Professional Documents
Culture Documents
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wataala, karena berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah Penyakit Brucellosis Pada Ternak sebagai
salah satutugas mata kuliah Kesehatan Ternak yang diberikan pada semester 4. Tujuan
membuat makalah ini adalah untuk mengetahui penyakit brucellosis pada ternak.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
Makalah Kesehatan Ternak ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.
Penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang
telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin
Yaa Robbal Alamiin.
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Brucellosis merupakan penyakit ternak yang menjadi problem nasional baik dari segi
kesehatan masyarakat maunpun dari segi ekonomi peternakan. Peningkatan kasus brucellosis
sejalan dengan peningkatan populasi ternak di Indonesia. Selain itu, seringnya mutasi sapi
perah merupakan faktor utama penyebab meningkatnya kasus brucellosis di Indonesia. Oleh
sebab itu , penyakit brucellosis dimasukkan dalam daftar 5 penyakit menular yang menjadi
prioritas utama dalam pengendalian dan pemberantasannya secara nasional sejak tahun 1959
(Peraturan Direktur Jenderal Peternakan No. 59/KPTS/PD610/05/2007).
Brucellosis atau penyakit keluron menular merupakan salah satu penyakit hewan
menular strategis karena penularannya yang relatif cepat antar daerah dan lintas batas serta
memerlukan pengaturan lalu lintas ternak yang ketat (Ditjennak 1998). Penyakit ini
disebabkan oleh bakteri genus Brucella dan dikategorikan sebagai zoonosis serta
diklasifikasikan sebagai mikroorganisme kelompok BSL III (Biosafety level 3) (OIE 2004).
Di beberapa daerah di Indonesia kejadian brucellosis masih tinggi dengan kerugian
ekonomi yang cukup besar. Berbagai upaya dan program telah dilakukan pemerintah
Indonesia untuk pencegahan dan pengendalian penyakit ini. Namun upaya tersebut belum
menunjukan hasil yang optimal. Oleh karena itu brucellosis merupakan salah satu prioritas
nasional untuk dilakukan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit.
Brucellosis adalah penyakit menular pada hewan yang disebabkan oleh bakteri
Brucella. Brucellosis ditakuti karena bersifat zoonosis artinya dapat menular ke manusia,
menimbulkan kerugian ekonomi akibat keguguran, gangguan reproduksi dan turunnya
produksi susu pada sapi perah. Umumnya penyakit pada manusia berupa demam sehingga
dikenal juga sebagai Undulant fever, Malta fever, Gibraltar fever, atau Mediteranean fever,
dimana ketiga sebutan terakhir merupakan sebutan brucellosis yang disebabkan oleh
konsumsi susu kambing di daerah Laut Tengah.
Brucellosis dapat menyerang berbagai usia. Zoonosis ini dapat ditemukan di seluruh
dunia terutama di Negara Mediteranian, Afrika Utara dan Timur, Timur Tengah, Asia Selatan
dan Tengah, Amerika Tengah dan Selatan. Di Indonesia, penyakit brucellosis dikenal pertama
kali pada tahun 1935, ditemukan pada sapi perah di Grati, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur
dan bakteri Brucella abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Penyakit brucellosis sudah
bersifat endemis di Indonesia dan kadang-kadang muncul sebagai epidemi pada banyak
peternakan sapi perah di Jakarta, Bandung, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Brucellosis tersebar
luas di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Pulau Bali sampai
saat ini masih terbebas karena adanya larangan memasukkan sapi jenis lain, berkaitan
kebijaksanaan pemerintah untuk memurnikan sapi Bali.
Penyakit Brucellosis merupakan penyakit ternak yang menjadi problem nasional
baik untuk kesehatan masyarakat maupun persoalan ekonomi peternak.Dengan infeksi yang
tersifat pada hewan maupun manusia. Di Indonesia kecenderungan meningkatnya populasi
dan lebih seringnya mutasi sapi perah menjadi penyebab utama meningkatnya kasus
brucellosis.
