
Rencana Umum Tata Ruang Situs Bekas Kota Tua Jakarta. Tesis Magister Arkeologi, Program
Banten Lama. Dalam Kabupaten Serang Pascasarjana, Fakultas Ilmu Pengetahuan
Menyingsong Masa Depan (Hasan Muarif Budaya, Universitas Indonesia.
Ambary dkk, peny.), h. 481-488.

16
Supratikno, Beberapa Permasalahan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya dan Strategi Solusinya

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2011. Rahardjo, Suprakno. 2010. Dari Periswa sejarah
Undang-undang Republik Indonesia Nomor Hingga Produk Industri Pariwisata: Tinjauan
11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Jakarta: atas Kasus Pengelolaan Candi Borobudur.
Direktorat Jenderal Sejarah dan Kebudayaan. Dalam Jurnal Keperiwisataan Indonesia, Vol. 5
No. 1, Maret 2010, h. 1-18.
Keppres No.1/1992 tentang Pengelolaan Taman Wisata
Candi Borobudur dan Candi Prambanan. ----------------------------- dkk. 2011. Kota Banten Lama:
mengelola warisan untuk masa depan. Jakarta:
Mundardjito dkk. 1986. Rencana Induk Arkeologi Widya Sastra.
Bekas Kota Kerajaan Majapahit Trowulan.
Jakarta: Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Sulistyanto, Bambang. 2008. Resolusi Konik dalam
Peninggalan Sejarah dan Purbajaka, Ditjen Manajemen Warisan Budaya Situs Sangiran.
Kebudayaan, Depdikbud. Disertasi: Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
---------------. 2003. The Zoning System in The Borobudur
Region. Paper Presented at The Fourth Unit Pengelola Kawasan Kota Tua, 2012. Strategi
Internaonal Expert Meeng on Borobudur, Penataan dan Pengembangan Kota Tua Jakarta.
held in Borobudur, Central Java, 4-8th July Jakarta.
2003.

17

You might also like