You are on page 1of 9

I.

KORTIKOSTEROID DAN PERANANNYA PADA SEPSIS


Korteks adrenal memproduksi dua kelas utama hormon steroid (kortikosteroid)
yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid terutama berperan pada
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, sedangkan mineralokortikoid berperan
dalam pengaturan keseimbangan elektrolit dan air. Beberapa jenis kortikosteroid
menunjukkan kedua aktivitas tersebut dalam berbagai derajat, dan lainnya hanya
memiliki satu aktivitas.20,22-24
Kortisol atau hidrokortison merupakan glukokortikoid alami yang paling kuat.
Sedangkan obat-obat semisintetik seperti prednison, prednisolon dan deksametason
merupakan turunan hidrokortison.22 Penggolongan kortikosteroid alami dan sintetik
yang sering digunakan dalam praktek klinis sehari-hari dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Kortikosteroid alami dan sintetik yang sering digunakan23


Activity1 Equivalent Forms
Agent Anti- Topical Salt- oral dose Available
inflammator
y retaining (mg)
Short-to medium-acting
glucocorticoids
Hydrocortisone (cortisol) 1 1 1 20 Oral, injectable,
topical
Cortisone 0,8 0 0,8 25 Oral, injectable,
topical
Prednisone 4 0 0,3 5 Oral
Prednisolone 5 4 0,3 5 Oral, injectable,
topical
Methylprednisolone 5 5 0 4 Oral, injectable,
topical
Meprednisone 5 0 4 Oral, injectable
Intermediate-acting glucocorticoids
Triamcinolone 5 5 0 4 Oral, injectable,
topical
Paramethasone 10 0 2 Oral, injectable
Fluprednisolone 15 7 0 1,5 Oral
Long-acting glucocorticoids
Betamethasone 25-40 10 0 0,6 Oral, injectable,
topical
Dexamethasone 30 10 0 0,75 Oral, injectable,
topical
Mineralocorticoids
Fludrocortisone 10 10 250 2 Oral, injectable,
topical
Injectable,
Desoxycorticosterone acetate 0 0 20 pellets
1
Potency relative to hydrocortisone

Kortikosteroid telah banyak digunakan dalam tatalaksana berbagai jenis


penyakit. Manfaat kortikosteroid diperlukan pada beberapa kondisi termasuk terapi
substitusi (hipoaldosteronisme), efek supresi (malignansi, penyakit autoimun), manfaat
antiinflamasi (infeksi dan non-infeksi), dan terapi berbagai kasus alergi.20
Kortikosteroid diketahui memiliki efek yang luas dalam tubuh oleh karena
reseptornya juga tersebar luas di seluruh bagian tubuh. 23 Beberapa efek dari
kortikosteroid adalah sebagai berikut:
A. Efek metabolik
Kortikosteroid mampu meningkatkan glukosa melalui stimulasi glukoneogenesis
dan mensintesis glikogen pada keadaan puasa. Kortikosteroid juga dapat
menstimulasi pelepasan insulin dan menghambat ambilan glukosa oleh jaringan
adiposa, serta menstimulasi hormone-sensitive lipase sehingga terjadi lipolisis.19,21,23
B. Efek katabolik dan antianabolik
Kortikosteroid memiliki efek katabolik dan antianabolik di jaringan limfoid dan
jaringan ikat, otot, lemak dan kulit. Kortikosteroid pada dosis berlebihan dapat
menyebabkan penurunan massa otot, kelemahan dan penipisan kulit, serta
osteoporosis.23
C. Efek antiinflamasi dan imunosupresif
Kortikosteroid sering digunakan sebagai terapi farmakologik utama dalam berbagai
kondisi inflamasi akibat infeksi atau non-infeksi. Penggunaan kortikosteroid pada
sepsis berlandaskan teori bahwa sepsis merupakan respons inflamasi sistemik
terhadap infeksi.24 Kortikosteroid memiliki efek antiinflamasi dan imunosupresif
kuat dan melibatkan berbagai mekanisme yang kompleks, yaitu :23,25,26
- Peningkatan jumlah neutrofil dalam sirkulasi dan penurunan jumlah limfosit (sel
T maupun sel B), monosit, eosinofil dan basofil. Peningkatan kadar neutrofil
disebabkan peningkatan influks ke dalam sirkulasi dari sumsum tulang dan
penurunan migrasi dari pembuluh darah, sehingga terjadi penurunan jumlah sel di
fokus inflamasi. Penurunan jumlah limfosit, monosit, eosinofil dan basofil
disebabkan karena sel-sel tersebut dialihkan ke jaringan limfoid.

