You are on page 1of 15

BUDAYA

POLITIK BALI

Di Susun Oleh :
Kelompok :

1. Firmansyah

2. M.tambat
Dosen Pembimbing : Timbuan,S .IP.,M.Si

SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI NEGARA


STYA NEGARA PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2017/2018
BUDAYA POLITIK SUKU BALI

Kebudayaan, Sistem Kepercayaan, Kekerabatan, Politik, Ekonomi, Kesenian - Berikut


ini adalah materi lengkap tentang suku bali :

a. Sistem Kepercayaan/Religi Suku Bali

Masyarakat Bali sebagian besar menganut agama Hindu- Bali. Mereka percaya adanya satu
Tuhan dengan konsep Trimurti yang terdiri atas tiga wujud, yaitu:

1. Brahmana : menciptakan;

2. Wisnu : yang memelihara;

3. Siwa : yang merusak.

Selain itu hal-hal yang mereka anggap penting adalah sebagai berikut.

1. Atman : roh yang abadi.

2. Karmapala : buah dari setiap perbuatan.

3. Purnabawa : kelahiran kembali jiwa.

Tempat ibadah agama Hindu disebut pura. Pura memiliki sifat berbeda, sebagai berikut:

1. Pura Besakih: sifatnya umum untuk semua golongan.

2. Pura Desa (kayangan tiga): khusus untuk kelompok sosial setempat.

3. Sanggah: khusus untuk leluhur.


Gambar 1. Pura Besakih merupakan salah satu pura di Bali. Pura ini selain untuk tempat
ibadah, juga dijadikan tempat pariwisata.
Di Bali terdapat beribu-ribu pura dan sanggah. Masing-masing pura dan sanggah memiliki
tanggal perayaan yang berbeda-beda, yaitu sebagai berikut.

1) Tanggalan HinduBali

Tanggalan HinduBali terdiri atas 12 bulan yang lamanya 355 hari. Sistem perhitungan
dengan sistem Hindu disebut Syuklapaksa. Tahun baru Saka (Nyepi) jatuh pada tanggal satu
bulan kesepuluh.

2) Tanggalan JawaBali

Tanggalan JawaBali terdiri atas 30 wuku. Tiap wuku terdiri atas tujuh hari. Perayaan yang
didasarkan atas perhitungan penanggalan Jawa-Bali misalnya hari raya Galungan dan
Kuningan. Selain itu juga digunakan untuk upacara-upacara sebagai berikut.

a) Manusia yadnya, adalah upacara siklus hidup masa anak-anak sampai dewasa.
b) Dewa yadnya, adalah upacara pada kuil-kuil umum dan keluarga.

c) Resi yadnya, adalah upacara pentahbisan pendeta (mediksa).


d) Buta yadnya, adalah upacara untuk kala dan buta yaitu roh-roh penunggu.

b. Sistem Kekerabatan Suku Bali

Dulu perkawinan di Bali ditentukan oleh kasta. Wanita dari kasta tinggi tidak boleh kawin
dengan laki-laki kasta rendah, tetapi sekarang hal itu tidak berlaku lagi. Perkawinan yang
dianggap pantang adalah perkawinan saudara perempuan suami dengan saudara laki-laki istri
(mak dengan ngad). Hal itu akan menimbulkan bencana (panes).

Cara memperoleh istri berdasarkan adat ada dua, yaitu:

1. memadik, ngindih: dengan cara meminang keluarga gadis;

2. mrangkat, ngrorod: dengan cara melarikan seorang gadis.

c. Sistem Politik Suku Bali

Desa-desa di Bali dibuat berdasarkan kesatuan tempat. Desa-desa di daerah pegunungan


mempunyai pola perkampungan memusat (banjar) yang dikepalai oleh khan boncor (khong).
Selain itu di Bali juga dikenal kuil desa yang disebut kayangan tiga. Kesatuan organisasi lain
yaitu subak dan seka. Subak merupakan organisasi irigasi yang mempunyai kepala sendiri.
Seka merupakan suatu organisasi yang bergerak dalam lapangan kehidupan khusus. Seka
berfungsi menyelenggarakan upacara-upacara desa seperti: seka baris, seka truna, dan seka
gong.

d. Sistem Ekonomi Suku Bali

Sebagian besar masyarakat Bali memiliki mata pencaharian sebagai petani. Selain padi,
pertanian yang lain yaitu palawija, kopi, dan kelapa. Peternakan di Bali juga maju, yaitu
ternak babi dan sapi. Selain itu juga dikembangkan peternakan kambing, kerbau, dan kuda.

