You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

Di Indonesia kekeruhan kornea masih merupakan masalah kesehatan mata dan


merupakan salah satu penyebab utama kebutaan. Kornea merupakan bagian anterior
dari mata yang merupakan bagian dari media refrakta, kornea juga berfungsi sebagai
membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Kelainan
kornea yang sering ditemukan adalah keratitis.
Keratitis merupakan suatu proses peradangan baik akut maupun kronik yang
disebabkan oleh berbagai faktor seperti bakteri, virus, jamur dan alergi dan bila
terlambat didiagnosis atau diterapi secara tidak tepat akan mengakibatkan kerusakan
stroma dan meninggalkan jaringan parut yang luas dan dapat menyebabkan kebutaan
pada pasien. Keratitis dapat diklasifikasikan menjadi beberapa golongan
berdasarkan lapisan kornea yang terkena, penyebabnya dan bentuk klinisnya.1.2.3
Sehingga pengobatan keratitis haruslah cepat dan tepat agar tidak menimbulkan
komplikasi yang merugikan dimasa yang akan datang terutama pada pasien yang
masih muda.1,2,3
Kornea sebenarnya memiliki mekanisme protektif terhadap lingkungan
maupun paparan patogen (virus, amuba, bakteri dan jamur). Ketika patogen berhasil
masuk dan membuat defek epitelial di kornea, maka jaringan braditropik kornea akan
merespon patogen spesifik dengan peradangan pada kornea (keratitis).1
Keratitis akan memberikan gejala seperti rasa nyeri, fotofobia, dan adanya
secret yang purulen yang biasa terdapat pada keratitis bakterial. 1 Gejala umum
keratitis adalah visus turun perlahan, mata merah, rasa silau, dan merasa ada benda
asing dimatanya. Gejala khusus tergantung dari jenis-jenis keratitis yang diderita oleh
pasien. Gambaran klinis dari masing- masing keratitispun berbeda tergantung dari
jenis penyebab dan tingkat kedalaman yang terjadi dikornea

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Kornea
2.1.1 Anatomi dan Histologi Kornea

Gambar 1 : Anatomi kornea (1)

Kornea merupakan jendela paling depan dari mata, dimana sinar masuk
difokuskan kedalam pupil. Bentuk kornea yang cembung dengan sifatnya yang
transparan merupakan hal yang sangat menguntungkan karena sinar yang masuk 80%
atau dengan kekuatan 40 dioptri dilakukan atau dibiaskan oleh kornea. Semakin
bertambahnya usia, kelengkungan kornea akan berkurang.2,4,5
Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11-
12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea
memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60
kekuatan dioptri mata manusia. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi
glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata.

2
Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea
adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak
dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea
dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 m, diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm
dan vertikalnya 10,6 mm.
Kornea sangat sensitif karena terdapat banyak serabut sensorik. Saraf sensorik
ini berasal dari nervus cilliaris longus yang berasal dari nervus nasosiliaris yang
merupakan cabang saraf oftalmikus dari nervus trigeminus.
Permukaan kornea dibentuk oleh epitel skuamosanon keratin yang dapat
meregenerasi dengan cepat bila terjadi kerusakan.Dalam hitungan jam,kerusakan
epitel ditutup dengan migrasi sel dan pembelahan sel yang cepat. Namun, ini terjadi
bila stem sel limbus di limbus korneatidak rusak. Regenerasi kornea tidak
akanberlangsung jika sel-sel ini rusak. Sebuah epitel utuh berfungsi untuk melindungi
bagian dalamnya terhadap infeksi, kerusakan pada epitelakan memudahkan patogen
untukmasuk ke mata.(1) Dari anterior ke posterior, kornea mempunyai lima lapisan
yang terdiri atas: (1)
1. Epitel
Tebalnya 50m, terdiri atas lima atau enam lapis sel epitel tidak bertanduk
yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal, dan sel gepeng.
Lapisan tersebut dibagi menjadi lapisan sel basal: sel kuboid dimana
pembelahan sel terjadi. Wing sel: lapisan kedua adalah berbentuk sayap agar
sesuai dengan permukaan anterior sel basal yang bulat. Sel superfisial: tiga
lapisan sel berikutnya menjadisemakin menyatu karena aktivitas mitosis
dalam lapisan sel basal.
2. Membrana Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma

3
Stroma adalah jaringan yang sangat braditrofik. Sebagai jaringan avascular
membuatnya menjadi situs istimewa untuk dilakukan pencangkokan. Kornea
transplantasi dapat dilakukan tanpa mengambil jaringan sebelumnya. Peningkatan
risiko penolakan hanya perlu dikhawatirkan jika kornea resipien memiliki
vaskularisasi yang mungkin terjadi setelah cedera kimia atau peradangan. Pada
beberapa kasus pencangkokan memerlukan terapi imunosupresif dengan
cyclosporin.(1)
4. Membrana Descement adalah membrane pada posterior kornea yang berdekatan
dengan bilik mata depan. Membran descement merupakan membran yang relatif
kuat yang akan mempengaruhi bentuk ruang anterior bahkan bila stroma kornea
telah benar-benar rusak. Karena merupakan membran basal, jaringan yang hilang
akan diregenerasi oleh sel endotel fungsional.(1)
5. Endotel
Endotelium kornea bertanggung jawab atas transparansi kornea. Endotelium
kornea tidak mengalami regenerasi, kerusakan endothelium akan ditutup oleh
pembesaran sel dan migrasi sel.(1)

2.1.2 Fisiologi Kornea


Kornea mendapat nutrisi dari pembuluh-pembuluh darah limbus, humor
aqueous, dan air mata. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari cabang pertama
(ophthalmichus) dan nervus kranialis trigeminus. Saraf trigeminus ini memberikan
sensitivitas tinggi terhadap nyeri bila kornea disentuh.
Fungsi utama kornea adalah sebagai membran protektif dan sebuah jendela
yang dilalui cahaya untuk mencapai retina. Transparansi kornea dimungkinkan oleh
sifatnya yang avaskuler, memiliki struktur yang bersifat deturgescence.
Deturgescence, atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh
pompa aktif bikarbonat dari endothelium dan fungsi penghalang dari epitel dan
endotel. Endotelium lebih penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi dan
kimia atau kerusakan fisik pada endotelium ini jauh lebih serius daripada kerusakan
epitel. Penghancuran sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya

4
transparansi. Di sisi lain, kerusakan epitel hanya bersifat sementara, edema lokal dari
stroma kornea yang membersihkan ketika sel-sel epitel beregenerasi. Penguapan air
dari film air mata precorneal menghasilkan hipertonisitas film, bahwa proses dan
penguapan langsung adalah faktor-faktor yang menarik air dari stroma kornea
superfisial untuk mempertahankan keadaan dehidrasi (3)
Penetrasi kornea utuh oleh obat adalah bifasik dimana zat yang larut dalam lemak
dapat melewati epitel utuh dan zat larut dalam air dapat melewati stroma utuh. Untuk
melewati kornea, obat harus memiliki kemampuan larut dalam lemak dan larut dalam
air.(4)
Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan struktur
jaringan yang braditrofik, metabolismenya lambat dimana ini berarti
penyembuhannya juga lambat. Metabolisme kornea (asam amino dan glukosa)
diperoleh dari 3 sumber, difusi dari kapiler kapiler disekitarnya, difusi dari humor
aquous, dan difusi dari film air mata.(1)
Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap lembut dan
membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan kasar dan
pasien akan melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat pada film air
mata juga melindungi mata dari infeksi.(1)
Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus. Sensasi
taktil yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata. Setiap kerusakan
pada kornea (erosi, penetrasi benda asing atau keratokonjungtivitis ultraviolet)
mengekspose ujung saraf sensorik dan menyebabkan nyeri yang intens disertai
dengan refleks lakrimasi dan penutupan bola mata involunter. Trias yang terdiri atas
penutupan mata involunter (blepharospasme), refleks lakrimasi (epiphora) dan nyeri
selalu mengarahkan kepada kemungkinan adanya cedera kornea. (1)
Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam
kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran
Bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme,seperti bakteri,
virus, amuba, dan jamur. Kegunaan kornea adalah sbb:

5
1. Kornea mempunyai kemampuan membiaskan cahaya yang paling kuat dibanding
dengan sistem optik retaktif lainnya.
2. Kubah kornea akan membiaskan sinar kelubang pupil didepan lensa. Kubah
kornea yang semakin cembung akan memiliki daya bias yang kuat.
3. Peran kornea sangat penting dalam menghantarkan cahaya masuk kedalam mata
untuk menghasilkan penglihatan yang tajam, maka kornea memerlukan
kejernihan, kehalusan dan kelengkungan tertentu
2. 2 KERATITIS
2.2.1 Definisi
Keratitis ialah peradangan pada kornea. Peradangan dapat terjadi pada salah
satu bahkan lebih dari kelima lapisan kornea. Gejala patognomik dari keratitis ialah
terdapatnya infiltrat di kornea. Infiltrat dapat ada di seluruh lapisan kornea, dan
menetapkan diagnosis dan pengobatan keratitis.2 Keratitis akan menyebabkan kornea
menjadi keruh sehingga tajam penglihatan menurun. Mata akan tampak merah akibat
injkesi pembuluh darah perikorneal yang dalam atau injeksi siliar.2,3
Karena kornea merupakan bangunan yang avaskuler, maka pertahanan pada
waktu peradangan tidak bereaksi dengan cepat, seperti jaringan lain yang
mengandung banyak vaskularisasi. Sehingga badan kornea, wandering cells dan sel-
sel lainnya yang terdapat di dalam stroma kornea akan segera bekerja sebagai
makrofag yang kemudian akan disusul dengan terjadinya dilatasi dari pembuluh
darah yang terdapat di limbus dan akan tampak sebagai injeksi perikornea. Kemudian
akan terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuklear, sel plasma dan sel polimorfonuklear
yang akan mengakibatkan timbulnya infiltrat yang selanjutnya dapat berkembang
dengan terjadinya kerusakan epitel dan timbullah ulkus (tukak) kornea.3,4
Pada peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan
jaringan parut (sikatrik), yang dapat berupa nebula, makula, dan leukoma:1,3

