You are on page 1of 19

M. Rasyid Ridha.

et al, Larva Aedes aegypti toleran

LARVA Aedes aegypti SUDAH TOLERAN TERHADAP TEMEPOS DI KOTA


BANJARBARU, KALIMANTAN SELATAN

M. Rasyid Ridha1, Khairatun Nisa2

1. Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, Balitbangkes Kemenkes RI


2. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga

Aedes aegypti LARVAE ARE TOLERANT OF TEMEPOS


IN BANJARBARU CITY, SOUTH BORNEO

ABSTRAK.

Dengue Hemorrhagic Fever has been being problem in public health. The vector control program is a
way to break transmission. Temephos (Abate) has been used as larvicides in the DHF control
program since 1976. The long term use of this insecticide can cause resistance.
The research aimed to know susceptibility of Ae. Aegypti in a in vitro manner to Temephos
(Abate) organophosphate insecticide in DHF endemic area, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
This was a pure experiment study (true experiment study) with post test only control group
design. Eggs and larvaes were colected from study area then rearing in laboratorium until become
mosquitos. F1 generation was applied as component of susceptibility test to Temephos (Abate). This
research tested the larvae bioassay based on WHO standard procedures (Suceptability Test).
Result showed that, mortality rate of larvae Ae. aegypti at WHO diagnostic dosages (0.02
mg/L) in a in vitro manner was 95 %. It means that larva Ae. aegypti in Kota Banjarbaru was
tolerance to Temephos (Abate) in a in vitro manner. According to the result the usage of Temephos
(Abate) is still relevans as effective larvasidae in Kota Banjarbaru DHF control program by
increasing concentration usage, especially at containers of water which difficult cleaned periodically.
And the most important control program is by doing 3M program constantly. Its also implicated the
need of routine evaluation in Temephos (Abate) effectiveness later

Key words : Ae. aegypti larvae, Temephos (Abate), susceptibility

JURNAL VEKTORA VOL. III NO. 2 93


M. Rasyid Ridha. et al, Larva Aedes aegypti toleran

ABSTRAK.

Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penggunaan
Temephos sudah dipakai sejak tahun 1976 dan ditetapkan sebagai bagian dari program pengendalian
larva Ae. aegypti di Indonesia. Penggunaan jangka panjang insektisida ini dapat menyebabkan
resistensi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerentanan Ae. Aegypti dengan cara in vitro terhadap
insektisida organofosfat Temephos (Abate) di daerah endemik DBD, Kota Banjarbaru, Kalimantan
Selatan.
Jenis Penelitian ini adalah eksperimen murni (true experiment). Dilaksanakan dengan metode uji
kerentanan menurut standar WHO (Suceptability Test). Desain penelitian adalah post test only control
group design dengan pendekatan Rancangan Acak Lengkap (RAL - Completely Randomized Design).
Telur dan larvaes yang didapatkan dari lapangan di kolonisasidi laboratorium sampai menjadi
nyamuk. Generasi F1 diterapkan sebagai bagian dari tes kerentanan terhadap Temephos (Abate).
Hasil menunjukkan bahwa, angka kematian dari larva Ae. aegypti dengan dosis diagnostik (0,02 mg /
L) WHO secara in vitro adalah 95%. Ini berarti bahwa larva Ae. aegypti di Kota Banjarbaru adalah
toleran terhadap Temephos (Abate) secara in vitro. Penggunaan Temephos (Abate) masih relevan
sebagai larvasida dalam program pengendalian DBD di Kota Banjarbaru dengan meningkatkan
penggunaan konsentrasi, terutama pada air yang sulit dibersihkan secara berkala. Program. Program
3M masih merupakan program yang paling efektif dalam penanggulangan DBD.

Kata Kunci : larva aedes aegypti. temepos, kerentanan

PENDAHULUAN dan secara sporadis selalu terjadi Kejadian


Penyakit Demam Berdarah Dengue Luar Biasa (KLB) setiap tahun (Kristina,
(DBD) masih merupakan masalah kesehatan 2010)
masyarakat hingga saat ini. Sejak pertama Data nasional menunjukkan bahwa
kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan KLB DBD cenderung meningkat, seperti
kecenderungan meningkat baik dalam terlihat pada tabel di bawah ini:
jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit

Tabel 1.1 Data Incidence Rate (IR) Nasional DBD di Indonesia Tahun 2000, 2001,
2002, 2003, 2008 dan 2009.

Tahun IR Nasional per 100.000 penduduk


2000 15,99
2001 21,66
2002 19,24
2003 23,87
2008 66.48
2009 59,02
Sumber : Laporan P2B2 Tahun 2011.

JURNAL VEKTORA VOL. III NO. 2 94


M. Rasyid Ridha. et al, Larva Aedes aegypti toleran

Provinsi Kalimantan Selatan merupakan Upaya penanggulangan DBD dapat


salah satu dari 6 propinsi yang tercatat dilakukan dengan memutus salah satu rantai
sebagai propinsi yang mengalami segitiga epidemiologi (triangle of
peningkatan kasus atau KLB DBD, dimana epidemiology) dan tepat guna sebagaimana
IR tahun 2008 sebesar 15,69 per 100.000 prinsip REESAA (rational, efective,
penduduk dengan CFR sebesar 1,91% dan efficient, sustainable, acceptable,
meningkat sebesar 29,30 per 100.000 affordabel) (Gafur, 2006). Pengendalian
penduduk dengan CFR sebesar 1,80% terhadap Ae. aegypti sebagai vektor DBD
(Laporan P2B2, 2011). Data riset kesehatan merupakan salah satu cara memutus rantai
dasar (Riskesdas) 2007 menyatakan penularan.
prevalensi nasional DBD di Indonesia Salah satu metode yang sering
adalah 0,62% dan di Kalimantan Selatan digunakan dalam penanggulangan nyamuk
kasus DBD Klinis terdeteksi dengan Ae. aegypti adalah dengan menggunakan
prevalensi 0,26 % (1, 3).. Kejadian DBD di larvasida Temephos pada stadium
Kotamadya Banjarbaru selalu terjadi setiap pradewasa. Temephos adalah larvasida yang
tahun Di Kota Banjarbaru menurut data paling banyak digunakan untuk membunuh
yang dihimpun dari Dinas Kesehatan Kota larva Ae. aegypti. Kandungan bahan aktif
Banjarbaru didapatkan trend kenaikan angka dari Temephos adalah Tetramethyil Thiodi.
kejadian DBD. Pada tahun 2007 didapatkan P-Phenylene, Phasphorothioate 1% dan
data 83 orang terkena DBD, kemudian inert ingredient 99% (Ponlawat et al.,
meningkat menjadi 85 orang pada tahun 2005).
2008. Pada akhir tahun 2009 data kejadian Penggunaan Temephos sudah dipakai
DBD naikmenjadi 137 penderita dengan7 sejak tahun 1976. Kemudian pada tahun
orang di antaranya meninggal. Angka 1980, Temephos 1 % ditetapkan sebagai
Insident Rate yang terjadi di kota bagian dari program pemberantasan Ae.
Banjarbaru yaitu 33,7/100.000 penduduk aegypti di Indonesia. Meskipun metode
dan Case Fatality Rate (CFR) 1,9%. tersebut telah menjadi agenda nasional,
Dengan melihat besarnya kasus DBD tetapi tampaknya populasi Ae. aegpti belum
yang mempunyai kecendrungan semakin berhasil dikendalikan, sehingga angka
berkembang dan semakain kompleks kesakitan masih sering terjadi. Jadi
dimasa-masa mendatang seiring terjadinya temephos sudah digunakan hampir 30 tahun.
pergeseran wilayah dari daerah pedesaan Penggunaan dalam waktu lama ini dapat
yang dijadikan perkotaan dikarenakan menimbulkan terjadinya resistensi (Gafur,
pembangunan, maka perlu dilakukan upaya 2006; Hasanuddin, 2005).
penanggulangan terhadap Ae. aegypti Laporan resistensi Larva Ae. aegypti
sebagai vektor DBD terhadap temephos sudah ditemukan di
beberapa negara seperti Brazil, Bolivia,

