You are on page 1of 8

A.

Kegiatan Migas Di Indonesia


Kegiatan pencarian minyak dan gas di Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1871,
sedangkan produksi komersil pertama minyak dan gas di Indonesia dimulai pada tahun 1885 dan
apa akhir 1800-an, minyak bumi telah diproduksi di kilang-kilang Sumatera Selatan, Jawa Tengah,
Jawa Timur dan Kalimantan. Pada tahun 1961 lahirlah undang-undang No.44 tahun 1961 tentang
migas. Selain itu dibentuk pula 3 (tiga) perusahaan negarabidang migas yaitu PT. Permina, PT.
Permigan dan PT. Pertamin. Selanjutnya pada 20 Agustus 1968 melalui dekrit Permina dan
Pertamin digabung menjadi Pertamina, sedangkan Permigan dilikuidasi.
Era kebangkitan kembali industri migas terjadi pada tahun 1970-an dimana Indonesia
berada di barisan depan dalam pengembangan minyak dunia, setelah Pertamina menemukan
sumber-sumber minyak baru di berbagai tempat di penjuru tanah air yang diteruskan dengan
melakukan pembangunan stasiun pengumpul minyak dan prasarana lifting cargo, pembangunan
kilang minyak baru serta meningkatkan jumlah penandatangan kontrak bagi hasil (production
sharing contract).
Potensi cadangan minyak dan bumi dan kondensat Indonesia secara total pada tahun 2006
yaitu 8.928,50 MMSTB (million million stock tank barel), terdiri atas: cadangan terbukti 4.558,20
MMSTB dan cadangan potensial 4.370,30 MMSTB. Cadangan gas bumi Indonesia secara total
pada tahun 2006 yaitu sebesar 187,16 TSCF (triliun stock crude fuel), terdiri atas: cadangan gas
terbukti 94,00 TSCF dan cadangan potensial 93,10 TSCF. Total produksi minyak bumi Indonesia
tahun 2006 adalah sekitar 1 juta barel per hari, terdiri atas produksi minyak 883 ribu barel per hari
dan kondensat yaitu 123 ribu barel per hari. Kondisi produksi gas bumi Indonesia pada tahun 2006
tercatat sebesar 8.093,0 MMSCFD terdiri atas pemanfaatan 7.783,0 MMSCFD dan dibakar 308,0
MMSCFD.
Peranan minyak dan gas bumi sangat penting antara lain: penghasil devisa negara, penyedia
energi dalam negeri, penyedia bahan baku industri, wahan alih teknologi, penciptaan lapangan
kerja, mendorong pengembangan sektor non migas dan pendukung pengembangan wilayah.
Sebagai sumber energi dalam negei peran minyak dan gas bumi dalam penerimaan negara/devisa
(pajak dan bukan pajak) sekitar 30% dari penerimaan negara keseluruuhan. Penerimaan minyak
dan gas bumi dipengaruhi antara lain: besarnya tingkat produksi minyak mentah dan kondesat,
volume ekspor LNG dan LPG, harga minyak mentah dari biaya produksi.
Mengingat kontribusi yang besar terhadap devisa negara, maka upaya-upaya
pengembangan akan tetap dilakukan. Upaya tersebut diimplementasikan dengan meningkatkan
cadangan dan produksi migas serta mengembangkan lapangan marginal dan optimalisasi
penerapan teknologi echanges oil recovery (EOR), serta insentif untuk daerah remote, laut dalam,
lapangan marginal dann brown field. Pengembangan lapangan marginal, daerah remote dan laut
dalam merupakan sasaran pengembangan kedepan. Dengan demikian pengaruh limbah dan
eksternalitas negatif yang dapat muncul dari kegiatan usaha migas, menjadi kecil. Pengembangan
tersebut dilakukan dengan program produksi bersih, zero discharge, penggunaan bahan dasar non
toxic, serta desain peralatan pengolahan limbah.
