Professional Documents
Culture Documents
TIM REVISI
PPKPT
UNIVERSITAS INDONESIA
2017
PENGANTAR
Buku yang berjudul Buku Ajar MPKT A ini merupakan penyempurnaan dari Buku Ajar
1 MPKT A, Buku Ajar II MPKT A, dan Buku Ajar III MPKT A yang terbit pada tahun 2016.
Tujuan penyempurnaan adalah agar buku menjadi terintegrasi, baik dari segi substansi maupun
teknis. Berbeda dengan tiga buku ajar MPKT A (2016) yang terkesan terlepas satu lain, buku ini
berusaha menyatukannya. Oleh karena itu, judulnya pun baru, yaitu BUKU AJAR MPKT A. Di
dalam buku ini, substansi integrasi muncul dalam academic skill, social skill, perspektif sosial
budaya, kebangsaan, kewarganegaraan, dan Pancasila.
BUKU AJAR MPKT A terdiri atas tiga bagian. Bagian I: Jati Diriku sebagai Cendekia:
Karakter, Filsafat, Logika, Etika direvisi oleh Dr. Irmayanti Meliono. M.Si. dan Dr. Fristian
Hadinata. Bagian II: Jati Diriku sebagai Individu dan Bagian dari Masyarakat direvisi oleh
Prof. Bambang Shergi Laksmomo, Ade Solihat, M.A., dan Pribadi Setiyanto, S.E, M.A. Bagian
III: Jati Diriku sebagai Warga Negara Indonesia yang Setia pada Pancasila direvisi oleh Dr. R.
Ismala Dewi dan Eko Handayani, M.Psi.
Kata Jati Diriku sengaja ditampilkan agar sasaran buku ajar ini terarah pada mahasiswa
peserta MPKT A agar mereka memiliki karakter, penalaran logis, kemampuan berpikir kritis,
dan memiliki perilaku etis. Nantinya, nilai-nilai ini akan menjadi modal seorang lulusan UI
untuk menjadi ilmuwan atau cendekiawan (materi Bagian I). Selain itu, mahasiswa harus
memiliki kecerdasan, berkepribadian santun, dan berkebudayaan tinggi melalui enkulturasi,
akulturasi, asimilasi (materi Bagian II). Bagian III, mengarahkan mahasiswa agar paham akan
pentingnya memiliki jati diri kebangsaan, memahami nilai-nilai Pancasila dan hak konstitusional
warga negara, serta mampu berhadapan dengan segala tantangan dalam kancah globalisasi
(materi Bagian III). Dengan demikian, ketiga bagian buku ini merupakan kesatuan yang holistik
dan bersifat ulang alik. Artinya, Bagian I memberi dasar pada Bagian II dan Bagian III, begitu
sebaliknya.
Proses revisi BUKU AJAR MPKT A dirasakan begitu cepat bagi Tim Revisi, namun
tulisan yang telah ada pada BUKU AJAR I, II, III MPKT A (2016) cukup membantu
kelancarannya. Untuk itu, Tim Revisi mengucapkan terima kasih atas kontribusi semua penulis
BUKU AJAR MPKT A (2016), yaitu Dr. Bagus Takwin, Dra. Wuri Prasetyawati, M.Psi., Dr.
Saraswati Putri, Miranda Diponegoro, M.Psi., Jossy Prananta Moeis, Ph.D., Eko Aditiya
Meinarno, S.Psi., M.Si., Agnes Sri Poerbasari, M.Si., dan Drs. Slamet Soemiarno, M.Si.
Terima kasih yang sama kami sampaikan kepada pihak Universitas Indonesia, khususnya
Prof. Dr. Harinaldi, M.Eng, Direktur Pendidikan dengan Ka. Subdirektorat PMU, Dr.
Luthfiralda Sjahfirdi, M.Biomed. yang telah memberikan dukungan dan fasilitas sehingga Buku
Ajar MPKT A berwajah baru ini dapat terbit. Terima kasih pula kepada Prof. Dr. Bambang
Shergi Laksmono, M.Sc. untuk desain cover yang merupakan hasil lukisan Beliau. Kepada
berbagai pihak yang telah membantu proses penulisan buku ini hingga selesai, kami ucapkan
terima kasih atas kerja sama selama ini. Semoga Buku Ajar MPKT A dapat bermanfaat bagi
seluruh mahasiswa program sarjana di Universitas Indonesia.
Tiada gading yang tak retak. Demikian pula dengan BUKU AJAR MPKT A 2017. Buku
ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, saran dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan.
ii
DAFTAR ISI
PENGANTAR ......................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ iii
iii
iv
vi
BAGIAN I
Bagian I Buku Ajar MPKT A berisi penjelasan mengenai Karakter, Filsafat, Logika, dan Etika.
Karakter terkait dengan kehidupan seseorang, karena setiap orang memiliki watak, sifat, tabiat,
atau akhlak yang berbeda dengan orang lain. Oleh karena itu, dalam pendidikan tinggi,
mahasiswa sebagai salah satu pelakunya mendapat bekal atau pengetahuan mengenai kekuatan
karakter yang terkait dengan ilmu Filsafat, Logika, dan Etika. Filsafat mengarahkan mahasiswa
dapat berpikir kritis, sistematis, dan integral (mendalam). Belajar Logika akan membawa
mahasiswa mampu berpikir logis, tepat, benar dan mampu mengungkapkannya dalam bentuk
tulisan dan ujaran. Di lain pihak, Etika mengajak mahasiswa untuk belajar mengenai prinsip
yang baik (prinsip kebaikan), nilainilai kemanusiaan, seperti tanggung jawab, kebebasan,
kebersamaan dan sebagainya, sejalan dengan norma yang melingkupinya. Dengan demikian,
Filsafat, Logika, dan Etika menjadi semacam paket yang melengkapi/menambah isi karakter
mahasiswa agar berwawasan luas, kritis, logis, beretika, dan memiliki nilai kemanusiaan ketika
ia memasuki dunia ilmu pengetahuan di tengah arus globalisasi yang kompleks.
BAB 1
MEMBANGUN KARAKTER1
Tulisan pada Bab I Pembangunan Karakter bersumber pada tulisan Dr. Bagus Takwin dan Dra.Wuri Prasetyawati
1
prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli
lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab.
1.3.3 Kesatriaan
Keutamaan Kesatriaan (courage) merupakan kekuatan emosional yang melibatkan kemauan kuat
untuk mencapai suatu tujuan meskipun mendapat halangan atau tentangan secara eksternal
maupun internal. Keutamaan ini mencakup empat kekuatan, yaitu kekuatan untuk menyatakan
kebenaran dan mengakui kesalahan, ketabahan atau kegigihan, tegas, dan keras hati, integritas,
kejujuran, dan penampilan diri dengan wajar, serta vitalitas, semangat, dan antusias.
a. Kekuatan Keberanian mencakup kekuatan emosional yang melibatkan pelaksanaan kehendak
untuk mencapai tujuan dalam menghadapi oposisi eksternal dan internal. Kekuatan ini
membuat orang tahan menghadapi ancaman dan tantangan. Orang dengan kekuatan ini
kehendaknya tidak mundur ketika berhadapan dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi,
seperti rasa sakit atau keletihan. Kekuatan ini mendorong seseorang untuk mampu bertindak
atas keyakinan meskipun tidak populer.
b. Ketabahan atau kegigihan mencakup ketekunan dan kerajinan adalah kekuatan yang
memampukan orang untuk menyelesaikan apa sudah dimulai dan bertahan dalam suatu
rangkaian pencapaian tindakan meskipun ada hambatan. Orang dengan kekuatan ini mampu
menyesuaikan kata-kata dan perbuatan, serta berpegang pada prinsip dalam berbagai situasi,
bahkan situasi yang menghambat dan mengancam.
c. Integritas yang mencakup otentisitas (keaslian), kejujuran, dan penampilan diri yang wajar
adalah kekuatan yang membuat orang mampu menampilkan diri secara tulus. Orang dengan
kekuatan ini mengambil tanggung jawab atas perasaan dan tindakannya. Ia mau bertanggung
jawab untuk semua perbuatannya dan menjalankan tugas-tugas secara jujur.
d. Vitalitas yang mencakup semangat, antusiasme, dan penuh energi adalah kekuatan yang
membuat orang dapat menjalani kehidupan penuh dengan kegembiraan, semangat, dan
berenergi. Orang dengan kekuatan ini merasa hidup, aktif, dan penuh daya juang.
1.3.4 Keadilan
Keutamaan keadilan (justice) mendasari kehidupan yang sehat dalam suatu masyarakat. Ada tiga
kekuatan yang tercakup di sini. Pertama, kewarganegaraan atau kemampuan mengemban tugas,
dedikasi, dan kesetiaan demi keberhasilan bersama. Kedua, kesetaraan (equity dan fairness)
perlakuan terhadap orang lain atau tidak membeda-bedakan perlakuan yang diberikan kepada
satu orang dengan yang diberikan kepada orang lain. Ketiga, kepemimpinan. Keadilan adalah
kekuatan yang mendasari kehidupan masyarakat yang sehat.
a. Kewarganegaraan mencakup tanggung jawab sosial, loyalitas, dan kesiapan kerja dalam tim.
Aspek-aspek ini membuat orang dapat bekerja dengan baik sebagai anggota kelompok yang
setia kepada kelompok.
b. Kesetaraan adalah kekuatan yang membuat orang diperlakukan semua di hadapan keadilan,
bukan membiarkan keputusan atau perasaan pribadi yang bias kepada orang lain. Kekuatan
ini menghindarkan orang dari prasangka, seperti rasisme dan stereotipe. Orang dengan
kekuatan ini mementingkan kesejahteraan orang lain seperti kesejahteraannya sendiri.
c. Kepemimpinan adalah kekuatan yang mendorong orang sebagai anggota kelompok atau
sebagai pemimpin untuk menyelesaikan tugas dan pada saat yang sama menjaga hubungan
yang baik dengan orang lain dalam kelompok. Orang dengan kekuatan ini dapat
menempatkan diri dan bekerja secara prima baik sebagai pemimpin maupun sebagai
bawahan.
1.3.6 Transendensi
Transendensi merupakan keutamaan yang menghubungkan kehidupan manusia dengan seluruh
alam semesta dan memberi makna kepada kehidupan. Di dalam keutamaan itu tercakup
kekuatan: (a) penghargaan terhadap keindahan dan kesempurnaan; (b) rasa bersyukur (gratitude)
atas segala hal yang baik; (c) penuh harapan, optimis, dan berorientasi ke masa depan, semangat
dan gairah besar untuk menyongsong hari demi hari; (d) spiritualitas: memiliki tujuan yang
menuntun kepada kebersatuan dengan alam semesta; serta (e) menikmati hidup dan selera humor
yang memadai. Keutamaan Transendensi adalah kekuatan yang menempa orang untuk dapat
memahami koneksi yang ada di alam semesta, memahami daya-daya yang lebih besar dari
manusia, serta memperoleh dan memberikan makna.
a. Penghargaan terhadap keindahan dan keunggulan yang mencakup kekaguman, keheranan,
peningkatan kesadaran adalah kekuatan yang membuat orang mampu menghargai keindahan,
keunggulan, keterampilan, dan kinerja yang baik dalam berbagai ranah kehidupan. Pada diri
sendiri, orang dengan kekuatan ini terdorong juga untuk menghasilkan keindahan,
keunggulan, keterampilan, dan kinerja yang baik. Kekuatan ini juga membuat orang mampu
menangkap inspirasi atau gugahan untuk menampilkan diri lebih baik.
b. Rasa Syukur adalah kekuatan yang membuat orang dapat menyadari dan berterima kasih atas
hal baik yang terjadi, serta meluangkan waktu untuk mengungkapkan terima kasih. Orang
dengan kekuatan ini menerima apa yang ada dalam kehidupan sebagai anugrah dan berkah
sehingga selalu berusaha menampilkan perilaku yang baik sebagai ungkapan terima
kasihnya.
c. Harapan yang mencakup optimisme, menjalani hidup secara positif dari waktu ke waktu, dan
pikiran yang berorientasi ke masa depan adalah kekuatan yang membuat orang selalu
mengharapkan yang terbaik di masa depan dan bekerja untuk mencapainya. Orang dengan
kekuatan ini selalu optimistik menjalani hidup, berusaha terus- menerus agar menjadi lebih
baik, dan percaya bahwa yang baik selalu dapat dicapai dalam hidup.
d. Spiritualitas mencakup religiusitas, iman, dan tujuan hidup. Ketiganya adalah kekuatan yang
membuat orang memiliki keyakinan koheren tentang tujuan yang lebih tinggi, makna hidup,
dan makna alam semesta. Orang dengan kekuatan ini menampilkan perilaku yang konsisten
dan koheren sebagai bagian dari usaha mencapai tujuan hidupnya. Mereka berusaha
menyesuaikan diri dan aktivitasnya dengan daya-daya yang lebih besar di alam semesta.
e. Kekuatan menikmati hidup dan humor membuat orang dapat menjalani hidup yang penuh
suka-cita, menyukai tawa untuk menghasilkan keceriaan. Dia mampu membawa dirinya dan
orang lain kepada situasi yang membuat tersenyum, serta melihat sisi terang dari kehidupan.
Orang dengan kekuatan ini menjalani hidup secara ringan meskipun dalam situasi-situasi
yang sulit dan berat.
Tabel 1: Kekuatan dan Keutamaan Karakter
No. Kekuatan Keutamaan
1 Kekuatan kognisi: kreativitas, rasa ingin tahu, keterbukaan pikiran,
Kebijaksanaan dan mencintai kegiatan belajar, perspektif (memiliki
pengetahuan gambaran besar mengenai kehidupan).
2 Kekuatan interpersonal: cinta kasih, kebaikan hati (murah hati, dermawan,
Kemanusiaan peduli, sabar, penyayang, menyenangkan dan cinta
altruisitik), serta memiliki kecerdasan sosial.
3 Kekuatan emosional: keberanian untuk menyatakan kebenaran dan
Kesatriaan mengakui kesalahan, teguh dan keras hati, integritas
(otentisitas, jujur), serta bersemangat dan antusias.
4 Kekuatan kewarganegaraan citizenship (tanggung jawab sosial, kesetiaan, mampu
(civic): Berkeadilan bekerja sama), fairness (memperlakukan orang setara
dan adil), serta kepemimpinan.
5 Kekuatan menghadapi dan pemaaf dan pengampun, kerendahatian, hati-hati, dan
mengatasi hal-hal yang tak penuh pertimbangan, serta regulasi-diri.
menyenangkan: pengelolaan-
diri
(temperance)
6 Kekuatan spiritual: apresiasi keindahan dan kesempurnaan, penuh rasa
Transendensi terima kasih, harapan (optimis, berorientasi ke masa
depan), spritualitas (religiusitas, keyakinan, tujuan
hidup), serta menikmati hidup dan humor,
10
11
peristiwa, situasi, pengamatan tertentu atau hal lainnya yang terkait dengan pengalaman
kehidupannya. Nilai memiliki tiga ciri (Bertens, 2001:141).
1. Nilai berkaitan dengan subjek (pelaku, individu, masyarakat). Apabila tidak ada subjek, nilai
tidak akan ada. Pemandangan matahari terbit di gunung Bromo sangat indah. Oleh karena
itu, orang berbondong-bondong menuju ke sana untuk melihat keindahannya.
2. Nilai tampil dalam konteks praktis tempat subjek ingin membuat sesuatu. Perancang busana
itu telah menyelesaikan sebuah gaun pesanan seorang pelanggan. Ia merasa sangat puas
karena si pelanggan memuji hasil karyanya.
3. Nilai menyangkut sifat yang ditambahkan oleh subyek pada sifat yang dimiliki objek. Rumah
di ujung jalan itu sudah berusia 100 tahun, tetapi rumah itu memiliki nilai kesejarahan dan
nilai keindahan arsitektur yang memukau banyak orang.
Dengan demikian, nilai adalah suatu tatanan yang dapat dijadikan panduan seseorang
untuk menimbang, memilih, atau memutuskan suatu (alternatif) dalam berbagai situasi, sesuai
kebutuhan atau keinginannya. Oleh karena itu, ada banyak nilai yang terkait dengan kebutuhan
orang atau masyarakat, seperti nilai ekonomis, nilai budaya, nilai sosial, nilai kesehatan, nilai
akademik, nilai Pancasila, dan sebagainya. Berbagai perspektif tersebut tentulah berbeda satu
dengan lainnya. Hal itu menjadi dasar bagaimana orang menjelaskannya dengan tepat. Salah satu
contoh yang hendak ditampilkan dalam uraian ini adalah nilai Pancasila. Mengapa harus nilai
Pancasila?
Pada SK Rektor UI tentang PPKPT UI no 1476/ 2010 (bagian Memutuskan
Menetapkan butir Ketiga b) tertuang kompetensi mahasiswa, yang berbunyi: mahasiswa
memiliki kepekaan dan peduli terhadap masalah lingkungan, kemasyarakatan, bangsa, dan
negara. Dalam hubungannya dengan bangsa dan negara, Pancasila memegang peranan penting.
Nilai Pancasila berada pada butir rumusan Pancasila yang tertuang sebagai berikut:
(1) nilai religius, pada butir 1, Ketuhanan Yang Maha Esa,
(2) nilai kemanusiaan pada butir 2, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
(3) nilai persatuan pada butir 3, Persatuan Indonesia,
(4) nilai kerakyatan pada butir 4, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan
(5) nilai keadilan pada butir 5, Keadilan Sosial bagi Seluruh rakyat Indonesia.
12
Nilai yang ada pada butir Pancasila tersebut, secara keseluruhan dapat dikembangkan
atau ditambahkan nilai lainnya, seperti nilai kebangsaan, nilai moral (kebaikan), dan nilai
toleransi. Nilai kebangsaan diartikan sebagai manusia Indonesia yang memiliki jatidiri sebagai
bangsa Indonesia dengan menghargai dan loyalitas terhadap ideologi (dasar negara) Pancasila.
Nilai moralitas diartikan sebagai nilai yang mengarah pada prinsip kebaikan. Prinsip kebaikan
itu dijadikan landasan dalam menampilkan jatidirinya, perilaku kesehariannya dengan orang lain,
atau di tengah masyarakat luas. Nilai toleransi dimaknai sebagai nilai yang mengedepankan
sikap menghargai teman atau orang lain yang berbeda dengan dirinya.
Sebagaimana diketahui, Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki
jumlah 1331 suku bangsa (http//www. bps.go.id/kegiatan lain /view/id/127). Perbedaan yang ada
(agama, bahasa, suku bangsa, adat istiadat, dan sebagainya) tidak menjadikan halangan bagi
setiap bangsa atau khususnya mahasiswa Indonesia dalam bekerja sama dan bersahabat dalam
kehidupan bernegara dan berbangsa. Dengan kata lain, nilai yang ada pada Pancasila sebenarnya
merupakan kumpulan nilai dalam Pancasila itu sendiri. Nilai Pancasila mengarahkan
mahasiswa untuk peduli terhadap berbagai situasi lingkungan, kemasyarakatan, bangsa, dan
Negara Indonesia, serta menjadikan dirinya memiliki jatidiri yang baik.
13
Nilai-nilai tersebut mengacu pada Keputusan Dewan Guru Besar Universitas Indonesia
No. 001/SK/DGB-UI/2014 tentang Kode Etik dan Kode Perilaku Sivitas Akademika Universitas
Indonesia (Lampiran 1). Isi penjelasannya mengenai sebagai berikut.
1. Kejujuran (Honesty)
Sifat lurus, ikhlas hati, berkata dan bertindak benar, tidak berbohong, tidak menipu, tidak
korupsi, tidak curang, yang dalam pelaksanaannya diiringi sikap tulus, arif bijaksana serta
dilandasi keluhuran budi. Kejujuran mencakup keseluruhan sikap tindak, termasuk tidak
melakukan plagiat dalam kegiatan akademik, atau pengembangan ilmu pengetahuan, tidak
menyalahgunakan jabatan, pangkat, gelar, atau fasilitas akademik lainnya.
2. Keadilan (Just and Fair)
Memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama secara adil dan nondiskriminatif bagi setiap
warga dalam melaksanakan tugas masing-masing, termasuk dalam mengembangkan kegiatan
akademik dan kegiatan lainnya. Sikap ini tidak didasarkan pada pertimbangan yang bersifat
rasial, etnis, agama, gender, status perkawinan, usia, difabilitas, dan orientasi seksual.
3. Kepercayaan (Trust)
Bersikap dan berperilaku amanah serta dapat dipercaya dalam menjalankan mandat maupun
dalam melaksanakan setiap kegiatan atau kewajiban yang diembannya, baik dalam jabatan,
fungsi, maupun sebagai warga negara pada umumnya.
4. Kemartabatan (Dignity) dan/atau Penghormatan (Respect)
Komitmen untuk memperlakukan setiap orang dengan rasa hormat, manusiawi, taat pada norma
kesusilaan, kepatuhan, atau kepantasan dalam situasi apapun.
5. Tanggung Jawab (Accountability)
Bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas jabatan maupun tugas fungsionalnya serta
menghindarkan diri dari benturan kepentingan (conflict of interest) yang dapat merugikan
kepentingan UI maupun kepentingan warga UI lainnya. Di dalamnya termasuk upaya
menghindarkan diri dari benturan kepentingan seperti tindakan menolak suap atau sejenisnya
yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam jabatan dan fungsinya serta dapat
mengakibatkan kerugian UI dan Warga UI lainnya.
6. Kebersamaan (Togetherness)
Keragaman/kemajemukan merupakan karakteristik bangsa Indonesia yang menjadi kekuatan dan
kekayaan Universitas Indonesia. Pengakuan akan kebhinekaan budaya itu merupakan dasar dari
14
rasa kebersamaan dan menjadi bagian dari jati diri Warga UI sebagai bagian dari bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, warga UI bertekad untuk menjunjung tinggi toleransi dan semangat
kebersamaan dalam meniti serta melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan
kepada setiap Warga UI di lingkungan kerjanya.
7. Keterbukaan (Transparency)
Keterbukaan nurani dan keterbukaan sikap untuk bersedia mendengarkan dan
mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh pendapat orang lain; keterbukaan akademik untuk
secara kritis menerima semua informasi dan semua hasil temuan akademik pihak lain; dan
bersedia membuka/membagi semua informasi pengetahuan yang dimiliki kepada pihak yang
berhak mengetahui/berkepentingan, kecuali yang bersifat rahasia.
8. Kebebasan Akademik dan Otonomi Keilmuan (Academic Freedom and Scientific
Autonomy)
Menjunjung tinggi kebebasan akademik, yaitu kewajiban untuk memelihara dan memajukan
ilmu pengetahuan, menjunjung tinggi kebebasan mimbar akademik, yaitu kebebasan
menyampaikan pikiran dan pendapat di dalam lingkungan UI maupun dalam forum akademik
lainnya.
9. Kepatuhan pada Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku (Compliance to Laws)
Melaksanakan semua kegiatan di lingkungan UI harus mematuhi semua peraturan yang berlaku
Kesembilan Nilai Dasar Universitas Indonesia tersebut melengkapi pengertian nilai dalam Bab I
dan menambah wawasan mahasiswa Universitas Indonesia. Kesembilan nilai itu diharapkan
dapat membentuk karakter Civitas Akademika Universitas Indonesia yang tercermin melalui
perilakunya dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kehidupan akademik. Oleh karena itu,
nilai tersebut selalu diusahakan mewarnai setiap tindakan dan keputusan yang diambil oleh
civitas akademika, baik dosen maupun mahasiswa. Selain itu, kesembilan nilai ini akan
terkandung dalam matakuliah yang dipelajari mahasiswa dan kegiatan-kegiatan nonakademis
lainnya di luar perkuliahan.
15
BAB 2
FILSAFAT
16
percaya bahwa berbohong diperbolehkan bila dengan tujuan-tujuan tertentu, seperti untuk
menyelamatkan seseorang dari malapetaka dalam situasi krisis.
Ada berbagai kepercayaan filosofis yang dianut. Banyak orang yang percaya bahwa
persoalan benar dan salah adalah sesuatu yang bersifat independen terlepas dari apa yang
diinginkan. Banyak orang pula yang mengklaim bahwa persoalan benar dan salah tidak lebih dari
sebuah preferensi yang subjektif. Akan tetapi, orang yang saling bertentangan terkait dengan hal
itu bisa bersepakat pada kepercayaan bahwa dunia yang kita lihat di sekitar adalah dunia yang
riil. Dunia itu akan tetap ada apabila kita tidak mengamatinya. Ringkasnya, kita percaya bahwa
dunia tidak hilang ketika kita memejamkan mata. Hal ini merupakan sebuah kepercayaan
filosofis dan objek kajian yang ditelaah di dalam filsafat.
Kepercayaan filosofis dapat memiliki dampak yang signifikan dalam kehidupan sehari-
hari kita. Misalnya, seseorang yang percaya bahwa moralitas tidak lebih dari preferensi subjektif
sangat mungkin berperilaku secara berbeda dibandingkan dengan seseorang yang percaya bahwa
kesalahan dari berbohong adalah suatu fakta yang bersifat objektif. Dalam konteks yang lebih
luas, kita bisa melihat bahwa ada aspek filosofis dalam masalah-masalah yang terkait dengan
persoalan moralitas ataupun politis. Misalnya, pertanyaan terkait dengan aborsi, hukuman mati,
persamaan sebagai keadilan, kebebasan berbicara, batasan kekuasaan negara, dan lain-lain (Law,
2007).
Cara yang paling mudah untuk memahami apa itu filsafat adalah dengan mengacu kepada
aktivitasnya. Filsuf dapat dianalogikan dengan keingintahuan anak-anak. Seperti yang kita
ketahui anak-anak punya kecenderungan untuk bertanya Mengapa? terus-menerus. Kegiatan
semacam itu secara sederhana dapat menyentuh beberapa kepercayaan kita yang paling
fundamental. Misalnya, bila anak bertanya Mengapa kita mesti ada?. Dalam konteks semacam
ini, kita dapat menyatakan bahwa para filsuf punya tendensi yang sama dengan anak-anak, yaitu
mempertanyakan pernyataan-pertanyaan fundamental (fundamental questions) dalam kehidupan
kita sehari-hari. Hal tersebut sangat jarang muncul ke permukaan dikarenakan kita
menganggapnya sebagai sebuah kebiasaan. Di sini kita dapat menyatakan bahwa filsafat
merupakan sebuah seni untuk bertanya (the art of questioning). Ada dua karakteritik pertanyaan-
pertanyaan filosofis yang selalu muncul hampir dalam setiap diskursus filosofis:
1. Apa yang Anda maksud?
2. Apa alasan yang tersedia untuk percaya bahwa klaim ini benar?
17
Katakanlah seseorang mengklaim bahwa Tuhan itu ada. Pertama, filsuf akan bertanya:
Apa yang Anda maksud dengan Tuhan? Dalam konteks ini, pengertian akan Tuhan yang
dimaksud sangat penting agar kita mengetahui apakah klaim tersebut benar atau salah. Kedua,
filsuf akan bertanya: Apa alasan yang tersedia untuk percaya bahwa klaim ini benar? Hal ini
menunjukkan bahwa filsuf mempertanyakan justifikasi atas suatu klaim tertentu. Oleh sebab itu,
filsuf tidak langsung menerima saja berbagai klaim, khususnya klaim-klaim yang kontroversial
tanpa justifikasi.
Filsuf memeriksa justifikasi tersebut secara kritis. Di sini terlihat bahwa filsuf
mengasumsikan ada hubungan justifikasi dengan kebenaran. Sebuah klaim yang didukung
dengan justifikasi baik memang dirasakan lebih benar daripada sebuah klaim yang didukung
dengan justifikasi yang tidak baik (Emmet, 2001).
Berpikir secara filosofis bisa sangat menyenangkan, tetapi juga bisa sangat menganggu.
Ketika kita mulai berpikir secara filosofis berarti kita berpikir tanpa menggunakan sebuah jaring
pengaman dan pijakan kokoh yang biasanya kita injak. Kita tertinggal tanpa pegangan sama
sekali. Menurut Law, perasaan ini disebut sebagai intellectual vertigo. Hal ini biasa terjadi di
dalam filsafat (Law, 2007). Hal ini tidaklah mengherankan dikarenakan memang sebagian besar
dari kita cenderung untuk tidak berpikir terkait dengan pertanyaan-pertanyaan fundamental,
bahkan untuk mempertimbangkannya. Kita cenderung untuk tetap di mana kita merasa aman dan
nyaman.
Akan tetapi, risiko merupakan sesuatu yang layak untuk diambil. Hal ini dikarenakan
bahwa berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan fundamental dapat berbuah manis. Misalnya,
beberapa perkembangan terbesar dalam ilmu pengetahuan justru terjadi hanya dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan fundamental tersebut. Einstein pernah menyatakan bahwa
salah satu inspirasi terbesarnya datang dari sebuah pembacaan atas karya-karya David Hume
seorang filsuf abad ke-18. Menurutnya, Hume yang telah mendorong untuk mempertanyakan apa
yang dianggap sebagian besar orang pada masa hidupnya diasumsikan benar (Law, 2007).
Bukan hanya dalam bidang ilmu pengetahuan, kita mendapatkan manfaat dalam
mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan fundamental. Beberapa perkembangan moral dan politis
paling penting datang dari orang-orang yang ingin mempertanyakan apa yang dianggap hampir
oleh semua orang benar. Tidak terlalu lama dalam sejarah peradaban manusia, sebagian orang
menganggap bahwa perbudakan dapat diterima dan peran perempuan haruslah di dalam rumah.
18
Kemajuan moral dan politis ini jelas dibawa oleh mereka yang berhenti sejenak dan
mempertanyakan apa yang dianggap benar dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain,
peradaban sangat berutang pada orang-orang yang bersedia untuk berpikir dan mempertanyakan
apa yang dianggap benar (Nagel, 1987).
Dengan kata lain, disadari atau tidak, filsafat digunakan oleh manusia untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Jika orang menyadarinya, lebih banyak lagi manfaat
berpikir filosofis yang dapat diperoleh. Dengan berpikir filosofis, orang dapat berpikir mendalam
dan mendasar. Orang juga dapat memperoleh kemampuan analisis, berpikir kritis dan logis
sehingga ia mampu juga berpikir secara luas dan menyeluruh. Berpikir filosofis juga membuat
orang dapat berpikir sistematis dalam mengumpulkan pengetahuan sebanyak mungkin secara
tertata. Berpikir filosofis juga membantu orang untuk menjajaki kemungkinan baru sehingga
dapat memperoleh pengetahuan baru.
Orang dapat terus menerus menambah pengetahuannya dengan berpikir filosofis. Di sisi
lain, berpikir filosofis juga memberikan kesadaran kepada orang mengenai keterbatasan
pengetahuannya. Kesadaran akan masih banyaknya hal yang tidak diketahui membuat orang
menjadi rendah hati, terbuka, dan siap untuk memperbaiki pengetahuannya. Dengan demikian,
berpikir filosofis merupakan satu cara untuk membangun keutamaan pengetahuan dan
kebijaksanaan dengan kekuatan-kekuatan yang dikandungnya. Berikut setidaknya manfaat
belajar filsafat:
19
Tidak ada persetujuan universal tentang jawaban yang tepat terhadap pertanyaan-
pertanyaan yang dijawab para filsuf. Hal ini menyebabkan pertanyaan itu menjadi terbuka (open
question). Jika ada ketidaksetujuan yang substansial terkait dengan jawaban sebuah pertanyaan,
pertanyaan itu merupakan sebuah pertanyaan terbuka. Sebaliknya, jika ada hampir ada jawaban
universal terkait dengann jawaban sebuah pertanyaan, pertanyaan itu merupakan sebuah
pertanyaan tertutup. Misalnya, pertanyaan Berapa tinggi Gunung Merapi? atau Siapa presiden
pertama RI?. Kita tidak terlalu bersoal tentang jawaban yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tertutup, kita hanya butuh sumber
informasi yang terpercaya.
Lain halnya dengan pertanyaan terbuka. Jawaban atasnya tidak memberikan semua orang
kepuasan dan terdapat sebuah ketidaksetujuan yang rasional atas jawaban mana yang benar. Di
sini perlu ditekankan bahwa kita tidak mesti mengasumsikan bahwa pertanyaan terbuka tidak
punya jawaban yang tepat. Hanya dikarenakan ada ketidaksejutuan terkait dengan jawaban yang
benar tidak berarti bahwa tidak ada jawaban yang tepat. Apa yang penting dari pertanyaan
terbuka adalah ia selalu memberikan kesempatan untuk kita berpikir secara mandiri. Di sinilah,
kita melihat bahwa pertanyaan filosofis selalu dirumuskan sebagai pertanyaan terbuka
dikarenakan tidak punya jawaban yang disepakti bersama. Hal itu berarti kita harus berpikir
sendiri dan memutuskan apakah jawaban yang kita pikirkan adalah tepat atau dapat diterima
secara rasional.
Ada dua wilayah yang dapat dikontraskan dengan filsafat, yaitu religi dan ilmu
pengetahuan. Hal ini merujuk pada gagasan Russell dan Law. Russel menjelaskan persoalan
tersebut dengan sangat menarik. Dia menyebut filsafat sebagai tanah tidak bertuan (No Mans
Land). Berikut kutipan lengkapnya:
All definite knowledge --so I should contendbelongs to science; all dogma as to what surpasses
definite knowledge belongs to theology. But between theology and science, there is a No Mans
Land, exposed to attack by both sides; this No Mans Land is philosophy (Russell, 1945).
20
menjadi benar dan salah atau apa kita mempunyai jiwa atau tidak. Memang dalam sejarah, kita
dapat melihat banyak pemikir religius besar merupakan seorang filsuf. Sebaliknya, banyak pula
filsuf penting merupakan seorang ahli religi.
Dikarenakan tumpang-tindihnya antara filsafat dan religi dalam berurusan dengan
pertanyaan-pernyataan fundamental, kita perlu melihat perbedaan keduanya secara jernih.
Menurut Law, filsafat dan religi dapat dilihat perbedaannya terkait dengan persoalan peran dari
rasio. Hal ini menegaskan pengakuan bahwa rasio punya batasan. Memang rasio mungkin tidak
mampu menyelesaikan semua pertanyaan-pernyataan fundamental. Akan tetapi, perbedaan itu
terlihat jelas; filsafat sangat memberikan dorongan bagi kita untuk mempergunakan kekuatan
rasio sebaik mungkin dan sejauh yang kita bisa (Law, 2007). Sementara itu religi mungkin
memberikan dorongan terkait dengan penerapan rasio, tetapi juga menekankan pentingnya jalan
lain dalam persoalan kebenaran, termasuk pewahyuan dan kitab suci.
Di samping itu, filsafat seringkali mengajukan pertanyaan yang dalam banyak kasus
terlihat jauh dari jangkauan ilmu pengetahuan untuk memberikan sebuah jawaban (Baggini,
2005). Misalnya, Apa makna kehidupan ini?; Mengapa semuanya ada?; Bagaiman saya bisa
mengetahui bahwa saya tidak sedang terjebak di dalam sebuah realitas virtual?; Apa kita
punya ruh yang abadi?; Apa kita sebagai manusia punya kehendak bebas? Salah satu alasan
mengapa ilmu pengetahuan dapat memberikan bantuan dalam merumuskan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan itu dikarenakan ilmu pengetahuan mengasumiskan ada jawaban yang
jelas terhadap hal-hal tersebut.
Kita bisa mengambil contoh pernyataan: Mengapa semuanya ada? Para ilmuwan
menjelaskan bahwa keberadaan dari semesta dengan mengajukan sebuah gagasan Ledakan
Besar yang terjadi miliaran tahun yang lalu. Peristiwa luar biasa itu bukan hanya menghasilkan
materi dan energi, tetapi waktu dan ruang. Lalu, apakah penjelasan ilmiah seperti itu
menghilangkan misteri tentang kita? Tidak. Hal ini dikarenakan sekarang kita dapat bertanya
lagi: Mengapa ada ledakan? Apa yang terjadi jika tidak ada ledakan. Dengan kata lain, misteri
terkait dengan mengapa semuanya ada belumlah terpecahkan, hanya tertunda. Dalam konteks itu,
ilmu pengetahuan berfokus terkait dengan asal-mula semesta.
Filsafat kerapkali didefinisikan sebagai induk dari ilmu pengetahuan (mother of science).
Keterangan ini merupakan keterangan yang sifatnya historis. Artinya, filsafat disebut demikan
karena kemunculannya mendahului ilmu pengetahuan. Para filsuf tidak bermaksud melahirkan
21
ilmu pengetahuan dan tidak membayangkan ilmu pengetahuan menjadi semaju hari ini. Ilmu
pengetahuan merupakan perkembangan lanjut dari filsafat.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, filsafat melihat realitas secara total untuk
menemukan hakikatnya. Sedangkan, ilmu pengetahuan hanya mencoba menerangkan hubungan
antargejala yang tertangkap oleh pengamatan manusia. Seiring dengan perkembangan yang
terjadi di tubuh ilmu penetahuan, ilmu pengetahuan kini semakin beragam dan spesifik. Spesifik
berarti setiap cabang ilmu sebenarnya mempelajari objek yang sama, namun pendekatan atau
metode yang digunakan berbeda-beda. Sebagai contoh, biologi mengkaji manusia dari segi
fisiologinya, antropologi dari sisi kebudayaannya, sosiologi dari sisi caranya hidup
bermasyarakat. Yang perlu menjadi perhatian, cabang ilmu yang semakin spesifik dengan
metode ilmiahnya masing-masing ini seakan-akan membuat satu disiplin dengan disiplin yang
lain tidak saling berkaitan.
Pertanyaannya kemudian, di mana posisi filsafat setelah ilmu pengetahuan menjadi
sedemikan spesifik? Filsafat kini berfungsi sebagai disiplin lapis kedua (second-order discipline)
yang tidak lagi menyelidiki realitas secara menyeluruh melainkan sebagai peralatan analitik
untuk memeriksa penyelidikan rasional ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pertanyaan yang
lebih fundamental, seperti, Mengapa semuanya ada? melampaui kemampuan ilmu
pengetahuan untuk memberikan sebuah jawaban. Alasan lain mengapa ilmu pengetahuan tidak
bisa memberikan jawaban terkait dikarenakan pertanyaan tersebut sangat berhubungan dengan
makna dan konsep. Misalnya, jika kita ingin memberikan jawaban pada pertanyaan, Apakah
sebagai manusia kita punya kehendak bebas? Kita mesti mendpat kejelasan dulu tentang apa
yang dimaksud dengan kehendak bebas dan konsep-konsep apa saja yang terliput di dalamnya.
Artinya, sekalipun semua fakta dikumpulkan, pernyataan tersebut akan tetap ada jika kita tidak
memberikan penjelasan terkait dengan kehendak bebas. Klarifikasi atas makna dan konsep
adalah salah satu aktivitas sentral seorang filsuf.
22
bertujuan untuk mempermudah kita mengenal apa itu filsafat. Hal yang terjadi sesungguhnya
adalah setiap cabang-cabang filsafat saling kait-mengait dengan erat. Oleh karena itu pula,
pembagian atas objek kajian filsafat bisa dilakukan seperti filsafat ketuhanan, filsafat sejarah,
filsafat bahasa, filsafat politik, dan lain-lain (Hadinata, Putri, & Takwin, 2015). Di sini, kita akan
lebih fokus pada pembagian filsafat secara garis besar berdasarkan sistematika klasiknya. Berikut
ilustrasi sederhananya:
23
dijadikan kajian konseptual seperti jiwa, Tuhan, dan sebagainya. Secara tradisional, metafisika
dianggap sebagai cabang utama filsafat.
Epistemologi
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat pengetahuan yang ditelusuri
melalui empat pokok, yaitu sumber pengetahuan, struktur pengetahuan, keabsahan pengetahuan,
dan batas-batas pengetahuan. Pertanyaan yang hendak dijawab di sini adalah bagaimana proses
perolehan pengetahuan pada diri manusia dan bagaimana ia dapat mengetahui. Dalam
epistemologi terdapat tiga cabang yang lebih spesifik.
Metodologi
Metodologi adalah cabang filsafat yang mengkaji cara-cara dan metode-metode ilmu
pengetahuan memperoleh pengetahuan secara sistematis, logis, sahih, dan teruji. Di sini cara dan
metode ilmu pengetahuan dikaji sejauh kesahihannya dalam kegiatan menemukan ilmu
pengetahuan. Di dalamnya termasuk juga kritik dan upaya pengujian keabsahan cara kerja dan
metode ilmu pengetahuan. Selain mengkaji cara-cara dan metode-metode yang sudah ada, dalam
metodologi itu dikaji pula kemungkinan-kemungkinan cara dan metode baru dalam ilmu
pengetahuan.
Logika
Logika adalah kajian filsafat yang mempelajari teknik-teknik dan kaidah-kaidah penalaran yang
tepat. Satuan penalaran dalam logika adalah argumen yang merupakan ungkapan dari putusan
(judgment). Penalaran berlangsung lewat argumentasi dalam seperangkat proposisi. Proposisi
adalah pernyataan untuk mengiyakan (afirmasi) atau menyangkal (negasi) sesuatu. Proposisi
24
terdiri atas pokok yang dibicarakan (subjek), apa yang disangkal atau diiyakan (predikat), dan
hubungan yang sifatnya menyatukan atau memisahkan (kopula). Argumentasi itu tersusun dari
premis ke kesimpulan lewat proses penyimpulan (inference). Secara umum ada dua jenis
argumentasi, yaitu deduktif dan induktif Argumen deduktif bertolak dari premis umum ke premis
atau kesimpulam khusus. Penilaiannya adalah valid atau tidak valid. Argumen induktif bergerak
dari premis-premis khusus ke kesimpulan atau premis umum induksi menghasilkan pengetahuan
yang tidak niscaya, melainkan kemungkinan. Kadar kemungkinannya dapat diukur penilaian
kuat atau lemah. Logika sangat berkaitan erat dengan filsafat ilmu dan metodologi ilmu.
Aksiologi
Secara etimologis, aksiologi berasal dari dua kata Yunani, yaitu axia yang berarti nilai dan
logos yang berarti ilmu, kajian, prinsip atau aturan. Oleh karena itu, aksiologi dapat
dimaknai sebagai sebuah studi tentang nilai-nilai. Pada dasarnya, pembahasan tentang nilai
menyangkut cabang lain dari filsafat. Ada tiga nilai yang berbeda namanya dalam filsafat, tetapi
mempunya keterkaitan dan kesatuan makna, yaitu kebaikan, kebenaran, dan keindahan (bonum,
veritas, pulcher). Etika berkaitan dengan masalah kebaikan; epistemolgi dengan masalah
kebenaran; dan estetika dengan masalah keindahan. Di dalam aksiologi dibahas tentang nilai
yang berkaitan dengan kebaikan dan apakah itu perilaku baik. Selain itu juga dibicarakan tentang
nilai yang berikaitkan dengan keindahan. Cabang filsafat yang termasuk dalam aksiologi adalah
etika dan estetika.
Etika
Etika adalah cabang filsafat yang mengkaji nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan
perilaku baik. Cabang ini meliputi apa dan bagaimana hidup yang baik, orang yang baik, berbuat
baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup. Istilah etika menunjuk dua hal. Pertama,
disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya. Kedua, pokok permasalahan
disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup manusia yang sesungguhnya dan hukum-hukum
tingkah laku manusia. Dalam etika juga dipelajari alasan-alasan yang rasional mengapa manusia
berbuat dan tidak berbuat sesuatu. Oleh karena itu, etika bukanlah sekadar kumpulan perintah
dan larangan.
25
Estetika
Kata estetika diturunkan dari kata Yunani Kuno aisthetikos yang berarti to sense perception yang
juga diturunkan dari kata aisthanomai yang berarti I perceive, feel, sense. Oleh karena itu,
estetika mengkaji pengalaman dan penghayatan dalam menanggapi sesuatu yang dalam konteks
tertentu bisa indah atau tidak. Dengan lain, estetika merupakan sebuah disiplin ilmu yang
membahas terkait dengan persoalan putusan apakah sesuatu itu indah atau tidak dalam konteks
persepsinya atas realitas.
Jika kita melihat lebih dalam pemikiran-pemikiran filosofis dari Yunani Kuno hingga era
kontemporer, filsafat dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memahami segala sesuatu
secara kritis, radikal, sistematis, dan rasional. Di sini, filsafat tidak lain adalah sebuah usaha
refleksi. Sebuah usaha adalah sebuah proses, bukan semata produk. Filsafat sebagai sebuah
upaya adalah sebuah proses yang terus menerus berlangsung, tak ada kata putus, berlangsung
terus hingga kini. Proses itu berisi aktivitas-aktivitas untuk memahami segala perwujudan
kenyataan atau apa yang ada (being). Hasrat filsafat adalah memahami apa yang ada dan
mungkin ada.
Meski produk filsafat berupa pemikiran filosofis yang mencerminkan proses
pencariannya dan merupakan pelajaran penting, tidak tepat jika dalam memahami filsafat kita
hanya terfokus pada produknya. Sebagai produk, filsafat dapat terkesan sebagai barang jadi atau
sesuatu yang telah selesai. Jika kita hanya melihat produknya saja, kalimat-kalimat dalam filsafat
tampil sebagai jargon ataupun resep dalam mengatasi persoalan kehidupan. Sebaliknya, kalimat-
kalimat dalam filsafat tampil sebagai kerumitan yang sulit dimengerti, membuat orang gentar
dan berpikir bahwa filsafat bukan urusan orang kebanyakan. Hal terjadi jika kita tidak
memahami prosesnya. Jika filsafat hanya dianggap sebagai sebuah produk yang sudah selesai,
akan terjadi kontradiksi dalam pengertian filsafat. Filsafat yang memiliki sifat kritis tidak
mungkin merupakan barang yang jadi. Artinya, produk filsafat adalah pemikiran yang perlu
dikaji, direfleksikan, dan dikritik lagi. Setidaknya filsafat punya karakteristik sebagai berikut:
Istilah kritis dalam pengertian filsafat berasal dari istilah Latin kritein yang berarti
memilah-milah dan kritikos yang berarti kemampuan menilai. Dalam konteks ini, kata kritis
mengandung dua pengertian tersebut. Berfilsafat berarti memilah-milah dan memberi penilaian
26
terhadap objek yang dikaji. Secara lebih khusus lagi, kritis di sini diartikan sebagai terbuka pada
kemungkinan-kemungkinan baru dan tidak membakukan dan membekukan pikiran-pikiran yang
sudah ada. Artinya, berfilsafat bermakna selalu hati-hati dan waspada terhadap berbagai
kemungkinan kebekuan pikiran. Berfilsafat berarti juga berpikir kritis. Lebih khusus lagi, yang
dimaksud berpikir kritis di sini adalah usaha yang dilakukan secara aktif untuk memahami dan
mengevaluasi informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima, ditolak atau
belum dapat diputuskan penerimaannya karena belum jelas.
Karakteristik filsafat yang lain adalah radikal. Istilah radikal berasal dari kata radix yang
berarti akar. Radikal berarti mendalam; sampai ke akar-akarnya. Pemahaman yang ingin
diperoleh dari kegiatan filsafat adalah pemahaman yang mendalam. Berpikir kritis
memungkinkan kita untuk dapat berpikir radikal. Dengan berpikir kritis yang sifatnya luas dan
mendalam, kita tidak begitu saja menerima apa yang ada. Dengan kata lain, kita mencermati dan
menemukan masalah, lalu mencari pejelasan baru yang lebih lengkap. Penjelasan baru itu bisa
jadi menggantikan penjelasan terdahulu dalam pengertian membongkar dasar dan mencabut
akar-akar pemikiran sebelumnya. Karakteristik radikal pada filsafat memungkinkan kita
memahami persoalan sampai ke akar-akarnya dan mengajukan penjelasan yang mendalam.
Berfilsafat dilakukan secara sistematis. Asal kata sistematis adalah systema yang berarti
keteraturan, tatanan, dan saling keterkaitan. Dalam konteks ini, sistematis memiliki pengertian
bahwa upaya memahami segala sesuatu itu dilakukan menurut suatu aturan tertentu, runut, dan
bertahap, serta hasilnya mengikuti suatu aturan tertentu pula. Karakteristik sistematis dari filsafat
ini mengimplisitkan adanya jaminan langkah-langkah berpikir yang tepat. Dengan kata lain,
karakteristik sistematis dalam filsafat sekaligus mencakup nilai kevaliditasan. Dari sini dapat
dipahami bahwa filsafat mencakup logika. Artinya, filsafat selalu memegang keyakinan akan
daya argumen dan penalaran. Oleh sebab itu pula, filsafat tidak bisa dilepaskan dari karakteristik
rasional.
27
teori tersebut (Warburton, 2011). Sebenarnya kita melakukan hal tersebut sepanjang waktu di
luar filsafat. Misalnya, kita kita berdiskusi tentang siapa pemain sepak bola, actor, atau penyanyi
terbaik sepanjang masa. Bagian kreatif ketika kita memberikan nama-nama di dalam diskusi
tersebut. Bagian kritis ketika kita memutuskan jawaban mana yang paling diterima secara
rasional. Dalam konteks ini, untuk memutuskan siapa pemain sepak bola, actor, dan penyanyi
terbaik sepanjang masa, kita merasa bahwa kita punya kewajiban untuk menyediakan sebuah
alasan ketika kita mengusulkan atau menolak. Dengan demikian, upaya untuk menyediakan
sebuah alasan adalah sebuah upaya untuk menyediakan argumentasi dari sudut pandang kita.
Kita dapat mengilustrasikan proses dari memutuskan apa yang paling bisa diterima secara
secara rasional seperti menimbang berat dua objek tertentu. Kita menempatkan alasan-alasan
atau argumentasi-argumentasi bagi sebuah keyakinan di satu sisi timbangan dan alasan-alasan
atau argumentasi-argumentasi yang menentang keyakinan di sisi lain. Setelah itu, diputuskan sisi
mana yang lebih berat atau lebih baik. Perhatikan ilustrasi berikut:
Kita mungkin tergoda untuk menyatakan bahwa apapun yang dipercaya seseorang adalah
sesuatu yang bersifat rasional setidaknya untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, kebanyakan filsuf
berpendapat bahwa ada keyakinan yang bisa diterima secara rasional dan ada pula yang tidak
bisa diterima secara rasional. Perbedaan keduanya terkait erat dengan argumentasi-argumentasi.
