You are on page 1of 24

NE LEPANG KUNING

Babat tanah leluhur

Pada Zaman dahulu kala, konon ceritanya, sebelum Tana Samawa bernama Sumbawa, Tana
Samawa dan Sumbawa, pada awal mula, bernama Gili Parewah, berarti pulau padi yang melimpah ruah,
Gili berarti Pulau, Pare berarti Padi dan Wah berarti melimpah ruah atau luar biasa, jadi menurut cerita
orang tua-tua terdahulu, bahwa Tana Samawa, sebelumnya, telah terjadi tiga kali berubah nama, yang
pertama bernama Gili Parewah, yang ke dua Tana Samawa dan yang ketiga Sumbawa, dan juga terdiri
dari tiga blok,masing-masing, bagian barat di sebut Ano Rawi, di sebut juga sama, Sumbawa Tengah di
sebut dengan Maong dan bagian timur Ano Siop yang di sebut dengan Mawa dan ketiga blok tersebut,
pada zaman itu,awal mula, tidak perna sepaham dalam prilaku, karena krakter dan etnis yang berbeda,
oleh karenanya pesan tau loka, atau pesan orang-orang tua dahulu, jangan sampai Tana Samawa ini
terbagi menjadi empat bagian, karena asal usul Samawa, awal mulanya, berasal dari tiga blok, dengan
bersusah payah para leluhur kita tempo dulu mempersatukan, oleh karenanya, kalau misalkan sampai
terjadi Tana Samawa ini, terbagi menjadi empat bagian atau selebihnya, maka apa yang menjadi pesan
tau loka sapuan ana, dalam arti kata, amanat orang-orang tua dahulu akan menjadi kenyataan dalam
bahasa Sumbawa, ada kala ya gita, bahasa Kala di sini, berarti Sangka Kala menurut cerita, boleh di
percaya boleh juga tidak, sebab pada awal-awal keberadaan Tau Samawa, memang berasal dari
bermacam-macam suku bangsa, kelompok msayrakat yang berbeda, jarang berdamai atau sepaham
satu sama lain saat itu, kalau dalam bahasa Sumbawa saleng rempong, saleng santeri dalam perseteruan
yang panjang, tatkala Tana Samawa, masi bernama Gili Parewah, atas inisiatif para tetua adat dari
masing-masing kelompok, pada akhir Tau Gili Parewah, bisa di persatukan menjadi Samawa, secara
Nasional, lebih di kenal dengan nama Sumbawa, karena pengaruh Belanda yang takut dengan nama
Samawa bersatu, sebab di bayang-bayangi, nama besar raja Samawa yang memerintah saat itu,
bernama Dewa Maraja Amasa Samawa, orangnya pemberani dan gagah perkasa, taklut tidak mempan
dari segala macam benda tajam, seperti keris, tombak, pedang juga tidak mempan peluru bahasa
Sumbawa Tau kebal-kebal, begitu hebat, sang Dewa Meraja yang bernama Belo Panganyang, mengapa
di sebut sang baginda raja, lebih lazim dengan nama belo panganyang, karena orangnya, memang tinggi
besar, senang memburu para pengacau yang sering meresahkan masyarakat atau Tau Tana Samawa
saat itu, dalam bahasa Sumbawa, belo berarti panjang, tinggi besar, sementara panganyang, berarti
pemburu dalam pengertian, memburu para bandit-bandit atau, pengacau, perompak, penyamun dan
apapun bentuknya yang menggangu ketertiban umum, akan tetapi para pendahulu kita saat itu, cara
bijaksana, mencari sebab mangapa kelompok A dan kelompok B senang bertikai kalau ada persoalan
kecil saja, bias menjadi besar, melebar jauh, apa yang salah dalam beliau memerintah, adakah
ketidakadilan yang tidak jelas, padahal setiap Dewa Maraja Belo Panganyang di dalam bersikap atau
mengambil keputusan, memanusiakan manusia, melalui pendekatan dengan cara sanak ate dalam hati
tulus, ihlas, tidak berpura-pura, sangat menyentuh hati nurani seseorang, bukan di kejar aparat dengan
senjata, ingat bagaimana Belanda si penjajah itu, melakukan keberutalan terhadap masyarakat Rawa
Gede tempo dulu, juga di Tana Samawa ini, beratus-ratus manusia tidak berdosa, meregang nyawa di
moncong senjata orang-orang Belanda, apakah hal itu akan terulang kembali, untuk itu jangan perna
melupakan sejarah, mati karena keparan dalam kemeskinan, hal yang lumrah, namun matinya harga
diri, karena terjual ke kapatitalis, sungguh luar biasa sebagai Tau Samawa, orang bijak berkata, janganlah
menjadi pemimpin kalau belum siap menjadi pemimpin dan kalau di cubit orang lain terasa sakit, maka
jangan perna mencubit orang lain, seperti ucapan mendiang Bung Karno tepo seliro, tepo tepat, apa
yang tidak kita senangi, begitu juga orang lain, pasti orang lain tidak menyenangi, berpijaklah ke pilosof
gong genang, kalau tidak benar menabu gendang, maka gong tidak akan berbunyi, sebuah warisan
leluhur yang harus di renungi bagi Taua Samawa, seorang pilosofi Romawi kuno berkata yang begitu
sangat sejiwa dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tercinta, tahun
1945, bahwa Hukum yang tertinggi di dunia pana ini, selamatkan rakyat dari segala bentuk ke
tidakadilan, sebab menyesengsarakan satu jiwa, merupakan anak tangga pertama, dalam kenistaan
menuju ke Neraka!?, lihatlah Pancasila dan UUD 45 dari pasal ke pasal dan dari ayat ke ayat, terutama
di pasal 28 A tentang hak asasi manusia, di sana kita akan tertuntun sebagai bangsa yang agamais, sebab
dari ke lima agam yang di yakini di bangsa ini, tidak satupun agama yang mengajarkan kita ke hal-hal
buruk, sifatnya merugikan kepentingan umum, terutama kepentingan orang-orang tidak berdaya,
seperti kata lawas orang Sumbawa, muntu ijomo den kayu sanakee, pusok kayu rapotekmo, nanpang tu
santaneng untong, dalam arti kata, apabila pucuk pimpinan negeri ini, berbuah hati nurani dalam
keadilan, maka kebenaran kan menjadi bnar, pada dasarnya sebuah Negara atau rumpun masyarakat
dalam kehidupan ini, di ibaratkan sebatang pohon kayu yang tumbuh subur, dahan, rantingpun akan
tegar dan segar.-

Zaman pra sejarah

Tejadinya perubahan nama Sumbawa sampai tiga kali, karena sebab akibat terpaksa terjadi,
karena di desak keadaan yang sangat memperihatinkan, akibat dari perkembangan umat manusia dari
hari ke hari yang semakin bertambah di Gili Parewah saat itu, yang di awali, banyaknya manusia
pengungsi atau pelarian dari daerah lain yang terdampar di pulau Sumbawa, melalui pesisir pantai
bagian selatan dan bagian selatan barat laut dari pulau Sumbawa, pada saat itu, masi bernama Gili
Parewah, sehingga pulau Sumbawa atau Gili Parewah kala itu, di huni bermacam-macam etnis krakter,
prilaku manusia yang berbeda-beda tata cara hidup, berbeda pula, keinginan satu sama lain, seperti
misalanya suku Bar-bar yang berasal dari Afrika, pada akhirnya berubah menjadi desa Babar berbeda
pula perilaku dengan suku Tar-tar, berasal dari daratan Cina Monggolia yang juga berubah menjadi desa
Tatar, sederetan dengan desa Banete, desa Sakongkang desa Tongo, desa Sajorong, desa Singa desa
Awar, pada awal mula desa-desa itu, memang berasal dari etnis yang berbeda, termasuk Sekongkang,
begitu juga dengan desa Tongo, yang nenek moyang orang-orang Tongo itu juga dari Afrikka, jadi jelas
menurut cerita kedua orang tua Balo Kolo dan Balo Piok, bahwa leluhurtau Tana Samawa ini berasal
dari bermacam-macam etnis dan suku bangsa, selain dari suku bangsa Asia Tenggara, seperti Vietnam,
Thailan, Afrika, juga terdiri dari suku bangsa jauh-jauh sebelumnya, memang mendiami Nusa Tenggara,
pendek cerita, perkembangan masyarakat se hari-hari di Tana Samawa, memang tidak perna berdamai
sering terjadi pasang surut persoalan, karena adanya kesenjangan antara kelompok satu dengan
kelompok lain yang saling curiga mencurigai, oleh karena sering terjadi perselisihan karena tidak
kesepaham untuk menentukan kebijakan dalam sebuah persoalan, kadang kala muncul di antara
mereka, sehingga menimbulkan perang, karena masalah sepele, berkembang menjadi besar yang
melibatkan orang banyak, kelompok yang merasa dirinya benar, sehingga sering terjadi pertumpahan
darah antara mereka, banyak memakan korban jiwa maupun harta benda dengan jumlah nilai yang
cukup besar sekali, karena saat itu, belum adan perangkat hukum yang menjadi acuan sebagai
pengayom yang harus di taati dalam menyelesaikan satu persoalan, di sertai tidak ada saling
keterbukaan antara mereka, sering saling curiga mencurigai antara kelompok satu dengan kelompok
lain, yang di picu oleh berlainan etnis sebagai penyebab utama, jadi sedikit saja persoalan terjadi,
biasnya saling bakar kampung, yang lebih parah saat itu, apabila sedang terjadi perselisihan antara
kelompok dan kelompok yang ada, keluar rumahpun susah, mencari nafkah juga susah, ingin ke sawah
lading juga susah, orang-orang, berpikir banyak, besar resiko akan di terima kalau memaksa diri keluar
rumah, akan tetapi sebengis-bengisnya mereka yang berseteru, kala itu, sangat menghargai harkat,
martabat kaum lemah, seperti perempuan, anak-anak, orang-orang cacat, orang tua bangka, yang sudah
sepuh, di anggap sebagai kaum yang lemah, dalam hal itu, bagi yang lemah-lemah, tidak sama sekali
tersentuh dalam persoalan apapun yang di sedang terjadi atau sedang bergolak, dalam arti kata, bahwa
bukanlah seorang laki-laki yang pantas di sebut sebagai laki-laki kalau berani dengan kaum yang lemah,
memang Tau Gili Parewah bagi laki-laki pada saat itu, anti di sebut dengan kata banci atau pengecut
bahasa Sumbawa tau tomong, kalau laki-laki Tau Gili Parewah di sebut banci atau di gertak seperti itu,
maka dia akan memjadi seorang pemberani dan suatu waktu pasti akan menjadi pembunuh ulung, oleh
karena sampai sekarang, sifat itu masi ada di darah daging Tau Samawa, apabila di gertak, justeru Tau
Samawa akan menjadi pemberani, untuk itu, pesan orang tua terdahulu, kalau Tau Samawa tiba-tiba
diam tidak seperti biasa maka hati-hatilah ibarat bawi bakat buya bantal yang artinya kalau seseorang
merasa di sakititi atau di zolimi, maka yang lain harus merasakan penyakit yang sama, pahit sama di
kecam, manis sama di rasa, itulah semboyan Tau Samawa kala itu, yang telah membentuk prilaku Tau
Samawa kearah ala bisa karena biasa, dari hal yang paling buruk sampai ke hal yang paling baik di
lakukan karena ala bisa karena biasa, pada akhirnya terbiasa kearah yang baik, karena pada perinsip
setiap insan manusia, menginginkan hal yang terbaik untuk di perbuatkan, kepada siapa saja, akan tetapi
kadang kala keadaan yang memaksa manusia itu berbuat keburukan, bagi manusia yang tidak mau
mengguna akal sehat, di dalam berpikir, cenderung memaksa kehendak, menantang keadaan yang
sebenar tidak mampu untuk di lawan, tentang siapa diri kita sebenar, dalam cermin hati nurani.-