JURNAL VEKTORA VOL. III NO. 2 95


M. Rasyid Ridha. et al, Larva Aedes aegypti toleran

Argentina, Venezuela, Kuba, French Laporan tentang ketahanan Ae. aegypti


Polynesia, Karibia, dan Thailand (Gafur, di Indonesia belum tercatat bukan berarti
2006). Di negara-negara tetangga, seperti bahwa Indonesia bebas dari masalah
Malaysia, nyamuk Ae. aegypti telah resistensi pestisida. Kemungkinan data
dilaporkan tahan terhadap malathion pada mengenai Indonesia belum masuk di
tahun 1972 dan terhadap temephos pada database Internasional karena hasil
tahun 1976. Ketahanan Ae. aegypti terhadap penelitian tentang hal itu masih terbatas,
malathion di Thailand terjadi pada tahun atau bila ada, mungkin belum tercatat secara
1980 dan Singapura pada tahun 1986 Internasional. Namun, kekhawatiran bahwa
(Untung, 2004). nyamuk Ae. aegypti di Indonesia sudah
Penelitian di daerah endemis DBD di tahan terhadap malathion dan temephos
DKI Jakarta tahun 2006 oleh Shinta dan perlu memperoleh perhatian serius. Oleh
Supratman Sukowati menunjukkan status karena itu perlu dilakukan uji kerentanan di
toleran dan bahkan cenderung resisten, wilayah-wilayah endemis DBD secara
sedangkan populasi dari bagian Jakarta lain berkesinambungan untuk mengetahui status
masih rentan. Di Tanjung Priok kerentanan terhadap larvasida Temephos
menunjukkan bahwa sebagian besar larva yang digunakan dalam program
Ae. aegypti telah resisten. Di Mampang penanggulangannya (Untung, 2004).
Prapatan, sebagian besar larva Ae. aegypti Upaya pencegahan dan pengendalian
juga telah resisten (Daniel, 2010). nyamuk dengan larvasida Temephos di
Fenomena resistensi itu, selanjutnya, Kabupaten Banjar Kecamatan Martapura
dapat dijelaskan dengan teori evolusi. belum berhasil menurunkan tingginya angka
Ketika suatu lokasi dilakukan penyemprotan kesakitan penyakit DBD. Hal ini
pestisida, nyamuk yang peka akan mati, dimungkinkan karena pengaruh penggunaan
sebaliknya yang tidak peka akan tetap temephos secara terus menerus dalam
melangsungkan hidupnya. Paparan pestisida pengendalian vektor yang memungkinkan
yang terus menerus menyebabkan nyamuk timbulnya resistensi terhadap larvasida
beradaptasi sehingga jumlah nyamuk yang tersebut, karena sifat transovarial dari
kebal bertambah banyak. Nyamuk yang nyamuk. Hal itu mengimplikasikan perlunya
kebal tersebut dapat membawa sifat evaluasi berkala terhadap keefektivitasan
resistensinya ke keturunannya. Selain itu temephos di kemudian hari, sehingga dalam
nyamuk yang sudah kebal terhadap satu penelitian ini dilakukan uji kerentanan
jenis insektisida tertentu akan terus larvasida temephos pada nyamuk Ae.
mengembangkan diri agar bisa kebal aygypti.
terhadap jenis insektisida yang lain (Daniel, Berdasarkan masalah di atas maka
2010). dapat dirumuskan masalah sebagai berikut
Apakah larva Ae. aegypti dari Kota

JURNAL VEKTORA VOL. III NO. 2 96


M. Rasyid Ridha. et al, Larva Aedes aegypti toleran

Banjarbaru Propinsi Kalimantan Selatan TUJUAN : Mengetahui status kerentanan


sudah toleran terhadap Temephos 1 % larva Ae. aegypti terhadap larvasida
secara in vitro. Temephos secara in vitro di daerah endemis
DBD Kota Banjarbaru Propinsi Kalimantan
Selatan Tahun 2011.

BAHAN DAN CARA. Prosedur Kerja Penelitian


Jenis Penelitian ini adalah eksperimen I. Pengumpulan telur Ae. aegypti
murni (true experiment). Dilaksanakan (Ningsih, 2008)
dengan metode uji kerentanan menurut Untuk mendapatkan telur Ae.
standar WHO (Suceptability Test). Desain aegypti yang akan direaring selama
penelitian adalah post test only control penelitian, maka penulis melakukan
group design dengan pendekatan Rancangan pemasangan ovitrap atau perangkap
Acak Lengkap (RAL - Completely telur di lokasi penelitian. Telur yang
Randomized Design) (Notoatmodjo, 2002). sudah dikumpulkan diletakkan dalam
Sampel dalam penelitian ini adalah kontainer berisi air untuk ditetaskan
larva Ae. aegypti instar III dan instar IV dan selanjutnya dilanjutkan dengan
awal yang merupakan hasil rearing nyamuk rearing nyamuk.
di Laboratorium P2B2 Loka Litbang yang II. Kolonisasi Larva (Ridho, 2009)
berasal dari pengumpulan telur dan larva Untuk memudahkan pemilihan
dari Kelurahan Sekumpul Kota Martapura. larva Ae. aegypti instar III dan awal
Penelitian ini dilaksanakan dengan instar IV selama penelitian, maka
metode uji kerentanan (Susceptability Test) dilakukan rearing nyamuk Ae. aegypti.
dengan menggunakan enam konsentrasi Larva instar III dan awal instar IV
larutan Temephos yaitu 0.005 mg/lt: 0.010 diambil sebagai bahan untuk pengujian
mg/lt; 0.015 mg/lt; 0.020 mg/lt; 0.025 mg/lt kerentanan.
dan 0.030 mg/lt dengan 1 kontrol, masing- III. Uji Kerentanan (WHO)
masing konsentrasi dan kontrol dibuat Penelitian ini dilaksanakan
sebanyak 4 kali ulangan. Penggunaan larva dengan metode uji kerentanan
pada tiap ulangan adalah sebanyak 25 ekor. (Susceptibility Test). Kematian larva
Sehingga jumlah unit sampel keseluruhan dihitung dan dicatat hasilnya setelah
adalah 700 ekor larva. pengamatan selama 24 jam. Dalam
Lokasi penelitian ini adalah di Kota pencatatan persentase jumlah kematian
BanjarbaruPropinsi Kalimantan Selatan larva untuk tiap konsentrasi, maka
yang dilaksanakan dari bulan Mei 2011 larva yang terkapar dan mati dalam
hingga Juni 2011. sejumlah ulangan digabung kemudian
dihitung rata-ratanya.

