You are on page 1of 13

1.

Pendahuluan
Penyebab perdarahan postpartum yang sering terjadi adalah akibat atonia
uteri, plasenta adhesiva yang abnormal, inversio uteri, koagulopati atau hematoma
vulvovaginal.1 Khusus pada kasus hematoma puerperal, pada umumnya terjadi akibat
adanya cedera pembuluh darah didaerah genital bagian bawah. Beberapa faktor
predisposisi yang dapat menyebabkan terjadinya hematom vulva biasanya disebabkan
trauma langsung, nekrosis akibat tekanan, atau hemostasis yang tidak adekuat pada
saat reparasi jaringan atau perineorafi. Faktor resiko terjadinya hematom puerperal
adalah primigravida, persalinan dengan instrumen, episiotomi, penggunaan blok saraf
pudendal, penyakit hipertensi kronik, preeklampsi dan ada tidaknya gangguan
pembekuan darah yang didapat atau kongenital.2,3
Genital hematom puerperal sangat jarang ditemukan namun dapat
menyebabkan morbiditas yang berat dan bahkan dapat menyebabkan kematian.4
Gejala yang tidak khas dari hematom puerperal dan adanya perdarahan yang tertutup
menyebabkan hematom puerperal sangat sulitnya didignosa.

2. Insiden & Epidemiologi


Dikarenakan tidak adanya definisi yang jelas dari konsensus, hal ini
menyebabkan tidak terdapat pula adanya laporan mengenai insiden hematom
puerperal. Setelah persalinan pervaginam spontan, biasanya hematom puerperal yang
kecil akan sembuh dengan sendirinya.5 Perbedaan mencolok sangat terlihat pada
bahwa hematom puerperal sangat jarang namun dapat menyebabkan komplikasi
serius paska persalinan, dengan laporan insiden sekitar 1 dalam 500-700 persalinan.6
Hematom pelvis mayor (supralevator) sangat jarang, dengan insiden yang bervariasi
yaitu sekitar 1 dalam 500 atau 1 dalam 20.000.7
Seri kasus memperkirakan insidensi kejadian adalah 1 dari 500 pada 1 dalam
12.500 persalinan, dengan intervensi bedah membutuhkan kira-kira 1 dalam 1000
persalinan.8,9

1
3. Faktor Resiko
Faktor risiko yang mungkin adalah nulipara, kala dua memanjang pada
persalinan, persalinan dengan menggunakan alat, janin dengan berat lahir > 4 kg,
varises dari saluran genital dan usia ibu > 29 tahun.10 Tidak terdapat adanya informasi
tentang resiko terjadinya hematom vulva pada persalinan-persalinan berikutnya.

4. Jenis Jenis Hematom


Pembagian menurut anatominya, hematom dapat dibagi menjadi hematom
vulva, vulvavaginal, paravaginal atau subperitoneal (meliputi ligamentum kardinal)
(gambar 1-4).11,12

4.1. Hematom Vulva dan Vulvaginal


Perdarahan pada hematom vulva terbatas hanya pada jaringan superfisial
vulva ke anterior dari difragma urogenital. Hematom yang terjadi dapat terlihat di
vulva. Hematom vulvavaginal juga dapat tampak pada vulva namun meluas kearah
jaringan paravaginal. Kedua tipe itu terjadi akibat trauma dari cabang arteri pudenda
(rektal posterior, perineal tranversal dan arteri labial posterior).

4.2. Hematom Vaginal


Hematom paravaginal terjadi akibat trauma pada cabang arteri uterine
desendens. Hematom terjadi pada jaringan paravaginal dibawah diafragma pelvis dan
diatas ligamentum kardinale. Hematom paravaginal tidak akan terlihat jelas namun
dapat didiagnosa dengan melakukan pemerikasan vaginal.13 Massa biasanya terdapat
pada kanal vagina dan meluas sampai ke fossa iskiorektal.

4.3. Hematom Supravaginal atau Subperitoneal


Hematom ini terjadi akibat trauma dari cabang arteri uterine di broad ligamen.
Hematom ini dapat direseksi secara peritoneal atau berkembang pada broad ligament.
Secara klinis hematom ini timbul tanpa adanya perdarahan yang signifikan.