Pada Zaman pra sejarah kala itu, Gili Parewah atau Tana Samawa pada saat itu, pernah berdiri
sebuah dinasti, bernama Dinasti Dewa Awan Kuning, raja pertama bernama Dewa Maraja Sanawang,
pusat kerajaan kala itu, menurut cerita orang-orang terdahulu beribu kota Selesek, kecamatan Ropang,
dengan panglima perangnya bernama Cek Bocek di kenal juga panglima perang Breng Ra karena di
usia beliau lebih kurang 40 tahun , belum mempunyai isteri atau tidak perna kawin alias jejaka tua, kala
itu, pang lima perang, Cek Bocek, membawa menyeberang bala tentara ke pulau Sumba, lalu pulau
Sumba bisa di taklukan dan beliau menetap di pulau Sumba, sementara puteri sulung dari panglima
perang Cek Bocek, dari hasil perkawinan beliau dengan puteri bangsawan tanah Sumba, akhirnya
menjadi isteri kedua dari raja Belo Panganyang yang melahirkan Lala Intan Jalengga, setelah isteri
pertama beliau mangkat karena sakit, akan tetapi dalam kelanjutan cerita panglima perang Cek Bocek
setelah menetap di tanah Sumba, putus sampai di situ, namun dalam cerita lain yang masi sempat di
ceritakan dan di ingat oleh kedua orang tua bersaudara kandung Ni Buyut Piok dan Ni Buyut Kolo yang
merupakan sesepuh Tau Jereweh tersebut, di mana keduanya meninggal dunia di usia lebih kurang
seratus sepuluh tahun, menurut cerita kedua orng itu selagi masi hidup, bahwa pada awal Dinasti Dewa
Awan Kuning berdiri dan berkuasa, barulah Tana Gili Parewah ini sedikit demi sedikit dikenal orang dari
tanah seberang terutama Raja dari kerajaan Sumba, begitu sangat akrab dengan raja Samawa, tatkala
pada saat itu, memerintah raja yang ke tiga, bernama Dewa Maraja Belo Panganyang, beliau ini
merupakan titisan ketiga dari Dinasti Dewa Awan Kuning sebagai Dinasti pertama membabat tanah
leluhur Tau samawa ini, yang sekarang di kenal dengan Sumbawa atau Tana Samawa, menurut cerita
kedua bersaudara tersebut, bahwa Dewa Maraja Belo Panganyang orangnya tinggi besar, pemberani
taklut atau tidak mempan dari benda-benda tajam Dewa Belo Panganyang, pada saat melaksanakan
tugas sehari-hari sebagai raja Gili Parewah, baliau sangat terbantu atas kehadiran dua orang pembantu
setia, bernama Ki Balase dan Ki Bolang juga tidak mempan di tusuk benda-benda tajam sama seperti
sang Dewa Baginda raja Belo Panganyang, ke tiga para pelaku sejarah yang membabat tanah leluhur
tersebut, kala itu dalam bekerja, tidak mengenal siang dan malam, terus berjalan mengelilingi daerah
yang menjadi kekuasaan, mengelilingi tanah Gili Parewah tanpa batas waktu dari ujung ke ujung,
melihat perkembangan, apa saja kegiatan masyarakat di daerah-daerah, yang di pimpin, dalam menata
hidup dan kehidupan masing-masing, sang baginda raja tidak mau mendengar berita lewat angin,
kadangkala banyak lebih, kurangnya, pasti ada, Dewa Maraja Belo Panganyang di kenal rakyatnya
sebagai pemimpin yang keras tegas, akan tetapi beliau bertangan dingin hati yang lapang, disiplin di
dalam bekerja sebagai pemimpin, oleh karena, dalam kepemimpinan beliau, cukup di segani, baik kawan
maupun lawan, kendatipun demikian, Dewa Maraja Belo Panganyang, sangat arif, lagi bijaksana, tatkala
mengambil sebuah keputusan apapun untuk kepentingan rakyat, tidak perna bersila lidah, sehingga di
hargai dan di cintai rakyat-rakyatnya, hampir seluruh daratan Gili Parewah atau Tana Samawa di
kelilingi, di jajaki, dari ujung barat sampai ke ujung timur, dari pantai utara sampai ke pantai selatan,
tidak perna merasa jenuh atau berpasrah diri, semak belukar di jelajahi, lembah dan ngarai di terjangi,
bahasa Sumbawa lemak ya roso, ke pida-pida unter ya lontak, atas kegigihan sang baginda Dewa Maraja
Belo Panganyang, sehingga rakyatnya sendiri menyebut beliau, sebagai manusia setengah Dewa, juga
sang penyelamat, yang telah merubah tatanan hidup dan kehidupan, sehari-hari Tau Gili Parewa, dari
masyarakat primitiv yang tidak mengenal etika atau tidak taat aturan seperti bahasa sekarang kamu-
kamu dan aku-aku, hampir tidak ada pemisah mana orang besar, mana guru, mana murid, mana
pemimpin dan mana yang di pimpin, lupa pada yang berjasa seperti pepata lama mengatakan, apabila
hari panas, lupa kacang akan kulit, sebagai orang timur, sudah jauh melenceng ke arah yang tidak
mengenal sopan santun sebagai daerah yang beretika, seperti yang di perjuangkan leluhur, saling
menjunjung tinggi dan saling harga-menghargai satu sama lain, dalam melakuakan gotong royong,
bahasa Sumbawa di sebut dengan Basiru, akan tetapi, kemana mengnilang apa yang di tata dengan
bersusah payah dan airmata darah, mendiang raja Dewa Belo Panganyang, mangapa beliau sampai di
sebut sebagai Dewa Belo Panganyang, karena senang melanglang buana siang dan malam yang tiba-tiba
muncul di seluruh daerah bagaikan siluman, di saat-saat tertentu di dalam memburu penjahat maupun
penyamun, di mana pada saat itu, sering bikin kekacauan, sangat meresahkan, atas sikap pantang
menyerah yang di tunjukan kepada mereka yang tidak bertanggung jawab, sikap tegas di tunjukan Dewa
Maraja Belo Panganyang itulah, sehingga beliau di takuti, di segani rakyatnya, maupun lawan-lawan,
sehingga selangkah demi selangkah, baginda Dewa Belo Pnaganyang, mampu membuat kelompok-
kelompok penjahat, menjadi jenuh, bahasa Sumbawa kanyerang jerah, pada akhir, taat kepada aturan
yang berlaku, sehinga perampok-perampok yang sering berula semau mereka, bertekuk lutut
menghadapi kemauan keras sang Dewa Maraja Belo Panganyang, kadang kala keras, sekeras batu dan
kadang kala lembut, se lembut sutera, dalam bersikap, sehingga susah di tebak, namun bisa di mengeti
rakyat-rakyatnya, bahwa keempat sifat hidup yang menghidupkan manusia dan makhluk hidup lain
dalam kehidupan ini, bersenyawa dan bersemayam di kerakter jiwa sang Dewa pendekar Belo
Panganyang dan lagi penyantun itu, pada saat Dewa Maraja Belo Panganyang memerintah tanah Gili
Parewah kala itu,Tau Gili Parewah mulai saat itu, sudah mengenal tentang etika sopan santun, sebagai
pengayom di dalam kehidupan sehari-hari, apabila melakukan kominikasi antara sesama, saling
menghargai, satu sama lainnya, sehingga bisa meredam persoalan bagaimanapun berat, melalui
musyawarah, bagaimana seorang pemimpin yang bisa menyelesaikan persoalan yang ada, tanpa harus
menyakiti perasaan hati orang lain, seperti orang bijak berkata, seperti menarik sehelai rambut, dari
dalam tepung, rambut tidak putus dan tepung tidak rusak, misalkan masalah batasan wilayah lahan
pertanian yang menjadi garapan turun temurun dari leluhur, tatkala musim hujan atau musim tanam
tiba, biasanya menimbulkan permasalahan, yang menjurus kearah bentrok pisik, begitu juga halnya
dalam masalah selarian atau kawin lari yang di sebut marari, lebih parah dari persoalan yang ada, di
mana saat itu, apabila seorang laki-laki dari kelompok lain yang berlainan etnis misalnya, melarikan
seorang gadis dari kelompok atau etnis lain, maka pertumpahan darah sulit di hindari yang memakan
korban jiwa dan harta benda cukup besar dari kedua belah pihak yang berseteru, sifatnya total bergerak
tak terkendali, oleh karena, Tau Gili Parewah saat itu, apabila membangun rumah, pasti tinggi-tinggi
melebihi dua kali ukuran tombak, juga di topang tiang-tiang kayu yang cukup besar sepelukan tangan
orang dewasa, supaya tidak mudah di tebang pihak lawan apabila tiba-tiba terjadi pemasalahan dan
kalau tidur maupun duduk-duduk di rumah Tau Gili Parewah saat itu, beralaskan kulit kerbau yang sudah
di samak dan di keringkan, menghindari diri dari tusukan tombak melewati kolong rumah bagi yang
berseteru, terutama bagi jawara, jagoan, dalam bahasa Sumbwa tau sepa-sepan diri, bisa juga di sebut
dengan Tau karong, biasa dari kalangan Dewa Datu atau keturunan bangsawan, yang di segani kawan
maupun lawan, karena kedikjayaan yang dimiliki, memiliki ilmu bathin yang cukup tinggi, terutama ilmu
kebal yang tidak mempan di tusuk senjata, memang sbelum, ada hukum adat bagocek dan hukum adat
bakaraci di TanaSamawa kala itu, memang berjalan hukum rimba yang berlaku, siapa kuat dan
pemberani itu yang menang, akan menjadi penguasa di daerah Tana Samawa.-

Hukum adat Bagocek dan Bakaraci

Dewa Meraja Belo Panganyang, begitu besar rasa tanggung jawab dan sangat mencintai
rakyatnya, betul-betul sangat prihatin dengan sikap laku, keras dari rakyat-rakyatnya itu, seakan-akan
tidak ada jalan kompromi atau bemusyawarah di dalam menyelesaiakan persoalan yang ada, tanpa
berpikir panjang dan tanpa berbicara ke siapapun pada saat itu, apapun resiko yang akan terjadi, di
terima atau tidak oleh rakyatnya, sang baginda raja Dewa Maraja Belo Panganyang mengambil
keputusan, segerah melakukan musyawara, mengundang jawara-jawara dan tokoh-tokoh adat dari
masing-masing kelompok bermusyawarah, melalui Paseban Agung, setinggi Mahkama Agung, mencari
jalan merubah prilaku yang mengerikan, sebab, di mana setiap terjadi pertikean antara kelompok-
kelompok, terutama masalah etnis, sering mengundang perhatian banyak orang sesamanya, sehingga
mau tidak mau ikut campur, Gili Parewah pada akhirnya tidak berpenghuni karena penduduknya sudah
mati saling bunu, padahal mereka sendiri tidak tahu duduk persoalan apa, sebenar yang terjadi dalam
masalah yang ikut di bela mati-matia, bahasa Sumbawa no ya to pusuk petu, cuma terpaksa bahasa
Sumbawa, karena bela bares saja berarti membela kelompoknya dalam bahasa toleransi yang sering di
pakai Tau Samawa lenge rasa, kalu tidak ikut membela, akibat ego dalam harga diri yang salah tafsir,
oleh karenanya Dewa Maraja Belo Panganyang dengan semangat yang tinggi, kendatipun beresiko tinggi
yang harus di hadapi, tidak patah arang di dalam mencari jalan agar bisa mengatasi persoalan dalam
masalah yang mempritinkan itu, oleh karena sang baginda raja mengundang semua pihak yang punya
pengaruh dan di segani di kalangan kelompok masing-masing, dalam rasa keprihatinan bersama,
menanggapi persoalan yang cukup rumit, terpaksa mengambil sikap dan secepatnya mengadakan
musyawarah atau di sebut juga dengan rembok desa secara bersama-sama,Tokoh-tokoh masayarakat
dan jawara-jawara dari wilayah masing-masing, di ajak bicara, sebelum persoalan saling bunuh
membunuh itu berkelanjutan dan berlarut terus terjadi, berkat adanya saling pengertian antara
kelompok, pada akhir dalam rembuk desa itu, telah melahirkan sebuah kesepakatan bersama dalam dua
bentuk hukum adat, di sebut dengan nama hukum adat Bagocek dan hukum adat Bakaraci, kedua
hukum, memang saling berbeda, dalam pelaksanaan, kendatipun sifatnya sama-sama mempertaruhkan
nyawa, hukum adat itu, sengaja di buat untuk menghindari adanya pertarungan berutal antara
kelompok yang lebih besar dalam sebuah bertikaian yang sering terjadi, karena melibatkan banyak
orang yang tidak berdosa, menyangkut harga diri yang salah tafsir itu, di dalam pelaksanaan kedua
hukum adat, memang pelaksamaan tempatnya berbeda, tergantung kepada berat ringan persoalan yang
ada, kalau yang menengah dalam tingkat permasalahan, gdi pakai hukum adat bakaraci, pelaksanaannya
ucukup di halaman bala Datu yang di tonton oleh banyak orang, yang dii iringi doa dan air mata dari
masing kelompok khususnya bagi keluarga, sementara hukum adat bagocek itu, merupakan hukum
adat yang berat tingkat permasalahan atau perkara, merupakan pengadilan tingkat tinggi dan terakhir,
dalam pelaksanaan, sedikit jauh dari perkampungan, tidak boleh di ketahui atau di lihat masayarakat
umum, yang di laksanakan di dalam sebuah sumur saling adu kedikjayaan dengan keris yang memang
sudah di siapkan dalam pelaksanaan bagocek itu, masing satu orang yang mewakili dari kelompok yang
bertikai, sebagai makna dari kedua hukum adat tersebut, sangat berkaitan dengan jiwa kehendak
krakter keras yang di milki Tau Gili Parewah terhadap ego sebagai laki-laki sejati, merupakan hukum
adat yang di sepakati bersama, bahwa pantang bagi seorang laki-laki bertarung secara berkelompok
yang sifat pengecut, semenjak hukum adat bagocek tersebut di lahirkan, maka persoalan yang ada,
menyangkut harga diri tidak ada lagi perkelahian yang bersifat masal, dalam arti kata harus satu lawan
satu kalau betul-betul sebagai laki-laki sejati yang sportif, bahasa Sumbawa, berarti tau sepan-sepan diri,
lamen tutu si salaki, sesuai isi kesepakatan bersama antara Tokoh-tokoh masyarakat Gili Parewa, di
mama dalam musyawarah itu, mau tidak mau kedua hukum adat itu, bakaraci dan bagocek, harus di
laksanakan dan di jalani bagi kedua belah pihak yang bersengketa atu berperkara, apabila dalam
permasalahan mereka tidak bisa di selesaikan secara kekeluargaan, itulah awal keberadaan seni budaya
barempok dan bakaraci ala Tau Sanawa.-