Nebula, timbul bila ulkus tak begitu dalam dan tampak sebagai bercak seperti
awan, yang hanya dapat dilihat di kamar gelap dengan cahaya buatan.
Makula, terjadi bila ulkus lebih dalam dan tampak sebagai bercak putih yang
tampak di kamar biasa.

6
Leukoma, didapat bila ulkus lebih dalam lagi dan tampak sebagai bercak putih
seperti porselen, yang sudah tampak dari jarak jauh.

2.2.2 Epidemiologi

Pada satu penelitian, keratitis merupakan penyebab kedua terbanyak (24,5%)


untuk tindakan keratoplasti setelah edema kornea (24,8%).9 Membedakan etiologi
keratitis infektif sulit dilakukan secara klinis dan membutuhkan pemeriksaan
diagnosis penunjang. Menurut Murillo Lopez (2006), sekitar 25.000 orang amerika
terkena keatitis bakteri pertahun.
Frekuensi keratitis di Amerika Serikat sebesar 5% di antara seluruh kasus
kelainan mata. Di negara-negara berkembang insidensi keratitis berkisar antara 5,9-
20,7 per 100.000 orang tiap tahun. Insidensi keratitis pada tahun 1993 adalah 5,3 per
100.000 penduduk di Indonesia, perbandingan laki-laki dan perempuan tidak begitu
bermakna pada angka kejadian keratitis. Sedangkan predisposisi terjadinya keratitis
antara lain terjadi karena trauma, pemakaian lensa kontak dan perawatan lensa
kontak yang buruk, penggunaan lensa kontak yang berlebihan, Herpes genital atau
infeksi virus lain, kekebalan tubuh yang menurun karena penyakit lain, serta higienis
dan nutrisiyang tidak baik, dan kadang-kadang tidak diketahui penyebabnya.7,8

2.2.3 Manifestasi Klinis


Gejala patognomik dari keratitis adalah terdapatnya infitrat di kornea. Infiltrat
dapat ada di segala lapisan kornea, dan menetapkan diagnosis dan pengobatan
keratitis.Tanda subyektif lain yang dapat mendukung keratitis adalah fotofobia,
lakrimasi, blefarospasme dan gangguan visus. Injeksi perikornea di limbus
merupakan tanda objektif yang dapat timbul pada keratitis, selain dapat pula
terjadinya edema kornea.3,4 Pemeriskaan untuk Keratitis:3
Tes Placido
Tes Fluoresin
Tes Fistel

7
Visus
Bakteriologik, dari usapan pada ulkus kornea
Sensibilitas kornea

2.2.4 Klasifikasi3
Pembagian keratitis ada bermacam-macam, salah satunya adalah klasifikasi
keratitis menurut kausanya:
1) Keratitis bakteri, paling sering :
Diplokok pneumonia / Streptokok hemolitikus / Pseudomonas
aeroenosa/ Moraxella liquefaciens / Klebsiella pneumoniae
2) Keratitis jamur
Candida/ Aspergilin/ Nocardia/ Cephalosporum
3) Keratitis virus
Keratitis infeksi herpes zoster
Keratitis infeksi herpes simpleks
4) Keratitis Alergi
Keratokonjungtivitis / Keratokonjungtivitis epidemic
Tukak atau ulkus fliktenular
Keratitis fasikularis
Keratokonjungtivitis vernal.
5) Defisiensi vitamin : Avitaminosis A (xeroftalmia)
6) Kerusakan N. V : Keratitis neuroparalitik
7) Tidak diketahui penyebabnya (ulkus moorens)

Berikut ini adalah jenis keratitis dan bentuknya:

