You are on page 1of 23

PRESENTASI KASUS UJIAN

PITYRIASIS VERSIKOLOR

Pembimbing :
dr. Amelia B. R., Sp.KK

Disusun Oleh :
Indra Jati Laksana G4A015053

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2017

26
LEMBAR PENGESAHAN

PTIRIASIS VERSIKOLOR

Disusun oleh :
Indra Jati Laksana G4A015053

Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu tugas di
bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Purwokerto, Maret 2017

Pembimbing,

dr. Amelia B. R., Sp.KK

27
PRAKATA

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esakarena atas karunia-Nya


penulis dapat menyelesaikan penulisan Referat yang berjudul Sindrom Stevens -
Johnson tepat pada waktunya. Penulisan Referat merupakan salah satu syarat
untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Pada kesempatan
ini, penulis ucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Amelia Budi Rahardjo, Sp. KK. selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan masukan dalam penyusunan presentasi kasus.
2. Rekan-rekan FK Unsoed dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan presentasi kasus.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Referat ini masih terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, segala masukan yang bersifat membangun sangat
diharapkan.

Purwokerto, Maret 2017

Penyusun

28
BAB I
PENDAHULUAN

Dermatofitosis adalah sekelompok penyakit jamur kulit superfisial yang


menyerang jaringan dengan zat tanduk, misalnya stratum korneum pada
epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan oleh jamur golongan dermatofita.
Infeksi dermatofitosis dikenal dengan nama tinea dan dibagi berdasarkan lokasi
(James, 2011; Djuanda, 2013).
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti yang terbagi dalam tiga genus, yaitu
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton, mempunyai sifat mencerna
keratin.Penyebab tersering tinea kruris dan korporis adalah Epidermophyton
floccosum, diikuti Tricophyton rubrum, dan Tricophyton mentagrophytes (Schieke
& Garg, 2012).
Kejadian dermatofitosis dipengaruhi dari beberapa faktor, diantaranya
Faktor risiko internal , yaitu: pengetahuan dan perilaku higienitas yang kurang,
mengalami keringat yang berlebihan, obesitas (BMI 25), diabetes melitus,
defisiensi imunitas, riwayat penggunaan obat-obatan seperti antibiotik,
kortikosteroid, dan imunosupresan lainnya. Selain itu, dermatofitosis juga
dipengaruhi oleh faktor risiko eksternal berupa Iklim yang panas, lingkungan yang
kotor dan lembab, pemakaian bahan pakaian yang tidak menyerap keringat,
lingkungan sosial budaya dan ekonomi, suka bertukar handuk, pakaian dan celana
dalam dengan teman atau anggota keluarga yang menderita tinea.
Penyakit dermatofitosis lebih sering terjadi pada negara dengan iklim
tropis dan menjadi masalah terutama di negara berkembang.Indonesia merupakan
negara tropis yang beriklim panas dengan kelembaban tinggi sehingga
mempermudah timbulnya infeksi tinea (Schieke & Garg, 2012).

29
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Sdr. T
Jenis Kelamin : Laki - laki
Usia : 20 tahun
Pekerjaan : Mahasiswa
Pendidikan Terakhir : SMA
Status Pernikahan : Belum Menikah
Alamat : Kalibagor RT 9 RW 4
Agama : Islam
No. CM : 00257965

B. ANAMNESIS
Data diambil dari autoanamnesis pada tanggal 4 Maret 2017, pukul
09.30 WIB.
Keluhan Utama : Timbul bercak putih di area punggung, leher, dan
wajah
Keluhan Tambahan : Bercak semakin lama semakin bertambah lebar
dan terasa gatal
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan timbul bercak putih di punggung,
leher, dan wajah sejak 6 bulan yang lalu. Bercak putih makin melebar dan
disertai gatal yang terus menerus hingga mengganggu aktivitas. Gatal
makin menggaggu saat kondisi pasien berkeringat dan sedikit mereda saat
digaruk.
Pasien merupakan seorang pelajar dengan aktivitas tinggi, sering
berkeringat, namun jarang mengganti baju dan mandi. Pasien sempat
menggunakan salep yang diperoleh dari apotek namun keluhan tak
kunjung membaik.