Hukum adat bagocek baru akan di laksanakan, apabila terjadi persoalan yang mengarah kearah
perkelahian masal, seperti dalam masalah selarian atau di sebut juga kawin lari antara mereka dari
kelompok berlainan wilayah, menemui jalan buntu atau tidak ada penyelesaian, maka sesuai
kesepakatan bersama, hukum adat bagocek, harus di jalani tidak perlu melibatkan orang banyak yang
tidak ada kaitan dalam persoalan atau tidak ada hubungan keluarga dengan orang yang bermasalah,
cukup dari unsur keluarga yang dekat saja yang masuk dalam lingkaran ada ila atau rango ila yang
artinya, punya rasa malu menyangkut harga diri yang sedang menimpa keluarga, maka mereka-
merekalah,yang akan bertanggung jawab atas harga diri, lahirnya hukum adat bagocek itu, merupakan
hukum adat yang tepaksa di lahirkan untuk menyelamatkan umat manusia, sebagai tatanan hidup
masyarakat yang merupakan lembaga hukum tertinggi di Gili Parewah saat itu, mencari efek jerah dan
jalan di dalam menentukan sebuah kebenaran, keadilan yang hakiki dalam sebuah persoalan di
kehidupan manusia yang di cipta sebagai makhluk social ,yang seharusnya saling menyantuni, dalam hal
lahirnya hukum adat bagocek dan hukum adat bakaraci, semata-mata di ilhami dari kerakter keras dan
temperamental yang sudah mendarah daging di jiwa Tau Gili Parewah saat itu, namun Dewa Maraja
Belo Panganyang tidak sampai di situ,memadamkan api dengan cara apapun kala itu, seperti orang bijak
berkata, bahwa tidak ada persoalan yang tidak bisa di selesaikan, ibarat, segarang-garangnya api yang
sedang membara, kalau di siram dengan air mendidih dua ratus derajat sekalipun, maka api itu akan
padam juga dalam arti kata setiap melakukan sesuatu itu kalau sudah pas pada tata cara mengatasinya
maka semuanya menjadi gampang di laksanakan, sebagai mana pilosof Tau Tana Samawa yang terdapat
dalam makanan khas, singang dan sepat, kalau kita mau merenung sejenak, dominannya asam dan
garam saja di mana kedua benda alam itu sifatnya sangat jauh berbeda satu sama lain, lalu di racik di
ramut sedemikian rupa dan di campur dengan bermacam-macam daun dan buah tumbuhan yang
mentah-mentah, tidak pantas-pantas sebenarnya untuk di makan, akan tetapi kalau sudah di racik oleh
ahlinya maka makanan itupun enak sebagai santapan yang sangat nikmat sekali, dari dua hal yang
bebeda sama sekali, seperti pepata lama mengatakan, asam di gunung garam di laut bertemu di dalam
belanga, dari perenungan kata bijak itulah, baginda Dewa Meraja Belo Panganyang menemukan titik
lubang kecil sebagai titik awal yang senyawa dengan kerakter, dalam merubah sifat keras Tau Gili
Parewah di dalam menyelesaikan persoalan terjadi, tidak seperti pandai besi untuk membuat parang,
pasti besi akan bertemu palu besi, kendatipun akan bertemu air, oleh karena, tidak lebih dan tidak
kurang dengan lahirnya hukum adat bagocek dan hukum adat bakaraci, di mana mereka akan saling
mengadu nyali mengadu kedikjayaan dalam ilmu bathin, antara ketua-ketua salah satu jawara atau
jagonya, bagi yang terkena hukum adat bagocek yang mewakili keluarga maupun mewakili kelompok
masing-masing yang sedang berperkara, kalah, menang dalam bagocek itu, akan mendapat harta
warisan dari keluarga yang di wakili, kalau yang mati dalam bagocek, orangnya masi jejaka, maka harta
warisan pemberian sebagai timbal balik itu, di terimakan ke orang tuanya, begitu juga halnya yang mati
dalam bagocek, apabila sudah beranak isteri atau sudah berumah tangga, maka harta warisan
pemberian itu akan di serahkan kepada isteri atau anaknya sebagai ahli waris, bagi kelompok yang tidak
melakukan hukum adat bagocek atau hukum adat bakaraci, dalam permasalahan yang sedang di hadapi,
berarti bagi kelompok yang di nyatakan kalah dalam sebuah persoalan yang di perkarakan itu, maka
kelompok yang kalah, harus tunduk, patuh membayar upeti setiap satu kali panen ke pihak yang
menang dalam adat bagocek itu, sehingga nyata sekali semenjak adanya dua hukum adat bagocek dan
bakaraci, jarang sekali terjadi pertikaian atau perang antara wilayah etnis atau kelompok satu dengan
kelompok lain yang merugikan kedua belah pihak, karena akibat yang di timbulkan sangat besar sekali
kerugian yang di alami kedua belah pihak, tidak terhitung nilai.-

Seiring dengan perkembangan zaman, hokum adat bagocek dan hokum adat bakaraci tidak
terlalu lama berselang, berjalan sebagai mana yang telah di sepakati bersama, keberadaan dua hukum
adat tersebut, mulai Tau Gili Parewah, resah, karena dua hukum adat yang menakutkan dan sangat tidak
manusiawi, saat itulah mulai berpikir dengan akal sehat yang jernih, sebagai manusia punya rasa, pada
akhir hukum adat bagocek, secara perlahan-lahan hilang begitu saja, karena setiap persoalan yang ada,
bisa di selesaikan secara kekeluargaan, sebab mulai banyak orang berhitung akan untung rugi dan
banyak orang yang takut kehilangan orang-orang yang di cintai apabila sampai terkena dua hukum adat
itu, di anggap tidak manusiawi, bengis, dalam bahasa rasa, tidak ada rasa peri kemanusiaan, rasa ibah,
rasa kasihan akan sesama mahluk, kendatipun pada saat itu Tau Gili Parewah terpaksa, kehilangan tata
cara mencari keadilan, dan tata cara dalam mengambil sebuah keputusan perkara, siapa menang siapa
yang kalah dalam persoalan, tidak di permasalahkan lagi, semua diserahkan kepada penanggung jawab,
yang di tentukan sang baginda raja, dari itu harga diri yang salah tafsir ( gengsi ) selama itu, tidak lagi
menjadi momok yang menakutkan atau menjadi tolak ukur dalam kehidupan se hari-hari Tau Gili
Parewah, yang harus di tebus dengan nyawa, namun etika sopan santun tetap di junjung tinggi dalam
berkomonikasi sesama sebagai tolak ukur dalam beradaptasi, dengan tidak lagi berpungsinya dua
hukum adat itu, namun se tidak-tidaknya banyak nyawa yang terselamatkan, maka pada akhir adat
bagocek itu, hilang dengan sendiri, dan berubah dengan cara mengadu pisik satu lawan satu, tanpa alat,
tangan kosong yang di sebut dengan Barempok, yang tidak memakai senjata apapun, kecuali baberapa
tangkai padi dalam gengaman, begitu juga halnya hukum adat bakaraci pada akhir menjadi permainan
rakyat, sebab selama hukum adat bagocek itu berjalan selama itu, banyak orang yang menderita bathin
karena kehilangan orang-orang di cintai, hanya karena harga diri yang secuil, dan akibat yang di
timbulkan hukum bagocek, semakin banyak janda-janda karena kehilangan suami dan semakin banyak
anak menjadi yatim karena kehilangan bapak, tidak jarang yang melakukan hukum adat bagocek,
merupakan putera-putera terbaik dari kelompok itu, berdedikasi, bertanggung jawab, cerdas arif,
bijaksana, meregang nyawa karena menjalani hukum adat bagocek, yang sebenar, di butuhkan sebagai
generasi penerus. berawal dari itulah Tau Gili Parewah mulai menghargai apa arti dari sekeping nyawa
yang hilang begitu saja, akibat dari ego atau harga diri yang tidak semesti harus memepertaruhkan
nyawa, di dalam menjaga harga diri bagi Tau Gili Parewah kala itu, memang tinggi sekali, baik yang laki-
laki, maupun perempuan, sebagai contoh kalau si laki-laki sudah berucap A ya harus jawabnya A seperti
kata bijak orang tua terdahulu, lamen kajelong ne tu bau porat, kajelong karante, mate tau yang artinya
bagi laki-laki Tau samawa saat itu, kalau berucap kata pantang baginya untuk plintat plintut, atau
membohongi hati nurani apa lagi membohongi orang lain, begitu juga bagi wanitanya, misalkan seorang
gadis cantik membuang gas berbau, bahasa Sumbawa Ngentet, tanpa sengaja, seperti di tempat
hajatan, di tempat basiru tanam padi atau potong padi dalam arti kata di depan banyak orang atau di
depan umum, tabu bagi seorang gadis, kalau sampai terjadi hal itu, biasa si gadis lebih baik mati bunuh
diri, dari pada hidup menanggung malu karena kelalaian diri sendiri, atau karena ula orang lain di tempat
umum, seperti pepata lama mengatakan dari pada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang
tanah, begitu besar rasa malu dan harga diri Tau Gili Parewah saat itu, tidak seperti yang sekarang di
negeri ini, ada berani perempuan, daripada lelaki, siapa yang salah, memang itulah tujuan demokrasi
yang gamang bagi budaya asing yang terlalu muda kita pahami, ketimbang kita memahami budaya
Samawa yang di dalam memaknai, saling menghargai sangat beretika yang selaras dengan harkat
martabat, yang di tuntun oleh panutan kita Nabi Muhammad SAW betapa mulyanya seorang ibu yang
sebenarnya surga itu, berada di bawah telapak kaki ibu, oleh karenanya pada saat tempo dulu di mana
budaya Samawa masi di junjung tinggi, wanita atau perempuan terlalu sulit, kita temui, tatakala
matahari mulai tenggelam, begitu sebaliknya, muda kita dapat seorang wanita tatkala harga diri
tercoreng karena di paksa oleh keadaan, seperti mengeluarkan gas beracun atau di isukan hal-hal
melanggar adat di tengah umum, nyawalah taruhan, bahasa Sumbawa ya layar ke nyawa, ya bantal
mate, karena merasa diri sebagai perempuan, hina, dina tidak bisa mengawasi dirinya sendiri,
kendatipun demikian berat di rasakan harga diri yang tercoreng, karena keadaan itu, namun si gadis
akan terbebas tekanan perasaan malu itu, apabila seorang laki-laki yang kebetulan hadir di tempat itu,
mengakui bahwa si laki-laki itu yang mengeluarkan cas beracun itu, kendatipun si laki-laki itu, orangnya
cacat, buta, pincang dan jelek rupa, maka si gadis, akan pergi entek berenti ke rumah hukum adat dalam
arti kata minta di kawinkan dengan si lelaki yang telah menanggung malu di depan orang banyak atau di
depan umum itu, kendatipun orang tua si gadis tidak merestui tindakan puterinya itu, akan tetapi
berbangga hati karena si gadis telah menjaga kehormatan dirinya sendiri dan keluarga, menyangkut
harga diri dalam etika sopan santun sebagai seorang gadis atau perempuan yang mulya tingkatan,
seperti orang bijak berkata, baik buruk dan hancurnya sebuah bangsa, karena ulah dan perbuatan
seorang perempuan, karena seorang perempuan di ibaratkan mata pena yang akan menore kertas
putih yang suci di dalam hidup dan kehidupan, sebagai seorang ibu yang melahirkan keberadaan umat
manusia dimuka bumi yang pana, antara ada dan tiada.-

