You are on page 1of 24

BAB I

BENTUK DAN KEDAULATAN NEGARA

Pasal 1

Menetapkan bentuk Negara Kesatuan dan Republik, mengandung isi pokok pikiran kedaulatan
rakyat.

Majelis Permusyawaratan Rakyat ialah penyelenggara negara yang tertinggi. Majelis ini
dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara.

BAB II

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

Pasal 2

Maksudnya ialah supaya seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan mempunyai
wakil dalam Majelis sehingga Majelis itu akan betul-betul dapat dianggap sebagai penjelmaan
rakyat.

Yang disebut golongan-golongan ialah badan-badan seperti koperasi, serikat pekenja, dan lain-
lain badan kolektif. Aturan demikian memang sesuai dengan aliran zaman. Berhubung dengan
anjuran mengadakan sistem koperasi dalam ekonomi, maka ayat ini mengingat akan adanya
golongan-golongan dalam badan-badan ekonomi.

Ayat 2

Badan yang akan besar jumlahnya bersidang sedikit-sedikitnya sekali dalam 5 tahun.

Sedikit-sedikitnya, jadi kalau perlu dalam 5 tahun tentu boleh bersidang lebih dari sekali dengan
mengadakan persidangan istimewa.

Pasal 3

Oleh karena Majelis Permusyawaratan Rakyat memegang kedaulatan negara, maka


kekuasaannya tidak terbatas, mengingat dinamik masyarakat, sekali dalam 5 tahun Majelis
memperhatikan segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu dan menentukan
haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai untuk di kemudian hari.

BAB III

KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA

Pasal 4 dan pasal 5 ayat 2


Presiden ialah kepala kekuasaan eksekutifdalam negara. Untuk menjalankan undang-undang, ia
mempunyai kekuasaan untuk menetapkan peraturan pemerintah (pouvoir reglementail).

Pasal 5 ayat 1

Kecuali executive power, Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat


menjalankan legislative power dalam negara.

Pasal : 6, 7, 8, 9

Telah jelas.

Pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15

Kekuasaan-kekuasaan Presiden dalam pasal-pasal ini ialah konsekuensi dari kedudukan Presiden
sebagai Kepala Negara.

BAB IV

DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG

Pasal 16

Dewan ini ialah sebuah Council of State yang berwajib memberi pertimbangan-pertimbangan
kepada pemerintah. Ia sebuah badan penasehat belaka.

BAB V

KEMENTERIAN NEGARA

Pasal 17

Lihatlah di atas.

BAB VI

PEMERINTAHAN DAERAH

Pasal 18

I. Oleb karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai
daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga.

Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam
daerah yang lebih kecil.
Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bensifat
daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-
undang.

Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di
daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

II. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan
volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga
di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya
dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.

Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala
peraturan negara yang mengenal daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah
tersebut.

BAB VII

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Pasal-pasal 19, 20, 21, dan 23

Lihatlah diatas.

Dewan ini harus memberi persetujuannya kepada tiap-tiap rancangan undang-undang dari
pemenintah. Pun Dewan mempunyai hak inisiatif untuk menetapkan undang-undang.

III. Dewan ini mempunyai juga hak begrooting pasal 23.

Dengan ini Dewan Perwakilan Rakyat mengontrol pemenintah.

Harus diperingati pula bahwa semua anggota Dewan ini merangkap menjadi anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.

Pasal 22

Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan
agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting,
yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian pemerintah tidak
akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah
dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan
Perwakilan Rakyat.

BAB VIII

HAL KEUANGAN
Pasal 23 ayat 1, 2, 3, 4

Ayat 1 memuat hak begrooting Dewan Perwakilan Rakyat.

Cara menetapkan anggaran pendapatan dan belanja adalah suatu ukuran bagi Fat pemerintahan
negara. Dalam negara yang berdasarkan fascisme, anggaran itu ditetapkan semata-mata oleh
pemerintah Tetapi dalam negara demokrasi atau dalam negara yang berdasarkan kedaulatan
rakyat, seperti Republik Indonesia, anggaran pendapatan dan belanja itu ditetapkan dengan
undang-undang. Artinya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup,
harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri, dengan perantaraan dewan perwakilannya.

Rakyat menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga cara hidupnya.

Pasal 23 menyatakan bahwa dalam hal menetapkan pendapatan dan belanja. kedudukan Dewan
Perwakilan Rakyat lebih kuat dari pada kedudukan pemerintah. Ini tanda kedaulatan rakyat.

Oleh karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka
segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, seperti pajak dan lain-lainnya, harus
ditetapkan dengan undang-undang yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Juga tentang hal macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undangundang. ini penting
karena kedudukan uang itu besar pengaruhnya atas masyarakat. Uang terutama adalah alat
penukar dan pengukur harga. Sebagai alat penukar untuk memudahkan pertukaran jual-beli
dalam masyarakat. Berhubung dengan itu perlu ada macam dan rupa uang yang diperlukan oleh
rakyat sebagai pengukur harga untuk dasar menetapkan harga masing-masing barang yang
dipertukarkan. Barang yang menjadi pengukur harga itu. mestilah tetap harganya, jangan naik
turun karena keadaan uang yang tidak teratur. OIeh karena itu, keadaan uang itu harus ditetapkan
dengan undang-undang.

Berhubung dengan itu, kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur
peredaran uang kertas, ditetapkan dengan undang-undang.

Ayat 5

Cara pemenintah mempengunakan uang belanja yang sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat, harus sepadan dengan keputusan tensebut. Untuk memeriksa tanggung jawab pemerintah
itu perlu ada suatu badan yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemenintah. Suatu badan
yang tunduk kepada pemerintah tidak dapat melakukan kewajiban yang seberat itu. Sebaliknya
badan itu bukanlah pula badan yang berdiri di atas pemerintah.