30
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat keluhan serupa diakui, hilang timbul
Riwayat alergi disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat keluhan serupa disangkal
Riwayat alergi disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat asma disangkal

Riwayat Sosial :
Pasien seorang mahasiswa dengan aktivitas tinggi dan sering
berkeringat, higienitas pasien buruk, yaitu pasien jarang mengganti
pakaian setelah beraktivitas, pasien jarang mandi, dan handuk sering
dibiarkan lembab dan jarang diganti. Pasien tinggal di daerah dengan
cuaca yang relatif panas, rumah pasien terbilang lembab.

C. STATUS GENERALIS
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan gizi : BB: 58 kg, TB: 162 cm, BMI 23,3 kg/m2 (Normal)
Vital Sign : Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 76 x/menit
Pernafasan : 18 x/menit
Suhu : 36,8 C

31
Kepala : Mesochepal, rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-)
Telinga : Bentuk daun telinga normal, sekret (-)
Mulut : Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-)
Tenggorokan : T1 T1 tenang , tidak hiperemis
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Paru : SD vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-)
Abdomen : Supel, cembung, BU (+) normal
Kelenjar Getah Bening: Tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat, edema ( ), sianosis ( )

D. STATUS DERMATOLOGIS
Lokasi : Regio thoracalis posterior, cervical lateralis, dan facialis
Eflorosensi : Tampak makula hipopigmentasi berukuran polimorfic,
berbatas tegas, dan terdapat skuama halus diatasnya.

Gambar 1. Status dermatologis pasien

32
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Mikroskopis preparat KOH dari kerokan kulit lesi: tampak
kelompok-kelompok hifa pendek, dikelilingi spora berkelompok.

Gambar 2. Mikroskopis preparat KOH


Pada pemeriksaan penyinaran dengan lampu Wood, didapatkan
hasil yaitu lesi berwarna kuning keemasan hingga orange.

F. DIAGNOSA KERJA
Pityriasis Versikolor

G. DIAGNOSIS BANDING
1. Eritrasma
Infeksi dangkal kronik yang biasanya menyerang daerah yang
banyak berkeringat. Etiologi Corynebacterium Minutissimum. Dengan
sinar wood : fluoresensi coral red (James, 2011).
2. Ptiriasis Rosea
Erupsi papuloskuamosa akut. Morfologi khas berupa makula
eritematosa lonjong dengan diameter terpanjang sesuai dengan lipata
kulit serta ditutupi oleh skuama halus. Gambaran efloresensi sejajar
dengan garis garis kulit, terdapat medallion atau herald patch.
Kerokan kulit : hifa, spora negatif. Sinar wood : negative (James,
2011).

33
3. Pitiriasis Alba
Pitiriasis alba sering dijumpai pada anak berumur 3 16 tahun
(30 40%). Wanita dan pria sama banyak. Lesi berbentuk bulat atau
oval. Pada mulanya lesi berwarna merah muda atau sesuai warna kulit
dengan skuama kulit diatasnya. Setelah eritema menghilang, lesi yang
dijumpai hanya hipopigmentasi dengan skuama halus. Pada stadium ini
penderita datang berobat terutama pada orang dengan kulit berwarna.
Bercak biasanya multipel 4 20. Pada anak-anak lokasi
kelainan pada muka (50 60%), Paling sering di sekitar mulut, dagu,
pipi, dan dahi. Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Lesi
umumnya asimtomatik tetapi dapat juga terasa gatal dan panas.
Pada pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan melanin di
stratum basal dan terdapat hiperkeratosis dan parakeratosis. Kelainan
dapat dibedakan dari Vitiligo dengan adanya batas yang tidak tegas
dan lesi yang tidak amelanotik serta pemeriksaan menggunakan lampu
Wood. Kelainan hipopigmentasi ini dapat terjadi akibat perubahan-
perubahan pasca inflamasi dan efek penghambatan sinar ultraviolet
oleh epidermis yang mengalami hiperkeratosis dan parakeratosis.