Masa peralihan

Seiring dengan cara berpikir Tau Gili Parewah kala itu semakin hari semakin luwes, adanya saling
keterbukaan antara kelompok satu dengan kelompok lain dalam hal menjodohkan putera puteri
mereka, akhirnya adat bagocek itu, sedikit demi sedikit hilang secara total tanpa melalui musawara
sebagaimana lahirnya, kendatipun pada akhir beralih ke adat barempok, yang sifatnya sebagai hiburan
rakyat semata yang tidak terlepas dari tititsan darah marah ala adat bagocek masyarakat Gili Parewah,
akan tetapi tidak terlalu mengerikan seperti adat bagocek yang sadis dan mengerikan, jauh dari rasa
kemanusiaan sebagai mahluk ciptaan Tuhan, memang merubah kerakter yang sudah tertanam di jiwa
sebuah kelompok yang tidak di sangka-sangka itu, tidaklah semudah membalik telapak tangan, dalam
jiwa atau darah panas sang pemberani, Tau Gili Parewah, dalam mempertahankan harga diri, salah tafsir
itu, oleh karena sebagai pelampiasan watak keras Tau Gili Parewah saat itu, terpaksa sekali para jawara-
jawara mengembalikan ala bagocek kecil sebagai hiburan, identik dengan kejantanan seorang laki-laki
yang di kiaskan dalam hiburan rakyat, di sebut dengan adat barempok yang di laksanakan sekali
setahun, di saat panen padi tiba, itu barempok yang sungguhnya, karena ada juga barempok kecil-
kecilan, seperti yang di lakukan pada malam hari di saat terang bulan, di mana ada lapangan di atas
pasir-pasir pinggiran kali, di situ orang orang pada rame ngumpul mengadakan acara barempok kecil
sebagai latihan dan pemanasan tatkala menghadapi barempok yang sesungguhnya di musim basiru
mata pade, apabila sudah tiba waktunya, memang sungguh luar biasa dengan terciptanya adat
barempok sebagai hiburan rakyat bagi Tau Samawa yang sangat senyawa dan seia sekata dengan
kerakter Tau Samawa yang keras, sehingga telah merubah tatanan kehidupan dan sikap laku yang
tempramental itu, menjadi laki-laki sejati atau jentelmen yang mulai menjunjung tinggi sportipitas saling
mengakui kehebatan orang lain, bahwa di atasa langit ada langit, di mana dalam pelaksanaan barempok,
tidak ada pengamanan khusus dari aparat manapun juga saat itu, akan tetapi tetapi aman tertib
terkendali, padahal parang, pedang panjang, tombak dan banyak benda-benda tajam lainnya yang
berserakan di mana-mana dan juga setiap tau salaki Gili Parewah pada saat itu pasti di pinggangnya
terselip semacam golok atau badik, namun belum perna ada cerita orang-orang itu, saling bunuh gara-
gara barempok, kecuali meninggal karena terkena pukulan tinju lawannya di dalam acara barempok itu
sendiri, tidak ada kebenaran tanpa ada kesalahan, apbila ada acara barempok, bersifat undangan, tidak
jarangorang membawa kain kafan atau bokas bahasa Sumbawanya, kalau salah sorang jago barempok
meninggal dunia dalam barempok pada saat itu, merupakan meninggalnya seorang laki-laki sejati, sebab
di dalam melakukan barempok, bukan pisik saja yang di adu, akan tetapi ada hal yang gaib, di sebut
dengan ilmu sihir atau ilmu bathin ikut berperan di dalam mengadu kedikjayaannya, siapa yang
mumpuni pasti menang dalam barempok, kalau sampai terjadi ada kematian akibat dari baremopok saat
itu, semua pihak tidak ada yang keberatan justeru sebaliknya, memotong kerbau besar dalam pesta
berkabungnya, seperti sebuah nama yang melengendaris dalam bakaraci seperti Gagak Putih, Kebo
Karong, Pekat Kakan Besi begitu juga dengan barempoknya, seperti Iwang, Tembel, Sman, Jame, Ambek
dan banyak yang lain-lainnya yang tidak bisa di sebut satu persatu keberadaan barempok yang di
laksanakan sekali setahun, betul-betul, telah merubah sikap laku Tau Gili Parewa untuk menjunjung
tinggi etika, memang harapan semua, terutama baginda Dewa Maraja Belo Panganyang,Tau Gili
Parewah pada umumnya, dalam kata bijak dari sang baginda Dewa Maraja, apapun yang kita lakukan di
muka bumi pana, sebengis apapun perilaku manusia, pasti akan bertemu dengan titik jenuhnya, selagi
manusia itu, mempunyai rasa dan hati nurani, sebab orang yang tidak punya rasa dan mengingkari hati
nurani, ibarat mayat hidup sedang berjalan menebar bau busuk kemana-mana, semenjak itulah Tau Gili
Parewah saling menikmati hidup rukun tenteram dan damai tidak ada ketakutan, saling kunjung
mengunjungi dengan istila sanak ate atau saudara yang timbul dari hati ke hati, ala bisa karena biasa,
mulai saat itu, tidak ada perang antara kelompok, kalaupun ada yang melakukan selarian, maka tidak
lagi ada perang antara kelompok atau golongan, cuma paling tidak si anak perempuan atau si gadis,
tidak lagi di anggap sebagai anak, terputus sama sekali dari hubungan keluarga terbuang dari kaum
kerabat, atau terkucil dari segala urusan keluarganya termasuk harta warisan, akan tetapi, kalaupun si
gadis melakukan selarian atau pergi entek barenti, akan tetapi mendapat restu orang tua maupun
keluarga tidak masalah, biasanya bagi yang tidak mendapat restu karena selairian, maka di anggap
sebagai sebutir telur yang di buang begitu saja, bahasa Sumbawa ya mo mara bolang tele sepa, itu lebih
baik dari pada harus melaksanakan hukum adat bagocek yang mengerikan, sebagai laki-laki yang punya
harga diri, biasanya akan pergi meninggalkan kampung itu, meninggalkan kaum kerabat, handai
tolan,mencari tempat berteduh yang baru sampai beranak pinak sambil membuka lahan pertanian,
berladang, berkebun di tempat yang baru, akibatnya setelah puluhan tahun atau pada keturunan ke
berapa anak temurunnya baru saling kenal, terlahir dari titisan yang sama, dari kejadian itulah,
merupakan rentetan perkembangan umat manusia di Tana Samawa, sehingga menyebar di mana-mana,
kendatipun dengan cara berpindah-pindah dari lahan satu ke lahan lain, akibat dari ada rasa dan lenge
rasa, itulah akar budaya, Samawa.-

Atas kemauan keras membanting tulang memutar otak yang tidak sia-sia sang baginda Dewa
Maraja Belo Panganyang, menyelamatkan rakyat dari penyakit saling membunuh, akhir membuahkan
hasil maksimal, di mana rakyatnya menjadi rakyat yang pandani saling menghargai saling bergotoroyong
yang lazimnya di sebut dengan basiru dari membuat rumah, menanam padi dan panen padi, begitu juga
halnya dalam masalah perkawinan asal kena perajak dalam arti kata di ajak rembok keluarga, kurang
dalam masalah dana yang harus di sediakan, oleh karena yang punya hajat saat itu, tidak perlu bersusah
payah memimkirkan apa-apa semuanya akan tersedia baik padi, kayu bakar kelapa, telur, ayam, kerbau,
kambing, domba, dan lain-lainnya di antar oleh kaum kerabat, handai taulan, sanak pamili yang telah di
beri tahu tentang hajatnya itu, cuma perkawinan ala Tau Gili Parewah, banyak lika likunya dan bayak
memakan biaya, sehingga pelaksaan acara pesta perkawinan, memakan waktu cukup panjang juga,
biasa sampai dua, tiga, bulan lama dalam persiapan dan selama itu pula si calon pengantin wanita
menjalani masa prosesi, yang di sebut kengkaman, arti di dekam atau di sembunyikan dari segala
kegiatan apapun yang perna di lakukan, barulah upacara perkawinan di laksanakan, setelah prosesi
kengkam itu di lalui berbulan-bulan, karena selama itu juga, orang-orang sedang mempersiapkan
segalah kebutuhan pesta perkawinan itu sendiri, sandang pangan, terutama menumbuk padi khusus di
malam hari dan beras yang di jadikan tepung sebagai bahan pembuat kue, secara adat gotong royong
sambil baguntong rantok yang juga di selingi, bagandang saling sareb dalam irama dan suara khas Tau
bagandang malangko, membuat hati terenyuh, bagi orang yang bisa memaknai isi lawas-lawas, yang di
senandungkan dalam acara tumbuk padi, itupun khusus dilakukan para wanita-wanita setengah baya,
atau orang-orang dewasa yang sudah berumah tangga rata-rata sudah mahir di baguntong rantok itu,
jarang sekali yang gadis-gadis, berbeda dengan bagandang malangko di tempat mata basiru, dalam arti
kata, potong padi bergotong royong yang kebanyakan di kunjungi pemuda pemudi, di mana pada masa
itu, seorang gadis tidak semberangan keluar rumah atau menampakan diri di tengah umum, kecuali di
saat basiru potong padi itu si gadis bisa menikmati alam bebas tidak segampang sekarang, itupun pada
saat itu kalau keluar rumah, harus memakai dua lembar sarung yang menutupi seluruh tubunya kecuali
raut wajah yang tebuka akan tetapi memakai pupur yang tebal, bahasa Sumbawanya seme mama, acara
basiru mata pade yang artinya bergotong royong potong padi merupakan adat istiadat Tau Gili Parewah,
bisa juga merupakan anjang sana, bersilaturahim antara sanak ate dan juga merupakan ajang mencari
jodoh, oleh karenanya di acara basiru itu, lebih banyak di kunjungi kaum muda, mudi bahasa
Sumbawanya tau taruna dadara yang usianya suda masuk ke jenjang perkawinan, jarang di adat basiru
potong padi itu, di hadiri oleh orang-orang yang sudah berumah tangga, kalaupun ada, tugasnya,
mengikat padi hasil yang di potong pemuda pemudi itu, pada acara basiru potong padi pasti ramai para
pengunjung selain dari pemuda kampong itu sendiri, banyak pemuda-pemuda dari luar desa manapun
kendatipun tidak di undang asal mereka tahu bahwa di sebuah desa A atau B misalnya, ada acara basiru
mata pade atau di sebut gotong royong potong padi, maka dengan sendirinya tempat basiru itu, rame di
kunjungi para pemuda-pemuda yang senang malangko, bagandang, barempok yang di ringi dengan
suara bagenro saling sahut menyahut, bertautan antara pemuda pemudi dalam susana yang sangat
akrab antara kampung kendatipun pada awalnya mereka tidak saling mengenal satu sama lainnya, di
mata basiru yang di sebut potong padi bergtong royong itu ibarat mata rantai yang terputus
bersambung kembali setelah setahun tidak bertemu dengan kelompok yang berjauhan kampung yang
biasa menghadiri acara basiru, terutama para jejaka, sebab pada acara basiru tersebut, merupakan
kesempatan sekali setahun bisa bertemu dengan gadis-gadis cantik, bahkan tidak jarang yang ketemu
jodohnya di acara basiru itu, bagi pemuda pemudi biasanya melalui sair lawas yang di senandungkan
lewat seni badede di sebut dengan bagandang, malangko saling sareb bahasa indonesianya duet, yang di
sertai acara barempok di selingi pula dengan acara baleger, membuat makanan wajik dari beras ketan,
di buat di dalam wajan besar, di sertai juga bagoreng kebo ala Tau Samawa untuk hidangan para tamu,
terutama dan teristimewa bagi tamu yang berdatangan dari daerah lain atau datang dari kampung yang
jauh, untuk makan siang bersama, bahasa Sumbawanya basapra dalam setatus yang sama tidak ada
beda antara kampung itu dan kampung ini, kendatipun tadinya habis-habisan babak belur saling hajar di
arena barempok hal itu, tidak menjadi persoalan, semua akan hilang di gelanggang begitu selesai acara
barempok, ke semua itu, tidak terlepas dari perjuangan, mendiang raja Dewa Maraja Belo Panganyang,
yang menjunjung tinggi sportipitas penuh etika, karena ala bisa karena biasa, akan tetapi, sekarang ini
kemana etika itu, menghilang, tak uba mengejar bayangan sendiri, untuk mencari, semakin di kejar
bayangan itu, semakin kencang berlari tidak terkejar, bahkan sebaliknya, apa yang sedang terjadi
sekarang, banyak petinggi negeri ini tidak bisa memahami, apa yang di inginkan rakyatnya, apakah
memang masa bodoh, hal itu masi di uji, karena apa yang kita tengarai sekarang ini cenderung para
penuasa di negeri ini, memikirkan apa yang akan di dapat dari negeri ini, ketimbang memikirkan apa
yang akan di berikan untuk negeri ini, tidak kuarang para wakil-wakil rakyat yang meminta proyek di
intansi-intansi sebagai jata, kasihan orang kecil, pencari kerja dan anehnya juga para pimpinan intansi itu
sendiri kadang kala mengerjakan proyek itu sendiri, tidak takut kutukan undan-undang sebagai Amtenar,
sangat jelas sekali di perjelaskan dalam kitab yang kita yakini dan kita sepakati bersama di bawah
naungan Pancasila dan UUD 45, kalau boleh saya kutip ucap kata, mendiang Bung Karno, sebagai
pemimpin yang berhati nurani, tatkala mendiang Bunda Fatmawati berkata di hadapan suaminya, hai
Bung Karno, mana rumah kita, maksudnya rumah pribadi, sementara rumah tempat kita tinggal milik
Negara, bagaimana kalau tidak lagi menjadi Presiden, kita tinggal di mana, singkat saja Bung Karno
menjawab, terlalu kecil kalau sekedar rumah pribadi, yang berat berat bagaimana memikirkan, rakya-
rakyat kita yang masi banyak tinggal, tidur di bawah kolong jembatan, seperti yang perna di contohkan
oleh Nabi besar Muhammad SAW sebagai suami dari seorang saudagar kaya raya, namun harta benda
itu habis, sampai perna kelaparan tidak makan, hanya memikirkan orang lain, bagaimana, seorang
pemuda, putera mahkota sang Sidarta Gautama putera seorang raja kaya raya, bahkan menantang
kebijakan salah sang ayahandanya, karena tidak memihak ke rakyat kecil, sehingga sang Sidarta Gautam
lebih memilih tinggal di hutan belantara menyendiri, bertapa mencari keadailan, begitu juga dengan
sang Mahathma Gandi berjalan kaki tanpa sandal mengelingi daratan India mecari keadilan, demi rakyat
kecil jelata, atas prilaku penjajah Inggeris dinegerinya dan juga di Tana Samawa tempo dulu, seperti
mendiang Unru, Lumaga, dan Baham, melawan kebengisan Belanda, akan tetapi sekarang ini,
kebengisan itu di ramu sedemikian rupa dengan ucap kata yang halus mulus di lida, akan tetapi
kenyataan semu berlapis-lapis dalam kebohongan, sedang tumbuh kembali, sama seperti prilaku
penjajah tempo dulu, kita lupa bagaimana Dewa Maraja Belo Panganyang, bersusah payah menguras
pikiran, membanting tulang siang malam, membentuk wadah keadilan di negeri Tana Samawa tempo
dulu dengan bermacam-macam cara, sehingga tanah ini menjadi Samawa, dari kata Sama, Maong,
Mawa,-Sabalong Sama Lewa,- lema Mampes Bawa Rungan, yang sebenar kesemua itu, di ilhami dari
lima adat istiadat Tau Samawa yang di gali dengan bersusah payah para pendahulu kita, tempo dulu,
semata-mata untuk kita, akan tetapi semua itu, kita sendiri yang merobek-robek, dalam kepentingan
sesaat, menukar dengan budaya hidup, Zionis, kapitalis yang teramat jauh dari amanat akar budaya kita
Samawa.!