Brucellosis dikategorikan sebagai penyakit zoonosis. Setiap spesies Brucella
mempunyai hewan target sebagai reservoir, yaitu Brucella abortus pada sapi, B. ovispada
domba, B. melitensis pada kambing, B. suis pada babi, B. neotomae dan B. canispada anjing.
Brucellosis pada hewan betina yang terinfeksi biasanya asimptomatik, sedangkan pada hewan
bunting dapat menyebabkan plasentitis yang berakibat terjadinya abortus pada kebuntingan
bulan ke-5 sampai ke-9.
Jika tidak terjadi abortus, kuman Brucella dapat dieksresikan ke plasenta, cairan fetus
dan leleran vagina. Kelenjar susu dan kelenjar getah bening juga dapat terinfeksi dan
mikroorganisme ini diekskresikan ke susu. Infeksi pada hewan terjadi secara persisten seumur
hidup, dimana kuman Brucella dapat ditemukan di dalam darah, urin, susu dan semen. Pada
manusia, spesies Brucella yang pathogen adalah B. melitensis, B . abortus, B. suis dan B.
canis. Tingkat morbiditas penyakit tergantung dari spesies Brucella yang menginfeksi.
Penularan brucellosis ke manusia melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi atau melalui
konsumsi makanan dan susu asal hewan penderita brucellosis.
B. Rumusan Masalah
a. Apa etiologi dari penyakit Brucellosis
b. Bagaiman prevalensi kejadain penyakit Brucellosis
c. Bagaimana patogenesa penyakit Brucellosis
d. Bagaimana gejala klinis penyakit Brucellosis
e. Bagaimana cara mendiagnosa penyakit Brucellosis
f. Apa saja dianosa banding dari Brucellosis
g. Terapi apa saja yang diberikan ketika terjangkit penyakit Brucellosis
C. Tujuan
a. Mengetahui apa etiologi dari penyakit Brucellosis
b. Mengetahui bagaiman prevalensi kejadain penyakit Brucellosis
c. Mengetahui bagaimana patogenesa penyakit Brucellosis
d. Mengetahui bagaimana gejala klinis penyakit Brucellosis
e. Mengetahui bagaimana cara mendiagnosa penyakit Brucellosis
f. Mengetahui apa saja dianosa banding dari Brucellosis
g. Mengetahui terapi apa saja yang diberikan ketika terjangkit penyakit Brucellosis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Etiologi
Brucellosis atau dalam bahasa Jawa disebut dengan keluron merupakan penyakit pada
hewan yang disebabkan oleh bakteri Brucella sp. yang hidup dalam sel dan menimbulkan
demam. Penyakit ini dapat menular dari hewan ke manusia (zoonosis) tetapi tidak menular
dari manusia ke manusia. Brucellosis merupakan salah satu penyakit zoonosa yang tersebar di
seluruh bagian dunia dan masih bersifat endemik bagi sebagian besar negara berkembang,
termasuk di Indonesia (Doganay & Aygen 2003). Brucellosis terutama terdapat di negara-
negara Mediterania di Eropa, utara dan timur Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia
Tengah serta Amerika Tengah dan Selatan, namun sering tidak diketahui dan sering terjadi
tanpa adanya laporan. Hanya terdapat beberapa negara di dunia yang secara resmi bebas dari
penyakit, meskipun kasus masih terjadi pada orang-orang yang kembali dari negara endemik
(WHO, 2006).