Kegiatan usaha migas tidak hanya memberikan keuntungan dari sisi ekonomi dan
pendapatan masyarakat, tetapi juga menimbulkan berbagai permasalahan-permasalahan yang
umumnya dihadapi seperti: perijinan usaha, konflik pemanfaatan ruang, konflik sosial dengan
masyarakat lokal, permasalahan lingkungan akibat limbah dan ekses dari aktivitas yang dilakukan
serta permasalahan kesehatan masyarakaat disekitar lokasi kegiatan.
Permasalahan perijinan merupakan permasalahan klasik yang umum dihadapi oleh
investor (pemrakarsa) dalam rencana pelaksanaan kegiatannya. Permasalahan ini merupakan
permasalahan administratif birokrasi yang dihadapi oleh hampir semua proses perijinan di
Indonesia. Sehingga tidak sedikit biaya dan waktu yang dibutuhkan oleh investor dalam proses
perijinan suatu kegiatan.
Permasalah pemanfaatan ruang seringkali muncul menjadi konflik sektoral pada suatu
kegiatan usaha migas. Kegiatan migas yang sekitar 70% berada di daerah on shore dan 30% di
daerah off shore berpotensi memunculkan konflik ruang dengan berbagai aktivitas pembangunan
lainnya seperti perhubungan laut, untuk alur laut Kepulauan Indonesia. Konflik sektoral dengan
Departemen Kehutanan tentang cagar alam, kawasan lindung dan kawasaan konservasi. Konflik
dengan Departemen Pariwisaata tentang taman wisata alam dan cagar budaya. Konflik dengan
Departemen Kelautan dan Perikanan untuk areal pertambakan dan kawasan nelayan. Konflik
dengan Departemen Perumahan Rakyat untuk areal pemukiman penduduk.
Konflik sosial antara KPS dengan masyarakat lokal, juga sering menjadi permasalahan
dalam kegiatan usaha migas. Seringkali, masyarakat sulit untuk menerima keberadaan kegiatan
migas di suatu lokasi, disebabkan minimnya umpan balik dari kegiatan tersebut terhadap
masyarakat. Kondisi ini, tidak terlepas dari kenyataan bahwa kegiatan usaha migas merupakan
kegiatan dengan teknologi tinggi (high tech) dan sifat bukan kegiatan padat karya. Sehingga
penyerapan tenaga kerja lokal, sangat sulit terakomodir dalam pelaksanaan kegiatan.
Permasalahan krusial lainnya yang umumnya terjadi pada kegiatan usaha migas adalah
pengelolaan limbah dan ekses negatif dari kegiatan usaha yang dilakukan. Permasalahan ini
terklasifikasi dalam kelompok permasalahan lingkungan. Isu lingkungan hidup dalam dua dekade
terakhir menjadi isu global dan permasalahan bersama. Permasalahan lingkungan yang dihadapi
pada hakikatnya adalah masalah ekologi manusia. Masalah ini timbul karena perubahan
lingkungan yang mengakibatkan lingkungan tersebut tidak atau kurang sesuai dengan kemampuan
lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia akibatnya adalah terganggunya kesejahteraan
umat manusia.
Kegiatan usaha migas berpotensi menimbulkan dampak dan efek terhadap lingkungan
seperti limbah hasil proses produksi yang dihasilkan seperti: emisi SO2, NOx, hidrogen sulfida,
HCs, bensen, CO, CO2, gas metan, kandungan organik berbahaya, kaustik, tumpahan minyak,
fenol, kalium, effluen gas, serta efluen lumpur. Bahan dan gas tersebut dapat menyebabkan
pemanasan global secara makro dan degradasi sumberdaya serta kerusakan lingkungan hidup
secara mikro serta berdampak terhadap kesehatan manusia. Bahan dan gas-gas tersebut tidak hanya
menimbulkan pemanasan global, tetapi juga menyebabkan kenaikan muka air laut (sea level rise)
sebagai akibat meningkatnya suhu permukaan bumi, yang disebabkan oleh efek rumah kaca (green
house effect) dan penipisan lapisan ozon. Selain itu juga dapat menimbulkan terjadinya hujan
asam, dan dampaknya menyebabkan terjadinya kerusakan dan kematian organisme hidup.