Keberadaan acara adat Tau Tana Samawa tempo dulu, seperti misalnya, Basiru, Barempok,
Bagandang, Basakeco, dan Bagenro dalam barapan kebo di basiru panen padi Tau Samawa, tidak boleh
terpisahkan satu sama lain, harus dalam petak sawah yang sama dan sudah tersedia khusus dan petak
sawa itu lebih besar dari petak sawah lain yang di sebut kameras, apabila si pemuda dan si pemudi yang
sedang saling sareb, dalam artikata berduet saling melempar lawas bahasa Indonesianya sair yang di
senandungkan lewat begandang atau malangko, apabila bisa saling memaknai, apa isi dari lawas masing-
masing, yang di tuangkan melalui begandang atau melangko yang disenandungkan itu, pada keinginan
kedua pemuda pemudi dalam tujuan sama, menuju kearah membentuk rumah tangga dalam sebuah
perkawinan, maka si laki-laki, pergi ngumang berlari ke gelanggang barempok yang sudah tersedia
dengan segenggam padi satekal pade di tangan, masuk mencari lawan tanding, sebagai Tau Salaki, laki-
laki sejati yang telah di tedrima cinta oleh sang gadis idaman, kendatipun demikian adanya, tidak jarang
juga para gadis-gadis yang jatuh hati kepada pemuda yang tidak bisa begandang melangko, akan tetapi
jago dalam barempok, karena barempok merupakan simbul kejantanan seorang laki-laki Taua Samawa
saat itu, cuma yang lebih sempurna apabila ke lioma budaya adat itu bisa di kuasai, baru di anggap
sebagai laki-laki bahasa Sumbawanya Tau Salaki, apabila bagandang dan malangko juga di kuasai, seperti
bahasa orang tua tedahulu, senopoka basowai, basowai mo dunung, dalam arti, sebelum kawin, kawin
dulu, secara harapiah, banyak belajar mencari ilmu sebelum kawin supaya tidak tersesat dalam
mengarungi bahtera rumah tangga, karena hawa nafsu duniawi semata yang di iringi, keserakahan dan
ketamakan, mau menang sendiri tidak mau tahu tentang orang lain dalam arti kata jauh dari sifat sosial,
hidup membabi buta seperti apa yang sering terjadi antara si kaya dan si miskin, Capitalis dengan jurang
pemisah, lupa diri, tidak ingat saat pertama terlahir ke muka bumi ini sama-sama telanjang di selimuti
lendir-lendir dan darah kotor yang menjijikan tidak membawa apa-apa dan di awali dengan tangis, yang
mengisaratkan kepada kita, bahwa kesusahan itu milik semua mahluk manusia yang tahu diri, sementara
kekayaan harta benda, milik orang-orang yang lupa diri, tidak ingat akan kelahiran, bahwa semua yang
terlakhir di muka bumi pana, pasti akan ada akhir, seperti orang bijak berkata, ada pertemuan pasti ada
perpisahan, dan hal yang paling berat di rasakan dalam hidup dan kehidupan manusia, tatkala sebuah
perpisahan itu tiba-tiba datang , seperti kamatian, keberhasilan Dewa Meraja Belo Panganyang di dalam
merubah sikap laku, prilaku Tau Gili Parewah saat itu, menuju kearah prilaku masyarakat yang madani,
menjadi masyarakat harmoni penuh cinta kasi senap semu nyaman nyawe, ikut merubah tata cara
kehidupan Tau Gili Parewah yang temperamental itu, ke arah saling sakiki rara, saling satotang, saling
samawa, saling sanoya lewat adat badea dalam arti kata saling pengertyian dan hormat menghormati,
dalam arti sama maong mawa atau sabalong sama lewa tidak ada yang menangis dan ketawa susah
senang di tanggung bersama sehingga mampes bawa rungan itu di capai, setelah para petinggi-petinggi
Tau Gili Parewah, menyimak memperhatikan perkembangan kearah saling sakiki rara, pada akhir, atas
kesepakatan bersama, seluruh wilayah di undang ke kota peraja Samawa Rea di gelarlah musakara rea
ke dua yang isinya, Tana Gili Parewah di ganti dengan nama Samawa atau Tana Samawa dari asal kata
sama, maong, mawa secara harapiah bisa di maknai, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, dan berat
sama di pikul, ringan sama di jinjing di sebut Samawa, merupakan akar budaya Tau Samawa yang
harmoni hidup rukun tenteram dan damai senap semu nyaman nyawe, gemahripa lohjinwi, hidup
berdampingan dengan kelompok manapun juga, terutama terhadap tamu yang bertandang ke
rumahnya dengan niat baik, akan di terima dengan baik pula yang disebut dengan bahasa sanak ate,
yang sebenar bagi Tau Samawa berat makna, karena kata yang padat berisi dan sarat dengan amanah
bahasa Sumbawa, amanat tau atau amanat para leluhur ( tau loka ) sehingga melalui usaha besar yang
di lakukan Dewa Maraja Belo Panganyang pada akhirnya, membentuk Tau Samawa sebagai manusia
yang sifatnya penyantun penuh welas asi akan sesama, lebih senang memberi dari pada menerima, lebih
baik tangan di atas dari pada tangan di bawah, kendatipun sekarang ini sikap laku Tau Samawa jauh
berbeda dari yang di bentuk, bersusah payah, orang-orang pendahulu kita, telah pudar dan punah di
gulung zaman dari prilaku Tau Samawa yang Samawa, kendatipun demikian adanya, masi ada tersisa
tinggal 0,1 porsen ketimbang hilang sama sekali, memang benar apa yang di katakan salah seorang
penjajah, Eropa yang perna penulis baca dalam sebuah buku, menurutnya kalau ingin menjajah
Indonesia, hancurkan budaya dan keyakinan, bukan benteng yang kokoh harus di hancurkan, seperti apa
sedang terjadi sekarang ini, ratusan tahun cara ini di gelar, namun baru sekarang bisa menembus negeri
ini, di saat jiwa para pemimpin kaum negeri ini bagaikan buih yang terapung di tengah lautan, sedang di
praktekan orang-orang asing, dengan cara menghancurkan tatanan hidup dan kehidupan sehari-hari Tau
Samawa, yang berbudaya saling samawa, saleng asi pang do tokal, bukan saleng salasi pang parak tokal
seperti yang di bungkus dalam bahasa kiasan Tau Samawa balong trong melalui ekonomi liberal sang
kapitalis, yang sebenar tabuh, bagi budaya yang Samawa di dukung pula dengan keberadaan tambang di
tanah ini, dalam sikap laku yang betul-betul kaspitalis, tidak bersahabat dengan rakyat kecil, komplet
sudah tanda-tanda menuju kehancuran budaya dan keyakinan itu memang yang bukan keturunan Tau
Samawa asli, landai-landai saja memikirkan Tana Samawa, apa itu masa depan anak cucu, masa
sekarang saja sudah susah, buat apa memikir masa yang tidak perna di jelang yang nanti urusan mereka,
itulah sifat kapitalis di mana-mana, di mana ada untung akan berkunjung, kalau ada rugi mereka akan
berlari, meninggalkan api bao puntok, namun bagi Tau Samawa asli titisan leluhur yang membabat
tanah leluhur, tidak perna berpikir demikian, justeru, sangat mengerikan memikirkan anak cucu turunan
ke depan, budaya apa yang akan tertinggal dan tumbuh tatkala tambang itu habis, tidak ada tambang di
dunia ini tidak habis dan meninggalkan sepa atau ampas, ibarat memeras tebu.-