2
Kewaspadaan yang tinggi dibutuhkan dalam penanganan hematom ini sebelum
timbulnya tanda-tanda kegagalan dari kardiovaskular.

5. Etiologi
Trauma langsung merupakan penyebab utama dari hematom (contoh, dari
jarum pudendal atau episiotomi) atau tidak langsung (contoh, peregangan berlebihan
dari jalan lahir saat janin melewati jalan lahir). Seri kasus melaporkan bahwa lebih
dari 87% dari hematom berhubungan dengan robekan perineum atau episiotomi
namun jaringan diatasnya tidak selalu terluka.14 Tehnik pembedahan yang baik,
dengan perhatian khusus pada hemostasis dalam penjahitan luka dan episiotomi,
dapat mencegah terjadinya komplikasi ini. Namun, hematom tetap tidak dapat di
hindari.15

Gambar 1. Hematoma Vulva

3
Gambar 2. Hematoma Paravaginal

Gambar 3. Hematoma Paravaginal atau Subperitoneal

4
Gambar 4. Supply darah pada organ reproduksi wanita

Jika hematom ruptur sampai ke vagina, penyebab lain perdarahan postpartum


harus dapat disingkirkan terlebih dahulu, sebagai contoh atonia uteri. Hematom juga
dapat menimbulkan adanya retensio urine atau, sangat jarang, demam yang
penyebabnya tidak jelas.

6. Gejala Klinis
6.1 Hematom Vulva dan Vulvavaginal
Gejala klinis pada hematom vulva dan vulvovaginal adalah adanya nyeri dan
bengkak didaerah perineum. Hal ini sangat mudah untuk didiagnosa apabila ibu
diperiksa dengan benar namun akan sulit dibedakan bila terdapat adanya abses.
Kegagalan dalam mendiagnosa nyeri dapat menyebabkan kesalahan diagnosa yang
mengarah pada nyeri akibat episiotomi, robekan jalan lahir atau hemoroid.

5
6.2 Hematom Paravaginal dan Supravaginal
Gejala pada hematom paravaginal biasanya ditandai dengan adanya nyeri
daerah rektal, nyeri perut bagian bawah dan gejala dari hipovolemia. Gejala tidak
spesifik ini dapat dsebabkan juga oleh penyebab lainnya yang dapat menyebabkan
kesalahan dalam diagnosis. Derajat syok yang timbul biasanya tidak sesuai dengan
jumlah perdarahan yang keluar.
Pada hematom supravaginal dapat menyebabkan timbulnya nyeri abdomen,
termasuk kegagalan kardiovaskuler. Pada pemeriksaan abdomen, uterus akan
terdeviasi menjadi atas dan lateral, ke sisi lain dari broad ligamen (gambar 3).
Seringkali, tanpa disertai adanya gejala-gejal dari vagina. Diferential diagnosis dari
hematom ini adalah segala sesuatu yang menyebabkan adanya massa pada pelvis
seperti abses atau penyebab lain dari perdarahan intra abdomen.

7. Diagnosis
7.1 Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah lengkap dan pembekuan darah adalah pemeriksaan dasar
dalam menilai keadaan awal dan harus dilakukan pemeriksaan ulangan apabila
diperlukan. Selain itu darah harus diambil untuk dilakukan pemeriksaan cross match
berdasarkan dari gambaran klinis yang didapatkan. Pemberian transfuse lebih sering
dilakukan pada hematom paravaginal dan subperitoneal dibandingkan dengan
hematom vulva.

7.2 Pencitraan
Pemeriksaan melalui USG, CT-Scan dan MRI dapat digunakan dalam
mendiagnosa hematom diatas diafragma pelvis dan untuk mengetahui adanya
penyebaran pada pelvis sementara pemeriksaan bimanual tidak dapat
mengidentifikasi sampai hematom benar-benar cukup besar sehingga baru dapat
diidentifikasi melalui pemeriksaan bimanual. MRI dapat juga digunakan dalam
mengidentifikasi lokasi, ukuran dan perluasan hematom serta menilai perjalanan dari

6
penyembuhan.16,17 MRI juga dapat membantu dalam menyingkirkan adanya
penyebab lain dari massa di pelvis seperti adanya abses atau endometrioma.