- Penghambatan fungsi makrofag jaringan dan antigen-presenting cells lain.


Akibatnya, respons sel-sel tersebut terhadap antigen menurun. Kemampuan
makrofag dalam memfagositosis mikroorganisme menurun dan produksi TNF-,
IL-1, metalloproteinase dan aktivator plasminogen juga menurun.
- Penurunan sintesis prostaglandin, leukotrien dan platelet-activating factor.
- Penurunan permeabilitas kapiler akibat hambatan pelepasan histamin oleh basofil
dan sel mast.
- Penghambatan aktivitas kaskade komplemen.
- Penurunan produksi antibodi.
Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa kortikosteroid menimbulkan efek yang
begitu luas terhadap sistim imun. Efek ini lebih banyak melibatkan respons imun seluler
dibanding respons imun humoral. Mungkin sekali efek antiinflamasi yang sangat jelas
dari kortikosteroid yaitu menekan jumlah sel-sel lekosit pada fokus infeksi. Hal ini
tampaknya merupakan keuntungan dalam tatalaksana penyakit-penyakit yang didasari
inflamasi, meskipun di satu sisi ada kecenderungan meningkatnya risiko infeksi
oportunistik setelah penggunaan kortikosteroid pada pasien yang bersangkutan.22

II. KONTROVERSI PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS


Penggunaan kortikosteroid pada sepsis telah menjadi kontroversi selama lima
dekade lebih. Kortikosteroid digunakan pada sepsis karena memiliki efek antiinflamasi
kuat. Dalam beberapa dekade awal, kortikosteroid diberikan dalam dosis tinggi. Namun
adanya beberapa laporan efek samping yang timbul dan tidak adanya perbedaan
mortalitas dibanding plasebo, maka penggunaan kortikosteroid pada sepsis dihentikan.
Lebih dari satu dekade terakhir, kortikosteroid pada sepsis semakin banyak digunakan
namun dengan dosis yang lebih mendekati kadar fisiologis. Walau demikian, sampai
saat ini belum ada kesepakatan mengenai hal tersebut. 27 Berikut adalah uraian
kontroversi penggunaan kortikosteroid pada sepsis.
A. Penelitian yang menggunakan kortikosteroid dosis tinggi
Pada tahun 1950an sampai pertengahan 1980an, para klinisi menggunakan
kortikosteroid dosis tinggi dalam pengobatan pasien sepsis. Obat-obat yang
diberikan yaitu metilprednisolon 30 mg/kg atau deksametason 3-6 mg/kg dalam 2-4
dosis intravena.27 Salah satu penelitian awal mengenai terapi tambahan pasien
dengan sepsis berat dan syok septik dilakukan oleh Bennett dkk., dikutip dari 25
tahun
1963. Hasil penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan angka harapan hidup antara
subyek yang diberi kortikosteroid dibanding kontrol.
Keberhasilan pemberian kortikosteroid dalam pengobatan sepsis pada hewan
coba memacu para ahli untuk melakukan penelitian serupa terhadap manusia.25
Satu penelitian fenomenal dilaporkan oleh Schumer,28 tahun 1978 yang terdiri dari
dua bagian yaitu penelitian prospektif dan retrospektif. Penelitian prospektif
dilakukan terhadap 172 subyek syok septik: 43 subyek diberi metilprednisolon 30
mg/kg, 43 subyek diberi deksametason 3 mg/kg, dan 86 subyek diberi larutan salin.
Subyek penelitian kemudian diikuti selama 8 tahun. Mortalitas pada plasebo 38,4%,
sedang subyek yang diberi metilprednisolon 11,6% dan deksametason 9,3%. Pada
penelitian retrospektif terhadap 328 subyek: 160 subyek tidak diberi steroid, dan 168
subyek diberi deksametason atau metilprednisolon. Mortalitas pada subyek tanpa
steroid 42,5%, sedang subyek dengan steroid 14%. Penelitian ini dikritik oleh
banyak ahli, karena pemakaian dua preparat kortikosteroid berbeda, tidak ada
standarisasi pemberian antibiotik dan terapi suportif, kurangnya data mengenai terapi
tambahan yang diberikan, dan waktu penelitian terlalu lama.25
Sprung dkk.,29 tahun 1984 meneliti 59 pasien syok septik dan melaporkan bahwa
pasien yang diberi kortikosteroid dosis tinggi terutama pada fase awal mengalami
perbaikan syok, namun hal ini tidak terjadi pada pasien dengan syok berat dan
berlangsung lama. Bone dkk.,30 tahun 1987 melakukan penelitian terhadap 382
subyek dengan sepsis berat dan syok septik dimana kelompok yang diterapi steroid
dosis tinggi menggunakan metilprednisolon 30 mg/kg. Hasilnya, tidak ada
perbedaan dalam hal pencegahan syok, perbaikan syok, atau mortalitas secara
keseluruhan. Bahkan, mortalitas meningkat pada kelompok steroid dosis tinggi
akibat infeksi sekunder. Hasil serupa juga diperoleh the Veterans Administration
Systemic Sepsis Cooperative Study Group (VASSCg)31 yang tidak menemukan
perbedaan mortalitas subyek dengan steroid dosis tinggi dibanding plasebo. Bahkan
pada kelompok steroid juga terjadi infeksi sekunder yang waktu penyembuhannya
lebih lama dibanding plasebo. Setelah beberapa laporan ini para klinisi tidak lagi
menggunakan kortikosteroid dosis tinggi pada septik syok.27