Seperti yang telah dijelaskan, kita dapat mengatakan bahwa sebuah keyakinan bisa diterima
secara rasional bila argumentasi untuk hal tersebut lebih kuat daripada argumentasi yang
menentangnya (Emmet, 2001). Sementara itu, keyakinan tidak bisa diterima secara rasional
apabila agumentasi yang menentangnya lebih kuat daripada argumentasi untuk hal tersebut.
Dalam konteks ini, pertanyaan seperti apa itu argumentasi dan bagaimana kita memisahkan
28
antara argumentasi yang baik dan argumentasi yang buruk menjadi sangat relevan untuk
diketahui. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa fitur utama dari filsafat adalah
mengevaluasi argumentasi-argumentasi (evaluating arguments).
Argumentasi merupakan unit paling dasar yang lengkap dari sebuah proses penalaran.
Lebih lanjut, sebuah argumentasi adalah inferensi dari satu atau lebih titik tolak yang biasanya
dikenal dengan premis ke sebuah titik akhir yang biasanya dikenal dengan konklusi atau
kesimpulan. Di sini, perlu dibedakan antara argumentasi dan eksplanasi. Menurut Baggini dan
Fosl, aturan umum untuk membedakan keduanya adalah agumentasi merupakan upayan untuk
mendemonstrasikan bahwa (that) sesuatu itu benar, sedang eksplanasi merupakan sebuah upaya
untuk menunjukkan bagaimana (how) sesuatu itu benar. Misalnya, sebuah eksplanasi bagi
kematian seorang perempuan pasti akan menunjukkan bagaimana (how) hal itu terjadi dengan
merujuk adanya air dalam kadar tertentu di paru-parunya. Sementara itu, sebuah argumentasi
akan mendemonstrasikan bahwa (that) perempuan tersebut meninggal dunia, seperti dikarenakan
jantungnya berhenti berdetak dan tidak ada tanda-tanda vital lainya sehingga kita bisa
menyimpulan bahwa perempuan tersebut meninggal dunia (Baggini & Fosl, The Philosopher's
Toolkit: A Compendium of Philosophical Concepts and Methods, 2010). Ringkasnya,
argumentasi merupakan seperangkat pernyataan yang terdiri atas satu atau lebih premis dan
sebuah kesimpulan. Di sini, premis-premis tersebut merupakan alasan mengapa sebuah
kesimpulan yang dihasilkan benar. Berikut contohnya:
Semua sapi adalah mamalia.
Semua mamalia punya paru-paru.
Jadi, semua sapi punya paru-paru.
Dua pernyataan awal di atas adalah premis-premisnya, sedang yang pernyataan paling
bawah adalah konklusi atau kesimpulan. Kita menggunakan argumentasi untuk
mendemostrasikan sesuatu, di mana premis-premisnya mengkonstitusikan bukti atas kesimpulan
yang diambil. Di sini perlu dicatat bahwa kita harus cermat terkat dengan konsep bukti
dikarenakan ada perbedaan standar terkait dengan apa yang dimaksud hal tersebut. Misalnya,
argumentasi di atas di mana konklusi atau kesimpulannya menyatakan bahwa semua sapi punya
paru-paru, terbukti bahwa sapi punya paru-paru jika di dalamnya mengasumsikan premis-
premisnya benar. Oleh karena itu, konklusi atau kesimpulan pastilah benar. Argumentasi yang
29
semacam ini disebut sebagai argumentasi yang valid. Konklusi atau kesimpulan tidak mungkin
salah apabila semua premisnya benar. Perhatikan argumentasi berikut:
Oliver itu mahasiswa jurusan Ilmu Filsafat atau Kedokteran Gigi
Olvier bukan mahasiswa jurusan Kedokteran Gigi
Apa konklusi atau kesimpulan dari dua pernyataan ini? Jika keduanya benar, maka Oliver
pastilah mahasiswa jurusan Ilmu Filsafat. Dengan demikian, argumentasi di bawah ini adalah
argumentasi yang valid.
Oliver itu mahasiswa jurusan Ilmu Filsafat atau Kedokteran Gigi
Olvier bukan mahasiswa jurusan Kedokteran Gigi
Jadi, Oliber adalah mahasiswa jurusan Ilmu Filsafat.
Di sini mungkin memunculkan pertanyaan dapatkah sebuah argument tetap valid walau
premisnya tidak benar? Perhatikan argumentasi berikut:
Semua penyu adalah mamalia.
Semua mamalia punya hati.
Jadi, semua penyu punya hati.
Kita dapat menunjukkan bahwa premis pertama dari argumentasi itu salah, karena penyu
bukanlah mamalia. Apakah lantas argumentasi ini tidak valid? Tidak demikian. Hal ini
dikarenakan validitas argumentasi hanya menpostulatkan jika semua premisnya benar, maka
30
konklusi atau kesimpulannya pastilah benar. Artinya, sebuah argumentasi yang valid tidak
membutuhkan semua premisnya benar. Perbandingkanlah dengan argumentasi yang tidak valid
berikut:
Manusia adalah makhluk hidup
Kucing adalah makhluk hidup
Jadi, kucing adalah manusia
Di sini, kita bisa menyimpulkan bahwa sebuah argumentasi yang valid tidak menjamin
bahwa konklusi atau kesimpulannya benar. Dalam konteks ini yang dibutuhkan adalah
argumentasi yang masuk akal (soundness). Sebuah argumentasi masuk akal apabila argumentasi
tersebut valid dan semua premis-premisnya benar. Dalam mengevaluasi sebuah argumentasi, kita
tidak hanya mempertanyakan apakah argumentasi tersebut valid, tetapi juga apakah semua
premisnya benar. Pertimbangkanlah argumentasi berikut:
Hampir semua mahasiswa Fakultas Teknik mendapatkan nilai baik untuk
Matematika.
Athaya adalah mahasiswa Fakultas Teknik.
Jadi, Athaya adalah mahasia yang mendapatkan nilai baik untuk Matematika.
Jelas bahwa premis-premis dari argumentasi di atas tidak memberikan jaminan bahwa
konklusi atau kesimpulannya benar. Kesimpulan bisa saja salah sekalipun semua premisnya
benar. Akan tetapi, argumentasi tetap bisa dikatakan sebagai argumentasi yang baik. Hal ini bila
premis-premisnya benar, konklusi dan kesimpulannya kemungkinan benar. Dengan argumentasi
yang kuat secara induktif (inductively strong argument), jika premis-premisnya benar, maka
konkulsi atau kesimpulan pastilah kemungkinan benar. Hal ini memang berbeda dengan
argumentasi valid, di mana bila premis-premisnya benar, maka pastilah konkulusi atau
kesimpulannya benar. Dalam mengevaluasi sebuah argumentasi, hal yang pertama dilakukan
adalah mempertanyakan apakah argumentasi tersebut valid atau kuat secara induktif. Jika
ternyata tidak valid dan lemah secara induktif, maka argumentasi itu bukanlah argumentasi yang
baik. Jika kuat secara induktif, maka yang lebih kuat; lebih baik. Hal ini tentu mengandaikan
pula kita mempertanyakan apakah premis-premisnya benar.
Dalam konteks argumentasi deduktif, semua argumentasi yang valid punya kesamaan
nilai atas kevaliditasanya. Dengan ucap lain, kita tidak bisa mengatakan satu argumentasi lebih
valid daripada argumentasi yang lainnya. Hal ini berbeda dengan argumentasi induktif, di mana
31
tidak semua argumentasi yang kuat secara induktif punya kesamaan kekuatannya.
Pertimbangkanlah dua argumentasi berikut:
99% mahasiswa UI adalah orang yang berusia di bawah 55 tahun.
Rayyan adalah mahasiswa UI.
Jadi, Rayyan adalah (kemungkinan) adalah orang yang berusia di bawah 55 tahun.
Argumentasi ini tidaklah alid secara deduktif, tetapi secara induktif sangatlah kuat. Hal
ini tidak valid dikarenakan fakta bahwa tidak ada manusia yang saya kenal hidup lebih dari 150
tahun tidak menjamin bahwa saya tidak bisa hidup lebih daripada 150 tahun. Saya bisa saja
merupakan pengecualian atau bisa saja kemajuan dunia medis memungkinkan untuk itu suatu
hari nanti. Akan tetapi, tetap saja ada kemungkinan besar jika saya tidak mengenal manusia
yang hidup lebih dari 150 tahun, saya juga tidak akan hidup lebih daripada 150 tahun. Dengan
kata lain, premisnya membuat kesimpulan secara kemungkinan besar benar. Oleh sebab itu,
argumentasi tersebut kuat secara induktif. Kekuatan induktif bisa ditingkatkan dengan informasi
atau premis tambahan. Katakanlah misalnya, Sherlock Holmes menginvestigasi kasus pencurian
berlian di sebuah toko perhiasan dengan alasan-alasan berikut:
Sidik jari Tono ditemukan dalam toko perhiasan.
Tono punya riwayat pencurian yang sama dengan kasus ini.
Tono terlihat mengintai toko perhiasan sehari sebelum terjadinya kasus pencurian.
Jadi, Tono (kemungkinan) adalah pencurinya.
Dari bukti yang tersedia kita bisa berpikir bahwa Tono adalah pencurinya, tetapi hal itu
tidak cukup menyakinkan bagi hakim. Namun, bisa saja Sherlock Holmes melanjutkan
investigasi dan menambahkan bukti tambahan yang akan membuat konkulsi atau kesimpulan
lebih mungkin benar.
32
Katakanlah Sherlock Holmes bertanya kepada Tono di mana dia di malam terjadinya
kasus pencurian dan Tono memberikan alibi yang belakangan terbukti bohong. Sementara itu,
ada saksi mata yang menyatakan bahwa Tono memang berada di dekat toko perhiasan ketika
malam terjadinya kasus pencurian. Dengan dua tambahan dua premis tersebut akan
meningkatkan kemungkinan bahwa Tono adalah pencurinya. Dengan kata lain, argumentasi yang
diberikan lebih kuat daripada sebelumnya.
Tono berbohong tentang di mana dia ketika malam terjadinya kasus pencurian dan
tidak dapat memberikan sebuah alibi yang memuaskan.
Ada saksi mata yang menyatakan melihat Tono berada di dekat toko perhiasan ketika
malam terjadinya kasus pencurian.
Terakhir, katakanlah Sherlock Holmes menemukan berlian yang dicuri di dalam mobil
Tono. Oleh karena itu, sekarang kita punya argumentasi yang kuat dalam berhadapan dengan
Tono. Berikut rumusannya:
Sidik jari Tono ditemukan dalam toko perhiasan.
Tono punya riwayat pencurian yang sama dengan kasus ini.
Tono terlihat mengintai toko perhiasan sehari sebelum terjadinya kasus pencurian.
Tono berbohong tentang di mana dia ketika malam terjadinya kasus pencurian dan
tidak dapat memberikan sebuah alibi yang memuaskan.
Ada saksi mata yang menyatakan melihat Tono berada di dekat toko perhiasan ketika
malam terjadinya kasus pencurian.
Berlian yang dicuri ditemukan di mobil Tono
Jadi, Tono adalah (kemungkinan) pencurinya.
Di sini terlihat jelas bahwa argumentasi kedua lebih kuat dibandingkan argumentasi
pertama dikarenakan tambahan bukti atau premisnya. Akan tetapi, harus disadari bahwa
kekuatan induktif punya persoalan lain daripada sekerdar relasi antara premis-premis dengan
konklusi atau kesimpulannya. Perhatikanlah argumentasi di bawah ini.
Semua angsa yang telah diobservasi berwarna putih.
Jadi, (kemungkinan) semua angsa berwarna putih.
Apakah argumentasi di atas kuat secara induktif? Jika iya seberapa kuat? Hal ini sulit
untuk ditentukan dikarenakan untuk memberikan jawaban kita perlu mempertanyakan seberapa
banyak angsa yang telah diobservasi. Jika hanya sedikit angsa yang diobservasi, katakanlah 10
atau 20 maka argumentasi tersebut lemah. Jika angsa yang diobservasi ribuan, bisa dikatakan
bahwa argumentasi tersebut cukup kuat. Akan tetapi, kita perlu juga untuk mempertanyakan di
mana observasi atas angsa itu dilakukan.
33
Katakanlah kita hanya mengobservasi ribuan angsa dan semuanya berwarna putih, tetapi
hanya di satu tempat kita melihatnya, misalnya di Kota Depok. Maka, argumentasi tersebut
lemah dikarenakan mungkin ada angsa berwarna berbeda di tempat lain. Argumentasi tersebut
akan lebih kuat bila kita telah mengobservasi angasa di berbagai tempat yang berbeda dan
semuanya berwarna putih. Akan tetapi, kita juga perlu yakin bahwa kita telah mengobservasi
angsa dari jenis kelamin yang berbeda dan fase tumbuh yang berbeda.
Katakanlah, kita hanya mengobservasi ribuan angsa, tetapi semuanya betina dan fase
tumbuh dewasanya saja. Apa yang hendak ditunjukkan adalah bahwa kekuatan induktif bukan
hanya sekadar persoalan berapa banyak observasi, tetapi kita mesti memastikan bahwa observasi
yang dilakukan cukup representatif atas sample angsa (Emmet, 2001).
34
BAB 3
LOGIKA
35
bentuk penalaran yang keliru. Dalam mempelajari logika, khususnya logika deduksi yang
difokuskan di sini dibutuhkan sistematika yang terarah sehingga didapatkan pemahaman yang
komprehensif dan konsisten. Berikut alur yang bisa digunakan:
Alur Mempelajari Logika
Dari kedua proposisi tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa Sokrates adalah
makhluk berakal budi. Kesimpulan itu dihasilkan hanya melalui analisis terhadap dua proposisi
36
tersebut tanpa bersandar pada observasi empiris terhadap Sokrates. Oleh karena itu, dapat
dikatakan pengetahuan yang dihasilkan dari logika deduktif bersifat a priori. Selain itu, kita
mengetahui bahwa kesimpulan Sokrates adalah makluk berakal budi merupakan konsekuensi
yang sudah langsung terkandung di dalam dua proposisi di atas. Dengan demikian, logika
deduktif memiliki tiga ciri, yaitu (1) analitis, di mana kesimpulan hanya ditarik dengan
menganalisis proposisi-proposisi yang sudah ada; (2) tautologis, di mana kesimpulan yang
ditarik sesungguhnya secara implisit sudah terkandung dari premis-premisnya; (3) a priori, di
mana kesimpulan ditarik tanpa bersandar pada observasi empiris atau pengalaman indera.
Lain halnya dengan logika deduktif, logika induktif sangat bertumpu pada observasi
empiris. Oleh karena itu, pengetahuan yang dihasilkan merupakan generalisasi yang didasarkan
pada pengamatan atas kasus-kasus yang dinilai mempunyai persamaan. Dengan begitu, logika
induktif menghasilkan kesimpulan yang bentuk sintetis atau penggabungan dari kasus-kasus
yang digunakan sebagai titik tolak penalaran. Berikut pola umum logika deduktif:
X1 mempunyai karateristik P.
X2 mempunyai karateristik P.
X3 mempunyai karakteristik P.
:
Xn mempunyai karateristik P.
Jadi, X mempunyai karakteristik P
Selain itu, dikarenakan titik tolak penalarannya merupakan hasil pengamatan indera,
logika induktif bersifat a posteriori. Atas dasar itulah logika induktif memiliki tiga ciri berikut:
(1) sintetis, di mana kesimpulan ditarik dengan jalan menggabungkan kasus-kasus yang dinilai
mempunyai persamaan;
(2) general, di mana kesimpuylan yang dihasilkan selalu meliputi kasus yang lebih banyak atau
lebih umum sifatnya daripada jumlah kasus yang terhimpun sebagai titik tolak penalaran;
(3) a posteriori, di mana kesimplan didasarkan pada kasus-kasus yang teramati secara
pengalaman indera.
Atas dasar itu pula, logika induktif tidak memberikan suatu kepastian mutlak, tetapi dinilai
dengan probabilitas yang diberikan oleh premis-premis kepada kesimpulannya. Berikut secara
singkat tabel perbandingan antara logika deduktif dan logika induktif.
37
38
Jika kita perhatikan argumentasi nomor 1, argumentasi itu merupakan sebuah contoh
argumentasi yang mempunyai dua nilai sekaligus, yaitu kebenaran secara formal dan kebenaran
secara material. Di sini, argumentasi dibangun dengan proses penalaran yang tepat dan proposisi-
proposisinya berkorespondensi dengan kenyataan yang sebenarnya. Dengan kata lain,
argumentasi nomor 1 ini menunjukkan kesahihan secara formal dan kebenaran secara konten.
Berikutnya, kita perhatikan argumentasi nomor 2. Semua proposisi, baik premis-premis
ataupun kesimpulannya, bersesuaian dengan kenyataan. Oleh karena itu, argumentasi ini dari sisi
konten atau logika material dinyatakan benar. Akan tetapi, argumentasi ini dari sisi proses
penalaran atau bentuknya tidaklah sahih. Hal ini dikarenakan proposisi kesimpulan Jadi, semua
salmon adalah ikan bukan implikasi logis dari premis-premisnya, sekalipun premis-premis
tersebut benar dikarenkan bersesuaian dengan kenyataan.
Sebaliknya, kita perhatikan argurmentasi nomor 3 yang dari sisi konten atau logika
material dinyatakan salah karena semua proposisi baik premis-premis ataupun kesimpulan tidak
bersesuian dengan kenyataan. Akan tetapi, argumentasi tersebut dari sisi proses penalarannya
atau logika formal dinyatakan sahih. Hal ini dikarenakan kalau saja premis-premisnya (dalam
39
konteks ini Semua amfibi mempunyai tanduk dan Semua ikan adalah amfibi) bersesuaian
dengan kenyataan, maka kesimpulan Jadi, semua ikan mempunyai tanduk mestilah benar pula.
Dengan kata lain, proses penarikan kesimpulan dari argumentasi nomor 3 adalah sahih
dikarenakan kesimpulannya merupakan implikasi logis dari premis-premisnya.
Selanjutnya, kita perhatikan argumentasi nomor 4 yang dinyatakan tidak sahih dari sisi
proses penalaran dan salah dari sisi konten dikarenakan semua proposisinya tidak bersesuaian
dengan kenyataan. Tidak sahihnya proses penalaran itu disebabkan kesimpulan Jadi, semua ikan
adalah katak bukanlah implikasi logis atau tidak dapat ditarik dari premis Semua amfibi
mempunyai tanduk dan premis Semua ikan mempunyai tanduk.
Dengan demikian, dalam suatu argumentasi ada dua persoalan yang harus dibedakan,
yaitu kesahihan proses penalaran (logika formal) dan kebenaran konten dari penalaran (logika
material). Apa yang perlu diingat adalah setiap argumentasi yang dibangun dalam konteks
akademis dan ilmiah harus memperhatikan kedua sisi tersebut secara bersama-sama. Ringkasnya,
setiap argumentasi akademis dan ilmiah mensyaratkan kesahihan proses penalaran dan
kebenaran konten dari penalaran tersebut.
3.4 Term
3.4.1 Perbedaan Kata dengan Term
Konsep adalah unsur pembangun pikiran. Setiap hal yang diinderai dan dipersepsi oleh kita
dibentuk menjadi konsep. Konsep merupakan suatu gambaran abstrak yang tidak merujuk
kepada objek konkret tertentu. Misalnya, setelah kita memperoleh pengalaman bertemu dengan
berbagai individu dengan ciri-ciri tertentu, kita memiliki konsep tentang manusia. Dalam
konteks ini, konsep manusia tidak hanya merepresentasikan individu-individu yang kita kenal,
melainkan pula manusia pada umumnya, termasuk individu-individu yang belum kita kenal. Hal
ini dikarenakan konsep yang kita punyai terkait langsung berhubungan dengan hakikat
kemanusiaan. Dengan begitu, kita dapat menyimpulkan bahwa konsep adalah suatu gambaran
abstrak yang tidak merujuk objek konkret tertentu dan menyentuh secara langsung hakikat objek
tersebut. Dikarenakan konsep merupakan suatu gambaran abstrak, untuk mewujudkannya
diperlukan suatu bentuk simbolik linguistik, yaitu kata. Dalam konteks ini, kata dapat dilihat
sebagai satuan konsep terkecil yang direpresentasikan melalui bahasa. Sejauh kata berfungsi
sebagai ungkapan lahiriah dari suatu konsep dalam logika, maka disebutlah sebagai term.
40
Di sini perlu diperjelas perbedaan kata dan term. Term selalu merupakan ungkapan
lahiriah dari suatu konsep. Dikarenakan hal itu, term dapat terdiri atas suatu kata atau lebih. Oleh
karena itu apa yang dimaksudkan dengan term adalah satu kata atau lebih yang merupakan
ungkapan lahiriah dari konsep. Misalnya, kata-kata berikut: mahasiswa; mahasiswa UI;
mahasiswa UI yang rajin; dan mahasiswa UI yang rajin belajar logika, masing-masing disebut
term dikarenakan merupakan ungkapan lahiriah dari kesatuan konsep-konsep berikut:
mahasiswa; mahasiswa UI; mahasiswa UI yang rajin; dan mahasiswa UI yang rajin
belajar logika. Oleh karena itu, term tidaklah sebangun dengan kata dikarenakan term
merupakan ungkapan lahirah dari konsep. Dalam konteks ini, term bisa saja terdiri atas lebih dari
satu kata. Jika dilihat dari jumlah kata yang terdapat dalam term, term dibedakan menjadi term
tunggal dan term majemuk. Term tunggal adalah term yang terdiri atas satu kata saja dan sudah
mempunyai arti tertentu. Term majemuk adalah term yang terdiri atas dua kata atau lebih dan
sudah mempunyai arti tertentu.
Setidaknya ada dua alasan yang membedakan antara kata dan term. Pertama, setiap term
selalu mengungkapkan konsep tertentu, sedang kata tidak selalu merujuk pada suatu konsep.
Memang ada kata yang mengungkapkan suatu konsep sehingga dapat disebut sebagai term. Kata
jenis ini dikenal sebagai kata kategorimatis, misalnya mahasiswa, kursi, meja dan lain-lain. Akan
tetapi, ada juga kata yang tidak memiliki konsep tertentu yang disebut sebagai kata
sinkategorimatis, seperti nan, yang, amboi, dan lain-lain. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan
setiap term adalah kata, tetapi tidak setiap kata adalah term.
Kedua, setiap term yang diandaikan mengungkapkan konsep dapat berfungsi sebagai
subjek atau predikat dalam proposisi. Misalnya, proposisi Gajah adalah hewan mamalia.
Dalam contoh tersebut, term gajah berfungsi sebagai subjek dan term hewan mamalia
berfungsi sebagai predikat. Dari contoh tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa tem subjek
ataupun term predikat dapat saja terdiri dari satu atau lebih kata; namun keseluruhan kata itu
tetap dianggap satu konsep semata. Misalnya, proposisi Gajah yang dinaiki oleh pawang
mengamuk di lingkungan padat penduduk tetap dinyatakan memiliki dua term, yaitu term
subjek Gajah yang dinaiki oleh pawang dan term predikat mengamuk di lingkungan padat
penduduk.
Dalam proposisi tidak dikenal istilah objek, keterangan ataupun hal lainnya sebagaimana
lazim ditemukan dalam kajian kebahasaan. Hal ini dikarenakan hubungan antara term subjek dan
41
term predikat merupakan syarat mutlak untuk terbentuknya proposisi yang merupakan unsur
pembangun penalaran. Oleh karena itu, pemahaman akan term sebagai unsur terkecil dalam
bidang logika sangat sangat penting dan tidak mungkin dilewatkan jika hendak mengertinya
secara utuh.
42
Ada catatan yang perlu ditegaskan di sini terkait dengan tabel di atas, yaitu kita harus
memperhatikan ketentuan khusus dan kontekstual dari term itu sendiri. Dalam konteks ini,
ketentuan khusus berhubungan dengan keterangan kuantitas (semua, seluruh, beberapa, sebagian
dan lain-lain) dan kata penunjuk itu yang memang bisa mempermudah kita untuk mengerti luas
term. Akan tetapi, tidak setiap term di dalam suatu proposisi ada keterangan kuantitasnya. Jik
demikian, kontekstual dari term itu sendiri perlu diperhitungkan. Dalam konteks kebahasaan,
kata itu dalam suatu proposisi bisa berfungsi sebagai kopula (penghubung term subjek dan term
predikat) yang semakna dengan kata adalah. Misalnya, Gajah itu hewan mamalia.
Dalam proposisi tersebut, kata itu berfungsi sebagai kopula dikarenakan maknanya
sama dengan Semua gajah adalah hewan mamalia. Oleh karena itu, luas termnya universal
dikarenakan tidak merujuk pada gajah tertentu, tetapi pada semua gajah tanpa kecuali. Lain
halnya dengan proposisi Gajah itu bergading panjang. Dalam proposisi ini, kata itu berfungsi
sebagai penunjuk sehingga luas termnya singular. Dalam konteks yang lain, misalnya proposisi
Orang Indonesia rajin belajar luas termnya tidak dapat dipahami dalam luas universal, tetapi
mestilah dalam luas partikular. Artinya, proposisi itu lebih semakna dengan Beberapa orang
Indonesia rajin belajar. Oleh karena itu, pemahaman konstekstual dari suatu term sangat penting
untuk menentukan luas term tersebut.
Di samping luas term yang sudah dibahas di atas, pengklasifikasian term juga bisa
didasarkan pada sifat term. Sifat dari term dapat digolongkan menjadi term distributif dan term
kolektif. Suatu term bersifat distributif apabila konsep yang terkandung dalam term tersebut
dapat dikenakan kepada anggota atau individu yang tercakup di dalamnya, satu demi satu tanpa
terkecuali. Misalnya, term hewan bersifat distributif sejauh term itu dapat diterapkan term-term
seperti gajah, jerapah, panda, dan lain-lain yang bernaung di dalam lingkup konseptual dari
hewan.
Selain itu, suatu term bersifat kolektif apabila konsep yang terkandung dalamnya tidak
bisa dikenakan kepada anggota atau individu yang tercakup di dalamnya satu demi satu,
melainkan berkelompok sebagai keseluruhan. Misalnya, term keluarga bersifat kolektif
dikarenakan konsep keluarga tidaklah menunjuk pada anggota atau individu yang berada di
dalam lingkup konsep tersebut, melainkan pada keluarga itu sendiri sebagai satu kesatuan
kelompok. Ada banyak term lain yang bersifat kolektif seperti bangsa, orkes, armada, partai,
suku, kesebelasan, tim dan lain-lain. Berikut tabel ringkasan terkait dengan sifat term.
43
3.4.3 Klasifikasi
Setiap term terkait erat dengan cakupan konseptualnya. Dalam konteks itu, kita perlu mengetahui
persoalan klasifikasi. Klasifikasi merupakan suatu cara seseorang melakukan pembagian suatu
konsep ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil. Apa yang dimaksudkan dengan klasifikasi
bukanlah pembagian fisik, tetapi pembagian logis. Ada dua alasan yang pembedaan ini. Pertama,
dalam pembagian fisik, bagian-bagian yang lebih kecil tidak mempunyai hubungan sama sekali
dengan keseluruhan suatu konsep tertentu. Contonya, apabila sebuah mobil yang dilepas bagian-
bagiannya, maka kita tidak bisa mengatakan Knalpot adalah mobil atau setir adalah mobil.
Berbeda dengan pembagian logis, bagian-bagian yang lebih kecil mempunyai hubungan
dengan keseluruhan suatu konsep tertentu. Oleh karena itu, keseluruhan suatu konsep tertentu
dapat berfungsi sebagai predikat untuk bagian-bagian yang lebih kecil tersebut. Contohnya,
konsep binatang dapat diklasifikasikan ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil atau subkelas,
seperti sapi, kambing, kerbau, dan lain-lain. Oleh karena itu, kita masih bisa mengatakan
Kambing adalah binatang ataupun Sapi adalah binatang. Kedua, pembagian fisik terkadang
tidak menunjukkan suatu kriteria yang jelas. Selain itu, pembagian logis terhadap suatu konsep
ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil atau subkelas-subkelasnya selalu didasarkan pada satu
kriteria tertentu. Dengan demikian, klasifikasi sebagai pembagian logis dapat dimengerti sebagai
pembagian suatu konsep ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil atau subkelas-subkelasnya
berdasarkan satu kriteria tertentu (Hayon, 2000). Berikut contoh klasifikasi.
44
Di dalam logika, ada sejumlah prinsip yang digunakan untuk menyusun suatu klasifikasi
yang tepat. Berikut prinsip-prinsip klasifikasi.
Tabel Prinsip-Prinsip Klasifikasi
No Prinsip Klasifikasi Penjelasan dan Contoh
1 Klasifikasi harus lengkap Pengklasifikasian dari suatu konsep mengharuskan
semua subkelasnya yang berada di bahwa lingkup
konsep tersebut harus disebutkan secara lengkap.
Artinya, ketika subkelas-subkelas itu disatukan,
hasilnya tidak lebih atau tidak kurang dari lingkup
keseluruhan konsep yang dibagi-bagi. Misalnya,
klasifikasi terhadap benda tidak lengkap apabila hanya
dibagi menjadi subkelas benda padat dan subkelas
benda cair saja. Ketidaklengkapan dalam klasifikasi
itu karena tidak disebutkan subkelas benda gas.
2 Klasifikasi harus benar- Pengklasifikasian batas satu subkelas dengan subkelas
benar memisahkan (tidak yang lain harus benar-benar terpisah dan terbedakan
tumpang-tindih) dengan jelas. Artinya, satu subkelas dengan subkelas
yang lain tidak tumpang-tindih (overlapping). Misalnya,
mahasiswa UI, diklasifikasi menjadi subkelas
mahasiswa UI yang berusia 18 tahun ke atas dan
mahasiswa UI yang berusia 20 tahun ke bawah.
Klasifikasi ini dinyatakan tidak benar-benar
memisahkan dikarenakan subkelas keduanya tumpang
tindih pada rentang mahasiswa UI yang berusia 18
sampai dengan 20 tahun.
3 Klasifikasi harus Prinsip ini merupakan penegasan kembali dari definisi
menggunakan kriteria yang klasifikasi yang telah dibahas di atas, yaitu pembagian
sama logis dengan kriteria yang sama atau tertentu.
Penggunaan kriteria yang berbeda dapat membuat
pengklasifikasian keliru dan menunjukkan pada
ketidakkonsistenan. Misalnya, sepatu diklasifikasikan
45
46
3.4.3 Definisi
Secara etimologis, kata definisi berasal kerja definere yang dalam bahasa Latin mempunyai arti
membatasi atau mengurung dalam batas-batas tertentu (Hayon, 2000). Dalam kegiatan
akademis, definisi selalu berhubungan dengan istilah yang hendak dijelaskan. Artinya, definisi
bisa dimengerti sebagai penentuan batas konseptual bagi suatu istilah. Oleh karena itu, definisi
mempunyai dua tujuan, yaitu memberikan rumusan yang lengkap terkait dengan istilah yang
didefinisikan dan mampu memperlihatkan perbedaan antara satu istilah dan istilah yang lainnya.
Pendefinisian suatu konsep dalam kegiatan akademis sangat penting dikarenakan dapat
meminimalkan kemungkinan terjadinya kesalahpahaman terkait dengan konsep tersebut.
47
Kerancuan pemahaman akan sulit dihindari apabila dari awal percakapan akademis tidak terlebih
dahulu menerangkan secara definitif apa yang dimaksud dengan sebuah konsep tertentu. Sebuah
definisi mengandung dua unsur, yaitu hal yang didefinisikan disebut definiendum dan hal yang
mendefinisikan atau menjelaskan arti difiniendum tersebut disebut definiens. Di sini perlu
ditegaskan bahwa definiens bukan arti dari definiendum, melainkan suatu istilah atau kelompok
istilah yang terkait dengan konteks definisi mempunyai arti yang sama dengan definiendum.
Lebih jelasnya perhatian tabel berikut:
Tabel Dua Unsur Definisi
Definiendum Definiens
Istilah yang hendak dijelaskan artinya Perumusan atau penjelasan yang diberikan
Pemahaman terkait dengan klasifikasi yang telah dijelaskan di atas sangat membantu kita
untuk menyusun suatu definisi yang tepat terkait dengan konsep ataupun istilah tertentu.
Misalnya, jika kita ingin mendefinisikan sebuah konsep bukanlah hal yang sulit jika kita
mengetahui dengan baik apa yang merupakan kelas induk (genus proximum) dan ciri spesifik
yang dimiliki oleh konsep tersebut sebagai suatu subkelas yang membedakannya dari subkelas-
subkelas lainnya (differentia spesifica). Misalnya, kita ingin mendefinsikan apa itu manusia.
Kita tahu bahwa kelas induk dari manusia adalah makhluk hidup (genus proximum) dan
ciri spesifik yang dimiliki oleh konsep manusia sebagai subkelas yang membedakannya dari
subkelas-subkelas lainnya (dalam konteks ini, hewan dan tumbuhan) adalah berakal budi
(differentia spesifica). Oleh karena itu, manusia dapat didefinisikan secara tepat sebagai makhluk
hidup (genus proximum) yang berakal budi (diffrentia spesifica). Penyusunan suatu definisi yang
tepat haruslah mengikuti ketentuan tertentu. Berikut prinsip-prinsip yang bisa diaplikasikan
untuk menghasilkan sebuah definisi yang tepat.
Tabel Prinsip-prinsip Definisi
No Prinsip Definisi Penjelasan dan Contoh
1 Definiens harus bisa dibolak- Prinsip ini menjelaskan bahwa definies tidak boleh
balikkan definiendum lebih luas atau lebih sempit dari definiendum. Apabila
ada perbedaan dalam luas cakupan konseptual
mengakibatkan kedua unsur definisi tersebut tidak
dapat dipertukarkan.
48
Contoh 1:
Elang adalah burung yang dapat terbang. Definisi ini
tidak tepat dikarenakan burung yang dapat terbang
lebih luas cakupan konseptualnya daripada elang
sehingga kalau dibalikkan Burung yang dapat terbang
adalah elang terjadilah kekeliruan.
Contoh 2:
Kursi adalah tempat duduk yang terbuat dari kayu.
Definisi ini tidak tepat dikarenkaan tempat duduk
yang terbuat dari kayu lebih sempit cakupan
konseptulnya daripada kursi (kursi bisa saja tidak
terbuat dari kayu, tetapi besi misalnya).
Oleh karena itu, bisa tidaknya pembalikan posisi
difiniens dan definiendum adalah cara pengujian yang
efektif terkait dengan tepat atau tidaknya sebuah
definisi.
2 Definiendum tidak boleh Prinsip ini menjelaskan bahwa kata atau kelompok
masuk ke dalam definiens kata yang mendefinisikan tidak boleh menggunakan
kata yang didefinisikan. Jika hal itu terjadi, mka hanya
akan membentuk definisi yang sirkular atau tautologis
disebut dengan circulus in defienindo.
Contohnya, Logika adalah ilmu yang mempelajari
aturan-aturan logika. Dalam konteks ini, definisi ini
tidak tepat dikarenaka istilah logika tetap tidak
terjelaskan karena istilah itu justru diulang atau masuk
di dalam penjelasan atasnya.
3 Definiens harus dirumuskan Prinsip ini menegaskan bahwa definiens tidak boleh
secara jelas dinyatakan dalam bahasa yang kabur atau kiasan.
Pelanggaran atas prinsip ini menghasilkan apa yang
disebut dengan obscurum per obscurius yang berarti
menjelaskan sesuatu dengan keterangan yang lebih
49
3.5 Proposisi
3.5.1 Perbedaan Kalimat dan Proposisi
Dalam kehidupan sehari-hari, kita berkomunikasi menggunakan kalimat, baik kalimat berita,
kalimat tanya, maupun kalimat perintah. Perhatikanlah kalimat-kalimat berikut.
(1) Saya adalah mahasiswa UI
(2) Apakah kamu sudah sarapan tadi pagi?
50
51
halnya dengan Tono bukan mahasiswa UI. Hal ini berarti kualitas proposisinya negatif
karena term subjek Tono dinegasi oleh term predikat mahasiswa UI. Dalam pola formal
dua hubungan (afirmatif dan negasif) antara term subjek dan term predikat dapat dinyatakan
sebagai beikut: S=P dan SP.
4. Penanda (kata) yang menunjukan banyaknya satuan yang diikat oleh term subjek.
Dalam konteks itu, penanda satuan bisa menunjuk kepada permasalahan universal, partikular
dan singular. Pada universal ditandai seperti kata seluruh, semua, setiap, tidak satu pun
dan lain-lain. Pada partikular ditandai seperti kata sebagian, kebanyakan, beberapa,
hampir seluruh, dan lain-lain. Pada singular biasanya tidak dinyatakan, tetapi merujuk
kepada nama diri atau nama unik di dalam term singular.
Berikut tabel yang menunjukan contoh unsur-unsur dalam proposisi yang perlu diperhatikan.
Tabel Unsur-Unsur Proposisi
Penanda Satuan Term Subjek Kopula Term Predikat
Semua manusia Adalah makhluk berakal
budi
Sebagian mahasiswa UI Bukan penyanyi
Hanif Adalah Seorang dosen di
UI
Di sini, perlu ditekankan suatu proposisi bisa saja tidak menyatakan penanda satuan dan
kopulanya (khususnya pada proposisi yang berkualitas afirmatif) secara eksplisit (tersurat). Akan
tetapi, hal itu tidak berarti subjek dari proposisi tersebut tidak mengandung banyaknya satuan
yang diikatnya ataupun hubungan terkait term subjek dan predikat. Misalnya, proposisi Dosen
adalah orang yang mengajar di perguruan tinggi. Dalam propisisi tersebut, penanda satuannya
memang tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi yang dimaksudkan adalah Semua dosen adalah
orang yang mengajar di perguruan tinggi karena tidak ada satupun dosen yang tidak mengajar di
perguruan tinggi. Contoh yang lain, proposisi Orang Batak pandai bernyanyi. Dalam hal ini,
penanda satuan dan kopula tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi yang dimaksudkan adalah
Sebagian orang Batak adalah orang yang pandai bernyanyi. Artinya, pemahaman makna
kontekstual terkait dengan term dan proposisi dibutuhkan untuk menentukan atau melihat
penanda satuan, term subjek, kopula dan predikat suatu proposisi tertentu.
52
b. Kualitas Proposisi
Kualitas proposisi ditentukan oleh kopulanya. Kita telah mengetahui bahwa sebuah proposisi
mesti mengandung kopula sebagai penanda afirmasi atau negasi. Oleh karena itu, klasifikasi
proposisi kategoris berdasarkan kualitas dibagi menjadi proposisi afirmatif dan proposisi negatif.
Perhatikan tabel berikut.
53
54
punya sifat sama tersebut. Para ahli logika hanya menggunakan empat lambang saja untuk
mewakili keenam macam proposisi di atas. Empat lambang itu adalah A, E, I, dan O. Berikut
empat lambang yang merepresentasikan enam macam proposisi dan contohnya.
55
yaitu oposisi (penalaran langsung dengan memperlawankan kualitas dan kuantitas proposisi) dan
eduksi (penalaran lansung dengan mempersamakan makna proposisi dalam redaksi yang
berbeda).
3.6.1 Oposisi
Penalaran langsung oposisi merupakan sebuah proses penalaran yang membandingkan
antarproposisi terkait kualitas dan kuantitas proposisi dengan term yang sama. Penalaran
langsung oposisi ada empat jenis, yaitu (1) Kontraris; (2) Subkontraris; (3) Subalterna, dan (4)
Kontradiktoris. Perhatikan tabel berikut.
Tabel Jenis Oposisi
Aspek Oposisi Proposisi-Proposisi Opositif Jenis Oposisi
Kualitas Proposisi A dengan Proposisi E (A-E) Kontraris
Proposisi I dengan Proposisi O (I-O) Subkontraris
Kuantitas Proposisi A dengan Proposisi I (A-I) Subalterna
Proposisi E dengan Propsosisi O (E-O)
Kualitas dan Kualitas Proposisi A dengan Proposisi O (A-O) Kontradiktoris
Proposisi E dengan Proposisi I (E-I)
Lebih jelas lagi apabila jenis oposisi tersebut divisualkan dalam sebuah diagram dengan garis
horizontal yang menyatakan oposisi dalam aspek kualitas dan garis vertikal yang menyakatan
aspek kualitas seperti gambar berikut.
Segi Empat Oposisi
A Kontraris E
I Subkontraris O
Ada catatan yang diperlukan terkait dengan proposisi A dan proposisi E pada gambar
segi empat opisisi. Dalam gambar itu, proposisi A dan proposisi E yang dimaksudkan adalah
56
proposisi dengan kuantitas singular. Dalam konteks itu, sifat opositifnya bukanlah kontraris,
tetapi kontradiktoris. Sementara itu, kedua jenis oposisi lainnya, baik oposisi kontraris dan
subalterna tidak bisa dilakukan atau tidak ada. Misalnya, Andi adalah mahasiswa UI (Proposisi
A) hanya mungkin mempunyai relasi opositif Andi bukan mahasiswa UI (Proposisi E). Walau
relasi opositifnya dengan proposisi E, dalam konteks ini relasi opositifnya bukanlah berjenis
kontraris melainkan kontradiktoris. Berikut dalil-dalil umum nilai kebenaran dari penalaran
oposisi.
1) Kontraris (Proposisi A-E)
Dalil utama oposisi kontraris adalah kedua proposisi (A dan E) itu tidak dapat dua-duanya benar
sekaligus; tetapi dapat sekaligus salah. Oleh karena itu, dalil itu dapat diturunkan sebagai berikut.
a) Jika satu benar, proposisi yang lain pasti salah.
b) Jika satu salah; proposisi yang lain bisa benar, tetapi bisa juga salah (tidak pasti).
Contoh:
Jika proposisi, Semua mahasiswa UI adalah orang yang cerdas dinyatakan benar;
maka propsisi Semua mahasiswa UI bukan orang yang cerdas pastilah proposisi
Semua mahasiswa UI bukan orang yang cerdas pastilah salah.
Jika proposisi Semua dosen UI adalah orang yang jujur dinyatakan salah; maka
propososi Semua dosen UI bukan orang yang jujur bisa benar, tetapi bisa juga salah
(tidak pasti).
2) Subkontraris (Proposisi I-O)
Dalil utama oposisi subkontraris adalah kedua proposisi (I-O) tidak dapat dua-duanya salah
sekaligus; tetapi dapat sekaligus benar. Oleh karena itu, dalil itu dapat diturunkan sebagai
berikut:
Jika satu salah, proposisi yang lain pasti benar.
Jika satu benar; proposisi yang laian bisa benar, tetapi bisa juga salah (tidak pasti).
Contoh:
Jika proposisi, Sebagian pemain sepak bola adalah penyanyi yang handal
dinyatakan salah; maka proposisi Sebagian pemain sepak bola bukan penyanyi yang
handal pastilah benar.
57
58
59
Sebelum masuk lebih jauh terkait dengan penalaran langsung eduksi sangat penting
memahami luas term predikat pada sebuah proposisi.2 Luas term predikat di dalam sebuah
proposisi berhubungan erat dengan kualitas proposisi. Fokus utama terkait luas term predikat
adalah apakah term predikat suatu proposisi terdistribusi (meliputi semua anggotanya secara satu
per satu atau universal) atau tidak terdistribusi (hanya pada sebagian anggotanya atau
partikular). Pemahaman akan luas term predikat ini bukan hanya dibutuhkan pada penalaran
langsung eduksi, tetapi juga pada penalaran tidak langsung seperti silogisme kategoris. Ada dua
dalil terkait dengan luas term predikat sebuah proposisi, yaitu:
(1) dalam proposisi yang berkualitas afirmatif (A dan I) luas term predikat selalu tidak
terdistribusi (partikular); dan
(2) dalam propososi yang berkualitas negatif (E dan O) luas term predikat selalu
terdistribusi (universal).
Tabel Dalil Luas Term Predikat
Jenis Proposisi Luas Term Predikat
Proposisi A (univesal/singular-afirmatif) Tak Terdistribusi (partikular)
Proposisi E (universal/singular-negatif) Terdistribusi (universal)
Proposisi I (partikular-afirmatif) Tak Terdistribusi (partikular)
Proposisi O (partikular-negatif) Terdistribusi (universal)
Dalam konteks tabel di atas, perlu dijelaskan ada tiga pengecualian terhadap dua dalil di
atas. Pertama, dalil tidak berlaku pada proposisi A yang memiliki corak definisi, karena definiens
dan difiniendum memang dapat dibolak-balikkan. Dengan kata lain, proposisi corak defini luas
term subjek universal dan term predikatnya terdistribusi (universal). Berikut contoh proposisi
corak definisi.
Manusia adalah makhluk hidup yang berakal budi.
Duda adalah lelaki yang pernah beristri.
Kedua, dalil tidak berlaku pada proposisi A yang term subjek dan term predikatnya
memang merujuk pada satu hal tertentu. Dalam konteks itu, luas term predikatnya adalah
singular. Misalnya:
2
Penjelasanterkaitdenganluastermsubjektelahdiberikanpada2.1.LuasdanSifatTerm.Kuantitassebuah
proposisiditentukanolehluastermsubjeknya,bukanluastermpredikatnya.
60
a. Konversi
Konversi adalah jenis penalaran langsung eduksi yang dilakukan dengan cara menukarkan posisi
tem subjek dengan term predikat proposisi tanpa mengubah kualitasnya. Jadi, peralihan terjadi
dari tipe S-P ke tipe P-S. Agar penalaran eduksi jenis ini tepat atau kesimpulan mempunyai
makna yang sama dengan premisnya, perlu diperhatikan dalil pokok konversi, yaitu: Luas term
subjek dan predikat yang dipertukarkan harus sama besar. Oleh karena itu, hanya dua
proposisi yang secara sempurna dapat dikonversikan, yaitu proposisi E dan proposisi I. Pada
proposisi E luas term subjek dan predikat sama-sama universal. Pada proposisi I luas term subjek
predikat sama-sama partikular. Artinya, apabila term subjek dan term predikatnya dipertukarkan;
maka tetap akan semakna. Perhatikan contoh berikut.
Premis: Semua gajah bukan kijang. (proposisi E)
Kesimpulan: Semua kijang bukan gajah. (proposisi E)
Premis: Beberapa mahasiswa UI adalah pemain biola. (proposisi I)
Kesimpulan: Beberapa pemain biola adalah mahasiswa UI. (proposisi I)
Konversi sempurna ini tidak bisa dilakukan terhadap proposisi A. Hal ini dikarenakan
dalam proposisi A luas term subjeknya universal, sedangkan luas term predikatnya partikular
(tidak terdistribusi). Oleh sebab itu, jika dikonvesikan secara sempurna maknanya berbeda.
Perhatikan contoh berikut.
Premis: Semua berlian adalah benda berharga. (Proposisi A)
Kesimpulan : Semua benda berharga adalah berlian. (Proposisi I)
Kita lihat kesimpulan yang dihasilkan tidak tepat. Oleh karena itu, konversi yang tepat
terhadap proposisi A mensyaratkan pembatasan term predikat dalam kesimpulan. Dengan kata
61
lain, dijadikan partikular atau secara teknis dijadikan proposisi I. Konversi atas proposisi A
disebut sebagai konversi terbatas. Berikut contoh konvesi yang tepat terhadap proposisi A:
Premis : Semua berlian adalah benda berharga. (Proposisi A)
Kesimpulan : Sebagian benda berharga adalah berlian. (Proposisi I)
Proposisi O tidak dapat dikonversikan sama sekali. Hal ini dikarenakan luas term subjek
dan luas term predikat pada proposisi O berbeda besarnya. Hasil kesimpulan sama sekali tidak
semakna dengan premisnya dan selalu keliru; bahkan kalaupun diubah menjadi proposisi E.
Perhatikan contoh berikut:
Misalnya:
Premis : Sebagian binantang bukan kucing. (Proposisi O)
Kesimpulan : Sebagian kucing bukan binatang. (Proposisi O)
Premis : Sebagian mahasiswa UI bukan orang yang berasal dari Solo.
(Proposisi O)
Kesimpulan : Semua orang yang berasal dari Solo bukan mahasiwa UI.
(Proposisi E)
Secara umum, konversi terhadap proposisi dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel Konversi Proposisi
Jenis Proposisi Awal (Premis) Konversi (Kesimpulan)
Proposisi
A Semua S adalah P Sebagian P adalah S
(konversi terbatas)
E Semua S bukan P Semua P bukan S
(konversi sempurna)
I Sebagian S adalah P Sebagian P adalah S
(konversi sempurna)
O Sebagian S bukan P Tidak dapat dikonversikan
b. Obversi
Obversi adalah penalaran langsung eduksi yang mengungkapkan kembali satu proposisi ke
proposisi lain yang semakna dengan mengubah kualitas proposisi awal (premis). Jadi, kita
beralih dari proposisi tipe S-P menjadi S-nonP atau S-nonP menjadi SP. Jika pada konversi
62
ada perubahan pada kuantitas tanpa perubahan kualitas, maka pada obversi ada perubahan pada
kualitas tanpa perubahan kuantitas. Untuk melakukan obversi terhadap suatu proposisi, kita
harus melakukan dua hal, yaitu
(1) mengubah kualitas (bukan kuantitas) proposisi awal;
(2) menegasikan predikat. Obversi sebetulnya berpijak pada prinsip negasi ganda, di mana
A ekuivalen dengan negasi dari negasi A.3
Obversi dapat dilakukan pada semua jenis proposisi. Oleh sebab itu ada empat jenis
obversi sebagai berikut.
