You are on page 1of 16

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wataala, karena berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah Penyakit Brucellosis Pada Ternak sebagai
salah satutugas mata kuliah Kesehatan Ternak yang diberikan pada semester 4. Tujuan
membuat makalah ini adalah untuk mengetahui penyakit brucellosis pada ternak.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
Makalah Kesehatan Ternak ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.

Penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang
telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin
Yaa Robbal Alamiin.

Makassar , September 2017

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Brucellosis merupakan penyakit ternak yang menjadi problem nasional baik dari segi
kesehatan masyarakat maunpun dari segi ekonomi peternakan. Peningkatan kasus brucellosis
sejalan dengan peningkatan populasi ternak di Indonesia. Selain itu, seringnya mutasi sapi
perah merupakan faktor utama penyebab meningkatnya kasus brucellosis di Indonesia. Oleh
sebab itu , penyakit brucellosis dimasukkan dalam daftar 5 penyakit menular yang menjadi
prioritas utama dalam pengendalian dan pemberantasannya secara nasional sejak tahun 1959
(Peraturan Direktur Jenderal Peternakan No. 59/KPTS/PD610/05/2007).
Brucellosis atau penyakit keluron menular merupakan salah satu penyakit hewan
menular strategis karena penularannya yang relatif cepat antar daerah dan lintas batas serta
memerlukan pengaturan lalu lintas ternak yang ketat (Ditjennak 1998). Penyakit ini
disebabkan oleh bakteri genus Brucella dan dikategorikan sebagai zoonosis serta
diklasifikasikan sebagai mikroorganisme kelompok BSL III (Biosafety level 3) (OIE 2004).
Di beberapa daerah di Indonesia kejadian brucellosis masih tinggi dengan kerugian
ekonomi yang cukup besar. Berbagai upaya dan program telah dilakukan pemerintah
Indonesia untuk pencegahan dan pengendalian penyakit ini. Namun upaya tersebut belum
menunjukan hasil yang optimal. Oleh karena itu brucellosis merupakan salah satu prioritas
nasional untuk dilakukan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit.
Brucellosis adalah penyakit menular pada hewan yang disebabkan oleh bakteri
Brucella. Brucellosis ditakuti karena bersifat zoonosis artinya dapat menular ke manusia,
menimbulkan kerugian ekonomi akibat keguguran, gangguan reproduksi dan turunnya
produksi susu pada sapi perah. Umumnya penyakit pada manusia berupa demam sehingga
dikenal juga sebagai Undulant fever, Malta fever, Gibraltar fever, atau Mediteranean fever,
dimana ketiga sebutan terakhir merupakan sebutan brucellosis yang disebabkan oleh
konsumsi susu kambing di daerah Laut Tengah.
Brucellosis dapat menyerang berbagai usia. Zoonosis ini dapat ditemukan di seluruh
dunia terutama di Negara Mediteranian, Afrika Utara dan Timur, Timur Tengah, Asia Selatan
dan Tengah, Amerika Tengah dan Selatan. Di Indonesia, penyakit brucellosis dikenal pertama
kali pada tahun 1935, ditemukan pada sapi perah di Grati, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur
dan bakteri Brucella abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Penyakit brucellosis sudah
bersifat endemis di Indonesia dan kadang-kadang muncul sebagai epidemi pada banyak
peternakan sapi perah di Jakarta, Bandung, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Brucellosis tersebar
luas di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Pulau Bali sampai
saat ini masih terbebas karena adanya larangan memasukkan sapi jenis lain, berkaitan
kebijaksanaan pemerintah untuk memurnikan sapi Bali.
Penyakit Brucellosis merupakan penyakit ternak yang menjadi problem nasional
baik untuk kesehatan masyarakat maupun persoalan ekonomi peternak.Dengan infeksi yang
tersifat pada hewan maupun manusia. Di Indonesia kecenderungan meningkatnya populasi
dan lebih seringnya mutasi sapi perah menjadi penyebab utama meningkatnya kasus
brucellosis.
Brucellosis dikategorikan sebagai penyakit zoonosis. Setiap spesies Brucella
mempunyai hewan target sebagai reservoir, yaitu Brucella abortus pada sapi, B. ovispada
domba, B. melitensis pada kambing, B. suis pada babi, B. neotomae dan B. canispada anjing.
Brucellosis pada hewan betina yang terinfeksi biasanya asimptomatik, sedangkan pada hewan
bunting dapat menyebabkan plasentitis yang berakibat terjadinya abortus pada kebuntingan
bulan ke-5 sampai ke-9.
Jika tidak terjadi abortus, kuman Brucella dapat dieksresikan ke plasenta, cairan fetus
dan leleran vagina. Kelenjar susu dan kelenjar getah bening juga dapat terinfeksi dan
mikroorganisme ini diekskresikan ke susu. Infeksi pada hewan terjadi secara persisten seumur
hidup, dimana kuman Brucella dapat ditemukan di dalam darah, urin, susu dan semen. Pada
manusia, spesies Brucella yang pathogen adalah B. melitensis, B . abortus, B. suis dan B.
canis. Tingkat morbiditas penyakit tergantung dari spesies Brucella yang menginfeksi.
Penularan brucellosis ke manusia melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi atau melalui
konsumsi makanan dan susu asal hewan penderita brucellosis.