No. Jenis keratitis Bentuk keratitis


1. Keratitis stafilokok Erosi kecil-kecil terputus fluorescin; terutama
sepertiga bawah kornea
2. Keratitis herpetik Khas dendritik (kadang-kadang bulat atau lonjong)
dengan edema dan degenerasi
3. Keratitis varicella-zoster Lebih difus dari lesi HSK; kadang-kadang linear
(pseudosendrit)
4. Keratitis adenovirus Erosi kecil-kecil terpulas fluorecein; difus namun
paling mencolok di daerah pupil
5. Keratitis sindrom Sjorgen Epitel rusak dan erosi kecil-kecil, pleomorfik,
terpulas fluorescein; filament epithelial dan mukosa
khas; terutama belahan bawah kornea

8
6. Keratitis terpapar akibat Erosi kecil-kecil tidak teratur, terpulas fluorescein;
lagoftalmus atau terutama di belahan bawah kornea
eksoftalmus
7. Keratokonjungtuvitis vernalLesi mirip-sinsisium, yang keruh dan berbercak-
bercak kelabu, paling mencolok di daerah pupil atas.
Kadang-kadang membentuk bercak epithelium opak
8. Keratitis trofik-sekuele HS, Edema epitel berbercak-bercak; difus namun terutama
HZ dan destruksi ganglion di fissure palpebrae, pukul 9-3
gaseri
9. Keratitis karena obat- Erosi kecil-kecil terpulas fluorescein dengan edema
terutama antibiotika seluler berbintik-bintik; lingkaran epitel
spectrum luas
10. Keratitis superficial Focus sel-sel epithelial sembab, bulat atau lonjong;
punctata (SPK) menimbul bila penyakit aktif
11. Keratokonjungtivitis limbic Erosi kecil-kecil terpulas fluorescein di sepertiga atas
superior kornea; filament selama eksaserbasi; hiperemi bulbar,
limbus berkeratin menebal, mikropanus
12. Keratitis rubeola, rubella Lesi tipe virus seperti pada SPK; di daerah pupil
dan parotitis epidemika
13. Trachoma Erosi epitel kecil-kecil terpulas fluorescein pada
sepertiga atas kornea
14. Keratitis defisiensi vitamin Kekeruhan berbintik kelabu sel-sel epitel akibat
A keratinisasi partial; berhubungan dengan bintik-bintik
bitot

Tabel 1. Jenis-jenis keratitis dan gambaran lesinya

Menurut tempatnya :

Keratitis Superficial Keratitis Profunda

9
1. Ulseratif 1. Ulseratif
a. Keratitis pungtata superfisial a. Keratitis et lagoftalmus
ulserativa b. Keratitis neuroparalitik
b. Keratitis flikten c. Xeroftalmia
c. Keratitis herpetika d. Trakoma dengan infeksi sekunder
d. Keratitis sicca e. Keratitis gonore
e. Keratitis rosasea f. Ulkus serpens akut
g. Ulkus serpens kronis
h. Ulkus ateromatosis
2. Non-ulseratif 2. Non-ulseratif
a. Keratitis pungtata suferfisial a. Keratitis interstitial
Fuchs b. Keratitis pustuliformis profunda
b. Keratitis numularis Dimmer c. Keratiis disiformis
c. Keratitis disiformis Westhoff d. Keratitis sklerotikans
d. Keratokonjungtivitis epidemika
Table 2 . Klasifikasi keratitis berdasarkan tempatnya

2.2.5 Diagnosis Morfologi Lesi Kornea


a) Keratitis epithelial
Epitel kornea terlibat pada sebagian besar konjungtivitis dan keratitis dan pada
kasus tertentu mungkin merupakan satu-satunya jaringan yang terkena (mis., pada
keratitits pungtata superficialis. Perubahan pada epitel sangat bervariasi, dari
edema biasa dan vakuolasi sampai erosi-erosi kecil, pembentukan filament,
keratinisasi parsial, dll. Lokasinya juga bervariasi pada kornea. Pemeriksaan
slitlamp dengan dan tanpa pulasan fluorescin hendaknya merupakan bagian dari
setiap pemeriksaan luar mata.
b) Keratitis Subepitelial
Lesi ini sering sekunder akibat keratitis epithelial, biasa pada keratokunjungtivitis
epidemika yang disebabkan adenovirus 8 dan 19.

10
c) Keratitis Stromal
Respon stroma kornea terhadap penyakit, antara lain infiltrasi, yang menunjukkan
sel-sel radang, edema tampak sebagai penebalan kornea, pengeruhan, atau parut,
perlunakan atau nekrosis, yang dapat berakibat penipisan atau perforasi, dan
vaskularisasi.
d) