You are on page 1of 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA


PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Sejarah Perkembangan Pertanian Organik di Indonesia

Perkembangan pertanian organik diawali dengan lahirnya gerakan-gerakan yang

mengajak untuk melakukan usahatani secara organik. Hal tersebut merupakan

salah satu bentuk perlawanan dari dampak yang ditimbulkan pada revolusi hijau.

Pada era orde baru, beberapa petani melakukan upaya mempromosikan pertanian

organik sebagai bentuk perlawanan yang berisiko tinggi karena pada masa ini

pemerintah melarang mempromosikan pertanian organik (Eliyas, 2008).

Gerakan-gerakan pertanian organik seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

(WALHI)/ PAN Indonesia, Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM) Internasional

yang menjadi donor LSM Indonesia dan kalangan rohaniawan menjadi sumber

informasi bagi penggiat pertanian organik untuk mengembangkan pertanian

organik. Pada tahun 1987, Pesticide Action Network Indonesia (PAN Indonesia)

melakukan kampanye tentang bahaya pestisida dan mempromosikan cara bertani

alternatif yang dikenal sebagai pertanian organik (Eliyas, 2008).

Ada beberapa pihak yang mendukung perkembangan produk-produk pertanian di

Indonesia seperti Pemerintahan Jerman membuka pasar dalam negerinya bagi

produk pangan organik yang berasal dari Indonesia. Pada tahun 2012, pihak

Jerman tertarik untuk mengimpor beras organik dari Indonesia. Mereka

Universitas Sumatera Utara


memberikan kesempatan bagi pengusaha Indonesia untuk mengekspor hasil

pertanian organik yang sesuai persyaratan yang berlaku di Jerman. Hal ini

merupakan peluang yang besar untuk mengembangkan pertanian organik di

Indonesia (Organic Indonesia, 2012).

2.1.2 Padi Organik

Padi organik merupakan padi yang dibudidayakan secara organik atau tanpa

pengaplikasian pupuk kimia dan pestisida kimia. Oleh karena tanpa bahan kimia,

padi organik tersebut pun terbebas dari residu pupuk kimia dan pestisida kimia

yang sangat berbahaya bagi manusia (Andoko,2009).

Cara bertanam padi organik pada dasarnya tidak berbeda dengan bertanam padi

secara konvensional. Perbedaannya hanyalah pada pemilihan varietas dan

penggunaan pupuk dasar. Pertanian organik biasanya diawali dengan pemilihan

bibit atau benih tanaman non-hibrida. Selain untuk mempertahankan

keanekaragaman hayati, bibit non-hibrida sendiri secara teknis memang

memungkinkan untuk ditanam secara organik. Ini dikarenakan bibit nonhibrida

dapat hidup dan berproduksi optimal pada kondisi yang alami. Sementara bibit

atau benih hibrida biasanya dikondisikan untuk dibudidayakan secara non-

organik, seperti harus menggunakan pupuk kimia atau pemberantasannya hanya

dengan pestisida kimia (Andoko,2009).

Universitas Sumatera Utara


Adapun teknologi budi daya padi organik sebagai berikut :

1) Pemilihan Varietas

Varietas padi yang cocok ditanam secara organik yaitu varietas alami. Agar

berproduksi optimal, jenis padi ini tidak menuntut penggunaan pupuk kimia.

Varietas alami merupakan varietas yang tidak mengandung bahan-bahan kimia.

2) Persemaian

Langkah awalnya adalah melakukan seleksi benih. Benih bermutu merupakan

syarat untuk mendapatkan hasil panen yang maksimal. Kebutuhan akan benih

maksimal hanya 30 kg/ha, dengan asumsi jarak tanam 25 cm x 25 cm, sehingga

asumsi daya tumbuh sekitar 90%. Lahan sawah dapat ditambahkan dengan pupuk

pupuk kandang sebanyak 40 kg atau sesuai yang dibutuhkan dengan cara ditebar

merata. Selanjutnya pupuk kandang tersebut diinjak-injak kembali agar menyatu

dengan tanah. Di antara kedua bedengan yang berdekatan dibuat selokan dengan

ukuran lebar 30-40 cm.