B. Rumusan Masalah
a. Apa etiologi dari penyakit Brucellosis
b. Bagaiman prevalensi kejadain penyakit Brucellosis
c. Bagaimana patogenesa penyakit Brucellosis
d. Bagaimana gejala klinis penyakit Brucellosis
e. Bagaimana cara mendiagnosa penyakit Brucellosis
f. Apa saja dianosa banding dari Brucellosis
g. Terapi apa saja yang diberikan ketika terjangkit penyakit Brucellosis
C. Tujuan
a. Mengetahui apa etiologi dari penyakit Brucellosis
b. Mengetahui bagaiman prevalensi kejadain penyakit Brucellosis
c. Mengetahui bagaimana patogenesa penyakit Brucellosis
d. Mengetahui bagaimana gejala klinis penyakit Brucellosis
e. Mengetahui bagaimana cara mendiagnosa penyakit Brucellosis
f. Mengetahui apa saja dianosa banding dari Brucellosis
g. Mengetahui terapi apa saja yang diberikan ketika terjangkit penyakit Brucellosis
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Etiologi
Brucellosis atau dalam bahasa Jawa disebut dengan keluron merupakan penyakit pada
hewan yang disebabkan oleh bakteri Brucella sp. yang hidup dalam sel dan menimbulkan
demam. Penyakit ini dapat menular dari hewan ke manusia (zoonosis) tetapi tidak menular
dari manusia ke manusia. Brucellosis merupakan salah satu penyakit zoonosa yang tersebar di
seluruh bagian dunia dan masih bersifat endemik bagi sebagian besar negara berkembang,
termasuk di Indonesia (Doganay & Aygen 2003). Brucellosis terutama terdapat di negara-
negara Mediterania di Eropa, utara dan timur Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia
Tengah serta Amerika Tengah dan Selatan, namun sering tidak diketahui dan sering terjadi
tanpa adanya laporan. Hanya terdapat beberapa negara di dunia yang secara resmi bebas dari
penyakit, meskipun kasus masih terjadi pada orang-orang yang kembali dari negara endemik
(WHO, 2006).

Gambar 1. Brucella sp.


Brucellosis mempunyai banyak istilah diantaranya keluron, Mediteranean fever (karena
banyak ditemukan di daerah Mediteranian), undulant fever (karena suhu tubuh yang naik-
turun selama berminggu-minggu pada pasien yang tidak mendapat penanganan), Crimean
fever (muncul pertama kali saat perang Crimea tahun 1805-an di Malta), Maltese fever
(ditemukan sumber infeksinya oleh dokter berkebangsaan Malta, Temi Zammit), Bang's
Disease (diisolasi pertama kali oleh drh. Benhard Bang), Brucellosis (diketahui pertama kali
sebagai agen penyakit oleh Dr. David Bruce) (Adman, 2008).
Brucellosis merupakan penyakit yang penting pada manusia yang terutama muncul
sebagai penyakit akibat kerja, yaitu menimpa mereka yang bekerja menangani ternak yang
terinfeksi dan jaringan ternak terinfeksi, seperti petani, dokter hewan dan pekerja di tempat
pemotongan hewan, serta dapat diakibatkan karena mengonsumsi susu dan produk olahan
susu sapi, kambing atau domba yang tidak dipasteurisasi. Penyakit ini banyak menyerang
kaum pria (Chin, 2007).
Jumlah kejadian brucellosis pada manusia sebenarnya belum diketahui secara pasti, tetapi
berdasarkan laporan kejadian penyakit didaerah endemis bervariasi yaitu kurang dari 0,01
sampai lebih dari 200 kasus per 100.000 orang (Merino 1989 dalam Noor, 2006). Di
Indonesia kasus brucellosis pada manusia belum pernah dilaporkan serta kurangnya dilakukan
publikasi brucellosis sebagai zoonosis mengakibatkan sebagian besar mayarakat tidak
mengetahui jika brucellosis dapat menular ke manusia.
Hal tersebut perlu diantisipasi karena dari hasil uji serologiis yang dilakukan Balitvet
pada pekerja kandang sapi perah, kandang babi dan RPH babi di DKI Jakarta menunjukan
titer antibodi terhadap keberadaan Brucella sp. Tingginya angka prevalensi brucellosis pada
ternak di Indonesia yang mencapai 40% dan menyebar hampir di seluruh provinsi di
Indonesia memungkinkan untuk terjadinya penularan brucellosis ke manusia.