Masa keemasan Tana Samawa

Pada saat Gili Parewah mulai berubah nama, menjadi Tana Samawa, saat itulah, Tana Samawa
mulai di kenal banyak orang dari negeri seberang tentang kemakmuran terutama bagi para saudagar-
saudagar berlomba-lomba berniaga ke Tana Samawa pada saat itu, di mana hasil bumi terutama panen
padi dan kacang hijau, hewan ternak melimpah ruah, sehingga timbul pameo Taua Samawa kala itu,
lamen balongmo ai kayu, pade antap molemo, pesan gayang sepuluh ten yang artinya pesan pacaklik
sepuluh tahun akan datang tidak tergoyahkan bagaimanapun kencang pacaklik yang menerjang, asalkan
hutan kayu dan rimba tidak terkoyak-koyak dalam apapun bentuknya, seperti yang di lakukan para
pelaku tambang sebab Tau Samawa yang agraris, hidup sebagai petani, hutan kayu merupapakan
warisan leluhur sebagai penyanggah periuk penyimpan air, karena luas lahan pertanian yang
membutuhkan banyak air, dalam bahasa kiasan Tau Samawa ai kayu itu seperti lawas Tau Samawa,
jerning gama we ai, ngarenteng bawa katelas, lema simpan tawar ate, selanjutnya muntu matemo ai
kayu, benrang mate remban mate, ka boat sai mo nan intan, jadi jelas sekali bahwa Tau Samawa dari
zaman dahulu kala, hidup dari pertanian untuk menghidupkan anak cucu, sehingga berkembang turun
temurun sampai sekarang, bukan dari adanya tambang emas, yang sifatnya habis manis sepa di buang
atau yang di sebut dengan tailing di buang ke laut samudera Hindia dan hasilnya hanya beberapa gelintir
orang-orang tertentu yang menikmati bahkan keberadaan tambang emas merupakan awal bencana
yang di terima anak cucu di kala nanti, mengapa tidak, di saat manusia atau Tau Samawa berkembang,
warisan itu sudah habis, tinggal ampas yang terkubur di dasar laut dalam, sementara bukit dan gunung
yang dulu menghijau sebagai tempat periuk ai kayu atau mata air tersimpan, menjadi kering kerontang,
tidak ada pohon kayu, dengan dedaunan yang menghijau, semua habis tertebang, meninggalkan dahan
dan ranting menyeringai mati bagaikan tulang belulang para pahlawan mati di tangan penjajahan
Belanda tempo dulu, sama seperti yang sedang terjadi di Tana samawa sekarang ini, eksplorasi dan
lubang-lubang besar mengangah di mana puncak bukit, yang nantinya sebagai tempat anak cucu kita
meratap, mengumpat di pinggir yang di tinggal begitu saja para penambang capitalis, lalu anak cucu kita
bertanya mengutuk, terjungkal kedalam lubang besar mengangah, bunuh diri dalam keputusasaan
mencari sesuatu yang sudah habis terbawah jauh ke negeri asing, dia meratap mau berkata apa di
negeri yang, gersang, usang dan lapuk jiwanya, hancur sumber daya alam, tinggal bekas ban-ban
burduser besar perna berlalu lalang, membuat kita tertawa terbhak-bahak, menangis tanpa makna,
hancur budaya, juga hancur keyakinan, bisa kita bayangkan sekarang ini, sebelum ada tambang, orang-
orang sekitar tambang saling memberi sekedar aru ruku, sekarang kebalikan mereka membeli aru, ruku,
dengan harga tidak pantas sebagai Tau yang berbdaya Samawa, lewat Hp dan juga hutan kayu di biarkan
meranggas, sawah ladang terlantar, karena anak negeri ini, banyak yang tidak mengenal, mana pacul
dan mana mata bajak, tak teruruskan karena penghasilan, semu dan sesat, sifatnya sementara, apa itu
yang di sebut dengan kemajuan..? sementara harta kekayaan habis terenggut pejajah-penjajah
ekonomi kapitalis, panas polas kata orang tua terdahulu karena sekarang masi ada tambang tempat
bertengger, boleh terbahak-bahak di atas penderitaan orang kecil, bagaimana tatkala tambang usai,
karena sumber daya alam yang di keruk habis setiap hari, sangat mustahil sebuah tambang, tidak ada
yang berakhir, dan pasti meninggalkan sepanya, dan penderitaan bagi penghuni tetap di sekitar bekas
tambang tersebut, lalu mereka marah-marah menghunus pedang, mau marah kepada siapa, bukankah
Allah berkata di kitap suci Al Quran, kerusakan di laut, di darat, karena ulah tangan-tangan manusia itu
sendiri, dengan kecanggihan, yang begitu mutahir, akan tetapi petinggi di negeri ini, sebagai pengambil
kebijakan, masa bodoh, lupa bahwa akan berkuasa paling lama lima tahun, sementara anak cucu kita
yang akan menerima tongkat estapet tanah leluhur kelak di kemudian hari, menggigil ketakutan tatkala
mendengar cerita dongeng tentang keberadaan lubang besar, mengangah di puncak bukit,
membayangkan bagaimana mesin besar, robot-robot penghancur, menggerogot lingkungan, bahan-
bahan peledak yang memporak porandakan lingkungan, tidak berpungsi menjadi bangkai, sebagai
tempat bermain anak cucu, pewaris penderitaan sambil menggigit jari, bercerita bahwa ibu bapak
mereka perna bekerja di tambang itu, mereka kecewa, saling menuding siapa yang salah siapa yang
benar, mempertahankan ego atau gengsi masing-masing, sama-sama benar, mereka berkelahi saling
bunuh, sementara tangan-tangan penggerak, mesin-mesin, berpindah kelain tempat mencari hutan
kayu lain sebagai mangsa baru, jadi sangat jelas sekali dengan secara tidak langsung kita semua Tau
Samawa yang mendukung keberadaan tambang emas sekarang ini, telah membunuh diri dan
membunuh anak turun yang belum lahir, dan mengubur sambil meretas akar budaya cara hidup yang di
warisi leluhur kita Tau Samawa, tentang hidup saling samawa dalam sanak ate yang tidak merusak alam
dan lingkungan, sebagai pasak bumi yang harus di nikmati se umur hidup anak turun kita, bukan
sekarang ini, dan bukan orang asing yang kapitalis berwatak penjajah, yang menikmati sumber daya
alam kita yang melimpah ruah, kurangkah leluhur kita di jajah Belanda selama 350 tahun dan Jepang
selama 3,5 tahun, apa sekarang kita ingin lagi, masuk dalam perangkap sang penjajah yang samar-samar
dengan kehadiran pengusaha tambang emas terbesar se antero jagad ini, kita di adu domba sesame,
kita di benturkan dengan aparat putera bangsa sendiri, setelah itu mereka tertawa terbahak-bahak
sambil minum anggur di atas gedung setinggi langit, sambil batuk-batuk lalu dahaknya di ludahi keluar
jendela hotel bertingkat itu, dan dahaknya, pas jatuh di kepala kita yang kebetulan lewat di bawah
gedung, memang enak rasanya dahak orang-orang asing terutama dahaknya orang Amerika, kalau mau
di cicipi mengalahkan rasa es krimnya, seperti yang sedang di lakukan dan di peraktekan, orang-orang
bangsa ini secara diam-diam, mengajarkan kepada kita dengan istilah cipika, cipiki, ibu Negara, dengan
yang bukan muhrim sebagai bangsa penjilat, silakan di coba enak sekali es krimnya Amerika, seperti
orang bijak berkata, carilah uang sebanyak-banyaknya asalkan jangan sampai di perbudak oleh uang itu
sendiri, sebagai contoh Amerika dengan kekayaan alam tidak kurang-kurang di negerinya, belum
tersentuh sama sekali, nanti setelah semua negeri lain, habis sumber daya alam, barulah mereka akan
menggarap sumber daya alamnya, sementara kita yang habis sumber daya alam, gigit jari, lihat saja,
tidak terlalu lama 20 tahun akan datang, terpaksa semua kita akan menjadi pengemis dan budak belian
orang Amerika, yang pada akhir keyakinan dan budaya, kita gadaikan untuk kepntingan kaum yang
terkutuk, sangat jelas sekali, karena sekarang, peri laku kita sangat jauh dari apa yang menjadi cita-cita
suci Pancasila dan UUD 45 yang begitu bersahaja memikirkan kita semua dalam budaya Tepo seliro,
seperti yang perna di ucapkan mendiang Bung Karno sang proklamator, tatkala beliau mengatakan
Pancasila dan UUD 45 sebagai pandangan hidup bagi kita anak bangsa yang bermartabat, namun
sekarang ini kita sendiri yang mencircah dan merobek-robek maknanya, dalam peri laku kita sehari-hari,
di dalam berbangsa dan bernegara, kita lupa sebagai orang yang menyebut diri Tau Samwa, seperti yang
di warisi juga Dewa Maraja Belo Panganyang sebagai pemimpin Tana Samawa, atas kebijakan dalam
semboyan mana karara tau rea, asal na karara tau ya pelihara, dalam arti, biar sengsara pemimpin, asal
jangan sengsara bagi yang di pimpin, sebagai amanah yang di tinggalkan mendiang raja Dewa Belo
Panganyang untuk anak cucu, yurun temurunnya yang di praktekan kala itu, sehingga pada saat itu,
tidak heran semakin banyak pendatang berlalu lalang di laut Flores, pulang pergi dari dan ke Tana
Samawa kala itu, bahkan tidak kurang yang menetap tinggal di Tana Samawa, sampai beranak pinak,
menuai harapan di Tana Samawa, menjanjikan, yang berbudaya Samawa, sehingga dermaga labuhan
Sumbawa atau labu Samawa pada saat itu, ramai bersandar perahu-perahu layar yang besar dari negeri
seberang, seorang saudagar kaya dari daratan Cina perna menyebut, labuhan Sumbawa dengan sebutan
labuhan Samawa Raya di karenakan labuhan Sumbawa saat itu, merupakan bandar teramai ke dua di
bagian tengah, setelah bandar Bugis Makasar, karena pada saat itu setiap perahu besar yang datang dan
pergi dari Bugis Makasar, semenanjung Malaka, berlayar melewati laut Flores dan pasti berlabuh
menurunkan jangkar, bersandar di pelabuhan Sumbawa dalam beberapa minggu, membeli hasil bumi,
hasil hutan dan hewan ternak.-

Pengorbanan seorang puteri

Akan tetapi puncak kejayaan atau puncak ke emasan sedang di capai Tau Tana Samawa, tidak
seperti apa yang sedang di derita masyarakat di sebuah Kerajaan yang di daratan tanah Jawaduwipa,
saat itu, yang sebelumnya kerajaan itu, di kenal sebagai daerah penghasil, dari hasil bumi yang
melimpah ruah, yang di dukung luas lahan pertanian dan tanah yang subur, lagi pula tata cara pengairan
yang bagus, sehingga kehidupan masyarakat kerajaan tersebut boleh di bilang makmur aman sentosa
totoraharjo gemahripah lohjinawi, seperti kata orang bijak kerajaan tersebut kala itu, apa saja di tanam
akan tumbuh, tongkat kayu di tanam akan menjadi tanaman, begitu makmurnya derah itu, di tambah
pula dengan hati nurani sang Baginda Raja yang kaya akan rasa dalam sebuah penderitaan, nongka roa
ate ya panto tau susah, dalam arti kata apa yang dirasakan orang lain itu yang di rasakan beliau seperti
yang derita rakya-rakyatnya, seperti kata bijak sang Baginda Raja yang sering terucapkan, jangan perna
bermimpi menjadi pemimpin kalau ingin menapakan kaki di atas penderitaan orang yang di pimpin,
lebih baik menjadi budak asalkan bisa membuat orang lain terbahak-bahak dalam tangisnya.-

Namun sang maha kuasa jualah yang maha berkehendak lain, pada kala itu menguji ketabahan
hati sang raja, kerajaan itu, yang mana di saat kerajaan tersebut, mencapai puncak keemasan, tiba-tiba
bencana alam melanda bertubi-tubi menerjang ganas kerajaan tersebut, gunung meletus, gempa bumi,
banjir bandeng melanda, meluap menyapuh bersih semua kehidupan yang ada di wilayah kerajaan itu,
sehingga daerah itu, tak ubah sebagai daerah mati total, di mana perkampungan desa dan dusun rumah-
rumah penduduk yang tak berdosa, di buat rata dengan tanah oleh bengisnya bencana alam yang
menimpa negeri itu, merintih tangis pilu dalam kelaparan terdengar di mana-mana meratapi puing-
puing rumah mereka yang terkubur dalam gundukan lumpur, tidak tersisa sama sekali, bisa di
mamafaatkan sekedar menyambung hidup, hewan ternak, menyeringai mati bergelimpangan, tidak ada
yang mengurus, bau busuk menyengat dari bangkai-bangkai hewan tertimbun lumpur di sudut-sudut
desa, tidak sampai disitu saja bencana menerjang kerajaan, di mana sebaliknya, kalau musim kemarau
datang, waktunya terlalu panjang, sehingga sawah, ladang yang subur menuai padi, tanaman lainnya
sebagai sumber kehidupan masyarakat negeri yang rata-rata sebagai petani, menjadi kering kerontang
tanam-tanaman yang biasa daun dan rantingnya, menghijau bergoyang-goyang gemerisik tertiup angin
mengusik hati, tidak di temui lagi, semua menjadi meranggas, jatuh satu persatu meninggalkan batang,
dahan yang seakan-akan juga sedang meratap, mengharap jatuh hujan, sawah ladang luas membentang,
sejauh mata memandang, kering kerontang, bagai padang pasir gersang tidak berperi, menuai
keputusasaan bagi masyarakat hidup sebagai petani, tanah lahan itu menjadi pecah mengangah
mangharap hujan yang semakin jauh bersembunyi mengintip di balik awan, begitu juga akan nasip sang
kodok tidak kala sial, yang biasa bersuara lantang nyaring saling bertautan seirama melantunkan
nyanyian alam di malam hari, hampir-hampir tidak lagi terdengar entah kemana gerangan mereka
mengungsi atau sudah matikah mereka terpanggang panasnya matahari semakin tidak jelas
keberadaannya, akibat dari bencana alam yang menimpah kerajan itu, oleh karenanya tidaklah heran
kalau sang Baginda Raja pemimpin kerajaan tersebut sangat, bersedih hati, pasrah atas ke
tidakberdayaan, apa hendak di kata, hari-hari yang di lalui sang Baginda Raja kerajaan itu, sangat
memprihatinkan tak ada canda seperti sedia kala berpasrah diri di dampingi kesedihan dan kepedihan
hati yang menyiksa paling dalam, tidak seperti pada hari-hari yang di lalaui sang Baginda Raja tatkala
negerinya masi berjaya, untung saja saat-saat yang bengis itu ada tertinggal sekeping permata hati
puteri satu-satunya yang bernama puteri Rengganis sebagai tempat menuangkan rasa pahit getirnya
kehidupan yang di rasakan tiada tara kala itu oleh sang baginda raja, melihat keadaan wilayah separa
itu, betul-betul telah menghantam dan menhuam ulu hati bagaikan tersayat sembilu yang terasa sangat
perih menyiksa kehidupan rakyatnya itu, di tambah lagi dengan menghilangnya putera mahkota, putera
sulung sang Baginda Raja, pergi entah kemana menghilang bagaikan di telan bumi tidak ada kabar berita
dan dimana hutan rimbanya berada, membuat hati sang baginda yang sedang resah bertambah gunda
gaulana terpanggang derita tiada akhir, sehingga sang baginda raja dalam kekalutan itu, tak tentu arah
dalam pemikirannya yang mana harus di pikirkan antara rakyat atau putera darah dagingnya sendiri tak
uba memakan buah si mala kama, dimakan bunda meninggal, kalau tidak di makan bapak meningngal,
dua pilihan yang sangat berat.-

Genap sudah penderitaan sang bginda Raja di atas ke tidak berdayaannya, ibaratnya bagaikan
sarung basah jatuh ke lantai, tanpa daya sama sekali dan juga masyarakat tidak kurang-kurang yang
terpaksa mengungsi entah kemana arah tujuan di bawa nasip sedang menerjang di badan, meninggalkan
tanah leluhur yang di cintai, handai tolan, kaum kerabat, sanak pamili mencari kehidupan baru kemana
langkah membawa tubu raga yang sekarat itu, kendatipun dalam keadaan terseot-seot dengan
semangat hidup yang masi tersisa mencoba menyonsong hari esok yang pasti akan terbit dalam
kecerahan, secerah harapan yang di damba, sang baginda Raja tidak bisa berbuat apa-apa, habis usaha,
tidak kurang bentuk usaha di lakukan, bantuan-bantuan dari para donatur-donatur, negeri tetangga
tidak kurang di terima sang baginda Raja, akan tetapi tidak juga mencukupi kebutuhan masyarakat
jumlah yang begitu besar, dalam jangka waktu yang panjang, demikian pula dengan masyarakatnya yang
hidup sebagai petani atau buruh tani, apa yang bisa di lakukan, dalam keadaan tidak berdaya seperti itu
tidak juga berpangku tangan, mencoba mengais sisa harta benda yang masi tertanam di balik gundukan
lumpur yang sudah mengeras, kendatipun tidak bisa di mampaatkan, namun setidak-tidaknya masi juga
ada tersisa sekedar di lihat di pandang sebagai cambuk mendukung hayat yang masi bergayut di
kandung badan, berjuang untuk bangkit kembali seperti sedia kala di dalam menyonsong hari esok yang
lebih baik.-