Benih yang akan disemaikan terlebih dahulu direndam dalam air untuk

menyeleksi benih yang kurang baik. Benih yang terapung dan melayang harus

dibuang. Perendaman dilakukan agar terjadi proses fisiologis yaitu proses

terjadinya perubahan di dalam benih yang akhimya benih cepat berkecambah.

Benih direndam dalam air selama 24 jam. Kemudian diperam selama 48 jam,

agar di dalam pemeraman tersebut benih berkecambah. Benih yang telah

berkecambah dengan panjang kurang lebih 1 mm telah siap untuk ditebar di

bedengan dengan syarat benih tersebar rata dan kerapatan benih harus sama.

Universitas Sumatera Utara


Pengurangan air pada persemaian dimaksudkan agar benih yang disebar dapat

merata dan mudah melekat di tanah sehingga akar mudah masuk ke dalam tanah,

benih tidak busuk akibat genangan air, memudahkan benih bernafas/mengambil

oksigen langsung dari udara sehingga proses perkecambahan lebih cepat, serta

benih mendapat sinar matahari secara langsung.

3) Pengolahan Lahan

Pengolahan tanah bertujuan mengubah keadaan tanah pertanian dengan alat

tertentu hingga memperoleh susunan tanah (struktur tanah) yang dikehendaki oleh

tanaman. Pengolahan tanah sawah terdiri dari beberapa tahap seperti pembersihan

yang dilakukan di selokan-selokan dan jerami yang ada perlu dibabat untuk

pembuatan kompos, pencangkulan yang dilakukan untuk perbaikan pematang dan

petak sawah yang sukar dibajak serta pembajakan yang berguna memecah tanah

menjadi bongkahan-bongkahan tanah, membalikkan tanah beserta tumbuhan

rumput (jerami) sehingga akhirnya membusuk dan dilakukan penggaruan guna

meratakan dan menghancurkan gumpalan-gumpalan tanah menjadi butiran tanah

yang lunak dan halus (koloid).

4) Penanaman

Umur bibit berpengaruh terhadap produktivitas. Umur bibit terbaik untuk

dipindahkan adalah 18-25 hari; bibit berdaun 5-7 helai; batang bagian bawah

besar dan kuat; pertumbuhan bibit seragam (pada jenis padi yang sama) dan bibit

tidak terserang hama dan penyakit dapat segera dipindahkan ke lahan yang telah

disiapkan. Jarak tanam yang paling banyak digunakan petani di Indonesia adalah

Universitas Sumatera Utara


25 cm x 25 xm dan 30 cm x 30 cm. Pemakaian bibit tiap lubang antara 3-4 batang,

tetapi bibit yang ditanam terlalu dalam/dangkal menyebabkan pertumbuhan

tanaman kurang baik, kedalaman tanaman yang baik 3-4 cm. Penanaman bibit

padi diawali dengan menggaris tanah/menggunakan tali pengukur untuk

menentukan jarak tanam. Setelah pengukuran jarak tanam selesai dilakukan

penanaman padi secara serentak.

5) Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman padi terdiri dari penyulaman dan penyiangan, pengairan

serta pemupukan. Yang harus diperhatikan dalam penyulaman (penggantian bibit

yang rusak), yaitu bibit yang digunakan harus jenis yang sama, bibit yang

digunakan merupakan sisa bibit yang terdahulu, penyulaman tidak boleh

melampaui 10 hari setelah tanam, dan selain tanaman pokok (tanaman

pengganggu) supaya dihilangkan. Penyiangan dilakukan dengan cara pencabutan

gulma. Dalam satu musim tanam, dilakukan tiga kali penyiangan. Penyiangan

pertama dilakukan saat tanaman berumur sekitar 4 minggu, kedua umur 35 hari,

dan ketiga umur 55 hari.

Pengairan di sawah dapat dibedakan atas pengairan secara terus menerus dan

pengairan secara periodik. Pemupukan tujuannya adalah untuk mencukupi

kebutuhan makanan yang berperan sangat penting bagi tanaman baik dalam

proses pertumbuhan/produksi. Pupuk organik yang digunakan sebagai pupuk

dasar berupa pupuk kandang atau pupuk fermentasi sekitar 1,5-2 ton/ha.