Gambar 3. Pitiriasis alba pada anak-anak

34
B. PEMERIKSAAN ANJURAN
Kultur jamur dengan media sabouraud agar
C. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
Jemur di bawah sinar matahari antara pukul 10.00 15.00 WIB
2. Medikamentosa
Sistemik:
a. Itraconazol dosis tunggal 100mg/hari selama 7 hari
b. Cetirizine 1x10 mg malam hari
Topikal:
Salep Itraconazole 2-3 kali sehari setelah mandi
3. Edukasi
a. Perbaikan higienitas kulit
b. Menggunakan pakaian yang berbahan dasar menyerap keringat
c. Segera mengganti pakaian bila berkeringat dan mandi minimal 2
kali dalam sehari
d. Tidak menggunakan pakaian dan handuk bersamaan dengan orang
lain
e. Handuk tidak dibiarkan lembab dan diganti setiap 3 hari sekali
f. Patuh dan konsisten dalam mengikuti terapi
D. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam
Quo ad kosmeticum : ad bonam

35
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Pityriasis versikolor adalah infeksi ringan yang sering terjadi
disebabkan oleh Malasezia furfur. Penyakit jamur kulit ini adalah penyakit
kronis yang ditandai oleh bercak putih sampai coklat yang bersisik. Kelainan
ini umumnya menyerang badan dan kadang - kadang terlihat di ketiak, sela
paha,tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala. Nama lainnya adalah tinea
versikolor atau panu (Behzadi et al, 2014).
Pityriasis versikolor adalah infeksi ringan yang sering terjadi
disebabkan oleh Malasezia furfur dan pityrosporum orbiculare. Infeksi ini
bersifat menahun, ringan, dan biasanya tanpa peradangan. Pityriasis versikolor
ini mengenai muka, leher, badan, lengan atas, ketiak, paha, dan lipatan paha
(Behzadi et al, 2014).
Pityriasis versikolor adalah infeksi jamur supervisial yang ditandai
dengan adanya makula dikulit, skuama halus disertai rasa gatal (Siregar, 2004)

B. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh jamur Malasezia furfur. Malassezia
furfur (dahulu dikenal sebagai Pityrosporum orbiculare, Pityrosporum ovale)
merupakan jamur lipofilik yang normalnya hidup di keratin kulit dan folikel
rambut manusia saat masa pubertas dan di luar masa itu. Sebagai organisme
yang lipofilik, Malassezia furfur memerlukan lemak (lipid) untuk
pertumbuhan in vitro dan in vivo. Secara in vitro, asam amino asparagin
menstimulasi pertumbuhan organisme, sedangkan asam amino lainnya, glisin,
menginduksi (menyebabkan) pembentukan hifa. Pada dua riset yang terpisah,
tampak bahwa secara in vivo, kadar asam amino meningkat pada kulit pasien
yang tidak terkena panu. Jamur ini juga ditemukan di kulit yang sehat, namun
baru akan memberikan gejala bila tumbuh berlebihan. Beberapa faktor dapat
meningkatkan angka terjadinya pityriasis versikolor, diantaranya adalah

36
turunnya kekebalan tubuh, faktor temperatur, kelembaban udara, hormonal
dan keringat (Behzadi et al, 2014).
C. Faktor Predisposisi
Suhu yang tinggi, kulit berminyak, hiperhidrosis, faktor herediter,
pengobatan dengan glukokortikoid, dan defisiensi imun. Pemakaian minyak
seperti minyak kelapa merupakan predisposisi terjadinya pityriasis versikolor
pada anak-anak (Wolf, 2007).
Faktor predisposisi lain adalah (Brannon, 2004):
1. Pengangkatan glandula adrenal
2. Penyakit Cushing
3. Kehamilan
4. Malnutrisi
5. Luka bakar
6. Terapi steroid
7. Supresi sistem imun
8. Kontrasepsi oral
9. Suhu Panas
10. Kelembapan