8. Manajemen
Faktor terpenting dari manajemen ini tercantum dalam kotak 1. Manajemen
ini ditujukan untuk mencegah kehilangan darah lebih banyak, meminimalisir
kerusakan jaringan, mengurangi nyeri dan resiko untuk terjadinya infeksi. Hasil yang
diharapkan dalam manajemen ini adalah berkurangnya bekas luka (scar), nyeri
postpartum dan dispareuni.
Manajemen resusitasi tetap merupakan penanganan lini pertama. Kehilangan
darah yang berkepanjangan sering kali tidak diperhatikan dan kewaspadaan tinggi
tentang hal ini sudah seharusnya ditingkatkan. Penggantian cairan secara agresif dan
penanganan dari buruknya status pembekuan darah sangat penting untuk dilakukan
terutama apabila terdapat adanya tanda dari hipovolemia. Pemberian darah harus
segera diberikan melalui transfusi. Kateter urin dipasang untuk memantau balans
cairan dan untuk menghindari kemungkinan adanya retensio urin yang menyebabkan
nyeri, edema atau tekanan pada vagina.
Hematom statis yang kecil (diameter < 5 cm) dapat ditatalaksana secara
konservatif. Tatalaksana konservatif pada hematom yang lebih besar dapat dihubung-
hubungkan dengan lamanya tinggal di rumah sakit, peningkatan jumlah penggunaan
antibiotik dan transfuse darah serta intervensi bedah yang berulang.18 Hematom yang
membesar secara akut tidak dapat ditatalaksana dengan manajemen konservatif.19
Hematom vulva yang besar (> 5 cm), tatalaksana terbaik yang dapat dilakukan
adalah dengan melakukan evakuasi melalui tindakan bedah, penutupan dan kompresi
secara primer selama 12-24 jam. Penggunaan anestesi yang adekuat harus diberikan.
Perdarahan yang membeku harus dievakuasi dan daerah yang mengalami perdarahan
harus dilakukan ligasi. Insisi dilakukan untuk meminimalisir terbentuknya bekas luka
parut (biasanya dilakukan secara medial).
Terdapat perdebatan mengenai tatalaksana optimal dari vulva hematom
reparasi primer (dengan atau tanpa drain), reparasi primer dengan packing, dan

7
penggunaan paking saja juga pernah dianjurkan. Beberapa peneliti mengatakan
bahwa penggunaan drain saja lebih baik dibandingkan dengan packing dalam
menghentikan pembuluh darah yang terluka. Selain itu drain dapat berguna juga
dalam mengevaluasi ada tidaknya perdarahan yang terus menerus maupun perdarahan
berulang. Drain biasanya diberikan melalui jaringan lain yang terpisah dari daerah
yang ditatalaksana.20 Luka harus di jahit dengan jahitan matras yang dalam dan kulit
di aproksimasi dengan tanpa adanya tegangan. Vagina harus di tatalaksana
serapatnya. Dan untuk menghindari adanya luka pada organ lain seperti ureter, usus
dan kandung kemih pada saat reparasi, prosedur harus dilakukan secara hati-hati.
Hematom subperitoneal yang kecil dan stabil dapat dimanajemen secara
konservatif. Tatalaksana pembedahan pada hematom subperitoneal yang besar
membutuhkan identifikasi dan ligasi dari pembeuluh darah abdominal yang terluka.
Embolisasi dari arteri dengan bantuan radiologi sekarang dapat digunakan sebagai
alternatif dan akan dibahas lebih lanjut dibawah.
Penggunaan antibiotik berspektrum luas sebagai profilaksis dapat diberikan.
Pengawasan lebih lanjut mengenai perdarahan dan hematom yang sudah di
tatalaksana juga harus dipantau secara seksama.
Faktor terpenting yang benar dalam tatalaksana kasus ini adalah kewaspadaan
terhadap tanda-tanda klinis.
Nyeri perineum yang hebat adalah tanda yang khas. Apabila terdapat tanda ini
pemeriksaan fisik yang berkaitan perlu dilakukan.
Pemberian resusitasi cairan dan transfuse darah perlu diberikan.
Faktor pembekuan darah perlu dipantau.
Penatalaksanaan harus dilakukan di ruang operasi.
Pemasangan kateter urin harus dilakukan untuk mencegah terjadinya retensio urine
dan memantau balans cairan.
Penggunaan antibiotik pada kasus ini biasanya rendah.
Tidak terdapat adanya bukti mengenai talaksana terbaik yang harus dilakukan, yang
dapat berupa reparasi primer atau packing, dengan atau tanpa pemasangan drain.
Pemantauan secara ketat setelah tindakan/manajemen yang dilakukan harus
dilakukan dimana angka kejadian rekurensi tinggi pada kasus ini.