Universitas Sumatera Utara


Setelah itu dilakukan pemupukan susulan. Pemupukan susulan tahap pertama

dilakukan saat tanaman berumur 15 hari sebanyak 1 ton/ha pupuk kandang atau

0,5 ton/ha pupuk fermentasi. Pemupukan susulan tahap kedua pada saat tanaman

berumur 25-60 hari yaitu menyemprotkan sebanyak 1 liter pupuk organik cair

dilarutkan dalam 17 liter air yang kandungan unsur N-nya tinggi. Pemupukan

susulan tahap ketiga yaitu setelah tanaman berumur 60 hari dengan

menyemprotkan pupuk organik cair yang mengandung unsur P dan K tinggi.

Dosisnya 2-3 sendok makan pupuk organik yang dicampur dalam 15 liter air.

Pupuk tersebut disemprotkan ke tanaman dengan frekuensi seminggu sekali.

6) Pengendalian Hama dan Penyakit

Pada budi daya padi organik pengendalian hama dan penyakit dapat dilakukan

dengan menggunakan varietas yang tahan dan dapat pula dilakukan secara terpadu

antara teknik budi daya, biologis, fisik (perangkap atau umpan), dan kimia

(pestisida organik). Pemberantasan hama dan penyakit dapat dilakukan dengan

menggunakan cara biologis, yaitu pemberantasan hama yang dilakukan dengan

menggunakan musuh alaminya, namun juga dilakukan dengan memperhatikan

pengaturan air pada pertanaman padi. Cara fisik atau mekanik dengan

mengumpulkan telur-telur hama yang belum menetas kemudian memusnahkannya

(Andoko,2009).

Universitas Sumatera Utara


7) Panen

Sekitar sepuluh hari sebelum panen, sawah harus dikeringkan agar masaknya padi

berlangsung serentak. Selain itu, keringnya sawah akan lebih memudahkan

pemanenan. Panen padi dapat dihitung berdasar umur tanaman, kadar air gabah,

atau hari setelah berbunga. Dengan metode ini padi dipanen pada saat malai

berumur 30-35 hari setelah berbunga (HSB). Tanda-tandanya ialah 95% malai

tampak kuning dan kadar air gabah berkisar antara 21-26%. Panen dengan ani-ani

menyebabkan banyak malai tertinggal dilapangan, karena pemanen menjadi lebih

selektif (Suparyono dan Setyono, 1993).

8) Pasca Panen

Setelah dipanen, gabah harus segera dirontokkan dari malainya. Tempat

perontokan dapat langsung dilakukan di lahan atau di halaman rumah setelah

diangkut ke rumah. Perontokan ini dapat dilakukan dengan perontok bermesin

ataupun dengan menggunakan tenaga manusia. Bila menggunakan mesin,

perontokan dilakukan dengan menyentuhkan malai padi ke gerigi alat yang

berputar. Sementara perontokan dengan tenaga manusia dilakukan dengan cara

batang padi dipukul-pukul ke kayu hingga gabah berjatuhan. Untuk

mengantisipasi agar gabah tidak terbuang saat perontokan maka tempat

perontokan harus diberi alas dari anyaman bambu atau menggunakan terpal,

hingga seluruh gabah dapat tertampung.

Universitas Sumatera Utara


Agar tahan lama disimpan dan dapat digiling menjadi beras maka gabah harus

dikeringkan. Pengeringan gabah umumnya dilakukan di bawah sinar matahari.

Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air sampai suatu tingkat tertentu.

Pada saat cuaca cerah, penjemuran padi dilakukan selama satu sampai dua hari

dengan pembalikan 4-7 kali. Gabah yang dijemur di tempat yang dilengkapi

dengan alas amparan semen memiliki kualitas lebih baik dibanding dengan yang

dijemur dengan alas penjemuran lembaran plastik dan karung goni (Suparyono

dan Setyono, 1993).

2.1.3 Penelitian Terdahulu

Hasil Penelitian Widiarta (2011) menunjukkan bahwa tingkat kompleksitas

mempengaruhi tingkat adopsi pertanian organik. Tingkat kompleksitas pertanian

organik lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian secara konvensional. Faktor-

faktor yang berhubungan adalah masa konversi lahan anorganik ke organik,

penggunaan pupuk organik dan pestisida organik, penggunaan bibit lokal.