D. Epidemiologi
Pityriasis versikolor lebih sering terjadi di daerah tropis dan
mempunyai kelembaban tinggi. Walaupun kelainan kulit lebih terlihat pada
orang berkulit gelap, namun angka kejadian pityriasis versikolor sama di
semua ras. Beberapa penelitian mengemukakan angka kejadian pada pria dan
wanita dalam jumlah yang seimbang. Di Amerika Serikat, penyakit ini banyak
ditemukan pada usia 15-24 tahun, dimana kelenjar sebasea (kelenjar minyak)
lebih aktif bekerja. Angka kejadian sebelum pubertas atau setelah usia 65
tahun jarang ditemukan (Behzadi et al, 2014).
Pityriasis versikolor terdistribusi ke seluruh dunia, tetapi pada daerah
tropis dan daerah subtropis. Di daerah tropis insiden dilaporkan sebanyak
40%, sedangkan pada daerah yang lebih dingin angka insiden lebih rendah,
sekitar 3% pasien mengunjungi dermatologis. Di Inggris, insiden dilaporkan

37
sekitar 0,5% sampai 1% diantara penyakit kulit. Pityriasis versikolor
kebanyakan menyerang orang muda. Grup umur yang terkena 25-30 tahun
pada pria dan 20-25 pada wanita (Behzadi et al, 2014).

E. Manifestasi Klinis
Biasanya tidak ada keluhan (asimtomatis), tetapi dapat dijumpai gatal
pada keluhan pasien. Pasien yang menderita Pityriasis versikolor biasanya
mengeluhkan bercak pigmentasi dengan alasan kosmetik. Predileksi pityriasis
vesikolor yaitu pada tubuh bagian atas, lengan atas, leher, abdomen, aksila,
inguinal, paha, genitalia (Burkhart and Lorie, 2010). Bentuk lesi tidak teratur,
berbatas tegas sampai difus dengan ukuran lesi dapat milier, lentikuler,
numuler sampai plakat. Ada dua bentuk yang sering dijumpai (Schieke &
Garg, 2012):
1. Bentuk makuler: berupa bercak yang agak lebar, dengan squama halus
diatasnya, dan tepi tidak meninggi.
2. Bentuk folikuler: seperti tetesan air, sering timbul disekitar rambut.

Gambar 4. Pityriasis versicolor menunjukkan lesi hiperpigmentasi dalam lesi


Kaukasia (kiri atas) dan hipopigmentasi dalam Aborijin Australia (kanan atas
dan bawah ).

38
F. Patogenesis
Pada kulit terdapat flora normal yang berhubungan dengan timbulnya
ptyriasis versicolor ialah Pityrosporum orbiculare yang berbentuk bulat atau
Pityrosporum ovale yang berbentuk oval. Malassezia furfur merupakan fase
spora dan miselium. Malassezia berubah dari bentuk blastospore ke bentuk
mycelial. Hal ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi. Malassezia memiliki
enzim oksidasi yang dapat merubah asam lemak pada lipid yang terdapat
pada permukaan kulit menjadi asam dikarboksilat. Asam dikarboksilik ini
menghambat tyrosinase pada melanosit epidermis dan dapat mengakibatkan
hipomelanosit (Jhonson and Suurmond, 2007). Tirosinase adalah enzim yang
memiliki peranan penting dalam pembentukan melanin. Malassezia Furfur
dapat menginfeksi pada individu yang sehat sebagaimana ia dapat
menginfeksi individu dengan immunocompromised, misalnya pada pasien
kanker atau AIDS (Schieke & Garg, 2012).

G. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Penderita biasanya mengeluhkan gatal ringan, yang merupakan alasan
berobat. Penderita pada umumnya hanya mengeluhkan adanya
bercak/makula berwarna putih (hipopigmentasi) atau kecoklatan
(hiperpigmentasi) dengan rasa gatal yang akan muncul saat berkeringat
(Yosella, 2015)
2. Pemeriksaan fisik
Kelainan kulit di temukan di badan terlihat sebagai bercak-bercak
berwarna-warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai
difus. Sering didapatkan lesi bentuk folikular atau lebih besar, atau bentuk
nummular yang meluas membentuk plakat. Kadang-kadang dijumpai
bentuk campuran, yaitu folikular dengan nummular, folikular dengan plakat
ataupun folikular atau nummular dengan plakat (Schieke & Garg, 2012)
3. Pemeriksaan langsung dengan KOH 10%
Pemeriksaan ini memperlihatkan kelompok sel ragi bulat berdinding
tebal dengan miselium kasar, sering terputus-putus (pendek-pendek), yang

39
akan lebih mudah dilihat dengan penambahan zat warna tinta parker blue-
black atau biru laktofenol. Gambaran ragi dan miselium tersebut sering
dilukiskan sebagai meat ball and spageti .
Bahan-bahan kerokan kulit diambil dengan cara mengerok bagian
kulit yang mengalami lesi. Sebelumnya kulit dibersihkan dengan kapas
alcohol 70%, lalu dikerok dengan skapel steril dan jatuhnya ditampung
dalam lempeng-lempeng steril. Sebagian dari bahan tersebut diperiksa
langsung dengan KOH 10% yang di beri tinta parker biru hitam,
dipanaskan sebentar, ditutup dengan gelas penutup dan diperiksa di bawah
mikroskop. Bila penyebabnya memang jamur, maka akan terlihat garis
yang memiliki indeks bias lain dari sekitarnya dan jarak-jarak tertentu
dipisahkan oleh sekat-sekat atau seperti butir-butir yang bersambung seperti
kalung. Pada ptyriasis versicolor hifa tampak pendek-pendek, bercabang,
terpotong-potong, lurus atau bengkok dengan spora yang berkelompok.
4. Pemeriksaan dengan sinar wood
Pemeriksaan dengan sinar wood, dapat memberikan perubahan warna
seluruh daerah lesi sehingga batas lesi lebih mudah dilihat. Daerah yang
terkena infeksi akan memperlihatkan flouresensi warna kuning keemasan
sampai orange.

H. Diagnosis Banding
1. Eritrasma
Infeksi dangkal kronik yang biasanya menyerang daerah yang
banyak berkeringat. Etiologi Corynebacterium Minutissimum. Dengan
sinar wood : fluoresensi coral red (James, 2011).
2. Ptiriasis Rosea
Erupsi papuloskuamosa akut. Morfologi khas berupa makula
eritematosa lonjong dengan diameter terpanjang sesuai dengan lipata kulit
serta ditutupi oleh skuama halus. Gambaran efloresensi sejajar dengan
garis garis kulit, terdapat medallion atau herald patch. Kerokan kulit : hifa,
spora negatif. Sinar wood : negative (James, 2011).

40
3. Pitiriasis Alba
Pitiriasis alba sering dijumpai pada anak berumur 3 16 tahun (30
40%). Wanita dan pria sama banyak. Lesi berbentuk bulat atau oval.
Pada mulanya lesi berwarna merah muda atau sesuai warna kulit dengan
skuama kulit diatasnya. Setelah eritema menghilang, lesi yang dijumpai
hanya hipopigmentasi dengan skuama halus. Pada stadium ini penderita
datang berobat terutama pada orang dengan kulit berwarna (James, 2011).
Bercak biasanya multipel 4 20. Pada anak-anak lokasi kelainan
pada muka (50 60%), Paling sering di sekitar mulut, dagu, pipi, dan dahi.
Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Lesi umumnya
asimtomatik tetapi dapat juga terasa gatal dan panas (James, 2011).
Pada pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan melanin di
stratum basal dan terdapat hiperkeratosis dan parakeratosis. Kelainan dapat
dibedakan dari Vitiligo dengan adanya batas yang tidak tegas dan lesi yang
tidak amelanotik serta pemeriksaan menggunakan lampu Wood. Kelainan
hipopigmentasi ini dapat terjadi akibat perubahan-perubahan pasca
inflamasi dan efek penghambatan sinar ultraviolet oleh epidermis yang
mengalami hiperkeratosis dan parakeratosis (James, 2011).

