Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK.
Dengue Hemorrhagic Fever has been being problem in public health. The vector control program is a
way to break transmission. Temephos (Abate) has been used as larvicides in the DHF control
program since 1976. The long term use of this insecticide can cause resistance.
The research aimed to know susceptibility of Ae. Aegypti in a in vitro manner to Temephos
(Abate) organophosphate insecticide in DHF endemic area, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
This was a pure experiment study (true experiment study) with post test only control group
design. Eggs and larvaes were colected from study area then rearing in laboratorium until become
mosquitos. F1 generation was applied as component of susceptibility test to Temephos (Abate). This
research tested the larvae bioassay based on WHO standard procedures (Suceptability Test).
Result showed that, mortality rate of larvae Ae. aegypti at WHO diagnostic dosages (0.02
mg/L) in a in vitro manner was 95 %. It means that larva Ae. aegypti in Kota Banjarbaru was
tolerance to Temephos (Abate) in a in vitro manner. According to the result the usage of Temephos
(Abate) is still relevans as effective larvasidae in Kota Banjarbaru DHF control program by
increasing concentration usage, especially at containers of water which difficult cleaned periodically.
And the most important control program is by doing 3M program constantly. Its also implicated the
need of routine evaluation in Temephos (Abate) effectiveness later
ABSTRAK.
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penggunaan
Temephos sudah dipakai sejak tahun 1976 dan ditetapkan sebagai bagian dari program pengendalian
larva Ae. aegypti di Indonesia. Penggunaan jangka panjang insektisida ini dapat menyebabkan
resistensi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerentanan Ae. Aegypti dengan cara in vitro terhadap
insektisida organofosfat Temephos (Abate) di daerah endemik DBD, Kota Banjarbaru, Kalimantan
Selatan.
Jenis Penelitian ini adalah eksperimen murni (true experiment). Dilaksanakan dengan metode uji
kerentanan menurut standar WHO (Suceptability Test). Desain penelitian adalah post test only control
group design dengan pendekatan Rancangan Acak Lengkap (RAL - Completely Randomized Design).
Telur dan larvaes yang didapatkan dari lapangan di kolonisasidi laboratorium sampai menjadi
nyamuk. Generasi F1 diterapkan sebagai bagian dari tes kerentanan terhadap Temephos (Abate).
Hasil menunjukkan bahwa, angka kematian dari larva Ae. aegypti dengan dosis diagnostik (0,02 mg /
L) WHO secara in vitro adalah 95%. Ini berarti bahwa larva Ae. aegypti di Kota Banjarbaru adalah
toleran terhadap Temephos (Abate) secara in vitro. Penggunaan Temephos (Abate) masih relevan
sebagai larvasida dalam program pengendalian DBD di Kota Banjarbaru dengan meningkatkan
penggunaan konsentrasi, terutama pada air yang sulit dibersihkan secara berkala. Program. Program
3M masih merupakan program yang paling efektif dalam penanggulangan DBD.
Tabel 1.1 Data Incidence Rate (IR) Nasional DBD di Indonesia Tahun 2000, 2001,
2002, 2003, 2008 dan 2009.
dalam Ningsih (2008), status larva Propinsi Kalimantan Selatan sudah Toleran
dikatakan toleran jika persentase kematian terhadap Larvasida Temephos terbukti.
larva uji berada diantara range 80% - 97%.
Berdasarkan hasil analisis dengan Keadaan Lingkungan
menggunakan Probit Analysis Program Keadaan lingkungan yang dikendalikan
menunjukkan bahwa nilai LC99 adalah dalam penelitian ini adalah suhu media, pH
sebesar 0,027 mg/L, maka juga dapat media, suhu ruangan dan kelembaban
dikatakan bahwa larva Ae. aegypti dari ruangan. Pada saat pengujian dilakukan
Kelurahan Sekumpul sudah tidak rentan lagi pengukuran suhu, pH media dan
terhadap Larvasida Temephos (abate) dan kelembaban ruangan. Hasil pengukuran
status kerentanannya sudah dapat disebut suhu media saat pengujian yaitu berkisar
termasuk kedalam golongan resisten karena antara 28C - 29C, dan hasil pengukuran
menurut WHO dalam Ningsih (2008) larva pH air yaitu keseluruhan 7. Untuk suhu
Ae. aegypti dikatakan telah resisten terhadap ruangan berkisar antara 28C - 30C,
larvasida temephos apabila nilai LC99 sudah sedangkan kelembaban berkisar antara 73%
melebihi 0,020 mg/L. Sehingga hipotesis - 86%. Secara lengkap dan jelas keadaan
dalam penelitian ini yang menyatakan lingkungan selama penelitian dapat dilihat
bahwa Larva Ae.aegypti di Kota Banjarbaru pada tabel dibawah ini.