Pada suatu ketika, di malam hari yang sunyi, di saat baginda Raja terlelap dalam tidur, di mana
sang baginda Raja yang sedang dalam kekalutan itu, bermimpi di datangi seorang tua bangka
keadaannya sudak bungkuk berpakaian serba putih dan rambut putih aut-autan memanjang
menjangkau pinggul di tambah pula dengan janggut yang putih dibiar terurai tak beraturan memanjang
menerepa dadanya yang kurus kering, tinggal kilt pembungkus tulang, lalu si orang tua yang di dalam
mimpi sang baginda raja, bahwa kerajaan yang dipimpin, baru terbebas dari bencana alam yang
berkepanjangan, tiada cela, jiikalau sang baginda Raja, dengan tulus ikhlas, mau mengorbankan puteri
satau-satunya yang di cintai, bernama Rengganis untuk sang Dewa Laut yang bersemayam di dasar laut
selatan, sebagai Samudera Hindia, di mana dalam mimmpi sang baginda Raja, sangat jelas antara sadar
dan tidak, namun telah meyakinkan hati sang baginda Raja yang saat itu betul-betul jiwanya sedang
labil, antara masi hidup atau sudah mati di rasakan.-

Mimpi sang baginda Raja itu, baru di ceritakan ke puteri Rengganis setelah satu minggu berlalu
dalam berpikir, kendatipun hal itu sangat berat sekali, karena tidak ada pilihan lain, apa boleh buat,
kendatipun tiba-tiba pikiran sang baginda raja di hantui bayang-bayang kemasa kecil si puteri Rengganis
di mana di usia enam bulan puteri Rengganis, lahir di muka bumi, di saat sedang hangat-hangat pelukan
seorang ibu, sang bunda tercinta mangkat pergi untuk selama-lamanya, tidak perna kembali lagi
kepelukannya, dayang-dayang yang kebetulan mendengar tentang mimpi sang baginda Raja, atas
pengorbanan di terima puteri Rengganis, perasaan mereka para dayang-dayang itu ikut terjungkir jauh
ke dalam kepedihan yang sangat mendalam ke masa silam kelabu, di mana saat itu bagaimana
membesarkan puteri Rengganis yang tidak beribu, dari usia enam bulan sampai menginjak dewasa
dalam usia lebih kurang dua puluh tahun usia-usia yang sedang rawan, kala itu sang puteri Rengganis
tumbuh besar semakin memperlihatkan bentuk almarhuma, mendiang bunda, badan yang tinggi
semampai di bungkus kulit halus kuning langsat menawan, raut wajahnya yang di hiasi hidung yang
mancung di iringi alisnya yang tebal hitam memekat bagaikan semut beriring, bulu mata yang lentik,
sangat serasi dengan bola matanya yang hitam bening tajam memandang, di tambah pula dengan bibir
merah merkah bagaikan delima yang sedang merkah, kesemua tubu yang sempurna itu di lengkapi pula
dengan rambutnya yang hitam pekat memanjang di biarkan terurai menjangkau betisnya yang indah,
bagaikan padi yang sedang bunting kalau bahasa Sumbawanya yamo mo mara rebong katuntang,
mengingat akan hal itu, dayang-dayang semakin ingat ke masa lalu yang indah tatkala pada saat itu, masi
hidup bersama mendiang bunda permaisuri bunda dari puteri Rengganis, kepedihan itu semakin
menambah perih menggerogoti sisi-sisi keping hati para dayang-dayang se akan-akan melemahkan
jantung dan persendihan tubu, manakala membayangkan bahwa tidak lama lagi terpaksa berpisah
dengan puteri Rengganis yang cantik jalita secantik hatinya yang tulus dan ikhlas itu, semua apa yang
ada pada diri puteri Rengganis, merupakan titisan habis dari almarhuma, mendiang ibundanya yang
sempurna, tidak sedikitpun ada beda bagaikan pinang di belah dua baik cara jalan, cara bicaranya yang
halus rada-rada bisa di dengar dalam tutur kata yang tertata, menyejukan sukma menawan hati bagi
yang mendengarnya.-

Akhirnya apa yang mejadi mimpi dari sang bginda Raja bisa di maknai, oleh rakyat-rkyatnya,
mendengar cerita mimpi sang ayahandanya itu, sang puteri Rengganis dengan tulus ihlas rela menerima
kalau dirinya, di persembahkan kepada sang Dewa Laut yang bersermayam di laut selatan, demi
keidupan masyarakatnya, bahkan puteri Rengganis rela melakukan apapun demi kembali kejayaan
Kerajaan yang di pimpin sang Baginda Raja ayahandanya, kalau saja tubunya yang elok itu mau di
cincang jadi abupun demi rakyatnya, puteri Rengganis tidak berpikir sehelai rambutpun untuk bisa
menolaknya, mendengar pengakuan yang polos dari puteri Rengganis sang ayahandanya baginda Raja
yang sudah usia itu, dari pojok bola mata di balik kelopak yang sudah keriput itu terlihat jelas ada basah
dalam keharuan tak mampu apa yang harus di katakana, tangan yang tak setegar dulu itu, memeluk
gemetar putetrinya yang tetap tegar mejalaninya apapun yang akan dikorbankan, dengan keleraan hati
sang puteri Rengganis akan di serahkan ke sang Dewa Laut Selatan, maka hari pelepasan puteri
Rengganis pergi mengayap ke hadapan sang Dewa laut selatan, sang baginda Raja telah membicarakan
langsung masalah itu ke seluruh rakyat yang di sambut dengan senang hati kendatipun ada juga
sebahagian kecil yang diam, namun mereka-mereka, ikut serta dalam persiapan pelaksanaan tersebut,
seperti misalnya mempersiapkan ratusan batang bambu untuk pembuatan rakit bambu, sebagai biduk
yang akan membawa, pergi sang puteri Rengganis kealam sang Dewa Laut, konon cerita, bersemayam di
dasar laut selatan, samudera Hindia, hari hanggara atau hari H, seperti yang di tentukan itu, tiba sesuai
rencana di dalam melaksanakan acara prosesi pelepasan puteri Rengganis yang di laksanakan di pantai
selatan tanah Jawaduwipa, di mana segala macam sesajen dari potongan kepala kerbau, sampai ayam
panggang sudah di persiapkan di pantai selatan yang di iringi para pengantar yang berjubel-jubel penuh
sesak memenuhi pesisir pantai selatan, begitu juga dengan rakit yang terbuat dari batangan bambu yang
telah di tatah sedemikian rupa apik, bagaikan kereta kencana dan juga rakit-rakit bambu di hiasi dengan
bermacam corak, ragam akan mengawal rakit puteri Rengganis, siap pendamping puteri Rengganis
sampai ke tempat Dewa Laut selatan, yang konon ceritanya, dalam mimpi sang baginda raja itu, kalau
Dewa Laut tersebut, sedang menanti puteri Rengganis nan cantik jelita ke pangkuannya, pengorbanan
luar biasa dari puteri Rengganis kepada negeri tercinta, merupakan pengorbanan nyata dan suci, sesuci
hatinya, di samping taat kepada ayahanda, juga merupakan pengabdian yang tulus kepada msyarakat
dan tanah tumpah darah, tanah leluhur yang sedang berduka karena musiba yang berkepanjangan, bagi
puteri Rengganis, tidak ada cara lain yang patut di persembahkan bagi negeri tercinta kecuali dirinya
sesuai mimpi sang baginda raja ayahandanya itu.-Setelah sesajen yang bermacam bentuk dan warna
dari kepala se ekor kerbaua di percikan air suci Sang Penghulu atau Sang Begawan, baru sang Begawan
naik ke atas salah satu rakit bambu di mana di atas rakit bambu itu, dimana puteri Rengganis sudah
terlebih dahulu naik ke atas rakit, lalu di dekati oleh sang Begawan, entah benda apa kemilau di
sematkan dua butir sang Begawan di bawah kedua belah mata sang puteri Rengganis berupa susuk
kecantikan, agar sang dewa laut selayan betul-betul jatuh cinta, bersamaan dengan itu, sang Bagawan
membisikan beberapa pesan ke telinga puteri Rengganis harus di renungkan dalam hati, selama di
perjalanan menuju Sang Dewa, apabila sesuatu hal terjadi dalam perjalanan ke sang Dewa, karena
keadaan memaksa, sehingga puteri Rengganis tidak sampai ke hadapan sang Dewa Laut, yang
bersemayam di dasar laut selatan, karena terbawah arus entah kemana, lalu puteri Rengganis
terdampar di daratan lalu kakinya menginjak tanah, maka seketika itu, puteri Rengganis akan menjelma
menjadi se ekor menjangan betina, pesan sang Begawan itu, sempat juga membuat hati kecil puteri
Rengganis menjadi ciut dan sedikit merinding, tatkala suatu saat, kalau betul pesan sang Begawan
menjadi kenyataan, menjelma sebagai seekor menjangan betina, berarti puteri Rengganis harus
terasing, terbuang dari kaum kerabat di hutan bentara keluar masuk semak belukar, yang ada di
bayangkan dalam benak puteri Rengganis, bagaimana hari-hari selanjutnya yang akan di lalui tentang
kenyataan hidup dalam lingkungan alam yang jauh berbeda itu, apabila terpaksa hidup bersama
kelompok menjangan sebagai mahluk yang sama, namun berbeda itu, bagai mana berkominikasi dengan
mahluk yang serupa tapi tidak sama itu, tidak bisa di bayangkan sang puteri Rengganis, tidak bisa di
bayangkan dari tatakala menerima persembahan, demi terbebas tanah leluhur dari cengkraman
bencana alam yang begitu dahsyat dalam hidup yang di jalani di usianya yang masi muda, di sebelumnya
hidup dalam berkecukupan tak kurang satu apapun, sebagai puteri raja, pelaksanaan prosesi pelepasan
puteri Rengganis di pantai selatan sudah terpenuhi segala-galanya doa dan mantera sudah di bacakan
sang Begawan, rakit bambu yang di tumpang puteri Rengganis di dorong secara pelan-pelan menuju
kearah tengah samudera laut selatan, para pangantar yang penuh sesak, berjubel-jubel, menyemut di
pesisir pantai laut laut selatan, menjadi hening seketika, tertegun haru dengan jantung dekdekan
bagaikan hempasan badai menghantam keras di dada melepas kepergian sang puteri Rengganis nan
cantik jelita secantik hatinya, ada yang tersengguk-sengguk menangis dan ada pula yang menahan
tangis,ada yang jatuh pingsan terperosok dalam kesedihan, tatkala melihat rombongan rakit bambu,
semakin di pandang semakin menjauhi pesisir pantai laut selatan, sayup-sayup semakin jauh mengecil
dari pandangan mata, akhirnya rakit-rakit bambu yang membawa puteri Rengganis, sedikit demi sedikit
menghilang dari pandangan mata para pengantar, di telan ombak, membahana semakin mengganas
menerjang rakit-rakit bambu, membuat jantung yang melihat bagaikan ikut terhempas bersama rakit
puteri Rengganis, terombang-ambing pontang panting di celah-celah ombak yang menganas, sehingga
pakaian kebesaran puteri bangsawan tanah Jawaduwipa yang di kenakan puteri Rengganis dalam
prosesi pelepasan di pantai selatan, habis tercabik-cabik tidak karuan-karuan bagaikan sengaja di koyak-
koyak oleh ganasnya ombak laut selatan, hal itu telah memudarkan perasaan hati puteri Rengganis,
bahwa dirinya dalam keadaan sekotor itu tidak mungkin, di terima sang Dewa Laut, selatan Samudera
Hindia.-
Setelah puteri Rengganis, terombang ambing, ganasnya ombak di tengah-tengah lautan lepas,
laut selatan samudera Hindia, tersandera dalam gelombang laut yang dahsyat seorang diri beberapa hari
lamanya antara hidup dan mati, pada akhirnya puteri Rengganis terdampar di pantai bagian utara Tana
Samawa yang di kenal orang sampai sekarang, bernama Tanjung menangis dalam keadaan baju puteri
Rengganis tidak pantas di lihat mata telanjang, compang camping, sangat mengenaskan, menjadi seribu
sobekan melengket di badan sekedar menutupi tubu indah di balut kulit yang kuning langsa, dua minggu
puteri Rengganis harus berjuang seorang diri di tengah lautan lepas yang menegangkan, sampai tak
sadarkan diri, kalau dirinya, terdampar di pinggiran pesisir pantai, yang di kenal bernama, tanjung
menangis, sebuah daratan yang asing bagi dirinya bersamaan dengan berubah wujud puteri Rengganis,
menjelma sebagai se ekor menjangan betina dan menjadi ratu menjangan sejagad, itu sebabnya Tana
Samawa ini banyak menjangan karena perna ada ratu, sebuah pengorbanan yang ihlas dari seorang anak
manusia yang tidak di sangka-sangka akan berubah menjadi teragedi yang menyesatkan, namun semua
itu yang menentukan sang maha pencipta jualah sebelum hayat di kandung badan dalam kelahiran, di
bumi pana bengis ini, sunyi senyap tanjung menangis dalam kesendirian dan kedinginan, puteri
Rengganis yang sudah menjelma sebagai menjangan betina itu, kemana harus mengadu, tanpa makanan
dan setetes airpun di minum sekedar membasahi kerongkongan yang sudah kering dalam kehausan,
sehaus hatinya yang damba dalam sebuah pertolongan takdir, di tambah dengan angin di tanjung
menangis yang tidak bersahabat dengan puteri Rengganis di mana angin bertiup kencang kesana kemari,
tidak tentu arah, sehingga meninmbulkan keriuhan bahkan tidak jarang dahan dan ranting menjadi
patah lalu jatuh menimpa tanah tidak jauh dari kaki puteri Rengganis berada dengan suara keras, sangat
menakutkan itu, dalam kesendiriannya, puteri Rengganis betul-betul berpasrah diri kepada nasip di
badan, tanpa banyak mengharap dalam keadaan diri yang telah menjelma, seekor menjangan yang tidak
berdaya itu, kecuali semangat hidup yang tertanam dalam-dalam di benak hati tetap berusaha untuk di
pertahankan dalam keyakinan ingin membuktikan sesuatu yang belum terjawab dalam perjalanan hidup
yang semakin tajam menyiksa, seperti salah satu pesan sang Begawan yang sudah menjadi kenyataan,
masi ada pesan lain yang belum di buktikan, tatkala pelepasan di pantai selatan tanah leluhur, berpisah
yang tak perna di jelang sampai ke anak cucu, kendatipun ngeri leluhur, telah porak poranda oleh
bencana yang menimpah, dalam keadaan malang melintang, apa yang bisa di perbuatkan puteri
Rengganis, kecuali meratap, menangis, mau menyesal apa yang di sesali semua sudah terjadi menimpa
hidup di badan, dalam kesendiriannya itu si puteri Rengganis yang sudah menjelma se ekor menjangan
betina di tepi pantai tanjung menangis yang sunyi, pada saat yang menyendiri itu, betul-betul di rasakan
hambar, hidup sebatang kara dalam ketidak pastian, menentukan kemana arah yang harus di tuju dalam
keadaan di alam lain, hidup sunyi di Tanjung Menangis, sambil menimang-nimang nasif yang tidak
bertepi, tersingkirkan jauh dari sanak famili, semakin di pikir semakin tidak jelas kemana arah akan di
jelang datangnya hari esok, angin sepoi-poi yang berhembus di tanjung menangis tidak bisa menghibur
hati puteri Rengganis yang sedang lara separah itu, kendatipun demikian, si menjangan betina jelmaan
puteri Rengganis tidak perna merasakan lapar kecuali embun yang menetes dari dedaunan yang kadang
kala menetes menerpa di mulut, pada masa itu sebelum gunung Tambora meletus teramat dahsyat yang
telah memuntahkan material pasir bebatuan besar-besar di Tanjung Menangis, sehingga membentuk
gundukan perbukitan seperti yang kita lihat sekarang, namun jauh-jauh sebelumnya tanjung menangis,
merupakan lembah yang landai dengan semak belukar yang padat dan lebat, saat itu hidup beribu-ribu
pasangan menjangan.-
Masa itu ibu kota kerajaan Tana Samawa di sebut juga kota Peraja sudah berpusat di Samawa
Rea, yang di kenal dengan Sumbawa Besar, kala itu di tanjung menangis, hiduplah berkebun sepasang
sumi isteri setengah baya, yang di kenal dengan nama panggilan se hari-harinya Ki Bure dan Ni bure,
karena di kebun kedua Bure tersebut, lebih banyak menanam bure atau komak dari pada tanaman-
tanaman lain dan kedua Bure, di kenal sebagai tabib mumpuni di dalam menyembuhkan bermacam-
macam penyakit yang juga sebagai tabib Istana kerajaan yang di senangi sang baginda raja saat itu,
karena kedikjayaan yang dimliki kedua Bure luar biasa di segala bidang dan juga kedua Bure tersebut,
dalam hal ilmu ulah kanuragan.-