Sebab itu kekuasaan dan kewajiban badan itu ditetapkan dengan undang-undang.

BAB IX
KEKUASAAN KEHAKIMAN

Pasal 24 dan 25

Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, antinya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang
kedudukan para hakim.

BABX

WARGA NEGARA

Pasal 26

Ayat 1

Orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, peranakan Tionghoa, dan
peranakan Arab yang bertempat kedudukan di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah
aimya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia dapat menjadi warga negara.

Ayat 2

Pasal 27, 30, 31, ayat 1

Telah jelas.

Pasal-pasal ini mengenai hak-hak warga negara.

Pasal 28, 29, ayat 1, 34

Pasal ini mengenai kedudukan penduduk.

Pasal-pasal, baik yang hanya mengenai warga negara maupun yang mengenai seluruh penduduk
membuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangunkan negara yang bensifat demoknatis dan
yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan.

BAB XI

AGAMA

Pasal 29 ayat 1

Ayat ini menyatakan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

BAB XII
PERTAHANAN NEGARA

Pasal 30

Telah jelas.

BAB XIII

PENDIDIKAN

Pasal 31 ayat 2

Telah jelas.

Pasal 32

Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia
seluruhnya.

Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di
seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke
arah kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari
kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa
sendini, serta mempertinggi derajat kemanusian bangsa Indonesia.

BAB XIV

KESEJAHTERAAN SOSIAL

Pasal 33

Dalam pasal 33 tencantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikenjakan oleh semua, untuk
semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai
dengan itu ialah koperasi.

Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak
harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang
berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.

Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-
seorang.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran
rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.

Pasal 34

Telah cukup jelas, lihat di atas.

BAB XV

BENDERA DAN BAHASA

Pasal 35

Telah jelas.

Pasal 36

Telah jelas.

Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-
baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan sebagainya) bahasa-bahasa itu akan dihormati
dan dipelihara juga oleh negara.

Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dan kebudayaan Indonesia yang hidup.

BAB XVI

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR

Pasal 37

Telah jelas.

. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.


