You are on page 1of 26

LAPORAN PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN

Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang

paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi olek tulang

tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna

sebagai pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak,

menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna.. Ketika

seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk

suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau

robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh

darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara
dura dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan epidural

hematom.

Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat emergency

dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang

lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom

berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan.

Arterial hematom terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di bawah

tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi

perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.

B. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan

hematoma epidural dan sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara Internasional

frekuensi kejadian hematoma epidural hampir sama dengan angka kejadian di

Amerika Serikat.Orang yang beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang

memiliki masalah berjalan dan sering jatuh.

60 % penderita hematoma epidural adalah berusia dibawah 20 tahun, dan

jarang terjadi pada umur kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka

kematian meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari
55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dengan

perbandingan 4:1.

Tipe- tipe :

1. Epidural hematoma akut (58%) perdarahan dari arteri

2. Subacute hematoma ( 31 % )

3. Cronic hematoma ( 11%) perdarahan dari vena

C. ETIOLOGI

Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja, beberapa
keadaan yang bisa menyebabkan epidural hematom adalah misalnya benturan

pada kepala pada kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi akibat trauma

kepala, yang biasanya berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi

pembuluh darah.

D. ANATOMI OTAK

Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang

membungkusnya, tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita
seperti adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan.

Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat di perbaiki lagi. Cedera kepala dapat

mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan

akibat langsung dari cedera kepala. Efek-efek ini harus dihindari dan di temukan

secepatnya dari tim medis untuk menghindari rangkaian kejadian yang

menimbulkan gangguan mental dan fisik dan bahkan kematian.

Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa,

padat dapat di gerakkan dengan bebas, yang memebantu menyerap kekuatan

trauma eksternal. Di antar kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan

membrane dalam yang mngandung pembuluh-pembuluih besar. Bila robek

pembuluh ini sukar mengadakan vasokontriksi dan dapat menyebabkan

kehilangan darah yang berarti pada penderita dengan laserasi pada kulit kepala.

Tepat di bawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena

emisaria dan diploika. Pembuluh-pembuluh ini dapat emmbawa infeksi dari kulit

kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan betapa

pentingnya pembersihan dan debridement kulit kepala yang seksama bila galea

terkoyak.

Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak

memungkinkan perluasan intracranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding

atau tabula yang di pisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar di sebit tabula
eksterna, dan dinding bagian dalam di sebut tabula interna. Struktur demikian

memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi yang lebih besar, dengan bobot yang

lebih ringan . tabula interna mengandung alur-alur yang berisiskan arteria

meningea anterior, media, dan p0osterior. Apabila fraktur tulang tengkorak

menyebabkan tekopyaknya salah satu dari artery-artery ini, perdarahan arterial

yang di akibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat manimbulkan

akibat yang fatal kecuali bila di temukan dan diobati dengan segera.

Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan

meninges adalah dura mater, arachnoid, dan pia mater

1. Dura mater cranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri atas dua

lapisan:

Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk oleh periosteum

yang membungkus dalam calvaria

Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang

kuat yang berlanjut terus di foramen mgnum dengan dura mater

spinalis yang membungkus medulla spinalis

2. Arachnoidea mater cranialis, lapisan antara yang menyerupai sarang laba-laba

3. Pia mater cranialis, lapis terdalam yang halus yang mengandung banyak

pembuluh darah.
E. PATOFISIOLOGI

Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan

dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu

cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur

tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah

frontal atau oksipital.

Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen

spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale.

Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma

akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom

bertambah besar.

Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan

pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan

bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan

ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim

medis.

Tekanan dari herniasi unkus pda sirkulasi arteria yang mengurus

formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di

tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada
saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada

lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan

kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan

tanda babinski positif.

Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan

terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar.

Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan

deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.

Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus

keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur

mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu

beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat,

kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran

ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut interval lucid.

Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural

hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hamper selalu berat

atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval

karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase

sadar.