B. Prevalensi
Di Indonesia, secara serologi, brucellosis dikenal pertama kali pada tahun 1935, yang
ditemukan pada sapi perah di Grati Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur dan bakteri Brucella
abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Pada tahun 1940 brucellosis dilaporkan muncul di
Sumatera Utara dan Aceh, dikenal dengan sebutan sakit sane/radang sendi atau sakit
burut/radang testis. Brucellosis sudah bersifat endemis di Indonesia dan kadang-kadang
muncul sebagai epidemi pada banyak peternakan sapi perah di Jakarta, Bandung, Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Prevalensi antar wilayah di Indonesia sangat bervariasi tergantung
manajemen pemeliharaan. Beberapa wilayah seperti Bali, Pulau Lombok, Pulau Kalimantan,
Sumatera bagian tengah (Riau, Kepulauan Riau, Jambi dan Sumatera Barat) telah dinyatakan
bebas Brucellosis. Sedangkan bagian Sumatera lainnya sedang dalam persiapan menuju
pembebasan Brucellosis (Dirkeswan, 2004).
Menurut laporan BBVet Wates (2010) di pulau Jawa kasus Brucellosis terjadi di
kabupaten Boyolali, Klaten, Magelang, Salatiga, Surakarta dan Semarang. Untuk Indonesia
bagian timur kasus Brucellosis terjadi di Maluku dan Sulawesi Selatan (BBVet Maros 2010).
Untuk Sumatera kasus Brucellosis di temukan di Lampung 1 kasus pada tahun 2009 dan 3
kasus di Bengkulu pada tahun 2010, prevalensi < 2 % (BPPV Regional 3 2010). Kasus di
Sumatera Utara dan Aceh juga rendah dengan prevalensi < 2 % (BPPV Regional 1 2010)
dengan diterapkannya kebijakan Test and Slaughter kemungkinan pulau Sumatera bebas
Brucellosis dapat segera terwujud (Alsubaie. 2005).
Gambar 2. Peta Epidemiologi Brucellosis di Indonesia Tahun 2006
C. Patogenesa
Pada hewan, B. abortus biasanya ditularkan melalui kontak dengan plasenta, janin, cairan
janin dan pelepasan vagina dari hewan yang terinfeksi. Hewan menular setelah melakukan
aborsi atau parturisi jangka panjang. B. abortus juga dapat ditemukan pada susu, air kencing,
air mani, kotoran dan cairan hygroma. Penumpahan pada susu bisa berlangsung lama atau
seumur hidup, dan mungkin sebentar-sebentar. Banyak ternak yang terinfeksi menjadi
pembawa kronis (Arut dkk. 2010).
Gambar 4. Penularan Brucellosis
Infeksi biasanya terjadi dengan menelan dan melalui selaput lendir, namun B. abortus
dapat ditularkan melalui kulit yang pecah. Meskipun kelenjar susu biasanya terjajah selama
infeksi, juga dapat terinfeksi melalui kontak langsung, dengan penumpahan selanjutnya dari
organisme dalam susu. Infeksi in utero juga terjadi. Transmisi sereal tampaknya tidak biasa.
Penularan oleh inseminasi buatan dilaporkan terjadi saat semen yang terkontaminasi
diendapkan di rahim tapi tidak di midcervix. B. abortus dapat menyebar pada orang-orang
fomites termasuk pakan dan air. Dalam kondisi kelembaban tinggi, suhu rendah, dan tidak ada
sinar matahari, organisme ini dapat bertahan selama beberapa bulan di air, janin, pupuk, wol,
jerami, peralatan dan pakaian yang dibatalkan. Spesies Brucella dapat menahan pengeringan,
terutama bila bahan organik ada dan dapat bertahan dalam debu dan tanah. Kelangsungan
hidup lebih lama bila suhu rendah, terutama bila berada di bawah titik beku.