1. Obversi Proposisi A menjadi Proposisi E
Premis : Semua buaya adalah binatang buas. (Proposisi A)
Kesimpulan: Semua buaya bukan non-binatang buas. (Proposisi E)
2. Obversi Proposisi E menjadi Proposisi A
Premis : Semua mahasiswa UI bukan orang buta huruf. (Proposisi E)
Kesimpulan: Semua mahasiswa UI adalah nonorang buta huruf. (Proposisi A)
3. Obversi Proposisi I menjadi Proposisi O
Premis : Sebagian orang kaya adalah pengusaha yang andal. (Proposisi I)
Kesimpulan: Sebagian orang kaya bukan nonpengusaha yang andal. (Proposisi O)
4. Obveresi Proposisi O menjadi Proposisi I
Premis : Sebagian karyawan bukan perokok. (Proposisi O)
Kesimpulan : Sebagian karyawan adalah non-perokok. (Proposisi I)
Secara umum, obversi terhadap proposisi dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel Obversi Proposisi
Jenis Proposisi Proposisi Awal (Premis) Konversi (Kesimpulan)
A Semua S adalah P Semua S bukan non-P (Proposisi E)
E Semua S bukan P Semua S adalah non-P (Proposisi A)
I Sebagian S adalah P Sebagian S bukan non-P (Proposisi O)
O Sebagian S bukan P Sebagian S bukan non-P
3
BentukformalnyaadalahA~(~A)
63
c. Kontraposisi
Kontraposisi adalah penalaran langsung eduksi yang mengungkapkan kembali suatu proposisi ke
proposisi lain yang semakna dengan cara menukar posisi term subjek dengan term predikat dan
menegasikan keduanya. Dengan kata lain, kita beralih dari tipe proposisi S-P ke tipe proposisi
nonP-nonS. Cara melakukan kontraposisi adalah menggunakan konversi dan obversi yang
telah dijelaskan di atas. Dalam konteks kontraposisi, langkah-langkahnya sebagai berikut:
(1) melakukan obversi dari proposisi awal;
(2) melakukan konversi; dan
(3) melakukan obeversi.4
Seperti konversi, kontraposisi tidak dapat diterapkan pada semua jenis proposisi. Dalam
konteks ini, hanya proposisi A dan proposisi O yang dapat dilakukan prosedur kontraposisi
langsung. Sementara itu, proposisi E harus diubah menjadi O. Perhatikan contoh di bawah ini.
Premis : Semua intan adalah batu mulia. (Proposisi A)
Obversi : Semua intan bukan non-batu mulia. (Langkah 1)
Konversi : Semua non-batu mulia bukan intan. (Langkah 2)
Obversi : Semua nonbatu mulia adalah nonintan. (Langkah 3 dan Kesimpulan)
Premis: Sebagian kucing bukan hewan jinak. (Proposisi O)
Obversi: Sebagian kucing adalah non-hewan jinak. (Langkah 1)
Konversi: Sebagian non-hewan jinak adalah kucing. (Langkah 2)
Obversi: Sebagian non-hewan jinak bukan non-kucing. (Langkah 3 dan Kesimpulan)
Premis: Semua tembaga bukan benda gas. (Proposisi E)
Obversi: Semua tembaga adalah non-benda gas. (Langkah 1)
Konversi: Sebagian non-benda gas adalah tembaga. (Langkah 2)
Obversi: Sebagian non-benda gas bukan non-tembaga. (Langkah 3 dan Proposisi I)
Berdasarkan prosedur itu, sebenarnya kita dapat melakukan kontraposisi secara langsung
sebagai berikut.
Premis: Semua pahlwan adalah orang pemberani.
Kesimpulan: Semua non-orang pemberani adalah non-pahlawan.
Premis: Sebagian pejabat bukan koruptor
4
Prosedursepertimembuatkontraposisidikenalpulasebagaiobversidariobversiyangtelahdikonversi.
64
d. Inversi
Inversi adalah penalaran langsung eduksi yang mengungkapkan kembali suatu proposisi ke
proposisi lain yang semakna dengan menegasikan kedua term subjek dan term predikat tanpa
mengubah posisinya. Dengan kata lain, kita beralih dari tipe proposisi S-P ke tipe proposisi
nonS-nonP. Untuk melakukan inversi, digunakan obvesi dan konversi secara bergantian
sehingga mendapatkan proposisi yang dimaksud (Mundiri, 2015). Dalam konteks ini, hanya
proposisi A dan E yang bisa dilakukan inversi. Pedoman yang perlu diperhatikan terkait dengan
dua proposisi itu sebagai berikut.
1. Jika premisnya adalah proposisi A, maka proposisi yang dihasilkan adalah proposisi I. Jika
premisnya adalah proposisi E, maka proposisi yang dihasilkan adalah proposisi O.
2. Jika premisnya adalah proposisi A, maka prosedur inversi harus dimulai dengan obversi.
Jika premisnya adalah proposisi E, maka prosedur inversi harus dimulai dengan konversi.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut.
Proposisi A
Premis : Semua perak adalah logam.
Obversi : Semua perak bukan non-logam.
Konversi: Semua yang non-logam bukan perak.
Obversi : Semua yang non-logam adalah non-perak.
Konversi: Sebagian yang non-perak adalah non-logam. (Kesimpulan)
Proposisi E
Premis : Semua ayam bukan amfibi.
Konversi : Semua amfibi bukan ayam.
65
66
konklusinya diambil secara pasti dari premis-premsi yang menyatakan hal yang berbeda (Angel,
1964). Dalam konteks ini, silogisme dibagi menjadi silogisme kategoris dan silogisme hipotesis.
Perlu ditekankan bahwa penilaian terhadap silogisme adalah persoalan sahih (valid) atau tidak
sahih (invalid). Artinya, yang difokuskan pada logika formal (bentuknya), bukan pada logika
material (kontennya).5
Dalam konteks silogisme kategoris di atas, jika kita mendapatkan unsur-unsur silogisme
berdasarkan termnya adalah sebagai berikut.
1. Term yang menjadi subjek (S) kesimpulan yang disebut term minor (orang bahagia).
2. Term yang menjadi predikat (P) kesimpulan yang disebut term mayor (orang Indonesia).
3. Term yang tidak terdapat pada kesimpulan, tetapi termuat dalam dua premis awal (orang
baik) disebut terminus medius atau term penghubung yang disingkat dengan (M).
Term mayor dan term minor dari sebuah silogisme kategoris selalu terkandung dalam salah satu
dari kedua premis silogisme tersebut. Oleh karena itu, ketentuannya sebagai berikut.
1. Premis yang memuat term mayor disebut premis mayor. Proposisi pertama pada baris
pertama.
2. Premis yang memuat term minor disebut premis minor. Proposisi kedua pada baris kedua
3. Kesimpulan atau konklusi diturunkan dengan memperhatikan hubungan antara premis mayor
dan premis minor. Proposisi ketiga pada baris ketiga.
5
PerbedaanlogikaformaldenganlogikamaterialdibahaspadaSubbab1.1LogikaFormaldanMaterial.
67
Dalam konteks ini, pada premis mayor orang yang terhormat berlaku (diafirmasi) bagi
semua TNI, sedangkan pada premis minor Badrun adalah anggota dari TNI, maka
otomatis orang terhormat berlaku (diafirmasi) pula bagi Badrun secara singular.
Dalam konteks ini, pada premis mayor orang yang jujur tidak berlaku (diingkari atau
dinegasi) bagi semua koruptor, sedang pada premis minor sebagian pejabat adalah
anggota dari koruptor, maka otomatis orang yang jujur tidak berlaku (diingkari atau
dinegasi) pula bagi pejabat secara partikular.
68
Simbol Keterangan
S Subjek/term minor
P Predikat/term mayor
M Term pengubung (terminus medius)
U Universal
P Partikular
+ Afirmatif
- Negatif
1) Silogisme harus terdiri tiga tiga term, yaitu term subjek, term predikat, dan term
penghubung.
Apabila lebih atau kurang dari tiga term, maka tidak bisa ditarik kesimpulan. Contohnya
sebagai berikut.
Semua tanaman (1) adalah makhluk hidup (2).
Semua batu (3) adalah mineral (4).
Jadi,...(?) (Kesimpulan tidak dapat ditarik karena term lebih dari tiga)
Semua kerbau (1) adalah hewan mamalia (2).
Beberapa hewan mamalia (2) adalah kerbau (1).
Jadi,...(?) (Kesimpulan tidak dapat ditarik karena term kurang dari tiga)
2) Term subjek dan/atau term perdikat tidak boleh menjadi universal dalam
kesimpulan jika di dalam premis hanya berluas pertikular.
Berikut contoh silogisme kategoris yang tidak tepat karena melanggar dalil ini.
uM + pP Semua kambing adalah hewan herbivora
uS uM Semua singa bukan kambing
uS uP Jadi, semua singa bukan hewan herbivora
69
Dari silogisme kategoris di atas terlihat bahwa luas term predikat sebagai term mayor
(hewan herbivora) dalam kesimpulan (universal) lebih luas daripada luas term
tersebut dalam premis mayor (partikular). Kesalahan jenis ini disebut dengan istilah
illicit mayor.
uM uP Burung burung bukan hewan mamalia.
uM + pS Semua burung adalah hewan berkaki dua.
uS uP Semua hewan berkaki dua bukan mamalia.
Dari silogisme kategoris di atas terlihat bahwa luas term subjek sebagai term minor
(hewan berkaki dua) dalam kesimpulan (universal) lebih luas daripada luas term
tersebut dalam premis minor (partikular). Kesalahan jenis ini disebut dengan istilah
illicit minor.
3) Term penghubung (term M) tidak boleh muncul dalam kesimpulan.
Berikut contoh silogisme kategoris yang tidak tepat karena melanggar dalil ini.
M + P Semua pelajar adalah orang yang giat.
M + S Semua pelajar adalah orang yang cerdas.
M + S Jadi, semua pelajar adalah orang giat.
Dalam silogisme di atas term M berfungsi sebagai pembanding, melainkan menjadi
salah satu bagian dari kesimpulan. Dengan demikian, kesimpulan yang terjadi
bukanlah merupakan putusan baru.
4) Salah term penghubung (term M) setidaknya harus terdistribusi (berluas universal)
di dalam premis mayor dan/atau premis minor. Berikut contoh silogisme kategoris
yang melanggar dalil ini:
uP + pM Semua burung adalah hewan yang bersayap.
uS + pM Semua beo adalah hewan yang bersayap.
uS + pP Jadi, semua beo adalah burung.
Kesalahan silogisme kategoris di atas dikarenkan luas term yang berfungsi sebagai
term penghubung (term M), baik di premis mayor ataupun premis minor adalah
partikular. Luasnya partikular dikarenakan keduanya digunakan sebagai predikat pada
proposisi afirmatif pada premis mayor dan premis minor. Dengan demikian, term
penghubung (term M) tidak terdistribusi. Oleh karena itu, masing-masing term
penghubung (term M) dapat merujuk pada anggota yang berbeda. Kesimpulan
70
Semua beo adalah burung adalah benar secara material, tetapi secara formal
kesimpulan itu tidak sahih. Pelanggaran dalil semacam ini disebut undistributed
middle term.
5) Jika kedua premis afirmatif, maka kesimpulan harus berkualitas afirmatif.
Berikut contohnya:
M + P Semua mamalia adalah hewan menyusui.
S + M Beberapa kuda adalah mamalia.
S + P Jadi, beberapa kuda adalah hewan menyusui.
(Kesimpulan tidak boleh: Beberapa kuda bukan hewan menyusui.)
6) Kedua premis tidak boleh berkualitas negatif.
Premis mayor dan premis minor yang keduanya berkualitas negatif tidak dapat
melahirkan kesimpulan yang valid. Hal ini dikarenakan tidak adanya mata rantai yang
bisa menghubungkan kedua premis tersebut. Contohnya sebagai berikut.
M P Semua ayam bukan kerbau.
S M Semua bebek bukan ayam.
S P Jadi, semua bebek bukan ayam. (Kesimpulan tidak valid)
7) Kedua premis tidak boleh berkuantitas partikular.
Premis mayor dan premis minor yang berkuantitas partikular tidak dapat melahirkan
kesimpulan yang valid.
pM + pP Beberapa politikus adalah pejabat.
pS + pM Beberapa orang baik adalah politikus.
pS + pP Jadi, beberapa orang baik adalah politikus. (Kesimpulan tidak valid)
8) Dalil ke delapan dibagi menjadi dua bagian, yaitu
a. Kalau salah satu premis negatif di dalam siologisme kategoris, maka
kesimpulan harus negatif. Contohnya:
P M Semua perokok bukan orang bebas nikotin.
S + M Tono adalah perokok.
S P Jadi, Tono bukan orang bebas nikotin
(Kesimpulan tidak boleh: Tono adalah orang bebas nikotin.)
71
72
b. Silogisme Hipotesis
Silogisme hipotesis adalah silogisme yang premis mayornya berjenis proposisi hipotesis.
Dengan kata lain, premis mayor terdiri dari dua bagian, yaitu anteseden (dimulai dengan kata
Jika...,) dan konsekuen (dimulai dengan kata maka...). Di dalam logika, premis mayor ini
tersusun dalam empat pola, yaitu:
1. Jika A, maka B
2. Jika A, maka bukan B
3. Jika bukan A, maka B
4. Jika bukan A, maka bukan B
Ada dua dalil yang perlu diperhatikan untuk menghasilkan kesimpulan yang sahih dalam
silogisme kondisional ini, yaitu modus ponens dan modus tollens.
1) Modus Ponens
Proses penyimpulan yang bergerak dari pembenaran (pengafirmasian) terhadap anteseden
(premis minor) kepada pembenaran (pengafirmasian) terhadap konsekuen (kesimpulan).
Contoh:
Jika banyak sampah yang tidak terurus, maka kualitas kesehatan menurun.
Ternyata banyak sampah yang tidak terurus.
Jadi, kualitas kesehatan menurun.
Jika Siti belajar, maka kamu akan lulus ujian.
Ternyata, Siti belajar.
Jadi, Siti akan lulus ujian.
2) Modus Tollens
Proses penyimpulan yang bergerak dari pengingkaran (penegasian) konsekuen (premis
minor) kepada pengingkaran (penegasian) anteseden (kesimpulan). Contoh:
Jika hujan terlalu lebat, maka terjadi banjir.
Ternyata tidak terjadi banjir.
Jadi, hujan tidak terlalu lebat.
c . Silogisme Disjungtif
Silogisme disjungtif adalah silogisme yang premis mayornya berupa proposisi disjungtif yang
menawarkan dua kemungkinan. Dalam konteks itu, premis minornya bersifat menegasi atau
73
Silogisme disjungtif terdiri atas dua jenis, yaitu silogisme disjungtif dalam arti luas dan
silogisme disjungtif dalam arti sempit. Silogisme disjungtif dalam arti luas mempunyai
kemungkinan yang tidak bersifat kontradiktif. Contohnya sebagai berikut.
Tina memakai kalung atau anting.
Ternyata Tina tidak memakai kalung.
Jadi, Tina memakai anting.
Silogisme disjungtif dalam arti luas hanya dapat sahih apabila proses penyimpulan
bergerak dari penegasian terhadap satu kemungkinan, kemudian pengafirmasian dilakukan
terhadap kemungkinan yang lain. Hal ini dilakukan karena dalam silogisme disjungtif dalam arti
luas kemungkinannya tidak bersifat kontradiktif sehingga mengakibatkan ada kemungkinan
ketiga, yaitu dua kemungkinan terjadi sekaligus. Dalam konteks contoh di atas, Tina bisa
memakai kalung dan anting bersamaan. Oleh karena itu, hanya ada dua bentuk yang sahih dalam
silogisme disjungtif, yaitu sebagai berikut:
Tabel Bentuk Sahih Silogisme Disjungtif dalam Arti Luas
1. P atau Q 2. P atau Q
Ternyata bukan P Ternyata bukan Q
Jadi, Q Jadi, P
74
Selain itu, silogisme disjungtif dalam arti sempit mempunyai kemungkinan yang bersifat
kontradiktif, yaitu silogisme disjungtif dalam arti luas dan silogisme dalam arti sempit.
Contohnya sebagai berikut.
Hasan berada di dalam atau di luar ruangan.
Ternyata Hasan tidak berada di dalam.
Jadi, Hasan berada di luar ruangan.
Dalam konteks ini, kedua kemungkinan terhubung sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi
kemungkinan ketiga. Oleh karena itu, keempat bentuk silogisme disjungtifnya bersifat sahih.
75
(1) kalimat Jodoh tidak perlu dicari justru kontraproduktif dengan situasi seorang bujangan
tersebut, yaitu dicari saja jodoh belum tentu bertemu, apalagi tidak dicari;
(2) kalimat Dia akan datang dengan sendirinya dan Anda hanya perlu menunggu saat yang
tepat hanya merupakan penegasan Jodoh tidak perlu dicari, tetapi tidak memberikan
penjelasan apa-apa terkait dengan mengapa jodoh tidak perlu dicari; dan
(3) kalimat Di luar sana, pasti ada jodoh untuk Anda! justru lebih menegaskan bahwa jodoh
perlu dicari karena ia ada dil uar sana.
Artinya, secara implisit kalimat itu bertentangan dengan kalimat awal bahwa jodoh tidak perlu
dicari. Oleh karena itu, kita bisa mengatakan bahwa keliruan berpikir adalah perbincangan yang
mungkin terasa tepat, tetapi yang setelah diuji terbukti tidak tepat (Copi, 1990). Lebih jelasnya,
perhatikanlah contoh berikut:
Jika hujan turun, maka tanah basah.
Ternyata, tanah basah.
Jadi, hujan turun.
Argumentasi ini merupakan kekeliruan berpikir dikarenakan hujan turun sebagai anteseden
merupakan kondisi yang mencukupi (sufficient condition), bukan kondisi niscaya (necessary
condition) untuk terjadinya konsekuen tanah basah. Dengan kata lain, ada hubungan asimetris.
Hujan memang menyebabkan tanah basah, tetapi tanah basah belum tentu karena hujan turun.
Akan berbeda, bila argumentasi tersebut disusun sebagai berikut.
Jika dan hanya jika hujan turun, maka tanah basah.
Ternyata, tanah basah
Jadi, hujan turun.
Argumentasi ini merupakan argumentasi yang tepat dikarenakan hujan turun merupakan satu-
satunya anteseden (jika dan hanya jika) atau kondisi niscaya (necessary condition) untuk
terjadinya konsekuen tanah basah. Ringkasnya, ada hubungan timbal-balik langsung antara
anteseden dan konsekuen.
76
yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dengan mudah kita dapat mengenali bentuk-bentuk
kekeliruan berpikir formal ini. Secara umum, berikut jenis kekeliruan berpikir formal.
1) Empat Term (Four Terms)
Seperti namanya, kekeliruan berpikir formal jenis empat term terjadi jika ada empat term
yang diikutsertakan dalam silogisme kategorsis, padahal yang sahih hanya mempunyai
tiga term. Contoh.
Rumah mempunyai halaman.
Buku mempunyai halaman.
Buku adalah rumah.
Kekeliruan terletak pada kata halaman yang mempunyai makna ganda (ekuivok)
sehingga ada tambahan term. Di sini, halaman rumah dan halaman buku berbeda
maknanya karena merujuk kepada dua realitas yang berbeda. Jadi, terdapat empat term
dalam silogisme di atas, yang seharusnya hanya tiga.
77
Kesalahan berpikir formal ini terletak pada peralihan dari beberapa orang Indonesia
yang merujuk kepada sebagian orang Indonesia (partikular) ke semua orang Indonesia
yang merujuk kepada keseluruhan orang Indonesia (universal).
78
7) Afirmasi Konsekuen
Kekeliruan berpikir formal ini terjadi jika dalam silogisme hipotesis mengafirmasi
konsekuen dalam pembuatan kesimpulan. Kesimpulan itu diturunkan dari pernyataan
yang hubungan antara anteseden dan konsekuennya tidak niscaya, tetapi diperlakukan
seolah-olah hubungan itu suatu keniscayaan. Contohnya:
Kalau lampu dimatikan, ayah sedang tidur.
Ternyata ayah sedang tidur.
Jadi, lampu dimatikan.
Bentuk silogisme hipotesis ini keliru dikarenakan konsekuen ayah sedang tidur tidak
hanya dapat disimpulkan dari lampu dimatikan, melainkan dapat juga karena hal lain.
Misalnya, minum obat tidur dan lain-lain. Kekeliruan berpikir formal afirmasi
konsekuen merupakan bentuk tidak sahih yang menyerupai modus ponens.6
8) Negasi Anteseden
Kekeliruan berpikir formal ini terjadi dalam silogisme hipotesis yang menegasi anteseden
dalam pembuatan kesimpulan. Kesimpulan itu diturunkan dari pernyataan yang hubungan
antara anteseden dan konsekuennya tidak niscaya, tetapi diperlakukan seolah-olah
hubungan itu suatu keniscayaan. Contoh:
Jika guru pandai, maka murid pandai.
Ternyata guru tidak pandai.
Jadi, murid tidak pandai.
Bentuk silogisme hipotesis ini keliru dikarenakan antesenden yang tidak terjadi (Ternyata
guru tidak pandai) tidak berarti konsekuen (murid pandai) tidak terjadi. Artinya, murid
bisa saja pandai, kendati guru tidak pandai. Kekeliruan berpikir formal negasi anteseden
merupakan bentuk tidak sahih yang menyerupai modus tollens.7
9) Kekeliruan Disjungsi
Kekeliruan berpikir formal ini terjadi dalam silogisme disjungsi yang mengafirmasi salah
satu pilihan kemudian menyimpulkan bahwa pilihan lainnya tidak terjadi. Contoh:
6
Penjelasanterkaitdenganmodusponensbisadilihatpadapembahasansilogismehipotesis.
7
Penjelasanterkaitdenganmodustollensbisadilihatpadapembahasansilogismehipotesis.
79
80
peduli. Kalau saya di tahan, maka siapa yang akan menjaga anak saya? Oleh karena
itu, bebaskanlah saya.
2) Argumentum ad populum
Kekeliruan berpikir nonformal relevansi ini terjadi apabila argumentasi yang diajukan
didasarkan kepada orang banyak. Dalam bahasa Latin, populus berarti orang banyak,
rakyat atau massa. Dalam konteks ini, seolah-olah justifikasi atas argumentasi tidak
diperlukan dikarenakan dijaminkan kepada kepercayaan orang banyak. Dalam sejarah
ilmu pengetahuan, kita bisa melihat contohnya ketika pertama kali dicetuskan bahwa
heliosentris, bukan geosentris. Penolakan atas heliosentris didasarkan hanya karena orang
banyak pada masa itu percaya bahwa bumi adalah pusat dari alam semesta. Contoh:
Semua orang sudah tahu bahwa kamu adalah pencuri. Oleh karena itu, pastilah
pencuri dalam kejadian ini.
Kamu salah. Coba lihat berapa banyak orang yang tidak sepakat denganmu!
Hampir 75% dari semua penduduk di daerah ini.
3) Argumentum ad hominem
Kekeliruan berpikir nonformal relevansi ini terjadi apabila dalam sebuah perbincangan
yang argumentatif yang dinilai bukan kesahihan bentuk atau kebenaran konten,
melainkan alasan-alasan yang berhubungan dengan sifat pribadi dari orang yang
mengajukan argumentasi tersebut. Artinya, apa yang dinilai adalah orangnya, bukan
argumentasinya. Berikut contohnya:
Tuduhannya terkait dengan korupsi yang terjadi pastilah salah. Dia bukan orang
yang sopan dalam berbicara. Apa itu bagus buat pendidikan anak-anak yang
menyaksikan hal itu?
Tidak mungkin dia melakukan korupsi. Dia selalu baik kepada saya dan teman-
teman yang lainnya. Tutur katanya halus dan sikapnya pun santun kepada yang lebih
tua. Pastilah dia dijebak oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
81
4) Argumentum ad auctoritatis
Kekeliruan berpikir nonformal relevansi ini cukup mirip dengan argumentum ad
hominem, tetapi lebih khusus pada nilai suatu argumentasi didasarkan oleh keahlian atau
kewibawaan seseorang. Oleh karena itu, argumentum ad auctoritatis terjadi apabila suatu
argumentasi dinyatakan sahih atau benar hanya karena dikemukakan atau mengutip dari
seseorang yang sudah terkenal di bidang keahliannya. Contoh:
Internet berbahaya bagi generasi muda. Hal ini disampaikan oleh Prof. Badu
dan saya mendengarnya sendiri. Apa yang dikatakan seorang profesor pastilah
benar karena dia ahli. Jadi, internet memang berbahaya bagi generasi muda.
Kamu pasti salah. Kamu hanya mahasiswa. Saya adalah dosen. Oleh karena itu,
saya pasti lebih tahu daripada kamu.
5) Argumentum ad baculum
Dalam bahasa Latin baculum berarti tongkat atau pentungan. Dalam konteks ini,
argumentum ad baculum bisa diartikan argumentasi yang didasarkan pada ancaman.
Dalam kehidupan sehari-hari biasanya argumentum ad baculum muncul apabila
seseorang menolak pendapat seseorang dengan ancaman bukan dengan pembuktian yang
didasarkan tidak sahih atau salahnya sebuah argumentasi. Contoh:
Kalau kamu berpendapat seperti itu, kamu harus memikirkan nilai-nilaimu
semester ini yang sangat bergantung pada saya. Oleh karena itu, saya ingin kamu
mencabut pendapat tersebut.
6) Argumentum ad ignorantiam
Kekeliruan berpikir nonformal relevansi ini terjadi apabila menyimpulkan bahwa suatu
penyataan tertentu adalah benar dikarenakan penyangkalan terhadapnya tidak dapat
dibuktikan atau sebaliknya. Contohnya, ketika seseorang menyatakan hantu itu ada
dengan dasar pernyataan hantu itu tidak ada tidak bisa dibuktikan. Oleh karena itu,
argumentum ad ignorantiam dinyatakan sebagai berargumentasi dengan dasar
ketidaktahuan. Dalam bentuk yang lebih umum, argumentum ad ignorantiam bisa berarti
ketika seseorang membenarkan sebuah keputusan yang salah hanya dengan alasan ia
tidak tahu. Contoh:
82
Saya menyuruh dia sebagai rekanan meskipun dia belum memenuhi syarat
karena saya tidak tahu bahwa dia tak memenuhi syarat saat itu. Jadi, saya tak bisa
dipersalahkan dalam kasus ini. Saya tidak tahu.
7) Ignoratio elenchi
Kekeliruan berpikir nonformal relevansi ini merujuk pada sebuah loncatan sembarangan
dari suatu premis ke kesimpulan yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan premis
tersebut. Oleh karena itu, ignoratio elenchi dapat disebut non sequitur dalam pengertian
kesimpulan tidak mengikuti premis. Dengan kata lain, hubungan antara premis dan
kesimpulan bersifat semu. Dalam konteks ini, ignoratio elenchi terjadi dalam kehidupan
sehari-hari dikarenakan oleh prasangka dan perasaan subjektif. Contoh:
Andi lahir di bawah bintang Libra. Oleh karena itu, dia cocok jadi hakim.
Orang itu ramah pada orang-orang. Pasti dia tidak pernah korupsi.
Saya ditabrak ojek sore ini. Pasti karena saya melihat kucing hitam melintas
tadi pagi.
Rumah di ujung jalan itu sering kemalingan karena warna catnya hijau.
Orang tua lebih tahu dan lebih pintar dari anak-anaknya karena anak-anak itu
dilahirkan orang tuanya.
8) Petitio Principii
Kekeliruan berpikir nonformal relevansi ini terjadi karena menjadikan kesimpulan
sebagai premis dan sebaliknya. Dengan ucap lain, premis yang digunakan secara
substansial tidak berbeda dengan keseimpulan. Apabila, petitio principii berbentuk
lingkaran seperti A dibuktikan B; B dibuktikan C; dan C dibuktikan oleh A disebut
circulus vitiosus. Dalam konteks yang agak berbeda, petitio principii juga dapat muncul
dalam argumentasi yang menggunakan premis yang masih harus dibuktikan
kebenarannya. Contoh:
Petugas hukum dapat disogok karena penghasilannya rendah. Penghasilan
hakim rendah karena ekonomi buruk. Ekonomi buruk karena hukum tidak
berfungsi. Hukum tidak berfungsi karena petugas hukum dapat disogok.
83
Yafiz adalah orang yang jujur. Itu terbukti dari ucapan-ucapannya sendiri
kemarin.
2) Kekeliruan Amfiboli
Kekeliruan berpikir nonformal bahasa ini terjadi karena argumentasi yang dikemukakan
menggunakan susunan kata-kata yang bermakna ganda jika dilihat dari tata bahasa. Artinya,
kekeliruan amfiboli terjadi apabila makna tidak jelas dikarenakan letak sebuah kata dalam
konteks kalimat. Akibatnya, timbul lebih dari satu penafsiran mengenai makna mana yang
dirujuk sebenarnya. Contoh:
Anak ibu yang cantik itu berkuliah di jurusan Ilmu Filsafat
Kalimat di atas mengandung ambiguitas atau bermakna ganda. Hal ini terjadi karena keterangan
yang cantik ditujukan untuk siapa tidaklah jelas. Dalam konteks kalimat itu, bisa saja yang
berkuliah adalah sang anak atau ibunya.
84
3) Kekeliruan Aksentuasi
Kekeliruan berpikir nonformal bahasa ini terjadi dalam pengucapan kata-kata tertentu dalam
argumentasi sehingga menimbulkan makna yang berbeda pula. Ketidakwaspadaan dalam
penekanan ucapan dapat menimbulkan kekeliruan berpikir. Berikut contohnya:
Semua apel adalah buah.
Apel adalah upacara.
Jadi, beberapa upacara adalah buah.
4) Kekeliruan Metaforis
Kekeliruan berpikir nonformal bahasa ini terjadi dikarenakan suatu argumentasi menggunakan
makna kiasan yang disamakan dengan arti sebenarnya. Oleh karena itu, kekeliruan metaforis
terjadi akibat mencampuradukan makna kiasan dengan arti sebenarnya. Dalam konteks tertentu,
kekeliruan metaforis juga bisa terjadi karena menganalogikan dua permasalahan yang
kelihatannya mirip, tetapi sebenarnya berbeda secara mendasar. Contoh:
Kalau kita kehilangan pemimpin, kita seperti kehilangan kepala. Tanpa kepala
tubuh tidak berguna sama sekali. Oleh karena itu, kita juga tidak berguna tanpa
pemimpin.
Dalam diri manusia ada hati yang bisa membedakan kebaikan dan kejahatan. Oleh
karena itu, jika hatinya sakit, perlu untuk diobati. Organ hati sangat penting dijaga
kesehatannya.
85
BAB 4
ETIKA
Seperti telah diuraikan pada Bab 2, Etika merupakan bagian dari filsafat, khususnya pada
wilayah Aksiologi. Etika mengajak orang untuk mempertimbangkan dan memilih perilakunya
sesuai dengan prinsip (putusan) moral atau prinsip kebajikan atau prinsip kebaikan. Untuk itulah
orang diharapkan belajar dan memahami kaidah etika, seperti misalnya hati nurani, nilai moral,
kebebasan dan tanggung jawab, serta hak dan kewajiban. Kaidah etika tersebut dapat dijadikan
petunjuk bagi orang dalam bertindak baik dalam kehidupan keseharian maupun dunia
akademik. Khusus untuk bagian ini, akan diuraikan tentang beberapa istilah dalam kajian etika,
pengertian tentang etika, kaidah dalam etika, teori dalam etika, serta pentingnya etika dalam
dunia kehidupan manusia dan dunia akademik.
86
menunjukkan kesantunan pada saat menyantap makanan dalam sebuah perjamuan kenegaraan
dan datang dengan memakai busana yang tepat (jas, baju nasional). Sikap duduk yang baik,
ketika seseorang berbicara di depan pimpinan perusahaan (tempat ia bekerja). Begitu juga
dengan ketentuan itu dilakukan dalam mulai dari menulis status di sosial media seperti twitter,
facebook, atau saat melansir foto di instagram, surel (e-mail) diperlukan sikap yang baik, santun
dalam menuliskan pandangannyadi media sosial.
Kedua, kata moral sering disamakan maknanya dengan makna kata etika. Moral memiliki
arti sebagai cara seseorang dalam bertindak, memiliki adat, dan kebiasaan, dan sering dipahami
sebagai nasihat, serta wejangan yang bersumber pada adat istiadat masyarakat tertentu atau teks
suci agama. Moral lebih menunjukkan sifat yang aplikatif pada tindakan manusia tentang yang
baik atau yang buruk. Ani dianggap memiliki perbuatan baik karena ia merawat neneknya
yang sakit. Sebaliknya, seseorang dianggap memiliki tindakan buruk karena senang mencuri
uang temannya. Apabila orang tidak memiliki atau bertentangan dengan sikap baik, sering
dikatakan orang itu immoral (bukan amoral sebab amoral diartikan sebagai sesuatu yang tidak
berhubungan dengan konteks moral).
Berikutnya pengertian tentang norma. Kata norma berasal dari bahasa Latin, yaitu norma
yang artinya kaidah atau petunjuk bagaimana orang berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat.
Norma atau norms merupakan arahan (guidelines) atau panduan bertindak yang disepakati oleh
komunitas tertentu. Norma tidak bersifat universal, melainkan bersifat partikular (bersifat
khusus). Sebagai contoh, Universitas Indonesia memiliki Norma Akademik Penyelenggaraan
Pendidikan Akademik atau Kalender Akademik Universitas Indonesia tahun 2016/2017. Oleh
karena itu, sivitas akademik UI harus patuh dan menaati panduan akademik tersebut agar
kegiatan belajar dan mengajar berjalan secara tertib, teratur sesuai norma atau panduan tersebut.
Hal ini berarti, norma dapat bergantung pada konteks waktu, sejarah, tradisi, kebudayaan, atau
wilayah geografis dari komunitas tertentu. Norma memberi panduan bagaimana individu
bertindak, yaitu apa yang harus dilakukan dan tidak.
Bagaimana dengan kode etik? Kode etik atau code of conduct (CoC) merupakan
pedoman menjaga prinsip profesionalitas dalam bekerja. Artinya, kode etik itu tidak hanya
menjadi acuan dalam mengerjakan tugas sesuai standar yang ditetapkan, tetapi turut mengatur
sikap saat berelasi dengan sesama pekerja juga pihak lain yang terkait. Pengertian kode etik
sebenarnya ke komunitas profesional tertentu, misalnya saja lembaga, instansi pemerintah,
87
perusahaan, universitas, sekolah, dan tempat lain yang memperkerjakan para tenaga ahli dan
profesional.
Seseorang yang dianggap profesional apabila memiliki keahlian atau keterampilan
tertentu sesuai bidang yang digelutinya melalui pendidikan tinggi. Misalnya, seorang jurnalis
yang bekerja di sebuah perusahaan sosial media akan terikat oleh kode etik jurnalis. Kode etik
itu mengharuskan para pewarta berita untuk independen, berimbang, dan memiliki itikad baik
dalam menuliskan berita. Seorang jurnalis harus menerapkan sikap profesional dalam tugas
jurnalistiknya. Sikap profesional itu di antaranya (1) menunjukan identitas ke narasumber; (2)
menghormati hak privasi; (3) tidak menyuap; (3) menghasilkan berita yang faktual dan jelas
sumbernya; (4) tidak merekayasa berita atau tidak melakukan plagiasi; dan (5) menghormati
pengalaman traumatik narasumber.
Perlu dipahami, kode etik tidak berlaku umum atau universal, tetapi bergantung pada
jenis profesi dan bidang pekerjaan. Ada beragam kode etik. Kode etik seorang jurnalis akan
berbeda dengan kode etik seorang dokter atau seorang dosen. Kode etik tersebut harus dipatuhi
dan ditaati oleh para pelakunya. Contohnya, kode etik dosen Universitas Indonesia terkait
profesionalisme, di antaranya, jujur, disiplin, objektif, tidak melakukan plagiasi, dan adil saat
menjaga hubungan profesional dengan kolega. Sementara itu, kode etik dosen yang terkait
dengan mahasiswa adalah menghargai mahasiswa secara personal dan mitra intelektual
(Pedoman Mutu Akademik Universitas Indonesia, 2007). Pelanggaran terhadap kode etik akan
melahirkan sanksi dari pihak lembaga atau instansi tempat bersangkutan, biasanya melalui
sidang dan putusan dari Dewan Kehormatan (DK) lembaga.
88
harus berlaku baik? Pertanyaan semacam itu berusaha dijawab dengan sejumlah pemikiran
dalam etika. Singkatnya, etika merupakan bagian dari penyelidikan filsafat (philosophical
inquiry), yaitu kapasitas untuk berpikir kritis, radikal, atau mendalam, dan analitis mengenai
putusan moral dan nilai dari tindakan individu.
Terkait dengan etika, ada kata lain, yaitu moral yang berasal dari bahasa Latin mos
yang artinya kebiasaan atau ahlak. Kedua kata tersebut memiliki persamaan arti, tetapi juga
memiliki sedikit perbedaan. Lazimnya, etika dalam konteks akademik digunakan sebagai salah
satu cara untuk melakukan analisis dalam tindakan atau perilaku manusia dengan mendasarkan
pada konsep dan teori-teori etika. Hal ini telah dipelopori oleh filsuf Yunani bernama Aristoteles
(384-322 SM) yang telah menulis prinsip keutamaan (virtue) setiap manusia dan prinsip hidup
yang baik dalam bukunya Nicomachean Ethics.
Sementara itu, moral lebih menitikberatkan pada pandangan baik atau buruk atas perilaku
seseorang atau masyarakat. Pandangan tersebut berasal dari kebiasaan suatu masyarakat atas
dasar latar belakang adat istiadat, pandangan hidup, atau prinsip lainnya. Untuk itu, apabila
orang akan berbicara dalam konteks akademik, digunakan Etika atau Filsafat Moral. Sebagai
contoh, ada sebuah buku yang berjudul Etika Jawa karya Magnis Suseno. Buku tersebut
merefleksikan kehidupan dan perilaku masyarakat Jawa dari perspektif etika.
Pembahasan mengenai etika sendiri sebenarnya dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu
Etika Deskriptif, Etika Normatif, Metaetika, dan Etika Terapan (Bertens, 2004: 1526, 263).
Etika Deskriptif adalah adalah kajian etika yang menggambarkan perilaku dalam arti luas,
misalnya adat kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, atau tindakan yang
diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Artinya, etika deskriptif mempelajari moralitas yang
terdapat pada masyarakat dengan kebudayaan tertentu. Sebagai contoh, masyarakat Jawa
mengajarkan tatakrama terhadap orang yang lebih tua dengan menghormatinya, bahkan
berbicara terhadap orang yang lebih tua harus memakai bahasa Jawa yang sopan dan halus
(krama inggil).
Etika normatif merupakan etika yang mengkaji tentang apa yang harus dirumuskan
secara rasional dengan menggunakan prinsip etis. Manusia harus bertanggungjawab atas
perbuatan yang dilakukannya. Di dalam etika normatif ini terdapat penilaian atas norma atau
prinsip etis tersebut. Penilaian tentang prinsip atau norma itu sangat menentukan sikap manusia
tentang perilaku yang dianggap baik atau perilaku yang dianggap buruk. Oleh karena itu, pada
89
etika normatif akan muncul penjelasan yang berisi teori mengenai justifikasi atau pembenaran
dari suatu putusan moral. Umumnya, teori dalam etika normatif akan menjelaskan suatu putusan
moral itu berlandaskan pada kewajiban yang harus dipatuhi atau konsekuensi dari suatu
tindakan.
Metematika adalah kajian etika yang membahas ucapan atau kaidah bahasa yang
berlandaskan aspek moralitas, terutama yang berkaitan dengan bahasa etis (bahasa yang
digunakan dalam bidang moral). Kebahasaan seseorang dapat menimbulkan penilaian etis
terhadap ucapan mengenai yang baik dan yang buruk. Contoh:
Semua orang tua wajib dihormati
Bapak Amat adalah orang tua
Jadi Bapak Amat wajib dihormati
90
91
sosial, seseorang akan berada dan bersama orang lain. Ia menjadi bagian dari suatu kelompok,
komunitas, dan masyarakat tertentu. Ia akan berdialog, berdiskusi, dan saling mendengarkan satu
sama lain ketika terlibat pembicaraan tertentu. Bahkan, ia belajar dari orang lain tentang apapun.
Ia harus memahami bahwa orang lain pun memiliki kebebasan.
Dengan demikian, kebebasan yang dimiliki seseorang bukanlah sebuah kesewenangan,
melainkan kebebasan yang yang secara hakiki terbatasi oleh kebebasan anggota masyarakat
lainnya. Ia harus menyadari hidup dengan orang lain yang juga memiliki kebebasan pula.
Melalui pembatasan-pembatasan itu, seseorang memiliki keterbatasan dalam gerak geriknya. Ia
dibatasi atau dideterminasi oleh berbagai hal, seperti situasi, peristiwa, ruang, dan waktu tertentu
atau aturan (norma) tertentu. Sebagai contoh, seorang mahasiswa boleh saja mengikuti
perkuliahan dengan sekehendak hati atau sering tidak masuk kuliah atas nama kebebasan, tetapi
peraturan di fakultasnya mengatakan bahwa kehadiran mahasiswa dalam perkuliahan sekurang-
kurangnya 80%. Mahasiswa tersebut berbenturan dengan determinasi (pembatasan) peraturan
kuliah. Determinasi tersebut sebenarnya memberi ruang bagi seseorang untuk bersikap atau
memiliki rasa tanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya. Melalui kesadarannya seseorang
dapat menentukan sikap tanggungjawabnya dengan tepat dan tanpa merugikan orang lain.
Kebebasan memiliki kaitan erat dengan tanggung jawab. Pertama, keputusan atau
tindakan yang diambil harus dipertanggungjawabkan oleh diri sendiri, bukan oleh orang lain.
Seseorang tidak diperkenankan melempar tanggung jawab kepada orang lain atas perbuatan
yang tidak dilakukannya. Kedua, tidak setiap putusan dapat disebut sebagai bertanggung jawab
atas sesuatu yang dilakukan. Mengapa? Bertanggung jawab haruslah sesuai dengan apa yang
dilakukan oleh seseorang berkaitan dengan tugasnya (bekerja sebagai karyawan dalam sebuah
perusahaan tertentu, atau mahasiswa meminjam buku pada temannya dan sebagainya ) dan
kewajibannya. Oleh karena itu, seseorang haruslah memiliki sikap terhadap apa yang telah
dilakukannya. Sebagai contoh, mahasiswa harus memiliki kewajiban untuk mengembalikan buku
yang dipinjamnya. Sebenarnya rasa tanggung jawab seseorang bersumber pada hati nurani
seseorang untuk berniat melakukan tindakan yang dianggapnya baik. Dengan demikian,
kebebasan dan tanggung jawab merupakan dua komponen manusia yang sangat hakiki, tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena dua komponen tersebut menjadi salah satu faktor
manusia untuk berperilaku atau memiliki tindakan yan dianggap baik.
92
93
Hak moral adalah hak yang didasarkan atas peraturan moral atau berada pada sistem
moral. Biasanya hak moral akan muncul dalam suatu interaksi antarindividu atau
antarmasyarakat yang bersifat lebih personal. Contoh:
Bapak X memiliki karyawan baik perempuan dan laki-laki di perusahaannya, namun tak ada
aturan yang melarang bahwa karyawan perempuan harus digaji sama dengan karyawan laki-laki.
Untuk itu, bapak X akan membayar gaji karyawan perempuan lebih rendah dibanding karyawan
laki-laki. Dari sisi hak moral, maka bapak X dianggap melanggar hak moral, karena ia tidak
mempertimbangkan bahwa beban kerja karyawan laki-laki dan perempuan sama. Sebenarnya ia
telah bersikap tidak adil pada karyawan perempuan.
Contoh lain:
Dua orang sahabat mendapatkan sebuah proyek yang jumlah nominalnya cukup besar. Atas dasar
kesepakatan awal, pembagian keuntungan dibagi rata. Saat proyek telah usai, keduanya merasa
puas atas bagi hasil tersebut. Hal ini berarti, melalui kehendak baik, mereka telah melakukan
tindakan yang sesuai dengan hak moral tanpa merugikan satu dengan lainnya.
Hak umum adalah hak yang dimiliki setiap manusia bukan karena hubungan atau fungsi
tertentu, melainkan semata-mata karena ia manusia (human being). Hak ini dimiliki oleh semua
orang tanpa kecuali. Hak umum ini lazim dikenal sebagai human right atau Hak Asasi
Manusia (HAM). Sebagai contoh, hak mendapatkan hidup yang layak, hak mendapatkan
pendidikan yang baik, hak mendapatkan perlindungan dari ancaman perang. Dalam tingkat
internasional, ada Komisi Hak Asasi Manusia di bawah payung PBB, dikenal sebagai United
Nations on Human Right Council, salah satu tugasnya menangani perlindungan hak asasi
manusia bagi negaranegara anggota PBB. Di Indonesia ada beberapa lembaga yang menangani
kasus pelanggaran HAM, misalnya LBH (Lembaga Bantuan Hukum), Kepolisian, Komnas
HAM, Komnas Anak.
94
menangis. Ia berhak untuk diselamatkan dan orang lain akan membantu anak itu apabila ada
seseorang yang menyaksikan perisiwa itu. Semntara itu, hak negatif adalah hak yang dimiliki
seseorang karena kebebasannya dan orang lain tidak dapat menghalangi kebebasan itu. Misalnya,
hak untuk mendapatkan informasi atau hak untuk menulis di surat kabar. Seseorang (atau saya)
memiliki kebebasan untuk mendapatkan informasi dari berbagai sumber (media cetak, media
teknologi informasi) dan orang lain (atau instansi lain) tidak dapat mencegah ketika saya
mendapat sumber informasi tersebut.
95
Seorang mahasiswa menemukan dompet yang berisi sejumlah uang, KTP, kartu ATM di
kelas. Perkuliahan belum dimulai, kelas masih kosong. Mahasiswa tersebut mulai berpikir
dan memiliki kehendak baik. Ia berkeinginan mengembalikan dompet itu pada si pemilik.
Untuk itu, ia membuka dompet tersebut dan membaca nama pada KTP itu, kemudian ia
mengembalikan dompet tersebut pada pemiliknya. Tindakan mahasiswa itu dianggap
memiliki nilai moral baik yang diwujudkan dengan mengembalikan dompet kepada
pemiliknya.
Norma moral menyangkut perilaku atau tindakan seseorang, baik atau tidak dari sudut etis.
Norma moral dianggap sebagai norma tertinggi karena norma itu menilai norma-norma lain yang
menyertai tindakan seseorang. Sebagai contoh, seseorang menggunakan bahasa Indonesia
dengan baik dan benar, masyarakat menilai dari sisi norma bahasa itu sudah baik. Tetapi ketika
ia menggunakan bahasa Indonesia melalui ucapan-ucapannya menfitnah orang lain, masyarakat
akan menilai bahwa orang itu tidak etis, ia tidak memiliki kaidah norma moral.
1. Hedonisme
Hedonisme adalah pandangan klasik tentang ajaran moral yang dicetuskan pertama kali oleh
Epikuros (341-270 sM), seorang filsuf Yunani. Hedonisme berasal dari bahasa Yunani
hedonismos dan dari akar kata hedone yang artinya kesenangan (kenikmatan duniawi). Menurut
pandangan Epikuros, hedonisme merupakan kesenangan yag harus dicapai oleh manusia dalam
kehidupannya. Seseorang berhak mencari kesenangan atas dasar tujuan hidupnya. Oleh karena
itu, menurut Epikuros, tindakan manusia dalam mencari kesenangan dianggapnya sebagai sifat
yang hakiki (kodratiah) dari manusia. Namun dalam perkembangannya, hedonisme mendapat
banyak kritik, karena argumen hedonisme tidak didasari atas perilaku yang bertanggung jawab.
Seseorang memiliki kesenangan/kenikmatan sebaiknya memperhatikan ukuran atau norma yang
harus ditaatinya, baik norma yang berasal dari dirinya atau norma di sekitarnya. Memiliki
kesenangan (kenikmatan) itu baik. Akan tetapi, apakah setiap hari seorang mahasiswa
menghabiskan waktu sore hingga malam hari menonton film di bioskop itu baik? Belum tentu,
96
karena salah satu tugas mahasiswa adalah belajar, mengerjakan tugas di rumah. Apabila
waktunya dihabiskan hanya untuk menonton film, mahasiswa itu diangap tidak
bertanggungjawab terhadap tugas pekerjaan rumahnya atau belajar. Tugas pekerjaannya akan
terlantar hanya demi kesenangan menonton film saja. Dalam konteks sekarang, hedonisme
diartikan sebagai salah satu teori etika yang bertujuan mencari kenikmatan (kesenangan) atas
dasar tujuan hidup. Dasarnya adalah pertimbangan yang rasional dan tolok ukur norma yang
terkait dengan dirinya.
2. Eudemonisme
Eudemonisme adalah teori etika yang berasal dari filsuf Yunani, Aristoteles (384322 SM). Ia
mengatakan bahwa setiap kegiatan manusia selalu memiliki tujuan yang dianggapnya baik.
Seringkali orang ingin mencari tujuan lain padahal ia sudah miliki tujuan. Menurut Aristoteles,
ada tujuan yang dianggapnya tertinggi, yaitu eudaimonia (kebahagiaan). Menurutnya,
kebahagiaan itu seharusnya ada pada setiap manusia. Seseorang mencapai tujuan akhir apabila
menjalankan tujuan hidupnya sesuai peran dan fungsinya dengan baik. Tujuan terakhir seorang
pianis (pemain piano) adalah bermain dengan baik pada pertunjukan musiknya. Tujuan terakhir
seorang mahasiswa adalah menyelesaikan studi dengan baik dan tepat waktu. Dengan kata lain,
eudemonisme adalah teori etika yang memiliki tujuan, yaitu kebahagian, disertai keutamaan
intelektual (berlandaskan rasional) dan keutamaan moral (pilihan dan pertimbangan dalam
melakukan tindakan yang dianggap baik).
3. Utilitarisme
Utilitarisme adalah teori etika normatif yang mendasarkan prinsip kegunaan (the principle of
utility) sebagai prinsip moral pada tindakan manusia. Yang dimaksud dengan prinsip kegunaan
adalah kegunaan yang dijadikan sebagai tolok ukur untuk menilai dan mengambil suatu
keputusan apakah tindakan itu secara moral dapat dibenarkan atau tidak. Menurut Jeremy
Bentham (17481832), seorang filsuf Inggris, dikatakan tindakan yang benar secara moral
adalah tindakan yang memiliki kegunaan tertentu. Tentunya, dalam pandangan utilitarisme, yang
harus dicatat adalah suatu tindakan dinilai berguna kalau akibat dari tindakan itu meliputi banyak
orang tanpa membeda-bedakan mereka. Semakin banyak orang mendapatkan kebahagiaan
(kesenangan) akibat tindakan moral tersebut, tindakan itu dianggap berguna. Bagi Bentham, hal
97
itu disebutnya sebagai the greatest good to the greatest number (Bertens, 2004: 248). Dari
semua tindakan yang kita pilih atau lakukan atau peraturan yang kita pegang, yang dapat
dibenarkan secara moral adalah tindakan atau peraturan yang dapat kita perhitungkan jika dapat
memajukan untuk kepentingan banyak orang, menguntungkan, dan paling membahagiakan
mereka. Sebaliknya, tindakan yang buruk adalah tindakan yang tidak menguntungkan, tidak
berfaedah, dan merugikan banyak orang.