B. Prevalensi
Di Indonesia, secara serologi, brucellosis dikenal pertama kali pada tahun 1935, yang
ditemukan pada sapi perah di Grati Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur dan bakteri Brucella
abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Pada tahun 1940 brucellosis dilaporkan muncul di
Sumatera Utara dan Aceh, dikenal dengan sebutan sakit sane/radang sendi atau sakit
burut/radang testis. Brucellosis sudah bersifat endemis di Indonesia dan kadang-kadang
muncul sebagai epidemi pada banyak peternakan sapi perah di Jakarta, Bandung, Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Prevalensi antar wilayah di Indonesia sangat bervariasi tergantung
manajemen pemeliharaan. Beberapa wilayah seperti Bali, Pulau Lombok, Pulau Kalimantan,
Sumatera bagian tengah (Riau, Kepulauan Riau, Jambi dan Sumatera Barat) telah dinyatakan
bebas Brucellosis. Sedangkan bagian Sumatera lainnya sedang dalam persiapan menuju
pembebasan Brucellosis (Dirkeswan, 2004).
Menurut laporan BBVet Wates (2010) di pulau Jawa kasus Brucellosis terjadi di
kabupaten Boyolali, Klaten, Magelang, Salatiga, Surakarta dan Semarang. Untuk Indonesia
bagian timur kasus Brucellosis terjadi di Maluku dan Sulawesi Selatan (BBVet Maros 2010).
Untuk Sumatera kasus Brucellosis di temukan di Lampung 1 kasus pada tahun 2009 dan 3
kasus di Bengkulu pada tahun 2010, prevalensi < 2 % (BPPV Regional 3 2010). Kasus di
Sumatera Utara dan Aceh juga rendah dengan prevalensi < 2 % (BPPV Regional 1 2010)
dengan diterapkannya kebijakan Test and Slaughter kemungkinan pulau Sumatera bebas
Brucellosis dapat segera terwujud (Alsubaie. 2005).
Gambar 2. Peta Epidemiologi Brucellosis di Indonesia Tahun 2006