B. Kebijakan AMDAL
Pembangunan berkelanjutan terdiri dari tiga matra yaitu: keberlanjutan pertumbuhan ekonomi,
keberlanjutan sosial budaya, keberlanjutan kehidupan lingkungan (ekologi) manusia dan segala
eksistensinya. Definisi dasar pembangunan yang dikemukakan oleh Brundlant (dalam Agustina)
adalah pembangunan yang mampu memenuhi keperluan hidup manusia masa kini tanpa
mengabaikan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka pengertian
awal ini dikembangkan oleh UNEP menjadi memperbaiki kualitas kehidupan manusia dengan
tetap memelihara kemampuan daya dukung sumberdaya alam dan lingkunga hidup dari ekosistem
yang menopangnya.
Dalam rangka melaksanakan pembangunan berkelanjutan, lingkungan perlu dijaga
keserasian hubungan antar berbagai kegiatan. Salah satu instrumen pelaksanaan kebijaksanaan
lingkungan adalah AMDAL. Kebijakan AMDAL selama ini diatur dalam peraturan pemerintah
yakni PP No. 29 tahun 1986, PP No. 51 tahun 1993, PP No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL, serta
dalam peraturan menteri yakni: PERMEN LH No. 08 tahun 2006 tentang pedoman penyusunan
AMDAL dan Permen LH No. 11 tahun 2006 tentang jenis kegiatan yang wajib AMDAL.
Kebijakan AMDAL diatur pula dalam bentuk keputusan menteri ESDM No. 1457 tahun 200
tentang pedoman teknis pengelolaan lingkungan di bidang pertambangan dan energi. Selanjutnya
dalam bentuk keputusan kepala Bapedal No. 199 tahun 1996 tentang kajian aspek sosial ekonomi
dalam penyusunan AMDAL, keputusan Bapedal No. 08 tahun 2000 tentang keterlibatan
masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses AMDAL.
Kebijakan-kebijakan tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif yang berkekuatan
hukum dalam mencegah terjadinya kerusakan fungsi lingkungan hidup. Kebijakan-kebijakan
tersebut diharapkan mampu menjamin keberlanjutan pembangunan dengan tetap menjaga fungsi-
fungsi lingkungan dengan baik melalui upaya pencegahan dampak terhadap lingkungan serta
penegakan hukum. Dengan demikian sasaran pengelolaan lingkungan dapat terwujud yakni
terpenuhinya devisa negara, lingkungan hidup lestari dan kesejahteraan masyarakat meningkat.
Pada waktu berlakunya PP No. 29 Tahun 1986, pemerintah bermaksud memberikan waktu
yang cukup memadai yaitu selama satu tahun untuk mempersiapkan segala sesuatu yang
berhubungan dengan efektifitas berlakunya PP tersebut. Hal ini erat hubungannya dengan
persiapan tenaga ahli penyusun AMDAL. Di samping itu diperlukan pula waktu untuk
pembentukan Komisi Pusat dan Komisi Daerah yang merupakan persyaratan esensial bagi
pelaksanaan PP No. 29 Tahun 1986 tersebut. PP 29 Tahun 1986 kemudian dicabut dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
yang diberlakukan pada tanggal 23 Oktober 1993.
Perbedaan utama antara PP tahun 1986 dengan PP tahun 1993 adalah ditiadakannya
dokumen penyajian informasi lingkungan (PIL) dan dipersingkatnya tenggang waktu prosedur
(tata laksana) AMDAL dalam PP yang baru. PIL berfungsi sebagai filter untuk menentukan
apakah rencana kegiatan dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan atau tidak.