Sebagai contoh, sebuah lembaga tertentu memiliki karyawan yang berjumlah seribu
(1000) orang. Pimpinan lembaga itu telah membagikan Kartu Jaminan Kesehatan (KJS) Sehat
Pol kepada seluruh karyawannya. KJS Sehat Poldiharapkan dapat dimanfaatkan oleh seluruh
karyawan (dari semua jenjang) untuk berobat ke Rumah Sakit Cepat Sembuh. Bapak BDX,
salah seorang karyawan yang bertugas di bagian kebersihan, merasa bahagia karena berkat KJS
itu ia mendapat perawatan intensif dari RS Cepat Sembuh ketika sakit. Begitu juga dengan
karyawan lainnya. Mereka menganggap bahwa KJS Sehat Pol sangat berguna karena dapat
dimanfaatkan oleh seluruh karywan yang membutuhkan. Contoh tersebut menunjukkan bahwa
tindakan pimpinan lembaga itu telah menunjukkan dan berdampak baik berupa keuntungan dan
kebahagiaan bagi seluruh karyawannya.
4. Deontologi
Secara harafiah, deontologi (dari bahasa Yunani) memiliki asal kata deon, yang artinya
kewajiban. Deontologi merupakan teori etika normatif yang berlandaskan pada kewajiban.
Artinya tindakan moral seseorang akan dinilai atas dasar bagaimana seharusya ia melakukan
tugas yang menjadi kewajibannya. Kewajiban seseorang harus dimaknai sebagai bagian dari
tugas dan aturan yang ia jalani. Sebagai seorang dosen di Universitas Indonesia, ia harus
mengajar (diartikan memiliki tugas) dan menaati tata tertib serta kode etik Dosen UI (diartikan
sebagai patuh aturan/norma). Perilaku dosen tersebut dianggap memiliki tindakan moral yang
dianggap baik.
Ada pandangan teori deontologi yang berasal dari Immanuel Kant (17241804) yang
berlandaskan pada prinsip imperatif kategoris dan prinsip imperatif hipotetis (Bertens, 2004:256-
258). Disebut imperatif kategoris apabila kewajiban moral mengandung perintah (imperatif)
yang mewajibkan begitu saja tanpa syarat. Sebagai contoh, Bapak Suka Suka bekerja di sebuah
bank XYX sebagai teller yang harus melayani nasabah untuk menarik atau menyimpan dana
98
di bank tersebut. Tindakan Bapak Suka Suka tersebut dianggap baik karena ia bekerja sesuai
kewajibannya.
Namun, bagaimana dengan imperatif hipotetis? Bagi Kant, imperatif hipotetis
mengarahkan seseorang dalam melakukan tindakan harus disertai syarat atau pertimbangan
tertentu. Lebih lanjut menurut Kant, Apabila seseorang ingin mencapai tujuan, ia harus
menghendaki juga sarana-sarana untuk mencapai tujuan itu. Jika seorang mahasiswa ingin lulus
dalam sebuah mata kuliah MPKT A, ia harus memiliki (semacam syarat dan sarana), misalnya
tekun belajar, hadir di kelas (minimal kehadiran 80%), membaca dan paham materi MPKT A.
Dengan kata lain, pandangan Kant termuat dalam pernyataan hipotetis, yaitu Jika ,
maka .. Dalam pandangan Kant, tindakan yang dianggap baik adalah tindakan moral yang
mewajibkan (memiliki imperatif kategoris) bukan oleh pertimbangan lain (hipotetis).
4.5 Pentingnya Etika dalam Dunia Kehidupan Manusia dan Dunia Akademik
Dalam kehidupan sekarang, manusia dipaksa serba cepat, serba bisa dalam melakukan
berbagai tindakan atau perilaku, berhadapan dengan kemajuan teknologi, dan banyak hal lainnya.
Apakah etika diperlukan dalam kehidupannya? Pertanyaan ini harus dijawab dengan berpikir
jernih. Sebagai manusia, ia akan hidup bersama orang lain, berhadapan dengan berbagi
persoalan dalam kehidupannya, berhadapan dengan situasi, dan kondisi yang kadang-kadang
tidak memuaskan dirinya. Hidup manusia bagaikan sebuah problem, selalu akan berhadapan
dengan masalah yang dapat diatasi atau tidak dapat diatasi dengan baik. Bahkan, dalam
kehidupan dunia akademik, akan berhadapan dengan berbagai persoalan, seperti kesempatan
mendapatkan hibah riset bagi dosen tidak selalu berhasil, kuliah tertentu yang membuat
mahasiswa menjadi takut karena mendengar dari seniornya bahwa itu sulit lulusnya.
Belajar etika untuk apa? Apakah ketika belajar etika langsung membuat seseorang
menjadi manusia yang baik? Belum tentu dan tidak selalu. Namun, belajar etika menyadarkan
kita bahwa dalam kehidupan ini, terutama di abad Globalisasi dan Milenium, diperlukan suatu
wawasan atau perspektif yang kritis dan bijaksana ketika berhadapan dengan berbagai persoalan
kehidupan baik dalam keseharian maupun akademik. Etika dapat menjadi sarana untuk
memperoleh orientasi kritis dan bijaksana ketika berhadapan dengan berbagai perilaku moralitas
manusia yang kadangkala membingungkan. Sebagai pemikiran kritis dan sistematis, etika ingin
mengarahkan suatu ketrampilan intelektual, yaitu ketrampilan untuk berargumentasi secara
99
rasional dan kritis. Lalu untuk apa orientasi kritis itu dibutuhkan? Orientasi kritis dibutuhkan
untuk mengambil sikap yang wajar dan bijak dalam suasana pluralisme moral yang merupakan
ciri khas zaman sekarang.
Ada beberapa alasan mengapa etika (termasuk etika terapan) dibutuhkan sampai
sekarang. Pertama, keragaman pandangan moral yang berasal dari pandangan hidup, latar
belakang budaya, kelompok, daerah, agama yang berbeda hidup berdampingan dalam suatu
masyarakat dan negara. Kedua, modernisasi dan kemajuan IPTEK telah membawa perubahan
besar dalam struktur masyarakat dan berakibat munculnya bertentangan dengan pandangan-
pandangan moral tradisional. Ketiga, munculnya berbagai ideologi yang menawarkan diri
sebagai penuntun hidup manusia dengan masing-masing ajaran/pandangannya.
Alasanalasan tersebut dapat memicu manusia untuk memikirkan dan merenungkan
kembali tentang pentingnya etika dalam kehidupan manusia. Selama manusia berupaya mencari
jati dirinya, eksistensi dirinya, dan berada pada situasi kehidupan tertentu, manusia memerlukan
kompas moral, pegangan, dan orientasi kritis agar tidak terjebak, bingung, ikut-ikutan saja
dalam pluralisme moral lalu terlebur dalam kehidupan yang nyata. Peran etika menjadi penting
agar orang tidak mengalami krisis moral yang berkepanjangan. Etika dapat membangkitkan
kembali semangat hidup agar manusia menjadi baik dan bijaksana melalui eksistensi dan
profesinya.
Dalam kehidupan akademik atau kehidupan ilmiah, etika menjadi sangat penting. Pokok
perhatian etika tertuju pada problem dan proses kerja keilmuan, sehingga memunculkan studi
etika keilmuan. Etika Keilmuan menyoroti aspek bagaimana peran seorang mahasiswa, ilmuwan,
dosen, dan peneliti terhadap kegiatan yang sedang dilakukannya (belajar, membuat skripsi,
melakukan riset .dan sebagainya). Tanggung jawab mereka dipertaruhkan ketika berada dalam
proses kegiatan ilmiahnya, terutama dalam kejujuran ilmiah. Hasil tugas akhir (skripsi) atau
risetnya, misalnya, dikerjakan dengan kejujuran yang total atau duplikasi riset orang lain. Pokok
perhatian lain dalam etika keilmuan adalah masalah bebas nilai. Bebas nilai adalah suatu posisi
atau keadaan seorang ilmuwan (atau calon ilmuwan/mahasiswa) yang memiliki haknya berupa
kebebasan dalam melakukan penelitiannya. Mereka boleh meneliti apa saja asalkan sesuai
keinginannya, tujuan, dan terkait dengan bidang keilmuannya. Ketika mereka telah
menyelesaikan hasil riset itu, ia berada dalam posisi bebas nilai.
100
Kebalikan dari bebas nilai adalah tidak bebas nilai. Tidak bebas nilai dalam kegiatan
ilmiah (penelitian) adalah munculnya kritikan atau hambatan atau protes yang berasal dari luar
(norma agama, norma hukum, norma budaya) terhadap hasil penelitian seseorang. Norma
tersebut menjadi semacam pagar yang merintangi kebebasan seorang peneliti atas dasar dari
norma tertentu, misalnya norma agama atau norma sosial. Sebagai contoh, refleksi kritis akan
muncul terhadap persenjataan nuklir baru dimulai, setelah bom atom pertama kali diledakkan di
Hiroshima. Lihat saja bagaimana reaksi masyarakat dunia (komunitas internasioal) berusaha
mencegah dan mengecam keras program nuklir Korea Utara sejak negara itu melakukan uji
coba nuklir di awal tahun 2016. (www.bbc.com).
101
KESIMPULAN
Keutamaan karakter menjadi kecenderungan yang dimiliki seseorang dengan berbagai komponen
di dalamnya. Kekuatan karakter ini muncul dalam pikiran, perasaan, dan tindakan seseorang
yang kemudian dapat dikenali sebagai kekhasan orang tersebut. Hal ini dapat membantu
seseorang untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam lingkungan
pendidikan tinggi. Pendidikan karakter merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang
dibutuhkan untuk menjawab kecenderungan perilaku negatif yang marak terjadi saat ini. Dengan
adanya pendidikan karakter, usaha untuk memperkuat karakter menjadi lebih memungkinkan
untuk diwujudkan. Pendidikan karakter di Indonesia dalam berbagai jenjang pendidikan telah
dimulai sejak zaman dulu. Di jenjang pendidikan tinggi, pendidikan karakter mengajarkan
mahasiswa mengidentifikasi tingkah laku yang tepat dalam menjalankan nilai tertentu ketika
berada dalam suasana akademik di tempat mereka belajar, terutama di Universitas Indonesia.
Untuk memperkuat landasan pembinaan karakter civitas akademika, Universitas
Indonesia telah menetapkan Sembilan Nilai Dasar Universitas Indonesia, yaitu kejujuran,
keadilan, keterpercayaan, kemartabatan dan/atau penghormatan, tanggungjawab dan
akuntabilitas, kebersamaan, keterbukaan, kebebasan akademik, dan otonomi keilmuan, serta
kepatuhan pada aturan, prosedur dan panduan UI serta panduan lainnya.
Di sisi lain, mahasiswa juga dibekali dengan belajar berfilsafat, berkenalan dengan
melihat adanya 3 wilayah besar pada studi filsafat, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan, tiga wilayah tersebut menjadi dasar untuk
pengembangan beragam ilmu pengetahuan yang telah ada. Selain itu, mahasiswa juga belajar
berpikir kritis, logis, sistematis, integral melalui dialog dengan dosen, mahasiswa lainnya serta
belajar beragumen dengan tepat dan benar. Logika mengarahkan dan membantu mahasiswa
untuk memiliki penalaran dengan benar, mengungkapkan pernyataan dengan tepat, sesuai
kaidah atau norma bahasa yang baik.
Belajar etika membuat mahasiswa sadar bahwa tindakan yang dilakukan selama ini
haruslah didasari dengan tindakan moral yang baik dan bertanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya. Selain itu, refleksi moralitas atas perilaku atau tindakan manusia akan tetap ada,
selama manusia masih berinteraksi dengan orang lain, masyarakat, dan berhadapan dengan
kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang tidak dapat dibendung lagi. Saat ini kehidupan
manusia dan dunia akademik membutuhkan etika ketika berada dalam problem yang mungkin
102
sulit dipecahkan. Pemikiran mengenai etika terus berlanjut dan memiliki banyak percabangan
hingga saat ini. Nyaris di seluruh profesi dan disiplin keilmuan memiliki dimensi etika, misalnya
saja Etika Kedokteran, Etika Jurnalistik, juga Etika Dunia Virtual (Cyberethics), Etika
Lingkungan, Etika kepolisian. Percabangan pemikiran etika itu terjadi karena kemajuan
teknologi dan relasi antara manusia dan makhluk hidup lain semakin kompleks. Satu hal yang
dapat disadari dalam kajian etika, dunia yang dihadapi tidak bersifat netral dan bebas nilai (value
free). Segala sesuatu yang melibatkan tindakan manusia memiliki dimensi nilai yang dapat
dipertanyakan kondisi baik atau buruknya. Untuk itulah khususnya insan akademik belajar etika
agar dapat menerapkannya dalam dunia akademik masing-masing dan menjadi insan akademik
yang baik dan bijak serta sadar akan jati dirinya sebagai cendekia.
Sebagai penutup, Bagian I Jati Diriku sebagai Cendekia: Karakter, Filsafat, Logika, dan
Etika dari Buku Ajar MPKT A menjadi dasar untuk memahami Bagian II Jati Diriku sebagai
Manusia dan Bagian dari Masyarakat, dan Bagian III Jati Diriku sebagai Warganegara
Indonesia yang Cinta Pancasila. Diharapkan materi ajar Bagian I dapat menambah wawasan
pengetahuan mahasiswa dalam memperluas keingintahuan studinya serta memiliki totalitas jati
diri atau eksistensi sebagai ilmuwan nantinya.
103
BAGIAN II
104
BAB 1
MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU
105
mengajukan sebuah konsep yang diberi nama Tiga Serangkai Otak (The Triune Brain). Otak
berevolusi dalam tiga periode besar yang membentuk tiga lapisan. Lapisan yang paling tua
dikenal sebagai R-complex, lapisan kedua disebut Limbic System, dan yang terakhir Neocortex.
Setiap lapisan mempunyai karakter dan fungsi yang berbeda-beda namun saling berhubungan
dan bekerja sama dalam menentukan perilaku yang akan ditampilkan oleh individu.
106
1) Amygdala
Amygdala berbentuk biji almond; fungsinya membantu makhluk untuk mengenali apakah
sesuatu atau situasi yang dihadapinya itu berbahaya atau tidak, apakah sesuatu itu penting bagi
kelangsungan hidup atau tidak; misalnya, apakah makanan ini boleh dimakan? Apakah orang ini
tepat untuk dijadikan pasangan? Apakah situasi ini bahaya bagi kita?
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Otak Reptil saling berkaitan dengan Otak
Mamalia. Sebagai contoh, kerja Otak Reptil yang memerintahkan jantung sangat berkaitan
dengan bagian Amygdala. Dalam keadaan rileks, sistem saraf melakukan pengendalian sehingga
jantung berdenyut sebanyak 64 72 kali per menit untuk lelaki dewasa dan 72 80 kali per
menit untuk wanita dewasa. Pada saat berolahraga atau kondisi perasaan yang emosional atau
tegang, jantung dapat berdenyut lebih cepat. Dalam aliran darah yang dipompa oleh jantung
terdapat asupan oksigen dan nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh dan otak. Sebaliknya,
Amygdala di otak yang merespon situasi menegangkan, berbahaya, atau gejala lain yang
ditangkap pancaindra akan menghasilkan zat kimia yang kemudian dibawa oleh darah ke jantung
dan selanjutnya perasaan ini disalurkan ke seluruh tubuh. Akibatnya, seluruh tubuh bereaksi
secara selaras terhadap perasaan menegangkan, sedih, cemas, terancam, atau lainnya.
Pada manusia, Amygdala membantu seseorang untuk
memahami ekspresi orang yang dihadapinya. Kerusakan pada
bagian ini akan membuat individu tidak mampu berempati dengan
orang lain. Oleh karena fungsi Amygdala banyak dipengaruhi oleh
persepsi, Amygdala dapat keliru memahami apabila individu
menangkap tanda-tanda secara keliru saat menerima rangsangan
dari lingkungannya. Kesalahan tersebut dapat menyebabkannya
107
2) Hippocampus
Hippocampus mempunyai peran khusus dalam ingatan (Bethus, Tse,
& Morris dalam King, 2011). Walaupun ingatan tidak tersimpan
dalam Sistem Limbik, Hippocampus berperan penting dalam
mengintegrasikan berbagai rangsangan yang terkait sekaligus
membantu dalam membangun ingatan jangka panjang. Selain itu,
Hippocampus dan daerah sekitarnya berperan penting dalam
membentuk ingatan mengenai fakta-fakta walaupun hanya
mengalami sekali saja. Oleh karena itu, Hippocampus mempunyai peran sangat penting dalam
hidup, terutama dalam proses belajar. Apa yang telah dipelajari dan diingat oleh individu itulah
nantinya yang akan turut memengaruhi bagaimana seseorang mempersepsi segala sesuatu,
sehingga merangsang Amygdala untuk memberikan signal pada individu.
Bila Otak Reptil mengeluarkan perilaku refleks yang kaku dan tidak berubah dari waktu
ke waktu, Otak Mamalia menghasilkan perilaku yang lebih luwes dan mampu mengintegrasikan
pesan dari dalam maupun dari luar tubuh. Oleh karena itu, perilaku yang ditampilkan dapat
beraneka ragam, bergantung pada Sistem Limbik yang berkolaborasi dengan bagian Otak Reptil
atau dengan Neocortex yang canggih.
108
Neocortex
Periode terakhir evolusi otak telah menghasilkan Neocortex atau Otak Neomamalian. Neocortex
adalah lapisan teratas yang mengelilingi Otak Mamalia dan hanya dimiliki oleh jenis mamalia.
Reptil dan burung tidak mempunyai bagian otak ini. Walaupun Neocortex juga dimiliki oleh
mamalia lain selain manusia, pada manusia perbandingan ukuran Neocortex dari keseluruhan
otak adalah yang terbesar. Pada manusia, Neocortex mencakup 80% dari otak apabila
dibandingkan dengan mamalia lain yang umumnya hanya mencakup 30% sampai 40% dari
keseluruhan otaknya (King, 2011).
PerbandinganNeocortexManusiadariNeocartexHewanlainnya
Perbedaan luas Neocortex itulah yang memengaruhi banyaknya saraf dan kompleksitas
hubungan antarsaraf yang berkaitan dengan kemampuan berpikir dari makhluk-makhluk
tersebut. Berbeda dengan Amygdala yang bekerja dengan sistem intuitif yang primitif, Neocortex
bekerja dengan sistem analitis yang lebih canggih. Sebagai hasil evolusi yang paling akhir,
Neocortex mengendalikan keterampilan berpikir tingkat tinggi, nalar, pembicaraan, dan berbagai
tipe kecerdasan lainnya. Oleh karena itu, bagian ini sering disebut sebagai Otak Berpikir.
Saat menjumpai masalah rumit yang perlu dipecahkan dengan pemikiran tingkat tinggi,
Neocortex-lah yang paling cocok berfungsi. Besar Neocortex pada manusia membuatnya
memiliki kemampuan berpikir abstrak, transenden, dan tidak terbatas pada hal-hal yang sedang
dialami saat ini saja. Salah satu kelebihan dari kemampuan berpikir ini membuat manusia dapat
melakukan introspeksi untuk mengenali dirinya serta membuat perencanaan untuk
mengembangkannya, sedangkan gajah misalnya, mungkin tidak pernah sadar bahwa dia adalah
seekor gajah, apalagi memikirkan cara untuk menjadi gajah unggul.
109
110
keadaan sebenarnya dan tindakan apa yang sebaiknya diambil. Apabila Sistem Limbik dapat
menenangkan dan membuat individu merasa nyaman, Neocortex dapat berperan dengan segala
kecanggihannya untuk memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang sebaiknya tidak
dilakukan. Seperti pemegang kunci, Sistem Limbiklah yang akan menetapkan pintu mana yang
akan dibuka: pintu ke arah Otak Reptil atau Neocortex.
Sebagaimana dinyatakan MacLean, tiga serangkai otak ini bekerja seperti tiga komputer
biologis yang saling berkaitan. Dengan adanya Neocortex, manusia diharapkan lebih banyak
menggunakan kemampuan berpikir tingkat tingginya dan terhindar dari kendali otak reptilnya.
Oleh karena itu, sangat penting bagi Sistem Limbik untuk membuat individu nyaman dan perlu
untuk menjaga agar kesalahan Amygdala dalam menilai situasi dapat segera disadari. Caranya
adalah dengan mengaktifkan Neocortex dalam menilai dan menyadarkan Sistem Limbik bahwa
ada cara yang lebih tepat untuk mengendalikan keadaan.
Manusia berbeda dengan spesies lainnya karena manusia tidak sepenuhnya bergerak
berdasarkan insting. Manusia mampu menunda reaksinya dengan mengambil waktu untuk
memberi kesempatan bagi Neocortex untuk berpikir dan menganalisis situasi. Penundaan
tersebut membuat reaksi manusia seringkali terkesan lamban, namun dengan latihan
menganalisis dan berpikir kritis, lama-kelamaan reaksi menjadi lebih cepat. Hal yang penting
diketahui adalah kesadaran mengenai pentingnya menunda reaksi demi menganalisis situasi
dengan lebih cermat. Beberapa cara untuk menenangkan diri adalah dengan menghirup napas
panjang beberapa kali, minum air putih, lalu mulai berpikir kritis. Semakin sering seseorang
menggunakan kemampuan analisis, semakin cepat seseorang dalam menganalisis lingkungan dan
situasi yang dihadapi.
111
otak. Sudah sejak zaman Mesir dan Cina kuno, para tabib telah menyadari
bahwa terdapat dua bagian otak yang mengendalikan hemisfer tubuh secara
silang. Bagian otak kanan mengendalikan hemisfer tubuh kiri. Sebaliknya,
bagian otak kiri mengendalikan hemisfer tubuh kanan. Namun, pada tahun
1960, Roger W. Sperry, seorang ahli neuropsikologi dan neurobiologi,
mengajukan sebuah temuan penelitian yang menunjukkan bahwa selain
mengendalikan hemisfer tubuh secara silang, otak kiri dan kanan memiliki
fungsi dan karakter yang berbeda pula.
Kreativitas
Otak kanan sering dianggap berperan pada terciptanya produk kreatif, karena otak kanan
memang penuh dengan gagasan baru. Namun, karena sifatnya yang bebas dan kurang taat pada
aturan, sering kali gagasan hebat itu tidak sampai menghasilkan produk kreatif. Dengan
demikian, dibutuhkan otak kiri yang lebih teratur untuk mewujudkannya. Oleh karena itu,
112
kreativitas dapat dikatakan merupakan hasil kerja sama kedua belah otak.
Banyak orang mempunyai salah satu bagian otak yang dominan, namun ada pula yang
mempunyai dua belahan yang sama kuat. Seorang yang unggul karena mempunyai kekuatan
seimbang pada kedua belah otaknya akan sampai pada penemuan-penemuan besar, seperti
pelukis terkenal bernama Leonardo da Vinci. Sebagai seorang seniman, tentu saja otak kanannya
sangat kuat. Namun, sebagai seorang jenius, Leonardo juga merupakan seorang ahli fisika, ahli
anatomi, dan lainlain. Tidak heran jika tokoh ini sangat unggul (eminent). Sebaliknya, Einstein
yang ilmuwan tentunya mempunyai otak kiri yang unggul. Namun, kita tahu bahwa ia adalah
seorang pemain biola yang andal. Kerja sama kedua belahan otaknyalah yang membawanya pada
teori relativitas yang mengagumkan.
Dengan demikian, penting sekali usaha untuk mengaktifkan kedua belahan otak tersebut.
Secara umum, pendidikan lebih mengutamakan otak kiri, namun akhir-akhir ini, bersamaan
dengan makin majunya pengetahuan tentang otak, otak kanan mulai mendapatkan perhatian.
Bagi yang otak kirinya cenderung lebih aktif, perlu diupayakan untuk mengaktifkan pula otak
kanan. Kegiatan yang berkaitan dengan musik dan seni lainnya serta praktik olahraga adalah
cara-cara yang asyik untuk mengembangkannya. Sebaliknya, untuk yang otak kanannya
cenderung aktif, diperlukan upaya untuk meningkatkan sistematika berpikir. Berbagai latihan
seperti yang biasa dilakukan dalam belajar di sekolah dapat membantu berpikir lebih sistematik.
113
Pertama, program yang disebut sebagai sistem operasi (operating system), misalnya Windows 7,
Linux, atau OS X. Sistem operasi merupakan program yang berisi aturan umum. Setelah sistem
operasi diisi (di-install) ke dalam komputer, kita dapat mengisinya dengan program tingkat
kedua yang disebut software. Software adalah program dengan fungsi khusus, antara lain MS
Office Word untuk mengetik, Excel untuk membuat spreadsheet, Adobe Photoshop untuk
memanipulasi arsip gambar atau SPSS untuk analisis statistik.
Berdasarkan analogi tersebut, dapat dikatakan jika tubuh manusia dapat diandaikan
sebagai komputer, otak adalah keping prosesor dan kecerdasan adalah sistem operasinya.
Keduanya mampu meng-install berbagai kemampuan yang memunculkan berbagai tingkah
laku manusia, seperti menggubah drama Romeo dan Juliet, membangun Borobudur, merumus-
kan E = mc2, dan lain sebagainya. Dengan demikian, sistem operasi yang memungkinkan semua
tingkah laku ini terjadi adalah kecerdasan.
Inteligensi dan IQ
Kecerdasan menjadi sangat populer dibicarakan sejak awal abad XX, sejak Alfred Binet dan
Theodore Simon mengembangkan pengukuran kecerdasan modern pertama. Konsep kecerdasan
sendiri berpangkal pada pandangan Darwin mengenai survival of the fittest. Menurut Darwin,
spesies yang bertahan adalah spesies yang memiliki kemampuan adaptasi yang terbaik. Bertolak
dari pemikiran tersebut, banyak penelitian diarahkan kepada kemampuan manusia beradaptasi.
Manusia yang unggul adalah manusia yang mampu beradaptasi dengan lebih baik. Kemampuan
beradaptasi inilah yang disebut sebagai kecerdasan. King (2011:253) dalam buku The Science of
Psychology mendefinisikan kecerdasan sebagai All-purpose ability to do well on cognitive
tasks, to solve problems, and to learn from experience.
Kecerdasan dianggap sebagai kemampuan menggunakan kognisi guna memecahkan
masalah dan beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan yang dipelajarinya dari pengalaman. Pada
awalnya pengukuran kecerdasan dilakukan untuk kepentingan merekrut tentara, kemudian
kepentingan mendapatkan orang yang tepat dalam pendidikan dan perusahaan. Hasil pengukuran
kecerdasan biasanya disebut sebagai IQ (intelligence quotient). Kemampuan yang dianggap
paling penting untuk berhasil dalam bidang-bidang tersebut adalah kemampuan analisis.
Selanjutnya, pengujian kecerdasan saat itu umumnya berupa pengujian kemampuan analisis.
Semula para ahli di bidang kecerdasan menganggap hanya ada satu macam kecerdasan.
114
Satu kemampuan ini bertanggung jawab atas semua keberhasilan individu. Pandangan itu
umumnya beranggapan bahwa kemampuan analitis adalah kemampuan tunggal tersebut.
Pandangan tersebut bertahan cukup lama. Berbagai seleksi untuk penempatan di bidang
pendidikan umumnya didasarkan pada kemampuan terhadap bidang tersebut. Seseorang
dianggap pandai jika kemampuan analitisnya tinggi. Pada umumnya, pendidikan memang
ditekankan pada kemampuan analitis karena siswa yang dianggap berhasil biasanya memang
mereka yang memiliki kemampuan analitis tinggi.
Pertanyaan yang sering kali muncul adalah mengapa banyak siswa yang unggul di
sekolah setelah terjun ke dalam masyarakat tidak lagi menunjukkan keunggulannya? Sebaliknya,
mereka yang tidak unggul dalam pendidikan sering kali menunjukkan keunggulan dalam
masyarakat. Sternberg menjelaskan masalah tersebut dengan mengatakan bahwa kecerdasan
tidak hanya satu macam. Menurut Sternberg, terdapat tiga macam inteligensi pada manusia, yaitu
Analytical Intelligence (Kecerdasan Analitis), Practical Intelligence (Kecerdasan Praktis), dan
Creative Intelligence (Kecerdasan Kreatif). Kecerdasan analitis banyak dirangsang di sekolah.
Oleh karena itu, untuk berhasil di sekolah, siswa membutuhkan kecerdasan analitis. Sebaliknya,
dalam kehidupan di tengah masyarakat, yang dibutuhkan adalah kecerdasan praktis. Apabila
sekolah tidak mengembangkan kecerdasan jenis ini, sulit mengharapkan individu akan berhasil
saat dia terjun ke dalam masyarakat.
Sejak akhir abad XX, para ahli yang memusatkan perhatiannya pada masalah kecerdasan
akhirnya menemukan adanya aneka ragam kecerdasan. Seorang tokoh yang teorinya sangat
populer saat ini adalah Gardner dari Harvard. Gardner mengajukan teori Multiple Intelligence
(Kecerdasan Majemuk). Kecerdasan menurut Gardner (1999) adalah kemampuan seseorang
untuk menciptakan karya yang bernilai bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, kecerdasan tidaklah
satu macam. Dalam Frame of Mind, Gardner (1983) mengajukan delapan macam kecerdasan,
yakni kecerdasan (1) linguistik, (2) matematik-logikal, (3) spasial, (4) kinestetik-jasmani, (5)
musical, (6) interpersonal, (7) intrapersonal, dan (8) naturalistik.
Pada tahun 1999, dalam bukunya Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for the
21st Century, Gardner menegaskan bahwa naturalistik sebagai sebuah kecerdasan dapat ditambah
secara tentatif dengan dua macam kecerdasan lain, yaitu kecerdasan eksistensial dan kecerdasan
spiritual. Orang dapat sukses melalui kecerdasan yang berbeda; tidak hanya kecerdasan analitis.
Sebagai contoh, kita mengenal orang-orang yang sukses dalam bidang musik walaupun
115
prestasinya di sekolah hanya pas-pasan saja. Ada pula yang mempunyai prestasi yang luar biasa
di sekolah, namun selalu canggung dalam berhadapan dengan orang lain. Dengan berpegang
pada pendapat kecerdasan majemuk, paling tidak, ada dua pilihan yang dapat ditempuh, yaitu
memusatkan diri pada kecerdasan yang menjadi kekuatan kita, seperti Anggun C. Sasmi yang
sejak sangat muda menetapkan untuk meninggalkan bangku sekolah dan memusatkan diri pada
pengembangan kariernya di bidang musik atau justru berusaha mengembangkan kemampuan-
kemampuannya secara merata, termasuk kemampuan yang terlemah. Idealnya, saat seseorang
masih sangat muda, saat belum terlihat kemampuannya yang paling menonjol, sebaiknya ia
diberikan berbagai macam rangsangan agar semua kemampuannya dapat berkembang secara
optimal sehingga dapat dikenali letak kekuatannya.
Kecerdasan Emosional
Secara populer orang cerdas dikaitkan dengan kemampuan kognitif yang dimilikinya. Kecerdasan
itulah yang dianggap dapat menjanjikan keberhasilan. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, sering
dijumpai bahwa seorang yang cerdas tidak selalu berhasil. Sebagai contoh, seorang yang sangat cepat
memecahkan soal matematika atau mempunyai banyak pengetahuan, belum tentu dalam hidupnya
menunjukkan keberhasilan atau mungkin biasa-biasa saja. Pada kurun waktu 19701980-an,
gejala ini menggugah perhatian beberapa ahli, seperti Gardner, Salovey, Mayer, dan Baron
(Goleman, 1996) untuk melakukan berbagai penelitian yang bertujuan menilai faktor-faktor yang
ada di belakang kegagalan ini. Berdasarkan penelitian-penelitian tadi, Goleman mengajukan
sebuah konsep yang segera menjadi sangat populer, yaitu konsep kecerdasan emosi atau
emotional intelligence.
Goleman menyimpulkan bahwa kecerdasan atau inteligensi sebagai sebuah konsep
tampaknya terlalu sempit untuk menjelaskan keberhasilan atau kesuksesan seseorang.
Kesuksesan itu membutuhkan lebih daripada sekadar cerdas. Ia juga mengajukan konsep
kecerdasan emosi sebagai faktor yang lebih menentukan keberhasilan daripada kecerdasan atau
inteligensi. Kecerdasan emosionallah yang memungkinkan kecerdasan atau inteligensi, yang
bersifat kognitif, berfungsi secara optimal. Orang dengan kecerdasan emosional yang tinggi akan
mudah mengarahkan kognisinya dalam berpikir dan memecahkan masalah.
Premis Goleman mengenai kecerdasan emosional dapat diuraikan sebagai berikut. Untuk
berhasil, diperlukan kesadaran, pengendalian, dan penanganan yang efektif terhadap emosi, baik
116
emosi diri sendiri maupun emosi dari orang lain yang dihadapinya. Goleman menemukan lima
domain kecerdasan emosi, yaitu memahami emosinya sendiri, mengendalikan emosi, memotivasi
diri sendiri, memahami emosi orang lain, dan menangani hubungan dengan orang lain.
Mengenali perasaan sendiri apa adanya adalah unsur penting dalam kecerdasan
emosional. Apabila individu tidak mampu mengenali perasaannya sendiri, hidupnya akan
dikendalikan oleh perasaan itu. Sementara itu, individu yang memahami perasaannya akan
mampu mengarahkan hidupnya. Banyak orang yang tidak memahami emosinya sendiri karena
keliru belajar pada masa kecil. Orang tua bermaksud mengajarkan anak untuk mengendalikan
emosinya (terutama mengendalikan kemarahan), namun keliru ketika menyampaikan bahwa
Anak yang baik tidak boleh marah. Akibatnya, individu itu terbiasa menahan atau menekan
kemarahannya, bahkan menyangkal perasaan marah. Apabila hal itu terjadi terus-menerus,
sampai dewasa individu itu akan mengalami kesulitan dalam mengenali perasaannya. Oleh
karena itu, banyak orang yang tidak sadar bahwa dia marah atau terlambat menyadari perasaan
marahnya sampai kemarahannya sudah memuncak dan sulit dikendalikan, padahal marah itu
alami dan yang perlu dilakukan adalah mengendalikan kemarahan dan menyalurkan kemarahan
dengan cara yang lebih dapat diterima. Terapi relaksasi dalam bidang psikologi antara lain
membantu individu menyadari sedini mungkin ketika dirinya mulai merasa tegang dan tidak
nyaman.
Mengendalikan emosi serta mengarahkan penyaluran emosi agar sesuai dan dapat
diterima oleh lingkungannya merupakan kemampuan yang dibangun berdasarkan kesadaran diri.
Apabila individu cepat menangkap perasaan marahnya, lebih mudah baginya untuk
mengendalikan kemarahanya tersebut daripada jikalau ia sudah terlanjur sangat amat marah.
Kemampuan mengendalikan emosi akan sangat membantu dalam mencegah reaksi spontan dari
Otak Reptil dan memberi kesempatan bagi Neocortex untuk memegang kendali. Setiap orang
mempunyai cara tersendiri dalam mengendalikan emosinya, namun ada cara yang umum
dianggap dapat membantu. Menarik napas panjang dan minum air putih dianggap dapat
membantu penyediaan oksigen ke otak yang dapat meredakan hati. Beberapa cara yang sering
digunakan oleh orang tua atau guru dalam membantu anak meredakan kemarahan adalah dengan
menyuruhnya membilang angka secara perlahan, bahkan menyuruh anak mandi dengan alasan
akan membuatnya sejuk. Mengekspresikan perasaan secara pantas merupakan bentuk
kecerdasan emosi kedua. Cara mengekspresikan perasaan bersifat budaya, sangat tergantung
117
pada kebiasaan setempat. Bagaimanakah cara yang dianggap pantas untuk mengekspresikan
perasaan marah, sedih, gembira, takut, dan malu dalam budaya Anda?
Memotivasi diri sendiri adalah sebuah kemampuan yang sangat diperlukan untuk dapat
mengarahkan diri menuju sasaran. Seorang yang mempunyai kemampuan untuk memotivasi
dirinya sendiri akan lebih tahan dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam hidup. Individu
yang mampu memotivasi dirinya akan setia pada tujuan; kesulitan tidak akan membuatnya
berbelok dari tujuannya. Banyak penelitian dalam bidang pendidikan yang menemukan bahwa
motivasi lebih menentukan prestasi belajar daripada kecerdasan. Apabila individu mampu
memotivasi dirinya sendiri, ia akan terus mendapatkan energi untuk belajar tanpa bergantung
pada dorongan dan dukungan dari orang lain. Kemampuan untuk memotivasi diri sendiri akan
memungkinkan individu menjadi pelajar mandiri yang dapat terus mengembangkan dirinya
seumur hidup.
Memahami emosi orang lain berkaitan dengan kemampuan empati. Memahami emosi
orang lain harus didahului oleh kemauan yang tulus, penerimaan atas orang lain apa adanya,
serta niat baik agar dapat menjalin hubungan yang baik dan menguntungkan bagi kedua belah
pihak. Memahami orang lain berarti memahami apa yang dipikirkan, dirasakan, serta diinginkan
oleh orang tersebut, dan kemampuan ini dapat dilatih. Untuk memastikan pemahaman mengenai
orang lain ini tidak keliru, diperlukan keterbukaan dan upaya mendapatkan umpan balik dari
orang yang bersangkutan. Saat terjadi benturan dengan orang lain, usahakan untuk memikirkan
apa kiranya yang dipikirkan orang tersebut, apa yang dirasakannya, serta apa yang diinginkannya
tanpa menggunakan kacamata kita sendiri. Agar dapat memahami kondisi emosi orang
tersebut secara lebih tepat, kita perlu mengenalnya dengan lebih dekat.
Untuk dapat menjalin hubungan dengan orang lain, ada banyak keterampilan sosial yang
perlu dilatih, yaitu kemampuan mendengarkan secara efektif dan kemampuan komunikasi yang
efektif. Apabila kecerdasan intelegensi (IQ) lebih berkaitan dengan faktor kognitif, kecerdasan
emosional (EQ) lebih berkaitan dengan faktor afektif. Sebagaimana diketahui, faktor afektif
seringkali memengaruhi faktor kognitif sehingga kecerdasan emosional merupakan faktor
motivasional yang akan mendorong atau menghambat penggunaan seluruh kapasitas kecerdasan,
atau menyebabkan individu enggan atau tak mampu menggunakan kecerdasannya secara
optimal. Selain itu, Zohar (2000) mengajukan pendapat bahwa baik IQ maupun EQ secara
sendiri-sendiri maupun bersamaan, tidak mampu untuk menjelaskan seluruh kompleksitas
118
kecerdasan manusia. Menurut Zohar, dengan kedua kecerdasannya (IQ dan EQ), manusia
mampu memahami situasi dan menampilkan perilaku yang sesuai untuk menghadapinya, namun
dibutuhkan kecerdasan ketiga, yaitu kecerdasan spiritual untuk membuat manusia mampu
melakukan transendensi.
Kecerdasan Spiritual
Dalam buku klasiknya, An Essay on Man, Cassirer (1944) menguraikan bagaimana sejak zaman
purba, manusia secara instingtif sudah menyadari dan mempunyai kecenderungan untuk mencari
sesuatu yang lebih besar daripadanya. Manusia mempunyai kebutuhan untuk terhubung
dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya itu. Bagi orang-orang beragama, sesuatu itu
biasa dimaksudkan sebagai Allah, Tuhan, Dewa dan lain sebagainya, sedangkan bagi yang tidak
beragama, hal itu sering dikaitkan dengan alam semesta atau kekuatan-kekuatan hebat lain yang
ada. Berbeda dengan spesies lainnya, manusia memang cenderung mencari jawaban atas
berbagai pertanyaan yang terkait dengan sesuatu yang lebih besar darinya; manusia mempunyai
kecenderungan dan kemampuan berpikir melampaui dirinya (transendental).
Manusia mampu dan cenderung untuk mencari jawaban atas berbagai hal besar dalam
hidupnya, misalnya untuk apa saya hidup? Bagaimana dan dari apakah alam semesta ini terbuat?
Di manakah posisi saya dalam alam semesta yang luas ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut
muncul dari kebutuhan pada manusia tentang pengalaman yang memiliki makna yang
mendalam, tujuan serta nilai yang bermakna. Itu semua membawa manusia pada pertanyaan
yang lebih mendalam dan bijak mengenai hidup serta akan berdampak pada berbagai keputusan
serta pengalaman hidupnya (Zohar, 2010).
Kecenderungan itu menunjukkan bahwa selain sebagai makhluk individual dan makhluk
sosial, pada dasarnya manusia juga merupakan makhluk spiritual. Kecenderungan tersebut tidak
akan mampu terjawab hanya melalui kecerdasan (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ) semata. Ada
kecerdasan ketiga yang memungkinkannya, yaitu kecerdasan spiritual (SQ), yang oleh Zohar dan
Marshall disebut sebagai kecerdasan tertinggi. Zohar mendefinisikan kecerdasan spiritual
sebagai berikut.
.. kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan
nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam
konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasaan untuk menilai bahwa
tindakan atau jalan hidup seseotrang lebih bermakna dibandingkan dengan
119
Kecerdasan ini berkaitan erat dengan kehidupan keagamaan walaupun tidak identik
dengan keberagamaan. Mungkin saja ada orang beragama, namun mempunyai kecerdasan
spiritual yang tidak terlalu tinggi. Kenyataan itu sering dijumpai pada orang yang menjalankan
berbagai ritual keagamaan hanya sebagai suatu kebiasaan dan keharusan, tanpa betul-betul
menyadari, mencari atau berusaha memahaminya secara mendalam penuh kesadaran.
Sebaliknya, mungkin saja ada orang yang tidak berargama secara formal, namun menyadari
bahwa dirinya merupakan bagian kecil dari sesuatu yang lebih besar (walaupun dalam pengertian
alam semesta). Oleh karena itu, perlu menjalani hidup sesuai dengan dan bagi kepentingan yang
lebih besar dari sekadar dirinya sendiri. Dengan demikian, untuk menjalankan keagamaan
dengan penuh kesadaran dan mendapatkan pemahaman agama, dibutuhkan kecerdasan spiritual,
namun kecerdasan spiritual sendiri tidak menjamin ketaatan seseorang dalam beragama.
120
Teori kepribadian Myers-Brigs merupakan hasil pemikiran sepasang psikolog, ibu dan
anak, yaitu Katherine Briggs dan Isabella Myers Briggs. Mereka mengembangkan sebuah model
yang disebut Myers-Briggs Type Indicator (MBTI), yang dikembangkan berdasarkan teori
kepribadian Carl Jung. MBTI hasil penelitian mereka telah membantu menjelaskan teori tipe
psikologi dari Jung sehingga lebih mudah dipahami dan dapat bermanfaat bagi kehidupan
manusia.
Melalui penelitian yang panjang serta penyempurnaan berkala, Myers dan Briggs
membangun sebuah instrumen tes MBTI (Myers Briggs Type Indicator) yang mengukur tipe
psikologi seseorang. MBTI ini mengidentifikasi dan mengategorisasi kecenderungan perilaku
individu dalam empat dimensi, yaitu 1. (E) Extraversion/Introversion (I), 2. (S) Sensing/Intuition
(N), 3. (T) Thinking/Feeling (F), dan 4. (J) Judging/Perceiving (P).
Keempat dimensi tersebut masing-masing merupakan suatu kontinum. Jadi, seorang
individu tidak dapat disebut murni ekstraversi atau introversi, tetapi kecenderungan lebih
ekstraversi, sangat ekstraversi, atau sangat introversi. Berdasarkan skala empat dimensi ini,
mereka mengelompokkan enam belas tipe kepribadian, dan setiap orang masuk dalam salah satu
kategori tersebut. Ini bukan berarti bahwa setiap orang itu tidak unik. Setiap manusia itu tetap
saja unik karena mereka mempunyai orangtua, gen, pengalaman, minat, dan lain-lain yang
berbeda satu dari lainnya. Namun, mereka juga mempunyai sejumlah besar persamaan.
Menemukan tipe kepribadian dapat membantu menemukan, meramalkan perilaku yang akan
ditampilkan dalam situasi tertentu, serta mempelajari bagaimana memanfaatkan kesamaan ini.
Salah satu cara untuk mengetahui tipe kepribadian
seseorang adalah menjalani tes MBTI atau mengisi inventori
MBTI, kemudian meminta seorang profesional terlatih untuk
menginterpretasikannya. Apabila seseorang telah memahami tipe
kepribadian itu, ia juga dapat mencoba menemukan tipe
kepribadiannya sendiri melalui introspeksi diri. Setelah itu, ciri-
ciri yang ditemukan melalui introspeksi tersebut dapat
dibandingkan dengan ciri-ciri dari keempat dimensi Tipe Kepribadian MBTI ini. Selanjutnya,
dapat dipikirkan mana yang paling mirip dengan kepribadian sendiri (Tieger dan Barron-Tieger,
2001). Mempelajari tipe kepribadian ini juga dapat membantu seseorang dalam memahami orang
lain, terutama orang yang berhubungan dan yang bekerja sama dengannya. Memahami orang-
121
orang di sekitar dan yang bekerja sama dengannya akan membantu melancarkan hubungan kerja
sama tersebut.
Sistem tipe dari pengukuran kepribadian manusia didasarkan pada empat dimensi tipe
kepribadian MBTI yang telah disebutkan di atas. Keempat dimensi ini bukan merupakan sesuatu
yang mutlak,melainkan mengestimasikan suatu titik dalam sebuah garis kontinum.
(E)Extraverts ____________________|____________________ Introverts (I)
Atau
1.2.1 Extraversion/Introversion
Dimensi pertama ini membahas bagaimana individu berinteraksi dengan dunia dan dari mana
asal energi yang dimilikinya. Seseorang dengan tipe Extravert lebih tertarik dengan objek di luar
dirinya. Umumnya mereka senang bergaul, bekerja dalam kelompok, dan berada di tengah
keramaian. Adanya orang-orang lain dapat memberi semangat bagi dirinya sekaligus merupakan
energi yang membuatnya bersemangat dan bergairah. Keadaan ini bukan berarti mereka tidak
dapat bekerja sendiri. Mereka mungkin saja terampil bekerja sendiri namun apabila mereka harus
bekerja sendirian untuk jangka yang panjang, energinya mudah terkuras. Agar dapat menambah
semangat, orang-orang Extravert sebaiknya menyediakan waktu untuk berkumpul dengan orang
122
lain karena dengan energi yang cukup, hasil kerjanya dapat lebih dioptimalkan.
Sebaliknya, seorang yang Introvert lebih tertarik melakukan kegiatan-kegiatannya sendiri
dalam ketenangan. Sebagaimana orang Extravert mampu bekerja sendiri, orang-orang Introvert
walaupun lebih senang sendiri dapat saja mempunyai kemampuan kerja sama yang baik. Namun
demikian, bagi orang Introvert, jika terlalu lama berada di antara orang banyak, hal itu membuat
energinya terkuras dan mereka cepat merasa lelah. Agar dapat mengisi ulang energinya, mereka
perlu meluangkan cukup waktu untuk aktivitas sendirian, seperti mendengarkan musik sendirian,
membaca buku, ataupun bermain-main dengan gagasannya sendiri. Orang yang cenderung
ekstraversi disebut Extravert dan dalam MBTI dicantumkan inisial E sedangkan yang cenderung
introversi disebut Introvert dengan inisial I.
Perbedaan Ciri Extravert dan Introvert
Extraverts Introverts
Semangat dengan menghabiskan waktu
Semangat dengan kehadiran orang lain
sendiri
Senang menjadi pusat perhatian Menghindar dari pusat perhatian
Bertindak, lalu (atau sambil) berpikir Berpikir, baru bertindak
Cenderung berpikir dengan bersuara Berpikir dalam kepala
Mudah dibaca dan mudah ditebak; Lebih pribadi, lebih suka membagi informasi
membagi informasi pribadi dengan bebas pribadi kepada orang tertentu saja
Lebih banyak mendengarkan daripada
Lebih banyak bicara daripada mendengarkan
berbicara
Berkomunikasi dengan antusias Antusias disimpan hanya bagi dirinya sendiri
123
Memberi respons dengan cepat; menyukai Memberi respons setelah berpikir panjang;
pacu pembicaraan yang cepat lebih suka pacu pembicaraan yang lambat
Lebih menyukai pembicaraan yang luas Lebih menyukai pembicaraan yang mendalam
daripada mendalam daripada yang meluas
Dengan melihat ciri-ciri orang Extravert maupun Introvert, seseorang dapat mengenali
kecenderungan yang ada pada dirinya. Ia dapat membuat perkiraan tipe kepribadiannya; apakah
ia cenderung lebih Extravert atau Introvert. Berilah tanda X pada skala di bawah ini.
(E) Extraverts ____________________|____________________ Introverts (I)
1.2.2 Sensing/Intuition
Dimensi ini membicarakan jenis informasi yang mudah ditangkap oleh seseorang. Ada orang
yang lebih mudah menangkap informasi melalui pancaindranya. Ada pula orang yang lebih
tertarik pada arti sebuah fakta dibandingkan fakta-faktanya sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari,
digunakan kedua pendekatan ini untuk memperoleh informasi. Akan tetapi, setiap orang
cenderung lebih memilih, lebih mudah, atau lebih merasa nyaman menggunakan cara yang satu
daripada yang lain dan secara alamiah lebih mudah menggunakan yang satu daripada yang
lainnya, dan lebih sering merasa benar saat menggunakan satu pendekatan daripada yang lain.
Seorang yang lebih mudah menangkap informasi melalui pancaindra biasanya cukup cermat
dengan fakta-fakta, namun harus berusaha keras saat mencari makna di belakang fakta
tersebut. Sebaliknya, seorang intuitif cepat menangkap makna dari sebuah fakta, namun harus
hati-hati saat menangkap fakta dengan indranya karena kurang jeli dan kadang-kadang keliru.
Kerja sama antarkeduanya adalah yang terbaik walaupun ada hal-hal yang lebih mudah dipelajari
dengan menggunakan indra dan yang lain lebih mudah dipelajari melalui intuisi.