Gambar 3. Peta Epidemiologi Brucellosis di Indonesia Tahun 2010

C. Patogenesa

Pada hewan, B. abortus biasanya ditularkan melalui kontak dengan plasenta, janin, cairan
janin dan pelepasan vagina dari hewan yang terinfeksi. Hewan menular setelah melakukan
aborsi atau parturisi jangka panjang. B. abortus juga dapat ditemukan pada susu, air kencing,
air mani, kotoran dan cairan hygroma. Penumpahan pada susu bisa berlangsung lama atau
seumur hidup, dan mungkin sebentar-sebentar. Banyak ternak yang terinfeksi menjadi
pembawa kronis (Arut dkk. 2010).
Gambar 4. Penularan Brucellosis
Infeksi biasanya terjadi dengan menelan dan melalui selaput lendir, namun B. abortus
dapat ditularkan melalui kulit yang pecah. Meskipun kelenjar susu biasanya terjajah selama
infeksi, juga dapat terinfeksi melalui kontak langsung, dengan penumpahan selanjutnya dari
organisme dalam susu. Infeksi in utero juga terjadi. Transmisi sereal tampaknya tidak biasa.
Penularan oleh inseminasi buatan dilaporkan terjadi saat semen yang terkontaminasi
diendapkan di rahim tapi tidak di midcervix. B. abortus dapat menyebar pada orang-orang
fomites termasuk pakan dan air. Dalam kondisi kelembaban tinggi, suhu rendah, dan tidak ada
sinar matahari, organisme ini dapat bertahan selama beberapa bulan di air, janin, pupuk, wol,
jerami, peralatan dan pakaian yang dibatalkan. Spesies Brucella dapat menahan pengeringan,
terutama bila bahan organik ada dan dapat bertahan dalam debu dan tanah. Kelangsungan
hidup lebih lama bila suhu rendah, terutama bila berada di bawah titik beku.
Spesies lain dapat terinfeksi B. abortus setelah kontak dengan sapi yang terinfeksi atau hospes
pemeliharaan lainnya. Karnivora tampaknya tidak menjadi sumber infeksi yang signifikan
bagi hewan lain. Anjing dan coyote dapat terinfeksi dengan B. abortus, menumpahkan bakteri
dalam pelepasan reproduksi, dan dapat menginfeksi ternak jika spesies ini disimpan dalam
kurungan tertutup dalam kondisi percobaan. Namun, tidak ada kasus penularan yang
dikonfirmasi dari anjing ke ternak telah dilaporkan dalam kondisi alami, dan tidak ada bukti
epidemiologis bahwa karnivora berperan sebagai sumber infeksi ruminansia dalam program
pemberantasan abortus. Serigala yang terinfeksi secara eksperimental mengeluarkan sedikit
organisme pada tinja, dan jumlah organisme jauh lebih rendah daripada dosis infektif yang
dilaporkan untuk ternak (Arut dkk. 2010).
Manusia biasanya terinfeksi dengan menelan organisme (termasuk produk susu yang
terkontaminasi, tidak dipasteurisasi) atau oleh kontaminasi selaput lendir dan kulit yang telah
dilipat (Arut dkk. 2010).
Gambar 5. Penularan Brucellosis dari Hewan ke Manusia

D. Gejala Klinis

Pada sapi, B. abortus menyebabkan aborsi dan stillbirths. Aborsi biasanya terjadi pada
paruh kedua kebuntingan. Beberapa anak sapi lahir hidup namun lemah, dan mungkin akan
mati segera setelah lahir. Plasenta dapat dipertahankan dan metritis sekunder dapat terjadi.
Laktasi mungkin mengalami penurunan. Setelah aborsi pertama, kehamilan berikutnya
umumnya normal. Epididimitis, vesikulitis mani, orkitis atau abses testis kadang terlihat pada
sapi jantan. Infertilitas terjadi sesekali pada kedua jenis kelamin, karena metritis atau orkitis /
epididimitis. Hygromas, terutama pada sendi kaki, adalah gejala yang umum terjadi di
beberapa negara tropis. Arthritis dapat berkembang dalam beberapa infeksi jangka panjang.
Tanda sistemik biasanya tidak terjadi pada infeksi yang tidak rumit, dan kematian jarang
terjadi kecuali pada janin atau bayi baru lahir. Infeksi pada betina yang tidak bunting biasanya
asimtomatik (Arut dkk. 2010).

Gambar 6. Pedet abortus dan abnormalitas pada plasenta


Pada unta, bison, kerbau, domba bighorn dan ruminansia lainnya, gejalanya mirip dengan
ternak sapi. Herbivora lainnya bisa mengalami penyakit yang lebih serius. Moose mati dengan
cepat pada infeksi eksperimental. Dua domba bighorn jantan tanpa penyakit selain lesi testis
juga meninggal tanpa dapat dijelaskan, sehingga menimbulkan spekulasi bahwa infeksi B.
abortus kadang-kadang mematikan pada spesies ini (Alsubaie. 2005).
Infeksi simtomatik telah dilaporkan pada beberapa spesies karnivora. Abortions,
epididymitis, polyarthritis dan gejala lainnya terjadi pada beberapa anjing B. abortus. Serigala
yang terinfeksi secara eksperimental tetap asimtomatik, walaupun organisme dapat dipulihkan
dari jaringan limforetikular setidaknya selama satu tahun. Coyote dan rubah yang terinfeksi
juga dilaporkan asimtomatik (Alsubaie. 2005).
Pada kuda, B. abortus dapat menyebabkan pembengkakan bursa supraspinous atau supra-
atlantal. Kantung bursal menjadi buncit oleh exudate berwarna jernih, kental, dan
menyebabkan penebalan dan pembengkakan. Hal ini bisa pecah, menyebabkan radang
sekunder. Pada kasus kronis, ligamen terdekat dan vertebra dorsal mungkin menjadi nekrotik.
Aborsi terkait Brucella jarang terjadi pada kuda (Alsubaie. 2005).