Pasal 1
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 1). Dalam Undang-Undang
Pokok Agraria diadakan perbedaan antara pengertian "bumi" dan "tanah", sebagai
yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat 3 dan pasal 4 ayat 1. Yang dimaksud dengan
"tanah" ialah permukaan bumi.
Perluasan pengertian "bumi" dan "air" dengan ruang angkasa adalah bersangkutan
dengan kemajuan tehnik dewasa ini dan kemungkinan-kemungkinannya dalam
waktu-waktu yang akan datang.
Pasal 2.
Sudah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 2).
Ketentuan dalam ayat 4 adalah bersangkutan dengan azas ekonomi dan
medebewind dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Soal agraria menurut
sifatnya dan pada azasnya merupakan tugas Pemerintah Pusat (pasal 33 ayat 3
Undang-Undang Dasar). Dengan demikian maka pelimpahan wewenang untuk
melaksanakan hak penguasaan dari Negara atas tanah itu adalah merupakan
medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut keperluannya dan
sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional.
Wewenang dalam bidang agraria dapat merupakan sumber keuangan bagi daerah
itu.
Pasal 3.
Yang dimaksud dengan "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu" ialah apa yang
didalam perpustakaan hukum adat disebut "beschikkingsrecht". Selanjutnya lihat
Penjelasan Umum (II angka 3).
Pasal 4.
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 1).
Pasal 5.
Penegasan, bahwa hukum adat dijadikan dasar dari hukum agraria yang baru.
Selanjutnya lihat Penjelasan Umum (III angka 1).
Pasal 6.
Tidak hanya hak milik tetapi semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hal
ini telah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 4).
Pasal 7.
Azas yang menegaskan dilarangnya "groot-grondbezit" sebagai yang telah
diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 7). Soal pembatasan itu diatur lebih
lanjut dalam pasal 17. Terhadap azas ini tidak ada pengecualiannya.
Pasal 8.
Karena menurut ketentuan dalam pasal 4 ayat 2 hak-hak atas tanah itu hanya
memberi hak atas permukaan bumi saja, maka wewenang-wewenang yang
bersumber daripadanya tidaklah mengenai kekayaan-kekayaan alam yang
terkandung didalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa. Oleh karena itu maka
pengambilan kekayaan yang dimaksudkan itu memerlukan pengaturan tersendiri.
Ketentuan ini merupakan pangkal bagi perundang-undangan pertambangan dan
lain-lainnya.
Pasal 9.
Ayat 1 telah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 5). Ketentuan dalam ayat
2 adalah akibat daripada ketentuan dalam pasal 1 ayat 1 dan 2.
Pasal 10.
Sudah dijelaskan didalam Penjelasan Umum (II angka 7). Kata-kata "pada azasnya"
menunjuk pada kemungkinan diadakannya pengecualian-pengecualian sebagai
yang disebutkan sebagai misal didalam Penjelasan Umum itu. Tetapi
pengecualian-pengecualian itu perlu diatur didalam peraturan perundangan
(Bandingkan penjelasan pasal Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya
masih dimungkinkan oleh pasal 24, tetapi dibatasi dan akan diatur.
Pasal 11.
Pasal ini memuat prinsip perlindungan kepada golongan yang ekonomis lemah
terhadap yang kuat. Golongan yang ekonomis lemah itu bisa warganegara asli
keturunan asing. Demikian pula sebaliknya. Lihat Penjelasan Umum (III angka 2).
Pasal 12.
Ketentuan dalam ayat 1 bersangkutan dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 11
ayat 1. Bentuk usaha bersama yang sesuai dengan ketentuan ini adalah bentuk
koperasi dan bentuk-bentuk gotong-royong lainnya. Ketentuan dalam ayat 2
memberi kemungkinan diadakannya suatu "usaha bersama" antara Negara dan
Swasta dalam bidang agraria. Yang dimaksud dengan "fihak lain" itu ialah
pemerintah daerah, pengusaha swasta yang bermodal nasional atau swasta dengan
"domestic capital" yang progresip.
Pasal 13.
Ayat 1, 2 dan 3.
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 6).
Ketentuan dalam ayat 4 adalah pelaksanaan daripada azas keadilan sosial yang
berperikemanusiaan dalam bidang agraria.
Pasal 14.
Pasal ini mengatur soal perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan
bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang telah dikemukakan dalam penjelasan
umum (II angka 8). Mengingat akan corak perekonomian Negara dikemudian hari
dimana industri dan pertambangan akan mempunyai peranan yang penting, maka
disamping perencanaan untuk pertanian perlu diperhatikan, pula keperluan untuk
industri dan pertambangan (ayat 1 huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja
bermaksud menyediakan tanah untuk pertanian, peternakan, perikanan, industri
dan pertambangan, tetapi juga ditujukan untuk memajukannya. Pengesahan
peraturan Pemerintah Daerah harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang
dibuat oleh Pemerintah Pusat dan sesuai dengan kebijaksanaan Pusat.
Pasal 15.
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 4). Tanah wajib dipelihara
dengan baik, yaitu dipelihara menurut cara-cara yang lazim dikerjakan didaerah
yang bersangkutan, sesuai dengan petunjuk-petunjuk dari Jawatan-Jawatan yang
bersangkutan.
Pasal 16.
Pasal ini adalah pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 4. Sesuai dengan
azas yang diletakkan dalam pasal 5, bahwa hukum pertanahan yang Nasional
didasarkan atas hukum adat, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam
pasal ini didasarkan pula atas sistematik dari hukum adat. Dalam pada itu hak
guna-usaha dan hak-guna-bangunan diadakan untuk memenuhi keperluan
masyarakat modern dewasa ini. Perlu kiranya ditegaskan, bahwa hak-guna usaha
bukan hak erfpacht dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hak guna-
bangunan bukan hak opstal. Lembaga erfpacht dan opstal ditiadakan dengan
dicabutnya ketentuan-ketentuan dalam Buku ke II Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
Dalam pada itu hak-hak adat yang sifatnya bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan Undang-Undang ini (pasal 7 dan 10), tetapi berhubung dengan keadaan
masyarakat sekarang ini belum dapat dihapuskan diberi sifat sementara dan akan
diatur (ayat 1 huruf h yo pasal 53).
Pasal 17.
Ketentuan pasal ini merupakan pelaksanaan dari apa yang ditentukan dalam pasal
7. Penetapan batas luas maksimum akan dilakukan didalam waktu yang singkat
dengan peraturan perundangan. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari
batas maksimum itu tidak akan disita, tetapi akan diambil oleh Pemerintah dengan
ganti-kerugian. Tanah-tanah tersebut selanjutnya akan dibagi-bagikan kepada
rakyat yang membutuhkannya. Ganti kerugian kepada bekas pemilik tersebut
diatas pada azasnya harus dibayar oleh mereka yang memperoleh bagian tanah itu.
Tetapi oleh karena mereka itu umumnya tidak mampu untuk membayar harga
tanahnya didalam waktu yang singkat, maka oleh Pemerintah akan disediakan
kredit dan usaha-usaha lain supaya pra bekas pemilik tidak terlalu lama
menunggu uang ganti-kerugian yang dimaksudkan itu.
Ditetapkannya batas minimum tidaklah berarti bahwa orang-orang yang
mempunyai, tanah kurang dari itu akan dipaksa untuk melepaskan tanahnya.
Penetapan batas minimum itu pertama-tama dimaksudkan untuk mencegah
pemecah-belahan ("versplintering") tanah lebih lanjut. Disamping itu akan
diadakan usaha-usaha misalnya: transmigrasi, pembukaan tanah besar-besaran
diluar Jawa dan industrialisasi, supaya batas minimum tersebut dapat dicapai
secara berangsur-angsur.
Yang dimaksud dengan "keluarga" ialah suami, isteri serta anak-anaknya yang
belum kawin dan menjadi tanggungannya dan yang jumlahnya berkisar sekitar 7
orang. Baik laki-laki maupun wanita dapat menjadi kepala keluarga.
Pasal 18.
Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas tanah.
Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus
disertai pemberian ganti-kerugian yang layak.
Pasal 19.
Pendaftaran tanah ini akan diselenggarakan dengan cara yang sederhana dan
mudah dimengerti serta dijalankan oleh rakyat yang bersangkutan (Lihat
Penjelasan Umum IV).
Pasal 20.
Dalam pasal ini disebutkan sifat-sifat daripada hak milik yang membedakannya
dengan hak-hak lainnya. Hak milik adalah hak yang "terkuat dan terpenuh" yang
dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti, bahwa hak itu
merupakan hak yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu-gugat" sebagai
hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu. Sifat yang demikian akan
terang bertentangan dengan sifat hukum-adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak.
Kata-kata "terkuat dan terpenuh" itu bermaksud untuk membedakannya dengan
hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai dan lain-lainnya, yaitu untuk
menunjukkan, bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak
miliklah yang "ter" (artinya : paling)-kuat dan terpenuh.
Pasal 21.
Ayat 1 dan 2 sudah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 5).
Dalam ayat 3 hanya disebut 2 cara memperoleh hak milik karena lain-lain cara
dilarang oleh pasal 26 ayat 2. Adapun cara-cara yang diserbut dalam ayat ini
adalah cara-cara memperoleh hak tanpa melakukan suatu tindakan positip yang
sengaja ditujukan pada terjadinya peralihan hak itu.
Sudah selayaknyalah kiranya bahwa selama orang-orang warganegara
membiarkan diri disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan Negara lain, dalam hal pemilikan tanah ia dibedakan dri
warganegara Indonesia lainnya.
Pasal 22.
Sebagai misal dari cara terjadinya hak milik menurut hukum adat ialah
pembukaan tanah. Cara-cara itu akan diatur supaya tidak terjadi hal-hal yang
merugikan kepentingan umum dan Negara.
Pasal 23.
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (angka IV).
Pasal 24.
Sebagai pengecualian dari azas yang dimuat dalam pasal 10. Bentuk-bentuk
hubungan antara pemilik dan penggarap/pemakai itu ialah misalnya : sewa, bagi-
hasil, pakai atau hak guna-bangunan.
Pasal 25.
Tanah milik yang dibebani hak tanggungan ini tetap ditangan pemiliknya. Pemilik
tanah yang memerlukan uang dapat pula (untuk sementara) menggadaikan
tanahnya menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal 53. Didalam hal ini maka
tanahnya beralih pada pemegang gadai.
Pasal 26.
Ketentuan dalam ayat 1 sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 6)
dengan tujuan untuk melindungi fihak yang ekonomis lemah. Dalam Undang-
Undang Pokok ini perbedaannya tidak lagi diadakan antara warganegara asli dan
tidak asli, tetapi antara yang ekonomis kuat dan lemah. Fihak yang kuat itu bisa
warganegara yang asli maupun tidak asli. Sedang apa yang disebut dalam ayat 2
adalah akibat daripada ketentuan dalam pasal 21 mengenai siapa yang tidak dapat
memiliki.tanah.
Pasal 27.
Tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya.
Pasal 28.
Hak ini adalah hak yang khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya
sendiri guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan. Bedanya dengan
hak pakai ialah bahwa hak guna usaha ini hanya dapat diberikan untuk keperluan
diatas itu dan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar. Berlainan dengan
hak pakai maka hak guna-usaha dapat beralih dan dialihkan kepada fihak lain dan
dapat dibebani dengan hak tanggunan. Hak guna-usaha pun tidak dapat diberikan
kepada orang-orang asing, sedang kepada badan-badan hukum yang bermodal
asing hanya mungkin dengan pembatasan yang disebutkan dalam pasal 55.
Untuk mendorong supaya pemakaian dan pengusahaan tanahnya dilakukan
secara yang tidak baik, karena didalam hal yang demikian hak guna-usahanya
dapat dicabut (pasal 34).
Pasal 29.
Menurut sifat dan tujuannya hak guna-usaha adalah hak yang waktu berlakunya
terbatas. Jangka waktu 25 atau 35 tahun dengan kemungkinan memperpanjang
dengan 25 tahun dipandang sudah cukup lama untuk keperluan pengusahaan
tanaman-tanaman yang berumur panjang. Penetapan jangka-waktu 35 tahun
misalnya mengingat pada tanaman kelapasawit.
Pasal 30.
Hak guna-usaha tidak dapat dipunyai oleh orang asing. Badan hukum yang dapat
mempunyai hak itu, hanyalah badan-badan hukum yang bermodal nasional yang
progressip, baik asli maupun tidak asli. Bagi badan-badan hukum yang bermodal
asing hak guna-usaha hanya dibuka kemungkinannya untuk diberikan jika hal itu
diperlukan oleh Undang-undang yang mengatur pembangunan nasional semesta
berencana (pasal 55).
Pasal 31 s/d 34.
Tidak memerlukan penjelasan. Mengenai ketentuan dalam pasal 32 sudah
dijelaskan dalam Penjelasan Umum (angka IV).
Pasal 35.
Berlainan dengan hak guna-usaha maka hak guna-bangunan tidak mengenai tanah
pertanian. Oleh karena itu selain atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara
dapat pula diberikan atas tanah milik seseorang.
Pasal 36.
Penjelasannya sama dengan pasal 30.
Pasal 37 s/d 40.
Tidak memerlukan penjelasan. Mengenai apa yang ditentukan dalam pasal 38
sudah dijelaskan didalam Penjelasan Umum (angka IV).
Pasal 41 dan 42.
Hak pakai adalah suatu "kumpulan pengertian" dari pada hak-hak yang dikenal
dalam hukum pertanahan dengan berbagai nama, yang semuanya dengan sedikit
perbedaan berhubung dengan keadaan daerah sedaerah, pada pokoknya memberi
wewenang kepada yang mempunyai sebagai yang disebutkan dalam pasal ini.
Dalam rangka usaha penyederhanaan sebagai yang dikemukakan dalam
Penjelasan Umum, maka hak-hak tersebut dalam hukum agraria yang baru disebut
dengan satu nama saja.
Untuk gedung-gedung kedutaan Negara-negara Asing dapat diberikan pula hak
pakai, oleh karena hak ini dapat berlaku selama tanahnya dipergunakan untuk itu.
Orang-orang dan badan-badan hukum asing dapat diberi hak-pakai, karena hak ini
hanya memberi wewenang yang terbatas.
Pasal 43.
Tidak memerlukan penjelasan.
Pasal 44 dan 45.
Oleh karena hak sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat khusus
maka disebut tersendiri. Hak sewa hanya disediakan untuk bangunan-bangunan
berhubung dengan ketentuan pasal 10 ayat 1. Hak sewa tanah pertanian hanya
mempunyai sifat sementara (pasal 16 yo 53). Negara tidak dapat menyewakan
tanah, karena Negara bukan pemilik tanah.
Pasal 46.
Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan adalah hak-hak dalam
hukum adat yang menyangkut tanah. Hak-hak ini perlu diatur dengan Peraturan
Pemerintah demi kepentingan umum yang lebih luas daripada kepentingan orang
atau masyarakat hukum yang bersangkutan.
Pasal 47.
Hak guna-air dan hak pemeliharaan dan penangkapan ikan adalah mengenai air
yang tidak berada diatas tanah miliknya sendiri. Jika mengenai air yang berada
diatas tanah miliknya sendiri maka hal-hal itu sudah termasuk dalam isi daripada
hak milik atas tanah.
Hak guna-air ialah hak akan memperoleh air dari sungai, saluran atau mata air
yang berada diluar tanah miliknya sendiri maka hal-hal itu sudah termasuk dalam
isi daripada hak milik atas tanah.
Hak guna-air ialah hak akan memperoleh air dari sungai, saluran atau mata air
yang berada diluar tanah miliknya, misalnya untuk keperluan mengairi tanahnya,
rumah tangga dan lain sebagainya. Untuk itu maka sering kali air yang diperlukan
itu perlu dialirkan (didatangkan) melalui tanah orang lain dan air yang tidak
diperlukan seringkali perlu dialirkan pula (dibuang) melalui tanah orang yang lain
lagi. Orang-orang tersebut tidak boleh menghalang-halangi pemilik tanah itu
untuk mendatangkan dan membuang air tadi melalui tanahnya masing-masing.
Pasal 48.
Hak guna-ruang-angkasa diadakan mengingat kemajuan tehnik dewasa ini dan
kemungkinan-kemungkinannya dikemudian hari.
Pasal 49.
Untuk menghilangkan keragu-raguan dan kesangsian maka pasal ini memberi
ketegasan, bahwa soal-soal yang bersangkutan dengan peribadatan dan keperluan-
keperluan suci lainnya dalam hukum agraria yang baru akan mendapat perhatian
sebagaimana mestinya. Hubungan pula dengan ketentuan dalam pasal 5 dan pasal
14 ayat 1 hurub b.
Pasal 50 dan 51.
Sebagai konsekwensi, bahwa dalam undang-undang ini hanya dimuat pokok-
pokoknya saja dari hukum agraria yang baru.
Pasal 52.
Untuk menjamin pelaksanaan yang sebaik-baiknya daripada peraturan-peraturan