Tabel 1.2 Suhu air, pH air, Suhu Ruangan dan Kelembaban Ruangan pada Uji Kerentanan
Larva Ae. aegypti di Laboratorium Entomologi Loka Litbang P2B2 Tanah
Bumbu Kalimantan Selatan Tahun 2011
Keadaan Lingkungan
No Konsentrasi (mg/L)
Suhu Air pH Air Suhu Ruang Kelembaban Ruang
1 0,005 29 7 30 86
2 0,010 29 7 30 86
3 0,015 29 7 30 86
4 0,020 29 7 30 86
5 0,025 29 7 30 86
6 0,030 29 7 30 86
7 Kontrol 29 7 30 86
Persentase Kematian Larva Ae aegypti larva dan didapatkan hasil jumlah kematian
Setelah dilakukan uji kerentanan secara rata-rata larva Ae. aegypti pada berbagai
in vitro dengan pengamatan selama 24 jam konsentrasi Temephos (Abate).
kemudian dilakukan perhitungan kematian Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1.3
Tabel 1.3 Kematian Larva Ae. aegypti Kelurahan Sekumpul pada berbagai konsentrasi
Temephos (Abate) setelah pengamatan 24 jam
Pada konsentrasi terendah (0,005 mg/L) persentase kematian larva Ae. aegypti
persentase kematian larva Ae. aegypti hanya mencapai 95%. dan pada konsentrasi 0,025
39%, pada konsentrasi 0,010 mg/L mg/L persentase kematian larva sudah
persentase kematian meningkat hampir hampir mencapai kematian keseluruhan
mencapai 100% menjadi 75 %. Selanjutnya yaitu 99%. Persentase kematian 100 % baru
pada konsentrasi 0,015 mg/L, kematian terlihat pada konsentrasi tertinggi yaitu
larva Ae. aegypti mencapai 94%. Pada 0,030 mg/L. Secara lebih jelas dapat dilihat
konsentrasi diagnosa WHO (0,020 mg/L) pada gambar 1.1 berikut ini.
Berdasarkan hasil uji kerentanan endemis DBD di Jakarta Barat pada tahun
larva yang telah dilakukan didapatkan 2006 yang menunjukkan status toleran
persentase kematian pada konsentrasi bahkan cenderung resiten (Daniel, 2008).
diagnosa yang ditetapkan WHO (0,020 Banyak faktor yang mempengaruhi
mg/L) sebesar 95 %, maka dapat dikatakan laju perkembangan ketahanan serangga
bahwa larva Ae. aegypti dari Kelurahan terhadap insektisida. Salah satu faktor yang
Sekumpul tergolong kedalam status toleran mempengaruhi adalah tingkat paparan atau
terhadap Larvasida Temephos (abate) penggunaan insektisida. Ketidak resistenan
Hasil ini bertentangan dengan larva Aedes aegypti dari Kelurahan
penelitian yang dilakukan oleh Gafur, dkk di Sekumpul ini berkaitan dengan tingkat
Banjarmasin Utara terhadap Temephos penggunaan Larvasida Temephos (abate)
Tahun 2006, Ningsih didaerah endemis yang memang masih belum begitu intensif
DBD Kelurahan Tembalang Semarang dan sangat teratur. Hal ini didasarkan atas
tahun 2008 serta Damar dkk pada tahun informasi dari petugas kesehatan lingkungan
2005 dalam Boewono (2007) yang Puskesmas bahwa abatisasi baru dilakukan
mengatakan bahwa larva Ae. aegypti dari apabila ditemukan kasus demam berdarah
Jipang dan Kali Panjur, Semarang masih atau atas permintaan warga Selain itu dosis
rentan terhadap Larvasida Temephos (abate) yang digunakan masih sesuai dengan
dengan persentase kematian 100 %. Namun anjuran pemerintah yaitu 1 gr untuk 10 L
senada dengan penelitian tentang status air. Bahkan mungkin penggunaan di
kerentanan populasi larva Ae. aegypti masyarakat lebih kecil lagi karena dari
terhadap Temephos (abate) di daerah keterangan warga mereka tidak terlalu suka
dengan bau yang ditimbulkan oleh Gafur dkk yang menyebutkan bahwa larva
Temephos (abate). Ae. aegypti di Banjarmasin Utara Propinsi.