E. Diagnosa

Berbagai metode uji telah dikembangkan untuk mendiagnosa brucellosis selain


mengamati gejala klinis yang timbul. Uji yang umum digunakan untuk deteksi brucellosis
antara lain uji Rose Bengal Test (RBT), serum agglutination test (SAT), Enzyme Link
Imunosorbent Assay (ELISA), Fluorescence polarisation assay, Complement Fixation Test
(CFT), Polimerase Chain Reaction (PCR) dan Brucella Milk Ring Test (BMRT) serta isolasi
dan identifikasi bakteri penyebab. Masing masing uji memiliki keterbatasan etrutama bila
dilakukan untuk menapis hewan secara individual (OIE 2008).
Metode uji serologis yang dianjurkan OIE untuk perdagangan internasional adalah Buffer
Brucellla Antigen Test, CFT, ELISA dan Fluorescence polarisation assay. Untuk di Indonesia
berdasarkan Kepmentan No. 828/Kpts/OT.210/10/98 Pedoman Pemberantasan Penyakit
Hewan Keluron Menular (Brucellosis) pada Ternak, untuk kepentingan pengamatan penyakit
secara serologis dilakukan melalui pengujian dengan metode RBT, MRT dan CFT serta
metode lain yang dapat ditetapkan oleh Direktur Jenderal Peternakan (Ditjennak 1998).
Isolasi B.abortus pada sapi dilakukan dengan mengirimkan cairan, membran fetus, susu,
kelenjar limfe supramamaria dalam keadaan segar dan dingin ke laboratorium (Nielsen 2002).
Pada manusia gambaran klinis dan lesi yang ditimbulkan oleh infeksi brucellosis sering
sulit dikenali, sehingga peneguhan diagnosis harus didukung dengan uji laboratorium. Isolasi
bakteri dari darah merupakan metode standar tetapi hanya efektif pada fase akut dan
memerlukan waktu yang lama (Kolman et al. 1991; Noor 2006). Dapat pula dilakukan dengan
metode PCR tetapi masih memerlukan standarisasi dan evaluasi lebih lanjut pada brucellosis
kronis. Secara serologis dapat juga digunakan ELISA dan telah digunakan secara luas serta
metode Western- Blot untuk membedakan infeksi brucellosis yang telah lama atau subklinik
(Goldbaum et al. 1993; Noor 2006).
Pada necropsy, lesi inflamasi granulomatosa dapat terjadi pada saluran reproduksi,
ambing, kelenjar getah bening supramammary, jaringan limfoid lainnya, dan kadang-kadang
di sendi dan membran sinovial. Endometritis ringan sampai berat dapat terlihat setelah aborsi.
Plasenta biasanya menebal dan edematous, dan mungkin terdapat eksudat di permukaannya.
Daerah intersotyledonary biasanya kasar, dengan penampilan basah dan penebalan fokal.
Kelenjar getah bening regional dapat diperbesar, dan kelenjar susu mungkin mengandung lesi.
Beberapa fetus akan tampak normal; yang lain autolyzed atau memiliki edema subkutan dan
cairan bernoda darah di rongga tubuh. Hati mungkin membesar dan berubah warna, dan paru-
paru mungkin menunjukkan pleuritis fibrosa dan pneumonia (Adman. 2008).
Pada sapi jantan, satu atau kedua kantung skrotum mungkin bengkak karena orchitis,
epididimitis atau abses. Tunica vaginalis mungkin menebal dan berserat, dan adhesi mungkin
ada. Hygromas dapat ditemukan di kedua jenis kelamin di lutut, hock, sudut paha, dan antara
ligamentum nuchal dan toraks primer. Lesi ini tidak pathognomonic untuk brucellosis
(Rompins. 2002).
Pada ternak yang sebelumnya tidak divaksinasi, B. abortus menyebar dengan cepat dan
badai aborsi biasa terjadi. Tingkat aborsi bervariasi dari 30% sampai 80%. Dalam kelompok
di mana organisme ini telah menjadi endemik, hanya gejala sporadis yang terjadi dan sapi
dapat membatalkan kehamilan pertama mereka. Aborsi kurang umum terjadi pada kerbau
dibandingkan sapi. Resistensi genetik terhadap brucellosis telah dilaporkan pada ternak dan
kerbau. Kematian jarang terjadi pada hewan dewasa dari sebagian besar spesies. Namun, B.
abortus bisa mematikan pada rusa yang terinfeksi dengan eksperimen, dan mungkin juga pada
domba bighorn (Adman. 2008).