B. Penelitian yang menggunakan kortikosteroid dosis rendah


Pada akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an, para klinisi kembali menggunakan
kortikosteroid namun dalam dosis lebih rendah, yaitu 200-300 mg hidrokortison 3
kali sehari intravena. Hal ini didasarkan pada terjadinya insufisiensi adrenal relatif
dalam kondisi sepsis.27 Terapi ini sering disebut sebagai terapi fisiologis atau
replacement dari kortikosteroid.4 Kemudian berbagai studi pada kondisi syok septik
menemukan perbaikan parameter hemodinamik setelah pemberian steroid dosis
rendah.
Bollaert dkk.,32 meneliti pasien syok septik yang diberi hidrokortison 100 mg
tiap 8 jam intavena selama minimal 5 hari, dan menemukan perbaikan syok hari ke-
7 dan ke-28 pada pasien yang diberi steroid. Oppert dkk., 33 meneliti hiperdinamik
dini pasien syok septik dan menemukan bahwa pasien yang diberi hidrokortison 50
mg intravena dilanjutkan infus 0,18 mg/kg/jam memiliki durasi terapi vasopresor
lebih cepat dibanding plasebo. Cicarelli dkk.,34 meneliti pasien syok septik
kelompok deksametason 0,2 mg/kg intravena tiap 36 jam selama 5 hari dan plasebo.
Ternyata mortalitas hari ke-7 lebih rendah secara signifikan pada kelompok
deksametason dibanding plasebo dan cenderung lebih rendah pada hari ke-28.
Annane dkk.,35,36 melakukan dua kali meta-analisis dan tinjauan sistematis tahun
2004 dan 2009, tentang penggunaan kortikosteroid pada sepsis berat dan syok
septik. Disimpulkan bahwa kortikosteroid telah digunakan dengan berbagai dosis
dalam terapi sepsis selama lebih dari 50 tahun, tanpa bukti jelas akan manfaatnya
terhadap mortalitas pasien. Namun sejak 1998, sejumlah penelitian secara konsisten
menggunakan kortikosteroid dosis rendah jangka panjang, dan
analisis subgrup tersebut menyokong manfaat terhadap mortalitas jangka pendek
yang menguntungkan.
The CORTICUS study,37 meneliti penggunaan hidrokortison pada 499 pasien
syok septik dan mendapatkan hasil bahwa perbaikan syok terjadi dalam 3,3 hari
pada pasien yang diberi hidrokortison dan 5,8 hari pada plasebo. Hanya saja,
insidens superinfeksi dan miopati lebih tinggi pada kelompok hidrokortison.

III. REKOMENDASI PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS


The International Sepsis Forum (ISP) melakukan koordinasi dengan the
European Society of Intensive Care Medicine (ESICM) dan the International Society of
Critical Care Medicine (ISSM) sejak tahun 2001. Forum tersebut merekomendasikan
pedoman internasional penatalaksanaan sepsis berat dan syok septik berdasarkan bukti
klinis terbaik yang selalu diperbaharui bila ditemukan bukti-bukti baru. Pedoman yang
diperbaharui tahun 2007 bertujuan mengurangi mortalitas akibat sepsis sebesar 25%
tahun 2009. Kekuatan rekomendasi dan kualitas bukti klinis didasarkan pada kriteria
Grades of Recommendation, Assessment, Development and Evaluation
(GRADE). Kriteria ini membagi kualitas bukti menjadi high (grade A), moderate
(grade
B), low (grade C), atau very low (grade D). Sementara itu, rekomendasi dibagi menjadi
strong (grade 1) atau weak (grade 2).38
Rekomendasi dari the Surviving Sepsis Campaign 2008 mengenai penggunaan
kortikosteroid dalam penatalaksanaan sepsis berat dan syok septik yaitu:38
1. Disarankan, pemberian hidrokortison intravena hanya untuk pasien syok septik
setelah dipastikan tidak berespon terhadap resusitasi cairan dan terapi vasopresor
(Grade 2C). Dasar pemikiran yaitu satu penelitian di Perancis dan dua penelitian
lain berskala kecil pada pasien syok septik yang tidak responsif terhadap vasopresor
menunjukkan perbaikan signifikan dan penurunan mortalitas. Akan tetapi, hasil
peneltian CORTICUS yang gagal menunjukkan perbaikan mortalitas signifikan
ditambah efek samping steroid berupa tingginya insidens superinfeksi dan miopati
menimbulkan kesepakatan baru bahwa rekomendasi harus diturunkan dari pedoman
2004.

2. Disarankan, tes stimulasi ACTH tidak digunakan untuk identifikasi pasien syok
septik mana yang harus diberi hidrokortison (Grade 2B).
Dasar pemikiran yaitu satu penelitian menyatakan potensi manfaat interaksi antara
kortikosteroid dan tes stimulasi ACTH pada pasien sepsis berat dan syok septik
tidak signifikan secara statistik. Selain itu, untuk mengukur konsentrasi kortisol
umumnya digunakan metode immunoassay total kortisol (protein-bound dan
kortisol bebas) sehingga tidak menggambarkan kosentrasi kortisol bebas yang
sebenarnya.

3. Disarankan, deksametason tidak boleh diberikan pada pasien syok septik jika
tersedia hidrokortison (Grade 2B).
Dasar pemikiran yaitu deksametason dapat menekan aksis HPA berkepanjangan.

4. Disarankan, pemberian fludrokortison oral 50 ug jika hidrokortison tidak tersedia


dan steroid yang digunakan tidak memiliki aktivitas mineralokortikoid.
Fludrokortison dianggap opsional jika terapi steroid menggunakan hidrokortison
(Grade 2C).
Dasar pemikiran yaitu ada satu penelitian yang menambahkan fludrokortison oral
50 ug. Karena hidrokortison memiliki aktivitas mineralokortikoid intrinsik, maka
penambahan fludrokortison sampai saat ini masih kontroversial.

5. Disarankan, penghentian kortikosteroid ketika pasien tidak lagi memerlukan terapi


vasopresor (Grade 2D).
Dasar pemikiran yaitu belum ada penelitian yang membandingkan antara
penggunaan dosis tetap dan rejimen klinis, atau antara penghentian steroid secara
mendadak dan perlahan (tappering). Tiga penelitian menggunakan kortikosteroid
dosis tetap, dan pada dua penelitian diantaranya steroid diturunkan perlahan
setelah syok membaik. Dalam empat penelitian steroid di-tappering setelah
beberapa hari, sedang dua penelitian lain
menghentikan steroid secara mendadak. Satu studi menunjukkan efek rebound
hemodinamik dan imunologik setelah penghentian mendadak kortikosteroid.
Akibatnya, masih belum jelas apakah luaran dipengaruhi oleh metode penghentian
steroid atau tidak.

6. Direkomendasikan, dosis kortikosteroid yang ekuivalen dengan hidrokortison


>300 mg per hari tidak digunakan pada pasien sepsis berat atau syok septik
(Grade 1A).