JURNAL VEKTORA VOL. III NO. 2 97


M. Rasyid Ridha. et al, Larva Aedes aegypti toleran

Teknik Analisis Data Data persentase kematian


Sesuai dengan tujuan dan untuk disesuaikan dengan kriteria
menguji hipotesis dalam penelitian ini, suceptability terhadap insektisida
maka data yang diperoleh dianalisa menurut WHO untuk menentukan
secara deskriptif dan analitik. Dalam status kerentanannya, yaitu resisten
penelitian jika jumlah kematian larva apabila kematian kurang dari 80 %,
pada kelompok kontrol kurang dari toleran apabila 80-97 % dan rentan
5% maka jumlah kematian larva pada apabila 98-100 %. Persentase
kelompok perlakuan / eksperimen kematian larva yang digunakan untuk
adalah seperti jumlah absolut kematian menentukan status kerentanan adalah
yang dihitung. persentase kematian larva pada
a. Dalam penelitian jika jumlah konsentrasi 0,02 mg/L perlakuan
kematian larva pada kelompok selama 24 jam. Konsentrasi Temephos
kontrol antara 520% maka jumlah 0,02 mg/L adalah konsentrasi yang
kematian larva sesungguhnya pada ditetapkan WHO sebagai Tentative
kelompok eksperimen harus Diagnostic Dosages yang mampu
dikoreksi dengan menggunakan untuk membunuh lebih dari 95 % larva
formula Abbot sebagai berikut : Ae. aegypti. (Shinta, 2007; Komisi
Pestisida, 1995).
Analisis secara analitik
b. Jika jumlah kematian larva pada mengunakan program Komputer yaitu
kelompok kontrol lebih dari 20 %, Probit Analysis Program untuk
maka seluruh pelaksanaan menentukan LC99 24 jam. Larva Ae.
penelitian dianggap gagal dan aegypti dinyatakan telah resisten
harus dilakukan penelitian ulang. terhadap Temephos (Abate) menurut
Kematian setiap unit uji, WHO dalam Ningsih (2008) apabila
dihitung presentasi kematian nilai LC99 lebih dari 0.02 mg/L.
dengan menggunakan rumus :
Jumlah nyamujk mati x 1 00 %
% Kematian =
Jumlah nyamuk diuji

HASIL DAN PEMBAHASAN (0,020 mg/L) sebesar 95 %, maka dapat


Berdasarkan hasil uji kerentanan larva dikatakan bahwa larva Ae. aegypti di Kota
secara in vitro yang telah dilakukan banjarbaru secara in vitro tergolong kedalam
didapatkan persentase kematian pada status toleran terhadap Larvasida Temephos
konsentrasi diagnosa yang ditetapkan WHO (abate) karena berdasarkan standar WHO

JURNAL VEKTORA VOL. III NO. 2 98


M. Rasyid Ridha. et al, Larva Aedes aegypti toleran

dalam Ningsih (2008), status larva Propinsi Kalimantan Selatan sudah Toleran
dikatakan toleran jika persentase kematian terhadap Larvasida Temephos terbukti.
larva uji berada diantara range 80% - 97%.
Berdasarkan hasil analisis dengan Keadaan Lingkungan
menggunakan Probit Analysis Program Keadaan lingkungan yang dikendalikan
menunjukkan bahwa nilai LC99 adalah dalam penelitian ini adalah suhu media, pH
sebesar 0,027 mg/L, maka juga dapat media, suhu ruangan dan kelembaban
dikatakan bahwa larva Ae. aegypti dari ruangan. Pada saat pengujian dilakukan
Kelurahan Sekumpul sudah tidak rentan lagi pengukuran suhu, pH media dan
terhadap Larvasida Temephos (abate) dan kelembaban ruangan. Hasil pengukuran
status kerentanannya sudah dapat disebut suhu media saat pengujian yaitu berkisar
termasuk kedalam golongan resisten karena antara 28C - 29C, dan hasil pengukuran
menurut WHO dalam Ningsih (2008) larva pH air yaitu keseluruhan 7. Untuk suhu
Ae. aegypti dikatakan telah resisten terhadap ruangan berkisar antara 28C - 30C,
larvasida temephos apabila nilai LC99 sudah sedangkan kelembaban berkisar antara 73%
melebihi 0,020 mg/L. Sehingga hipotesis - 86%. Secara lengkap dan jelas keadaan
dalam penelitian ini yang menyatakan lingkungan selama penelitian dapat dilihat
bahwa Larva Ae.aegypti di Kota Banjarbaru pada tabel dibawah ini.

Tabel 1.2 Suhu air, pH air, Suhu Ruangan dan Kelembaban Ruangan pada Uji Kerentanan
Larva Ae. aegypti di Laboratorium Entomologi Loka Litbang P2B2 Tanah
Bumbu Kalimantan Selatan Tahun 2011

Keadaan Lingkungan
No Konsentrasi (mg/L)
Suhu Air pH Air Suhu Ruang Kelembaban Ruang
1 0,005 29 7 30 86
2 0,010 29 7 30 86
3 0,015 29 7 30 86
4 0,020 29 7 30 86
5 0,025 29 7 30 86
6 0,030 29 7 30 86
7 Kontrol 29 7 30 86

Persentase Kematian Larva Ae aegypti larva dan didapatkan hasil jumlah kematian
Setelah dilakukan uji kerentanan secara rata-rata larva Ae. aegypti pada berbagai
in vitro dengan pengamatan selama 24 jam konsentrasi Temephos (Abate).
kemudian dilakukan perhitungan kematian Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1.3

JURNAL VEKTORA VOL. III NO. 2 99


M. Rasyid Ridha. et al, Larva Aedes aegypti toleran

Tabel 1.3 Kematian Larva Ae. aegypti Kelurahan Sekumpul pada berbagai konsentrasi
Temephos (Abate) setelah pengamatan 24 jam

Persentase Kematian Larva Ae. Aegypti


No Konsentrasi (mg/L) Rata-Rata Kematian
% Kematian
(ekor)
1 0,005 9,75 39
2 0,010 18,75 75
3 0,015 23,5 94
4 0,020 23,75 95
5 0,025 24,75 99
6 0,030 25 100
7 Kontrol 0 0
Sumber : Hasil penelitian di Laboratorium Entomologi Loka Litbang P2B2 Tanah Bumbu Kalimantan
Selatan Tahun 2011.