Tes laboratorium

Pemeriksaan mikroskopik terhadap noda yang diwarnai dengan modifikasi Stamp dari
metode Ziehl-Neelsen dapat berguna untuk dugaan diagnosis, terutama jika pemeriksaan
langsung didukung oleh serologi. Spesies Brucella tidak benar-benar asam-cepat, tapi tahan
terhadap dekolorisasi oleh asam lemah, dan noda merah terhadap latar belakang biru.
Brucella adalah coccobacilli atau batang pendek, biasanya diatur sendiri tapi terkadang
berpasangan atau kelompok kecil. Tes ini tidak pasti. Organisme lain seperti Chlamydophila
abortus dan Coxiella burnetii dapat menyerupai Brucella. Imunostaining kadang-kadang
digunakan untuk mengidentifikasi Brucella dalam smear (Chin. 2007.)
Serologi dapat digunakan untuk diagnosis dugaan brucellosis, atau untuk menyaring
kawanan. Tes serologis yang digunakan untuk menguji sapi dan kawanan individu mencakup
tes antigen Brucella yang disangga (uji bengal mawar dan uji aglutinasi piring buffer), fiksasi
komplemen, tes imunosorben enzyme-linked enzyme atau ELISA yang tidak langsung atau
kompetitif atau uji polarisasi fluoresensi. Uji serologis lainnya meliputi presipitasi rivanol,
prosedur antigen yang diasamkan dan uji aglutinasi serum (uji tabung atau mikrotiter). Tes
tambahan seperti fiksasi pelengkap atau presipitasi rivanol sering digunakan untuk
mengklarifikasi hasil tes aglutinasi piring atau kartu (Alsubaie. 2005).
ELISA atau tes cincin susu Brucella (BRT) dapat digunakan untuk menyaring kawanan
dengan mendeteksi antibodi dalam susu. Pada ternak yang divaksinasi, tes pengendapan
gelang hapten berbasis hapten (tes difusi gel atau radial immunodiffusion) kadang-kadang
digunakan untuk membedakan vaksinasi dari infeksi (Chin. 2007).
Tes kulit alergi brucellin dapat digunakan untuk menguji sapi yang tidak divaksinasi
untuk B. abortus. Tes ini dilakukan dengan menyuntikkan alergen intradermally ke lipatan
kaudal, kulit sisi, atau sisi leher (Rompins. 2002).
Diagnosis pasti dapat dilakukan jika B. abortus dikultur dari hewan. Brucella spp.
dapat diisolasi pada berbagai media biasa, atau media selektif seperti media modifikasi
Farrell atau media Thayer-Martin. Teknik pengayaan juga bisa digunakan. Koloni brucella
biasanya terlihat setelah dua hari tumbuh. Setelah empat hari diinkubasi, koloni bulat dan
sekitar 1-2 mm dengan margin halus. Saat piring dilihat di siang hari melalui media
transparan, koloni tembus pandang dan warna madu pucat. Dari atas, mereka cembung dan
putih mutiara. Kultur Brucella yang halus dapat terdisosiasi dengan bentuk kasar (R). Koloni
ini jauh lebih tidak transparan dan menjadi lebih terperinci dan membosankan. Dalam
pewarnaan kristal violet, koloni kasar berwarna merah dan koloni halus berwarna kuning
pucat. B. abortus dapat diidentifikasi pada spesies dan tingkat biovar dengan pengetikan fag
dan karakteristik budaya, biokimia dan serologis. Teknik genetik juga bisa digunakan untuk
biotyping (Adman L. 2008)
Strain vaksin (strain B. abortus S19 dan RB51) dapat dibedakan dari strain medan
dengan karakteristik pertumbuhan dan sensitivitas terhadap antibiotik dan zat aditif lainnya.
Inokulasi hewan jarang digunakan untuk mengisolasi B. abortus, namun mungkin diperlukan
jika teknik lain gagal. Babi atau tikus Guinea bisa digunakan.
Teknik analisis rantai polimer (PCR) dan teknik genetika lainnya (polimorfisme fragmen
panjang fragmen atau blotting Selatan) tersedia di beberapa laboratorium.
Tes serupa digunakan untuk mendiagnosis infeksi B. abortus pada spesies selain sapi, namun
setiap tes harus divalidasi pada spesies tersebut (Chin. 2007).
F. Diagnosa Banding