Gambar 5. Pitiriasis alba pada anak-anak

41
a. Penatalaksanaan
Pengobatan pityriasis versicolor dapat diterapi secara topikal maupun
sistemik. Tingginya angka kekambuhan merupakan masalah, dimana
mencapai 60% pada tahun pertama dan 80% setelah tahun kedua. Oleh sebab
itu diperlukan terapi profilaksis untuk mencegah rekurensi :
1. Pengobatan topikal
2. Pengobatan harus dilakukan secara menyeluruh, tekun dan konsisten.
Obat yang dapat digunakan ialah :
a. Selenium sulfide 1,8% dalam bentuk shampoo 2-3 kali seminggu.
Obat digosokan pada lesi dan didiamkan selama 15-30 menit
sebelum mandi.
b. Salisil spiritus 10 %
c. Turunan azol, misalnya : mikonazol, klotrimazol, isokanazol dan
ekonazol dalam bentuk topical
d. Sulfur presipitatum dalam bedak kocok 4-20%
e. Larutan natrium tiosulfas 25%, dioleskan 2 kali sehari sehabis
mandi selama 2 minggu (Djuanda, 2013)
3. Pengobatan sistemik
Pengobatan sistemik diberikan pada kasus pityriasis versicolor yang
luas atau jika pemakaian obat topical tidak berhasil. Obat yang dapat
diberikan adalah :
a. Ketokonazol
Dosis : 200 mg perhari selama 10 hari
b. Flukonazol
Dosis : dosis tunggal 150-300 mg setiap minggu
c. Itraconazol
Dosis : 100 mg perhari selama 2 minggu
(Djuanda, 2013)
4. Terapi hipopigmentasi
a. Liquor carbonas detergent 5%, salep pagi/malam
b. Krim kortikosteroid menengah pagi dan malam
c. Jemur matahari kurang lebih 10 menit antara jam 10.00 15.00

42
b. Prognosis
Prognosisnya baik dalam hal kesembuhan (Yosella, 2015). Bila
pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun dan konsisten. Pengobatan harus
di teruskan 2 minggu setelah fluoresensi negatif dengan pemeriksaan lampu
wood dan sediaan langsung negatif (Djuanda, 2013)