124
Sensors Intuitives
Percaya kepada apa yang pasti dan konkret Percaya kepada inspirasi dan inference
Menyukai ide baru hanya bila bisa digunakan Menyukai ide baru dan konsep-konsep
dengan praktis
Menghargai realisme dan akal sehat Menghargai imajinasi dan inovasi
Senang menggunakan dan mengasah Senang mempelajari keterampilan baru; cepat
keterampilan yang sudah dimiliki bosan setelah menguasi sebuah keterampilan
Cenderung spesifik dan harfiah; memberikan Cenderung general dan figuratif; senang
deskripsi detail menggunakan perumpamaan dan peribahasa
Mengajukan informasi dengan cara step-by- Mengajukan informasi secara umum dan garis
step besar
Berorientasi pada masa kini Berorientasi pada masa depan
Orang-orang yang mempunyai kecenderungan sensing disebut Sensors dan dalam MBTI
ditulis dengan inisial S, dan yang intuisi disebut Intuitives dengan inisial N (huruf kedua dari
intuitif karena inisial I sudah mewakili Introvert). Dengan melihat ciri-ciri dari Sensor maupun
Intuitives, dapat dikenali kecenderungan yang ada pada diri seseorang. Selain itu, juga dapat
diperkirakan tipe kepribadian seseorang: apakah cenderung lebih Sensors atau Intuitives. Berilah
tanda X pada skala di bawah ini.
(S) Sensors ____________________|___________________ Intuitives (N)
1.2.3 Thinking/Feeling
Dimensi ini berkaitan dengan pengambilan keputusan. Individu yang memiliki kecenderungan
thinking biasa disebut Thinkers. Mereka biasa berpikir panjang sebelum mengambil keputusan:
125
benar salahnya, baik buruknya, aturannya, yang kesemuanya itu dianalisis dengan cermat.
Setelah pasti, barulah ia menetapkan keputusan. Hal tersebut berbeda dengan mereka yang
mempunyai kecenderungan feeling. Individu yang cenderung feeling disebut Feelers. Mereka
sangat peka terhadap perasaan orang lain. Sebuah keputusan diambil setelah memperhitungkan
dampaknya bagi orang lain dan mengikuti suara hatinya. Oleh karena itu, Feelers dapat
menerima pengecualian perlakuan, berbeda dari Thinkers yang bersikukuh dengan satu hukum
atau aturan berlaku bagi semua.
Perbedaan Ciri Thinker dan Feeler
Thinkers Feelers
Saat akan memutuskan sesuatu, melangkah Saat akan memutuskan sesuatu, melangkah ke
mundur; menggunakan analisis objektif depan; memikirkan dampak dari keputusan
terhadap situasi tersebut bagi orang lain
Menghargai empati dan harmoni; bisa
Menghargai logika, hukum dan keadilan; satu
menerima kekecualian dari suatu peraturan,
standar berlaku bagi semua
tergantung situasi
Mudah menangkap kesalahan dan cenderung Suka menyenangkan hati orang lain, mudah
kritis menghargai orang lain
Bisa tampak tidak berperasaan, tidak peka dan Bisa kelihatan terlalu emosional, tidak logis,
tidak peduli dan lemah
Menganggap lebih penting kebenaran daripada Menganggap cara menyampaikan sesuatu sama
memikirkan cara menyampaikannya pentingnya dengan kebenaran itu sendiri
Menganggap perasaan hanya sahih bila logis Menganggap perasaan itu sahih, masuk akal
ataupun tidak
126
Dengan melihat ciri-ciri orang tipe Thinkers maupun Feelers, dapat dikenali
kecenderungan yang ada pada diri sendiri: apakah cenderung lebih Thinkers atau Feelers.
Berilah tanda X pada skala di bawah ini.
(T) Thinkers ____________________|___________________ Feelers (F)
127
Judgers Perceiver
Paling bahagia bila keputusan sudah dibuat Paling senang meninggalkan pilihan terbuka
Memiliki etika kerja: kerja dulu, bermain Memiliki etika bermain: nikmati hidup
kemudian (itupun kalau sempat) sekarang, menyelesaikan tugas nanti (itupun
kalau masih ada waktu)
Menetapkan sasaran dan berusaha untuk Mengganti-ganti sasaran bila mendapat
mencapainya informasi baru
Lebih suka mengetahui apa yang akan
Suka beradaptasi pada situasi baru, bertindak
dihadapinya terlebih dahulu kemudian baru
sambil mempelajari situasi
bertindak
Lebih berorientasi pada produk (penekanan Lebih berorientasi pada proses (penekanan pada
pada penyelesaian tugas) bagaimana menyelesaikan tugas)
Mendapatkan kepuasan dalam menyelesaikan
Mendapatkan kepuasan dari memulai proyek
proyek
Melihat waktu sebagai sumberdaya yang pasti Melihat waktu sebagai sumber daya yang dapat
dan serius menanggapi tenggang waktu diperbaharui dan melihat tenggang waktu
sebagai elastik (jam karet)
Dengan melihat ciri-ciri dari Judgers maupun Perceivers, dapat dikenali kecenderungan
yang ada pada diri sendiri. Selain itu, tipe kepribadian sendiri dapat juga dikira-kira: cenderung
lebih Judger atau Perceiver. Berilah tanda X pada skala di bawah ini.
(J) Judgers ____________________|___________________ Perceivers(P)
128
129
1.3.1 Pembimbing/Tradisionalis
Kaum sensors percaya pada fakta, data yang telah terbukti, pengalaman masa lalu, serta
informasi yang ditangkap oleh pancainderanya, sedangkan judgers menyukai struktur serta
keteraturan, satu hal yang akan memengaruhinya saat mengambil keputusan. Apabila keduanya
digabung, kedua preferensi ini menghasilkan Sensing Judger, yakni sebuah tipe pribadi yang
menapak bumi dan tegas yang disebut sebagai Pembimbing/Tradisionalis.
Moto dari tipe Pembimbing/Tradisionalis adalah cepat tidur, bangun pagi. Tipe ini
adalah orang-orang yang paling tradisional dari empat kelompok temperamen Keirsey. Mereka
sangat menghargai hukum dan keteraturan, jaminan, sopan santun, aturan, serta mudah
menyesuaikan diri. Mereka didorong oleh motivasi untuk melayani kebutuhan masyarakat.
Pembimbing/Tradisionalis menghormati otoritas, hierarki, dan garis komando, serta memiliki
nilai-nilai yang konservatif. Mereka terikat pada rasa tanggung jawab dan selalu berusaha untuk
melakukan hal yang benar. Hal itu membuat mereka menjadi orang-orang yang dapat
diandalkan, dapat dipercaya, dan tentu saja orang yang bertanggung jawab.
Walaupun sama-sama tergolong pada temperamen Pembimbing/Tradisionalist, kelompok
Thinking (STJ) maupun Feeling (SFJ) sangat berbeda. Mereka yang ESFJ dan ISFJ dalam ciri
Pembimbing/Tradisionalis, tidak sekuat ciri ESTJ dan ISTJ. Bagi ESFJ dan ISFJ, hubungan
dengan orang lain dan kriteria orientasi pada manusia dalam pengambilan keputusan sangatlah
penting. Jadi, walaupun biasanya kaum Pembimbing/Tradisionalis (tidak peduli apa pun gaya
hidupnya, J atau P) paling senang mereka bekerja di tempat yang struktur dan ekspektasinya
130
jelas. Mereka yang tergolong Feeling akan berusaha membangun hubungan harmonis dengan
orang lain dan mencari kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang memungkinkan mereka
membantu orang lain secara nyata.
Walaupun sama-sama tergolong pada temperamen Pembimbing/Tradisionalis, kelompok
Thinking (STJ) maupun Feeling (SFJ) sangat berbeda. Mereka yang ESFJ dan ISFJ dalam ciri
Pembimbing/Tradisionalis, tidak sekuat ciri ESTJ dan ISTJ. Bagi ESFJ dan ISFJ, hubungan
dengan orang lain dan kriteria orientasi pada manusia dalam pengambilan keputusan sangatlah
penting. Biasanya kaum Pembimbing/Tradisionalis (tidak peduli apa pun gaya hidupnya, J atau
P) paling senang bekerja di tempat yang struktur dan ekspektasinya jelas. Mereka yang
tergolong Feeling akan berusaha membangun hubungan harmonis dengan orang lain dan
mencari kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang memungkinkan mereka membantu orang
lain secara nyata.
Pembimbing/Tradisionalis membutuhkan perasaan menyatu dengan kelompok dan
melakukan yang benar. Mereka menghargai stabilitas, keteraturan, kooperasi, konsistensi, dan
kesahihan, serta cenderung serius dan merupakan pekerja keras. Pembimbing/Tradisionalis
selalu menuntut baik dirinya maupun orang lain untuk selalu fokus pada pekerjaan dan bekerja
sebaik-baiknya.
a. Kekuatan
Pembimbing/Tradisionalis adalah orang-orang yang praktis dan terorganisasi, teliti, serta
sistematis. Mereka sangat memerhatikan peraturan, kebijakan, kontrak, ritual, maupun jadwal.
Mereka sangat hebat dalam memandu, memonitor, dan menjalankan aturan. Pembimbing/-
Tradisionalis senang bekerja dengan fakta yang telah terbukti dan menggunakannya untuk
mengarahkan diri pada sasaran organisasi tempat mereka menjadi anggotanya. Mereka sangat
bangga bahwa mereka selalu bekerja dengan baik. Mereka juga pandai melihat apa yang harus
diperhatikan dan menyelesaikan tugas dengan sumber daya yang seefisien mungkin. Begitu
mereka suka dan setuju terhadap suatu hal, Pembimbing/Tradisionalis selalu melaksanakannya
dengan teliti. Dalam keadaan terbaik, mereka adalah orang-orang yang solid, dapat dipercaya,
dan diandalkan.
131
b. Kemungkinan Kelemahan
Pembimbing/Tradisionalis tidak tertarik pada teori atau hal-hal yang
abstrak. Mereka kurang memperhatikan masa depan dibandingkan masa
kini. Perencanaan jangka panjang bukanlah kekuatannya.
Pembimbing/Tradisionalis kadang-kadang terlalu cepat dalam mengambil
keputusan.Mereka juga cenderung melihat hitam putih dan sulit melihat
area abu-abu. Mereka sulit menghadapi perubahan dan lambat dalam
menyesuaikan diri. Mereka cenderung enggan
mencobakan pendekatan baru yang berbeda,
apalagi yang belum teruji. Kemungkinan besar Marie
Muhammad
mereka akan minta bukti bahwa solusi baru itu
1939 - 2017
dapat dijalankan sebelum mereka dapat
mempertimbangkan untuk menggunakannya. Kelemahan utama
Pembimbing/Tradisionalis adalah mereka sering kurang luwes,
cenderung dogmatis, dan kurang imajinatif. Contoh tokoh dengan
Ciputra
1931 temperamen ini adalah Mother Theresa, Jenderal Washington, Marie
Muhammad, dan Ir. Ciputra.
1.3.2 Artis/Experiencers
Sensors berkonsentrasi pada apa yang dilihat, didengar, diraba, dicium, dikecap, dan percaya
pada apa yang dapat diukur serta dicatat. Perceivers terbuka pada berbagai kemungkinan dan
suka hidup secara luwes. Apabila digabung, kedua preferensi ini menghasilkan Sensing
Perceiver, sebuah tipe individu yang responsif dan spontan, yang disebut temperamen
Artis/Experiencers. Moto mereka adalah Makan, minum, dan bergembiralah! Ini adalah suatu
tipe yang paling avonturir. Mereka hidup untuk bertindak, mengikuti kata hati, dan demi masa
ini. Fokusnya adalah pada situasi sesaat dan kemampuan untuk menetapkan apa yang harus
dilakukan sekarang. Artis/Experiencers menghargai kebebasan dan spontanitas, sehingga jarang
menyukai aktivitas atau situasi yang terlalu terstruktur atau terlalu banyak aturan. Mereka
cenderung senang menyerempet bahaya (risk-taker), mudah menyesuaikan diri, easy-going, dan
pragmatis. Mereka mengagumi pertunjukan keterampilan di segala bidang atau disiplin.
Kebanyakan (tetapi tidak semua) Artis/Experiencers adalah orang-orang yang senang hidup di
132
ujung tanduk.
Artis/Experiencers membutuhkan aktivitas dan kebebasan untuk bertindak sesuai dengan
kata hatinya. Dalam bekerja, mereka fokus pada apa yang akan diselesaikan saat ini. Mereka
menghargai perbuatan heroik dan tindakan ahli dan senang menghadapi tantangan-tantangan.
Seperti Pembimbing/Tradisionalist, Artis/Experiencers juga ada dua macam, yaitu STP dan SFP.
SFP tidak sepenuhnya sesuai dengan gambaran temperamen Artis/Experiencers yang penuh
dengan kebebasan. Experiencer yang SFP terutama ingin berespons pada kebutuhan orang lain
dan ingin hasil kerjanya dapat membawa perubahan segera pada orang lain.
a. Kekuatan
Artis/Experiencers dapat melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi dan tangkas menangkap
kesempatan. Mereka sangat unggul dalam mengenali masalah praktis dan melakukan pendekatan
pada masalah ini secara luwes, berani, dan banyak akal. Mereka tidak takut mengambil risiko
ataupun berimprovisasi bilamana perlu. Artis/Experiencers senang melakukan perubahan demi
kebutuhan atau krisis mendesak. Namun, seperti Pembimbing/Tradisionalis, Artis/Experiencers
juga lebih suka menghadapi fakta dan masalah nyata daripada teori atau gagasan.
Artis/Experiencers merupakan pengamat yang tajam bagi perilaku manusia dan merupakan
negosiator yang hebat. Mereka sangat efisien dalam menggunakan perhitungan ekonomi untuk
mencapai sasarannya. Banyak orang dengan tipe tempramen Artis/Experiencers, walaupun tidak
semua, sangat terampil menggunakan alat dan instrumen segala alat yang bisa dimanipulasi
secara fisik dan membutuhkan ketepatan. Dalam keadaan terbaiknya, mereka mempunyai banyak
akal, mengasyikkan, dan menyenangkan.
b. Kemungkinan Kelemahan
Artis/Experiencers sering sulit ditebak oleh orang lain, dan kadang-kadang tidak berpikir secara
cermat sebelum bertindak. Mereka tidak suka teori, hal-hal abstrak, maupun konsep, dan
mengalami kesulitan dalam melihat hubungan maupun pola dari sebuah peristiwa.
Artis/Experiencers cenderung kehilangan antusiasme begitu fase krisis dari situasi telah berlalu.
Oleh karena menyukai pilihan-pilihan yang terbuka, mereka tidak selalu mengikuti aturan yang
baku dan terkadang menghindari komitmen dan rencana. Keadaan terburuknya adalah mereka
mungkin kurang bertanggung jawab, mungkin kurang dapat diandalkan, kekanak-kanakan, dan
133
impulsif. Contoh tokoh dengan temperamen ini adalah Ernest Hemmingway, Barbara Streissant.
a. Kekuatan
Idealis mengetahui bagaimana mengeluarkan potensi terbaik orang dan memahami cara
memotivasi orang lain untuk bekerja sebaik-baiknya. Mereka ahli dalam menyelesaikan konflik
dengan orang lain, membangun tim yang dapat bekerja sama dengan efektif, dan pandai
membuat orang percaya diri. Idealis pandai dalam mengidentifikasi solusi kreatif bagi berbagai
masalah. Mereka berkomunikasi dengan baik secara lisan maupun tulis dan dapat
membangkitkan gairah orang terhadap gagasan maupun tindakannya. Orang dengan tipe
tempramen Idealis umumnya adalah orang yang kharismatik, mau menerima gagasan baru dan
dapat menerima orang lain apa adanya.
b. Kemungkinan Kelemahan
Idealis mempunyai kecenderungan mengambil keputusan berdasarkan perasaannya dan mudah
larut pada masalah orang lain sehingga membuatnya kewalahan. Mereka juga kadang-kadang
terlalu idealis sehingga terkesan kurang praktis. Walaupun mempunyai kemampuan untuk
134
mencela dirinya sendiri, Idealis kurang mampu mendisiplinkan ataupun mengkritik orang lain.
Kadang-kadang mereka akan mengorbankan pendapatnya demi hubungan harmoni. Kelemahan
terbesar mereka adalah mungkin angin-anginan, tidak dapat diterka, dan terlalu emosional.
Contoh tokoh dengan temperamen ini adalah Mahatma Gandhi, Putri Diana, dan Romo Magnis-
Suseno.
1.3.4 Rasional/Konseptualis
Intuitif cenderung mencari arti dari segala sesuatu dan fokus pada implikasinya, sedangkan
Thinkers mengambil keputusan secara impersonal dan logis. Jika keduanya disatukan, kedua
preferensi ini menghasilkan Intuitive Thinker, sebuah tipe yang intelektual dan kompeten, yang
disebut Rasional/Konseptualis.
Moto kaum Conceptualizer adalah unggullah dalam segala sesuatu. Mereka adalah
yang paling mandiri dari keempat temperamen Keirsey. Mereka didorong oleh keinginan
mendapatkan pengetahuan dan menetapkan standar yang tinggi sekali bagi dirinya maupun orang
lain. Secara alamiah, orang dengan tipe tempramen Rasional/Konseptualis penuh rasa ingin tahu.
Mereka biasanya dapat melihat berbagai segi mengenai suatu argumentasi atau isu.
Rasional/Konseptualis unggul dalam melihat berbagai kemungkinan, memahami kompleksitas,
serta merancang solusi pada masalah riil maupun hipotetis. Peranannya sering menjadi arsitek
perubahan.
Rasional/Konseptualis senang menggunakan kemampuannya untuk melihat kemungkinan-
kemungkinan dan menganalisisnya secara logis untuk mendapatkan pemecahannya. Mereka
berminat untuk terus-menerus mendapatkan pengetahuan, baik demi pengetahuan itu sendiri
maupun untuk alasan strategis.
a. Kekuatan
Rasional/Konseptualis mempunyai visi yang jelas dan dapat menjadi inovator yang hebat.
Mereka dapat melihat berbagai kemungkinan maupun gambaran besar dari situasi serta mudah
mengkonseptualisasi dan merancang perubahan-perubahan yang diperlukan di lingkungannya.
Mereka unggul dalam membuat strategi, rencana, dan membangun sistem untuk mencapai
sasaran, dan menikmati prosesnya. Tipe Rasional/Konseptualis sangat mudah dalam memahami
gagasan yang kompleks dan teoretis serta pandai dalam mendeduksi prinsip-prinsip atau
135
b. Kemungkinan Kelemahan
Kadang-kadang Rasional/Konseptualis terlalu rumit untuk dipahami oleh orang lain. Mereka
juga mempunyai kecenderungan mengabaikan detail-detail yang penting. Mereka dapat menjadi
sangat skeptis dan sering menantang aturan-aturan, asumsi, atau adat-istiadat yang berlaku.
Rasional/Konseptualis juga kadang-kadang mengalami masalah dengan otoritas dan dapat tampil
sebagai elitis. Mereka sering kali mengalami kesulitan untuk melihat dampak tindakannya pada
orang lain. Mereka kadang-kadang tidak menganggap penting hubungan yang harmonis maupun
pentingnya perasaan. Mereka juga sangat kompetitif dan kadang-
kadang tidak peduli dengan suatu tugas apabila mereka tidak merasa
dapat unggul di sana. Hal yang paling parah, mereka dapat menjadi
arogan, menarik diri, dan asyik dalam dunianya sendiri. Dalam
bekerja sama, Rasional/Konseptualis membutuhkan banyak
kebebasan, keanekaragaman, banyak rangsangan intelektual, dan
kesempatan untuk menghasilkan gagasan, dan harus melihat bahwa
pekerjaannya menantang. Contoh tokoh-tokoh seperti ini adalah Bung Hatta
1902 -1980
Einstein, Thatcher, dan Bung Hatta.
136
BAB 2
MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERKELOMPOK
Memahami segala segi dari manusia yang mencakup kemampuannya, faktor-faktor yang
memengaruhi dirinya, termasuk tipe kepribadiannya, akan dapat membantu individu dalam
memahami dan merencanakan pengembangan dirinya. Di samping itu, pengetahuan tersebut
dapat membantu individu dalam menjalin hubungan antarindividu yang harmonis dan efektif
karena pada dasarnya manusia, selain makhluk individu, juga makhluk sosial yang mempunyai
kecenderungan kuat untuk hidup bersama orang lain. Tanpa kehidupan sosial, tampaknya sulit
mengharapkan individu dapat berkembang sepenuhnya sehingga ada ungkapan manusia hanya
bisa menjadi manusia bila ia hidup bersama manusia lain.
Memang manusia dapat hidup sendiri saat keadaan memaksa, misalnya mereka
terdampar atau karena alasan lainnya, seperti yang terjadi pada Nakamura, seorang prajurit
Jepang asli Taiwan, pada Perang Dunia kedua. Pada tahun 1975, Nakamura ditemukan di Pulau
Morotai. Ia mengira perang dunia kedua masih berlangsung. Oleh karena itu, ia bersembunyi dan
hidup seorang diri. Ia membuat sebuah gubuk sederhana untuk tempat tinggal dan bercocok
tanam di ladang untuk kelangsungan hidupnya. Puluhan tahun ia tinggal sendiri sampai
ditemukan oleh penduduk Morotai. Begitu ditemukan dan tahu bahwa perang dunia sudah usai,
ia langsung minta dipulangkan ke negara kelahirannya, Taiwan, agar bisa berkumpul dengan
keluarga dan lingkungan sosialnya. Demikianlah manusia, bilamana mungkin, pasti mereka
berusaha hidup dalam sebuah lingkungan sosial.
Sebagai makhluk sosial, individu mempunyai kebutuhan yang kuat untuk hidup bersama
dalam kelompok agar dapat mengembangkan kemanusiaannya. Individu yang ada di dalam
kelompok melakukan interaksi di antara mereka. Melalui interaksinya itu, disepakati aturan-
aturan atau norma-norma yang mengatur kehidupan berkelompok.
137
serta jasmani dan ruhani. Selanjutnya, keluarga yang terbentuk ini berharap mempunyai
keturunan yang akan meneruskan cita-cita luhur tersebut.
Dari segi bentuknya, keluarga dapat berupa Keluarga Inti (Nucleus Family) dan Keluarga
Besar (Extended Family). Keluarga Inti adalah keluarga dengan anggota berupa ayah, ibu, dan
ank-anak, sedangkan Keluarga Besar mempunyai anggota yang lebih luas: kakek, nenek, paman,
bibi, keponakan, sepupu, ipar, mereka bisa berkumpul menjadi satu Keluarga Besar.
Terbentuknya keluarga ini lebih sering dilandasi upaya tolong-menolong atau kebutuhan
merawat orang tua.
Belakangan ini, terutama di negara Barat, muncul pula bentuk keluarga baru, yaitu
keluarga kohabitasi (cohabitation family), yaitu pasangan yang tinggal serumah dan membina
keluarga di luar pernikahan. Istilah populernya di Indonesia adalah kumpul kebo. Juga disebutkan
dalam literatur Barat jenis keluarga sesama jenis (homosexual family) yang akhir-akhir ini marak
dengan istilah LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Tentunya karena kedua jenis
keluarga ini tidak lazim dan melanggar norma agama dan susila serta tidak sesuai dengan nilai
Pancasila, masyarakat Indonesia secara tegas menganggap keberadaan dua jenis keluarga ini
sebagai penyakit masyarakat yang harus disembuhkan dan dihilangkan.
Dalam meneruskan nilai-nilai budaya dan adat-istiadat, keluarga berperan untuk
membentuk kepribadian bagi generasi muda. Generasi muda berhadapan dengan nilai budaya
dan kebiasaan Barat atau luar yang sangat liberal, individualistik, dan cenderung menggoyahkan
sendi-sendi keluarga. Gerakan feminism, LGBT, consumerism, materialism, liberalism, dan yang
lainnya telah dengan gegabah mereduksi peran keluarga sebagai wadah untuk mempertahankan
dan memperkuat nilai-nilai luhur. Akibatnya, generasi muda kehilangan kepribadian dan malah
mengadopsi budaya negatif Barat dalam arus globalisasi yang jelas menggerus nilai budaya luhur
Indonesia.
138
pelengkap (pasangan). Dalam proses pertemanan, seseorang biasanya lebih memilih berteman
dengan seseorang yang sebaya dengan dirinya karena biasanya teman yang sebaya lebih
membuat dirinya nyaman.
Dampak positif yang sangat penting dari pertemanan adalah terbentuknya kerja sama.
Ketika kelompok tersebut menjadi semakin akrab, dapat tercipta nilai kasih sayang sesama
anggota kelompok. Para anggota kelompok akan bekerja sama dengan sungguh-sungguh karena
mereka yakin memiliki kesamaan tujuan yang ingin dicapai bersama. Pekerjaan yang dilakukan
bersama-sama pada dasarnya akan lebih memberi hasil yang jauh lebih baik. Keterampilan kerja
sama ini diyakini menjadi semakin penting untuk dimiliki pada masa kini.
Pertemanan sebaya pada masa remaja mempunyai beberapa dampak positif, antara lain
sebagai berikut. Pertama, memberikan peranan sosial yang baru, misalnya peran sebagai
pemimpin atau pembimbing dan bahkan pengajar. Kedua, memberikan pengenalan tentang
organisasi sosial yang baru: anggotanya yang remaja belajar bagaimana menjadi teman,
mengorganisasikan kegiatan bersama, belajar menjadi pemimpin dan pengikut. Ketiga, dapat
mengembangkan potensi diri dari para anggotanya karena dengan teman sebaya, para anggota
cenderung lebih terbuka dalam mengekspresikan kemampuannya. Keempat, mendorong
perkembangan kebebasan karena kelompok sebaya memberikan ruang kebebasan berpendapat,
bertindak, dan menentukan identitas diri.
Di sisi lain, pertemanan sebaya juga mempunyai potensi berdampak negatif sebagai
berikut. Pertama, cenderung menutup diri bagi orang-orang yang bukan merupakan anggota
kelompoknya. Para anggotanya akan membatasi lingkungan bermainnya dalam suatu kelompok
tertentu, sehingga hubungan sosialnya dengan masyarakat umum yang lebih luas akan terhambat.
Kedua, anak remaja terkadang terlalu mengedepankan kepentingan kelompok teman sebayanya,
sehingga hubungan mereka dengan keluarga renggang. Ketiga, timbulnya pertentangan dan
masalah-masalah antara kelompok sebaya karena adanya berbagai perbedaan pendapat antara
satu kelompok dengan kelompok yang lainnya terkait dengan adanya anak yang terlalu
mengedepankan kepentingan kelompok teman sebayanya.
139
pada umumnya karena naluri manusia yang selalu ingin hidup berkelompok dan adanya
kesamaan dalam sejumlah hal, seperti kepentingan, tujuan, latar belakang wilayah, atau ideologi.
Dari segi keanggotaanya, kelompok sosial dapat bersifat sangat longgar, bersifat sukarela, seperti
kelompok peminatan atau paguyuban keagamaan. Akan tetapi, keanggotaan kelompok sosial
juga dapat bersifat ketat, serta melalui proses perekrutan dengan sejumlah persyaratan, seperti
himpunan pengacara atau asosiasi dokter atau akuntan.
Pada masyarakat yang kompleks biasanya setiap manusia tidak hanya mempunyai satu
kelompok sosial tempat ia menjadi anggotanya. Namun, ia juga menjadi anggota beberapa
kelompok sosial sekaligus. Keanggotaan pada masing-masing kelompok sosial tersebut dapat
memberikan kedudukan dan prestise tertentu. Namun, sifat keanggotaan suatu kelompok tidak
selalu bersifat sukarela, ada juga yang sifatnya paksaan. Misalnya, selain sebagai anggota
kelompok di tempatnya bekerja, seseorang juga dapat menjadi anggota perkumpulan pengajian
di sebuah masjid besar, anggota Ikatan Insinyur Indonesia, anggota Paguyuban Desa Winong
Kulon Kutoarjo, anggota KADIN, anggota Ikatan Dokter Indonesia, dan sebagainya.
Menurut Soerjono Soekanto, himpunan manusia dapat disebut sebagai kelompok sosial
bila memenuhi persyaratan sebagai berikut (Soekanto, 1982).
a. Setiap anggota kelompok harus sadar bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok yang
bersangkutan.
b. Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya.
c. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat,
misalnya: nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang
sama, dan lain-lain.
d. Berstruktur, berkaidah, dan mempunyai pola perilaku.
e. Bersistem dan berproses.
140
141
142
143
pada minat individu atau apa yang lebih familier bagi seseorang.
Dalam menilai orang lain, kita sering kali menggunakan jalan pintas. Walaupun
seringkali jalan pintas itu membantu mempercepat individu menyimpulkan apa yang dipersepsi,
cara itu dapat menyesatkan. Selain itu, jalan pintas dapat membantu dalam mengenali saat terjadi
dan menghindari distorsi dalam persepsi. Jalan pintas yang sering diambil ini dapat dipaparkan
sebagai berikut.
a) Persepsi yang selektif: individu menginterpretasi apa yang dilihatnya secara selektif
berdasarkan minat, latar belakang, pengalaman, dan sikapnya, namun membuang bagian
informasi yang dirasakan mengancam atau dianggap tidak relevan, seperti menggunakan
filter untuk menyaring hanya yang sesuai dengan harapannya.
b) Proyeksi: mengatribusikan sikap, karakteristik, atau keterbatasannya sendiri pada orang lain.
Orang yang curang atau berbohong dapat berasumsi semua orang juga curang dan
berbohong.
c) Streotip: menilai seseorang atau kelompok berdasarkan penilaian umum, misalnya: orang
Jawa halus, anak bungsu manja, orang tua kolot.
d) Halo Effect: perasaan positif mengenai sebuah karakteristik pada individu memengaruhi
penilaiannya mengenai karakteristik yang lain, misalnya, menilai seseorang yang
kelihatannya perlente sebagai intelek atau terpelajar.
144
145
konflik model ini dilakukan untuk meraih kemenangan melalui ancaman, agresi fisik dan verbal,
hukuman-hukuman, atau tindakan-tindakan lain yang merugikan orang lain. Strategi ini tidak
memedulikan dampak terganggunya hubungan dengan anggota kelompok lain.
Para pemimpin kelompok atau organisasi menghadapi tantangan serupa. Sementara mereka tidak
perlu membawa pasukan ke medan perang, pemimpin organisasi harus memahami lingkungan
tempat mereka beroperasi, menetapkan tujuan dan sasaran, dan memotivasi karyawan mereka
untuk mencapai keunggulan untuk pertempuran di pasar global. Selain itu, para pemimpin
146
harus memimpin "pasukan" dengan cara yang memungkinkan mereka tidak hanya melakukan
tugas-tugas yang diperlukan tetapi juga untuk berpartisipasi dalam sehari-hari keputusan yang
memengaruhi mereka. Anggota kelompok atau organisasi berharap dapat memainkan peran yang
lebih berarti dalam kegiatan kelompok atau organisasi daripada di masa lalu, menerjemahkan
perintah dan pendekatan kontrol untuk kepemimpinan tidak akan banyak manfaatnya. Demikian
halnya dalam kerja kelompok belajar di lingkungan mahasiswa, seorang pemimpin hendaknya
mampu menggerakkan anggota kelompok belajarnya mencapai sasaran pembelajaran yang telah
ditetapkan.
147
seorang ahli dan berhenti mencoba untuk belajar lebih banyak, ia akan kehilangan keahlian yang
terdapat dalam dirinya.
148
149
BAB 3
MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERKEBUDAYAAN
150
rumah dari kelompok masyarakat lainnya. Dengan akal pikiran yang dimilikinya, manusia tidak
sekedar berjalan, makan, berbicara, melakukan reproduksi, dan aktivitas sebagai mana makhluk
hidup lainnya. Manusia dapat mengekspresikan dan mengkreasikan cara berjalan, sehingga
menjadi cara berjalan yang khas, seperti cara berjalan prajurit, cara berjalan foto model, dan
sebagainya. Demikian juga cara makan yang dilakukan manusia, sangat dipengaruhi oleh
lingkungan sosial dan budaya tempat manusia itu berada, sehingga kita mengenal berbagai
ragam cara makan.
Selain itu, sebagai makhluk berbicara, manusia saling berkomunikasi menyampaikan
gagasan dan pendapatnya. Kemampuan bicara manusia ini bahkan tidak hanya terbatas pada
hubungan antarmanusia saja, tetapi juga antarmanusia dengan masyarakat yang lebih luas. Hal
ini dimungkinkan karena bahasa manusia merupakan seperangkat pola yang dapat dipelajari,
maka siapapun dapat mempelajari bahasa kelompok manusia di luar kelompoknya. Demikian
juga, pola interaksi manusia sangat dipengaruhi oleh tata aturan yang dikenal sebagai adat
istiadat, hukum aturan agama, negara, dan hubungan internasional.
Contoh-contoh di atas memperlihatkan bahwa karakter manusia sebagai makhluk hidup
memiliki keunggulan dari karakter makhluk hidup lainnya. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa terdapat suatu kompleksitas cara hidup kelompok manusia, yang meliputi
kebiasaan, keyakinan, dan tata aturan yang berpola, yang dikenal dengan istilah kebudayaan.
Secara singkat, kebudayaan adalah the total way of life of any society, keseluruhan cara hidup
suatu masyarakat (Ember & Ember, 2007: 215).
151
segenap perasaan manusia. Lebih lanjut Soekanto menjelaskan hakekat kebudayaan, yaitu: (1)
Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia, (2) Kebudayaan telah ada lebih
dahulu mendahului lahirnya manusia; meskipun tidak selalu demikian, karena dapat saja
kebudayaan lahir dari manusia masa kini yang dapat disaksikan atau dialami oleh manusia yang
telah lahir sebelum kebudayaan itu ada, (3) Kebudayaan diperlukan oleh manusia, (4)
Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban, tindakan yang diterima atau
ditolak, tindakan yang dilarang atau yang diizinkan, (5) Kebudayaan tidak bersifat statis,
melainkan dinamis, sebagai mana manusia dan masyarakat yang melahirkan kebudayaan itu juga
bersifat dinamis.
Widagdho (2001), menjelaskan bahwa manusia, di dalam kelompok sosialnya,
mengembangkan kebudayaan, dalam rangka:
(a) menguasai dan memanfaatkan unsur-unsur yang terdapat di alam semesta untuk
keperluan hidupnya. Salah satunya dengan mengatur perkembangan spesies lainnya atau
bahkan dapat menyebabkan dan dapat berupaya menghindarkannya dari kepunahan,
meskipun hal itu tidak dapat dilakukan untuk diri manusia itu sendiri. Contohnya manusia
dapat melakukan budidaya hewan langka, seperti penyu, udang, dan lain sebagainya;
(b) mengembangkan kreativitas, dengan menciptakan benda-benda yang diperlukan
dalam bentuk dan model menurut keinginannya;
(c) mengembangkan rasa indah atau keindahan (estetika) dengan menciptakan benda-benda seni
yang dapat memenuhi kenikmatan hidup rohaninya;
(d) mengembangkan komunikasi dengan sesama, melalui bahasa, yang memungkinkan mereka
dapat saling bertukar informasi;
(e) mengatur kehidupan bersama melalui tata aturan sopan santun atau tata susila,
yang memungkinkan terciptanya suasana kehidupan bersama yang tertib dan saling
menghargai;
(f) mengembangkan ilmu pengetahuan yang memungkinkan kehidupan mereka semakin
berkembang dan berkualitas;
(g) Manusia memiliki pegangan hidup antarsesama demi kesejahteraan hidupnya; dan
juga aturan pergaulan dengan Sang Pencipta, sehingga mendapatkan ketenangan batin.
Kebudayaan mengenal ruang dan waktu untuk tumbuh dan berkembang. Kebudayaan
Indonesia, misalnya, adalah kebudayaan yang berada di dalam ruang geografis wilayah Negara
152
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini membedakan kebudayaan Indonesia dengan
kebudayaan Malaysia, Singapura, Amerika, dan lain sebagainya. Perbedaan tempat ini kemudian
melahirkan sebutan kebudayaan asli dan kebudayaan asing. Kebudayaan asli adalah kebudayaan
yang dimiliki oleh bangsa tersebut, sedangkan sebutan kebudayaan asing menunjukkan cara
pandang masyarakat kebudayaan tertentu terhadap kebudayaan yang berkembang di luar
masyarakatnya.
Kebudayaan menurut waktunya, dapat dipandang sebagai kebudayaan masa lalu dan
masa sekarang. Adanya perbedaaan tumbuh kembang (dinamika) kebudayaan dan terjadinya
inovasi yang berbeda-beda, menyebabkan dikenal istilah kebudayaan masa lalu (yang dianggap
sebagai kebudayaan yang tidak sesuai dengan masa kini) dan kebudayaan masa kini (yang
dianggap sebagai kebudayaan yang sesuai dengan zaman). Selain itu, dikenal juga istilah
kebudayaan klasik, yang mengacu kepada kebudayaan masa lalu dan kebudayaan modern yang
mengacu kepada kebudayaan terkini.
153
kemudian disebut dengan colere atau culture. Dengan demikian, culture terkait erat dengan
perubahan pola kehidupan masyarakat, yang bermula dari pertanian.
Pengertian kebudayaan yang umumnya dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah
pengertian kebudayaan yang dikemukakan oleh Selo Soemardjan dan Sulaeman Sumardi, yaitu
semua hasil karya, rasa, cipta, dan karsa masyarakat (Soekanto, 1990:189). Pengertian ini
dikaitkan dengan asal kata kebudayaan yang berasal dari bahasa Sansekerta buddayah, yang
merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti budi atau akal. Dari pengertian
etimologis itulah kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal dan budi.
Akal berkaitan dengan kecerdasan otak manusia, sedangkan budi berkaitan dengan perasaan,
yang ditampilkan melalui etika dan estetika. Adanya budi dan daya inilah yang membedakan
manusia dengan spesies lainnya di bumi ini.
Namun, amat disayangkan, pengertian kebudayaan sebagai hasil karya, rasa, cipta, dan
karsa, sering kali ditekankan kepada kata hasil, yang memandang kebudayaan sebagai suatu
hasil, sehingga kebudayaan sering hanya dilihat sebagai produk yang dipertunjukkan. Tidak
mengherankan jika berbicara tentang kebudayaan, maka hal-hal yang dibahas adalah tentang
pertunjukkan karya kesenian, karya sastra, arsitektur, dan lain sebagainya, sebagai suatu karya
kebudayaan. Kebudayaan dengan pengertian hasil sering kali dipahami secara sempit sebagai
hasil kesenian.
Konsep kebudayaan yang cukup lengkap adalah yang dikemukakan oleh Lawless (di
dalam Saifuddin, 2006: 87), yaitu pola-pola perilaku dan keyakinan (dimediasi oleh simbol) yang
dipelajari, rasional, terintegrasi, dimiliki bersama, dan yang secara dinamik adaptif dan yang
tergantung pada interaksi sosial manusia demi eksistensi mereka. Malinowski (1961, 1944)
menjelaskan bahwa kebudayaan berkaitan dengan
kebutuhan manusia dan pemenuhannya melalui fungsi dan
pola-pola. Adapun Kluckhohn (1994) melihat kebudayaan
sebagai blue-print bagi kehidupan manusia.
Definisi kebudayaan, menurut Bapak Antropologi
Indonesia, Koentjaraningrat (2009:144), adalah keseluruhan
ide atau gagasan, tingkah laku, dan hasil karya manusia
dalam rangka hidup bermasyarakat yang diperolehnya
Gambar 3.1 Prof. Dr. Koentjaraningrat, Bapak dengan cara belajar. Dari pengertian ini dapat dipahami
Antropologi Indonesia (1923 1999)
154
bahwa suatu kebudayaan terdiri dari tiga wujud: (1) pertama berupa ide atau gagasan; (2) kedua
berupa gerak atau aktivitas yang berpola, dan (3) ketiga, berupa benda-benda kongkret.
155
agar dapat ditanami maka ia melakukan pekerjaan menempa besi menjadi lempengan dan
menebang hutan untuk mengambil kayu yang dijadikan alat untuk menggerakkan lempengan
besi itu, sehingga terbentuklah cangkul, alat untuk menggemburkan tanah. Selanjutnya, sifat
manusia yang tidak pernah puas dengan hasil karya yang telah dicapainya, menyebabkan
manusia terus memikirkan suatu alat yang dapat mempermudah pekerjaannya di sawah.
Kemudian, agar memperoleh hasil sawah yang lebih banyak, maka terbentuklah alat membajak
sawah dan selanjutnya berkembang menjadi traktor yang digerakkan oleh mesin. Demikian
seterusnya tiga wujud kebudayaan itu berkembang sejalan dengan perkembangan pengetahuan
yang dimiliki manusia.
Lahirnya teknologi handphone, kemudian menjadi smartphone, merupakan bentuk
perkembangan teknologi yang berangkat dari ide manusia untuk mengatasi keterbatasan tempat
dan waktu. Kini, dengan penemuan teknologi informasi yang semakin canggih, manusia dapat
berhubungan dengan manusia lain yang terbentang jarak dan waktu yang berbeda. Demikian
pula penemuan teknologi transportasi semakin mempermudah perpindahan manusia dari satu
tempat ke tempat lainnya, sehingga dunia seolah semakin menyempit dan tidak lagi terbatas
(borderless).
156
(extended family), hingga kemudian membentuk kekerabatan yang lebih luas lagi.
Kekerabatan terikat oleh adat istiadat dan norma yang secara turun-temurun telah diterima.
Pada masyarakat tradisional, yang menerapan dan menanamkan nilai-nilai dan adat istiadat
masih sangat kental, sistem kekerabatan ini sebagai satu kesatuan masih dapat dipertahankan.
Namun, tidak demikian pada masyarakat modern, yang sudah tidak memperdulikan nilai dan
adat istiadat, kesatuan sosial tidak lagi dibangun dengan sistem kekerabatan, melainkan
dengan sistem sosial dalam bentuk lainnya. Pada masyarakat modern, kesatuan sosial diatur
oleh aturan, norma, dan hukum yang lebih jelas dan tegas memperhatikan hak dan kewajiban
setiap anggota kesatuan sosial itu.
Pada masyarakat modern terdapat organisasi berdasarkan orientasi organisasi tersebut, yaitu
(1) organisasi yang berorientasi pada pelayanan (service organizations), (2) organisasi yang
berorientasi pada aspek ekonomi (economic organizations), yaitu organisasi yang
menyediakan barang dan jasa sebagai imbalan dalam pembayaran dalam bentuk tertentu, (3)
oganisasi yang berorientasi pada aspek religius (religious organizations), (4) organisasi-
organisasi perlindungan (protective organizations), (5) organisasi-organisasi pemerintah
(government organizations); (6) organisasi-organisasi sosial (social organizations); (7)
Organisasi-organisasi politik, (8) dan organisasi berdasarkan minat.
2) Sistem mata pencaharian, merupakan salah satu unsur kebudayaan yang universal, artinya
setiap kelompok masyarakat manapun pastilah memiliki sistem mata pencaharian. Pada
hakekatnya kebudayaan dihasilkan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan manusia.
Manusia sebagai mana makhluk hidup lainnya membutuhkan makanan, pakaian, dan tempat
tinggal. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan primer inilah manusia mengolah sumber daya
alam di sekitarnya. Oleh karena keadaan alam sekitar manusia bermacam-macam, ada yang
kondisi tanahnya subur dan mudah dijadikan tempat untuk bercocok tanam, ada kondisi alam
yang di kelilingi dengan laut dan samudera, dan sebagainya sehingga manusia-manusia di
berbagai tempat itu mengembangkan mata pencaharian yang berbeda-beda. Kita mengenal
ada masyarakat agraris, masyarakat nelayan, masyarakat industri, yang memperlihatkan
kebudayaan yang berbeda-beda, sesuai dengan aktivitas mata pencaharian kelompok
masyarakat tersebut.
3) Sistem teknologi; dalam rangka memenuhi kebutuhan dan mempermudah kehidupan,
masyarakat mengembangkan alat-alat teknologi. Masyarakat berburu, misalnya,
157
mengembangkan alat atau senjata untuk membunuh binatang buruannya. Demikian juga
masyarakat bertani, mengembangkan peralatan pertanian, dan lain sebagainya.
Perkembangan zaman memperlihatkan kemajuan yang pesat dari teknologi yang dihasilkan
oleh manusia. Namun, perkembangan di bidang teknologi ini tidak merata dimiliki oleh
setiap masyarakat di dunia. Ada masyarakat yang terus menerus melakukan pengembangan
teknologi mutakhir dan menemukan teknologi-teknologi baru, ada masyarakat yang pasif dan
hanya menjadi pengguna dari pengembangan dan penemuan teknologi masyarakat lain, dan
ada juga masyarakat yang sampai dengan saat ini masih tertinggal dari teknologi masyarakat
yang lain yang sudah maju. Namun, bukan berarti masyarakat ketiga ini tidak memiliki
teknologi, hanya saja teknologi yang digunakan masih sangat sederhana jika dibandingkan
dengan teknologi yang dianggap modern.
4) Sistem pengetahuan; penemuan teknologi tidak terlepas dari sistem pengetahuan yang
dimiliki dan dikembangkan oleh masyarakat. Penelitian masyarakat dan kebudayaan
dimulai oleh para sarjana Eropa pada awal abad ke-20. Dari penelitian tersebut, berkembang
pemikiran bahwa masyarakat di luar Eropa, merupakan masyarakat yang dianggap
tertinggal atau primitif tidak memiliki sistem pengetahuan. Jika pun dianggap ada sistem
pengetahuan yang dimiliki masyarakat di luar Eropa merupakan hal yang tidak penting dan
sama sekali berbeda dengan sistem pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Eropa,
bahkan dianggap sebagai bukan sistem pengetahuan. Hal ini disebabkan, alam pikiran
bangsa-bangsa di luar Eropa dianggap primiti. Hal ini karena, masyarakat di luar Eropa
masih ada kepercayaan terhadap mitos, ilmu ghaib, sihir, dan sebagainya yang dianggap hal
yang tidak rasional. Dengan demikian, mereka menganggap hanya masyarakat Eropalah
yang memiliki sistem pengetahuan.
Namun, pemikiran ini secara perlahan-lahan diluruskan oleh para peneliti masyarakat dan
kebudayaan generasi berikutnya. Kini, pandangan yang umun dikenal adalah bahwa suatu
masyarakat, betapa pun kecilnya, pastilah memiliki sistem pengetahuan, minimal
pengetahuan tentang alam sekitarnya. Masyarakat berburu dan meramu, sebagai masyarakat
dengan kebudayaan tertua, misalnya, memahami seluk beluk hutan yang menjadi tempat
tinggal sekaligus arena berburu binatang hutan. Mereka juga sudah mengetahui bahwa
musim senatiasa berganti sehingga perlu pengetahuan untuk merancang baju yang sesuai
dengan kondisi cuaca.
158
Manusia juga memiliki pengetahuan untuk membuat alat yang mempermudah kegaiatan
ekonomi mereka, dan sebagainya. Perkembangan pengetahuan di setiap masyarakat
memperlihatkan perbedaan sehingga menciptakan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan yang
berbeda pula, dan selanjutnya memperlihatkan kemajuan teknologi dan pencapaian tingkat
peradaban yang berbeda-beda.
5) Kesenian; kesenian sebagai unsur kebudayaan yang mengandung nilai keindahan, juga
merupakan salah satu dari tujuh unsur universal kebudayaan. Bahkan sering kali, masyarakat
umum menganggap kesenian sebagai unsur utama kebudayaan. Kebudayaan sering mengacu
kepada pertunjukan kesenian atau hasil-hasil kesenian. Namun, sesungguhnya kebudayaan
merupakan lingkup yang lebih luas dari kesenian, atau sebenarnya kesenian merupakan salah
satu unsur kebudayaan. Kesenian dapat dijumpai di masyarakat manapun, atau dengan kata
lain, setiap masyarakat pastilah memiliki dan mengembangkan kesenian, karena pada
hakekatnya, manusia menyukai keindahan. Selain keindahan, manusia juga memiliki
perasaan marah, senang, bahagia, jatuh cinta, dan sebagainya yang dapat diekspresikan
melalui seni, misalnya seni suara (menyanyi), seni drama, seni tari, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, seni atau kesenian merupakan ungkapan yang menitikberatkan pada olah
rasa manusia.
6) Bahasa, merupakan ciri utama kemanusiaan. Interaksi antarmanusia atau antarmasyarakat
dapat berlangsung karena adanya media komunikasi, yaitu bahasa. Dengan bahasalah
manusia dapat berkomunikasi dengan manusia lain. Bahasa yang digunakan oleh sekelompok
masyarakat ini menjadi (meskipun tidak selalu) identitas masyarakat itu. Sebagai contoh
misalnya bahasa Sunda adalah bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat Sunda, bahasa
Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat, dan sebagainya. Dengan adanya
bahasa inilah kehidupan manusia masa lampau dapat diteliti dan diceritakan sebagai sejarah
kepada masyarakat generasi berikut. Masyarakat yang telah mengenal tulisan dapat
meninggalkan catatan sejarah, sebaliknya masyarakat yang hanya mengenal bahasa lisan
tidak dapat ditelusuri sejarah masa lampaunya.
7) Religi, yaitu kepercayaan terhadap adanya suatu kekuatan gaib di luar manusia dapat
dijumpai pada setiap masyarakat. Religi merupakan suatu konsep yang berbeda dengan
agama yang dikenal oleh masyarakat Indonesia. Dalam konsep masyarakat Indonesia, yang
termasuk agama, yakni Islam, Kristen, Katholik, Budha, dan Hindu, dibedakan dengan
159
sistem religi lainnya, yaitu kepercayaan Sunda wiwitan, Kejawen, Karahyangan, Marapu,
dan ratusan sistem kepercayaan yang masih dianut oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia
di wilayah-wilayah pedalaman di Indonesia.
Semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran
jiwa, yang disebut emosi keagamaan (religious emotion). Emosi keagamaan inilah yang
mendorong manusia melakukan tindakan-tindakan bersifat religi. Emosi keagamaan ini juga
yang menyebabkan suatu benda, suatu tindakan, atau gagasan, dianggap memiliki nilai keramat
(sacred value). Pada masyarakat lampau, setiap kegiatan yang dianggap oleh masyarakat modern
sebagai kesenian selalu terkait dengan aktivitas religi. Kegiatan berkesenian dan ritual agama
tidaklah terpisah.