Hasil Penelitian Putri (2011) menunjukkan bahwa variabel dari karakateristik

suatu inovasi berhubungan dengan tingkat adopsi pertanian padi organik. Dari

segi keuntungan, pertanian organik lebih menguntungkan dibandingkan dengan

konvensional. Ada kesesuaian penerapan padi organik dengan kebiasaan petani

dalam tahapan usahatani padi. Tingkat kerumitan lebih tinggi dirasakan pada saat

permulaan dalam melakukan usahatani padi secara organik. Dalam hal

kemungkinan untuk dicoba, peneraparan organik dapat diterapkan dengan lahan

yang kecil dan jumlah benih yang lebih sedikit dan modal yang sedikit.

Universitas Sumatera Utara


Sedangkan dalam hal kemungkinan untuk diamati, petani sangat dapat merasakan

hasilnya seperti rasanya lebih enak dan peningkatan jumlah dan biaya yang

dikeluarkan lebih sedikit dibandingkan yang konvensional.

2.2 Landasan Teori

Penelitian ini dilandaskan pada teori mengenai adopsi yang dijabarkan sebagai

berikut.

2.2.1 Pengertian Adopsi

Adopsi dapat diartikan sebagai penerapan atau penggunaan sesuatu ide, alat-alat

atau teknologi baru yang disampaikan berupa pesan komunikasi (lewat

penyuluhan). Manifestasinya dari bentuk adopsi ini dapat dilihat atau diamati

berupa tingkah laku, metode maupun peralatan dan teknologi yang dipergunakan

dalam kegiatan komunikasinya (Mardikanto dan Sutarni, 1983).

Menurut Junaidi (2007), adopsi inovasi mengandung pengertian yang kompleks

dan dinamis. Hal ini disebabkan karena proses adopsi inovasi sebenarnya adalah

menyangkut proses pengambilan keputusan, dimana dalam proses ini banyak

faktor yang mempengaruhinya. Adopsi inovasi merupakan proses berdasarkan

dimensi waktu. Dalam penyuluhan pertanian, banyak kenyataan petani biasanya

tidak menerima begitu saja, tetapi untuk sampai tahapan mereka mau menerima

ide-ide tersebut diperlukan waktu yang relatif lama.

Universitas Sumatera Utara


2.2.2 Kaitan Adopsi dengan Sikap, Perilaku, Penilaian Terhadap Suatu
Inovasi

Adopsi dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat diartikan

sebagai proses perubahan perilaku baik yang berupa: pengetahuan (cognitive),

sikap (affective), maupun ketrampilan (psychomotoric) pada diri seseorang

setelah menerima inovasi yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat

sasarannya. Penerimaan disini mengandung arti tidak sekedar tahu, tetapi

sampai benar-benar dapat melakanakan atau menerapkannya dengan benar serta

menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya. Penerimaan inovasi tersebut,

biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain,

sebagai cerminan dari adanya perubahan: sikap, pengetahuan, dan atau

ketrampilannya (Mardikanto, 1993).

Pengertian inovasi tidak hanya terbatas pada benda atau barang hasil produksi

saja, tetapi mencakup: ideologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, perilaku,

atau gerakan-gerakan menuju kepada proses perubahan di dalam segala bentuk

tata kehidupan masyarakat. Dengan demikian, pengertian inovasi dapat semakin

diperluas menjadi: "Sesuatu ide, produk, informasi teknologi,kelembagaan,

perilaku, nilai-nilai, dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui,

diterima, dan digunakan/diterapkan/dilaksanakan oleh sebagian besar warga

masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong

terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi

selalu terwujudnya perbaikan-perbaikaan mutu hidup setiap individu dan seluruh

warga masyarakat yang bersangkutan" (Mardikanto, 1988).

Universitas Sumatera Utara


2.2.3 Tahapan Adopsi

Menurut Rogers (2003), Beberapa tahapan adopsi dari proses pengambilan

keputusan inovasi mencakup :

1) Tahap Munculnya Pengetahuan (Knowledge) ketika seorang individu (atau

unit pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahami eksistensi dan

keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi berfungsi.

2. Tahap Persuasi (Persuasion) ketika seorang individu (atau unit pengambil

keputusan lainnya) membentuk sikap baik atau tidak baik.