Sebagai instrumen pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif, AMDAL harus dibuat
pada tahap paling dini dalam perencanaan kegiatan pembangunan. Dengan kata lain, proses
penyusunan dan pengesahan AMDAL harus merupakan bagian dari proses perijinan satu proyek.
Dengan cara ini proyek-proyek dapat disaring seberapa jauh dampaknya terhadap lingkungan. Di
sisi lain, studi AMDAL juga dapat memberi masukan bagi upaya-upaya untuk meningkatkan
dampak positif dari proyek tersebut. Instrumen AMDAL dikaitkan dengan sistem perizinan.
Menurut Pasal 5 PP Nomor 51 Tahun 1993, keputusan tentang pemberian izin usaha tetap oleh
instansi yang membidangi jenis usaha atau kegiatan dapat diberikan setelah adanya pelaksanaan
Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang telah
disetujui oleh instansi yang bertanggung jawab.
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 dimaksudkan untuk menyempurnakan
kelemahan yang dirasakan dalam PP Nomor 29 Tahun 1986 tentang AMDAL. Namun, upaya
penyempurnaan itu ternyata tidak tercapai, bahkan terdapat ketentuan baru yang menyangkut
konsekuensi yuridis yang rancu (Pasal 11 ayat (1) PP AMDAL 1993). Meski demikian yang
penting dalam PP AMDAL 1993 ialah Studi Evaluasi Dampak Lingkungan (SEMDAL) bagi
kegiatan yang sedang berjalan pada saat berlakunya PP AMDAL 1986 menjadi ditiadakan.,
sehingga AMDAL semata-mata diperlukan bagi usaha atau kegiatan yang masih direncanakan.
Selanjutnya PP Nomor 51 Tahun 1993 dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1999. Dalam PP 27 tahun 1999 ditetapkan 4 jenis studi AMDAL, yaitu:
1. AMDAL proyek, yaitu AMDAL yang berlaku bagi satu kegiatan yang berada
dalam kewenangan satu instansi sektoral. Misalnya rencana kegiatan pabrik tekstil, yang
mempunyai kewenangan memberikan ijin dan mengevaluasi studi AMDALnya ada pada
Departemen Perindustrian.
2. AMDAL Terpadu / Multisektoral, adalah AMDAL yang berlaku bagi suatu rencana
kegiatan pembangunan yang bersifat terpadu, yaitu adanya keterkaitan dalam hal
perencanaan, pengelolaan dan proses produksi, serta berada dalam satu kesatuan ekosistem
dan melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi. Sebagai contoh adalah salah satu
kegiatan pabrik pulpen dan kertas yang kegiatannya terkait dengan proyek Hutan Tanaman
Industri (HTI) untuk penyediaan bahan bakunya, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
untuk menyediakan energi, dan pelabuhan untuk distribusi produksinya. Di sini terlihat
adanya keterlibatan lebih dari satu instansi, yaitu Departemen Perindustrian, Departemen
Kehutanan, Departemen Pertambangan dan Departemen Perhubungan.
3. AMDAL Kawasan, yaitu AMDAL yang ditujukan pada suatu rencana kegiatan
pembangunan yang berlokasi dalam satu kesatuan hamparan ekosistem dan menyangkut
kewenangan satu instansi. Contohnya adalah rencana kegiatan pembangunan kawasan
industri. Dalam kasus ini masing-masing kegiatan di dalam kawasan tidak perlu lagi
membuat AMDALnya karena sudah tercakup dalam AMDAL seluruh kawasan.
4. AMDAL Regional, adalah AMDAL yang diperuntukan bagi rencana kegiatan
pembangunan yang sifat kegiatannya saling terkait dalam hal perencanaan dan waktu
pelaksanaan kegiatannya. AMDAL ini melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi,
berada dalam satu kesatuan ekosistem, satu rencana pengembangan wilayah sesuai
Rencana Umum Tata Ruang Daerah. Contoh AMDAL Regional adalah pembangunan
kota-kota baru.