Pada suatu hari di awal senja Kedua Bure seperti hari-hari sebelumnya yang di lakukan apabila
senja sudah tiba, di mana pada saat itu, air laut sedang surut kedua Bure pergi turun kelaut mencari
kerang-kerangan dan ikan yang lazim di sebut dengan Ramada atau Bakalili, namun pada hari itu
keduanya tidak terlalu lama pergi ramada atau bakalili, di samping air laut sudah mulai pasang dan hasil
dari ramadanya cukup banyak untuk di makan dua orang saja, dan selebihnya, biasa di bawah ke kota
peraja di tukar dengan beras lagi pula hari mulai gelap, tergesa-gesa, kedua Bure bergegas pulang
namun sebelum sampai di kebunnya di tengah perjalanan pulang, kedua Bure, di hadang oleh sebuah
persoalan memilukan hati, di mana keduanya terpaksa harus menundah perjalanan pulang, karena baru
berapa tindak saja kedua Bure melangkah ingin meninggalkan bibir pantai tanjung menangis untuk
pulang, tiba-tiba kedua Ki Bure dan Ni Bure di kejutkan oleh suara rintihan tangis seorang perempuan
meminta tolong, sesuatu yang aneh baru terjadi dalam hidup kedua Bure selama puluhan tahun
mendiami tanjung menangis, merinding juga bulu kuduk keduanya, namaun jiwa sosial dan rasa ibah
sesama mahluk hidup telah terpatri kuat di keping hati sanubari paling dalam, kedua Bure lalu bergerak
tanpa pikir panjang, sambil mengendap-endap berhati-hati kedua Bure menuju kearah datangnya suara
rintihan itu, semakin kedua Bure mendekati arah dari mana datangnya suara rintihan tangis yang
memelas itu, tiba-tiba suara itu menghilang, tidak terdengar, bagaikan di sapu angin, tiba-tiba
menghilang begitu saja, sempat kedua Bure cemas berpikir yang tidak-tidak akan nasip si perempuan
yang malang dalam rintihan itu sudah meninggal atau suara tangis Baki, sehingga membuat ke dua Bure
itu tambah bergegas menuju kearah dari mana datang ritihan tangis, mencari tahu dengan jelas, akan
tetapi sebelum menemukan si perempuan merintih, kedua Bure tercengang berpikir sejenak apa yang
terlihat di depan mata, tidak jauh dari kedua Bure berdiri, bukannya seorang manusia yang di lihat,
seperti apa yang terpikir di benak dari suara rintihan yang di dengar, akan tetapi hanyalah se ekor
menjangan betina yang sedang merontah-rontah ingin melepaskan kakinya terjepit di celah-celah akar
pohon bakau yang lebat, di mana akar itu tumpang tindih satu sama lain, antara akar satu dengan akar
lain dan licin, sehingga sedikit membuat kedua Bure esktra hati-hati meniti langkah di atas akar pohon
bakau, memang betul-betul ruet menyusahkan, kendatipun demikian, kedua Bure tidak mengurungkan
niat, membantu menjangan betina yang malang itu, lalu kedua Bure segerah melepaskan kaki si
menjangan betina yang terjepit di akar bakau itu, tanpa basa basi Ki Bure mencabut parang yang terselip
di pinggangnya, sekali tebas saja akar makau yang menjepit kaki si menjangan itupun putus dan si
menjangan malang itu, terbebas dari jepitan akar bakau tersebut, namun di kaki sebelah kanan si
menjangan sedikit lecet sehingga mengeluarkan darah, entah daun apa di pamah, Ni Bure lalu di sempru
ke kaki yang lecet dan seketika itupun darah itu berhenti keluar, si menjangan betina yang malang itu, di
lepas begitu saja tanpa melihat sedikitpun kearah si menjangan setelah terbebas dari jepitan akar bakau
dan di obati, kedua Bure berlalu begitu saja meninggalkan tempat itu, kalau saja kedua Bure tahu,
bahwa menjangan betina itu merupakan jelmaan seorang puteri bangsawan, cantik jelita, bagaimana
senangnya kedua Bure, sebab selama perkawinan mereka, belum dikaruniai momongan atau seorang
anak setelah puluhan tahun mengarungi rumah tangga, namun keduanya pergi begitu saja,
meninggalkan menjangan betina aneh, seharus menjangan itu, ketar ketir berlari tunggang langgang
masuk ke semak belukar, sebagai jenis hewan jalang, liar, namun hal itu tidak terjadi pada diri
menjangan yang malang itu, justeru menatap senduh, meneteskan air mata melihat tajam, kemana
arah kedua Bure itu mlelangkah, sampai kedua Bure menghilang di balik rimbunan semak pohon bakau
itu, dalam sebuah pengharapan semoga kelak kedua Bure itu bisa menyelamatkan dirinya, angan-angan
untuk hidup sempurna seperti sedia kala, tidak perna pupus di benak puteri Rengganis, kendatipun,
kadangkala di hati kecilnya sejuta pertanyaan antara mungkin atau tidak bisa kembali menjelma sabagai
manusia seperti sedia kala, memang saat itu kedua Bure itu, bagaikan orang yang hilang igatan, jiwanya
kosong melambung jauh dan jauh sekali entah ke mana tersingkir, namun anehnya kedua Bure tetap
sadar dalam arti tidak perna hilang ingatan, memang itu yang terjadi sesungguh, kedua Bure bagaikan
tidak berdaya berpikir otak kedua Bure bagaikan sudah di cuci, tidak ingin berbuat apa-apa terhadap
menjangan tersebut, rasanya berada di awang-awang alam lain, yang tidak bisa di mengerti sesaatpun
kedua Bure, bahkan anehnya, tanpa sedikitpun tersirat di benak kedua Bure rasa ingin membawa
pulang, menjangan betina itu dan sesampai di pondok kebunnya justeru terjadi keanehan pada kedua
Bure, kedua Bure tidak saling tegur sapa satu sama lainnya atau paling tidak saling menceritakan apa
yang telah terjadi dan di alami takala pulang dari ramada di mana tiba-tiba di tengah perjalanan pulang
itu di kejutkan suara rintihan tangis, menyayat hati dari seorang perempuan meminta pertolongan,
tenyata hanya se ekor menjangan betina di temui dalam keadaan terjepit kaki di akar pohon bakau,
betu-betul sangat memprihatinkan dan menyiksa bathin bagi orang melihat, paling tidak menjadi basa
basi sepulang dari ramada, akan tetapi justeru terjadi keanehan atas prilaku kedua Bure, setelah
bertemu menjangan betina, di mana keanehan baru terjadi dalam hidup kedua Bure, se akan-akan ada
kesepakatan bersama, di antara kedua, di mana kedua berpisah tempat tidur pada malam itu, sampai
pagi terbangun dari tidur, tidak saling tegur sapa dan keduanya tetap bersama-sama juga seperti biasa
kalau hari menjelang pagi mengemasi barang jualan yang akan di jual di kota peraja Samawa Rea,
seperti buah bure yang menjadi mascot kedua Bure, juga tikar terbuat dari anyam daun pandan, stelah
di keringkan dan juga alat dapur seperti sendok pendek, panjang yang terbuat dari batok kelapa,
sesampai di kota peraja, sesuatu hal yang tidak di sangka-sangka dan tidak perna terjadi dalam hidup
kedua Bure selama berjualan kebutuhan sehari-hari, tiba-tiba pada hari itu, jualannya di serbu para
pembeli dan pelanggan, sehingga dalam waktu singkat jualan kedua Bure itu, habis terjual, tidak tersisa,
dengan keuntungan cukup memadai, sehingga, kedua Bure cepat pulang ke kebun, menyelesaikan
pekerjaan yang masi tertunda, pada hari itu betul-betul hari keberuntungan bagi kedua Bure, akan
tetapi di balik keuntungan, ada kekecewaan merundung di benak kedua Bure, kendatipun tidak
menyakitkan, karena sesampai di kebun, sayur bure dan tanaman alin-lain habis di acak-acak tidak
karuan, entah mahluk apa, sampai tidak berbentuk seperti semula, sebelum kedua Bure pergi berjualan,
kendatipun buah bure tidak di makan atau di rusak, akan tetapi cukup membuat hati kedua Bure, sedikit
bersedih hati, terenyuh dalam tanda tanya yang tak terjawabkan, kejadian yang sama itu terus berlanjut
ke hari berikutnya tatkala kedua Bure pergi jualan, atas kejadian berulang kali, kedua Bure tidak perna
marah atau menaruh curiga atau menyumpal kepada siapa yang memporak porandakan tanaman di
kebunnya itu, justeru sebaliknya, kedua Bure bere itu, menerima dengan hati yang legowo, ikhlas, sebab
kedua Bure tidak perna, merasa punya musuh dengan siapa-siapa, bahkan kedua Bure, di sanjung
banyak orang atas kepiawean kedua sebagai tabib yang mumpuni, di dalam menyembuhkan beberapa
macam penyakit, atas kejadian itu, tanpa basa basi kedua Bure, mencoba menata ulang tanaman-
tanaman yang porak poranda, kalaupun tidak bisa kembali sesempurna seperti semula, akan tetapi se
tidak-tidak masi ada harapan bisa tumbuh, tanaman-tanaman di kebunnya itu, untuk berbuah kembali,
seperti sedia kala, setelah di acak-acak, mahluk mistirius di lakukan berulang kali, setelah kedua Bure
tidak berada di kebunnya, memang kejdian yang cukup aneh di rasakan kedua Bure, baru terjadi selama
berkebun di Tanjung Menangis, kalau seandainya, manusia yang merusak, kurang baikah kedua Bure
terhadap mereka dan lingkungan, di dalam beradabtasi sebagai tabib terkenal mumpuni di dalam
mengobati bermacam-mcam penyakit,luar dalam dan pasti sembuh, bila ditangani KI Bure dan Ni Bure
dan juga kedua Bure piawe di dalam menganyam tikar pandan, sebagai krbutuhan masyarakat sekitar.-

You might also like