Pada konsentrasi terendah (0,005 mg/L) persentase kematian larva Ae. aegypti
persentase kematian larva Ae. aegypti hanya mencapai 95%. dan pada konsentrasi 0,025
39%, pada konsentrasi 0,010 mg/L mg/L persentase kematian larva sudah
persentase kematian meningkat hampir hampir mencapai kematian keseluruhan
mencapai 100% menjadi 75 %. Selanjutnya yaitu 99%. Persentase kematian 100 % baru
pada konsentrasi 0,015 mg/L, kematian terlihat pada konsentrasi tertinggi yaitu
larva Ae. aegypti mencapai 94%. Pada 0,030 mg/L. Secara lebih jelas dapat dilihat
konsentrasi diagnosa WHO (0,020 mg/L) pada gambar 1.1 berikut ini.

JURNAL VEKTORA VOL. III NO. 2 100


M. Rasyid Ridha. et al, Larva Aedes aegypti toleran

Berdasarkan hasil uji kerentanan endemis DBD di Jakarta Barat pada tahun
larva yang telah dilakukan didapatkan 2006 yang menunjukkan status toleran
persentase kematian pada konsentrasi bahkan cenderung resiten (Daniel, 2008).
diagnosa yang ditetapkan WHO (0,020 Banyak faktor yang mempengaruhi
mg/L) sebesar 95 %, maka dapat dikatakan laju perkembangan ketahanan serangga
bahwa larva Ae. aegypti dari Kelurahan terhadap insektisida. Salah satu faktor yang
Sekumpul tergolong kedalam status toleran mempengaruhi adalah tingkat paparan atau
terhadap Larvasida Temephos (abate) penggunaan insektisida. Ketidak resistenan
Hasil ini bertentangan dengan larva Aedes aegypti dari Kelurahan
penelitian yang dilakukan oleh Gafur, dkk di Sekumpul ini berkaitan dengan tingkat
Banjarmasin Utara terhadap Temephos penggunaan Larvasida Temephos (abate)
Tahun 2006, Ningsih didaerah endemis yang memang masih belum begitu intensif
DBD Kelurahan Tembalang Semarang dan sangat teratur. Hal ini didasarkan atas
tahun 2008 serta Damar dkk pada tahun informasi dari petugas kesehatan lingkungan
2005 dalam Boewono (2007) yang Puskesmas bahwa abatisasi baru dilakukan
mengatakan bahwa larva Ae. aegypti dari apabila ditemukan kasus demam berdarah
Jipang dan Kali Panjur, Semarang masih atau atas permintaan warga Selain itu dosis
rentan terhadap Larvasida Temephos (abate) yang digunakan masih sesuai dengan
dengan persentase kematian 100 %. Namun anjuran pemerintah yaitu 1 gr untuk 10 L
senada dengan penelitian tentang status air. Bahkan mungkin penggunaan di
kerentanan populasi larva Ae. aegypti masyarakat lebih kecil lagi karena dari
terhadap Temephos (abate) di daerah keterangan warga mereka tidak terlalu suka

JURNAL VEKTORA VOL. III NO. 2 101


M. Rasyid Ridha. et al, Larva Aedes aegypti toleran

dengan bau yang ditimbulkan oleh Gafur dkk yang menyebutkan bahwa larva
Temephos (abate). Ae. aegypti di Banjarmasin Utara Propinsi.
Namun sifat resistensi larva dari Kalimantan Selatan masih rentan terhadap
Kelurahan Sekumpul yang sudah tergolong Temephos (abate). Hal ini sangat penting
toleran, status diatas lebih tinggi dibanding untuk dijadikan bahan masukan bagi Dinas
rentan namun masih dibawah dari status Kesehatan dalam upaya penanggulangan
resisten, kemungkinan dapat disebabkan penyakit DBD bahwa Larvasida Temephos
karena pemakaian yang tidak terkoordinasi (abate) masih relevan digunakan sebagai
dengan baik, dimana warga sering meminta larvasida untuk membunuh larva Ae. aegypti
Temephos kepada petugas puskesmas di wilayah Kota Banjarbarutetapi dengan
setempat, namun penggunaannya tidak peningkatan konsentrasi Temephos (abate)
pernah dilakukan pengawasan serta juga yaitu dengan menaburkan pada tempat
belum di berikannya sosialisasi yang merata penampungan air yang sulit dilakukan
terkait penggunaan Temephos yang pengurasan secara berkala, selain yang
seharusnya serta aman penggunaaanya. Hal terpenting dalam upaya penanggulangan
ini juga disimpulkan berdasarkan informasi penyakit DBD yaitu tetap dengan
yang didapat dari petugas pengelola DBD di melakukan 3M (Boewono, 2007).
Puskesmas setempat. Kesemua hal tersebut diatas,
Hal ini sesuai dengan penelitian di terutama tentang status kerentanan larva Ae.
Jakarta yang menunjukkan bahwa sebagian aegypti memperlihatkan adanya indikasi
besar larva Ae. aegypti di Tanjung Priok penurunan kerentanan larva terhadap
telah resisten terhadap insektisida Temephos (Abate). Hal tersebut
organofosfat yaitu 44,8 % resisten sedang mengimplikasikan perlunya evaluasi secara
dan 50 % sangat resisten. Di Mampang berkala terhadap keefektivitasan temephos
Prapatan, sebagian besar larva Ae. Aegypti dikemudian hari (Daniel, 2008)
juga telah resisten terhadap insektisida Penggunaan Larvasida Temephos
organofosfat yaitu 57,2% resisten sedang (abate) di Indonesia menurut Gafur (2006)
dan 9,8% sangat resisten (Daniel, 2008). Hal memang sudah berlangsung cukup lama
ini mungkin memang disebabkan tingkat sejak tahun 1976 dan di Kalimantan Selatan
pemakaian ataupun cara penggunaan sendiri kemungkinan sejak tahun 1980,
Larvasida Temephos (abate) di Jakarta tidak sehingga sudah lebih dari 30 tahun
jauh berbeda dengan penggunaan Larvasida digunakan sebagai bagian dari program
Temephos (abate) di Kota penanggulangan DBD. Hal senada juga
BanjarbaruPropinsi. Kalimantan Selatan. disampaikan oleh Hasanuddin, 2005 dalam
Hasil penelitian di Keluruhan Ningsih (2008).
Sekumpul ini membantah penelitian yang Pemberantasan vektor cara kimiawi,
dilakukan sebelumnya pada tahun 2006 oleh khususnya pemberantasan vektor yang