Namun sifat resistensi larva dari Kalimantan Selatan masih rentan terhadap
Kelurahan Sekumpul yang sudah tergolong Temephos (abate). Hal ini sangat penting
toleran, status diatas lebih tinggi dibanding untuk dijadikan bahan masukan bagi Dinas
rentan namun masih dibawah dari status Kesehatan dalam upaya penanggulangan
resisten, kemungkinan dapat disebabkan penyakit DBD bahwa Larvasida Temephos
karena pemakaian yang tidak terkoordinasi (abate) masih relevan digunakan sebagai
dengan baik, dimana warga sering meminta larvasida untuk membunuh larva Ae. aegypti
Temephos kepada petugas puskesmas di wilayah Kota Banjarbarutetapi dengan
setempat, namun penggunaannya tidak peningkatan konsentrasi Temephos (abate)
pernah dilakukan pengawasan serta juga yaitu dengan menaburkan pada tempat
belum di berikannya sosialisasi yang merata penampungan air yang sulit dilakukan
terkait penggunaan Temephos yang pengurasan secara berkala, selain yang
seharusnya serta aman penggunaaanya. Hal terpenting dalam upaya penanggulangan
ini juga disimpulkan berdasarkan informasi penyakit DBD yaitu tetap dengan
yang didapat dari petugas pengelola DBD di melakukan 3M (Boewono, 2007).
Puskesmas setempat. Kesemua hal tersebut diatas,
Hal ini sesuai dengan penelitian di terutama tentang status kerentanan larva Ae.
Jakarta yang menunjukkan bahwa sebagian aegypti memperlihatkan adanya indikasi
besar larva Ae. aegypti di Tanjung Priok penurunan kerentanan larva terhadap
telah resisten terhadap insektisida Temephos (Abate). Hal tersebut
organofosfat yaitu 44,8 % resisten sedang mengimplikasikan perlunya evaluasi secara
dan 50 % sangat resisten. Di Mampang berkala terhadap keefektivitasan temephos
Prapatan, sebagian besar larva Ae. Aegypti dikemudian hari (Daniel, 2008)
juga telah resisten terhadap insektisida Penggunaan Larvasida Temephos
organofosfat yaitu 57,2% resisten sedang (abate) di Indonesia menurut Gafur (2006)
dan 9,8% sangat resisten (Daniel, 2008). Hal memang sudah berlangsung cukup lama
ini mungkin memang disebabkan tingkat sejak tahun 1976 dan di Kalimantan Selatan
pemakaian ataupun cara penggunaan sendiri kemungkinan sejak tahun 1980,
Larvasida Temephos (abate) di Jakarta tidak sehingga sudah lebih dari 30 tahun
jauh berbeda dengan penggunaan Larvasida digunakan sebagai bagian dari program
Temephos (abate) di Kota penanggulangan DBD. Hal senada juga
BanjarbaruPropinsi. Kalimantan Selatan. disampaikan oleh Hasanuddin, 2005 dalam
Hasil penelitian di Keluruhan Ningsih (2008).