Spesies lain dapat terinfeksi B. abortus setelah kontak dengan sapi yang terinfeksi atau hospes
pemeliharaan lainnya. Karnivora tampaknya tidak menjadi sumber infeksi yang signifikan
bagi hewan lain. Anjing dan coyote dapat terinfeksi dengan B. abortus, menumpahkan bakteri
dalam pelepasan reproduksi, dan dapat menginfeksi ternak jika spesies ini disimpan dalam
kurungan tertutup dalam kondisi percobaan. Namun, tidak ada kasus penularan yang
dikonfirmasi dari anjing ke ternak telah dilaporkan dalam kondisi alami, dan tidak ada bukti
epidemiologis bahwa karnivora berperan sebagai sumber infeksi ruminansia dalam program
pemberantasan abortus. Serigala yang terinfeksi secara eksperimental mengeluarkan sedikit
organisme pada tinja, dan jumlah organisme jauh lebih rendah daripada dosis infektif yang
dilaporkan untuk ternak (Arut dkk. 2010).
Manusia biasanya terinfeksi dengan menelan organisme (termasuk produk susu yang
terkontaminasi, tidak dipasteurisasi) atau oleh kontaminasi selaput lendir dan kulit yang telah
dilipat (Arut dkk. 2010).
Gambar 5. Penularan Brucellosis dari Hewan ke Manusia
D. Gejala Klinis
Pada sapi, B. abortus menyebabkan aborsi dan stillbirths. Aborsi biasanya terjadi pada
paruh kedua kebuntingan. Beberapa anak sapi lahir hidup namun lemah, dan mungkin akan
mati segera setelah lahir. Plasenta dapat dipertahankan dan metritis sekunder dapat terjadi.
Laktasi mungkin mengalami penurunan. Setelah aborsi pertama, kehamilan berikutnya
umumnya normal. Epididimitis, vesikulitis mani, orkitis atau abses testis kadang terlihat pada
sapi jantan. Infertilitas terjadi sesekali pada kedua jenis kelamin, karena metritis atau orkitis /
epididimitis. Hygromas, terutama pada sendi kaki, adalah gejala yang umum terjadi di
beberapa negara tropis. Arthritis dapat berkembang dalam beberapa infeksi jangka panjang.
Tanda sistemik biasanya tidak terjadi pada infeksi yang tidak rumit, dan kematian jarang
terjadi kecuali pada janin atau bayi baru lahir. Infeksi pada betina yang tidak bunting biasanya
asimtomatik (Arut dkk. 2010).
E. Diagnosa
Tes laboratorium
Pemeriksaan mikroskopik terhadap noda yang diwarnai dengan modifikasi Stamp dari
metode Ziehl-Neelsen dapat berguna untuk dugaan diagnosis, terutama jika pemeriksaan
langsung didukung oleh serologi. Spesies Brucella tidak benar-benar asam-cepat, tapi tahan
terhadap dekolorisasi oleh asam lemah, dan noda merah terhadap latar belakang biru.
Brucella adalah coccobacilli atau batang pendek, biasanya diatur sendiri tapi terkadang
berpasangan atau kelompok kecil. Tes ini tidak pasti. Organisme lain seperti Chlamydophila
abortus dan Coxiella burnetii dapat menyerupai Brucella. Imunostaining kadang-kadang
digunakan untuk mengidentifikasi Brucella dalam smear (Chin. 2007.)
Serologi dapat digunakan untuk diagnosis dugaan brucellosis, atau untuk menyaring
kawanan. Tes serologis yang digunakan untuk menguji sapi dan kawanan individu mencakup
tes antigen Brucella yang disangga (uji bengal mawar dan uji aglutinasi piring buffer), fiksasi
komplemen, tes imunosorben enzyme-linked enzyme atau ELISA yang tidak langsung atau
kompetitif atau uji polarisasi fluoresensi. Uji serologis lainnya meliputi presipitasi rivanol,
prosedur antigen yang diasamkan dan uji aglutinasi serum (uji tabung atau mikrotiter). Tes
tambahan seperti fiksasi pelengkap atau presipitasi rivanol sering digunakan untuk
mengklarifikasi hasil tes aglutinasi piring atau kartu (Alsubaie. 2005).
ELISA atau tes cincin susu Brucella (BRT) dapat digunakan untuk menyaring kawanan
dengan mendeteksi antibodi dalam susu. Pada ternak yang divaksinasi, tes pengendapan
gelang hapten berbasis hapten (tes difusi gel atau radial immunodiffusion) kadang-kadang
digunakan untuk membedakan vaksinasi dari infeksi (Chin. 2007).