Kotak 1. Kunci penting dari manajemen dari hematom puerperal


8
9. Perdarahan Persisten
Hematom dapat timbul kembali setelah tindakan pembedahan. Pemantauan
terus-menerus dari tanda-tanda kehilangan darah sangat penting untuk diperhatikan.
Apabila tatalaksana lini pertama gagal, tindakan bedah tingkat lanjut perlu dilakukan.
Ruang hematom perlu kembali di eksplorasi, ligasi dari arteri iliaka interna atau
bahkan histerektomi mungkin diperlukan.
Pelvis arteriografi dan embolisasi arteri
Pada saat ini, pelvis arteriografi dan embolisasi arteri dengan pandauan
radiologi sering digunakan dalam manajemen perdarahan postpartum pada beberapa
kasus. Beberapa penelitian dan laporan kasus mengatakan angka keberhasilan dalam
mengontrol perdarahan pada hematom dengan tehnik ini melebihi 90%.21-23
Sirkulasi pelvis di akses melalui arteri femoralis. Untuk mengidentifikasi
pembuluh darah yang mengalami perdarahan digunakan angiografi sebelum
dilakukannya embolisasi. Agen embolisasi dapat bersifat sementara (contohnya,
gelatin spons yang dapat diserap) atau permanen (contoh, kumparan logam).
Komplikasi dari embolisasi arteri pelvis tidak khas (<90% pada semua kasus)
dan diantaranya adalah demam ringan, infeksi pelvis, nyeri pada bokong akibat
iskemik, foot drop yang bersifat sementara, hematom yang terus membesar dan
perforasi dari pembuluh darah. Penggunaan agen embolisasi yang bersifat sementara
dapat mengurangi angka kejadian komplikasi dari masalah iskemik. Tindakan
prosedur radiografi ini bila berhasil dapat mengembalikan fertilitas (kecuali bila
terjadi ionisasi dari ovarium akibat radiasi radiologi) dan kebanyakan wanita dapat
melanjutkankan siklus menstruasinya.24
Prosedur dari embolisasi ini dapat menggunakan sedasi tingkat rendah dengan
durasi pengerjaan sekitar 1-2 jam. Hal ini dapat menghindari tindakan untuk
laparotomi walaupun kadang pilihan laparotomi perlu dilakukan. Ligasi dari arteri
iliaka interna melalui intervensi bedah menyebabkan pendekatan radiologi dalam
mengontrol perdarahan menjadi lebih sulit.
Secara luas sangat disarankan bahwa pendekatan embolisasi secara radiologi
dalam penanganan dari perdarahan yang persisten, namun faktor utama yang

9
menbatasi penggunaan terapi ini secara luas dalam manajemen perdarahan
postpartum adalah keterbatasan dari tenaga ahli dan ketersediaan alat.25

10. Kesimpulan
Hematom saluran genital adalah sangat tidak khas dan dapat menyebabkan
kesulitan dalam mendiagnosis. Tenaga kesehatan harus waspada pada hematom
sebagai diagnosis banding dari nyeri dan perdarahan post partum.