serta tindakan-tindakan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-undang Pokok
Agraria maka diperlukan adanya sangsi pidana sebagai yang ditentukan dalam
pasal ini.
Pasal 53.
Sudah dijelaskan dalam penjelasan pasal 16.
Pasal 54.
Pasal ini diadakan berhubung dengan ketentuan dalam pasal 21 dan 26. Seseorang
yang telah menyatakan menolak kewarganegaraan R.R.C. tetapi pada tanggal
mulai berlakunya undang-undang ini belum mendapat pengesahan akan terkena
oleh ketentuan konversi pasal I ayat 3, pasal II ayat 2 dan pasal VIII. Tetapi setelah
pengesahan penolakan itu diperolehnya maka baginya terbuka kemungkinan
untuk memperoleh hak atas tanah sebagai seorang yang berkewarganegaraan
Indonesia tunggal. Hal itu berlaku juga bagi orang-orang yang disebutkan didalam
pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1959, yaitu sebelumnya diperoleh
pengesahan dari instansi yang berwenang.
Pasal 55.
Sudah dijelaskan dalam penjelasan pasal 30.
Ayat 1 mengenai modal asing yang sekarang sudah ada, sedang ayat 2 menunjuk
pada modal asing baru. Sebagaimana telah ditegaskan dalam penjelasan pasal 30
pemberian hak baru menurut ayat 2 ini hanya dimungkinkan kalau hal itu
diperlukan oleh undang-undang pembangunan Nasional semesta berencana.
K e d u a : Hak-hak yang ada sekarang ini menurut ketentuan konversi ini
semuanya menjadi hak-hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria.
Hak guna-usaha dan hak guna-bangunan yang disebut dalam pasal I, II, III, IV dan
V berlangsung dengan syarat-syarat umum yang ditetapkan dalam Peraturan yang
dimaksud dalam pasal 50 ayat 2 dan syarat-syarat khusus yang bersangkutan
dengan keadaan tanahnya dan sebagai yang disebutkan dalam akta haknya yang
dikonversi itu, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturannya yang baru.
K e t i g a : Perubahan susunan pemerintahan desa perlu diadakan untuk menjamin
pelaksanaan yang sebaik-baiknya daripada perombakan hukum agraria menurut
Undang-undang ini. Pemerintah desa akan merupakan pelaksana yang
mempunyai peranan yang sangat penting.
K e e m p a t : Ketentuan ini bermaksud menghapuskan hak-hak yang masih
bersifat feodal dan tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
Termasuk Lembaran-Negara Nomor 104 tahun 1960.
PERATURAN PEMERINTAH NO. 67/1958
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NO. 62 TAHUN 1958
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa perlu diadakan aturan-a
turan pelaksanaan tentang kewarganegaraan
Republik Indonesia (Lembaran Negara 1958
No. 113, Penjelasan dalam Tambahan
Lembaran Negara No. 1647);
Mengingat : 1. Pasal 98 ayat (1
) Undang-undang Dasar Sementara RI.;
2. Pasal VII Peraturan Penutup
Undang-undang No. 62 tahun 1958 (Lembaran
Negara Tahun 1958 Nomor 113);
Mendengar : Dewan Menteri dalarn Si
dangnya pada tanggal 28 Nopernber 1958.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN
UNDANG-UNDANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA.
Pasal 1
(1) Apabila yang berkepentingan bertempat tingga
l di luar Negeri, ma
ka Pengadilan Negeri
Istimewa Jakarta berwenang:
a. untuk mengesahkan pengangkatan anak asi
ng, menurut pasal 2 Undang-undang No. 62
Tahun 1958;
b. untuk menetapkan apakah seorang warganeg
ara Republik Indonesia atau tidak, menurut
pasal IV Peraturan Penutup Undang-unda
ng tersebut huruf a di atas ini.
2) Pengesahan dan penetapan ini dilakukan atas ba
han-bahan dan pertimbang
an yang telah diterima
dari Perwakilan Republik
Indonesia yang bersangkutan.
Pasal 2
Perwakilan-perwakilan Republik Indonesia menerima
permintaan yang dimaksud dalam pasal 2 dan
IV Peraturan Penutup Undang-undang tenta
ng Kewarganegaraan Republik Indonesia dan
meneruskannya kepada Pengadilan Negeri Istimew
a Jakarta, disertai
pertimbangannya serta
surat-surat pembuktian yang perlu, apabila yang be
rkepentingan bertempat ti
nggal di luar negeri.
Pasal 3
1) Ongkos Pengadilan berdasar pasal 2 da
n IV Peraturan Penut
up Undang-undang tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia adalah Rp. 1.500,-
2) Apabila yang berkentingan bertempat ting-al di
luar Negeri, maka ongkos pengadilan tersebut
ayat (1) bagi Pengadilan Negeri Istimewa Ja
karta diterimakan kepada
Perwakilan Republik
Indonesia tersebut pada pasa
l 2 untuk selanjutnya diperta
ngungjawabkan pada Menteri
Kehakiman.
3) Pengadilan Negeri da
n Pengadilan Negeri Istimewa Jakart
a membuat suatu buku catatan yang
memuat pengesahan dan penetapan itu, menurut
lampiran Peraturan pernerintah ini, huruf:
A. apabila mengenai pasal 1 ayat (1) huruf a.
B. apabila mengenai pasal 1 ayat (1) huruf b,
Peraturan Pemerintah ini.
(4) Salinan pernyataan sah dan sa
linan penetapan yang dimaksud dala
m pasal 1 ayat (1) huruf a dan
b Peraturan Pemerintah ini diki
rim kepada Menteri Kehakiman.
Pasal 4
Dalam hal yang tersebut dalam
pasal 2 Peraturan Pemerintah ini,
maka ongkos administrasi bagi
Pengadilan Negeri, Perwakilan Republik Indonesia se
rta Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta adalah
Rp. 1.000,-, dengan ketentuan bahw
a ongkos bagi Pengadilan Negeri
Istimewa Jakarta diterimakan
kepada Perwakilan Republik Indone
sia yang bersangkutan untuk sela
njutnya diteruskan kepada
Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta itu.
Pasal 5
(1) Ongkos Administrasi:
a. bagi Pengadilan Negeri dalam melaksanakan