3. Tahap Keputusan (Decisions) muncul ketika seorang individu atau unit

pengambil keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada

pemilihan adopsi atau penolakan sebuah inovasi.

4. Tahapan Implementasi (Implementation), ketika seorang individu atau unit

pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi.

5. Tahapan Konfirmasi (Confirmation), ketika seorang individu atau unit

pengambil keputusan lainnya mencari penguatan terhadap keputusan

penerimaan atau penolakan inovasi yang sudah dibuat sebelumnya

2.2.4 Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Tingkat Adopsi suatu


Inovasi

Inovasi merupakan suatu ide, praktek, atau objek yang dianggap baru oleh

individu atau unit adopsi lainnya. Pengambilan keputusan oleh petani, baik berupa

penolakan maupun penerimaan suatu inovasi tidak terlepas dari berbagai

pertimbangan menguntungkan atau tidak menguntungkan suatu teknologi bagi

pengusahanya (petani). Tingkat adopsi terhadap suatu inovasi berhubungan

dengan karakteristik inovasi itu sendiri, karaktersitik penerima inovasi (adopter)

Universitas Sumatera Utara


dan saluran komunikasi. Menurut Rogers (2003) faktor-faktor karakteristik suatu

inovasi itu terbagi atas lima, yaitu :

1) Keuntungan relatif (relative advantage), merupakan derajat dimana inovasi

diterima dan dipandang jauh lebih baik daripada teknologi sebelumnya, yang

biasanya dilihat dari segi keuntungan ekonomi dan keuntungan sosial (prestise

dan persetujuan sosial).

2) Kesesuaian (compatibility), merupakan derajat dimana inovasi dipandang

sesuai/konsisten dengan nilai-nilai sosial budaya yang ada, pengalaman masa

lalu, dan kebutuhan-kebutuhan adopter.

3) Kerumitan (complexity), merupakan derajat dimana inovasi dianggap sulit

untuk dimengerti dan digunakan.

4) Kemungkinan untuk dicoba (trialability), merupakan derajat dimana inovasi

dianggap mungkin untuk diuji cobakan secara teknis dalam skala kecil.

5) Kemungkinan untuk diamati/dirasakan hasilnya (observability), merupakan

derajat dimana hasil dari inovasi dapat dilihat atau dirasakan oleh adopter.

Terdapat beberapa karakteristik penerima inovasi (petani) dalam suatu inovasi

seperti umur, pendidikan, pengalaman bertani, pendapatan, luas lahan, tingkat

kosmopolitan, tingkat partisipasi. Beberapa karakteristik tersebut dapat dijelaskan

sebagai berikut ini :

1) Umur

Menurut Hasyim (2006), Umur petani adalah salah satu faktor yang berkaitan

erat dengan kemampuan kerja dalam melaksanakan kegiatan usahatani. Umur

dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam melihat aktivitas seorang dalam

Universitas Sumatera Utara


bekerja dimana dengan kondisi umur yang masih produktif maka

kemungkinan besar seseorang dapat bekerja dengan baik dan maksimal.

Semakin muda umur petani, maka akan semakin semangat untuk mengetahui

hal baru. Sehingga dengan demikian mereka berusaha untuk lebih cepat

melakukan adopsi inovasi (Lubis, 2000).

2) Pendidikan

Tingkat pengetahuan seseorang berhubungan dengan tingkat penilaian dan

keputusan adopsi inovasi. Orang-orang yang mengadopsi inovasi lebih awal

dalam proses difusi, cenderung lebih berpendidikan. Mereka yang

berpendidikan lebih tinggi relatif lebih cepat melaksanakan adopsi.

Pendidikan merupakan sarana belajar dimana selanjutnya akan menanamkan

sikap pengertian yang menguntungkan menuju pembangunan praktek

pertanian yang lebih modern. Mereka yang berpendidikan tinggi adalah yang

relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi, begitu pula sebaliknya mereka

yang berpendidikan rendah, agak sulit melaksanakan adopsi inovasi dengan

cepat (Lubis, 2000).