10
Referensi

1. C. M. Zahn and E. R. Yeomans, Postpartum hemorrhage: placenta accreta,


uterine inversion, and puerperal hematomas,Clinical Obstetrics and
Gynecology, vol. 33, no. 3, pp. 422431, 1990.
2. L. E. Ridgway, Puerperal emergency: vaginal and vulvar hematomas,
Obstetrics and Gynecology Clinics of North America, vol. 22, no. 2, pp. 275
282, 1995.
3. C.M. Zahn,G.D.V.Hankins, and E. R. Yeomans, Vulvovaginal hematomas
complicating delivery: rationale for drainage of the hematoma cavity,
Journal of Reproductive Medicine for the Obstetrician and Gynecologist, vol.
41, no. 8, pp. 569574, 1996.
4. Chin HG, Scott DR, Resnik R, Davis GB, Lurie AL. Angiographic
embolization of intractable puerperal haematomas. Am J Obstet Gynecol
1989;160:4348.
5. Drife J. Management of primary postpartum haemorrhage. Br J Obstet
Gynaecol 1997;104:2757
6. Hankins G, Zahn C. Puerperal haematomas and lower genital tract lacerations.
In Hankins G, et al., eds. Operative Obstetrics. Connecticut: Appleton &
Lange, 1995:5772
7. Cheung TH, Chang A. Puerperal haematomas. Asia-Oceania J Obstet
Gynaecol 1991;17:11923
8. Morgans D, Chan N, Clark CA. Vulval perineal haematomas in the immediate
postpartum period and their management. Aust N ZJ Obstet Gynaecol
1999;39:2237.
9. Resnik R. Vaginal and vulval hematoma. Contemporary OB/GYN
1996;41:1923.
10. Saleem Z, Rydhstrom H. Vaginal hematoma during parturition: a population-
based study. Acta Obstet Gynecol Scand 2004;83:5602. doi:10.1111/j.1600-
0412.2004.00535.x

11
11. Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL, editors. Obstetrics: Normal and Problem
Pregnancies. 3rd ed. New York: Churchill Livingstone; 1996. p. 5234.
12. Creasy RK. Management of Labor and Delivery. Massachusetts: Blackwell
Science; 1997.
13. Cull P, editor. The Sourcebook of Medical Illustration. Carnforth: Parthenon;
1989.
14. Sheikh GN. Perinatal genital hematomas. Obstet Gynecol 1971;38:5715.
15. Ridgway LE. Puerperal emergency. Vaginal and vulvar hematomas. Obstet
Gynecol Clin North Am 1995;22:27582.
16. Nagayama M, Watanabe Y, Okumura A, Amoh Y, Nakashita S, Dodo Y. Fast
MR imaging in obstetrics. Radiographics 2002;22:56382.
17. Rooholamini SA, Au AH, Hansen GC, Kioumehr F, Dadsetan MR, Chow PP,
et al. Imaging of pregnancy-related complications. Radiographics
1993;13:75370.
18. Benrubi G, Neuman C, Nuss RC, Thompson RJ. Vulvar and vaginal
hematomas: a retrospective study of conservative versus operative
management. South Med J 1987;80:9914. doi:10.1097/00007611-
198708000-00014
19. Propst AM, Thorp JM Jr. Traumatic vulvar hematomas: conservative versus
surgical management. South Med J 1998;91:1446.
20. Zahn CM, Hankins GD, Yeomans ER. Vulvovaginal hematomas complicating
delivery. Rationale for drainage of the hematoma cavity. J Reprod Med
1996;41:56974.
21. Bloom AI, Verstandig A, Gielchinsky Y, Nadiari M, Elchalal U. Arterial
embolisation for persistent primary postpartum haemorrhage: before or after
hysterectomy? BJOG 2004;111:8804.doi:10.1111/j.1471-0528.2004.00201.x
22. Badawy SZA, Etman A, Singh M, Murphy K, Mayelli T, Philadelphia M.
Uterine artery embolization: the role in obstetrics and gynecology. Clin
Imaging 2001;25:28895. doi:10.1016/S0899-7071(01)00307-2

12
23. Dildy GA 3rd. Postpartum hemorrhage: new management options. Clin
Obstet Gynecol 2002;45:33044. doi:10.1097/00003081-200206000-00005
24. Salomon LJ, deTayrac R, Castaigne-Meary V, Audibert F, Musset D,
Ciorascu R, et al. Fertility and pregnancy outcome following pelvic arterial
embolization for severe post-partum haemorrhage. A cohort study. Hum
Repro 2003;18:84952. doi:10.1093/humrep/deg168
25. Mousa HA, Alfirevic Z. Major postpartum hemorrhage: survey of maternity
units in the U.K. Acta Obstet Gynecol Scand 2002;81:72730.
doi:10.1034/j.1600-0412.2002.810807.x

13

You might also like