1. Perikanan: dikembangkan perikanan darat dan laut, perikanan laut terdapat di pinggir
pantai. Para nelayan menggunakan jangkung (perahu penangkap ikan) untuk mencari
ikan tongkol, udang, dan cumi-cumi.
2. Di Bali juga banyak terdapat industri kerajinan, kerajinan yang dibuat meliputi:
benda-benda anyaman, kain tenun, pabrik rokok, dan tekstil. Selain itu juga banyak
perusahaan yang menjual jasa, seperti biro perjalanan, hotel, rumah makan, taksi, dan
toko kesenian. Tempat usaha terbesar terdapat di Gianyar, Denpasar, dan Tabanan.

e. Sistem Kesenian Suku Bali

1) Seni Bangunan

Seni bangunan nampak pada bangunan candi yang banyak terdapat di Bali, seperti Gapura
Candi Bentar.

2) Seni Tari

Tari tradisional Bali antara lain tari sanghyang, tari barong, tari kecak, dan tari gambuh. Tari
modern antara lain tari tenun, tari nelayan, tari legong, dan tari janger.

Gambar 2. Rahwana dalam tarian kecak epos Ramayana menculik Sita dengan berubah
wujud menjadi seorang kakek tua.

POLITIK BUDAYA BALI DAN LINGKUNGAN:

Dari Desa Adat ke Desa Pakraman (membongkar Hegemoni Negara)


POLITIK BUDAYA BALI DAN LINGKUNGAN:

Dari Desa Adat ke Desa Pakraman(membongkar Hegemoni Negara)


Politik Budaya (Kekuasaan) terhadap Desa Pakraman di Bali.
Kekuasaan terus bermain demi terwujudnya ketertiban, keadilan dan kemakmuran. Namun,
politik budaya akan bekerja demi budaya itu sendiri. Dalam kontek ini, desa Adat sangat
penting peranannya dalam melestarikan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat Bali.
Hal ini mengingat desa Adat yang tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah selama
berabad-abad telah memberikan sumbangan yang sangat berharga terhadap kelangsungan
hidup masyarakat. Dalam banyak hal peranan desa adat di Bali yang merupakan kesatuan
masyarakat hukum adat yang sangat besar peranannya dalam bidang agama, ideologi negara,
sosial kultural, ekonomi dan pertahanan keamanan, sehingga perlu dilestarikan. Pelestarian
desa adat sebagai kesatuan hukum adat yang bersumber pada ajaran agama Hindu di daerah
tingkat I Bali diimplementasikan dengan realitas legal dengan dikeluarkannya peraturan
daerah Nomor 6 tahun 1986. Adapun ketentuan-ketentuan yang disuratkan dalam perda itu
adalah:
Pasal 1 ayat (e): Desa adat sebgai desa Dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di
propinsi daerah Tingkat I Bali yang mempunyai suatu kesatuan tradisi dan tata krama
pergaulan hidup masyarakat umat hindu secara turun-temurun dalam ikatan kahyangan Tiga
(Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak
mengurus rumah tangga sendiri. Pasal 1 ayat (f) Banjar adalah kelompok masyarakat yang
merupakan bagian sangat kuat dalam satu kesatuan wilayah tertentu, dengan seseorang atau
lebih pimpinan, yang dapat bertindak ke dalam maupun keluar dalam rangka kepentingan
warganya dan memiliki kekayaan baik berupa material maupun non material. Pasal 1 ayat (g)
Palemahan Desa Adat adalah wilayah yang dimiliki desa adat yang terdiri dari satu atau lebih
palemahan Banjar yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan yang ada sebelum berlakunya
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan Desa; Pasal 1 ayat (h) Tanah
ayahan Desa adalah tanah yang berada di desa Adatdan atau dimiliki oleh desa Adat serta
diatur penggunaanya berdasarkan Adat; Pasal 1 ayat (i) Hukum Adat Bali yang bersumber
serta dilandasi oleh ajaran-ajaran agama Hindu dan tradisi-tradisi yang hidup dalam
masyarakat; Pasal 1 ayat (j) Prajuru Desa Adat adalah pengurus Desa Adat di Bali; Pasal 1
ayat (k) Paruman adalah sidang permusyawaratan/permufakatan desa yang mempunyai
kekuasaan tertinggi di desa Adat. Dari bunyi pasal-pasal tersebut di atas, tamapak bahwa
bagaimana politik budaya(ke-budaya-an) dari DPRD Propinsi Bali dengan eksekutif
(Gubernur) mewujudkan dari realitas Politik (budaya) menjadi realitas legal (hukum).
Selanjutnya yang menjadi persoalan up to date (baru) adalah implementasi dalam
kehidupan bermasyarakat di Bali yang mulai heterogen. Mampukah manusia Bali
mengimplementasikan sesuai dengan realitas legal atau muncul realitas budaya baru.
Ternyata ketika berlakunya perda desa Adat Nomor 06 tahun 1986, pasal 7 ayat (1)
Setiap desa Adat agar memiliki awig-awig tertulis; ayat (2) Awig-awig desa Adat tidak boleh
bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Peraturan perundang-
undangan yang berlaku, demikian pula pasal 9 yang berbunyi: Sanksi yang diatur dalam
awig-awig desa Adat tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan rasa keadilan masyarakat. Pasal 12 ayat (1) Pembina Desa Adat dilakukan oleh
Gubernur kepala Daerah; ayat (2) Dalam melaksanakan fungsi sebagai tersebut ayat (1)
Gubernur Kepala daerah dibantu oleh Majelis pembina Lembaga Adat dan badan pelaksana
pembina Lembaga Adat; ayat (3) Struktur dan susunan keanggotaan Majelis dan badan
pelaksana tersebut ayat (2) ditetapkan oleh Gubernur Kepala daerah. Asfek normatif seperti
terurai dalam Perda No. 6 tahun 1986, diharapkan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan.
Salah satu tujuan penyuratan awig-awig desa adalah salah satu syarat untuk dapat diberikan
pendirian Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang dimiliki desa Adat.

Munculnya Peraturan Daerah Nomor: 06 Tahun 1986 tentang Desa Adat. Kemudian
ditindaklanjuti dikeluarkan Peraturan Daerah Tingkat I Bali Nomor 2 tahun 1988, tentang
Lembaga Perkreditan Desa , sebagai Badan Usaha Milik Desa yang bergerak dalam usaha
simpan pinjam dan merupakn badan usaha Milik Desa Adat satu-satunya yang ada di Bali.
LPD (Lembaga Perkreditan Desa) didirikan dengan tujuan sebagai berikut: a). mendorong
pembangunan ekonomi masyarakat desa melalui tabungan yang terarah serta penyaluran
modal yang efektif; b) membrantas ijon, gadai gelap dan lain-lain yang dapat dipersamakan
dengan itu di pedesaan; c). menciptakan pemerataan dan kesempatan berusaha bagi warga
desa dan tenaga kerja di pedesaan; d). meningkatkan daya beli dan melancarkan lalu lintas
pembayaran dan peredaran uang di desa . Hegemoni negara dalam proses perencanaan
pembangunan, pembuatan produk hukum yang dapat memihak kepentingan budaya Bali
dan/ atau merusak tatanan lingkungan budaya Bali merupakan persoalan lain apakah
pengambil kebijakan Pro-budaya Bali Hindu atau kepentingan investor, perlu digali dan
ditemukan akar persoalan lingkungan budaya tersebut.

II. Otonomi Daerah, Desa Pakraman dan Perubahan Sosial

Reformasi telah membawa perubahan besar terhadap otonomi daerah sebagai


pemberian negara, perubahan yang berlangsung, sejalan dengan berhasil diturunkannya
Soeharto dari panggung politik nasional, ketika Soeharto membacakan teks pidato keputusan
untuk lengser sebagai presiden, pikul 9 pagi 21 Mei 1998 , telah mendorong perubahan
signififikan dalam konfigurasi politik nasional. Pemberian otonomi Daerah, sebagai reaksi
ketidakadilan Daerah yang dieksploitasi oleh pusat (Jakarta) selama Orba, dan sebagai
belas kasihan terhadap respons tersebut adalah pemberian otonomi setengah hati, sebagai
pemberian negara dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25, dengan
segala itikad baiknya, patut dilihat secara lebih proporsional, bahwa kebijakan ini hadir dalam
pemerintahan transisi, yang pada satu sisi mengharapkan dukungan yang lebih luas, namum
di sisi lain diselimuti kekawatiran menguatnya oposisi di daerah-daerah yang kelak bisa
mengancam kelangsungannya. Perubahan yang terjadi adalah habis sentralisasi terbitlah
desentralisasi pada era reformasi disikapi oleh DPRD propinsi Bali dengan mengeluarkan
Produk Perda Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Pemerintah dapat dipandang
sebagai kekuatan pendorong perubahan seperti yang disampaikan Peter Drukker, bahwa
perubahan politik ataupun modernisasi yang direncanakan oleh pemerintah baik pemerintah
pusat maupun daerah dapat dianggap sebagai faktor penting dalam perubahan sosial yang
direncanakan dari atas .Perubahan yang direncanakan adalah perubahan-perubahan terhadap
lembaga-lembaga kemasyarakatan yang didasarkan pada perencanaan yang matang oleh
pihak-pihak yang menghendaki perubahan-perubahan tersebut. Menurut Selo Soemardjan
dan Soelaiman Soemardi, perubahan yang direncanakan adalah perubahan yang diperkirakan
atau yang telah direncanakan terlebih dahulu sebelumnya oleh pihak-pihak yang hendak
mengadakan perubahan di dalam masyarakat. Pihak-pihak yang menghendaki suatu
perubahan dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau kelompok orang yang mendapat
kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga
kemasyarakatan.