3) Pengalaman bertani

Faktor pengalaman mempunyai hubungan positif dengan kecepatan adopsi

inovasi. Petani yang berpengalaman lebih cepat mengadopsi teknologi

dibandingkan dengan petani yang belum atau kurang berpengalaman. Petani

yang sudah lama bertani akan lebih mudah menerapkan inovasi atau

Universitas Sumatera Utara


menerapkan anjuran penyuluhan dan penerapan teknologi daripada petani

pemula atau petani baru (Soekartawi, 1994).

Menurut Hasyim (2006), Lamanya berusahatani untuk setiap orang berbeda-

beda. Oleh karena itu lamanya berusahatani dapat dijadikan bahan

pertimbangan agar tidak melakukan kesalahan yang sama sehingga dapat

melakukan hal-hal yang baik untuk waktu berikutnya.

4) Luas Lahan

Luas lahan menentukan petani untuk dapat mengambil keputusan dalam upaya

menerapkan suatu unsur inovasi. Ukuran lahan usahatani berhubungan positif

dengan adopsi. Petani yang mempunyai lahan yang luas akan lebih mudah

menerapkan anjuran penyuluhan demikian pula halnya dengan penerapan

adopsi inovasi daripada yang memiliki lahan sempit. Hal ini dikarenakan

keefisienan dalam penggunaan sarana produksi (Soekartawi, 1994).

5) Jumlah tanggungan

Banyaknya jumlah anggota keluarga sering dijadikan sebagai bahan

pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menerima suatu inovasi.

Jumlah tanggungan keluarga tersebut adalah banyaknya beban tanggungan

petani dalam satuan jiwa (Lubis, 2000).

6) Tingkat Kosmopolitan

Menurut Soekartawi (1988), Tingkat kosmopolitan petani dapat diketahui

dengan mengetahui frekuensi petani keluar dari desanya ke desa lain atau ke

kota, frekuensi mengikuti penyuluhan, frekuensi petani bertemu dengan tokoh

Universitas Sumatera Utara


inovator, koran yang dibaca, siaran TV yang ditonton, dan siaran radio yang

didengar. Tingkat kosmopolitan dapat diukur dengan penggunaan sumber

inovasi baru antara lain media elektronik (televisi, radio, telepon), media cetak

(surat kabar, tabloid, majalah) dan bepergiannya petani keluar daerah tinggal

mereka atau keluar desa dalam rangka memasarkan hasil usahataninya juga

untuk mendapatkan pendidikan dan informasi mengenai inovasi pertaian.

Tingkat Kosmopolitan memiliki hubungan yang positif dengan tingkat adopsi

petani. Semakin tinggi tingkat kosmopolitannya maka semakin tinggi pula

tingkat adopsi petani dalam suatu usahatani.

7) Tingkat Partisipasi

Menurut Soekartawi (1998), Tingkat partisipasi akan membuat perubahan-

perubahan yang lebih besar dalam cara berfikir petani. Perubahan dalam

pemikiran dan tindakan akan lebih sedikit terjadi dan perubahan-perubahan ini

tidak akan bertahan lama jika petani menuruti saran-saran dari penyuluh

pertanian. Petani yang lebih sering mengikuti kegiatan-kegiatan yang

berhubungan dengan usahatani akan mendapatkan informasi dan pengetahuan

yang lebih banyak sehingga semakin banyak partisipasi petani maka akan

semakin tinggi tingkat adopsi petani dalam melakukan suatu usahatani.

Universitas Sumatera Utara


Menurut Rogers (2003), saluran komunikasi juga berhubungan dengan tingkat

adopsi suatu inovasi, yang dapat dikategorikan menjadi dua yaitu:

1) Saluran media massa (Mass Media Channel), media massa dapat berupa radio,

televisi, surat kabar, dan lain-lain. Kelebihan media massa adalah dapat

menjangkau audiens yang banyak dengan cepat dari satu sumber.

2) Saluran antarpribadi (Interpersonal Channel), saluran antarpribadi melibatkan

upaya pertukaran informasi tatap muka antara dua atau lebih individu.