43
BAB III

PEMBAHASAN

Pytiriasis versicolor merupakan infeksi jamur superfisial pada kulit yang


biasanya disebabkan oleh saprofit yang tidak menyebabkan inflamasi. Kelainan
kulit ini bersifat umum, luas, dan jinak, walaupun sering terjadi berulang. Seperti
yang ditunjukkan dari namanya, pytriasis versicolor menunjukkan manifestasi
klinis : adanya makula dengan berbagai macam warna dari putih ke merah muda
atau coklat. Lesi ini memiliki karakteristik kulit yang mengelupas, walaupun pada
lesi yang lebih luas bukti ini hanya dapat ditemukan pada tepi makula, dan bisa
hipopigmentasi maupun hiperpigmentasi. Pada beberapa pasien dapat mengeluh
gatal/pruritus, tetapi pytiriasis versicolor biasanya bersifat asimptomatis, dan pada
kebanyakan pasien hanya mengeluhkan alasan kosmetik dari penyakit ini (Siswati
dan Ervianti, 2013).
Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin dengan keluhan utama gatal
dan timbul bercak putih di punggung, leher dan wajah. Pasien kemudian
didiagnosis sebagai pityriasis versicolor berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan tambahan sederhana. Dari anamnesis, didapatkan keluhan
bercak putih di punggung, leher dan wajah yang semakin banyak, dengan disertai
rasa gatal. Gatal terutama timbul saat berkeringat. Hal ini sesuai dengan gambaran
pityriasis versicolor yang dikarakteristikkan oleh makulae irreguler depigmentasi
berskuama, yang paling sering terjadi pada tubuh dan ekstremitas, serta dapat
disertai oleh pruritus ringan (Menaldi, 2015).
Pasien bekerja sebagai mahasiswa yang sepulang kuliah sering
berolahraga yang sering berkeringat. Data ini menguatkan dugaan pityriasis
versicolor oleh karena pasien ini memiliki faktor-faktor predisposisi untuk
terjadinya PV, yaitu tinggal di daerah tropis, kelembaban, kemungkinan
temperatur lingkungan yang tinggi, dan gampang berkeringat. Adanya keluhan
gatal mengurangi kemungkinan diagnosis vitiligo (Menaldi, 2015).
Ruam terletak di punggung, leher dan wajah yang merupakan tempat yang
paling sering timbulnya pityriasis versicolor. Ruam merupakan gambaran makula

44
hipopigmentasi, berbentuk bulat, irregular, sebagian berkonfluensi satu sama lain,
berbatas tegas, jumlah multiple dengan ukuran diameter bervariasi antara 1-2 cm.
Gambaran ruam pada pasien ini berupa makulae hipopigmentasi yang berbatas
tegas menurunkan kemungkinan diagnosis pityriasis alba dan vitiligo. Pityriasis
alba biasanya berlokasi di wajah, bagian luar lengan dan bahu. Lesinya berbatas
tidak tegas dan skuama lebih kasar, lesi tampak berwarna abu-abu. Vitiligo
biasanya mudah dikenali dengan area-area depigmentasi berbatas tegas dan tidak
berskuama, biasanya di regio wajah, ekstremitas dan genital (Menaldi, 2015).
Selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis pityriasis
versicolor ditegakkan dari pemeriksaan penunjang, yaitu pemeriksaan dengan
lampu Wood dan KOH. Pemeriksaan di bawah lampu Wood menunjukkan
fluoresensi kuning yang sesuai dengan gambaran pityriasis versicolor.
Pemeriksaan dengan KOH menunjukkan hifa pendek dengan spora. Adanya sel
budding yeast yang berbentuk ovoid bersama hifa menyebabkan gambaran
spaghetti and meatballs (Gohary et al, 2014).
Telah diketahui bahwa organisme penyebab pytiriasis versicolor adalah
Malassezia spp. Spesies ini dimasukkan dalam ordo Malasseziales, kelas
Ustilaginomycetes, phylum Basidiomycota. Malassezia spp. merupakan bagian
dari flora normal di kulit manusia. Lokasi superficial dari organisme Malassezia
di kulit yaitu didalam stratum korneum memperlihatkan bahwa respon imun yang
terjadi adalah minimal. Pada saat berbentuk yeast organism ini disebut dengan
Pityrosporum orbiculare atau Pityrosporum ovale sedang saat dalam stadium
mycelia dikenal dengan nama Malassezia furfur (Gohary et al, 2014).
Pasien ini mendapatkan terapi ketoconazole oral 1 x 200 mg dan topisel
(selenium sulfida) topikal yang dioleskan 20 menit sebelum mandi. Agen topikal
efektif meliputi selenium sulfida, sodium sulfasetamid, siklopiroksolamin, serta
antifungi azole dan allilamin. Berbagai regimen dapat digunakan. Selenium
sulfida lotion dioleskan pada area kulit yang terpengaruh setiap hari selama 2
minggu; setiap kali setelah dioleskan, dibiarkan selama 10 menit sebelum
dicuci/mandi. Pemberian per minggu agen-agen topikal selama beberapa bulan ke
depan dapat membantu mencegah rekurensi (Menaldi, 2015).