Sekumpul ini membantah penelitian yang Pemberantasan vektor cara kimiawi,
dilakukan sebelumnya pada tahun 2006 oleh khususnya pemberantasan vektor yang
Jika dilihat dari persentase kematian di dalamnya sehingga semakin efektif dalam
pada konsentrasi diagnosa menurut WHO membunuh larva Ae. Aegypti (Ningsih,
yaitu 0,020 mg/L maka dan bahwa larva Ae. 2008).
aegypti di Kelurahan Sekumpul tergolong Suatu antropoda dikatakan telah
toleran terhadap Larvasida Temephos kebal (resisten) terhadap sejenis insektisida
(abate) secara in vitro karena persentase menurut Purnama dalam Ningsih (2008) bila
kematian yaitu sebesar 95% atau diantara dengan menggunakan dosis yang biasa
range 80% - 97%. Larva Ae. aegypti digunakan, antropoda tidak dapat dibunuh.
dikatakan telah toleran menurut WHO Resistensi dapat terjadi oleh karena berbagai
dalam Paepom (2005) apabila persentase sebab yaitu serangga memiliki sistem enzim
kematian setelah dipaparkan pada yang mampu menetralisasi racun
konsentrasi diagnosa antara 80 - 97 %, (insektisida), selain itu terdapatnya
dikatakan telah resisten apabila kematiannya timbunan lemak di dalam tubuh serangga
< 80 % dan dikatakan masih rentan apabila yang dapat menyerap insektisida yang
persentase kematian berkisar antara 98% - masuk dan hambatan-hambatan lain yang
100%. Hal senada juga dinyatakan oleh mencegah penyerapan insektisida ke dalam
WHO dalam Ridho (2009), Ningsih (2008) tubuh meningkatkan daya resistensi
serta oleh Komisi Pestisida (1995). artropoda terhadap insektisida. Selain
Berdasarkan persentase kematian faktor-faktor yang dimiliki artropoda
larva Ae. aegypti yang didapatkan dari hasil tersebut diatas, maka hal-hal lain yang dapat
pengujian kerentanan menurut WHO mempengaruhi terjadinya resistensi
menunjukkan bahwa konsentrasi Temephos artropoda terhadap insektisida adalah
(Abate) yang paling efektif diantara keenam stadium serangga, generation time dan
konsentrasi uji yang digunakan (0,005; kompleksitas gene dari artropoda.
0,010; 0,015; 0,020; 0,025 dan 0,030 mg/L) Bila terjadi resistensi terhadap
dalam membunuh larva Ae. aegypti di insektisida, maka selain dosis harus
daerah Endemis DBD Kota ditingkatkan juga harus diciptakan
BanjarbaruPropinsi. Kalimantan Selatan insektisida baru untuk memberantas
Tahun 2011 adalah pada konsentrasi uji serangga tersebut oleh karena jika dosis
tertinggi yaitu 0,030 mg/L dimana terus menerus ditingkatkan, pada suatu saat
persentase kematian larva mencapai akan membahayakan akan kesehatan
persentasi kematian keseluruhan yaitu manusia dan kesehatan lingkungan.
sebesar 100 %. Berdasarkan hasil penelitian yang
Hal ini dikarenakan dengan semakin dilakukan, jika dengan dosis efektif
tinggi konsentrasi Larvasida Temephos dikemudian hari sudah tidak dapat
(abate) yang digunakan maka akan semakin membunuh larva Ae. Aegypti secera efektif
tinggi pula kandungan bahan aktif larvasida sehingga penularan penyakit masih terus
dengan pendapat Alkatiri (1996) bahwa a. Menguras bak mandi, tempayan dan
demam berdarah dengue dapat dicegah tempat-tempat penampungan air
dengan cara menghindari gigitan nyamuk sekurang-kurangnya seminggu sekali
yaitu dengan memasang kawat-kawat kasa (perkembangan telur menjadi nyamuk
pada lubang-lubang ventilasi kamar, 7 - 10 hari)
menggunakan repellant atau obat anti b. Menutup tempat penampungan air
nyamuk, menyediakan ventilasi sinar dengan tutup rapat
matahari dan jendela dan menyingkirkan c. Mengubur dan membersihkan barang-
benda-benda yang tergantung di dalam barang bekas
kamar seperti pakaian, korden dan kelambu. d. Kegiatan 3 M ditambahkan dengan
Sehingga berdasarkan pendapat penyuluhan dan kampanye agar lebih
Indrawan (2001) dan Alkatiri (1996) maka memasyarakat.