160
Contoh culture lag adalah pemakaian jam tangan dengan sistem penunjukan waktu
dengan angka oleh masyarakat Indonesia. Produk jam tangan merupakan suatu bentuk fisik
(wujud ketiga) dari suatu ide dalam menentukan waktu dengan angka. Produk jam ini merupakan
produk asing bagi masyarakat Indonesia. Dalam pembentukan budaya menentukan waktu
melalui jam ini merupakan suatu alat untuk mempermudah manusia agar dapat mengetahui
waktu (jam) sekarang, masa yang telah berlalu dan masa mendatang. Dengan menyepakati jam
tertentu, misalnya pukul 14.00 dua orang atau lebih individu dapat saling berjanji untuk bertemu.
Dengan patokan waktu yang telah disepakati tadi dan dengan adanya penghitungan waktu dari
pukul 10.00 sampai dengan pukul 24.00, maka penentuan waktu pukul 14.00 memberi
pemahaman bahwa pertemuan itu akan diadakan pada pukul 02.00 siang hari, bukan pukul 02.00
dinihari.
Pemakaian jam dengan metode penunjukan waktu dengan angka yang disepakati ini
mempermudah manusia membuat rencana aktivitas hariannya. Akan tetapi, jika penggunaan
jam ini (penggunaan bentuk fisik dari kebudayaan) tidak dibarengi dengan penyesuaian sistem
budaya dan sistem sosialnya, maka akan terjadi salah persepsi, seperti misalnya jika yang diajak
bertemu dengan kesepakatan waktu menurut jam tadi ternyata adalah anggota masyarakat yang
masih mempertahankan cara menentukan waktu dengan konsepsi pagi, siang, dan malam, maka
mungkin saja ia akan datang pada pukul 13.00 atau 15.00; perhatiannya bukan pada angka yang
disepakati, melainkan pada ukuran waktu pagi, siang, dan malam. Ia dapat saja menemui teman
janjiannya dengan konsep waktu siang, tanpa memperhatikan angka yang memastikan waktu
yang tepat untuk pertemuan itu. Ia tidak merasa bersalah jika ia hadir pada pukul 15.00, karena
dalam konsep orang itu pertemuan itu diadakan pada siang hari, tanpa mengacu pada jam (waktu
yang telah disepakati), sehingga ia tidak merasa bersalah jika ia datang pada pukul 15.00 karena
waktu tersebut masih tercakup dalam konsepsi waktu siang. Demikianlah, maka penggunaan
jam atau penunjuk waktu sebagai suatu bentuk kebudayaan fisik, harus diikuti dengan bagaimana
konsep budaya yang melatarbelakangi penciptaan jam, terrmasuk perilaku tepat waktu yang
diharapkan dapat ditunjang oleh kesepakatan waktu menurut sistem jam tersebut.
Contoh lain cultural lag adalah pemakain telepon selular (handphone) atau internet
dengan fasilitas komunikasi canggih seperti facebook, twitter, dan aplikasi media sosial lainnya,
yang berangkat dari suatu konsep mempermudah dan memperlancar aktivitas interaksi
antarmanusia. Terciptanya produk budaya tersebut pada dasarnya berangkat dari pemikiran
161
akan pentingnya waktu, seperti yang sering diungkapkan time is money, pada masyarakat
pencipta kebudayaan itu. Namun, dalam kenyataannya sebagian masyarakat Indonesia malah
menggunakan kemajuan teknologi informatika ini untuk kesenangan semata dan malah
membuang waktu yang sangat berharga itu. Bahkan karena begitu dikhawatirkannya penggunaan
internet untuk kesenangan pribadi dan dianggap mengurangi kinerja, beberapa institusi di
berbagai bidang, seperti pendidikan, perusahaan, dan lain sebagainya membuat kebijakan
pelarangan penggunaan internet pada jam-jam tertentu. Demikian juga, penggunaan smartphone
dengan kemampuan melakukan komunikasi dengan orang-orang yang dipisahkan oleh jarak
tempat dan waktu, telah menghubungkan orang-orang yang berjauhan, namun ironisnya malahan
menjauhkan mereka yang berada saling berdekatan. Kesibukan melakukan komunikasi dengan
orang-orang yang tidak berdekatan dengan, malahan sering kali menyebabkan tidak
menghiraukan keberadaan orang lain yang justru hubungannya sangat dekat. Hubungan anak
dengan orang tua, istri dengan suami, malahan menjadi retak, karena setiap individu di dalam
keluarga lebih sibuk dengan smartphone masing-masing.
Hal lain yang mengkahwatirkan dari kemajuan teknologi informasi adalah kehadiran
mesin pencari informasi melalui internet, yang sebenarnya diciptakan untuk mendekatkan
pengetahuan ke masyarakat, malahan telah menciptakan kemalasan membaca di kalangan
pelajar dan mahasiswa. Teknologi informasi telah menyediakan informasi instan, sehingga
kebiasaan ilmiah yang memerlukan waktu dan kesungguhan dalam pencarian fakta dan data
sering kali dikalahkan oleh keberadaan informasi instan. Lebih mengkhawatirkan lagi adalah
pengetahuan yang benar bercampur dengan pengetahuan yang tidak berdasarkan kebenaran
(hoax), sehingga berbagai informasi yang diterima oleh masyarakat malahan berpotensi
menyebarkan kebencian dan menimbulkan konflik.
Demikianlah cultural lag (keterlambatan budaya), terjadi karena masyarakat pengguna
kebudayaan itu bukanlah pencipta kebudayaan, melainkan penerima kebudayaan yang telah
dibuat oleh masyarakat bangsa lain. Proses penerimaan kebudayaan sebatas pada penerimaan
wujud ketiga dari kebudayaan tertentu, tanpa diimbangi dengan pemahaman yang baik tentang
sistem budaya dan sistem sosial yang melatarbelakangi penciptaan kebudayaan itu. Poerwanto
(2008:180) menganjurkan agar fenomena culture lag ini tidak terjadi, maka pada hakekatnya
seseorang selalu dituntut untuk belajar tentang kebudayaan, baik melalui proses internalisasi,
sosialisasi, dan enkulturasi, sebagaimana akan dijelaskan pada bagian berikut ini.
162
163
dan ia pun berhenti menangis. Lain waktu si bayi menangis lagi karena merasa kedinginan atau
tidak nyaman. Tentu saja jika menangis yang ini direspon dengan memberikan susu, tangis si
bayi tidak akan berhenti; baru setelah ia diselimuti atau didekap ia merasa nyaman dan tangisnya
berhenti. Demikian seterusnya bayi belajar menyampaikan perasaaan dan menerima respon yang
diberikan, sebagai bentuk belajar yang pertama.
Menangis merupakan salah satu bentuk ekspresi
yang awal sekali ditampilkan oleh seorang individu.
Namun, seiring dengan pertambahan usia, si bayi juga
menampilkan berbagai ekspresi lainnya seperti
tersenyum, tertawa, atau ekspresi gerak tubuh lainnya.
Respon atau tanggapan luar yang ia terima juga
merupakan suatu bentuk pelajaran yang ia tangkap dan
Gambar 3.2 Menangis sebagai komunikasi pertama
(Sumber: http://bunda co) temui dari lingkungan terdekatnya. Seorang ibu yang
tidak memahami atau tidak mau belajar memahami apa yang ingin disampaikan bayinya dengan
menangis, akan mengalami kerepotan jika ia hanya menganggap tangis bayi berhenti dengan
memberikan susu atau makanan, karena tidak semua ekspresi menangis menandakan lapar.
Dengan demikian, seorang individu belajar kebudayaan sejak ia dalam buaian hingga menjelang
ajalnya. Ia belajar mengenai berbagai macam perasaan dan hasrat: lapar, haus, gelisah, sedih,
bahagia, cinta, benci, nyaman, dan lain sebagainya, sehingga semua hal yang ia alami sebagai
suatu reaksi dan tanggapan yang diterimanya menjadi bagian dari kepribadian individu.
164
seorang anak berada di dalam keluarga yang tidak lengkap, karena tidak ada ayah atau ibu, dan
mungkin saja ia berada di dalam keluarga yang sangat besar, karena adanya nenek, kakek, dan
keluarga lainnya. Kesemuanya itu dapat mempengaruhi sosialisasi yang dialaminya, dan juga
mempengaruhi kepribadiaannya. Dari orang-orang di sekitar keluarga inilah seorang individu
belajar mengenai perilaku-perilaku yang dicontohkan oleh individu lain di dalam keluarga.
Misalnya tentang cara dan waktu makan, tidur, dan berbagai aktivitas lainnya.
Ada keluarga yang mendisiplinkan anaknya bangun tidur pada waktu dini hari, namun
ada juga keluarga yang tidak mengatur hal mengenai bangun tidur, dengan memberi kebebasan
anggota kelurga menetukan kapan mereka ingin bangun atau tidur. Contoh lainnya adalah
adanya keluarga yang menerapkan waktu dan cara makan yang teratur dan ada juga keluarga
yang tidak menerapkan aturan kapan dan bagaimana makan yang baik. Berbagai kebiasaan dan
perilaku yang dianggap baik oleh keluarga disosialisasikan kepada anggota keluarga lainnya
untuk diterapkan sehingga menjadi kebiasaan yang tidak disadari lagi sebagai suatu perilaku
budaya.
Keluarga adalah lingkungan pertama terjadinya
sosialisasi, sehingga kepribadian seorang individu sangat
dipengaruhi oleh kondisi keluarganya.
Setelah keluarga, lingkungan yang turut
mempengaruhi kepribadian seorang individu adalah
lingkungan masyarakat di sekitar keluarga dan meluas
Gambar 3.3 Pertemanan sebagai bentuk seiring dengan interaksi yang dialami oleh individu.
sosialisasi anak(Sumber:
http://www.motherandbaby.co.id) Demikianlah proses sosialisasi, yang berawal di dalam
keluarga, berlanjut di lingkungan sekitar, dan terus di masyarakat yang lebih luas, sehingga ia
menjadi bagian dari masyarakat suatu negara di mana ia tinggal.
165
keluarga. Keluargalah yang mengajari seorang anak tentang nilai atau moral yang baik dan yang
buruk. Seorang individu yang tumbuh seiring pertambahan usianya menjumpai nilai-nilai yang
berlaku di dalam masyarakat, melalui proses enkulturasi secara non formal. Selanjutnya, setelah
ia mulai bersekolah, ia mulai mengalami enkulturasi secara formal. Mungkin saja enkulturasi
dilakukan oleh institusi atau lembaga yang pendidikan lainnya selain sekolah formal.
Enkulturasi juga semakin gencar dilakukan oleh pemerintah daerah maupun lembaga
masyarakat non formal, seperti masyarakat budaya Jawa, Sunda, Batak, dan lain-lain, untuk
mengajarkan kembali bahasa dan kebudayaan daerah dengan memasukkan pengajaran bahasa
daerah di dalam kurukulum pendidikan nasional. Enkulturasi bahkan dilakukan oleh negara-
negara yang ingin menyebarkan pengaruhnya kepada seluruh masyarakat dunia. Amerika dan
negara-negara Barat (sekarang sudah mulai diikuti
oleh negara maju di Asia Timur, seperti Jepang dan
Korea) merupakan negara yang gencar melakukan
enkulturasi di berbagai bidang kehidupan: sosial,
kebudayaan, politik, dan ekonomi. Konsep-konsep
demokrasi, kesetaraan gender, keadilan, hak asasi
manusia, perdagangan bebas, penggunaan
Gambar 3.4 Kelas sebagai media enkulturasi
teknologi komputer, dan lain sebagainya
merupakan bentuk-bentuk enkulturasi.
Dalam konteks Indonesia, proses penanaman nilai Pancasila di sekolah-sekolah
merupakan salah satu bentuk enkulturasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, dalam
rangka membentuk manusia Indonesia yang memiliki jati diri sebagai anak bangsa Indonesia
yang ber-Pancasila.
Demikian juga pembentukan mahasiswa yang berkarakter kritis, kreatif, inovatif
berdasarkan Pancasila yang ditanamkan melalui Matakuliah Pengembangan Kepribadian
Terintengrasi (MPKT) di Universitas Indonesia, ini pun salah satu bentuk enkulturasi, yang
dilakukan oleh Universitas Indonesia. Proses enkulturasi dapat terjadi karena motivasi dan
dorongan internal dari individu yang ingin mempelajari kebudayaan di masyarakatnya atau
dapat terjadi karena dorongan eksternal, sebagai suatu proses pembelajaran yang
diselenggarakan oleh lembaga atau institusi, termasuk negara. Dengan demikian, sistem
pendidikan menjadi tonggak pendorong lahirnya manusia-manusia berkebudayaan, yang
166
memahami kebudayaan tidak dari satu aspek (wujudnya) saja, melainkan dari ketiga wujud
kebudayaan (sistem budaya, sistem sosial, dan kebudayaan fisik), sehingga perubahan
kebudayaan dapat meningkatkan derajat kemanusiaan itu sendiri.
167
Pada awal perkembangan manusia, di masa purba, manusia hidup berburu dan
mengumpulkan hasil hutan, sehingga mereka selalu bergerak dan berpindah-pindah. Meskipun
awalnya mereka bergerak dalam batas wilayah tertentu, namun lambat laun ketika, hewan buruan
dan hasil hutan yang dicarinya semakin berkurang, pergerakan masyarakat manusia melampaui
batas-batas wilayah hutan mereka. Dengan demikian, migrasi pada awalnya bergerak sangat
lambat, bahkan mungkin tidak disadari oleh masyarakat itu sendiri.
Setelah masyarakat menemukan suatu sistem pertanian yang mengharuskan mereka
menetap pun, kegiatan migrasi tidak berhenti, malahan semakin bertambah pesat. Ada berbagai
faktor penyebab terjadinya migrasi manusia, yaitu faktor bencana alam, wabah penyakit,
kepadatan penduduk, ketidaknyamanan karena penguasa yang kejam, juga ada faktor perbedaan
taraf kehidupan di suatu daerah/negara dengan daerah/negara lain, dan faktor lainya. Bencana
alam, seperti bencana banjir besar atau gunung meletus yang mengharuskan masyarakat
penghuni wilayah itu mengungsi dan meninggalkan wilayah tanah air mereka, merupakan suatu
bentuk migrasi besar-besaran.
Perpindahan penduduk Mesopotamia (sekarang berada di wilayah Irak), ke berbagai
penjuru wilayah Timur Tengah, pada masa lampau merupakan salah satu contoh migrasi karena
adanya faktor demografi, yaitu tingginya tingkat kepadatan penduduk sebagai dampak
kemakmuran dan kesejahteraan yang dicapai dari kehidupan pertanian yang maju. Kepadatan
penduduk menyebabkan kehidupan menjadi tidak nyaman karena adanya perebutan akses-akses
kehidupan yang sering kali juga menimbulkan konflik bahkan perang. Kondisi ini mendorong
sekelompok orang meninggalkan tanah airnya menuju wilayah lain yang belum padat dan
tersedia sumber daya alam yang menyediakan kebutuhan hidup kelompok mereka.
Masyarakat migran inilah yang merupakan agen-agen penyebar kebudayaan, sehingga
tidak mengherankan bahwa sistem pertanian dengan irigasi teratur, misalnya, dapat ditemukan
hampir di seluruh masyarakat dunia. Demikian juga fenomena tersebarnya agama-agama besar
dunia dapat dipahami melalui proses difusi ini. Meskipun, dalam hal penyebaran agama ini,
mungkin penyebarannya terjadi bukan dengan proses migrasi kelompok manusia seperti
dijelaskan di atas, melainkan perpindahan individu baik untuk tujuan penyebaran agama itu,
maupun karena memang yang membawa adalah para penyebar agama itu sendiri atau para
pedagang yang melakukan aktvitas melewati batas-batas wilayah kebudayaannya.
168
Adanya migrasi inilah yang dianggap sebagai salah satu faktor tersebarnya kebudayaan
sehingga kita menemukan adanya kesamaan-kesamaan kebudayaan yang dimiliki oleh berbagai
masyarakat yang terpisahkan oleh gunung dan samudera. Namun demikian, proses migrasi ini
sebenarnya tidak bergerak secara linier melainkan bergerak dengan bentuk spiral. Artinya,
pergerakan manusia tidak dapat dimaknai sebagai suatu pergerakan dari wilayah asal ke wilayah
tujuan seperti sebuah garis lurus, melainkan pergerakan itu sebaiknya dipahami sebagai
pergerakan yang mundur-maju dan tidak beraturan, sehingga membentuk gerakan spiral.
169
Amerika, Jepang, atau Jerman, dan negara maju lainnya, dalam jangka waktu yang lama
akhirnya melupakan kebudayaan asli Indonesia karena menerima kebudayaan negara setempat
yang dipandang lebih sesuai.
Selain itu asimilasi juga sering kali dijadikan kebijakan suatu negara yang masyarakatnya
heterogen, untuk menciptakan integrasi nasional. Contohnya adalah asimilasi bentuk kerajaan di
Indonesia ke dalam bentuk pemerintahan republik akhirnya diterima oleh seluruh lapisan
masyarakat, dan perlahan-lahan telah menghapuskan sistem pemerintahan yang semula ada di
wilayah nusantara. Selain itu, kebijakan penggunaan nama dalam bahasa Indonesia untuk
menggantikan nama dalam bahasa Tionghoa, dalam rangka mengajak warga keturunan Tionghoa
di Indonesia berasimilasi dengan masyarakat Indonesia lainnya. Demikian juga kebijakan
penggunaan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa nasional, bahasa pengantar dalam
bidang akademik dan birokrasi, serta bahasa pergaulan bagi seluruh bangsa Indonesia (yang
terdiri atas berbagai etnis) merupakan contoh asimilasi untuk menciptakan integrasi nasional.
Adapun akulturasi adalah pertemuan dua kebudayaan atau lebih yang masing-masing
kebudayaan itu melebur membentuk kebudayaan yang baru dan unik. Gejala akulturasi inilah
yang sebenarnya sering terjadi dalam penyebaran kebudayaan dunia. Bangsa Indonesia
sedemikian rupa menerima dan mengolah kebudayaan asing untuk diterapkan sesuai dengan
nilai-nilai budaya lokal. Masuk dan berkembangnya kebudayaan India sebagai kebudayaan asing
merupakan proses akulturasi yang terjadi di Indonesia. Kebudayaan India yang diterima oleh
masyarakat Indonesia dipahami dengan menggunakan konsep kebudayaan awal yang dimiliki
oleh masyarakat Indonesia sehingga penerimaan kebudayaan asing ini dan perpaduannya dengan
kebudayaan lokal menghasilkan kebudayaan baru yang khas. Unsur-unsur kebudayaan
kebudayaan asing (India) masih dapat dirasakan dan demikian juga kebudayaan lokal yang
menerima kebudayaan asing inipun tidak kehilangan jati diri lokalnya. Sebagai contoh, kisah
Mahabharata yang berasal dari India mengalami beberapa penyesuaian dengan kondisi
kebudayaan di Indonesia. Bentuk akulturasi lainnya di Indonesia dapat juga dilihat dari
bangunan-bangunan mesjid yang tidak meniru begitu saja bentuk mesjid di negara tempat
asalnya, namun disesuikan dengan cita rasa kebudayaan lokal Indonesia.
170
171
Adapun etnis yang sering disebut bangsa atau suku bangsa adalah suatu kesatuan
sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan lain berdasarkan akar dan identitas kebudayaaan.
Dengan demikian, kebudayaan merupakan ciri pembeda antaretnis. Kebudayan yang
berhubungan erat dengan pandangan hidup suatu masyarakat menyangkut nilai-nilai yang
dianutnya, seperti religi atau kepercayaan, sistem kekeluargaan, keuletan dan ketangguhan
(etos), dan lain sebagainya merupakan faktor pembeda suatu etnis dengan etnis lainnya.
Secara umum di dunia terdapat 4 golongan ras, yakni Mongoloid, Negroid, Kaukasoid,
dan beberapa ras khusus yang tidak termasuk ke dalam ketiga golongan tersebut, yaitu
Bushman, Veddoid, Ainu, dan Polynesian. Ras Kaukasoid, merupakan ras yang sebagian
besar mendiami wilayah di benua Eropa, antara lain mereka yang sekarang mendiami wilayah
Britania Raya atau Inggris Raya juga merupakan ras Kaukasoid. Ciri yang paling menonjol
secara umum adalah warna kulitnya yang putih. Ras ini terbagi atas 4 rumpun, yakni:
a. Kaukasoid Nordik: ukuran tubuh tinggi, rambut keemasan, mata biru, bentuk muka
lonjong atau oval. Ras tersebut terdapat di daerah Eropa Utara sekitar Laut Baltik.
b. Kaukasoid Mediterania: ukuran tubuh lebih pendek dari Nordik, rambut coklat sampai
hitam,mata coklat, bentuk muka bulat. Ras tersebut terdapat di sekitar laut Tengah, Afrika
Utara, Armenia, Arab Saudi.
c. Kaukasoid Alpin: ciri tubuh antara Nordik dan Mediterania. Mereka terdapat di Eropa
Timur dan Eropa Tengah.
d. Kaukasoid Indik: ukuran tubuh kecil, warna kulit kuning dan coklat, tetapi bentuk muka
ras kaukasoid, mata hitam, rambut hitam, bentuk muka lonjong, oval, dan bulat, terdapat
di Sri Langka, Pakistan, dan India.
Ras Mongoloid merupakan ras manusia yang sebagian besar menetap di Asia Utara,
Asia Timur, Asia Tenggara, Madagaskar di lepas pantai timur Afrika, Beberapa bagian India
Timur Laut, Eropa Utara, Amerika Utara, Amerika Selatan dan Oseania. Anggota ras
Mongoloid biasa disebut berkulit kuning, namun ini tidak selalu benar. Misalkan orang
Indian di Amerika dianggap berkulit merah dan orang Asia Tenggara seringkali berkulit
cokelat muda sampai cokelat gelap. Ras Mongoloid secara umum memiliki tubuh yang lebih
kecil dari ras Kaukasoid. Pada umumnya berambut hitam dan lurus dan bermata dengan
lipatan, yang disebut sipit. Ras ini meliputi:
a. Asiatic Mongoloid (Asia Utara, Asia Tengah, dan Asia Timur); berkulit kuning
172
b. Malayan Mongoloid Asia Tenggara, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan penduduk asli
Taiwan); berkulit cokelat muda sampai cokelat gelap.
c. American Mongoloid (penduduk asli Amerika), berkulit merah.
Ras ketiga adalah ras manusia yang terutama mendiami benua Afrika di wilayah
selatan gurun sahara. Keturunan mereka banyak mendiami Amerika Utara, Amerika Selatan,
dan juga Eropa. Adapun, ras keempat adalah ras khusus, yaitu ras manusia yang tidak dapat
diklasifikasikan dalam keempat ras pokok, antara lain:
a. Bushman (Penduduk di daerah Gurun Kalahari, Afrika Selatan);
b. Veddoid (Penduduk di daerah pedalaman Sri Lanka );
c. Polynesian (Kepulauan Mikronesia dan Polynesia); serta
d. Ainu (Penduduk di daerah Pulau Karafuto dan Hokkaido, Jepang).
Selanjutnya, kelompok ras ini mengembangkan kebudayaan. Dalam kenyataannya,
meskipun memiliki asal-usul keturunan yang sama, kelompok ras ini pun terpisah-pisah
secara sosio-kultural. Kelompok-kelompok ras kemudian membentuk kelompok etnis
beradasrkan kesamaan nilai, cara pandang, sistem kepercayaan, dan membangun unsur-unsur
universal kebudayaan yang berbeda-beda.
Dalam kategori ras, kelompok-kelompok etnis di Indonesia merupakan bagian dari
Ras Malayan Mongoloid bersama dengan penduduk di wilayah Malaysia, Filipina, dan
penduduk asli Taiwan, dengan ciri fenotatif bertubuh tidak terlalu tinggi-besar, berambut
hitam, dan berkulit cokelat muda sampai cokelat gelap. Namun, perjalanan sejarah, secara
politis, bangsa Indonesia menjadi negara bangsa (nation state) yang berbeda dengan negara
bangsa Malaysia atau Filipina.
Sebagaimana diketahui, perbedaan kebudayaan yang dipraktikkan di dalam kelompok
masyarakat yang berbeda telah menimbulkan diferensiasi kultural, maka dapat dipahami
bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang homogeni, melainkan bangsa yang
hetergogen, dengan keragaman budaya yang dimiliki oleh kelompok-kelompok etnis atau
suku bangsa di wilayah Indonesia. Bahkan, sejalan dengan perbedaan politik yang terjadi,
kelompok etnis Melayu, hanya menjadi suku bangsa di Indonesia yang memiliki
kesederajatan yang sama dengan etnis lainnya, antara lain: Sunda, Jawa, Batak, Makasar,
Bugis, Dayak, dan lain sebagainya. Namun, di negeri Malaysia, etnis Melayu menjadi etnis
173
mayoritas yang mendominasi keberadaan kelompok etnis lainnya, seperti etnis Cina, India,
dan lain-lain.
174
perekonomian yang lebih berimbang. Perubahan ini harusnya lebih didominasi oleh sektor
modern, sektor formal, sektor industri, dan sektor-sektor yang akan lebih menjamin peningkatan
kesejahteraan yang berkeadilan bagi masyarakat.
Perubahan alokasi sumberdaya antarsektor terjadi pula seiring dengan adanya
transformasi struktural. Migrasi desa-kota dan alih fungsi lahan dari tadinya untuk pertanian
menjadi untuk industri atau properti terjadi mengikuti perubahan struktural. Pertanian dan desa
diharapkan ikut tumbuh dan lebih mampu untuk swasembada pangan dan berbagai
kebutuhannya, bahkan dapat pula mendukung kebutuhan pangan penduduk di perkotaan dan
bahan baku bagi sektor industri. Seberapa jauh transformasi struktural terjadi, sistem ekonomi
yang dianut dan pembangunan ekonomi yang terjadi akan menentukan itu. Performa ekonomi
yang diinginkan, misalnya masyarakat yang adil dan makmur ikut pula menentukan sistem
ekonomi yang dianut, pola pembangunan yang diberlakukan, dan arah transformasi struktural
yang terjadi.
Sistem ekonomi apa pun yang bentuknya yang dianut, meliputi aspek-aspek berikut.
1) Value system: Sistem nilai yang dipergunakan masyarakat. Sistem nilai ini selanjutnya
merumuskan tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kepemilikan sumber daya, sistem insentif
yang digunakan, serta sistem alokasi yang diberlakukan. Sistem nilai yang dianut bisa berupa
sistem nilai utilitarian, egalitarian, syariah, Pancasila, atau sistem nilai lainnya.
2) System of objectives: Tujuan yang ingin dicapai masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai bisa
berupa kesejahteraan (welfare) yang perlu pula dijelaskan maknanya, keadilan (justice),
pemerataan (equality), kebebasan (liberty), stabilitas (stability), perlindungan terhadap
lingkungan hidup, dan tujuan-tujuan lainnya.
3) System of ownership: Sistem pemilikan sumber daya oleh masyarakat. Pemilikan sumber
daya bisa berupa pemilikan bersama (common ownership), swasta (private ownership),
public (public ownership) kooperatif (cooperative ownership).
4) System of incentives: Sistem insentif dalam kegiatan ekonomi masyarakat yang dapat berupa
insentif materi (uang, barang, atau jasa), atau insentif moral, atau insentif berupa kekuasaan,
atau insentif bentuk lainnya.
5) System of coordination/allocation: Sistem alokasi sumber daya dan hasil-hasil kegiatan
ekonomi masyarakat, yang bisa dengan cara yang merupakan tradisi, atau dengan mekanisme
pasar bebas, atau dengan perencanaan baik perencanaan komando, terpimpin atau lainnya.
175
176
177
178
meliputi lebih dari satu suku bangsa yang terdiri atas jutaan bahkan ratusan juta orang, seperti
bahasa Indonesia.
Demikian juga, sistem organisasi sosial, dapat dijumpai pada masyarakat yang sederhana
maupun masyarakat yang lebih kompleks, seperti masyarakat bangsa, memperlihatkan bahwa
tidak ada satu pun masyarakat yang tidak berkebudayaan. Namun, jika kebudayaan suatu
masyarakat suku bangsa atau bangsa telah membawa masyarakat itu pada suatu tingkatan yang
disebut maju oleh masyarakat lainnya, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat itu telah
mencapai peradaban.
Koentjaraningrat (2009: 146) menggunakan istilah peradaban, yang dipadankan dengan
civilization untuk menyebut bagian dan unsur dari kebudayaan yang halus, maju, dan indah;
atau untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, ilmu pengetahuan,
seni bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan dari masyarakat kota yang maju dan kompleks.
Dengan demikian, peradaban merupakan bagian dari kebudayaan, yang keduanya dibedakan
dalam hal kualitas. Setiap masyarakat di belahan dunia manapun pastilah memiliki kebudayaan.
Namun, dengan memperhatikan ketinggian dan keluhuran hasil-hasil kebudayaan yang dapat
dicapai masyarakat suatu bangsa, ada beberapa masyarakat bangsa yang telah mencapai
kebudayaan yang dianggap luhur dan tinggi, atau dengan kata lain telah mencapai peradaban,
dan ada masyarakat yang belum mencapai perabadan.
Pertanyaan selanjutnya adalah di manakah peradaban itu berada sekarang ini? Pada
umumnya, peradaban mengacu kepada suatu tempat di mana kita cenderung menganggapnya,
maju, modern, dan tinggi; dan sampai saat ini kita masih cenderung mengacu ke arah
Amerika dan negara-negara Barat, sebagai sumber kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Mekipun pada saat ini telah muncul kekuatan-kekuatan baru dalam kemajuan pengetahuan dan
teknologi, seperti Jepang dan Korea.
Dalam catatan sejarah, peradaban menunjukkan pasang surut. Suatu masyarakat bangsa
pada kurun waktu tertentu berada dalam keadaaan tertinggal, namun sewaktu-waktu dapat
melejit menjadi bangsa yang maju dan dianggap telah mencapai kebudayaan tinggi atau
peradaban. Sebagai contoh, sampai dengan abad ke-18 M, Amerika Serikat, sebagai sebuah
negara, belum ada dan belum diperhitungkan dalam percaturan kekuatan negara-negaran maju di
dunia. Namun, pada awal abad ke-20 kemajuan yang dicapai oleh masyarakat di negara Amerika
Serikat telah menjadikan negara itu sebagai kekuatan dominan di dunia, hingga saaat ini. Kondisi
179
sebaliknya dapat terjadi, yaitu suatu negara yang telah mencapai peradaban, pada masa yang
lampau, mungkin saja hancur dan tenggelam pada saat ini. Dalam sejarah peradaban dunia kita
mengenal peradaban Mesopotamia, Mesir, Persia, Yunani, Romawi, India, Cina, Jepang, Arab,
dan lain sebagainya, yang telah menjadi bukti sejarah kemajuan peradaban masyarakat bangsa-
bangsa tersebut.
Adapun dalam konteks sejarah Indonesia, kemajuan dan kemasyhuran kerajaan
Sriwijaya, Majapahit, Malaka, dan sebagainya, dianggap menjadi salah satu titik peradaban
masyarakat bangsa ini. Pertanyaan dan sekaligus menjadi tantangan adalah apakah kemajuan
dan kemasyhuran itu dapat kita raih dalam konteks masyarakat bangsa Indonesia? Dengan kata
lain, dapatkah kita sebagai bangsa Indonesia mencapai peradaban? Mari mencari jawabannya
pada diri masing-masing, sebagai anak bangsa. Mari memahami keberadaan diri sebagai diri
pribadi (individu) yang memiliki keunikan dan kebebasan berkreasi, sebagai bagian dari
kelompok dan anggota masyarakat yang dapat menunjukkan kebermanfaatan diri bagi
masyarakat sekitar, bagi masyarakat Indonesia, dan bahkan bagi masyarakat dunia dengan
mengembangkan kebudayaan yang tinggi. Hingga pada gilirannya sebagai bangsa dapat berdiri
dengan gagah menegakkan peradaban dunia.
180
KESIMPULAN
Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Setiap manusia, memiliki kepribadian
yang unik dengan tingkat dan daya kecerdasan serta tipe temperamen yang berbeda-beda.
Keunikan manusia menuntun kita untuk memahami keberadaan manusia yang berbeda cara
berpikir, cara bertingkah laku, cara bersikap, dan keunikan lainnya, dan memahami bahwa
hubungan yang kita jalin dengan sesama manusia sangat dipengaruhi oleh perbedaan dan
keunikan setiap individu. Memahami keunikan individu ini juga membangun karakter saling
menghormati, demi terwujudnya suatu komunikasi yang membawa kepada suatu kondisi
harmonis.
Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa menjalin interaksi dengan individu lainnya
dan berupaya membangun kesepahaman dalam berbagai kesatuan sosial yang dijalaninya.
Kesatuan sosial yang terdekat adalah keluarga, selanjutnya kelompok pertemanan, lingkungan
sekolah, dan seterusnya, hingga membangun kesatuan sosial sebagai bangsa. Di dalam lingkup
sosial inilah manusia mengembangkan kebudayaan, yaitu seperangkat tata aturan kehidupan
yang berdasarkan gagasan atau ide yang menghasilkan karya budaya bagi peningkatan kualitas
diri manusia itu sendiri. Dengan kemampuan akalnya, berbagai perilaku manusia
memperlihatkan perbedaan dan keunggulan dengan aktivitas makhluk hidup lainnya.
Dengan memahami hakekat manusia sebagai makhluk berbudaya, maka diharapkan
setiap individu dapat mengembangkan dan mengubah kebudayaan yang ada di masyarakatnya
untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan yang diidam-idamkan bersama. Dengan akal
budinya manusia mengemban kehidupan untuk mencapai kebahagiaan, baik jasmani dan rohani
(spriritual). Kecerdasan manusia telah menghasilkan peralatan hidup yang tidak sekedar
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan, melainkan juga untuk mempermudah dan meningkatkan
kualitas hidup.
Namun demikian, pencapaian kebahagian dan kemakmuran jasmaniah tidak selalu paralel
dengan pencapaian kebahagiaan dan ketenangan spiritual. Berbagai penemuan teknologi
mutakhir dan kemakmuran masyarakat bukanlah ukuran satu-satunya kemajuan suatu
kebudayaan manakala manusia dan masyarakat mengalami kekeringan spiritual. Oleh karena
itu, pendayagunaan kemampuan akal manusia secara optimal harus senantiasa diiringi dengan
pendayagunaan kemampuan budi (rasa/spirit) yang dimiliki manusia secara optimal pula
sehingga terjadi keseimbangan antara kebahagiaan jasmani dan spiritual.
181
Memahami masyarakat dan kebudayaan dapat membangun karakter saling bekerja sama
dan berkompetisi, karena kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat sangat tergantung kepada
individu-individu anggota masyarakat. Selain itu, hal tersebut menumbuhkan sikap saling
menghargai dan menghormati perbedaan antarindividu dan antarmasyarakat. Individu yang sehat
dapat membentuk masyarakat yang sehat dan mampu mengembangkan kebudayaan
masyarakatnya sehingga tercapai kemajuan masyarakat yang diinginkan bersama.
182
BAGIAN III
Jati diri mahasiswa harus menunjukan sebagai warga negara yang mampu
menjelaskan masalah kebangsaan, kenegaraan, dan kewarganegaraan berdasarkan
nilai-nilai Pancasila dalam situasi duniayang dinamis.
Sebagai negara kebangsaan (nation state), Indonesia merupakan kumpulan dari berbagai ikatan
primordial agama, suku, ras, bahasa, budaya, daerah, dan adat. Kemajemukan tersebut berpotensi
menimbulkan berbagai masalah. Namun, kemajemukan itu diikat oleh keberadaan dasar dan
ideologi bangsa, yaitu Pancasila dan UUD 1945, di samping faktor-faktor pemersatu lainnya.
Sementara itu, dalam proses bernegara terdapat saling pengaruh antara hak dan kewajiban serta
antara Negara dan Warga Negara. Di sisi lain, kehidupan negara Indonesia tidak terlepas pula
dari pengaruh kehidupan dunia global sehingga perlu dikaji pula dinamika hubungan antarbangsa
di dunia untuk melihat peran politik Indonesia di dalamnya.
183
BAB 1
BANGSA INDONESIA
8
PusatBahasaDepartemenPendidikanNasional.2002.KamusBesarBahasaIndonesia,EdisikeIII.Jakarta:Balai
Pustaka.Hal.102.
184
masyarakat lainnya. Dalam etnografi (deskripsi atau tulisan tentang bangsa-bangsa), suatu
kebudayaan dengan corak khas itu dinamakan suku bangsa atau kelompok etnik (ethnic group).
Di antara kedua istilah di atas, istilah yang lebih tepat bagi kelompok masyarakat dengan
corak yang khas tersebut adalah suku bangsa, bukan kelompok etnik, karena suku bangsa
merupakan golongan sosial bukan kelompok sosial. Golongan sosial dan kelompok sosial
merupakan dua konsep mengenai kesatuan-kesatuan sosial atau unsur-unsur masyarakat. Kedua
konsep itu mempunyai pengertian yang berbeda. Golongan sosial merupakan suatu kesatuan
manusia yang ditandai oleh suatu ciri tertentu, yang mempunyai ikatan identitas sosial.
Kelompok sosial merupakan suatu masyarakat karena memenuhi syarat-syaratnya, yaitu adanya
sistem interaksi antara para anggota, adat-istiadat, serta sistem norma yang mengatur interaksi
itu, kontinuitas, serta adanya rasa identitas yang mempersatukan semua anggota tadi. Di samping
ketiga ciri tadi, suatu kesatuan manusia yang disebut kelompok juga mempunyai ciri tambahan,
yaitu organisasi dan sistem kepemimpinan dan selalu tampak sebagai kesatuan-kesatuan dari
individu-individu yang pada masa-masa tertentu, secara berulang, berkumpul dan kemudian
bubar lagi.
Suku bangsa sebagai golongan sosial adalah golongan manusia yang terikat oleh identitas
dan kesadaran akan kesatuan kebudayaan. Kesadaran dan identitas itu sering kali dikuatkan
pula oleh kesatuan bahasa. Kesatuan kebudayaan tersebut bukan ditentukan oleh pihak luar,
misalnya ahli antropologi, ahli kebudayaan, atau ahli lainnya, dengan metode-metode analisis
ilmiah, melainkan oleh warga kebudayaan itu sendiri.
Suku Sunda misalnya. Kebudayaan mereka merupakan suatu kesatuan kebudayaan yang
berbeda dengan kebudayaan Jawa atau Batak. Kesatuan kebudayaan mereka bukan ditentukan
pihak luar, melainkan karena orang-orang Sunda sadar bahwa di antara mereka ada keseragaman
budaya, berkepribadian khas, dan identitas khusus yang berbeda dengan kebudayaan lain. Bahasa
Sunda yang mereka miliki menyebabkan semakin tingginya kesadaran akan kepribadian khusus
tadi. (Koentjaraningrat, 2002: 263266.)
Menurut Suparlan, suku bangsa merupakan kategori atau golongan sosial yang askriptif,
yaitu keanggotaannya diperoleh bersama dengan kelahiran yang mengacu pada asal orang tua
yang melahirkan serta asal daerah tempat seseorang dilahirkan. Sebagai golongan sosial, suku
bangsa terwujud perorangan atau individu dan kelompok. Sebagai kelompok, suku bangsa
185
terwujud sebagai keluarga, komunitas, masyarakat, atau juga berupa perkumpulan suku bangsa.
Sebagai kelompok, suku bangsa mempunyai ciri-ciri berikut.
a. Merupakan satuan kehidupan yang secara biologi mampu berkembang biak dan lestari
dengan adanya keluarga yang dibentuk melalui perkawinan.
b. Mempunyai kebudayaan bersama sebagai pedoman hidup yang secara umum berbeda dengan
kelompok suku bangsa lain.
c. Keanggotaan di dalam suku bangsa bercorak askriptif.
Keanggotaan seseorang di dalam sebuah suku bangsa berbeda dengan keanggotaan
seseorang di dalam sebuah kelas sosial atau kelompok profesi yang coraknya diperoleh melalui
prestasi kerja atau usaha. Keanggotaan seseorang di dalam suatu suku bangsa bersifat terus-
menerus atau selamanya, sedangkan keanggotaan di dalam kelas sosial atau kelompok profesi
akan hilang pada waktu yang bersangkutan tidak lagi mampu menunjukkan kemampuan
ekonomi yang menjadi ciri-ciri dari golongan kelas sosial itu atau pada waktu seseorang tidak
lagi mengerjakan profesi yang selama ini ditekuninya (Suparlan, 2005: 36).
Sebagai makhluk sosial, setiap orang mempunyai lebih dari satu identitas diri. Sebagai
bagian dari bangsa Indonesia, jati diri seseorang merupakan jati diri bangsa Indonesia.
Mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang didukung oleh kesatuan dari aneka suku
bangsa, diperlukan pemahaman atas suku-suku bangsa tersebut. Corak jati diri ke-Indonesia-an
itu sangat ditentukan oleh jati diri suku-suku bangsa pendukungnya. Jati diri suku bangsa atau
kesukubangsaan termasuk salah satu di antara jati diri yang dapat menjadi jati diri utama atau
dapat pula menjadi jati diri yang menempel dan memperkuat jati diri utama seseorang. Oleh
karena itu, interaksi antarsuku bangsa perlu dilakukan dengan tetap mengedepankan jati diri ke-
Indonesia-an. Uraian mengenai masalah ini akan disampaikan lebih lanjut pada sub-bab
mengenai masyarakat majemuk bangsa Indonesia.
186
Sementara itu, kemajemukan Bangsa Indonesia adalah realitas. Berbagai suku bangsa
yang ada di Indonesia, seperti Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Aceh, dan lain-lain masing-
masing berbeda. Mereka berbeda bahasa, adat-istiadat, cara hidup, dan sebagainya. Suku bangsa
itu masing-masing merupakan satu bangsa dalam arti etnik, yaitu kebulatan kemasyarakatan
yang mempunyai kebudayaan sendiri, karena berasal dari satu keturunan.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, aneka suku bangsa tersebut menjadi satu
kesatuan, yaitu bangsa Indonesia. Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010 dari Badan
Pusat Statistik (BPS), bangsa Indonesia terdiri atas 1.128 suku bangsa dengan jumlah penduduk
237.556.363 orang dan dengan luas wilayahnya sekitar 1.910.931 km2.9
Menurut Suparlan (2005: 5460), Indonesia menjadi sebuah masyarakat majemuk
karena mengenal tiga sistem yang menjadi acuan atau pedoman di dalam kehidupan warganya.
Sistem-sistem itu adalah (1) sistem nasional, (2) sistem suku bangsa, dan (3) sistem tempat-
tempat umum. Sebagai sebuah bangsa, masyarakat Indonesia hidup dalam sebuah satuan politik,
yaitu sebuah negara kesatuan yang menempati wilayah yang dinamakan Negara Republik
Indonesia. Sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas sejumlah suku bangsa, hubungan-
hubungan sosial di antara warga suku bangsa lazim berlangsung di tempat-tempat umum (pasar,
tempat-tempat hiburan, kegiatan-kegiatan sosial bersama). Hal ini menjadikan fungsi tempat
umum menjadi penting.
Jumlah suku bangsa yang terdapat dalam Negara Republik Indonesia dapat dikatakan
sama jumlahnya dengan jumlah bahasa daerah yang ada (Loebis, 1979: 1011). Kesamaan ini
merupakan suatu realita yang tidak dapat diingkari. Kenyataan ini perlu disikapi dengan
kesadaran bahwa Indonesia adalah satu bangsa.
Bentuk pluralitas bangsa Indonesia setidaknya dapat dilihat dalam dua macam, yaitu (1)
pluralitas horizontal, misalnya keberagaman etnis, agama, dan bahasa, serta (2) pluralitas
vertikal, misalnya keanekaragaman profesi, tingkat ekonomi, dan pendidikan. Di samping itu,
bentuk pluralitas bangsa Indonesia dapat pula dilihat dari keberagaman kelompok, lapisan, dan
golongan (meskipun substansinya sama dengan bentuk pluralitas yang disebutkan terdahulu).
Keberagaman kelompok berkaitan, antara lain, dengan keberagaman kelompok etnik, afiliasi
politik, dan agama yang dianut.
9
RusmanHeriawan,KepalaBPS,dalamrapatdengarpendapatdenganKomisiXIDPRRI,Rabutanggal3Februari
2010.
187
188
bangsa, dan (4) kebudayaan nasional. Faktor-faktor itu saling terkait satu sama lain dan harus
dijaga untuk terus dipertahankan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
189
daerah Sulawesi Selatan dapat dianggap sebagai tempat perpaduan antara berbagai macam
pengaruh kebudayaan dan percampuran antara berbagai ras manusia, yang datang dari berbagai
tempat (Koentjaraningrat, 1981: 220).
Catatan sejarah lainnya menjelaskan bahwa persebaran penduduk Indonesia, atau rakyat
kerajaan kuno Nusantara berasal dari daerah Cina Selatan (propinsi Yunan). Mereka dikenal
sebagai ras Melayu yang datang secara bergelombang. Dua gelombang terpenting adalah Proto-
Melayu (sekitar 3000 tahun lalu) dan Deutro-Melayu (sekitar 2000 tahun yang lalu). Proto-
Melayu (Melayu-Polynesia) tersebar dari Madagaskar sampai ke Pasifik Timur. Kebudayaannya
masih merupakan kebudayaan batu (neolithicum). Berbeda dengan Proto-Melayu, Deutro-
Melayu sudah membawa kebudayaan besi.
Persebaran penduduk melalui proses rumit dan perjalanan panjang melalui berbagai
wilayah di dunia tersebut merupakan awal terbentuknya penduduk Indonesia. Penduduk
Indonesia atau masyarakat Nusantara pada waktu itu diperintah oleh raja-raja. Ciri pokoknya
adalah pembauran manusia dari berbagai ras dan daerah asal sebagai ciri bhinneka tunggal ika.
Tahap kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha memberikan pengaruh kepada kebudayaan
bangsa Indonesia. Catatan sejarah kerajaan Hindu diperoleh dari batu-batu bertulis yang ada di
Jawa Barat, di daerah sungai Cisadane, Bogor, dan di pantai Kalimantan Timur, daerah Muara
Kaman, Kutai, sekitar abad IV Masehi. Menurut ahli sejarah purbakala, kerajaan-kerajaan yang
disebut dalam tulisan-tulisan pada batu-batu tadi merupakan kerajaan-kerajaan Indonesia asli
yang hidup makmur berkat perdagangan dengan negara-negara di India Selatan. Raja-rajanya
mengadopsi konsep-konsep Hindu dengan cara mengundang ahli-ahli dan orang-orang pandai
dari golongan Brahmana (pendeta) di India Selatan yang beragama Wisnu dan Brahma.
Tahap kerajaan-kerajaan Islam juga memberikan pengaruh kepada kebudayaan
Indonesia. Kerajaan-kerajaan Islam muncul bersamaan dengan penyebaran agama Islam melalui
hubungan perdagangan. Para penyebar dakwah atau mubaligh mengajarkan agama Islam kepada
penduduk asli yang kemudian menyebarkannya kepada penduduk lainnya. Kerajaan Islam di
Nusantara yang dipengaruhi oleh kerajaan atau kesultanan Islam di tanah Arab, antara lain,
kerajaan Samudera Pasai di Aceh, kerajaan Mataram di Jawa, serta kesultanan Ternate dan
kesultanan Tidore di Maluku.
Tahap kekuasaan lokal Nusantara di atas merupakan kekuasaan raja-raja sebelum
kedatangan bangsa-bangsa Barat, baik yang dipengaruhi oleh Hindu-Buddha maupun Islam.
190
Menurut beberapa penafsiran dari fakta sejarah yang ada, sifat kekuasaan lokal Nusantara
tersebut terpusat di tangan raja. Hal ini berakibat pada rendahnya tingkat kelembagaan dan
kepastian, serta kerasnya penggunaan kekuasaan yang ada bahkan menimbulkan peristiwa
berdarah sehingga pada akhirnya kekuasaan raja-raja tersebut runtuh (Simbolon, 1995: 632).
Tahap setelah kekuasaan raja-raja di Nusantara adalah tahap kolonialisasi atau tahap
pejajahan bangsa Indonesia oleh VOC (16021800) yang diteruskan oleh Belanda (1800
1942), dan Jepang (19421945). Akibat perang di Eropa, kekuasaan atas Indonesia pernah
diambil alih oleh Inggris (18111816).
Masa penjajahan yang dialami bangsa Indonesia dari 16021945 itu juga merupakan
proses panjang pembentukan bangsa Indonesia yang berasal dari berbagai suku bangsa. Proses
pembentukannya merupakan salah satu ciri dari suatu proses yang disebut unintended
consequences. Istilah ini dapat diartikan sebagai akibat yang tidak diperhitungkan dari tindakan
yang dilakukan terhadap suatu susunan kehidupan, baik tindakan-tindakan yang dicita-citakan
dan direncanakan, maupun yang tidak. Dalam hal ini, pengembangan kebangsaan Indonesia
merupakan akibat yang tidak diperhitungkan oleh penguasa kolonial terhadap susunan kehidupan
masyarakat yang kini disebut sebagai bangsa Indonesia. Ini terjadi karena masyarakat Indonesia
bukanlah peralatan otomatis yang reaksinya selalu dapat diperhitungkan oleh penggunanya
(Simbolon, 1995: xxii).
Dalam masa penjajahan Belanda, perlakuan-perlakuan kolonial justru menjadi pemicu
munculnya kesadaran berbangsa pada orang Indonesia. Hal ini tentu tidak diinginkan dan tidak
diduga oleh Belanda. Dua peristiwa bersejarah yang menunjukkan tumbuhnya kesadaran
berbangsa yang yang ingin merdeka dari penjajahan yang terjadi antara tahun 1899 sampai 1942.
Kesadaran itu adalah Kebangkitan Nasional yang ditandai oleh berdirinya Boedi Oetomo (20
Mei 1908) dan ikrar Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928). Masa ini merupakan salah satu dampak
Politik Etis yang mulai diperjuangkan masa Multatuli (dr. Douwes Dekker).