Suatu perubahan yang direncanakan , selalu berada di bawah pengendalian atau


pengawasan dari agent of change tersebut . Pelaksanaan rencana perubahan tidak hanya
terbatas pada lembaga-lembaga kemasyarakatan tertentu saja, melainkan bisa juga diarahkan
pada perubahan-perubahan bagi lembaga-lembaga kemasyarakatan yang lain dan dalam
tubuh masyarakat yang lain pula. Rogers menyebutkan perubahan sosial adalah proses
perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi suatu sistem sosial. Sedangkan Suparlan
menegaskan bahwa perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan pola-pola
hubungan sosial, yang antara lain mencakup: sistem status, hubungan-hubungan dalam
keluarga, sistem-sistem politik dan persebaran penduduk Struktur sosial dibentuk oleh
berbagai status individu dan kelompok. Status individu adalah urutan posisi atau tempat
individu di dalam hierarkhi prestise dari suatu kelompok atau masyarakat. Sedangakan status
kelompok adalah urutan posisi atau tempat kelompok itu dalam hierarkhi prestise dari suatu
masyarakat. Status tidak bisa terlepas dari peran karena status merupakan asfek statisnya,
sedangkan peran prilaku individu merupakan asfek dinamisnya. Peranan diartikan sebagai
pola kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, keyakinan, kepercayaan , perasaan, sikap, nilai,
tingkah laku yang oleh anggota masyarakat diharapkan menjadi ciri dan sifat individu yang
menduduki posisi tertentu. Status dan peran saling berpengaruh. Selanjutnya Sumartono,
menyebutkan didalam perubahan yang terjadi tiga unsur penting yaitu: 1) Sumber yang
menjadi tenaga pendorong perubahan, 2) proses perubahan, dan 3) akibat atau konsekuensi
perubahan. Trisnamansyah mengemukakan enam jenis perubahan sosial: 1) mengacu pada
perubahan yang terjadi dalam sikap dan prilaku seseorang; 2) dalam jangka panjang
tercermin dalam mobilitas vertikal atau terjadi dalam perubahan siklus kehidupan; 3)
perubahan yang terjadi dalam norma-norma, nilai-nilai, dan keanggotaan kelompok; 4) dalam
jangka panjang perubahan organisasional. Organisasi atau kelompok dapat berubah , baik
struktur maupun maupun fungsinya; 5) ditandai dengan perubahan-perubahan besar yang
terjadi secara cepat sebagai hasil sari penemuan baru; 6) dalam jangka panjang terjadi
perubahan perilaku dan peran.