Sumber perdarahan :
Artery meningea ( lucid interval : 2 3 jam )

Sinus duramatis

Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi arteri diploica dan

vena diploica

Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah

saraf karena progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada

sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah

herniasi trans dan infra tentorial.Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala

yang mengeluh nyeri kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat,

harus segera di rawat dan diperiksa dengan teliti.

F. GAMBARAN KLINIS

Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif.

Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di

belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau

telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti.

Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat

dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera

kepala.

Gejala yang sering tampak :


Penurunan kesadaran, bisa sampai koma

Bingung

Penglihatan kabur

Susah bicara

Nyeri kepala yang hebat

Keluar cairan darah dari hidung atau telinga

Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.

Mual

Pusing

Berkeringat

Pucat

Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai

hemiparese atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan

mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi

negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan

tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma

dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil

tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-

gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi

rostrocaudal batang otak.


Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak,

interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi

kabur.

G. GAMBARAN RADIOLOGI

Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala

lebih mudah dikenali.

Foto Polos Kepala

Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai

epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi

yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang

memotong sulcus arteria meningea media.

Computed Tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan

potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja

(single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks,

paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen

(hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula


garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang

akut ( 60 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser

posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga

dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu

jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

H. DIAGNOSIS BANDING

1. Hematoma subdural

Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara dura mater dan

arachnoid. Secara klinis hematoma subdural akut sukar dibedakan dengan

hematoma epidural yang berkembang lambat. Bisa di sebabkan oleh trauma

hebat pada kepala yang menyebabkan bergesernya seluruh parenkim otak

mengenai tulang sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya di sertai dengan

perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan hematoma subdural, tampak

penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk bulan sabit.


2. Hematoma Subarachnoid

Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah

di dalamnya.

I. PENATALAKSANAAN

Penanganan darurat :

Dekompresi dengan trepanasi sederhana

Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom

Terapi medikamentosa

Elevasi kepala 300 dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera

spinal atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurang tekanan

intracranial dan meningkakan drainase vena.

Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah golongan

dexametason (dengan dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam),

mannitol 20% (dosis 1-3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema

cerebri yang terjadi akan tetapi hal ini masih kontroversi dalam memilih mana

yang terbaik. Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin

sedini mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic

dan untuk penggunaan jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin.


Tri-hidroksimetil-amino-metana (THAM) merupakan suatu buffer yang dapat

masuk ke susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih superior dari natrium

bikarbonat, dalam hal ini untuk mengurangi tekanan intracranial. Barbiturat dapat

dipakai unuk mengatasi tekanan inrakranial yang meninggi dan mempunyai efek

protektif terhadap otak dari anoksia dan iskemik dosis yang biasa diterapkan

adalah diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan

dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drip 1 mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar

serum 3-4mg%.

Terapi Operatif

Operasi di lakukan bila terdapat :

Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)

Keadaan pasien memburuk

Pendorongan garis tengah > 3 mm

Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk

fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi

operasi emergenci. Biasanya keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak

ruang.

Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
> 25 cc desak ruang supra tentorial

> 10 cc desak ruang infratentorial

> 5 cc desak ruang thalamus

Sedangakan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :

Penurunan klinis

Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan

penurunan klinis yang progresif.

Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan

penurunan klinis yang progresif.

J. PROGNOSIS

Prognosis tergantung pada :

Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )

Besarnya

Kesadaran saat masuk kamar operasi.

Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena

kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara
7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien

yang mengalami koma sebelum operasi.

K. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,

Menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.

2. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti

pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.

3. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur

garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.

4. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi)

jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.

5. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat

peningkatan tekanan intrakranial.


KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Breathing

Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,

sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun

iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi,

stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi ), cenderung terjadi

peningkatan produksi sputum pada jalan napas.

2. Blood

Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.

Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan

parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi

lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan

frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,

disritmia).

3. Brain

Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya

gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara,

amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran,


baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak

akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :

1) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,

pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).

2) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan

sebagian lapang pandang, foto fobia.

3) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.

Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.

4) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus

menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.

Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu

sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.

4. Blader

Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,

ketidakmampuan menahan miksi.

5. Bowel

Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah

(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan

menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.

6. Bone

Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada

kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula
terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang

terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan

refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.

B. DIAGNOSA, INTERVENSI DAN RASIONAL.

1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran

darah (hemoragi, hematoma), edema cerebral, penurunan TD

sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)

Tujuan: Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan

fungsi motorik/sensorik.

Kriteria hasil: Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK.

INTERVENSI RASIONAL

a) Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai

standar GCS.

R/Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan

bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan

kerusakan SSP.

b) Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi

terhadap cahaya.

R/Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III) berguna untuk

menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan

oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis.


c) Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.

R/Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan TD diastolik

(nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika

diikuti oleh penurunan kesadaran. Demam dapat mencerminkan kerusakan

pada hipotalamus.

d) Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.

R/Sebagai indikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan

perfusi jaringan. Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes

insipidus.

e) Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan

yang tenang.

R/Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan

meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK.

f) Bantu pasien untuk menghindari / membatasi batuk, muntah, mengejan.

Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat

ditoleransi.

R/Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak dan intraabdomen

yang dapat meningkatkan TIK.

g) Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.

R/Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan edema serebral,

meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK.


h) Berikan obat sesuai indikasi.

R/Diuretik pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, edema otak

dan TIK. Steroid menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan

edema jaringan. Antikonvulsan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya

aktifitas kejang. Analgesik untuk menghilangkan nyeri . Sedatif digunakan

untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi. Antipiretik menurunkan atau

mengendalikan demam yang mempunyai pengaruh meningkatkan

metabolisme serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.

2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan

neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak).

Tujuan: mempertahankan pola pernapasan efektif.

Kriteria evaluasi: bebas sianosis, GDA dalam batas normal

INTERVENSI RASIONAL

a) Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan

pernapasan.

R/Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi

mekanis.

b) Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien

untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.

R/Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk

pemeliharaan jalan napas. Kehilangan refleks menelan atau batuk

menandakan perlunaya jalan napas buatan atau intubasi.


c) Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi.

R/Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan

adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.

d) Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien

sadar.

R/Mencegah/menurunkan atelektasis.

e) Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15

detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.

R/Penghisapan biasanya jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi

dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri.

f) Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara

tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.

R/Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis,

kongesti, atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi

cerebral dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru.

g) Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri dan Lakukan ronsen thoraks

ulang

R/Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan

kebutuhan akan terapi.

h) Berikan oksigen.

R/Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam

pencegahan hipoksia.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit

rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh.

Tujuan: Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.

Kriteria evaluasi: Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.

INTERVENSI RASIONAL :

a) Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan

yang baik.

R/Pencegahan infeksi nosokomial harus tetap diterapkan.

b) Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang

alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.

R/Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan

tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.

c) Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil,

diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).

R/Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya

memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera

d) Ajarkan melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara

terus menerus. Observasi karakteristik sputum.

R/Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru menurunkan

resiko terjadinya pneumonia, atelektasis.

e) Berikan antibiotik sesuai indikasi Cara pertama untuk menghindari

terjadinya infeksi nosokomial.


R/Terapi profilatik digunakan pada pasien yang mengalami trauma,

kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan

resiko terjadinya infeksi nosokomial

DAFTAR PUSTAKA

Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4,

Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016

Anonym,Epiduralhematoma,www.braininjury.com/epidural-subdural-

hematoma.html.

Mc.Donald D., Epidural Hematoma, www.emedicine.com


LAPORAN PENDAHULUAN EPIDURAL HEMATOM
DI RUANG BEDAH SARAF RSUP DR.WAHIDIN
SUDIROHUSODO MAKASSAR

DINA MARSI S.Kep


NS.1107033

CI LAHAN CI INSTITUSI
( ) ( )

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) TANA
TORAJA
2012

You might also like