apa yang tercantum dalam pasal-pasal 3, 4, 5
dan V Peraturan Peralihan U
ndang-undang tentang Kewarganeg
araan Republik Indonesia,
b. bagi Perwakilan Republ
ik Indonesia dalam melaksanakan apa yang tercantum dalam
pasal-pasal 3, dan 5 Undang-
undang tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia adalah
Rp. 1.000.-.
(2) Pengadilan Negeri dan Pe
rwakilan Republik Indonesia membuat buku catatan dalam
penyelenggaraan pasal-pasal terse
but dalam ayat (1) pasal ini,
sebagaimana ditentukan dalam
lampiran Peraturan Pemerintah ini
huruf C dan D, menurut keperluannya.
Pasal 6
Menteri Kehakiman berwenang me
nerima usul-usul untuk memperol
eh Kewarganegarawn Republik
Indonesia berdasar pasal 6 Undang-undang tent
ang Kewarganegaraan Republik Indonesia untuk
penyelesaian selanjutnva.
Pasal 7
Menteri Penahanan atau pejabat
yang ditunjuk olehnya mengirim salin
an peryataan keterangan yang
dimaksud dalam pasal VI Peratu
tan Peralihan Undang-undang tent
ang Kewarganegaraan Republik
Indonesia kepada Me
nteri Kehakiman.
Pasal 8
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah
ini dengan penempatan dalam Lembar
an Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 1958
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
(SOEKARNO)
MENTERI KEHAKIMAN,
ttd
(G.A. MAENGKOM)
MENTERI LUAR NEGERI
ttd
(SOEBANDRIO)
MENTERI PERTAHANAN.,
ttd
(DJUANDA)
Diundangkan
pada tanggal 29 Desember 1958
MENTERI KEHAKIMAN
ttd
(G.A. MAENGKOM)
LEMBARAN NEGARA NOMOR 47 TAHUN 1958
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH NO. 67 TAHUN 1958
TENTANG
PELAKSANAAN UNTDANG-UN
DANG NO. 62 TAHUN 1958
TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
1. UMUM
Dalam melaksanakan Undang-undang No.
62 tahun 1958 (Lembaran negara No. ii3,
Tambahan Lembaran Negara No. 1647) tentang
Kewarganegaraan Republik
Indonesia terdapat
soal-soal yang harus ditentukan dengan Peraturan Pe
merintah dan soal-soal yang dapat diatur dengan
Instruksi dari Menteri yang
bersangkutan, c.q. Menteri Keha
kiman. Menteri Luar Negeri,
MenteriPertahanan dan Menteri Keuangan.
Soal-soal yang pelaksanaannya dapat diatur de
ngan instruksi itu da
n termasuk kekuasaan
Menteri Kehakiman adalah pada hakekatnva menge
nai ara memperoleh/melepaskan kewarganegaraan
Republik Indonesia dengan
Pernyataan keterangan
untuk itu; bagi Menter
i Luar Negeri ialah
soal-soal yang hubungan dengan Perwakilan Republik I
ndonesia; bagi Menteri Pertahanan, terutama
yang mengenai pasal VI Peratura
n Peralihan Undang-undang No. 62
tahun 1958 itu; bagi Menteri
Keuangan, ialah terutama hubungan dengan pasal
5 Undang-undang, tersebut huruf f, yang
menentukan suatu jumlah uang yang harus dibayar
oleh seorang yang mengajukan permohonan untuk
memperoleh kewarganegar
aan Republik Indonesia.
Yang pelaksanaannya harus diatur dengan
Peraturan Pemerintah, ialah mengenai:
A. Pasal 2 dan IV Peraturan Penutup Undang-unda
ng tersebut, oleh karena memerlukan suatu
ketentuan yang memberi kesempatan untuk memp
ergunakan pasal-pasal te
rsebut juga kepada
mereka yang bertempat ti
nggal di luar negeri.
Untuk itu perlu ditunjuk suatu Pe
ngadilan Negeri yang tertentu
di Indonesia yang berwenang.
Dalam hal ini, maka Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta
dipandang pada tempatnya diberi
wewenang itu, sedang Perwakilan
Republik Indonesia tempat tinggal
yang berkepentingan
diwajibkan meneruskan permintaan-permintaan le
ngkap dengan surat-surat pembuktian serta
pertimbangannya kepada Pengadilan
Negeri Istimewa Jakarta itu.
Selain dari itu perlu diadakan ketentuan-
ketentuan tentang ongkos
pengadilan dan ongkos
administrasi.
Selanjutnya perlu juga
ditentukan kewajiban
Pengadilan Negeri/Penga
dilan Negeri Istimewa
Jakarta untuk menyampaikan salinan pernyataan
sah/penetapan kepada Menteri Kehakiman.
B. Pasal 6, yang memerlukan penunjukkan Menter
i Kehakiman sebagai in
stansi yang berwenang
untuk menerima usul-usul atau saran-saran
untuk memperoleh kewarganegaraan Republik
Indonesia berdasarkan pasal itu dan menerusk
annya kepada Dewan Menteri untuk mendapat
persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
C. Pasal VI Peraturan Peralihan, yang memerlukan ke
tentuan bagi Menteri Pe
rtahanan atau pejabat
yang ditunjuk olehnya untuk mengi
rim salinan dan pernyataan
yang dimaksud dalam pasal
tersebut kepada Me
nteri Kehakiman.
D. Pasal 3, 4, 5 dan V Peraturan Peralihan, unt
uk menentukan ongkos administrasi bagi Pengadlian
Negeri dan Perwakilan Republik In
donesia, yang diwajihkan meneruskan
permohonan-permohonan yang dimaksud dalam pa
sal-pasal itu kepada Menteri Kehakiman.
II. Pasal demi pasal
Pasal 1
Yang berwenang dalam hal pengesahan pe
ngangkatan anak asing menurut pasal 2
Undang-undang No. 62 tahun 1958, maupun dalam
hal pembuktian kewarganegaraan Republik
Indonesia atau tidak, menurut pasal IV Peratura
n Penutup Undang-undang tersebut, adalah Pengadilan
negeri tempat tinggal yang berk
epentingan. Dalam kedua hal ini maka apa yang ditentukan
oleh
Pengadilan Negeri mer
upakan suatu keputusan.
Maka oleh karena itu bagi
mereka yang bertempat tinggal
di luar Negeri dan hendak
mempergunakan pasal-pasal tersebut perlu ditunjuk
suatu pengadilan yang berwenang, di Indonesia.
Dalam hal ini pada tempatnya apabila Pengadilan Ne
geri Istimewa Jakarta
ditunjuk dalam Peraturan