Menurut Judistira K. Garna, Perubahan dapat menyangkut tentang berbagai hal,


perubahan fisikal oleh proses alami dan perubahan kehidupan manusia oleh dinamika
kehidupan itu sendiri. perubahan yang menyangkut kehidupan manusia, atau terkait dengan
lingkungan kehidupan yang berupa fisik, alam dan sosial, disebut perubahan sosial.
Perubahan sosial tak dapat dipelajari terlepas dari lingkupnya yang luas, sebagaimana istilah
sosial merujuk kepada masyarakat yang tidak selalu sinonim dengan istilah budaya.
Perubahan Sosial tidak selau berupa perubahan budaya, atau perubahan kebudayaan, kedua
istilah ilmiah tersebut mempunyai maknanya tertentu, walaupun kedua perubahan itu
mungkin berlaku bersamaan. Ada kaitan antara kedua jenis perubahan dalam proses
kehidupan kelompok manusia, seperti dikemukakan oleh Ogburn, bahwathat social change
refers to changes in mechanisms of human association, dalam kaitan asosiasi manusia itu
budaya ialah latar belakang gerak dari mekanisme asosiasi manusia tersebut. Menurut
Koentjaraningrat Perubahan sosial terjadi karena timbunan kebudayaan. Kebudayaan dalam
kehidupan masyarakat senantiasa terjadi penimbunan, yaitu suatu kebudayaan semakin lama
semakin beragam dan bertambah secara akumulatif. Bertimbunnya kebudayaan ini oleh
karena adanya penemuan baru dari anggota masyarakat pada umumnya. Sedangkan menurut
J.W.M. Bakker SJ. Kebudayaan berubah seirama dengan perubahan hidup masyarakat.
Perubahan itu berasal dari pengalaman baru, pengetahuan baru, teknologi baru dan akibatnya
dalam penyesuaian cara hidup dan kebiasaan kepada situasi yang baru. Sikap mental dan nilai
budaya turut serta dikembangkan guna keseimbangan dan integrasi baru. Tidak setiap
perubahan berarti kemajuan. Perubahan disertai kritik, konflik dan pembatalan nilai-nilai
lama, lalu menyeleweng dari hasil yang telah tercapai, ataupun membawa serta penghalusan
warisan kebudayaan dan peningkatan nilai-nilai. Perubahan yang paling berharga terjadi
didalam masyarakat, dimana ketahanan mental-rohani selalu sanggup memperbaruhi dirinya
oleh daya kritik diri, refleksi dan daya cipta. Autokritik dihadapan nilai-nilai obyektif
menjamin bahwa perubahan bersifat kemajuan. Berbeda dengan Pandangan adat dan Budaya
Bali tentang perubahan, bahwa perubahan harus terjadi dan bahkan diterimanya melalui
konsep yang cukup mendasar yaitu: Desa (Ruang/tempat), kala (Waktu), dan patra
(orang).Konsep ini mengandung makna bahwa setiap perbuatan manusia baik dalam bentuk
ide-ide, prilaku dan hasil karyanya harus selalu mencapai penyesuaian dan diperhitungkan
melalui :Ruang/Tempat (desa), proses perkembangan jaman (kala) dan faktor manusianya
sendiri (patra). Artinya Desa, Kala, Patra adalah sebagai pedoman perubahan sosial .
Selanjutnya teori Hegemoni dari Gramsci kekuasaan dipahami sebuah hubungan, yaitu
hubungan kekuasaan (negara) dengan masyarakat sipil sebagai usaha campur tangan
penguasa dalam bidang adat (hukum adat) atau lembaga sosial religius di Bali. Dalam hal ini
peranan negara sebagai pengayom dan dapat pula sebagai perusak terhadap tatanan yang ada,
sehingga memunculkan perlawanan ataupun perubahan sosial dalam masyarakat Desa
Adat/Desa Pakraman di Bali.

Persoalan budaya Bali dan lingkunganpun dapat dibedah dengan teori perubahan
sosial, teori hegemoni, termasuk teori interpretatif atau hermeneutik . Hermeneutika baru
muncul sebagai sebuah gerakan dominan dalam teologi protestan Eropa, yang menyatakan
bahwa hermeneutika merupakan titik fokus dari isu-isu teologis sekarang. Hermeneutika
adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat bahkan sastra. Pada awalnya
buku-buku hermeneutika tentang teologis lebih banyak terbit dibandingkan bidang filsafat
dan sastra. Martin Heidegger yang tidak henti-hentinya mendiskusikan karakter hermeneutis
dari pemikirannya, baik pada awal ataupun mutakhir. Selanjutnya E.D. Hirch, memberikan
tantangan luas terhadap ide-ide yang menjadi pegangan kritisisme. Bagi Hirch, hermeneutika
dapat dan akan menjadi sebuah pengetahuan dasar dan fondasional untuk semua penafsiran
literatur. Dalam ilmu hukum dikenal empat macam penafsiran atau interpretasi: 1) interpretasi
subyektif; 2) interpretasi obyektif; 3) interpretasi restriktif atau penafsiran secara sempit; 4)
interpretasi ekstensif penafsiran secara luas. Teori interpretatif akan dapat dikaji persoalan
pasal-pasal yang tertuang dalam Perda Nomor 06 tahun 1986 tentang Desa Adat, dan perda
Nomor 03 tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Dalam teori interpretasi penulis akan
memfokuskan dekonstruksi Derida bagi ilmu hukum yang dianalisis adalah (khususnya pada
pasal-pasal Perda Desa Adat Noi. 6 tahun 1986, dan Perda Desa Pakraman Nomor 3 tahun
2001). Tawaran Derrida ada pada cara penafsisran, pertama, yang disebutkan dengan
penafsiran restropektif, yaitu upaya untuk merekonstruksi makna atau kebenaran awal atau
orisinil. Kedua, Penafsisan prospektif, yang secara eksplisit membuka pintu bagi
indeterminasi makna, di dalam sebuah permainan bebas. Nampak lebih kritis untuk
memahami teks, khususnya tentang pandangannya mengenai tafsir prospektif yang secara
eksplisit menerima ketidakpastian makna, yaitu memberikan peluang bagi permainan bahasa
tanpa terikat pada dogma. Pemikiran Derrida merupakan bentuk perlawanan terhadap model
penafsisan teks yang sudah mapan, yang dalam ilmu hukum cendrung untuk ditolak, karena
tafsir dalam Undang-Undang atau produk kebijakan makna teks selalu dianggap pasti dan
sudah jadi. Keseragaman tafsir dan kepastian menurut pandangan formalisme
(strukturalisme) dalam hukum ini merupakan esensi teks yang hendak dibongkar melalui
dekonstruksi. Demikian pula akan dicoba lihat apakah terjadi ketegangan antara pendatang
krama-tamiu dengan krama wed (penduduk asli) dengan pendekatan teori hukum yang kacau
(chaos theory of law) Teori hukum Kaos ini juga disitir oleh Satjipto Rahardjo dari pemikiran
Sampford sebagai berikut:

Sampord bertolak dari basis sosial dan hukum yang penuh dengan hubungan yang
bersifat asimetris. Inilah ciri-ciri khas dari sekalian hubungan sosial; hubungan-hubungan
sosial itu dipersepsikan secara berbeda poleh para pihak. Dengan demikian apa yang
dipermukaan tampak sebagai tertib, teratur, jelas, pasti, sebenarnya penuh dengan
ketidakpastian. Ketidakteraturan dan ketidakpastian disebabkan hubungan-hubungan dalam
masyarakat bertumpu pada hubungan antar kekuatan (power relations). Hubungan kekuatan
ini tidak selalu tercermin dalam hubungan formal dalam masyarakat. Maka terdapat
kesenjangan antara hubungan formal dan hubungan nyata yang disadarkan pada kekuatan.
Inilah yang menyebabkan ketidakteraturan itu.

Fenomena sosial-budaya (pariwisata) masyarakat Bali khususnya Desa Pakraman


Kuta muncul persoalan konflik dan konsensus tentang Pedagang Kaki Lima (PKL), yang
mempergunakan tempat pejalan kaki dijadikan tempat berjualan sovenir. Peristiwa ini dapat
dijawab dengan mempergunakan teori konflik Ralf Dahrendorf. Dalam teorinya ini antara
teori konflik dan teori fungsional disejajarkan. Menurut para fungsionalis, masyarakat adalah
statis atau masyarakat berada dalam keadaan berubah secara berimbang. Tetapi menurut
Dahrehdorf dengan teori konfliknya, setiap masyarakat, setiap saat tunduk pada proses
perubahan. Fungsionalis menekankan keteraturan masyarakat, sedangkan teoritisi konflik
melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Fungsionalis menyatakan bahwa setiap
elemen masyarakat berperan dalam menjaga stabilitas. Teori konflik melihat berbagai elemen
kemasyarakatan menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan. Teori konflik melihat
apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap
anggotanya oleh mereka yang berada di atasnya. Fungsionalis memusatkan perhatian pada
kohesi yang diciptakan oleh nilai bersama masyarakat. Teoritisi konflik menekankan pada
peran kekuasaan dalam memepertahankan ketertiban dalam masyarakat. Menurut teori
konflik Dahrendorf yang berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan
konsensus) dan karena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi dua teori konflik dan teori
konsensus. Teori konflik ini juga dapat membedah pro-konta dilaksanakannya Perda No 3
tahun 2001, tentang Desa Pakraman, Kabupaten Badung belum sepenuh hati memberlakukan
penterapan Perda Desa Pakraman, Persoalan yang sama juga berlaku di Kabupaten
Karangasem, bahkan belum efektifnya sosialisasi ke Desa Pakraman.