JURNAL VEKTORA VOL. III NO. 2 102


M. Rasyid Ridha. et al, Larva Aedes aegypti toleran

menggunakan insektisida, baik digunakan ketahanan Ae. Aegypti di Indonesia,


untuk pemberantasan nyamuk dewasa penelitian tentang hal tersebut juga masih
maupun jentik akan merangsang terjadinya terbatas. Oleh karena itu perlu dilakukan uji
seleksi pada populasi serangga yang kerentanan di Indonesia secara
menjadi sasaran. Nyamuk atau jentik yang berkesinambungan untuk mengetahui status
rentan terhadap insektisida bersangkutan kerentanan terhadap larvasida Temephos
akan mati, sedang yang kebal (resisten) yang digunakan dalam program
tetap hidup. Jumlah yang hidup (resisten) penanggulangannya, khususnya pada
lama-lama bertambah banyak, sehingga wilayah-wilayah dengan status endemis
terjadilah perkembangan kekebalan nyamuk DBD (Untung, 2004).
atau jentik terhadap insektisida yang Temephos dengan merk dagang
bersangkutan (Depkes RI,1986). yang dikenal dengan sebutan Abate
Kekhawatiran bahwa nyamuk Ae. merupakan salah satu larvasida golongan
aegypti di Indonesia sudah tahan terhadap senyawa phosphat organik yang dapat
malathion dan temephos sangat perlu masuk dan termakan lewat mulut. Golongan
memperoleh perhatian serius. Ditambah lagi insektisida ini mempunyai cara kerja
dengan data tentang ketahanan Ae. aegypti menghambat enzim cholinesterase baik
di Indonesia yang masih sangat belum pada vertebrata maupun invertebrata,
optimal terlaksana, bahkan masih hanya ada sehingga menimbulkan gangguan pada
sangat sedikit data tentang laporan aktivitas syaraf karena tertimbunnya
kerentanan Ae. Aegypti di beberapa wilayah acetylcholine menjadi cholin dan asam cuka
di Indonesia. Hal ini dikarenakan tidak sehingga bila enzim tersebut dihambat maka
adanya kegiatan surveillans yang hidrolisa acetylcholin tidak terjadi.
mengharuskan adanya pemeriksaan status Acetylcholine ini berfungsi sebagai mediator
kerentanan Ae. aegypti yang secara terus antara syaraf dan otot daging sehingga
menerus dilakukan agar data tentang status memungkinkan penjalaran impuls listrik
kerentanan di Indonesia terhadap larvasida yang merangsang otot daging untuk
yang digunakan di beberapa wilayah di berkontraksi dalam waktu lama sehingga
Indonesia, khususnya didaerah endemis terjadilah konvulsi (kekejangan). Temephos
DBD dapat tercacat dengan baik. Sehingga akan mengikat enzim cholinesterase dan
hal tersebut dapat membantu pengambilan dihancurkan sehingga terjadi kontraksi otot
keputusan untuk program perencanaan yang terus menerus, kejang dan akhirnya
penanggulangan DBD selanjutnya dan larva akan mati. Jadi seperti halnya senyawa
program tersebut diharapkan dapat tepat phosphat organik pada umumnya, maka
sasaran (Untung, 2004). Larvasida ini juga bersifat anti
Selain karena belum adanya kegiatan cholinesterase (Atmoesohardjo, 1991).
surveillans yang optimal tentang pengujian

JURNAL VEKTORA VOL. III NO. 2 103


M. Rasyid Ridha. et al, Larva Aedes aegypti toleran

Jika dilihat dari persentase kematian di dalamnya sehingga semakin efektif dalam
pada konsentrasi diagnosa menurut WHO membunuh larva Ae. Aegypti (Ningsih,
yaitu 0,020 mg/L maka dan bahwa larva Ae. 2008).
aegypti di Kelurahan Sekumpul tergolong Suatu antropoda dikatakan telah
toleran terhadap Larvasida Temephos kebal (resisten) terhadap sejenis insektisida
(abate) secara in vitro karena persentase menurut Purnama dalam Ningsih (2008) bila
kematian yaitu sebesar 95% atau diantara dengan menggunakan dosis yang biasa
range 80% - 97%. Larva Ae. aegypti digunakan, antropoda tidak dapat dibunuh.
dikatakan telah toleran menurut WHO Resistensi dapat terjadi oleh karena berbagai
dalam Paepom (2005) apabila persentase sebab yaitu serangga memiliki sistem enzim
kematian setelah dipaparkan pada yang mampu menetralisasi racun
konsentrasi diagnosa antara 80 - 97 %, (insektisida), selain itu terdapatnya
dikatakan telah resisten apabila kematiannya timbunan lemak di dalam tubuh serangga
< 80 % dan dikatakan masih rentan apabila yang dapat menyerap insektisida yang
persentase kematian berkisar antara 98% - masuk dan hambatan-hambatan lain yang
100%. Hal senada juga dinyatakan oleh mencegah penyerapan insektisida ke dalam
WHO dalam Ridho (2009), Ningsih (2008) tubuh meningkatkan daya resistensi
serta oleh Komisi Pestisida (1995). artropoda terhadap insektisida. Selain
Berdasarkan persentase kematian faktor-faktor yang dimiliki artropoda
larva Ae. aegypti yang didapatkan dari hasil tersebut diatas, maka hal-hal lain yang dapat
pengujian kerentanan menurut WHO mempengaruhi terjadinya resistensi
menunjukkan bahwa konsentrasi Temephos artropoda terhadap insektisida adalah
(Abate) yang paling efektif diantara keenam stadium serangga, generation time dan
konsentrasi uji yang digunakan (0,005; kompleksitas gene dari artropoda.
0,010; 0,015; 0,020; 0,025 dan 0,030 mg/L) Bila terjadi resistensi terhadap
dalam membunuh larva Ae. aegypti di insektisida, maka selain dosis harus
daerah Endemis DBD Kota ditingkatkan juga harus diciptakan
BanjarbaruPropinsi. Kalimantan Selatan insektisida baru untuk memberantas
Tahun 2011 adalah pada konsentrasi uji serangga tersebut oleh karena jika dosis
tertinggi yaitu 0,030 mg/L dimana terus menerus ditingkatkan, pada suatu saat
persentase kematian larva mencapai akan membahayakan akan kesehatan
persentasi kematian keseluruhan yaitu manusia dan kesehatan lingkungan.
sebesar 100 %. Berdasarkan hasil penelitian yang
Hal ini dikarenakan dengan semakin dilakukan, jika dengan dosis efektif
tinggi konsentrasi Larvasida Temephos dikemudian hari sudah tidak dapat
(abate) yang digunakan maka akan semakin membunuh larva Ae. Aegypti secera efektif
tinggi pula kandungan bahan aktif larvasida sehingga penularan penyakit masih terus