7. Direkomendasikan, kortikosteroid tidak diberikan untuk pengobatan pasien


sepsis tanpa syok. Akan tetapi, tidak ada kontraindikasi untuk melanjutkan steroid
dosis pemeliharaan atau stress-dose jika riwayat penyakit endokrin atau pemberian
kortikosteroid pada pasien tersebut jelas (Grade 1D). Dasar pemikiran yaitu tidak
ada studi yang secara khusus meneliti pasien sepsis berat tanpa syok sehingga
belum ada data pendukung penggunaan steroid stress-dose pada populasi pasien
yang serupa. Steroid dapat diindikasikan jika jelas ada riwayat terapi steroid atau
insufisiensi adrenal. Dasar pemikiran yaitu dua uji klinis prospektif acak dan meta-
analisis menyimpulkan bahwa untuk terapi sepsis berat atau syok septik, terapi
kortikosteroid dosis tinggi tidak efektif atau bahkan berbahaya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro. Disfungsi mikrosirkulasi dan disfungsi mitokondria pada sepsis.


Naskah Lengkap PIT Penyakit Dalam 2010. Setiyohadi B, Sumariyono, Salim S,
et al. (Eds.). Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam 2010:184-201.
2. Pohan HT. Sepsis update: Pemilihan terapi antimikroba. Naskah Lengkap PIT
Penyakit Dalam 2010. Setiyohadi B, Sumariyono, Salim S, et al. (Eds.). Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam 2010:202-9.
3. Priyantoro K, Lardo S, Yuniadi Y. Cardiac dysfunction due to sepsis. J Kardiologi
Indonesia 2010;31(3):177-86.
4. Aryana S, Biran SI. Konsep baru kortikosteroid pada penanganan sepsis. Dexa
Media 2006;19(4):177-81.
5. Cribbs SK, Martin GS. Treating sepsis: An update on the latest therapies, part 1. J
Respir Dis. 2009;30(1):1-15.
6. O'Callaghan A, Redmond HP. Treatment of sepsis: Current status of clinical
immunotherapy. Surgeon 2006;4(6):355-361.
7. Raghavan M, Marik PE. Management of sepsis during the early "Golden Hours".
J Emergency Med 2006;31(2):185-199.
8. Seam N, Suffredini AF. Mechanisms of sepsis and insights from clinical trials.
Drug discovery today: Disease Mechanisms, Respiratory disorders. Vol 4.
Bethesda, Elsevier 2007:83-93.
9. Carre JE, Singer M. Cellular energetic metabolism in sepsis: The need for a
systems approach.
Biochimica et Biophysica Acta 2008;1777:763-71.
10. Opal SM. The host response to endotoxin, antilipopolysaccharide strategies, and
the management of severe sepsis. International J Med Microbiol 2007;297:365-
77.
11. Nguyen HB, Rivers EP, Abrahamian FM, Moran GJ, Abraham E, Trzeciak S,
Huang DT, Osborn T, Stevens D, Talan DA. ED-SEPSIS Working Group. Severe
Sepsis and Septic Shock: Review of the Literature and Emergency Department
Management Guidelines. Ann Emerg Med 2006 2006;48:28-54.
12. Russell JA. Management of sepsis. N Engl J Med 2006;355:1669-713.
13. Nasronudin. Imunopatogenesis sepsis dan prinsip penatalaksanaan. Penyakit
Infeksi di Indonesia Solusi Kini & Mendatang. Edisi Kedua. Nasronudin, Hadi U,
Vitanata M, et al (Eds.). Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR, Surabaya
2011:320-4.
14. Pinsky MR. Pathophysiology of Sepsis and Multiple Organ Failure: Pro- versus
Anti-Inflammatory Aspects. Sepsis, Kidney and Multiple Organ Dysfunction. Vol
144. Ronco C, Bellomo R, Brendolan A (Eds.). Vicenza, Karger 2004:31-43.
15. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al. 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS
International Sepsis Definitions Conference. Intensive Care Med 2003;29:530-8.
16. Ferreira FL, Bota DP, Bross A, Melot C, Vincent J-L. Serial Evaluation of the
SOFA Score to Predict Outcome in Critically Ill Patients. JAMA 2001;286:1754-8.
17. Toma T, Abu-Hanna A, Bosman RJ. Discovery and inclusion of SOFA score
episodes in mortality prediction. J of Biomed Informatics 2007;40:649-60.
18. Arafah BM. Hypothalamic Pituitary Adrenal Function during Critical Illness:
Limitations of Current Assessment Methods. J Clin Endocrinol Metab
2006;91:3725-45.
19. Purnamasari D. Insufisiensi Adrenal pada Pasien Critically Ill. Naskah Lengkap
PIT Penyakit Dalam 2010. Setiyohadi B, Sumariyono, Salim S, et al. (Eds.). Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam 2010:210-21.
20. Nasronuddin. Penggunaan Steroid pada Tatalaksana Sepsis. Penyakit Infeksi di
Indonesia Solusi Kini & Mendatang. Edisi Kedua. Nasronudin, Hadi U, Vitanata
M, et al (Eds.). Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR, Surabaya 2011:377-81.
21. Polito A, Aboab J, Annane D. The Hypothalamic Pituitary Adrenal Axis in Sepsis.
Sepsis: New Insights, New Therapies. John Wiley & Sons, Ltd., British 2007:182-
203.
22. Subowo. Steroid dan Respons Imun. Imunologi Klinik, Edisi Ke-2. Sagung Seto,
Jakarta 2010:375-88.
23. Chrousos GP. Adrenocorticosteroids and Adrenocortical Antagonists. Basic &
Clinical Pharmacology. 9th Ed. Katzung BG (Ed.). Boston, McGraw-Hill
2004:641-660.
24. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. Hormon Steroid. Farmakologi: Ulasan
Bergambar, Edisi 2 (Terjemahan). Penerbit Widya Medika, Jakarta 2001:267-82.
25. Balk RA. Steroids for Septic Shock: Back From the Dead? (Pro). Chest
2003;123:490S-499S.
26. Oshima H. Mechanisms of the molecular action of glucocorticoids. Japanese J
Rheumatol 1997;7(1):1-11.
27. Sprung CL, Goodman S, G.Weiss Y. Steroid Therapy of Septic Shock. Crit Care
Clin 2009;25:825-34.
28. Schumer W. Steroid in the treatment of clinical septic shock. (Abstract). Ann Surg
1976;184(3):333-41.
29. Sprung C, Caralis P, Marcial E, Pierce M, Gelbard M, Long W, Duncan R, Tendler
M, Karpf M. The effects of high-dose corticosteroids in patients with septic shock.
A prospective, controlled study. (Abstract). NEJM 1984;311:1137-43.
30. Bone R, Fisher C, Clemmer T, Slotman G, Metz C, Balk R. A controlled clinical
trial of high-dose methylprednisolone in the treatment of severe sepsis and septic
shock. (Abstract). NEJM 1987;317:653-8.
31. The Veterans Administration Systemic Sepsis Cooperative Study Group. Effect of
high-dose glucocorticoid therapy on mortality in patients with clinical signs of
systemic sepsis. (Abstract) NEJM 1987;317:659-65.
32. Bollaert PE, Charpentier C, Levy S, et al. Reversal of Late Septic Shock with
Supraphysiologic Doses of Hydrocortisone. (Abstract) Crit Care Med
1998;27:723-32.
33. Oppert M, Schindler R, Husung C, et al. Low-dose Hydrocortisone Improves
Shock Reversal and Reduces Cytokine Levels in Early Hyperdynamic Septic
Shock, Crit Care Med 2005;33:2457-64.
34. Cicarelli DD, Viera JE, Martin-Besensor FE. Early Dexamethasone Treatment for
Septic Shock Patients: A Prospective Randomized Clinical Trial. Sao Paulo Med J
2007;125:237-41.
35. Annane D, Bellissant E, Bollaert PE, et al. Corticosteroid for Severe Sepsis and
Septic Shock: A Systematic Review and Meta-analysis. BMJ 2004;1:1-9.
36. Annane D, Bellissant E, Bollaert PE, et al. Corticosteroid in the Treatment of
Severe Sepsis and Septic Shock in Adults A Systematic Review. JAMA
2009;301(22):2362-75.
37. Sprung CL, Annane D, Keh D, et al. for the CORTICUS Study Group. The
CORTICUS Randomized, Double-blind, Placebo-controlled Study of
Hydrocortisone Therapy in Patients with Septic Shock. N Engl J Med
2008;358:111-24.
38. Dellinger RP, Levy MM, Carlet J, Bion J, Parker M, Jaeschke R, Reinhart K,
Angus D, Brun-Buisson C, Beale R, Calandra T, Dhainaut J-F, Gerlach H, Harvey
M, Marini JJ, Marshall J, Ranieri M, Ramsay G, Sevransky J, Thompson BT,
Townsend S, Vender JS, Zimmerman J, Vincent J-L. Surviving Sepsis Campaign:
International guidelines for management of severe sepsis and septic shock: 2008.
Intensive Care Med 2008;34:17-60.

You might also like