45
Terapi oral juga efektif untuk pityriasis versicolor dan seringkali lebih
dipilih pada pasien karena lebih mudah dan tidak memakan waktu. Terapi oral
dapat diberikan bersama regimen topikal. Ketoconazole, fluconazole, dan
itraconazole merupakan agen oral pilihan pertama. Berbagai regimen dosis telah
digunakan. Dengan ketoconazole, diberikan dosis 200 mg per hari selama 10 hari
dan sebagai dosis tunggal 400 mg, keduanya memiliki hasil yang sama.
Fluconazole diberikan dalam dosis 150 sampai 300 mg setiap minggu selama 2-4
minggu. Itraconazole biasanya diberikan pada 200 mg per hari selama 7 hari.
Pramiconazole dan sertaconazole juga telah digunakan dalam terapi pityriasis
versicolor (Menaldi, 2015).

46
KESIMPULAN

1. Pityriasis versikolor adalah infeksi ringan yang sering terjadi disebabkan oleh
Malasezia furfur dan pityrosporum orbiculare.
2. Penyakit jamur kulit ini adalah penyakit kronis yang ditandai oleh bercak
putih sampai coklat yang bersisik, makula dikulit, skuama halus disertai rasa
gatal.
3. Faktor predisposisi penyakit ini adalah suhu yang tinggi, kulit berminyak,
hiperhidrosis, faktor herediter, pengobatan dengan glukokortikoid, defisiensi
imun, pengangkatan glandula adrenal, penyakit Cushing, kehamilan,
malnutrisi, luka bakar, terapi steroid, dan penggunaan kontrasepsi oral.
4. Predileksi pityriasis vesikolor yaitu pada tubuh bagian atas, lengan atas, leher,
abdomen, aksila, inguinal, paha, genitalia.
5. Periksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penyakit ini adalah
pemeriksaan dengan KOH 10% dan lampu wood.
6. Pengobatan pada penyakit ini menggunakan pengobatan topikal, sistemik dan
terapi hipopigmentasi.
7. Prognosis baik bila pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun dan konsisten.

47
DAFTAR PUSTAKA

Behzadi P, dkk. 2014. Dermatophyte fungi: Infections, Diagnosis and Treatment.


Sikkim Manipal University Medical Journal. 1(2): 53-54
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S.2013. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 3rd ed.
Jakarta : balai penerbit FKUI.
Gohary, M., Zuuren,J., Fedorowics, Z., Burgess, H., Doney,L. Topical Antifungal
Treatment for Tinea Cruris and Tinea Corporis. Cochrane Databse System
Review. 2014
James W., Berger, T., Elston, D. 2011.Andrews Disease of the Skin, Clinical
Dermatology 11th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.
Menaldi, SW, Bramono, K, Indriatmi W. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta: FK UI.
Nasution, M.A. 2005. Mikologi dan Mikologi kedokteran, Beberapa Pandangan
Dermatologis, Pidato jabatan pengukuhan guru besar tetap USU. Medan.
Schieke, M., Garg, A. 2012. Fungal Disease: Superficial Fungal Infection. In:
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th Edition Volume 2. New
York: McGraw-Hill. p.2277-97
Siregar. 2004. Saripati Penyakit Kulit, Ed.2 .Jakarta : EGC
Siswati, S., Ervianti, E.Tinea Korporis dan Tinea Kruris. Dalam Bramono,
Kusmarinah, dkk. (Editor).Dermatomikosis Superfisialis Edisi ke-2. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2013. Hal. 58-74
Wolff. K, Johnson. R.A, Suurmond. D . 2008. Fitzpatricks, The Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology, fifth edition. E-book : The McGraw-Hill
Companies.
Yosella, T. 2015. Diagnosis and Treatment of Tinea Cruris.Journal Majority,
4(2):122-28

48

You might also like