JURNAL VEKTORA VOL. III NO. 2 104


M. Rasyid Ridha. et al, Larva Aedes aegypti toleran

berlangsung, maka jenis larvasida yang barang-barang yang memungkinkan akan


digunakan yaitu Temepohos (abate) harus menjadi penampungan air yang menjadi
segera diganti. Selain itu juga perlu tempat perindukan vektor epidemi dan larva
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk vektor epidemi. Program lain yang tidak
mengetahui dosis yang sudah dapat kalah penting adalah pendahuluan kesehatan
membahayakan kesehatan makhluk hidup, masyarakat yang terkait dengan masalah
khususnya manusia (Ningsih, 2008). DBD (Soegijanto, 2008)
Beberapa pakar kesehatan Pendapat ini diperkuat oleh
masyarakat yang mendalami masalah Hadinegoro (2002), selain program diatas
penyakit menular menguraikan beberapa ada program tambahan yang tidak boleh
cara untuk mencegah dan memberantas terbelakangkan bahkan juga harus
penyakit DBD. Menurut Soegijanto (2008) diutamakan yaitu pemantauan epidemiologis
pencegahan penyakit DBD dapat dilakukan atau penyelidikan epidemiologis pada larva
melalui pemberantasan vektor epidemi dan vektor epidermi (larva nyamuk DBD) secara
larva vektor epidemi dengan cara berkala pada tempat-tempat penampungan
pemberantasan kimiawi yaitu fogging dan air sehingga keberadaan larva selalu
abatisasi, metode biologik yaitu dengan ikan terpantau dan data terkait status kerentanan
pemakan larva vektor epidemi, metode larva dapat melengkapi perencanaan
autocidal yaitu alat penangkap nyamuk dan program penanggulangan DBD selanjutnya
metode perbaikan lingkungan yaitu di wilayah setempat. Sedangkan gerakan
pembersihan lingkungan. 3M plus menurut Hadinegoro (2002)
Pengendalian DBD menggunakan ditambahkan kegiatan berupa kerja bakti
insektisida dapat memicu terjadinya serentak, dimana gerakan 3M plus
resistensi jika pengawasan dalam merupakan bagian kegiatan PSN yang
pemakaianya tidak dilakukan dengan baik terintegrasi dengan berbagai kegiatan lain
sehingga program pembersihan lingkungan seperti PSN dengan metode biologi dan
yang dikenal dengan program PSN, program gerakan Jumat bersih.
3M plus merupakan program yang juga Menurut Indrawan (2001) untuk
harus di laksanakan terus menerus karena mencegah terjadinya DBD gerakan PSN
untuk menanggulangi peningkatan kasus perlu ditambahkan dengan pembersihan
DBD yang terus menerus, maka program tempat-tempat yang menjadi peristirahatan
penanggulangannya harus dilakukan secara vektor epidemi (nyamuk DBD) yaitu benda-
terintegrasi dengan baik yaitu dengan tetap benda yang tergantung yang ada di dalam
menguras tempat air 3 bulan 1 x jika rumah seperti baju-baju, korden dan
mnggunakan Temephos dan 1 x dalam 1 kelambu serta memasang ventilasi dan
minggu jika tidak menggunakan Temephos, jendela agar tidak ada tempat-tempat yang
menutup genangan air dan mengubur gelap dan bersuhu lembab. Hal ini senada

JURNAL VEKTORA VOL. III NO. 2 105


M. Rasyid Ridha. et al, Larva Aedes aegypti toleran

dengan pendapat Alkatiri (1996) bahwa a. Menguras bak mandi, tempayan dan
demam berdarah dengue dapat dicegah tempat-tempat penampungan air
dengan cara menghindari gigitan nyamuk sekurang-kurangnya seminggu sekali
yaitu dengan memasang kawat-kawat kasa (perkembangan telur menjadi nyamuk
pada lubang-lubang ventilasi kamar, 7 - 10 hari)
menggunakan repellant atau obat anti b. Menutup tempat penampungan air
nyamuk, menyediakan ventilasi sinar dengan tutup rapat
matahari dan jendela dan menyingkirkan c. Mengubur dan membersihkan barang-
benda-benda yang tergantung di dalam barang bekas
kamar seperti pakaian, korden dan kelambu. d. Kegiatan 3 M ditambahkan dengan
Sehingga berdasarkan pendapat penyuluhan dan kampanye agar lebih
Indrawan (2001) dan Alkatiri (1996) maka memasyarakat.
strategi dasar dalam pemutusan rantai ii. PSN, antara lain:
penularan dalam rangka pemberantasan, a. Menutup lubang-lubang pagar bambu
metodologi yang saat ini dianggap paling dan pohon dengan tanah.
efektif adalah tetap dengan pemberantasan b. Membersihkan air yang tergenang di
vektor dengan insektisida ataupun tanpa atap rumah dan tempat-tempat lain
insektisida yaitu untuk mengurangi derajat yang terlindung dari sinar matahari.
penularan, mencegah penularan dalam c. Mengubur genangan air dan menutup
jangka panjang yang dilakukan dengan lubang-lubang di halaman serta
memberantas jentik Ae. aegypti dengan cara membersihkan saluran air yang tidak
: mengalir.
i. Gerakan 3 M plus

KESIMPULAN DAN SARAN kerentanan larva Ae. aegypti di Kota


Kesimpulan Banjarbaru Propinsi Kalimantan Selatan
Persentase kematian larva Ae. aegypti Tahun 2011 secara in vitro tergolong
secara in vitro di Kota Banjarbaru Propinsi kedalam status toleran terhadap Larvasida
Kalimantan Selatan Tahun 2011 semakin Temephos (Abate).
meningkat seiring dengan meningkatnya LC99 Temephos (Abate) terhadap larva
konsentrasi Larvasida Temephos (Abate) Ae. aegypti di daerah Endemis DBD Kota
yang diberikan. BanjarbaruPropinsi Kalimantan Selatan
Pada konsentrasi terendah (0,005 mg/L) Tahun 2011 secara in vitro adalah 0,027
persentase kematian larva Ae. aegypti secara dengan range antara 0,020 sampai 0,048.
in vitro hanya 39% dan pada konsentrasi Saran
diagnosa WHO (0,020 mg/L) persentase 1. Bahan masukan bagi Dinas Kesehatan
kematian mencapai 95% sehingga status dalam upaya penanggulangan penyakit