C. Relevansi AMDAL di Sektor Migas
Kategori dampak dalam PP No. 29 tahun 1986 dan PP No. 51 tahun 1993 tidak disebutkan
adanya dampak besar tetapi hanya mengkategorikan dampak penting. Hal ini berbeda dengan
kategori dampak dalam PP No. 27 tahun 1999 disebutkan bahwa dampak dari rencana suatu usaha
dan atau kegiatan dikategorikan menjadi dua yakni dampak besar dan penting. Namun
sesungguhnya dampak besar tersebut merupakan satu kesatuan dalam kategori dampak besar dan
penting dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan.
Dalam PP No. 27 tahun 1999 dampak besar dan penting adalah perubahan lingkungan
hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan. Selanjutnya
bahwa kriteria dampak besar dan penting suatu usaha dan kegiatan terhadap lingkungan hidup
yakni: a) jumlah manusia yang terkena dampak, b) luas wilayah penyebaran dampak, c) intensitas
dan lamanya dampak berlangsung, d) banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena
dampak, e) sifat kumulatif dampak, dan f) berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya
(irreversible) dampak.
Pembagian kategori penentuan dampak berdasarkan dampak besar dan dampak penting
menjadi salah satu kelemahan PP No. 27 tahun 1999 dalam kaitannya dengan penentuan dampak
penting dari suatu kegiatan usaha migs. Besaran dampak yang dikategorikan dapat menimbulkan
dampak dari sisi besaran dampak adalah untuk kegiatan eksploitasi minyak di darat > 5000 BOPD
(barrel oil per day), untuk eksploitasi gas > 30 MMSCFD (million million stock crude feet per
day). Sebagaimana ditetapkan dalam Kepmen No. 11 tahun 2006 tentang kegiatan yang wajib
AMDAL bahwa penentuan besaran minimal tersebut menjadi dasar penentapan suatu kegiatan
usaha migas wajib AMDAL atau tidak. Sehingga peluang terjadinya dampak terhadap lingkungan,
sangat memungkinkan dengan tidak mewajibkan studi AMDAL bagi suatu kegiatan usaha yang
tingkat produksinya dibawah ketentuan yang telah ditetapkan. Seharusnya, penentuan dampak
penting dan wajib tidaknya suatu kegiatan usaha untuk melakukan studi AMDAL tidaklah
didasarkan pada besaran produksinya, tetapi semua usaha migas yang memungkinkan
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan, diwajibkan melakukan studi AMDAL. Hal
ini sangat mendasar, mengingat kegiatan yang memiliki resiko tinggi terhadap lingkungan, baik
dari sisi ekologi maupun sosial.
Usaha dan atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingungan hidup meliputi: a) pengubahan bentuk lahan dan bentang alam, b) eksploitasi
sumberdaya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui, c) proses dan kegiatan yang
secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup,
serta kemerosotan sumberdaya alam dalam proses pemanfaatannya, d) proses dan kegiatan yang
hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta yang hasilnya dapat
mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan sosial budaya, e) proses dan kegiatan yang hasilnya
akan dapat mempengaruhi pelestarian pelestarian kawasan konservasi sumberdaya dan atau
perlindungan cagar budaya, f) introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik, g)
pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non-hayati, h) penerapan teknologi yang
diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup, i) kegiatan yang
mempunyai resiko tinggi dan atau mempengaruhi pertanahan negara (pasal 3 ayat 2 PP No. 27
tahun 1999 tentang AMDAL) hal ini bertentangan dengan Kemen LH No. 11 tahun 2006 tentang
kegiatan wajib AMDAL yang mana kategori kegiatan yang wajib menyususn
AMDAL berdasarkan volume produksi.