Politik etis merupakan kebijakan pemerintahan kolonial Belanda yang seolah-olah
memberikan kebaikan sebagai tanda balas budi, namun sesungguhnya dalam rangka
mempertahankan statusnya sebagai penjajah. Dalam Politik Etis, pemerintah kolonial berupaya
menanamkan pengaruhnya kepada para penguasa pribumi pendidikan. Para pemuda dari
kalangan elite dididik oleh Belanda untuk menjadi penguasa yang mengabdi kepada pemerintah
kolonial Belanda. Mereka dididik di berbagai lembaga pendidikan Belanda, baik di Indonesia
191
yang umumnya dipusatkan di Pulau Jawamaupun di Negeri Belanda. Tanpa disadari, Belanda
telah mendorong dan menciptakan ruang gerak terjadinya interaksi antarberbagai suku bangsa
melalui interaksi antarpemuda dari kalangan elitenya. Interaksi ini justru terjadi di dalam
berbagai institusi buatan Belanda, baik pemerintah maupun swasta yang bergerak di bidang
pemerintahan maupun pendidikan.
Di dalam institusi pendidikan terjadi interaksi yang intensif antara pemuda-pemuda yang
berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, tidak hanya yang berada di Pulau Jawa, tetapi
juga yang di Belanda. Melalui interaksi itu, tumbuh benih-benih solidaritas baru, yaitu perasaan
senasib sebagai bangsa yang terjajah. Ikatan solidaritas ini terus berkembang menjadi suatu
semangat persatuan yang menginginkan kemerdekaan. Keadaan itulah yang mendorong
Kebangkitan Nasional dengan lahirnya kelompok kebangsaan Boedi Utomo pada tanggal 20 Mei
tahun 1908.
Hal yang sama juga memunculkan lahirnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober
1928, yang dirumuskan dalam satu kesepakatan dalam bentuk ikrar bahwa mereka: Bertumpah
darah satu Indonesia, Berbangsa satu Indonesia, dan Menjunjung bahasa persatuan bahasa
Indonesia. Solidaritas yang menumbuhkan semangat persatuan ini melahirkan cita-cita
membangun bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Kebangkitan Bangsa dan Sumpah
Pemuda merupakan tonggak sejarah yang menandai kelahiran bangsa Indonesia dari berbagai
suku bangsa melalui kesepakatan normatif.10 Bangsa Indonesia mencapai puncak sejarah
perjuangannya ketika berhasil merdeka dan berdaulat melalui Proklamasi Kemerdekaan yang
dibacakan pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 di bulan Ramadhan oleh Soekarno dan
Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta (Hardi, 1984: 61).
Dengan demikian, penjajahan terhadap bangsa Indonesia berhasil diakhiri dengan
memanfaatkan keadaan setelah kota Hiroshima di Jepang dibom oleh Amerika Serikat pada
tanggal 6 Agustus 1945. Setelah bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki pada tanggal 9 Agustus
1945, Jepang menyerah pada sekutu. Melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI;
dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Zyunbi Inkai), Indonesia menegaskan keinginan dan
tujuannya mencapai kemerdekaan itu.
10
SardjonoJatiman,IntegrasiBangsa:AntaraKesepakatanNormatifdanKenyataanEmpirik,makalahyang
disampaikanpadaSeminarNasionalTinjauanKritikaltentangIntegrasiBangsa,Depok,1617Januari1996.
192
PPKI adalah panitia baru yang dibentuk untuk melanjutkan tugas Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI; dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu
Zyunbi Cosakai) yang sebelumnya dibentuk pada 29 April 1945. PPKI dibentuk pada tanggal 12
Agustus 1945 (bukan 7 Agustus 1945 karena pada tanggal 7 Agustus 1945 yang terjadi hanyalah
pemberian izin oleh pemerintahan Jepang di Tokyo untuk mendirikan PPKI, sedangkan
pembentukannya secara resmi adalah pada tanggal 12 Agustus 1945). Tugas BPUPKI adalah
menyiapkan Rancangan Undang-Undang Dasar guna menyongsong kemerdekaan, sedangkan
PPKI dibentuk untuk menyatakan atau mengesahkan kemerdekaan dan melakukan peralihan
kekuasaan dari negara jajahan menjadi negara merdeka (Kusuma, 2004: 113).
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus tahun 1945, Negara Indonesia yang masih
baru itu masih mengalami berbagai ujian dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kerajaan
Belanda ketika itu ingin menjajah kembali Indonesia dengan alasan sebelumnya Indonesia
adalah bagian sah dari kerajaan Belanda, namun diambil alih oleh Jepang karena Belanda
bergabung dengan sekutu kalah perang pada tahun 1941. Dengan kekalahan Jepang dalam
perang Pasifik pada tahun 1945, Belanda mengklaim bahwa secara hukum internasional,
Indonesia kembali menjadi bagian dari kerajaan Belanda.
Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaannya melalui berbagai upaya, seperti
perang konvensional yang disebut revolusi kemerdekaan dan perang diplomasi berupa
perundingan antarpemerintah kedua negara. Akhirnya, dicapai persetujuan melalui Perjanjian
Meja Bundar. Perjanjian ini memaksa Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Namun
pengakuan itu disertai syarat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diubah
menjadi Negara Republik Indonesia Serikat. Setelah syarat dipenuhi, yaitu NKRI diubah
menjadi NRIS berdasarkan Konstitusi RIS 1949 pada tanggal. Sejak itu, secara de jure Belanda
mengakui kemerdekaan Indonesia 29 Desember 1949, bukan 17 Agustus 1945 (Mahfud, 2009:
120122).
Setelah proklamasi dan masa transisi sampai tahun 1949, mulailah masa Demokrasi
Liberal (19501959), yang secara berturut-turut diikuti oleh era Demokrasi Terpimpinyang
kemudian disebut Orde Lama (19591965), Orde Baru (19661998), dan era Reformasi
(1998sekarang). Proses pembentukan negara dan hal-hal yang berhubungan dengan masalah
tersebut akan diuraikan lebih lanjut dalam Bab II.
193
194
kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.11
11
UUNomor24Tahun2009tentangBendera,Bahasa,danLambangNegara,sertaLaguKebangsaan(Lembaran
NegaraRepublikIndonesiaTahun2009Nomor109;TambahanLembaranNegaraNomor5035).
195
fungsi itu, gagasan kedua golongan cendekiawan di atas sebenarnya saling melengkapi. Gagasan
kebudayaan nasional dari golongan pertama memenuhi fungsi pertama sedangkan dari golongan
kedua memenuhi fungsi kedua.
Contoh kebudayaan nasional yang berasal dari puncak-puncak kebudayaan daerah antara
lain adalah Borobudur, batik, tari-tarian tradisional, angklung, gamelan, karapan sapi, dan lain-
lain. Menurut ahli psikologi E. H. Erikson, identitas diri dapat dikuatkan oleh individu yang
bersangkutan dengan mengacu pada suatu karya unik yang dapat dibanggakan. Oleh karena itu,
identitas nasional dapat dikuatkan oleh hasil-hasil karya unik yang dapat dibanggakan sebagai
hasil karya bangsanya (Koentjaraningrat, 1987a).
Contoh unsur-unsur kebudayaan yang dapat memperkuat rasa solidaritas atau yang dapat
memenuhi fungsi kedua tadi antara lain bahasa nasional (bahasa Indonesia), seni drama masa
kini, seni film, dan sistem hukum nasional. Unsur-unsur ini harus dapat mengintensifkan
komunikasi antarsuku bangsa yang berbeda-beda dan dipahami maknanya sehingga dapat
menumbuhkan toleransi dan solidaritas.
Unsur-unsur kebudayaan nasional perlu terus dilestarikan dan dikembangkan. Namun,
yang perlu diperhatikan adalah pengembangan itu tidak boleh dibatasi hanya pada unsur-
unsurnya saja, tetapi meliputi sistem nilai budayanya juga. Sebab, sistem nilai budaya
merupakan inti dari suatu kebudayaan karena dianggap bernilai tinggi). Nilai itu menjiwai semua
pedoman yang mengatur tingkah laku warga yang bersangkutan. Pedoman dimaksud adalah
adat-istiadat, sistem norma, aturan etika, aturan moral, aturan sopan-santun, pandangan hidup,
dan lain-lain. Menurut C. Kluckhohn, masalah kehidupan manusia bernilai tinggi dan universal
yang ada di setiap kebudayaan menyangkut setidaknya lima hal, yaitu (1) makna atau hakikat
hidup, (2) makna pekerjaan/karya dan amal perbuatan, (3) persepsi terhadap waktu, 4) hubungan
dengan alam sekitar, dan 5) masalah manusia dengan manusia (Koentjaraningrat, 1987b).
Di luar itu, salah satu dari kebudayaan nasional kita yang perlu terus dikembangkan
adalah soal hukum nasional. Pengembangan ini harus ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan
negara, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yaitu membangun segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan
kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
196
Apa yang dibicarakan di atas pastinya merupakan salah satu upaya menjaga
keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu, setiap warga bangsa
perlu pula memahami jati dirinya sebagai bangsa Indonesia dan nilai- nilai yang dimilikinya.
Jati diri bangsa di sini berkaitan dengan cara pandang dan tingkah laku yang sesuai
dengan nilai budaya bangsa Indonesia. Istilah jati diri dapat diartikan sebagai ciri-ciri, gambaran,
atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda. Jati diri ini pun diartikan sebagai identitas.12
Jadi jati diri bangsa Indonesia adalah ciri-ciri atau identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Oleh
karena itu, globalisasi harus pula diwaspadai karena dapat mengancam nilai-nilai kebangsaan,
seperti pemahaman yang keliru tentang menjadi modern atau menjadi seperti orang Barat.
Masalah jati diri, selain berkaitan dengan gaya hidup juga berkaitan dengan perilaku yang
dapat menyebabkan disintegrasi. Gaya hidup yang membuat anak-anak senang tawuran dan
perang antarsuku bangsa atau antara satu kelompok dengan kelompok yang lain menunjukkan,
antara lain, lemahnya toleransi terhadap perbedaan pendapat; munculnya elemen-elemen
separatisme dan kedaerahan/primordialisme; penafsiran keliru terhadap otonomi daerah sebagai
federalisme; pendekatan fragmentatif dalam menghadapi persoalan-persoalan bangsa; ketiadaan
atau kelangkaan tokoh panutan; lemahnya perasaan gotong-royong, solidaritas, dan kemitraan;
dan ketidaksepahaman dalam menyikapi proses globalisasi.13 Semua itu merupakan masalah
besar yang dihadapi bangsa Indonesia. Dengan demikian, perlu terus menerus ditumbuhkan
kesadaran bahwa kebhinekaan bangsa Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
harus diterima sebagai kekayaan bangsa Indonesia.
12
PusatBahasa,DepartemenPendidikanNasional,KamusBesarBahasaIndonesia(Jakarta:2002),hlm.462.
13
Muladi,JatiDiriBangsa,makalahpadaDiskusiPanelRevitalisasiJatiDiriBangsayangdiselenggarakanolehBiro
Organisasi dan Humas, Deputi Mensesneg Bidang Sumber Daya Manusia bersama Biro Kewilayahan dan
Wawasan,DeputiSeswapresBidangPolitik,KantorSekretariatNegaraRI,Jakarta,14Juni2006.
197
kesadaran diri sebagai warga dari suatu Negara.14 Dengan demikian, nilai kebangsaan dapat
diartikan sebagai suatu kesadaran dari warga negara yang dianggap penting atau berharga bahwa
dirinya merupakan bagian dari suatu negara yang mempunyai cir-ciri tertentu yang menandainya.
Pemahaman akan nilai kebangsaan yang kuat akan menumbuhkan rasa nasionalisme
dalam masyarakat. Menurut Kohn, nasionalisme adalah paham yang berpendapat bahwa
kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan.' Perasaan itu sangat
mendalam dan memiliki ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi
setempat, dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya (Kohn, 1984: 11-13).
Bagi bangsa Indonesia, nilai kebangsaan tersebut tercermin dalam Konstitusi Negara, UUD
1945, khususnya pada bagian Pembukaan. Dalam salah satu alineanya tertulis bahwa
...berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.
Pernyataan di atas menunjukan tekad bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang bebas
merdeka dengan tujuan mencapai masyarakat adil dan makmur.
14
KamusBesarBahasaIndonesia.Op.Cit.Hlm.783
198
(3) NKRI sebagai bentuk negara, dan (4) Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan kesatuan
bangsa.
199
BAB 2
NEGARA INDONESIA
200
2.1.1 Rakyat
Konsep tentang rakyat adalah penghuni. Mereka merupakan penduduk atau semua orang yang
bertujuan menetap dalam wilayah tertentu untuk jangka waktu lama. Mereka dapat
diklasifikasikan sebagai (1) penghuni tetap maupun berpindah-pindah (nomad) dalam wilayah
tersebut dan (2) warga negara dan warga negara asing. Konsep demikian dimaksudkan untuk
mengantisipasi bahwa di era global saat ini amat jarang negara yang rakyatnya dari segi ras dan
etnik bersifat homogen.
Di era globalisasi, lalu lintas penduduk antardaerah maupun antarnegara semakin lancar.
Gejala ini menyebabkan rakyat suatu negara semakin lama semakin majemuk. Oleh karena itu,
peran imigrasi sebagai lambang kekuasaan negara perlu didukung penuh. Penjelasan lebih lanjut
pada Bab IV.
2.1.2 Wilayah
Wilayah atau lingkungan kekuasaan pemerintah meliputi (1) darat, (2) laut, (3) udara, dan (4)
ekstrateritorial. Wilayah darat ditandai dengan batas-batas alamiah/geografi maupun buatan.
Batas wilayah darat ditentukan oleh pemerintah. Batas wilayah laut merupakan hasil perjanjian
bilateral antarnegara yang bertetangga. Namun sejak dekade kesembilan abad XX, melalui
UNCLOS 82, batas laut dan definisi tentang kepulauan diubah. Laut bukan lagi merupakan
pembatas suatu daerah, melainkan penghubung antardaerah dalam negara. Penentuan wilayah
udara mengacu pada konvensi Paris yang ditanda tangani pada 23 Oktober 1919. Konvensi
tersebut memutuskan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas
ruang udara yang terdapat di atas wilayahnya. Tujuannya adalah agar setiap negara memiliki
kedaulatan di atas wilayahnya. Sejak 1944 (Konvensi Chicago) wilayah kedaulatan udara
terbentang di atas daratan dan lautan suatu negara. Pasca-Perang Dunia II ditentukan adanya
ruang angkasa dan berada di atas ruang udara masing-masing negara.
201
serangan negara lain dan mengelola hubungan diplomatik berkaitan dengan perjanjian
internasional. Untuk itu, diperlukan loyalitas dari warga negaranya untuk mengamankan dan
mempertahankan negara (Budihardjo, 2008: 54).
Menurut Max Weber, agar tidak ada monopoli kekuasaan perlu adanya pemisahan
kekuasaan berupa pemisahan kekuasaan atas lembaga-lembaga negara secara horizontal menurut
fungsinya sebagaimana dinyatakan dalam doktrin Trias Politica. Doktrin itu membagi kekuasaan
negara ke dalam tiga bagian, yaitu (1) legislatif (kekuasaan membuat undang-undang), (2)
eksekutif (kekuasaan melaksanakan undang-undang), dan (3) yudikatif (kekuasaan mengawasi
pelaksanaan undang-undang atau kekuasaan mengadili pelanggaran undang-undang). Penafsiran
Trias Politica tidak lagi sebagai pemisahan kekuasaan tetapi sebagai pembagian kekuasaan.
Artinya, hanya fungsi pokok yang dibedakan menurut sifatnya dan diserahkan kepada badan
yang berbeda, tetapi kerja sama di antara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk
kelancaran organisasi (Budiarjo, 2008: 151155).
2.1.5 Konstitusi
Persayaratan lain suatu negara modern menurut Prof. Dr. Sri Soemantri (Ditjen Dikti, 2001: 36)
adalah adanya konstitusi. Kata konstitusi berasal dari bahasa Perancis, yaitu constituir
(membentuk), yang diartikan sebagai pengaturan dasar pembentukan suatu negara. Negara
modern, terutama sejak berdirinya Amerika Serikat, menjadikan konstitusi merupakan prasyarat
bagi suatu negara bangsa.
Sebuah konstitusi biasanya berisikan (1) organisasi negara (pembagian kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif), (2) hak asasi manusia, (3) prosedur mengubah kontitusi
(amendemen), (4) ada kalanya ada larangan untuk mengubah konstitusi, dan (5) aturan hukum
202
yang tertinggi. Di dalamnya, tidak jarang dibuat pembukaan atau mukadimah dasar yang
berisikan cita-cita atau ideologi negara (Budiardjo, 2008: 178).
203
204
migas untuk Asia Timur dan Pasifik, (2) Selat Sunda (nomor 6), dan (3) Selat Lombok (nomor
7). Selat Sunda dan Selat Lombok merupakan jalur pelayaran dari negara-negara Asia Timur
dengan negara-negara Pasifik Selatan. Pada masa perang dingin, ketiga selat ini dikuasai oleh
Amerika Serikat.
a. Penduduk
Sebelum kemerdekaan Indonesia, rakyat Indonesia terdiri atas berbagai etnik, agama, dan
golongan kaula Belandaonderdaanmaupun orang asing. Orang asing dibedakan antara
turunan EropaJepang digolongkan sebagai orang Eropadan Timur asing yaitu Cina, Arab,
India. Setelah proklamasi kemerdekaan berbagai penduduk yang berada di Indonesia sebelum
tanggal 17 Agustus 1945 diakomodasi sebagai warga negara Indonesia.
b. Wilayah
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditentukan oleh BPUPKI adalah wilayah eks
Hindia Belanda (Setneg, tt: 25). Mengenai batas wilayah ini, pada tanggal 13 Desember 1957,
Pemerintah Indonesia mengeluarkan deklarasi tentang ketentuan batas wilayah laut yang
ditandatangani PM Djuanda.. Isinya ditujukan untuk memperkuat konsepsi wilayah maritim.
Konsep maritim Belanda dirombak total menjadi tata lautan yang diperbaharui berasas negara
kepulauan (archipelagic state principle). Dasar hukum konsepsi baru tersebut berupa negara
kepulauan yang wilayahnya meliputi: darat, laut, dan udara sebagai kesatuan yang utuh, yaitu
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea,
UNCLOS) pada tahun 1982 di Montego Bay, Jamaica.
205
Menurut Pasal 46 UNCLOS 1982, kepulauan berarti suatu gugusan pulau, termasuk
bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama
lainnya demikian eratnya sehingga merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi, dan politik.
Dengan demikian, Negara Kepulauan sebagaimana Negara Indonesia merupakan negara yang
terdiri atas pulau-pulau sebagai satu keastuan; wilayah itu sepertiganya merupakan daratan dan
dua pertiganya lautan.
c. Pemerintah
Pemerintah Indonesia ada sejak 18 Agustus 1945 sebagai hasil sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Implementasi Trias politica setelah Orde Baru berakhir
merujuk pda UUD NRI 1945 tidak lagi sebagai pemisahan kekuasaan tetapi sebagai pembagian
kekuasaan. Fungsi dan kekuasaan negara tidak dibagi secara terpisah dalam tiga lembaga saja,
tetapi didistribusikan ke dalam enam lembaga tinggi negara. UUD NRI 1945 menghapus satu
lembaga tinggi negara, yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang sebelumnya mempunyai
kekuasaan konsultatif bagi Presiden. Selanjutnya dibentuk satu lembaga tinggi negara yang baru
bernama Mahkamah Konstitusi (MK). Pendistribusian kekuasaan negara pada lembaga-lembaga
tinggi negara memungkinkan adanya saling kontrol di antara lembaga-lembaga tersebut. Berikut
ini uraian mengenai lingkup kewenangan beberapa lembaga negara tersebut.
Badan eksekutif atau Pemerintah adalah organisasi yang berwenang merumuskan dan
melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk dalam suatu wilayah.
Pemerintah bertindak atas nama negara dan menyelenggarakan kekuasaan negara. Di negara
demokrasi, badan eksekutif terdiri atas kepala negara atau kepala pemerintahan, menteri-menteri,
pegawai negeri sipil, dan militer.
Pengertian badan eksekutif dapat dipersempit hanya mencakup kepala negara, kepala
pemerintahan, dan para menterinya. Untuk memperlancar tugas mereka dibentuklah badan
pelaksana yang bersifat permanen dan profesional, yakni birokrasi. Birokrasi melaksanakan
tugas-tugas administrasi yang bersifat teknis yang tidak dapat ditangani sendiri oleh para politisi.
Badan Yudikatif merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakan hukum dan keadilan. Indonesia kini memiliki tiga badan yudikatif, yakni
(1) Mahkamah Agung (MA), berfungsi menyelenggarakan peradilan termasuk menguji materi
perundang-undangan di bawah UU;
206
(2) Mahkamah Konstitusi (MK), berfungsi (a) mengadili untuk menguji UU terhadap UUD, (b)
memutuskan sengketa kewenangan lembaga yang kewenangannya diberikan UUD, termasuk
membubarkan partai politik, (c) memutuskan perselisihan hasil pemilihan umum, (d)
memberikan pendapat atas pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran oleh Presiden;
3) Komisi Yudisial mempunyai kewenangan untuk meng-usulkan Hakim Agung dan
kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat,
serta perilaku hakim.
Badan Legislatif adalah badan yang membuat undang-undang. Anggotanya dianggap
mewakili rakyat. Menurut teori yang berlaku, rakyatlah yang berdaulat dan mempunyai suatu
kemauan. Badan legislatif dianggap merumuskan kemauan rakyat dengan jalan menentukan
kebijakan umum (public policy) yang mengikat seluruh masyarakat. Kenyataannya, bentuk dan
susunan badan-badan legislatif berbeda pada tiap negara.
Berdasarkan ketentuan UUD 1945, kekuasaan yang ada pada negara didistribusikan:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan
konstitutif, yaitu kekuasaan membentuk Undang-Undang Dasar,
(2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan
legislatif, yaitu membentuk undang-undang, dan
(3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan legislatif
yang berfungsi memberikan pertimbangan dalam pembentukan undang-undang.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga-tinggi baru negara yang memiliki
kekuasaan inspektif yaitu melakukan pemeriksaan keuangan negara. Hasil pemeriksaan
keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD, sesuai dengan kewenangannya.
Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan mempertimbangkan pendapat DPD dan diresmikan oleh
Presiden. Keanggotaan dan kedudukan BPK berada di ibu kota negara dan mempunyai
perwakilan di setiap provinsi.
207
Selanjutnya, Mesir mengajak anggota Liga Arab untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.
Pengakuan de jure baharu dilaksanakan pada 10 Juni 1947.
Negara kedua yang mengakui adalah India setelah merdeka dari Inggris pada 15 Agustus
1947. India menggagas resolusi bangsa-bangsa Asia-Afrika yang mengecam agresi militer
Belanda ke Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948. Perdana Menteri India J. Nehru
menggelar konverensi Asia bersama Pakistan, Sri Lanka, Nepal, Libanon, Siria, dan Irak. Dalam
konferensi ini, Nehru mendesak Pemerintah Belanda meninggalkan Indonesia.
Pengakuan negara lain bagi berdirinya suatu negara sangatlah penting. Pengakuan negara
tersebut akan menjadi jalan bagi terjadinya interaksi antarnegara. Dengan demikian, akan
memperkokoh kedaulatan negara sebagai negara yang merdeka.
e. Konstitusi
Secara hakiki konstitusi berarti perjanjian antarmasyarakat dalam bernegara, sekaligus kontrak
sosial. Pengertian Konstitusi (secara terminologi) adalah sejumlah aturan dasar dan ketentuan
hukum yang dibentuk untuk mengatur fungsi dan struktur lembaga pemerintahan termasuk
hubungan kerja sama antarnegara dan masyarakat dalam hal kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Budiardjo (2008: 171), dalam negara demokrasi konstitusional, konstitusi/UUD
berfungsi khas. Dia membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga
penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dalam perjalanan sejarah, UUD
kita yang sekarang merupakan hasil empat kali amandemen dalam kurun waktu tiga tahun
(19992002). Secara resmi, konstitusi kita bernama UUD 1945. Masyarakat sering menamakan
UUD 2002. Perubahan UUD 1945 dapat digambarkan sebagai berikut.
Undang-Undang Dasar (asli) terdiri atas tiga bagian, yaitu (1) Pembukaan, (2) Batang
Tubuh, dan (3) Penjelasan. Pembukaan terdiri atas empat alinea. Pembukaan menggambarkan
hakikat nilai-nilai hukum: Tuhan, kodrat, etis, dan filosofis. Batang Tubuh merupakan jabaran
pelaksanaan hukum dasar, yang terdiri atas enam belas bab, dan tertuang dalam tiga puluh tujuh
pasal, empat pasal Aturan Peralihan, dan dua pasal Aturan Tambahan. Bagian Penjelasan dibuat
untuk memudahkan masyarakat memahami dan mendalami isi serta hakikat Pembukaan dan
Batang Tubuh UUD agar dapat dihayati dan dilaksanakan.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang sekarang merupakan hasil
empat kali amendemen, dengan ciri antara lain:
208
209
(7) pimpinan eksekutif di pusat maupun daerah maksimal dijabat selama dua periode.
f. Tujuan Negara
Tujuan nasional suatu negara sebenarnya merupakan jabaran dari pada tujuan hidup manusia
setelah membangsa. Oleh karena itu, tujuan dimasukkan dalam konstitusi negara. Demikian juga
pada UUD kita; tujuan nasional kita ditulis dalam Pembukaan UUD dan tidak boleh diubah.
Secara singkat Pembukaan UUD berisi empat alinea, dapat dijelaskan sebagai berikut: (1)
Alinea pertama berisikan tentang Hukum Kodrat dan Hukum Etis yang telah dihayati oleh
bangsa Indonesia; 2) Alinea kedua, memuat cita-cita bangsa kita untuk merdeka; 3) Alinea
ketiga, merupakan hakikat dari Hukum Tuhan dan Hukun Etis; 4) Alinea keempat berisikan
tujuan negara dan sekaligus falsafah Pancasila dipakai untuk pedomanan berbangsa dan
bernegara. Isi Tujuan Nasional dapat ditulis secara singkat sebagai berikut: 1) melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2) untuk memajukan kesejah-
teraan umun; 3) mencerdaskan kehidupan bangsa; 4) dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
g. Bentuk Negara
Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, demikian Pasal 1 ayat 1,
UUD-1945 (asli). Artinya negara Indonesia bukan negara federasi, melainkan negara kesatuan
yang kekuasaan utamanya berada di tangan Pemerintah Pusat. NKRI dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintah daerah, yang diatur dengan UU (Pasal 18 ayat
(1) UUD NRI-1945). Pemerintah Daerah (Pemda) provinsi, kabupaten dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan perbantuan. (Pasal 18 ayat (2)
UUD NRI-1945).
210
yang merupakan kesatuan pandang bangsa tentang diri dan lingkungannya. Geopolitik Indonesia
disebut Wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara didefinisikan sebagai cara pandang dan sikap
bangsa Indonesia tentang dirinya yang bhineka, dan lingkungan geografisnya yang berwujud
negara kepulauan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Panitia LEMHANNAS, 1980: 72).
Wawasan Nusantara memiliki 4 fungsi: 1) mewujudkan serta memelihara persatuan dan
kesatuan yang serasi dan selaras dalam segenap aspek kehidupan nasional (astagatra); 2)
menumbuhkan rasa tanggung jawab atas pemanfaatan lingkungan; 3) menegakkan kekuasaan
guna melindungi kepentingan nasional; dan 4) merentang hubungan internasional dalam upaya
turut menegakkan perdamaian. Berdasarkan keempat fungsi tersebut, Wawasan Nusantara
dipakai sebagai 1) pola dasar perencanaan pembangunan nasional; 2) pola dasar pemanfaatan
lingkungan yang berhubungan erat, saling terkait, serta saling bergantung antara masyarakat dan
ruang hidupnya; 3) pola dasar implementasi konsep pertahanan keamanan untuk menjamin
segenap wilayah Indonesia; 4) dengan letak negara pada posisi silang dan sebagai negara
kepulauan terbesar, Indonesia dapat melaksanakan salah satu tujuan nasional, yaitu ikut serta
dalam upaya perdamaian dunia.
Konsep Wawasan Nusantara merupakan gambaran dunia ideal yang kita kejar dan
hendaknya diikuti oleh konsep dunia nyata yang harus diwujudkan. Dunia nyata yang harus
diwujudkan tidak lain adalah konsep geostrategi Indonesia. Konsep itu disebut Ketahanan
Nasional.
211
masalah ketahanan nasional dan menghasilkan konsep Ketahanan Nasional (Tannas). Konsep
yang dihasilkan pada tahun-tahun 1968 dan 1969 pada awalnya hanya berlaku di Indonesia.
Namun, menurut Brigjen TNI Haryomataram, konsep yang disempurnakan tahun 1972
diharapkan dapat diterapkan di negara sedang berkembang (Panitia LEMHANNAS, 1980: 85).
Ketahanan Nasional diartikan sebagai kondisi dinamik suatu bangsa yang berisi keuletan,
ketangguhan, serta kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi
segala ancaman, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung atau tidak
langsung membahayakan kelangsungan hidup negara dan bangsa Indonesia (Panitia
LEMHANNAS, 1980: 227). Dalam konsep ini, bangsa Indonesia mengutamakan pembangunan
kekuatan sosial sebagai prioritas utama dan pembangunan kekuatan fisik (keamanan) sebagai
prioritas selanjutnya.
Konsep Ketahanan Nasional disusun dengan sistematika seperti dalam salah satu konsep
Wawasan Nusantara, Astagatra, yang terdiri dari trigatra, yaitu aspek kekuatan alamiah (geografi,
kekayaan alam, dan kemampuan penduduk) dan pancagatra, yang berupa aspek kekuatan sosial
(ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan-keamanan). Kaidah konsep Ketahanan
Nasional: 1) menggunakan kerangka pikir Pancasila yang komprehensif-integral; 2) dalam
pengaturan dan penyelenggaraan negara, masalah keamanan dan kesejahteraan tidak dapat
dipisahkan satu sama lain; dan 3) ketahanan nasional merupakan integrasi dari ketahanan setiap
aspek kehidupan sosial (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan-keamanan).
212
BAB 3
IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA
213
mencapai kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, perumusan dasar negara Indonesia tersebut
mulai dibicarakan dalam persidangan pertama Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan (BPUPK)
dari tanggal 29 Mei s.d. 1 Juni 1945. Dalam sidang itu, anggota-anggota BPUPK dari berbagai
golongan itu memberikan pandangan- pandangannya, seperti pentingnya nilai-nilai ketuhanan,
persatuan, demokrasi permusyawaratan, keadilan dan kesejahteraan sosial sebagai dasar
kenegaraan. Pandangan-pandangan tersebut memberikan masukan bagi pidato Soekarno pada
tanggal 1 Juni 1945. Inti Pancasila pada pidato tersebut adalah 1) kebangsaan Indonesia; 2)
internasionalisme atau perikemanusiaan; 3) mufakat atau demokrasi; 4) kesejahteraan sosial; dan
5) ketuhanan yang berkebudayaan. Urutan kelima sila tersebut merupakan urutan sequential,
bukan urutan prioritas (Latif, 2011: 917).
Proses panjang perumusan Pancasila melalui pidato Soekarno di atas mendasari
penetapan tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari Kelahiran Pancasila karena nama Pancasila baru
dikemukakan pada waktu itu. Namun demikian, sebagai dasar negara, persetujuan kolektif
Pancasila baru didapat setelah melalui perumusan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, dan
perumusan final serta pengesahannya secara konstitusional dilaksanakan pada tanggal 18
Agustus 1945. Butir-butir Pancasila yang disahkan sebagai dasar negara adalah 1) Ketuhanan
yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan; dan 5)
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
214
Karakter adalah segi-segi kepribadian yang ditampilkan keluar dari dalam diri dan
disesuaikan dengan nilai dan norma tertentu (Allport, 1937 dalam Takwin, 2011: 117). Merujuk
pada definisi tersebut, karakter dapat dipengaruhi setidaknya oleh dua faktor, yaitu nilai dan
norma. Kedua faktor ini secara alami ada di lingkungan sosial dari individu. Secara khusus,
dalam konteks bermasyarakat dan bernegara di Indonesia, nilai yang menjadi rujukan adalah
nilai yang terkandung dalam Pancasila.
215
Nilai pertama dari Pancasila adalah ketuhanan. Nilai utama ini mengacu pada keyakinan
pada Tuhan dan hidup dengan menjalankan perintah-Nya tanpa mengganggu urusan (utamanya)
agama lain. Dalam sejarah bangsa Indonesia, pada zaman Kerajaan Majapahit dalam
menjalankan kerajaannya, Raja Hayam Wuruk memerintahkan para pejabat urusan agama agar
mengatur secara baik pelaksanaan dua agama besar secara berdampingan, yaitu agama Hindu
dan agama Buddha (Poseponegoro & Notosusanto, 1993: 232). Hal ini menjadi contoh bahwa
berabad-abad lalu di Indonesia telah dikenal pemahaman toleransi di bidang keagamaan.
Prinsip nilai kedua Pancasila adalah mengakui persamaan hak dan kewajiban, sayang
pada sesama, dan menjalin hubungan dengan bangsa lain berdasarkan sikap saling menghormati.
Cerminan tingkah laku dari nilai kedua sebagai bangsa adalah ketika mengakui bangsa-bangsa
lain yang menyatakan diri merdeka dan berdaulat sesuai dengan prosedur yang berlaku. Ketika
ada penjajahan terhadap suatu bangsa, bangsa Indonesia menolaknya. Di sisi lain, dalam
kehidupan sehari-hari, nilai ini dapat mewujud dalam keberanian untuk menyatakan suatu hal
216
yang benar di tengah situasi yang kurang selaras. Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari,
kita melihat bahwa perokok tidak mengindahkan hak dasar dari orang-orang di sekitarnya.
Nilai ketiga Pancasila berupaya untuk mengutamakan kepentingan bangsa daripada
diri/kelompok, cinta tanah air dan bangsa, dan pengembangan rasa persatuan bagi bangsa.
Berbagai bentuk tingkah laku dapat dilakukan untuk mewujudkan nilai tersebut secara konkret di
masyarakat. Contohnya, para guru yang berjuang mendidik muridnya di wilayah-wilayah
terpencil di Indonesia.
Pada nilai keempat, Pancasila mengetengahkan tema demokrasi. Pada dasarnya,
demokrasi memosisikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan penuh atas dirinya. Jauh sebelum
merdeka, bangsa Indonesia sudah mengenal pola demokrasi yang hidup di masyarakat. Misalnya,
ada mekanisme rapat desa di berbagai komunitas di pulau-pulau di Nusantara (Malaka, dalam
Latif, 2011: 387).
Upaya untuk mengejawantahkan nilai kelima dalam Pancasila sebagai bangsa Indonesia
telah diupayakan sebelumnya. Dalam keseharian, kita sering mendengar istilah gotong-royong,
yaitu sebuah aktivitas membantu pihak lain yang meminta secara santun untuk menyelesaikan
suatu tugas agar tercapai tujuan bersama (Koentjaraningrat, 1977: 6; Marzali, 2005: 159). Pada
masyarakat desa yang agraris, membangun saluran air untuk sawah pribadinya jelas bukan
sekadar pekerjaan pribadi, melainkan terkait pula dengan warga lain. Oleh karena itu, hak untuk
mendapatkan air selaras dengan kewajiban menjaga sumber dan saluran air untuk pertaniannya.
217
pertama, warga Indonesia akan menjadi bagian dari aksi yang toleran. Keadaan ini tidak dapat
dinafikan karena Indonesia secara pasti menjadi tempat perlintasan beragam kebudayaan. Mulder
(1999, dalam Kusumadewi, 2012: 135136) melihat bahwa Indonesia menjadi model yang khas
dari tumbuhnya semangat keagamaan yang bercorak kebudayaan lokal. Hal tersebut dapat
diartikan bahwa masyarakat Indonesia berkontribusi dalam memaknai agama-agama yang hadir
di Indonesia. Kontribusi ini penting bagi masyarakat dunia sehingga dapat menjadi model dari
toleransi antarumat beragama di dunia.
Nilai bagi semua individu dan kelompok adalah bagian dari pembentukan tingkah laku
yang diharapkan dalam masyarakatnya, dari tingkat individu hingga tingkat bangsa. Dalam hal
ini, bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan nilai dasar yang menjadi penentu bagi corak
kehidupan masyakatnya. Dengan demikian, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi
acuan bagi masyarakat Indonesia dalam aktivitas berbangsa dan bernegara, serta dalam
berinteraksi sebagai warga dunia.
218
BAB 4
KEWARGANEGARAAN
219
negara, yaitu ketika model monarki absolut secara berangsur-angsur digantikan dengan bentuk
negara-bangsa modern. Dalam monarki absolut rakyat biasa menjadi abdi raja, sedangkan dalam
negara modern, rakyat merupakan warga negara. Perubahan radikal itu dimungkinkan oleh
terjadinya pelembagaan prinsip-prinsip nasionalisme, demokrasi, republik, dan nilai-nilai hak
asasi manusia di negara-bangsa modern (Habermas, 1996: 185289).
Sumbangan prinsip nasionalisme adalah terciptanya kesadaran nasional dan solidaritas
rakyat yang berlandaskan faktor-faktor budaya, bahasa, sejarah, dan kesamaan keturunan. Rakyat
yang telah bersatu karena faktor-faktor tersebut semakin diperkuat oleh kesadaran nasionalnya
karena negara pun mulai melembagakan prinsip-prinsip berikut: 1) nilai HAM yang menghargai
kebebasan individu dan menjunjung kesetaraan bagi seluruh warga negara, 2) prinsip negara
republik yang mengakui otonomi politik warga negara, dan 3) prinsip demokrasi yang
mendorong partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan politik. Ketiga prinsip tersebut
memberikan pengakuan bahwa warga negara memiliki status legal yang kemudian terwujud
dalam hak-hak sipil.
Status legal yang dimiliki tiap warga negara memiliki konsekuensi terhadap pendefinisian
bangsa. Bangsa yang semula dianggap sebagai komunitas yang disatukan oleh faktor budaya,
bahasa, kesamaan nasib, dan sejarah kini mendapat pengakuan baru sebagai kesatuan warga
negara yang setara dan memiliki status legal. Dengan status legal itu, hubungan negara dan
warga negara dikonsepsikan sebagai hubungan timbal balik, yang membuat warga negara
melihat negara sebagai organisasi untuk mengejar kesejahteraan dan kebahagiaan. Status legal,
dalam wujud hak-hak sipil, merupakan seperangkat hak bagi individu untuk mencapai tujuan-
tujuan hidupnya. Pemenuhan tujuan ini merupakan bentuk tanggung jawab dan kewajiban negara
(Habermas, 1996: 285289). Sementara itu, di pihak warga negara pun terdapat kesadaran
bahwa mereka wajib berkorban untuk memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara
dan bangsa. Mereka sadar bahwa hanya dalam negara yang merdeka dan berdaulatlah kebebasan
dan otonomi politik mereka terjamin. Hubungan negara dan warga negara dalam arti kesetaraan
dan status legal itu yang kini menjadi kata kunci dalam pembahasan tentang kewarganegaraan.
Dikatakan demikian karena memasuki abad XXI, tidak ada satu negara pun yang tidak
mendefiniskan batas-batas sosialnya tanpa mengacu kepada hak-hak warga negara untuk
membatasi siapa yang menjadi warga negaranya dan siapa yang bukan.
220
221
Pada abad XVII, Belanda mulai meneguhkan kedaulatannya di Jawa dan kekuasaan raja-
raja di Jawa pun mulai melemah. Secara berangsur-angsur, Belanda memisahkan staf
administrasi kerajaan dari pengawasan raja dan kemudian mengubahnya menjadi dinas sipil.
Dengan kebijakan itu, Belanda telah membangun pemerintahan tidak langsung, yaitu
memerintah rakyat dengan perantaraan elite birokrat Jawa yang dikenal sebagai golongan
priyayi. Setelah struktur politik berubah, struktur masyarakat pun ikut berubah dengan
munculnya hubungan kolonial yang mirip dengan sistem kasta, yaitu keanggotaan dalam
masyarakat ditentukan oleh kelahiran dan stratifikasi sosial yang ditentukan oleh ras.
Diskriminasi rasial tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, hanya orang
Belanda yang dapat menduduki jabatan puncak, sementara penduduk pribumi hanya mendapat
jabatan rendahan. Dalam pergaulan sosial pun terdapat pemisahan fisik. Orang-orang Jawa
dilarang memasuki perkumpulan, lapangan olah raga, sekolah, dan permukiman orang Belanda
(Kartodirdjo, 1999: 206--211).
Hubungan kolonial tidak hanya menciptakan diskriminasi rasial, tetapi juga
melanggengkan sistem masyarakat yang bercorak feodal. Belanda tidak menghapus kekuasaan
raja-raja sama sekali sehingga keluarga raja dan kaum bangsawan masih mendapat tempat yang
tinggi dalam hierarki masyarakat. Hierarki masyarakat tradisional ini diperkuat lagi dengan
kebijakan kolonial untuk mengangkat elite administrasi atau birokrasi yang dahulu adalah abdi
raja. Kaum elite yang diangkat di tiap kabupaten kemudian melahirkan kelas tersendiri di
masyarakat, yang disebut golongan priyayi. Susuan elite priyayi adalah sebagai berikut: para
bupati berada di puncak birokrasi, disusul oleh patih, wedana, mantri, dan juru tulis. Jenjang-
jenjang jabatan tersebut kemudian digolongkan atas priyayi gedhe dan priyayi cilik. Barulah
lapisan di bawah priyayi cilik diisi mayoritas rakyat kecil yang disebut wong cilik (Kartodirdjo,
1999: 83).
Wong cilik merupakan massa terbesar yang tidak memiliki kesempatan, baik dalam
pendidikan maupun dalam politik. Pada masa kolonial terdapat empat kategori sekolah, yaitu
sekolah Eropa dengan model sekolah di negeri Belanda, sekolah bagi pribumi dengan bahasa
Belanda sebagai bahasa pengantar, sekolah pribumi dengan pengantar bahasa daerah, dan
sekolah dengan sistem pribumi. Kategori sekolah yang demikian ketat menyebabkan terbatasnya
kesempatan penduduk pribumi, khususnya wong cilik. Seseorang yang dapat diterima masuk ke
sekolah dengan sistem Belanda adalah anak dari orangtua yang termasuk elite yang memiliki
222
kedudukan tinggi dalam birokrasi kolonial. Untuk memasuki sekolah dengan pengantar bahasa
Belanda pun calon murid harus berasal dari keluarga dengan status pegawai negeri tertentu dan
dengan gaji tertentu pula (Kartodirdjo, 1999: 83).
Terbatasnya kesempatan untuk memasuki sekolah berstandar Eropa dan sekolah dengan
pengantar bahasa Belanda menyebabkan terbatas pula kesempatan kaum terpelajar pribumi
mendapat pekerjaan di birokrasi pemerintahan kolonial. Lulusan sekolah-sekolah yang berhasil
memperoleh kedudukan dalam birokrasi memiliki status terhormat di masyarakat dan mereka
hidup dengan gaya hidup priyayi. Sementara itu, mereka yang tidak memilih bekerja di birokrasi,
pada kemudian hari, banyak yang menjadi tokoh-tokoh pergerakan nasional.
Di bidang politik, pemerintah kolonial sangat autokratis dan menerapkan sentralisasi
dengan birokrasi yang sangat ketat. Pejabat-pejabat Belanda ditempatkan di tingkat keresidenan
hingga distrik. Mereka menjabat sebagai penasihat merangkap pengawas pejabat-pejabat
pribumi.
Baru pada tahun 1903, yaitu setelah diberlakukannya undang-undang desentralisasi dan
otonomi penduduk, lembaga politik berupa badan perwakilan didirikan. Dalam pelaksanaannya,
UU desentralisasi hanya mewujudkan demokratisasi dalam arti minimal karena dewan daerah
tidak mampu mencapai seluruh rakyat. Anggota-anggotanya hanya terdiri dari orang Belanda
dan elite pribumi yang terpilih karena mekanisme penunjukan dan pemilihan tidak langsung.
Dengan demikian, desentralisasi tidak mampu mendorong partisipasi politik rakyat, bahkan
organisasi atau pertemuan politik dilarang oleh pemerintah (Kartodirdjo, 1999: 43--44).
Pada tahun 1916, pemerintah kolonial memberi angin segar dengan membentuk
Volksraad atau dewan rakyat. Namun, keberadaannya tidak dapat disamakan dengan parlemen.
Volksraad hanya berfungsi sebagai penasihat yang tidak memiliki kekuasaan untuk merancang
anggaran dan membuat undang-undang. Parlemen di Belanda-lah yang sesungguhnya memegang
kekuasaan legislatif di Hindia-Belanda.
Perubahan besar terjadi pada tahun 1925, yaitu terbitnya UU Tata Pemerintahan Belanda.
Volksraad diubah menjadi badan kolegislatif dengan kekuasaan untuk mengajukan petisi
pengubahan UU serta mengundangkannya. Namun, sejauh itu, Volksraad masih juga belum
mampu mendorong demokratisasi. Sebagai contoh, komposisi keanggotaan masih didominasi
orang Belanda, sistem pemilihan dilakukan secara tidak langsung. Selain itu, hak pilih rakyat
dibatasi dengan syarat bahwa hanya mereka yang berpenghasilan sedikitnya f300 (tiga ratus
223
gulden) per tahunlah yang boleh memilih, padahal massa rakyat hanya berpenghasilan rata-rata
f40f50 per tahun.
Kebijakan pendidikan dan politik tersebut menunjukkan bahwa pemerintahan kolonial
tidak berkehendak membangun kesetaraan dan otonomi politik bagi penduduk Indonesia. Bangsa
Indonesiakhususnya masyarakat Jawasemakin terpilah-pilah, baik karena diskriminasi rasial
maupun karena sistem masyarakat yang feodalistis. Pemerintah Belanda memang telah mengatur
status penduduk Indonesia dalam Nederlandsch Onderdaan. Namun demikian, status penduduk
belum menunjukkan status kewarganegaraan yang sesungguhnya. Di tanah jajahan, tetap
dibedakan status warga negara Belanda dan status penduduk pribumi. Menurut perundang-
undangan yang berlaku (tahun 1854, 1892, 1910), di Hindia-Belanda terdapat tiga kategori
kewargaan, yaitu Belanda, pribumi (dengan status sebagai bawahan Belanda), dan bangsa Timur
Asing (Kartodirdjo, 1999: 48 dan 192).
224
negara. Yang dimaksud dengan penduduk adalah WNI dan orang asing yang tinggal di
Indonesia. Orang asing tentu tidak dapat menikmati hak dan melaksanakan kewajiban yang sama
dengan WNI. Kata penduduk disebutkan karena terkait dengan kedaulatan negara-negara lain.
15
PenjelasanUURINomor12Tahun2006tentangKewarganegaraanRepublikIndonesia.
225
16
Pasal4,8,21UUNo.12Tahun2006tentangKewarganegaraanRepublikIndonesia.
226
g. Kehormatan
Negara dapat memberikan kewarganegaraan kehormatan kepada orang-orang asing tertentu yang
telah berjasa kepada negara, namun hal itu tidak boleh mengakibatkan yang bersangkutan
memiliki kewarganegaraan ganda. Pemberian kewarganegaraan kehormatan itu dilakukan oleh
presiden setelah memperoleh pertimbangan DPR.
227
syarat bahwa ia tidak lagi mengikuti status suami/istrinya. Demikian pula dengan anak-anak
yang sebelumnya mengikuti status ayah/ibu yang berkewarganegaraan asing.17
17
Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2006, bab V, tentang Syarat dan Tata Cara
MemperolehKembaliKewarganegaraanRepublikIndonesia,Pasal31dan37.
228
atau, dengan kata lain, untuk mencegah timbulnya provinsialisme yang memberi peluang kepada
gerakan separatisme. Namun, ketetapan atas bentuk negara kesatuan juga diiringi oleh satu
ketentuan pula, yaitu bahwa pemerintah pusat tetap memperhatikan kepentingan daerah.
229
kedudukan kepala daerah sebagai penguasa tunggal dan DPRD menjadi lembaga legislatif
daerah.
Dalam UUD 1945 (sesudah amendemen), terjadi perubahan terbesar menyangkut MPR.
MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara serta pemegang dan pelaksana
kedaulatan rakyat. MPR kini berkedudukan sebagai salah satu lembaga negara yang setara
dengan DPR, DPD, BPK, MA, dan MK. MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk
menetapkan GBHN dan mengeluarkan ketetapan (TAP) MPR (kecuali untuk menetapkan wakil
presiden menjadi presiden jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya) (Budiardjo, 2008: 350).
UUD 1945 sesudah amendemen telah menetapkan pasal-pasal yang menjamin kedaulatan
rakyat dapat terwujud (lihat perubahan pasal tentang masa jabatan presiden, penetapan pemilihan
presiden secara langsung, dan desentralisasi). Namun, yang paling mendasar dalam amendemen
UUD adalah kedaulatan tersebut diwujudkan melalui pemilu, yaitu dengan memilih wakil-wakil
rakyat di DPR/DPRD, serta memilih Presiden dan kepala daerah secara langsung. Jika pejabat-
pejabat terpilih tersebut gagal mengemban amanat rakyat, UUD memberi hak kepada rakyat
(melalui MPR dan atas usul DPR) untuk memberhentikan presiden serta hak untuk tidak memilih
kembali anggota-anggota DPR/DPRD yang tidak dapat melayani rakyat.
230
menindas. Republik merupakan bentuk yang dapat mencerminkan kedaulatan rakyat ketimbang
bentuk negara lainnya, seperti monarki yang melanggengkan dinasti (kekuasaan turun-temurun).
Dalam negara republik, negara akan merumuskan kesejahteraan dan kemerdekaan rakyat dalam
berpendapat, berkumpul, dan sebagainya.
c. Prinsip Negara Hukum (lihat UUD 1945 sebelum dan sesudah amendemen, Pasal 1,
tentang Bentuk dan Kedaulatan Negara )
Prinsip ini menuntut pemerintahan agar berjalan dengan tuntunan hukum dan bukan dengan
kekuasaan. Hukum, khususnya UUD, merupakan sumber norma yang mengatur pemerintahan
maupun rakyat. Dalam UUD terkandung cita-cita bangsa, sistem pemerintahan, dan kerangka
kerja bagi pemerintah. UUD merupakan otoritas tertinggi yang di dalamnya seluruh kekuasaan
cabang-cabang pemerintahan dan pejabat-pejabat terpilih berasal dan diatur. UUD begitu penting
sehingga setiap presiden yang dilantik harus mengucapkan sumpah untuk memegang teguh UUD
dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan-peraturan dengan selurus-lurusnya (lihat
Lafal Sumpah Presiden selengkapnya dalam UUD 1945 sesudah amendemen, Pasal 9).