Pro-kontra tentang nama desa Pakraman di Kabupaten Badung, karena secara yuridis
desa Pakraman telah diterima, tetapi secara sosiologis Kabupaten Badung menerima
setengah hati untuk diberlakuakan Perda desa pakraman. Muatan politus dan kepentingan
individu muncul apabila diberlakukan Perda Desa Pakraman ini. Banyak yang terdepak
sebagai Majelis pembina Lembaga Adat dan badan pelaksana Pembina Lembaga Adat yang
diangkat oleh Gubernur dann Bupati yang harus diganti dengan Majelis Desa Pakraman yang
proses pengangkatannya secara demokratis. Berdasarkan hasil temuan penulis di lapangan
secara emperis ternyata terdapat para personal majelis pembina lembaga adat di kabupaten
Badung adalah orang-orang dari pemerintah kota Denpasar, ada permainan politik dengan
memadukan realitas budaya untuk melawan realitas legal untuk dapat mempertahan
Perda No. 06 tahun 1986, dengan berbagai alasan, dan strategi yang berlawanan dengan
Perda No. 3 tahun 2001 tentang Perda Desa Pakraman. Ini merupakan catatan suram dalam
realitas Legal bagi krama Badung. Adapun pokok pikiran dari penulis adalah sebagai
berikut:
Realitas Legal versus realitas Budaya dengan mengkemas tuntutan
masyarakat Badung demi sebuah kekuasaan perlu respon masyarakat Badung.
Kabupaten Badung yang baru terpisah dengan Pemkot Denpasar, warga
Denpasar banyak meniti karier di Kabupaten Badung berusaha tetap
menggegam kekuasaan birokrasi budaya di palemahan Badung.
Perda Desa Pakraman memunculkan fanatiisme lokal teritorial akibat dari
secara tidak langsung dan langsung dengan diberlakukan UU No. 22 tahun
1999, tentang otonomi daerah.
Jawaban terhadap persoalan supaya tidak difendingnya/ditangguhkannya
pemberlakuan Perda Desa Pakraman adalah tegakkan aturan, dan apabila
terjadi kerancuan, dikaji dan direvisi sesuai kebutuhan riil masyarakat Badung.

Adapaun Perda Desa Pakraman Nomor 3 tahun 2001, pasal 14: Majelis desa
pakraman terdiri atas: a). Majelis Utama untuk Propinsi; b) Majelis Madya untuk
kabupaten/kota berkedudukan di kabupaten/kota; Majelis Desa untuk Kecamatan
berkedudukan di kota Kecamatan. Pasal 15 ayat (1) Pembentukan Majelis Desa Pakraman di
kecamatan dipilih oleh utusan prajuru desa Pakraman se-kecamatan melalui paruman alit;
ayat (2) Pembentukan Majelis Madya desa pakraman dipilih oleh utusan desa pakraman se-
kabupaten/kota melalui paruman madya; ayat (3) Pembentukan majelis utama desa pakraman
dipilih oleh utusan desa Pakraman se-Bali melalui paruman agung; Ayat (4) Pengurus Majelis
Utama desa Pakraman, majelis Madya desa Pakraman, dan majelis desa Pakraman dipilih
dari peserta paruman masing-masing; Ayat (5) peserta paruman adalah sebagai berikut: a)
paruman agung dihadiri oleh utusan majelis madya desa pakraman; b). paruman madya
dihadiri oleh utusan majelis desa pakraman; c). paruman alit dihadiri oleh 2 (dua) orang
utusan dari masing-masing desa Pakraman; ayat (6) paruman-paruman dipimpin oleh
beberapa orang pimpinan sementara yang dipilih dari peserta paruman sebelum terbentuknya
pengurus majelis.