Aturan tentang penyusunan kerangka acuan disebutkan dalam PP No. 29 tahun 1986 dan
PP No.51 tahun 1993 bahwa apabila pemrakarsa berpendapat bahwa rencana kegiatannya akan
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, maka pemrakarsa bersama instansi
yang bertanggung jawab langsung menyusun kerangka acuan bagi pembuatan analisis dampak
lingkungan tanpa membuat penyajian informasi lingkungan terlebih dahulu, dimana kerangka
acuan bagi pembuatan analisis dampak lingkungan ditetapkan oleh komisi dan disampaikan
kepada pemrakarsa selambat-lambatnya 12 hari sejak diterimanya pengajuan kerangka acuan
tersebut. Sementara dalam PP No. 27 tahun 1999 disebutkan bahwa suatu rencana usaha dan atau
kegiatan yang akan menimbulkan dampak diwajibkan menyusun kerangka acuan namun apabila
usaha dan atau kegiatan tersebut diperkirakan tidak menimbulkan dampak besar dan penting, maka
diharuskan menyusun UKL dan UPL.
Dalam PP No. 27 tahun 1999 keputusan atas penilaian kerangka acuan selambat-lambatnya
75 hari kerja. Perubahan waktu atas keputusan penilaian kerangka acuan dari 12 hari menjadi 75
hari kerja menjadi sangat penting mengingat kebutuhan waktu yang lama dapat menghambat
jalannya investasi, begitu pula waktu yang singkat, akan memberikan penilaina yang tidak
maksimal, sehingga dengan demikian waktu persetujuan kerangka acuan didasarkan pada
kebutuhan waktu.
Keputusan atas AMDAL diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya pengajuan analisis dampak lingkungan tersebut.
Apabila keputusan AMDAL berupa penolakan berhubngan kurang sempurnanya, maka keputusan
perbaikan AMDAL diberikan oleh instansi bertanggung jawab selambat-lambatnya 30 hari sejak
diterimanya pengajuan kembali perbaikan analisis dampak lingkungan.
Penekanan sesungguhnya bukanlah pada lamanya waktu prosedur persetujuan AMDAL,
namun lebih ditekankan pada tingkat kebutuhan usaha dengan prinsip-prinsip kelestarian ekologi
dan pertumbuhan ekonomi. Dalam proses persetujuan dapat diterapkan prosedur yang mudah,
cepat dan bertanggung jawab dengan demikian semangat investasi dapat tetap terjaga dalam upaya
pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan.
Prosedur persetujuan dokumen RKL dan RPL dalam PP No. 27 tahun 1999 dilakukan
bersamaan dengan pengajuan dokumen AMDAL dengan waktu yang dibutuhkan 75 hari kerja
terhitung sejak diajukannya dokumen tersebut. Sementara dalam PP No. 51 tahun 1993, prosedur
persetujuan dokumen RKL dan RPL dilakukan terpisah dengan pengajuan dokumen ANDAL.
Waktu yang dibutuhkan dalam proses persetujuan dokumen RKL dan RPL yakni 45 hari kerja.
Perubahan waktu keputusan persetujuan RPL semakin lama yakni 30 hari kerja (PP No. 29
tahun 1986), 40 hari kerja (PP No. 51 tahun 1993) dan menjadi 75 hari kerja (PP No. 27 tahun
1999). Perubahan waktu persetujuan RPL tersebut tidak memiliki dasar penetapan waktu yang
jelas. Seharusnya wakktu penyusunan tidak ditetapkan sama untuk semua kegiatan, harus
mempertimbangkan lokasi kegiatan yang sulit dijangkau, perlu pengkajian yang mendalam
berdasarkan ekosistem masing-masing kegiatan, pertimbangan efisiensi waktu, yang dapat
menghambat kegiatan usaha migas sangat dinamis, akhirnya dapat berakibat timbulnya
pelanggaran-pelanggaran, sebelum AMDAL disetujui kegiatan telah dimulai karena mengejar
produksi dan juga dapat menghambat investasi (investasi tidak kondusif).