Semua prinsip dasar tersebut selanjutnya tercermin dalam pasal-pasal menyangkut hak
dan kewajiban warga negara, yang tidak dapat terpenuhi tanpa kehadiran institusi politik/negara.
Sebaliknya, kemerdekaan suatu negara tidak dapat dipertahankan tanpa kesadaran nasional
(nasionalisme) warga negara.
231
Dalam praktik kehidupan bernegara, UU (dapat berupa produk hukum yang berasal dari
DPR dan presiden, semua UU yang tidak terbatas sesudah Perubahan Pertama UUD 1945), dan
perppu) dapat menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak tertentu. Oleh karena itu, pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atau berpotensi dirugikan
oleh berlakunya UU tersebut dapat mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945.
Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian UU (selanjutnya disebut
pemohon) adalah 1) perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai
kepentingan yang sama; 2) kesatuan masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam UU; 3) badan hukum publik atau badan hukum privat; 4) lembaga negara (DPR, DPD,
MPR, presiden, BPK, Pemda, atau lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan UUD
1945); 5) lembaga-lembaga yang peduli terhadap masyarakat, seperti lembaga swadaya
masyarakat yang bergiat dalam perjuangan HAM, hak ekonomi masyarakat miskin, dan lain-
lain.
Dalam perkara pengujian UU, pihak yang terlibat, selain pemohon yang telah disebutkan,
juga melibatkan beberapa pihak terkait, yaitu 1) pihak yang dirugikan dengan adanya
permohonan yang diajukan oleh pemohon; 2) pemberi keterangan, yaitu pihak yang
menyampaikan keterangan dan/atau risalah rapat dalam persidangan berdasarkan permintaan dari
Mahkamah Konsitusi.
Untuk mengajukan pengujian UU terhadap UUD 1945, pemohon dan/atau kuasanya
harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi, yang selanjutnya
akan memprosesnya sesuai dengan mekanisme pengajuan permohonan pemohon dalam perkara
pengujian UU.
232
wilayah Indonesia. Perlindungan dan jaminan pemerintah atas keamanan ini diperlukan oleh
setiap orang karena ancaman terhadap penduduk bisa datang dari luar yang berupa serangan
bangsa lain, dan secara internal berupa tindakan kriminal. UUD 1945 sesudah amendemen telah
menetapkan pasal-pasal tentang HAM. Hal tersebut berarti bahwa dalam kehidupan sehari-hari,
setiap orang juga dijamin keamanannya terhadap tindakan negara yang tidak adil, misalnya
tindakan penangkapan tanpa alasan yang mencukupi. Jika terjadi kekeliruan dalam penangkapan,
penahanan, atau penuntutan, seseorang dapat meminta ganti rugi. UU tentang prosedur ini diatur
dalam KUHAP.
b. Kesetaraan
Seluruh warga negara tanpa memandang suku, agama, budaya, aliran politik, profesi dan status
sosial-ekonomi diperlakukan setara. Kesetaraan ini menempatkan setiap warga negara mendapat
pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian yang adil, dan perlakuan yang sama di hadapan
hukum (UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 95).
c. Kemerdekaan (Indepedensi)
Kata kemerdekaan kita jumpai pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945. Dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, kemerdekaan negara-bangsa merupakan prasyarat bagi kemerdekaan
tiap-tiap warga negara. Kemerdekaan di sini bermakna lebih dari kebebasan dalam pengertian
liberal karena kemerdekaan menempatkan individu sebagai persona atau pribadi yang
bermartabat di dalam negara. Itulah hakikat individu sebagai warga negara yang tidak hanya
diposisikan di hadapan lembaga-lembaga hukum dalam negara, tetapi juga memiliki hak untuk
mengajukan tuntutan terhadap negara. Bersamaan dengan itu, pengakuan terhadap hak itu juga
menuntut tanggung jawab untuk memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara.
Tanggung jawab tersebut bukanlah sebuah bentuk pemaksaan, melainkan merupakan bentuk
aktivitas bebas warga negara yang dilakukan dengan penuh kesadaran (Poole, 1999: 83).
Selain ketiga aspek praktis tersebut, jika ditinjau lebih jauh, aktivitas politik yang
dilakukan tiap warga negara sebenarnya juga merupakan sarana untuk memenuhi hak-haknya.
233
1. Hak untuk mengeluarkan pendapat dan mendapatkan informasi (Lihat Pasal 28 dan 28
F, UUD 1945 sesudah amendemen)
Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang
berpengaruh luas, seperti menaikkan harga dasar listrik (TDL), mencabut subsidi bahan bakar
minyak (BBM), dan meningkatkan pajak penjualan. Dalam menghadapi kebijakan tersebut, hak
untuk mengeluarkan pendapat dan mendapat informasi tentu harus dipergunakan untuk
mengawal pemerintah agar bertindak untuk kepentingan seluruh rakyat. Rakyat harus
mengetahui apa yang dikerjakan pemerintah, dapat menyuarakan pendapat mereka, dan bersikap
kritis jika ternyata dampak kebijakan tersebut tidak untuk kepentingan seluruh rakyat.
Hak untuk mendapatkan informasi juga berarti mengetahui hak-hak dan
menggunakannya bila diperlukan. Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari sering aparat
negara melakukan salah tangkap terhadap seseorang yang tidak bersalah. Jika warga negara
tersebut sadar akan haknya, ia dapat terhindar dari perlakuan yang tidak adil. Kemerdekaan
untuk mengeluarkan pendapat dan memperoleh informasi juga terkait erat dengan kebebasan
pers karena pemenuhan akan hak tersebut akan mengacu pada sarana-sarana untuk mengeluarkan
pendapat dalam wujud tulisan, seperti koran, majalah, buku, serta sumber-sumber informasi
modern, seperti radio, televisi, dan internet.
2. Hak berserikat
Dengan hak berserikat, rakyat dapat membentuk organisasi, mulai dari klub olahraga, asosiasi
profesi, hingga partai politik. Rakyat juga dijamin haknya untuk hadir dalam rapat umum,
kampanye, dan sebagainya.
3. Hak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya
masing-masing.
Dengan hak yang telah ditetapkan dalam Pasal 29 UUD 1945 ini, pemerintah menjamin rakyat
untuk menjalankan ajaran agama mereka. Sesuai dengan prinsip kesetaraan, pemerintah tidak
akan memperlakukan rakyat secara berbeda karena agama yang dipeluknya.
234
235
menyalahgunakan hak untuk berpendapat dan berbicara serta kebebasan pers dengan tujuan
untuk mencemarkan nama baik orang lain, menghasut, berbohong, atau membocorkan rahasia
negara yang dapat membahayakan negara. Pihak yang nama baiknya dicemarkan berhak
meminta perlindungan dari yang berwajib. Hal ini diatur dalam KUHP Pasal 310.
Menyuarakan pendapat dengan cara unjuk rasa juga diatur agar tidak mengganggu
ketertiban umum. Sebagai contoh, pengunjuk rasa wajib memberitahukan rencananya kepada
aparat negara terlebih dahulu agar unjuk rasa itu berjalan tertib dan tidak menggangu hak orang
lain, misalnya pengguna jalan raya. Kebebasan berserikat pun memiliki batasan-batasan,
misalnya kegiatan kelompok tidak akan ditoleransi jika melanggar ketertiban umum atau
menggunakan cara-cara kekerasan untuk menekan kelompok-kelompok lain.
Dari batasan-batasan terhadap kebebasan warga negara dapat dilihat bahwa hak warga
negara bukanlah tak terbatas karena hak warga negara, sebagai seorang individu, harus
berhadapan dengan hak orang lain dan hak masyarakat. Pihak negara (pemerintah) dapat
menetapkan UU atau peraturan-peraturan yang membatasi hak-hak warga negara. Hal itu
dilakukan untuk menjaga keamanan dan keselamatan warga negara, serta ketertiban masyarakat
secara umum. Dengan kesadaran bahwa orang lain dan masyarakat juga memiliki hak-hak yang
harus dipenuhi, tiap warga negara diharapkan untuk menyadari bahwa untuk memenuhi hak-
haknya secara penuh, ia pun wajib menghargai hak-hak orang lain pula.
236
b. Membela negara
Membela negara merupakan salah satu kewajiban warga negara yang penting (lihat Pasal 27 ayat
(3) UUD 1945 sesudah amendemen). Pemenuhan kewajiban ini akan memastikan keamanan
negara dan bangsa, dan dengan demikian juga keamanan warga negara.
c. Membayar pajak.
Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang penting. Penggunaannya antara lain ialah
untuk membangun fasilitas yang amat vital, seperti pembangunan jalan, gedung-gedung
pemerintah, dan berbagai fasilitas lain. Pajak juga digunakan untuk gaji aparat negara, seperti
tentara dan polisi yang bertugas untuk mempertahankan keamanan negara dan menjaga
ketertiban rakyat, serta pegawai birokrasi yang bertugas melayani rakyat.
237
d. Mengikuti pendidikan dasar atau wajib sekolah (lihat Pasal 31 ayat (2) UUD 1945
sesudah amendemen).
Sekolah merupakan sarana yang penting untuk mempersiapkan seseorang menjadi warga negara
yang baik. Melalui sekolah, seseorang mendapatkan pendidikan yang bukan hanya berupa
pengetahuan, melainkan juga keterampilan dan kemampuan dasar sebagai warga negara, seperti
kemampuan menyuarakan pendapat dalam bentuk lisan dan tulisan, serta kemampuan untuk
mencari dan memilah informasi. Di Indonesia, sejauh ini, yang diwajibkan bagi warga negara
adalah mengikuti pendidikan dasar.
e. Menghormati hak asasi orang lain (lihat Pasal 28 J, UUD 1945 sesudah amendemen).
Menghormati hak asasi orang lain merupakan syarat agar hak kita sendiri juga dihormati orang
lain. Rasa saling hormat mengarah pada terciptanya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Dalam kehidupan sehari-hari, interaksi sosial merupakan peristiwa
yang tidak dapat dihindari, misalnya di dalam keluarga, tempat kerja, dan kampus. Dalam
interaksi-interaksi tersebut tidak jarang dijumpai adanya perbedaan pendapat atau bahkan
konflik. Solusi dari konflik disebut menghormati hak asasi jika tidak melibatkan tindak
kekerasan, tidak menghasut, tidak menjarah harta milik orang lain, tidak melarang orang
beribadah menurut agama atau kepercayaannya. Selain itu, dalam hal perusahaan, pimpinan
perusahaan tidak melakukan tindakan, seperti tidak membayar gaji pegawai; dan dalam hal yang
melibatkan kaum muda, seseorang tidak menimbulkan keributan yang menggangu kenyamanan
orang lain.
Bersamaan dengan kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain, warga negara
juga memiliki tanggung jawab untuk menghormati hak-hak orang lain yang tidak sependapat
dengannya. Warga negara diharapkan mampu menghargai dan menerima pendapat orang lain
tanpa memandang latar belakang budaya, agama, aliran politik, dan sebagainya. Tingkah laku
menghormati dan menerima pendapat orang lain ini disebut toleransi. Toleransi sangat
dibutuhkan dalam negara dengan sistem demokrasi karena di alam demokrasi, tiap orang
memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat. Jika pertukaran ide tidak disertai oleh toleransi,
akan terjadi kebuntuan. Kebuntuan berpotensi terjadi di masyarakat yang memiliki latar belakang
yang beragam. Dalam konteks ini, tiap warga negara memiliki tanggung jawab untuk
menghargai pendapat orang lain.
238
Di samping menghargai keberagaman, warga negara juga wajib menghargai hak orang
lain dengan cara ikut memelihara berbagai fasilitas umum yang digunakan banyak orang. Hal
tersebut dapat dilakukan, misalnya, dengan memelihara kebersihan halte bus, tidak merusak
peralatan telepon umum, dan tidak membuang sampah sembarangan di tempat umum.
239
sila keadilan sosial dalam perumusan hak pendidikan serta pemeliharaan fakir miskin dan anak
terlantar oleh negara. Selain itu, sila pertama merupakan penjiwaan dari pasal tentang
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agama dan kepercayaannya (lihat UUD 1945 sebelum amendemen, Pasal 27, 29, 31
dan 34; lihat juga perdebatan para tokoh bangsa dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia,
1992: 206209, 222223).
Pasal-pasal tentang hak warga negara tetap tak berubah hingga terjadinya amendemen
UUD 1945. Perubahan terjadi setelah bangsa Indonesia menempuh jalan gelap pada masa Orde
Baru. Sejumlah peristiwa atau kasus yang terjadi, seperti Daerah Operasi Militer (DOM) di
Aceh, kasus Tanjung Priok, kasus Talang Sari, kasus Marsinah, kasus Semanggi I dan II, kasus
Trisakti, dan kerusuhan di Ambon dan Poso, telah menimbulkan jatuhnya banyak korban. Hal ini
menyadarkan anggota masyarakat untuk berjuang menegakkan HAM di Indonesia. Tuntutan
mereka bergaung dalam Gerakan Reformasi pada tahun 1998. Akhirnya, di bawah pemerintahan
Megawati ditetapkankanlah TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM yang kemudian
menjadi UU Nomor 39 Tahun 1999 yang di dalamnya juga ditetapkan hak perempuan dan anak.
Secara formal, perjuangan penegakan HAM mencapai puncaknya dengan masuknya pasal-pasal
khusus mengenai HAM dalam UUD 1945 sesudah amendemen. HAM melengkapi hak-hak
sosial warga negara yang sangat ditekankan dalam UUD 1945 sebelum amendemen. Secara
umum, HAM dalam UUD meliputi hak untuk hidup, hak untuk mengembangkan diri, hak untuk
memperoleh keadilan, hak untuk perlindungan diri dan bebas dari penyiksaan, serta hak untuk
memperoleh suaka politik dari negara lain. Hak-hak sosial pun semakin dijamin dengan
penegasan atas hak atau jaminan sosial (lihat pasal 28 AJ UUD 1945 sesudah amendemen).
Perubahan signifikan lainnya adalah pencantuman batasan-batasan terhadap hak warga negara.
240
4.8 Evaluasi Kritis terhadap Hubungan Timbal Balik antara Warga Negara dan Negara
Jika negara lain seperti AS memiliki piagam hak asasi yang terpisah dari UUD, Indonesia tidak
demikian. UUD 1945 (sebelum amendemen) telah mencakup hak asasi di dalamnya. Hak-hak
tersebut termuat dalam Pasal 2731, yaitu tentang hak di bidang politik, ekonomi, sosial, dan
budaya (Budiardjo, 2008: 248).
Pencantuman hak-hak tersebut memiliki latar belakang sejarah yang menarik. Penjajahan
Belanda di Indonesia telah menyebabkan para pendiri bangsa bersikap kritis terhadap paham-
paham seperti liberalisme, kapitalisme, kolonialisme, dan individualisme. Liberalisme, misalnya,
telah digunakan negara-negara Barat untuk merumuskan hak asasi. Liberalisme pula yang
mendorong adanya kompetisi bebas antarnegara sehingga timbul benih-benih kolonialisme yang
berakibat pada penjajahan, terutama di Asia dan Afrika. Liberalisme dan kapitalisme yang
dipraktikkan tanpa batas, pada masa tahun 1930-an, juga menyebabkan krisis ekonomi di negara-
negara Barat dan memicu terjadinya perang antarnegara.
241
242
Satu hal yang menarik dan patut dipelajari dari peristiwa-peristiwa tersebut adalah bahwa
ketika negara menjadi negara kekuasaan, negara (dalam hal ini pemerintah) memakai kekuasaan
untuk menafsirkan UUD demi kepentingan kekuasaan itu sendiri sehingga dalam
pelaksanaannya, rakyat menjadi pihak yang tertindas. Pada masa Orde Baru, sering kali terjadi
ketidaksamaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat tentang konsep kepentingan umum
dan keamanan nasional. Dalam tafsiran pemerintah, tidak jelas kapan kepentingan individu
berakhir dan kepentingan umum dimulai. Sebagai contoh, dalam kasus penggusuran, penduduk
diminta menyerahkan lahannya untuk pendirian fasilitas rumah sakit. Dalam kasus seperti ini,
masyarakat biasanya tidak mempersoalkannya, tetapi dalam kasus penggusuran untuk pendirian
pusat komersial, interpretasi tentang kepentingan umum dapat bertolak belakang karena dapat
dipandang sebagai pelanggaran hak asasi. Demikian pula interpretasi tentang keamanan, tidak
pernah jelas kapan keamanan terancam dan kapan unjuk rasa masih dapat ditoleransi sebagai
upaya untuk mengeluarkan pendapat. Kekuasaan menafsir kepentingan umum, keamanan
umum dan stabilitas nasional merupakan monopoli negara (Budiardjo, 2008: 251253).
Dengan demikian, negara telah menampilkan diri sebagai negara kekuasaan.
Menghadapi situasi demikian, memasuki era Reformasi, berbagai elemen masyarakat
menuntut penguatan hak asasinya. Upaya ini berhasil dengan dikeluarkannya UU RI Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pemberlakuan dan pelaksanaan UU itu merupakan
kemajuan hak-hak asasi politik, seperti hak untuk mengeluarkan pendapat, hak berserikat, dan
kebebasan pers yang kini dapat dinikmati rakyat secara bebas. Selain itu, terbitnya UU Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasaan dalam Rumah Tangga telah menguatkan hak asasi
perempuan. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan RI terdapat pasal yang
mengesahkan status anak yang terlahir dari ibu WNI dan ayah WNA. Adanya UU ini
menyebabkan status anak yang terlahir dari ibu WNI adalah mengikuti kewarganegaraan ibunya
sampai ia dapat menentukan statusnya sendiri pada usia 18 tahun. UU Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dibentuk agar perempuan dan anak
terlindungi dari tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar
hak asasi manusia.
Adapun pemenuhan hak-hak politik ternyata tidak diimbangi dengan pemenuhan hak
warga negara di bidang sosial, ekonomi, dan budaya. Saat ini, Indonesia masih terbelit oleh
masalah pengangguran, pendidikan dan kesehatan yang mahal, kemiskinan, dan korupsi.
243
244
BAB 5
INDONESIA DAN DUNIA INTERNASIONAL
245
dikendalikan dari luar. Perang panas atau perang terbuka dimulai dengan pencaplokan atau
aneksasi teritorial, kemudian pernyataan perang yang dilanjutkan dengan penggunaan satuan-
satuan angkatan perang (darat, laut, dan udara). Bahkan, perang dapat menjadi tidak terkendali
apabila tidak segera diselesaikan. Perang tidak terkendali apabila kedua pihak menggunakan
senjata nuklir, biologi, dan kimia, yang dikenal sebagai perang nubika (Eccles, 1959: 13).
Sebagian besar masyarakat masih yakin bahwa perang nubika tidak akan terjadi selama para
ilmuwan belum mampu mengendalikan fall out partikel nubika.
Untuk mengatasi eskalasi seperti itu, tiap negara biasanya menyiapkan warga negaranya
untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara maupun upaya pertahanan keamanan. Seperti
yang diketahui bersama, sejarah upaya pembelaan negara secara spontan oleh rakyat baru
dimulai pada awal Perang Dunia II ketika rakyat negara-negara Eropa barat bangkit melawan
invasi tentara Jerman. Bagi bangsa Indonesia, kedua upaya ini merupakan hak dan kewajiban.
Hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan pasal 30 ayat (1), UUD 1945. Pasal 27 ayat (3)
bertujuan untuk memperteguh upaya pembelaan negara sebagai hak dan sekaligus kewajiban
bagi setiap warga negara, bukan monopoli TNI. Sementara itu, pasal 30 ayat (1) menegaskan
kembali bahwa sistem pertahanan keamanan yang dianut negara Indonesia adalah pertahanan
keamanan rakyat semesta. Dengan demikian, seluruh komponen/elemen kekuatan bangsa ikut
terlibat. Hal itu merupakan keunikan hukum tentang hak dan kewajiban warga negara di
Indonesia.
Sejarah konflik antarmanusia, antarmasyarakat, maupun antarbangsa selalu melibatkan
masyarakat atau bangsa lain sehingga terbentuk blok-blok. Pada abad XVII, dua blok yang saling
berhadapan adalah Dinasti Bourbon di Eropa Barat dan Dinasti Habsburg di Eropa Tengah.
Rakyat tidak ikut perang, kecuali yang tergabung dalam tentara dinasti. Pasca-Perang Dunia I,
pada tahun 1920-an, dunia seolah-olah hanya terbagi atas dunia Barat (the West) dan sisanya (the
Rest), yaitu negara-negara yang dianggap tidak dipengaruhi oleh Barat (Huntington, 1998: 183).
Dalam pengertian ini, negara koloni dianggap masuk ke Blok Barat. Pada pertengahan abad XX,
pasca-Perang Dunia II (masa perang dingin), selain Blok Barat dan Blok Timur muncul pula
blok lain, yaitu negara-negara yang baru merdeka. Blok-blok baru tersebut merupakan persatuan
kebudayaan yang sejenis yang biasanya dipengaruhi ajaran agama yang disesuaikan dengan adat
setempat.
246
247
Barat (Sekutu). Kedua blok (Barat dan Timur) berupaya menarik negara-negara merdeka baru ke
dalam blok mereka masing-masing.
Berkaitan dengan hal itu, Indonesia bersama India, Pakistan, Sri Lanka, dan Myanmar
(dulu Birma) berupaya agar negara baru tidak terseret ke dalam salah satu kubu, dengan maksud
dapat meredakan ketegangan dunia. Gerakan yang dipelopori Indonesia itu mendapat respons
dari Mesir pasca-tergulingnya monarki. Kedua negara itu berhasil mengadakan Konferensi Asia
Afrika di Bandung pada tahun 1955 yang menjadi cikal-bakal Gerakan Non-Blok. Pada era
Perang Dingin 1960-an, Yugoslavia bergabung ke dalam blok baru itu yang hubungannya sedikit
merenggang dengan blok negara-negara demokrasi sosialis. Negara-negara Amerika Latin yang
sebelumnya pro-Barat, pada era tersebut bergabung dengan negara-negara Asia dan Afrika.
Negara-negara yang tergabung dalan gerakan Non-Blok dikenal sebagai negara dunia ketiga atau
negara sedang berkembang (NSB). Dalam gerakan ini, Indonesia termasuk negara pemrakasa
(Huntington, 1998: 2425).
Gerakan Non-Blok berperan penting dalam meredam konflik atau perang dingin. Namun,
sangat disayangkan bahwa pimpinan (elite politik) negara-negara pemrakasa kurang memberi
kesempatan kepada generasi yang lebih muda sehingga terkesan kurang demokratis. Sepeninggal
mereka, gerakan Non-Blok menjadi kurang efektif, apalagi setelah krisis ekonomi, sosial,
budaya, dan politik melanda negara-negara anggotanya, mengingat bahwa syarat utama gerakan
ini adalah kestabilan politik pada tiap negara peserta.
Pada era Perang Dingin tahun 1960-an juga terjadi krisis politik di Indonesia. Presiden
Soeharto sebagai kepala pemerintahan memprioritaskan pengamanan dalam negeri dan sekaligus
pembangunan ekonomi dalam negeri. Secara tidak langsung, arah politik kita cenderung ke
demokrasi liberal. Gerakan selanjutnya berupaya melakukan pemurnian ideologi Pancasila dan
UUD 1945 secara konsekuen dan merumuskan paradigma tata kehidupan nasional dengan
menyusun doktrin-doktrin dasar. Legitimasi doktrin-doktrin dasar adalah Wawasan Nusantara
sebagai geopolitik dan Ketahanan Nasional sebagai geostrategi melalui ketetapan MPR.
Implementasi kedua doktrin itu dalam politik luar negeri dimulai dengan upaya pembangunan
stabilitas politik dan ekonomi di kawasan regional. Hubungan dengan negara tetangga yang
selama itu kurang baik dibangun kembali dengan mendirikan perhimpunan negara Asia
Tenggara (Association of South East Asia Nations atau ASEAN).
248
249
250
251
mayoritas penduduk Kristen Barat yang juga dikenal sebagai negara-negara Barat modern
sekuler; 2) budaya Amerika Latin, mulai dari Mexico hingga Argentina (kecuali tiga negara
Guyana, bekas jajahan Inggris, Belanda, dan Prancis); 3) budaya Afrika, mulai dari Afrika
Tengah sampai ke Selatan; 4) budaya Islam di wilayah yang mayoritas penduduknya beragama
Islam yang mencakup Afrika Utara, sebagian Balkan, Somalia, sebagian wilayah bekas Uni
Sovyet, dan Indonesia; 5) budaya Sinik yang meliputi wilayah Cina, Vietnam, dan Korea; 6)
budaya Hindu; 7) budaya Kristen Ortodoks yang meliputi wilayah dengan mayoritas penganut
agama Kristen Ortodoks di perbatasan sebelah Timur dari Eropa Tengah hingga bekas Uni
Sovyet; 8) budaya Buddha di daerah Asia Tenggara; dan 9) budaya Jepang (Sinto) yang meliputi
Jepang, termasuk Sachalin Utara. Garis perbatasan ini saling mempengaruhi melalui budaya,
sosial, ajaran agama, etnik, dan perdagangan dan mungkin dapat mengarah ke politik kekuatan
(Huntington, 1998: 27, 28, 193).
252
pertahanan karena hal itu akan mengarah kepada perlombaan pengembangan kesenjataan. Kerja
sama regional dan internasional hendaknya merupakan implikasi doktrin geopolitik dan
geostrategi dalam dimensi internasional dan ditujukan untuk meningkatkan daya tawar untuk
menghadapi negara-negara adidaya.
Dimensi internasional doktrin ketahanan nasional dijabarkan melalui konsep ketahanan
regional. Wilayah regional diartikan sebagai daerah sekitar negara dengan penekanan pada
wilayah yang homogen atas dasar ciri geostrategis dan dapat berupa persamaan ras, budaya, dan
sumber daya. Pembentukan kesatuan negara regional diharapkan dapat meningkatkan ketahanan
nasional tiap negara anggota. Oleh karena itu, ketahanan regional sangat bergantung pada
semangat kebersamaan di antara anggota dan adaptasi sesama anggota, dengan komponen
stabilitas politik, kekuatan ekonomi, dan kesiagaan militer.
Kerja sama regional merupakan strategi untuk menghadapi negara yang lebih kuat
sehingga negara-negara anggota mempunyai posisi tawar yang lebih kuat pada era perdagangan
global. Pada kasus ini, Indonesia telah memprakarsai pembentukan Perhimpunan Negara Asia
Tenggara (Association of South East Asia Nations atau ASEAN) pada tahun 1967, yang pada
awalnya terdiri dari lima negara, yaitu Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Jumlah negara anggota ASEAN pada saat ini telah berkembang menjadi sepuluh negara, dengan
tambahan Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar (dahulu Burma), dan Vietnam.
Konsep pembentukan ASEAN merupakan konsep geostrategi berlapis. Bagi Indonesia,
ASEAN merupakan lapis pertama geostrategi, sedangkan keikutsertaan Indonesia dalam Asia-
Pasific Economic Cooperation (APEC) merupakan konsep geostrategis lapis kedua. Kerja sama
regional lapis pertama sesungguhnya merupakan posisi garis perbatasan budaya karena terbentuk
berdasarkan kesamaan budaya.
Konsep ASEAN kini banyak dikembangkan pada era globalisai dengan pembentukan
badan atau forum, seperti 1) South East Asia Association for Regional Cooperation (SAARC), 2)
South-Pacific Forum (SPF), dan 3) Gulf Countries Council. Bahkan, kini negara-negara Eropa
daratan membentuk Uni Eropa meskipun sebelumnya telah terbentuk pesatuan negara-negara
Skandinavia, yaitu Swedia, Norwegia, dan Denmark, dan persatuan negara-negara BENELUX
(Belgia, Nederlan, dan Luksemburg). Hal itu menunjukkan bahwa proksimitas geografis lebih
diutamakan untuk mempermudah kohesi dan respon bersama menghadapi perubahan global yang
tidak menentu.
253
254
KESIMPULAN
Lahirnya negara Indonesia yang merdeka berangkat dari perjalanan panjang sejarah bangsa
Indonesia. Perjalanan tersebut dimulai dari kesadaran berbangsa yang disatukan oleh
pengalaman sejarah, masa sebelum penjajahan, saat penjajahan dan proses perjuangan bangsa
mencapai kemerdekaan, sampai saat kemerdekaan Indonesia berhasil diraih.
Dalam proses bernegara, bangsa Indonesia disatukan oleh nilai dasar yaitu Pancasila dan
hukum dasarnya, UUD 1945. Nilai Pancasila merupakan kristalisasi nilai- nilai yang hidup pada
bangsa Indonesia. Nilai tersebut merupakan pandangan hidup bangsa yang menjadi fondasi nilai
dalam kehidupan sehari- hari serta menjadi pedoman dalam berinteraksi sebagai warga global.
Setiap warga Indonesia perlu menyadari kedaulatan bangsanya sendiri berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Baik Negara maupun warga negara menyadari dan melaksanakan hak
dan kewajibannya untuk mengisi kemerdekaan bangsa. Semangat perjuangan dan nilai- nilai
kebangsaan yang terus dipertahankan dan dikembangkan akan menjadi jalan untuk mencapai
tujuan sebagai bangsa yang sejahtera dan bermartabat.
255
DAFTAR KEPUSTAKAAN
256
257
Geertz, Hildred. (1981). Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Jakarta: Yayasan Ilmu-
Ilmu Sosial & FIS-UI.
Goldenberg. (2003).Keputusan Dewan Guru Besar Universitas Indonesia No.
001/SK/DGBUI/2014 tentang Kode Eti k dan Kode Perilaku Sivitas Akademika
Universitas Indonesia Depok
Goleman, Daniel. (1996). Emotional Intelligence, Why it can matter more than IQ. London:
Bloomsburry Publishing.
Gonick, L. (2006). Kartun Riwayat Peradaban. Jiid 1. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia.
Habermas, Jurgen. (1996). The European Nation State: Its Achievements and Its Limits, on the
Past and Future of Sovereignty and Citizenship, dalam Gopal Balakrishnan (ed.),
Mapping the Nation. London: Verso.
Hadinata, F., Putri, S., & Takwin, B. (2015). MPKT A Buku Ajar I Kekuatan dan Keutamaan:
Karakter, Filsafat, Logika, dan Etika. Depok: Universitas Indonesia.
Halida, R. (2009). Individu dalam Kelompok. Dalam Psikologi sosial. Penyunting: Sarlito W
Sarwono dan Eko A Meinarno. Jakarta. Salemba Humanika.
Hardi. Lasmidjah. 1984. Samudera Merah Putih 19 September 1945. Jilid 1. Jakarta: Pustaka
Jaya.
258
Janasz Suzanne C., Karen O. Dowd, dan Beth Z. Schneider. (2009). Interpersonal Skills in
Organizations. Third Edition. McGraw-Hill International Edition Co., New York. Jersey:
Pearson Prentice Hall.
Johnson David W. & Frank P. Johnson. 2006. Joining Together. Group Theory and Group Skills.
Ninth Edition. Pearson Education, Inc., Boston.
Johnson, Paul D. (1994). Teori Sosiologi: Klasik dan Modern, Jilid I dan II. (Terj. Robert
M.Z. Lawang). Jakarta : Gramedia
Kaelan, M. S. 2002. Pendidikan Pancasila Edisi Reformasi. Yogyakarta: Paradigma.
Kartodirdjo, Sartono. (1999). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional
Jilid 2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
King, Laura A. (2011). The science of Psychology. New York: MacGraw-Hill.
Kluchohn, Clyde. (1994). Terj. Mirror for Man (Cermin Bagi Manusia). Jakarta: Grafindo
Persada
Koentjaraningrat. (1977). Sistem gotong-royong dan jiwa gotong royong. Berita Antropologi.
Terbitan khusus, th. IX No. 30, Pebruari 1977.
______________. (1981). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
______________. (1985). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
______________. (1987a). Kebudayaan Nasional Indonesia, Kompas, 9 Maret 1987.
______________. (1987b). Orientasi Nilai Budaya dalam Kebudayaan Nasional Indonesia,
Kompas, 11 Maret 1987.
______________. (2000). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
______________. (2002). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
______________. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta
Kouzes J.M. dan B.Z. Posner. (1993). Credibility: How leaders Gain and Lose It. Why People
Demand It. Jossey-Bass. San Francisco.
Kroeber, A.L., and Clyde Kluckhohn. (1952). Culture: a Critical Review of Concepts and
Kroker, Arthur dan David Cook. (1988). The Postmodern Scene: Excremental Culture and
Kur, M. Leaders Everywhere! Can a Broad Spectrum of Leadership Behaviours Permeate an
Entire Organization? Leadership and Organization Development Journal 18 (1997).
Kusuma, A. B. (2004). Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
259
Kusuma, RMAB. (2010). Konsistensi Nilai Pancasila dalam Penyelenggaraan Negara. Dalam
konsistensi Nilai-nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan Implementasinya. Yogyakarta.
PSP-Press.
Kusumaatmadja, Mochtar. (2003). Konsep Hukum Negara Nusantara pada Konvensi Hukum
Laut III. Bandung: Alumni.
Kusumadewi, LR. (2012). Relasi Sosial Antarkelompok Agama di Indonesia: Integrasi atau
Disintegrasi? Dalam Sistem sosial Indonesia. Penyunting: Paulus Wirutomo. Jakarta. UI
Press.
Latif, Yuni. (2011). Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.
Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
Lauder, MRMT. (2007). Sekilas Mengenai Pemetaan Bahasa. Jakarta. Fakultas Ilmu Budaya
Indonesia-Akbar Media Eka Sarana.
Law, S. (2007). Eyewitness Companions: Philosophy. New York: DK Publishing.
Lembaga Pertahanan Nasional. (1995). Wawasan Nusantara. Jakarta: Balai PustakaLemhannas.
Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character. New York: Bantam Books.
Linley, P Alex & Joseph, Stephen (ed). (2004). Positive Psychology in Practice. Canada: John
Willey & Sons Inc.
Linton, Ralph. (1984). The Study of Man: an Introduction. Terjemahan Firmansyah. Bandung:
Jemmars.
Loebis, Ali Basja. (1979). Asas-asas Ilmu Bangsa-Bangsa. Jakarta: Erlangga.
Luce, A. A. (1958). Logic. London: The English Universities Press Ltd.
MacLean, Paul D. (1990). The Triune Brain in Evolution: Role of Paleocerebral Functions, New
York: Springer.
Mahfud MD, Moh. (2009). Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Maio, GR., Olson, JM. Relations between Values, Attitudes, and Behavioral Intentions: The
Moderating Role of Attitude Function. Journal of Experimental Social Psychology. 31,
266-285. 1995
Markum, ME., Meinarno, EA., Juneman. 2011. Hubungan Pancasila dan Identitas Nasional:
Masihkah Remaja Kita Mengingatnya? Laporan penelitian hibah riset pascasarjana
Universitas Indonesia tahun 2011.
Marzali, A. (2005). Antropologi & Pembangunan Indonesia. Jakarta. Prenada Media.
McCall, R. J. (1966). Basic Logic. New York: Barnes & Noble Inc.
260
Meinarno, EA. (2011). How Pancasila form the national identity of Indonesian people?
Proceeding International Conference of Revisited Asian Society. 21-24 Juli. Yogyakarta.
Meinarno, EA., Widianto, B., Halida, R. (2011). Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat:
Pandangan Antropologi dan Sosiologi. Jakarta. Salemba Humanika.
Meliono, Irmayanti & YP Hayon et al (2008). MPKT Buku Ajar 1, Logika, Filsafat Ilmu dan
Pancasila, Depok: PDPT Universitas Indonesia
Meliono, Irmayanti & YP.Hayon.(2010). Buku Ajar 1 Logika, Filsafat Ilmu dan Pancasila,
Depok: PDPT, UI
Mirhad, R. P., Purnomo. (1973). Geopolitik dan Geostrategi Indonesia, (diktat untuk KRA)
Jakarta: Lembaga pertahanan Nasional.
Morgenthau, Hans J. (2006) (direvisi oleh Thompson dan Clinton). Polititcs among Nations: The
Struggle for Power and Peace. New York: Mc Graw Hill.
Morreale, S.P., Osborn, M.M., & Pearson, J.C. (2000). Why Communication is Important: A
rationale for the Centrality of the Study of Communication. Journal of the Association
for Communication Administration, 29, 1--25.
Mundiri. (2015). Logika. Depok: Rajawali Press.
Mutakin, Awan, Dasim Budimansyah, & Gurniawan Kamil Pasya. (2004). Dinamika
Masyarakat Indonesia. Bandung: PT Genesindo.
Nagel, T. (1987). What Does It All Mean?: AVery Short Introduction to Philosophy. Oxford:
Oxford University Press.
Ohmae, Kenichi. (1991). The Borderless World, Power and Strategy in the Interlined Economy.
London: Fontana.
Oomen, TK. (2009). Kewarganegaraan, Kebangsaan, & Etnisitas: Mendamaikan Persaingan
Identitas. Yogyakarta. Kreasi Wacana.
261
Peterson, C. dan Seligman, M. E. P. (2004). Character Strengths and Virtues: A Handbook and
Classification. Oxford: Oxford University Press.
Poerwanto, Hari. (2008). Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif
Antropologi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Poesponegoro, MD., Notosusanto, N. (1993). Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta. Balai
Pustaka
Poole, Ross. (1999). Nation and Identity. New York: Routledge.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Rachel, C. (2016, Maret 21). Hume's Moral Philosophy. Retrieved from The Stanford
Encyclopedia of Philosophy:
http://plato.stanford.edu/archives/fall2010/entries/humemoral/
Rahyono, F.X. (2002). Representamen Kebudayaan Jawa: Teknik Komparatif Referensial
pada Teks Wedhatama. Wacana, Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya. Vol.4
No.1, Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.
Rakic, Pasko T. (1999). Medicine in the Twenty-First Century, Annals of the New York Academy
of Sciences 882.
Ramage, DE. (1995). Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance.
London. Routledge.
Ranjabar, Jacobus. (2006). Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Reicher, S., Hopkins, N. (2001). Self and Nation: Categorization, Contestation and Mobilization.
London. Sage Publication.
Rida, Z. (1988). Pembangunan Nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Mewujudkan
Masyarakat Berbudaya Pancasila. Tesis strata dua Program Studi Pengkajian Ketahanan
Nasional. Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan.
Rinjin, K. (2010). Pandangan Hidup Bangsa Indonesia dan Dasar Falsafah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dalam konsistensi Nilai-nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan
Implementasinya. Yogyakarta. PSP-Press.
Robbins, Stephens. P. (2003). Organizational Behaviour, 9th ed. San Diego State University
Prentice Hall International, Inc.
Robert, J. M. (2004). The New Peguin History of the World. London: .....
Rokeach, M. (1973). The Nature of Human Values. The Free Press. New York.
Rubin, R.B., Perse, E.M., & Barbato, C.A., (1988). Conceptualization and Measurement of
Interpersonal Communication Motives. Human Communication Research.
262
Russell, B. (1945). A History of Western Philosophy. New York: Simon and Schuster.
Saifuddin, Achmad F & Karim, Mulyawan (ed). (2011). Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta:
Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga RI, Ikatan Alumni UI dan Peberbit Forum
Kajian Antropologi Indonesia
Saifuddin, Achmad Fedyani. (2006). Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis
mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Seda, FSSE., Febriana, E., Agustin, SM., Shakuntala, RRS. (2012). Relasi Gender dalam
Masyarakat Indonesia. Dalam Sistem sosial Indonesia. Penyunting: Paulus Wirutomo.
Jakarta. UI Press.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. (1992). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Shadily, Hasan. (1983). Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Simbolon, Parakitri T. (1995). Menjadi Indonesia, Buku I: Akar-akar Kebangsaan Indonesia.
Jakarta: Kompas.
Simpson, A. (2007). Indonesia. Dalam Language & national identity in Asia. Penyunting:
Andrew Simpson. Oxford. Oxford University Press.
Soekanto, S. (1982). Sosiologi, Suatu Pengantar, Jakarta: CV Rajawali.
Soekanto, S. (1984). Beberapa Teori tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: CV. Rajawali.
__________. (1990). Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Somantri, GR. (2006). Pancasila dalam Perubahan Sosial-Politik Indonesia Modern. Dalam
restorasi Pancasila: Mendamaikan politik identitas dan modernitas. Penyunting: Irfan
Nasution dan Ronny Agustinus. Jakarta.
Sousa, David A. (2003). How the Gifted Brain Learns. California: A Sage Publication Company.
Sudiyo, (1989). Perhimpunan Indonesia Sampai dengan Lahirnya Sumpah Pemuda. Jakarta: PT.
Bina Aksara.
Sunardi, R.M. (2004). Pembinaan Ketahanan Bangsa dalam Rangka Memperkokoh Keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta: Kuaternita Adidarma.
Suparlan, P. (1981). Kebudayaan, Masyarakat, dan Agama. Majalah Ilmu-Ilmu Sastra.
Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
_________. (2005). Suku Bangsa dan Hubungan Antar Suku Bangsa. Jakarta: Yayasan
Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
Suwartono, C., Meinarno, EA. (2010). The Measurement of Pancasila: An Effort to make
Psychological Measurement from Pancasila Values. Dipaparkan dalam seminar CICP,
Yogyakarta, Juli 2010.
263
Suwartono, C., Meinarno, EA. (2011). Construct Validation of Pancasila Scale: An Empirical
Report. Proceeding International Conference of Revisited Asian Society. 21-24 Juli.
Yogyakarta.
Tajfel, H. (1974). Social Identity and Intergroup Behavior. Social Science Information. 13, 65,
pp. 65-93.
Takwin, B. (2011). Kekuatan dan Keutamaan Karakter sebagai Hasil dari Daya-daya Spiritual.
Dalam Buku ajar 1: Filsafat, logika, etika, dan kekuatan dan keutamaan karakter.
Penyunting: Bagus Takwin, Lamuddin Finoza, H Zakky Mubarak. Depok. Universitas
Indonesia.
Takwin, Bagus. (2012). Kekuatan dan Keutamaan Karakter. Buku I MPKT A. Depok:
Universitas Indonesia.
Takwin, Bagus & Saras P. (2016) Buku I MPKT A versi soft file dalam flashdisk, Depok:
Universitas Indonesia
Taylor, Jill Bolte, PhD. (2008). My stroke of insight. London: Hodder & Stoughton.
Tieger, Paul D. & Barbara Barron-Tieger. (2001). Do What You Are, third ed. Boston: Little
Brown Company.
Tim Pengajar Antropologi Budaya Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2000. Buku Ajar
Antropologi Budaya. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Tylor. E.B. (1974). Primitive Culture: Researches into the development of Myhology,
philoshopy, religion, art, and custom. New York: Gordon Press.
Warburton, N. (2011). A Little History of Philosophy. New Haven; London: Yale University
Press.
Weiten, W. et al. (2009). Psychology Applied to Modern Life. Belmont: Wadsworths Cengage
Learning.
Widagdho, Djoko. dkk. (2001). Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT Bumi Aksara
Wirutomo, P. (2012). Integrasi Sosial Masyarakat Indonesia: Teori dan Konsep. Dalam Sistem
Sosial Indonesia. penyunting: Paulus Wirutomo. UI Press. Jakarta.
Wirutomo, P. (2012). Menyongsong Masa Depan Integrasi Masyarakat Indonesia. Dalam
Sistem sosial Indonesia. penyunting: Paulus Wirutomo. Jakarta. UI Press.
Wright, Quincy. (1942). Study of War. Chicago: The University of Chicago Press.
Wuradji. (1987). Pendidikan dan Masyarakat. Sosilogi Pendidikan: sebuah Pendekatan Sosio-
Antropologis. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
264
A. Undang-undang
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum dan sesudah Amendemen I sampai
dengan IV).
_________, UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
_________, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165.
_________, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63.
_________, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasaan dalam Rumah Tangga.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95.
_________, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58.
_________, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140.
_________. Undang-Undang No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 109.
_________, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244.
B. Sumber Pustaka internet
http://kbbi.web.id/karakter
http://www.bbc.com
http://www.bps.go.id/KegiatanLain/view/id/127
http://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/character
http://www.dilihatya.com/pengertian nilai
http://www.grupppkn.com/nilai-nilai dasar Pancasila
http://www.meriamwebster.com/dictionary/character
265
Irmayanti Meliono adalah pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Latar pendidikan
adalah S1 PS Ilmu Filsafat FIB UI, S2 PS Antropologi FISIP UI, S3 dari PS Ilmu Filsafat FIB
UI dan Sandwich Program dari Erasmus University, Philosophy Departement, Belanda.
Mengajar beberapa mata kuliah seperti Kebudayaan Indonesia, Manusia dan Masyarakat
Indonesia (FIB UI); Teori Wilayah dan Humaniora, Dinamika Multikultural di Asia Tenggara
(S2 Asia Tenggara Departemen Kewilayahan FIB UI); Etika (S2 KIK- Sekolah Stratejik dan
Global UI); MPKS . Beberapa karya ilmiah pernah dibuat antara lain Buku Ajar I Filsafat,
Logika, Filsafat Ilmu (2010, PDPT UI, tim penulis), Ideologi Budaya, Fisafat Ilmu Pengetahuan
Saat ini sebagai Tim Penulis Buku Ajar MPKT A 2017-2018. Alamat korespondensi:
irma.meliono@gmail.com atau mayanti@ui.ac.id.
Fristian Hadinata di Manna, 2 Agustus 1986. Menyelesaikan pendidikan S3 Ilmu Filsafat pada
usia 28 tahun dengan disertasi yang berjudul Melampaui Fondasionalisme dan Relativisme:
Teori Kebenaran dari Perspektif Richard Rorty dengan promotor Prof. Dr. TM Soerjanto
Poespowardojo, kopromotor Prof. Dr. Alois Agus Nugroho dan Dr. Donny Gahral Adian di
Universitas Indonesia. Kegiatan sehari-hari sebagai dosen tetap yang mengajar mata kuliah
Logika (critical thinking), Filsafat Sosial dan Pragmatisme serta sebagai Ketua Program Studi
Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya-Universitas Indonesia. Terlibat dalam
penelitian-penelitian yang berfokus pada isu sosial kontemporer dengan pendekatan filosofis.
Terbuka untuk berkorespondensi di alamat email: hadinatafristian@yahoo.com atau
hadinatafristian @ui.ac.id.
Bambang Shergi Laksmono adalah dosen dan Guru Besar Kebijakan Sosial di Departemen
Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI, Ketua Program Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial
(2012 sekarang) dan Dekan FISIP UI (2008 2013). Bambang aktif dalam isu peran serta civil
society dalam era transisi politik 1998 dan selanjutnya bergelut dalam penelitian di bidang
masalah masalah masyarakat di wilayah perbatasan, masalah pembangunan di wilayah ASEAN,
kepemudaan dan kewarnegaraan. Mendirikan Papua Center FISIP UI di tahun 2012 dan sampai
kini terlibat dalam upaya upaya komunikasi lintas etnis dalam bingkai NKRI.
266
R. Ismala Dewi adalah tenaga pengajar tetap di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Program
Sarjana (S1) untuk Mata Kuliah Hukum dan Masyarakat, Manusia dan Masyarakat Indonesia,
Antropologi Budaya, Antropologi Hukum, dan Ilmu Budaya Dasar; dan di Program Pascasarjana
(S2) untuk Mata Kuliah Hukum Sumber Daya Air. Selain itu, penulis juga merupakan Tim
Pengembang MPKT A (2002 s.d. sekarang); Koordinator Pusat MPKT A UI (2007 2015);
Koordinator Fakultas MPKT A di FHUI (2004 2007); serta Dosen MPKT di lingkungan UI.
Selain di UI, beliau juga mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK/PTIK), Akademi
Ilmu Pemasyarakat (AKIP), dan Akademi Imigrasi (AIM). Latar belakang pendidikan adalah
Sarjana Hukum (S1) dari Fakultas Hukum UI, Magister Hukum (S2) dan Doktor (S3) dari
Program Pascasarjana FHUI. Selain sebagai tenaga pengajar, penulis juga berperan sebagai
anggota Senat Akademik FHUI, yang sebelumnya pernah menjabat juga sebagai Anggota Badan
penjaminan Mutu Akademik (BPMA) UI, dan Ketua Unit Penjaminan Mutu Akademik (UPMA)
FHUI. Penulis telah menulis beberapa buku dan karya ilmiah lain, aktif dalam berbagai kegiatan
yang berkaitan dengan disiplin ilmu hukum, dan aktif kegiatan pengabdian pada masyarakat.
Eko Handayani merupakan pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dari bidang studi
Psikologi Perkembangan. Pendidikan Sarjananya diselesaikan di Fakultas Psikologi UI. Ia
267
mengambil kuliah Magister Profesi Klinis Anak di Universitas yang sama. Ia merupakan dosen
aktif yang mengampu beberapa mata kuliah, diantaranya Psikologi Perkembangan Manusia,
Psikologi Keluarga, dan Metode Observasi. Khusus untuk MPKT A, ia sudah bergabung menjadi
pengajar sejak tahun 2011, dan sejak tahun 2015 dipercaya untuk menjadi koordinator pengajar
MPKT A di Fakultas Psikologi UI. Ia pernah menjadi trainer TOT Teaching Learning Skill bagi
dosen UI, trainer TOT bagi calon fasilitator Orientasi Belajar Mahasiswa (OBM) UI, dan
sebagai fasilitator dalam kegiatan Orientasi Belajar Mahasiswa (OBM) UI. Ia juga masih aktif
sebagai anggota UPMA (Unit Penjaminan Mutu Akademik) dan anggota SAF (Senat Akademik
Fakultas). Sedangkan di lingkungan UI, ia juga aktif sebagai tim auditor internal universitas dan
fasilitator dalam pelatihan PEKERTI, AA (Ancangan Aplikasi), PAPT (Pembelajaran Aktif
Perguruan Tinggi) dan EHP (Evaluasi Hasil Pembelajaran) yang merupakan rangkaian pelatihan
yang diberikan sebagai pembekalan bagi dosen di lingkungan Universitas Indonesia.
268