Pemerintah ini karena kedudukannya ada di l
bu Kota Republik Indonesi
a, sehingga memudahkan
hubungan dengan instansi-ins
tansi Pemerintah atau Perwakilan-
perwakilan Negara Asing, yang
mempunvai kepentingan dalam soal ini.
Pasal 2
Perwakilan-perwakilan Republik Indonesia bers
ifat tidak hanya sebagai instansi yang
menerima dan meneruskan permohonan-permohonan itu
, melainkan juga sebagai instansi yang
memeriksa lebih dahulu dan meneruskan pertimba
ngan lengkap dengan surat-surat pembuktian yang
diperlukan kepada Pengadilan
Negeri Istimewa Jakarta.
Untuk itu diperlukan juga
adanya suatu ketentuan.
Dalam hal ini perlu pula diterangkan bahwa
Pasal IV Peraturan penutup Undang-undang
tersebut hanya dapat dipergunakan bilamana pe
mbuktian yang dimaksud dipe
rlukan, hal mana harus
dibuktikan dengan adanya pernyataan suatu instan
si/jawatan yang meragukan status orang yang
berkepentingan.
Pasal 3
Ongkos pengadilan sejumlah Rp. 1.500,- dipanda
ng layak. Begitu juga
ongkos administrasi
bagi Perwakilan Republik Indone
sia sejumlah Rp. 1.000,- (pasal 1). Perlu dijelaskan bahwa
penerimaan ongkos pengadilan unt
uk Pengadilan Negeri maupun Pengadi
lan Negeri Istimewa Jakarta
adalah penerimaan guna mata pembukuan 7.2.1.3., ha
l mana akan ditentukan dalam peraturan Menteri
Kehakiman tersendiri.
Selanjutnva dalam ayat (3) pasal ini ditentuka
n suatu buku catatan, agar supaya tercapailah
keseragarnan.
Ayat (4), yang mengharuskan
pengiriman salinan pengesahan da
n ketetapan dari Pengadilan
Negeri/Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta,
dipandang perlu berhubung de
ngan adanya kewaj1ban
Menteri Kehakiman untuk mengumumkan nama-nama
orang yang memperoleh kewarganegaraan
Republik Indonesia
sebagaimana ditentukan
dalam pasal VI Peratura
n Penutup Undang-undang No.
62 tahun 1958.
Adapun keharusan untuk mengiri
mkan salinan ketetapan ya
ng dimaksud dalam pasal IV
Peraturan Penutup Undang-undang
itu, perlu untuk pengawasan oleh dan dokumentasi pada
Kementerian Kehakiman.
Pasal 4
Telah dijelaskan dalam penj
elasan mengenai pasal 3.
Pasal 5
Sesuai dengan ongkos admini
strasi bagi Perwakilan Repub
lik Indonesia dalam pasal 4
Peraturan Pemerintah ini, maka ongkos administrasi
dalam hal menerima permohonan berdasar pasal
3, 4, 5 dan Peraturan Peralihan Undang-undang
No. 62 tahun 1958; ditentukan sejumlah Rp. 1.000,-
Ayat (2) pasal ini mempunyai tujuan mencap
ai keseragaman dalam membuat buku catatan.
Contoh buku catatan huruf C mengenai pasal 3,
4 dan V Peraturan Peralihan Undang-undang
No. 62 tahun 1958.
Dalam hubungan ini perlu kira
nya dipertegas bahwa pasal
V Peraturan Peralihan ini
merupakan perlunakan darl pada pa
sal 4, tanpa mengabaikan prinsi
p-prinsip baik yang, terkandung
dalam pasal 4 itu, maupun dalam Undang-undang ters
ebut pada umumnya; perlunakan itu terutama
dianggap sewajarnya di dalam ha
l syarat keturunan derajat kedu
a (cucu) dalam pasal 4 yang
diringankan dengan syarat keturuna
n derajat pertama (anak) dari
seseorang ayah/ibu yang telah
menolakkan kewarganegaraan Republ
ik Indonesia bagi anaknya.
Maka oleh karena itu yang dapat memper
gunakan kesempatan menga
jukan permohonan untuk
memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia be
rdasar Pasal V Peraturan Peralihan itu ialah
hanya mereka:
I. Yang orang tuanya tela
h menolakkan kewarganegaraa
n Republik Indonesia baginya,
disebabkan anak itu pada tanggal 27-12-1949 be
lum berumur 18 tahun; atau dengan perkataan
lain anak-anak yang dilahirkan pa
da tanggal 17-12-1931 atau sesudahnya.
Dengan demikian
maka mereka ini harus sudah berusia tidak
lebih dari 27 tahun dan 4 bulan pada tanggal
1-8-1959 atau 26 tahun dan 4 bul
an pada tanggal 1-8-1958.
"Usia di bawah 28 tahun" yang tercantum dalam pa
sal V Peraturan Peralihan harus ditafsirkan
sebagaimana diterangkan di atas ini.
II. Yang diantara 1-8-1958 (mulai berlaku
Undang-undang No. 62 tahun 1958) dan 1-8-1959
(waktu akhirnya kesempatan ini) mencapai us
ia 18 tahun, atau dengan lain perkataan mereka
yang dilahirkan sebelumnya 1-8-1941. Usia ini
perlu ditegaskan oleh karena baru dengan
tercapainya usia tersebut menurut princi
pe yang terkandung dalam Undang-undang No. 62
tahun 1958 itu seseorang dia
nggap mempunyai kesadaran cukup
untuk menentukan sikapnva
dalam soal kewarganegaraan.
III. Yang bertempat tinggal di dalam wilayah
Republik Indonesia pa
da waktu mengajukan
permohonan.
Contoh catatan buku D mengenai pewarganeg
araan (naturalisasi) menurut pasal 5
Undang-undang No. 62 tahun 1958 ti
dak memerlukan penjelasan.
Pasal
Pasal ini perlu diadakan untuk
menentukan instansi mana
dalam pelaksanaan pasal 6
Undang-undang No. 62 tahun 1958 ditugaskan menyele
saikan setiap kali akan memberikan
kewarganegaraan Republik Indonesia dengan alasan ke
pentingan Negara atau be
rjasa terhadap Negara
kepada seorang yang tentunya harus diselidiki seca
ra teliti sebelum diajuka
n kepada Dewan Menteri
dan selanjutnya kepada
Dewan Perwakilan Rakyat untuk diputuskan.
Pasal 7
Kewajiban yang diberikan
kepada Menteri Pertahanan atau
pejabat yang ditunjuk olehnya, untuk
mengirim salinan pernyataan yang dimaksud dalam
pasal VI. Peraturan Peralihan Undang-undang No.
62 tahun 1958, ialah untuk mencukupi
pasal V dan VI Peraturan
Penutup Undang-undang tersebut.
Pasal 8
Tldak memerlukan penjelasan.

You might also like