2.3 Kerangka Pemikiran

Pertanian organik merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan kesuburan

tanah akibat penggunaan pupuk kimia ataupun pestisida kimia yang berlebihan

dan saat ini sebagian besar petani mulai beralih kepada pembudidayaan padi

organik. Ada beberapa alasan sehingga mereka mengembangkannya, diantaranya

rasanya yang lebih enak, harganya yang lebih mahal dan dari segi kesehatan lebih

sehat karena bebas dari bahan kimia. Namun demikian, karena padi organik

merupakan inovasi, maka tentu tidak langsung diterima atau diadopsi oleh

masyarakat, karena adopsi memiliki proses yang panjang mulai dari tahap

pengetahuan, persuasi, keputusan, implementasi, kemudian akhirnya

menerimanya dan menerapkannya pada lahan mereka.

Sebagian besar petani sudah ada yang berpikir ke arah usahatani secara organik

dengan menggunakan pupuk kandang dan pupuk kimia dengan dosis yang lebih

rendah dibandingkan yang konvensional. Kelompok ini mulai sudah berpikir

untuk menyuburkan tanah dengan menggunakan bahan-bahan organik sedangkan

Universitas Sumatera Utara


penggunaan pupuk kimia tujuannya adalah agar produksinya tidak drastic

menurun. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk peningkatan produksi pada

padi organik. Kelompok ini dikatakan sebagai kelompok yang menerapkan

usahatani padi secara semiorganik.

Tingkat adopsi petani yang berbeda-beda di setiap daerah. Perbedaan ini

berhubungan dengan kondisi dari petani dilihat dari berbagai faktor-faktor seperti

faktor sosial dan ekonomi petani (umur, tingkat pendidikan, lamanya

berusahatani, frekuensi mengikuti penyuluhan, tingkat kosmopolitan, jumlah

tanggungan keluarga, luas lahan). Selain itu diperlukan media untuk menyebarkan

informasi mengenai pertanian organik baik secara langsung maupun tidak

langsung.

Desa Lubuk Bayas merupakan salah satu daerah yang menerapkan sistem

pertanian padi secara organik. Di daerah tersebut terdapat petani yang

menerapkan usahatani padi secara organik. Selain petani yang menerapkan

organik, terdapat juga petani yang menerapkan usahatani padi secara

konvensional dan secara semiorganik. Terdapat perbedaan persepsi dalam ketiga

kelompok yang melakukan usahatani padi ini. Oleh karena itu perlu dikaji,

bagaimana tingkat adopsi petani terhadap usahatani padi secara organik di daerah

tersebut dan juga faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan tingkat adopsi

petani tersebut.

Universitas Sumatera Utara


Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat Adopsi terhadap sistem pertanian

padi organik adalah keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, kemungkinan

untuk dicoba, kemungkinan untuk diamati, umur, pendidikan, pengalaman

bertani, pendapatan, luas lahan, jumlah tanggungan, tingkat kosmopolitan, tingkat

partisipasi, saluran media dan saluran antarpribadi. Faktor-faktor tersebut

memiliki hubungan sehingga menjadi pertimbangan dalam pengambilan

keputusan untuk menerapkan usahatani secara organik. Ilustrasi kerangka

pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Universitas Sumatera Utara



Faktor-Faktor yang Berhubungan
Dengan Tingkat Adopsi Petani
Terhadap Sistem Pertanian Padi
Organik

1) Keuntungan Relatif

2) Kesesuaian

3) Kerumitan

4) Kemungkinan Dicoba

5) Kemungkinan Diamati

6) Umur
Tingkat Adopsi
7) Pendidikan

8) Pengalaman Bertani

9) Luas Lahan

10) Jumlah Tanggungan

11) Tingkat Kosmopolitan

12) Tingkat Partisipasi

13) Saluran Media Massa

14) Saluran Antarpribadi

Keterangan :
: Hubungan

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Skema Pemikiran

Universitas Sumatera Utara


2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah, tinjauan pustaka, landasan teori, dan

kerangka pemikiran, hipotesis dalam penelitian ini adalah keuntungan relatif,

kesesuaian, kerumitan, kemungkinan untuk dicoba, kemungkinan untuk diamati,

umur, pendidikan, pengalaman bertani, pendapatan, luas lahan, jumlah

tanggungan, tingkat kosmopolitan, tingkat partisipasi, saluran media dan saluran

berhubungan nyata dengan tingkat adopsi terhadap sistem pertanian padi organik.

Universitas Sumatera Utara

You might also like