Tes kulit alergi brucellin dapat digunakan untuk menguji sapi yang tidak divaksinasi
untuk B. abortus. Tes ini dilakukan dengan menyuntikkan alergen intradermally ke lipatan
kaudal, kulit sisi, atau sisi leher (Rompins. 2002).
Diagnosis pasti dapat dilakukan jika B. abortus dikultur dari hewan. Brucella spp.
dapat diisolasi pada berbagai media biasa, atau media selektif seperti media modifikasi
Farrell atau media Thayer-Martin. Teknik pengayaan juga bisa digunakan. Koloni brucella
biasanya terlihat setelah dua hari tumbuh. Setelah empat hari diinkubasi, koloni bulat dan
sekitar 1-2 mm dengan margin halus. Saat piring dilihat di siang hari melalui media
transparan, koloni tembus pandang dan warna madu pucat. Dari atas, mereka cembung dan
putih mutiara. Kultur Brucella yang halus dapat terdisosiasi dengan bentuk kasar (R). Koloni
ini jauh lebih tidak transparan dan menjadi lebih terperinci dan membosankan. Dalam
pewarnaan kristal violet, koloni kasar berwarna merah dan koloni halus berwarna kuning
pucat. B. abortus dapat diidentifikasi pada spesies dan tingkat biovar dengan pengetikan fag
dan karakteristik budaya, biokimia dan serologis. Teknik genetik juga bisa digunakan untuk
biotyping (Adman L. 2008)
Strain vaksin (strain B. abortus S19 dan RB51) dapat dibedakan dari strain medan
dengan karakteristik pertumbuhan dan sensitivitas terhadap antibiotik dan zat aditif lainnya.
Inokulasi hewan jarang digunakan untuk mengisolasi B. abortus, namun mungkin diperlukan
jika teknik lain gagal. Babi atau tikus Guinea bisa digunakan.
Teknik analisis rantai polimer (PCR) dan teknik genetika lainnya (polimorfisme fragmen
panjang fragmen atau blotting Selatan) tersedia di beberapa laboratorium.
Tes serupa digunakan untuk mendiagnosis infeksi B. abortus pada spesies selain sapi, namun
setiap tes harus divalidasi pada spesies tersebut (Chin. 2007).
F. Diagnosa Banding
Diagnosa banding dari penyakit ini didasarkan pada kesamaan gejala yang ditimbulkan
dari beberapa penyakit lainnya seperti Penyakit lain yang menyebabkan aborsi atau
epididimitis dan orkitis harus dipertimbangkan. Pada sapi, diagnosis bandingnya meliputi
trikomoniasis, vibriosis, leptospirosis, listeriosis, rhinotracheitis sapi infeksius dan berbagai
mikosis (Adman. 2008).
G. Terapi
Kesimpulan
Brucellosis merupakan penyakit yang dapat menular pada manusia. Penyakit ini
disebabkan berbagai genus Brucella sp. Penyakit ini menyebabkan keguguran pada ternak dan
demam pada manusia. Penularan utama pada manusia terjadi karena kontak langsung dengan
hewan pembawa dan mengkonsumsi susu dan daging dari hewan tercemar yang tidak
dimasak sempurna.
Saran
Pencegahan brucellosis secara sederhana dapat dilakukan mulai dari diri sendiri
melalui peningkatan higiene dan sanitasi personal dan memasak produk pangan asal hewan
dengan benar. Peran serta pemerintah perlu ditingkatkan dengan melakukan penyuluhan,
vaksinasi dan pengendalian lalu lintas ternak antar daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Acha PN dan Boris S. 2003. Zoonoses and Communicable Disease Common to Man and
Animals Volume 1: Bacterioses and Mycoses. Ed ke-3. Washington: Pan America.