Diagnosa banding dari penyakit ini didasarkan pada kesamaan gejala yang ditimbulkan
dari beberapa penyakit lainnya seperti Penyakit lain yang menyebabkan aborsi atau
epididimitis dan orkitis harus dipertimbangkan. Pada sapi, diagnosis bandingnya meliputi
trikomoniasis, vibriosis, leptospirosis, listeriosis, rhinotracheitis sapi infeksius dan berbagai
mikosis (Adman. 2008).

G. Terapi

Pencegahan brucellosis pada manusia dapat dilakukan dengan penanggulangan dan


kontrol penyakit pada hewan sebagai hospes, mengurangi kontak langsung dengan hewan
terinfeksi, memasak susu dan produk asal ternak sebelum dikonsumsi (Corbel 1997). Bakteri
ini sangat sensitif terhadap desinfektan (larutan hipoklorite, etanol 70 %, isopropanol, fenolik,
formaldehide, glutaraldehide dan xylene), mudah mati pada pemanasan basah (suhu 1210C
selama 15 menit) dan pemanasan kering (suhu 160 - 170 0C) selama satu jam (Brucellosis
Fact Sheet 2003).
Apabila ada ternak yang didiagnosis brucellosis harus segera dipisahkan dan jika ada
kejadian abortus, fetus dan membran fetus harus segera dikirim ke Laboratorium. Tempat
terjadinya abortus harus didisinfeksi dan semua material yang terkontaminasi harus dibakar
atau dipendam dalam tanah (Noor 2006).
Tindakan pengendalian brucellosis pada ternak merupakan kombinasi dari manajemen
peternakan, program vaksinasi dan test and slaughter. Pemilihan metode harus berdasarkan
studi epidemiologi penyakit. Berdasarkan Pedoman pemberantasan penyakit hewan keluron
menular (Brucellosis) pada ternak, pemberantasan brucellosis meliputi tindakan : pengamatan,
pengawasan, vaksinasi, pengujian dan test and slaughter (Ditjennak 2000).
Untuk daerah dengan prevalensi < 2 % dilakukan kebijakan test and slaughter.
Sedangkan pada daerah 2 % dilakukan vaksinasi menggunakan vaksin B. abortus strain 19
atau RB 51 selama 5 tahun berturut turut sampai diperoleh prevalensi < 2 % dengan unit
sasaran vaksinasi jika > 50 % kecamatan telah tertular maka seluruh kabupaten atau pulau
bersangkutan harus divaksinasi. Apabila < 50 % dan pengawasan lalu lintas ternak dapat
dikendalikan maka vaksinasi hanya dilakukan di kecamatan yang tertular berat pada
kecamatan tertular ringan dilakukan test and slaughter (Ditjennak, 1998).
BAB II
PENUTUP

Kesimpulan

Brucellosis merupakan penyakit yang dapat menular pada manusia. Penyakit ini
disebabkan berbagai genus Brucella sp. Penyakit ini menyebabkan keguguran pada ternak dan
demam pada manusia. Penularan utama pada manusia terjadi karena kontak langsung dengan
hewan pembawa dan mengkonsumsi susu dan daging dari hewan tercemar yang tidak
dimasak sempurna.

Saran

Pencegahan brucellosis secara sederhana dapat dilakukan mulai dari diri sendiri
melalui peningkatan higiene dan sanitasi personal dan memasak produk pangan asal hewan
dengan benar. Peran serta pemerintah perlu ditingkatkan dengan melakukan penyuluhan,
vaksinasi dan pengendalian lalu lintas ternak antar daerah.
DAFTAR PUSTAKA

Acha PN dan Boris S. 2003. Zoonoses and Communicable Disease Common to Man and
Animals Volume 1: Bacterioses and Mycoses. Ed ke-3. Washington: Pan America.