JURNAL VEKTORA VOL. III NO. 2 106


M. Rasyid Ridha. et al, Larva Aedes aegypti toleran

DBD bahwa Larvasida Temephos untuk menghindari terjadinya resistensi


(Abate) masih dapat digunakan sebagai lebih lanjut, mengingat bahwa dengan
larvasida yang efektif sebagai upaya pemakaian insektisida yang sama dengan
penanggulangan jangka pendek di Kota kurun waktu yang lama akan
Banjarbaru Prop. Kalimantan Selatan menimbulkan resistensi
yaitu dengan konsentrasi pemakaian yang 4. Jika memungkinkan dapat digunakan
ditingkatkan yaitu dengan menaburkan larvasida jenis lain secara bergantian
pada tempat penampungan air yang sulit untuk menghindari adanya resistensi
ataupun tidak dapat dilakukan pada larva.
pengurasan secara berkala, selain upaya 5. Peningkatan sosialisasi cara pengendalian
pengendalian yang terpenting yaitu tetap vektor dengan metode perbaikan
dengan melakukan 3M. lingkungan yaitu program pembersihan
2. Perlu evaluasi secara berkala (3-5 lingkungan juga pemantauan
tahunan) terhadap keefektivitasan epidemiologis atau penyelidikan
Temephos (Abate) dikemudian hari pada epidemiologis pada larva vektor epidemi
masing-masing daerah pengguna (larva nyamuk DBD) secara berkala pada
larvasida Temephos (Abate) khususnya tempat-tempat penampungan air.
daerah dengan status endemisitas tinggi 6. Menyemarakkan pengendalian biologis
agar pengendalian yang akan diterapkan yaitu dengan menggunakan ikan
tepat guna, waktu dan sasaran sehingga pemakan jentik (ikan cupang) serta
status toleran pada Kota Banjarbaru tidak bakteri
menjadi resisten
3. Perlu diperhitungkan bahan aktif
larvasida yang mempunyai cara kerja
yang berbeda dengan Temephos (Abate)

DAFTAR RUJUKAN aegypti) Against Organophosphate


Insecticides (Malathion and
Andrian, S. 2008. Mengenal Lebih Jauh
Temephos) in Some Districts of
Tentang Nyamuk Penular DBD :
Yogyakarta and Central Java
Aedes aegypti. Banjar: DKK
Provinces. Buletin Penelitian
Banjar.
Kesehatan. Vol. 35 (2) ; 49 56
Atmosoehardjo, S. 1991. Suatu Upaya
BPS Kab Banjar, 2010. Kecamatan
Pengendalian Penggunaan
Martapura Dalam Angka tahun
Pestisida Melalui pendekatan Ilmu
2010. BPS Martapura : Kab
pengetahuan dan Teknologi,
Banjar.
Surabaya : FK Unair.
Cahyati, W.H, Suharyo. 2006. Dinamika
Boewono, D.T., Widiarti. 2007.
Aedes Aegypti Sebagai Vector
Susceptibility of Dengue
Penyakit. Jurnal Kesehatan
Haemorragic Fever Vector (Aedes
Masyarakat II (1).

JURNAL VEKTORA VOL. III NO. 2 107


M. Rasyid Ridha. et al, Larva Aedes aegypti toleran

Daniel. Ketika larva dan Nyamuk Dewasa Faziah, AS. 2004. Epidemiologi dan
Sudah Kebal Terhadap Insektisida. Pemberantsanan Demamberdarah
RACIKAN KHUSUS - Februari Dengue di Indonesia. FKM,
2008. vol. 7 (7). Available at: < Universitas Sumatera Utara.
http ://www. majalahfarmacia. Digized by USU Digital Library
com/rubrik/one _ news _ print . Gafur, A. Mahrina, Hardiansyah.
asp ? IDNews= 643> [Accessed on Kerentanan Larva Aedes Aegypti
December 17, 2010] dari Banjarmasin Utara terhadap
Depkes RI, 2001. Pencegahan dan Temephos. Tesis. Bioscientiae III
Penanggulangan Penyakit Demam (2).2006. Available at: <
Berdarah. Jakarta: Kerjasama .http;//www.unlam
WHO dan Depkes RI. .ac.idlbiosaentiael.> [Accessed on
Depkes RI, 2005. Pencegahan dan December 17, 2010]
Pemberantasan Demam Berdarah Guha Sapir D., Schimmer B., 2005.
Dengue di Indonesia. Jakarta: Dengue Fever; New Paradigms for
Dirjen Pengendalian Penyakit dan a changing epidemiology.
Penyehatan Lingkungan (PP-Pl) Emerging Themes in
Depkes RI. Epidemiology. Available at: <
http;//www.ete-
Depkes RI, 2007. Modul Pelatihan bagi online.com/content/2/1/1.>
Pengelola Program Pengendalian [Accessed on December 17, 2010]
Penyakit DBD Demam Berdarah Hanafiah, Kemas Ali. 2000. Rancangan
Dengue di Indonesia. Jakarta: Pencobaan: Teori dan Aplikasi.
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Penyehatan Lingkungan (PP-Pl) Hasanuddin, Ishak. Zrimurti Mappau dan
Depkes RI. Isra Wahid. 2010. Uji Kerentanan
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Aedes Aegypti Terhadap
2004. Prosedur Tetap Malathion dan Efektivitas Tiga
Penanggulangan KLB dan Jenis Insektisida, Propoksur
Bencana Provinsi Jawa Tengah. Komersial di Kota Makassar.
Dirjen PPM dan PLP. 2001. Pedoman Media Nusantara. Vol : 26 no.4
Ekologi dan Aspek Perilaku Oktober - Desember. 2005.
Vektor. Jakarta: Depkes RI. Available at: < http
Dirjen PPM dan PLP. 2001. Pedoman almed.unhas.ac.id/en/DataJumalUt
Survei DBD. Jakarta: Depkes RI. ahun2005
DKK Banjar., 2011. Laporan Tahunan vo126/VOL.26No4ok/AA.%204Uj
Dinas Kesehatan Kota Banjar i%20Kerentanan%20(Hasanuddin
tahun 2007, 2008, 2009 serta 2010. %201shak).pdf>[Accessed on
Banjar: DKK Banjar. December 17, 2010]
Ester, M., 1999. Demam Berdarah Hermawan. Nyamuk Demam Berdarah
Dengue: Diagnosis untuk Dan Warna Bak Mandi April 2008.
Penelitian Vektor Demam Available at: <
Berdarah Dengue (DBD) di http://www.attayaya.net/2009/01/n
Jakarta. Jakarta: Media yamukdemam-berdarah-dan-
Litbangkes. warna-bak.html> [Accessed on
June 12, 2011]

JURNAL VEKTORA VOL. III NO. 2 108


M. Rasyid Ridha. et al, Larva Aedes aegypti toleran

Hidayat, T. 2007. Perbedaan Kesukaan Tembalang Semarang. Skripsi.