Selain Peraturan Pemerintah masih terdapat Peraturan menteri dan keputusan menteri
negara lingkungan hidup yang terkait dalam pelaksanaan AMDAL di Indonesia antara lain Permen
LH No. 08 tahun 2006 tentang pedoman penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan dan
Kepmen LH No. 11 tahun 2006 tentang jenis rencana usaha dan atau kegiatan yang wajib
dilengkapi dengan AMDAL. Peraturan menteri negara lingkungan hidup No. 08 tahun 2006
tentang pedoman penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan merupakan penjabaran
kebijakan AMDAL yakni PP No. 27 tahun 1999 pasal (2) dan pasal 17 ayat (2).
Namun semua kebijakan tersebut masih memiliki beberapa kelemahan mengenai kebijakan
AMDAL terhadap sektor migas. Kelemahan tersebut antara lain:
1. Penentuan dampak penting
Penentuan dampak tidak hanya didasarkan pada dampak penting tetapi juga pada dampak besar,
penyusunan AMDAL berdasarkan volume produksi bukan dampak penting dari suatu kegiatan
migas. PP No. 29 tahun1986 dan PP No. 51 tahun 1993 dikategorikan dampak penting, sedangkan
PP No. 27 tahun 1999 dikategorikan dampak besar dan penting.
2. Efisiensi penyusunan AMDAL
Waktu penyusunan relatif lama. Waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penyusunan
AMDAL, mulai dari pengajuan hingga persetujuan AMDAL relatif 1-3 tahun. Biaya penyusunan
AMDAL dibebankan kepada pemrakarsa tapi biaya lain dibebankan pada kementerian lingkungan
hidup, departemen teknis/sektoral atau gubernur.
3. Komisi AMDAL Pusat
Komisi AMDAL dalam PP No 27 tahun 1999 berada dibawah kewenangan kementerian
lingkungan hidup. Sedangkan pada PP No. 29 tahun1986 dan PP No. 51 tahun 1993 berada pada
masing-masing sektor.
4. Metode pelingkupan
Metode pelingkupan yang digunakan umumnya bergantung pada keahlian masing-masing
penyusun, sehingga sulit melakukan penilaian metodologi tepat, karena tidak adanya metode-
metode standar/baku.
5. Metode studi
Dalam Permen LH No. 08 tahun 2006 tentang pedoman penyusunan AMDAL, metode perkiraan
dan evaluasi dampak hanya disebutkan metode formal dan profesional, tidak terdapat metode yang
baku yang dapat diacu bersama.
6. Aspek sosial ekonomi
Komponen sosial ekonomi masih sekitar penyerapan tenaga kerja dan bantuan-bantuan sosial
seperti pembangunan jalan, gedung sekolah dan sarana umum lainnya, dan belum mengedepankan
aspek ekonomi lingkungan, sehingga ketika terjadi emergencyyang berdampak terhadapa
lingkungan maka sangat sulit melakukan penilaian.
7. Keterlibatan masyarakat
Keterlibatan masyarakat selama ini hanya bersifat formalitas yang porsinya adalah pada waktu
pengumuman masyarakat, dengan demikian tidak ada check and balancesdari masyarakat secara
langsung terhadap dampak yang dapat terjadi.

8. Analisis evaluasi ekonomi lingkungan


Belum ada peraturan yang mewajibkan penggunaan metode TEV (Total Economic Valuation) atau
Analisi valuasi ekonomi lingkungan dalam penyusunan AMDAL, sehingga hingga saat ini belum
ada bukti penerapannya.
9. Emergency/ Keadaan darurat
Masalah emergency/keadaan darurat tidak ada keterkaitan dengan AMDAL dan tidak disebutkan
dalam peraturan pemerintah maupun keputusan menteri.

You might also like