III. Politik Pariwisata dan Pengaruhnya terhadap Tri Hita Karana.


Politik pariwisata belum sepenuhnya memberikan angin segar terhadap
nilai budaya Bali dan konsep Tri Hita karana. Kenyataan emperis membuktikan
bahwa pariwisata belum membawa manfaat maksimal dan bahkan semakin kasat
mata betapa orang Bali sudah semakin tersisih dari pentas perkembangan pariwisata
di Bali baik tersisih sebagai pelaku usaha maupun sebagai pekerja. Pariwisata sebagai
industri internasional, sebagian dari pendapatan yang diterima pariwisata Bali
memang mengalir keluar, dalam bentuk bunga pinjaman, tenaga kerja, supplies dan
sebagainya. Menurut Budi Wiratyana (dari Bali bersih), hanya 7 % dari pendapatan
pariwisata dinikmati oleh orang Bali, sedangkan selebihnya 93 % dinikmati oleh oleh
orang luar Bali. Masa depan pariwisata Bali, nasibnya tidak akan terlalu jauh berbeda
dengan nasib etnis Hawai. Sebelum separah nasibnya orang Hawai, tidak salah orang
Bali belajar, merenungkan dan membandingkan sebab-musababnya keterpurukan
etnis Hawai sebagai dampak dari maju pesatnya perekembangan industri pariwisata
di tanah kelahirannya sendiri. Dari perbandingan perkembangan pariwisata di Hawai
dengan di Bali,mungkin lebih awal dapat dicari sebab-musababnya mengapa orang
bali makin lama makin tersisih di tanah kelahirannya sendiri, pertama-tama
tersisihkan seperti nasib orang Betawi di Jakarta dan pada akhirnya mungkin saja
akan benar-benar tersisih seperti nasib yang dialami oleh orang Hawai ditanah
kelahiranya sendiri. Perlunya strategi kebudayaan dalam bidang kepariwisataan yang
menyentuh masyarakat lokal (basisnya masyarakat Bali), kemudian didukung oleh
komponen masyarakat lainnya, supaya masyarakat Bali tidak menjadi penonton.
Perlu adnya kebijakan (politik Pariwisata) dengan menelorkan peraturan Daerah yang
memihak masyarakat lokal (Etnis Bali). Kalau ini tidak segera ditanggulangi orang
Bali akan cepat: Pertama, Palemahannya(wilayahnya) akan segara dikuasai oleh
investor pariwisata, dan apabila Sumber daya Manusianya (pawongannya) segera
tidak dididik sesuai dengan kebutuhan industri pariwisata, maka penduduk pendatang
(krama tamiu) akan mengusik penduduk asli (krama Wed), yang akan juga akan
mempengaruhi palemahan, pawongan, dan Parhyangan. Hal ini akan kita ketahui
apabila pendatang yang bergerak dibidang pariwisata bukan umat Hindu, maka akan
menuntut tempat ibadah (Mesjid, gereja, dll) yang akan mengurangi wilayah
palemahan.
Dampak fisik, seperti tersebut di atas akan secara kasat mata tampak. Akan
tetapi dampak sosial terhadap pariwisata rentan terhadap bau busuk pariwisata ,
yaitu munculnya PSK (pekerja Sek Komersial: WTS, dan Gigolo).
Pulau Bali, walaupun tidak semuanya dijamah pariwisata, yaitu daerah yang sangat
menonjol adalah Kuta dan Sanur. Kuta adalah terletak di Kabupaten Badung,
sedangkan Sanur di Pemerintah Kota Denpasar. Kuta saat ini mulai berkembang
hotel-hotel internasional, yang berbeda pada saat awal perkembangannya lebih
menonjol homestay/pension yang dimiliki oleh penduduk setempat. Tergususrnya
penduduk lokal dari kegiatan pariwisata (homestay), karena investor dengan modal
besar mulai merambah bisnis ini. Pemerintah Kabupaten Badung sepertinya tidak
mempunyai kekuatan untuk memproteksi penduduk lokal dalam kasus ini. Hal ini
ditambah lagi, merebaknya penduduk pendatang yang ingin mengais rezeki baik
secara halal maupun ilegal sebagai kecendrungan yang muncul pada pariwisata Kuta.
Tulisan tentang pariwisata Kuta, I Gde Pitana telah menyampaikan buah fikirannya
secara kritis dalam bukunya Kuta cermin Retak Pariwisata Bali. Dampak negatif
pariwisata Kuta oleh Pitana disebutkan, memunculkan Prostitusi/pelacuran.
Sedangkan Pelacuran/Prostitusi adalah salah satu bisnis yang selalu menyertai
perkembangan sebuah destinasi pariwisata. Bisnis pelacuran di Kuta semakin
marak dan berkembang. Hal ini dapat dilihat dari Pekerja Sek Komersial (PSK) yang
jumlahnya selalu berkembang dari tahun ke tahun. Bahkan para PSK telah berani
secara terang-terangan dalam mencari pelanggan. Para PSK di Kuta dapat
diklasifikasikan atas jenis kelamin, PSK wanita dan PSK laki-laki (gigolo). PSK
wanita secara sosiologis dapat dibagi kedalam empat kelas yaitu: a). Kelas atas; b).
Kelas Menengah atas; c). Kelas Menengah Bawah; d) Kelas Bawah. Sebagai daerah
wisata, Kuta sangat dikenal oleh wisatawan nusantara maupun wisatawan
mancanegar. Di samping dikenal oleh wisatawan, Kuta juga menarik minat para
pendatang untuk mencari Pekerjaan. Ini pula menjadi persoalan dalam mendukung
nilai budaya/konsep Tri Hita Karana di Desa Pakraman Kuta. Perlu penataan ruang,
dan manusianya (persoalan kependudukan) sehingga Kuta tetap aman, tertib, sejahtra,
bebas dari malapetaka (Bom, dan lain sebagainya). Berdasarakan hasil pengamatan
penulis di lapangan, Kuta tahun 1971 dan sampai kini, mengalami pergeseran
(mobilitas) penduduk, pola pergaulan penduduk pendatang dengan segala atribut
budaya yang dibawa oleh pendatang.

You might also like