Tempat Bertelur Aedes spp antara Semarang: FKM Epidemiologi dan
Ovitrap Tempurung Kelapa Penyakit Tropik UNDIP.
dengan Gelas Kaca. Skripsi. Notoatmodjo, S. 2002. Metode Penelitian
Semarang : FKM UNDIP. Kesehatan. Jakarta : PT Rineka
Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Cipta.
Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Paepom, P., dkk. Insecticide Susceptibility
James, C. Penerjemah : I Nyoman of Aedes aegypti in Tsunami
Kandun. 2006. Manual affected Area in Thailand. Dengue
Pemberantasan Penyakit Menular. Bulletin Vol 29 tahun 2005.
Jakarta : Info Medika. Available at: < http : // www.
Khair, A. 2000. Kerentanan Larva Aedes searo. who int/ LinkFiles / Dengue
Albopictus terhadap Abate Bulletins-Volumes-29-(2005).>
Temephos. Skripsi. Semarang: [Accessed on December 17, 2010]
FKM UNDIP. Ponlawat, A., Scott, J.G., Harrington, L.C.
Komisi Pestisida, Departemen Pertanian. 2005. Insecticide Susceptibility of
1995. Metode standar Pengujian Aedes aegypti and Aedes
Efikasi Pestisida (Pengujian albopictus across Thailand. Journal
Efikasi Insektisida Terhadap Larva of Medical Entomology 42: 821-
Nyamuk). Departemen Pertanian. 825.
Kristina, Isminah, Wulandari, L. Kajian Pramudyo, Miftah. 2007 Perbandingan
Masalah Kesehatan Demam prevalensi jenis tempat perindukan
Berdarah Dengue. Available at: Aedes aegypti yang lebih disukai
<http:/www.litbang.depkes antara di dalam rumah (indoor)
.go.id/maskes/052004/demamberd dan di luar rumah (outdoor) pada
arah1.htm> [Accessed on daerah Cibogo dan sekitarnya
December 17, 2010] Available at:<
Kusnoputranto, H dan Susana D. 2003. http://fkunpad.healthrepository.org
Kesehatan Lingkungan. FKM /handle/ 123456789/108 >
Universitas Indonesia. Depok [Accessed on June 12, 2011]
Marisa, 2007. Toleransi Larva Dan Prasetyo, Budi. 2004. Resistensi Jentik
Nyamuk Dewasa Aedes Aegypti Nyamuk Aedes aegypti terhadap
Terhadap Temefos Dan Malation Abate Temephos di Kelurahan
Di Wilayah Endemik Kelurahan Gowongan Kecamatan Jetis Kota
Duren Sawit Jakarta Timur. Jogjakarta. Skripsi. Surabaya:
Thesis. Bogor: Sekolah Program SKM Konsentrasi
Pascasarjana. Institut Pertanian Epidemiologi Lapangan FKM
Bogor Universitas Airlangga.
Murti, B. 1997. Prinsip dan Metode Riset Purnama, N.A, 1994. Uji Resistensi Larva
Epidemiologi. Yogjakarta: UGM Aedes aegypti terhadap Abate
Press. Temephos di Yogjakarta. Skripsi.
Ningsih T.S, 2008. Uji Kerentanan Larva Semarang. FKM UNDIP.
Aedes spp Terhadap Abate Puskesmas Martapura, 2011. Laporan
Temephos (Studi Kasus Pada tahunan UPT. Puskesmas
Larva Aedes Spp di Daeran Martapura 2008, 2009 serta 2010
Endemis DBD Kelurahan Martapura: Puskesmas Martapura.

JURNAL VEKTORA VOL. III NO. 2 109


M. Rasyid Ridha. et al, Larva Aedes aegypti toleran

Ridho, Muhammad Rasyid. 2009. Uji Soegianto, Soegeng. 2008. Demam


Resistensi Vektor DBD (Aedes Berdarah Dengue Edisi 2.
Aegypti) Terhadap Insektisida Surabaya: University Press.
Malathion di Kecamatan Batulicin Sunardi. 2006. Evaluasi Kesehatan
dan Kecamatan Simpang Empat Lingkungan Pemukiman
Kabupaten Tanah Bumbu Tahun Berdasarkan Foto Udara dan SIG
2009. Skripsi. Banjarbaru di Kecamatan Pasar Kliwon
Kalimantan Selatan. Fakultas Kotamadya Surakarta. Skripsi.
Kedokteran UNLAM . Fakultas Geografi, Universitas
Laporan P2B2, 2011. Data Kasus DBD Gajah Mada. Yogyakarta.
per Bulan di Indonesia Tahun Suwasono, H, 1981. Pengaruh Abate Pada
2010, 2009 dan 2008. Jentik Aedes aegypti, Tesis. Pasca
Pemberantasan Penyakit Sarjana IPB. Bogor.
Bersumber Binatang. Tarumingkeng, Rudy C. Pestisida dan
Shinta, Sukowati, S. 2007. Status Penggunaanya. Available at: <
Kerentanan populasi Larva Aedes http: /tumoutou
aegypti terhadap Temephos di .net/TOX/PESTISIDA.htm>
daerah endemis DBD di DKI [Accessed on December 17, 2010]
Jakarta. Jurnal ekologi kesehatan. Untung, K. 2004. Ketahanan "Aedes
April. vol. 1 (6). ; 540-548. Aegypti" Terhadap Pestisida di
Sintorini M.M. 2007. Pengaruh Iklim Indonesia. www.kompas.com.
Terhadap Kasus DBD. Jurnal Selasa, 06 April 2004.
Kesehatan Masyarakat Nasional WHO, 1981. Instructions for Determining
Volume 2 Nomor 1, Agustus. the Susceptibility or Resistence of
Yogyakarta. Mosquito larvae to Insecticides,
Sintorini M.M. 2007. Peran Lingkungan WHO/VBC/81.807, 6 pages.
pada Kasus Kejadian Luar Biasa WHO. 1980. Resistance of vectors of
DBD. Abstract International disease to pesticides. Fifth report
Seminar on Mosquito and of the WHO expert Committee on
Mosquito-borne Disesase Control Vector Biology and Control.
Trough Ecological Approaches. Technical Report Series 655.
Yogyakarta. WHO. Geneva.
Sitorus. H, dan Lasbudi P. 2007. WHO. 2003. Pencegahan dan
Pengamatan Larva Aedes di Desa Penanggulangan Penyakit DBD;
Sukaraya Kabupaten Oku dan di Petunjuk Lengkap Terjemahan dari
Dusun Martapura Kabupaten Oku WHO Regional Publication
Timur Tahun 2004. Media Litbang SEARO No. 29. Prevention
Kesehatan Volume XVII Nomur 2 Control of Dengue and Dengue
Tahun 2007. Jakarta. Haemorragic Fever.
Soedarmo SSP. 2005. Demam Berdarah WHO. 2005. Dengue Hemorrhagic Fever;
Dengue Pada Anak. Jakarta: UI Diagnosis, Treatment and Control.
Press. WHO.
Soedarto. 1992. Entomologi Kedokteran. WHO. 2009. Dengue: Guidelines for
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran Diagnosis, Treatment, Prevevtion
ECG. and Control. New Edition 2009.
France: WHO.

JURNAL VEKTORA VOL. III NO. 2 110


M. Rasyid Ridha. et al, Larva Aedes aegypti toleran

Wuryanto, A. 2002. Kepadatan Telur Banyumanik Kodya Banjar. Media


Aedes sp. Pada Berbagai tingkat Kesehatan Masyarakat Indonesia.
Endemisitas DBD di Kecamatan Oktober. vol. 1 (2) ; 21 24.

JURNAL VEKTORA VOL. III NO. 2 111

You might also like