Adman L. 2008. Brucellosis pada sapi. http://www.m2techmicro.com. [2 Oktober 2010].

Alsubaie S, Maha A, Mohammed A, Hanan B, Essam A, Sulaiman A, Badria A, Ziad A M.


2005. Acute brucellosis in Saudi families: Relationship between brucella serology
and clinical symptoms. Int Journal Infec Dis 9 : 218-224. Amato GAJ. 1995. The
return of brucellosis. Maltese Med. J. 7:7 - 8.
Arut AF, K Maghfiroh, D Saputra, T Ariyanti, R Octaviani, N Rahma, GN Afrilia. 2010.
Booklet Beberapa Penyakit Zoonosa: Brucellosis. Fakultas Kedokteran Hewan.
Institut Pertanian Bogor.
[BBVet Wates] Balai Besar Veteriner Wates. 2010. Laporan Tahunan 2010. Yogyakarta :
BBVet Wates.
[BBVet Maros] Balai Besar Veteriner Maros. 2010. Laporan Tahunan 2010. Maros : BBVet
Maros.
[BPPV Regional I] Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional I. 2010. Laporan
Tahunan 2010. Medan : BPPV Regional I.
[BPPV Regional III] Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional III. 2010. Laporan
Tahunan 2010. Bandar Lampung : BPPV Regional III.
Brucellosis Fact Sheet. 2003. Brucellosis. Center for Food Security and Public Health. pp 1-7.
Canning PC, JA Roth, BL Deyoe. 1986. Release of 5-guanosine monophosphate and adenin
by Brucella abortus and their role in the intracellular survival of the bacteria. J .
Infect. Dis . 154 : 467 - 470.
Chin J. 2007. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Ed ke-17. I Nyoman Kandun:
penerjemah; Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari Control of Communicable Diseases
Manual.
Crawford RP, JD Huber, BS Adams. 1990. Epidemiology and surveillance. In: Animal
Brucellosis. Nielsen KH and JR Duncan (Eds.). Boca Raton (FL): CRC Press. pp.
131 151. Corbel MJ 1997. Brucellosis : An overview. Emerg. Infect Dis. 3 : 213
221.
[Dirkeswan] Direktorat Kesehatan Hewan. 2004. Paper : Kebijakan Pemerintah dalam
Pemberantasan Brucellosis di Indonesia. Disampaikan pada pertemuan evaluasi
pemberantasan brucellosis dan pengawasan lalu lintas ternak. Jakarta.
Ditjennak Deptan. Doganay M, B Aygen. 2003. Brucellosis in Human: an overview.
International journal of Infectious Disease 7:3.
Mantur BG, Mallanna SM, Laxman H B, Aravind SA, Nitin VT. 2008. Bacteremia is as
unpredictable as clinical manifestations in human brucellosis. Int J Infec Dis 12 :
303-307.
Noor SM. 2006. Brucellosis : Penyakit Zoonosis yang belum banyak dikenal di Indonesia.
Wartazoa 16 : 31-39. [OIE]Office International et epizootics. 2004. Teresterial
Animal Health Code. OIE Pappas G, Javier S, Nikolaos A, Epameinondas T. 2005.
New approaches to the antibiotic treatment of brucellosis. Int J Antimicrob Agents
26 : 101105.
Rompins L. 2002. Pendekatan epidemiologik pengendalian brucellosis untuk meningkatkan
populasi sapi di Indonesia. Media Peternakan 8 : 89-93.
Sulaiman I, B Poermadjaya. 2004. Paper: Uji Lapang Keamanan Vaksin Brucella abortus
strain RB51 pada Sapi Perah di Kecamatan Cisarua, Bogor. Pertemuan Evaluasi
Pemberantasan Brucellosis dan Pengawasan Lalulintas Ternak dan Daging Propinsi
DKI Jakarta di Cianjur.
Todar K. 2008. Textbook of Bacteriology. http://www.textbookofbacteriology.net [12 April
2010].
[WHO] World Health Organization. 2006. Brucellosis in Humans and Animals. WHO
Library Cataloguing-in-Publication Data. WHO Press.

You might also like