strategi dasar dalam pemutusan rantai ii. PSN, antara lain:
penularan dalam rangka pemberantasan, a. Menutup lubang-lubang pagar bambu
metodologi yang saat ini dianggap paling dan pohon dengan tanah.
efektif adalah tetap dengan pemberantasan b. Membersihkan air yang tergenang di
vektor dengan insektisida ataupun tanpa atap rumah dan tempat-tempat lain
insektisida yaitu untuk mengurangi derajat yang terlindung dari sinar matahari.
penularan, mencegah penularan dalam c. Mengubur genangan air dan menutup
jangka panjang yang dilakukan dengan lubang-lubang di halaman serta
memberantas jentik Ae. aegypti dengan cara membersihkan saluran air yang tidak
: mengalir.
i. Gerakan 3 M plus
Daniel. Ketika larva dan Nyamuk Dewasa Faziah, AS. 2004. Epidemiologi dan
Sudah Kebal Terhadap Insektisida. Pemberantsanan Demamberdarah
RACIKAN KHUSUS - Februari Dengue di Indonesia. FKM,
2008. vol. 7 (7). Available at: < Universitas Sumatera Utara.
http ://www. majalahfarmacia. Digized by USU Digital Library
com/rubrik/one _ news _ print . Gafur, A. Mahrina, Hardiansyah.
asp ? IDNews= 643> [Accessed on Kerentanan Larva Aedes Aegypti
December 17, 2010] dari Banjarmasin Utara terhadap
Depkes RI, 2001. Pencegahan dan Temephos. Tesis. Bioscientiae III
Penanggulangan Penyakit Demam (2).2006. Available at: <
Berdarah. Jakarta: Kerjasama .http;//www.unlam
WHO dan Depkes RI. .ac.idlbiosaentiael.> [Accessed on
Depkes RI, 2005. Pencegahan dan December 17, 2010]
Pemberantasan Demam Berdarah Guha Sapir D., Schimmer B., 2005.
Dengue di Indonesia. Jakarta: Dengue Fever; New Paradigms for
Dirjen Pengendalian Penyakit dan a changing epidemiology.
Penyehatan Lingkungan (PP-Pl) Emerging Themes in
Depkes RI. Epidemiology. Available at: <
http;//www.ete-
Depkes RI, 2007. Modul Pelatihan bagi online.com/content/2/1/1.>
Pengelola Program Pengendalian [Accessed on December 17, 2010]
Penyakit DBD Demam Berdarah Hanafiah, Kemas Ali. 2000. Rancangan
Dengue di Indonesia. Jakarta: Pencobaan: Teori dan Aplikasi.
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Penyehatan Lingkungan (PP-Pl) Hasanuddin, Ishak. Zrimurti Mappau dan
Depkes RI. Isra Wahid. 2010. Uji Kerentanan
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Aedes Aegypti Terhadap
2004. Prosedur Tetap Malathion dan Efektivitas Tiga
Penanggulangan KLB dan Jenis Insektisida, Propoksur
Bencana Provinsi Jawa Tengah. Komersial di Kota Makassar.
Dirjen PPM dan PLP. 2001. Pedoman Media Nusantara. Vol : 26 no.4
Ekologi dan Aspek Perilaku Oktober - Desember. 2005.
Vektor. Jakarta: Depkes RI. Available at: < http
Dirjen PPM dan PLP. 2001. Pedoman almed.unhas.ac.id/en/DataJumalUt
Survei DBD. Jakarta: Depkes RI. ahun2005
DKK Banjar., 2011. Laporan Tahunan vo126/VOL.26No4ok/AA.%204Uj
Dinas Kesehatan Kota Banjar i%20Kerentanan%20(Hasanuddin
tahun 2007, 2008, 2009 serta 2010. %201shak).pdf>[Accessed on
Banjar: DKK Banjar. December 17, 2010]
Ester, M., 1999. Demam Berdarah Hermawan. Nyamuk Demam Berdarah
Dengue: Diagnosis untuk Dan Warna Bak Mandi April 2008.
Penelitian Vektor Demam Available at: <
Berdarah Dengue (DBD) di http://www.attayaya.net/2009/01/n
Jakarta. Jakarta: Media yamukdemam-berdarah-dan-
Litbangkes. warna-bak.html> [Accessed on
June 12, 2011]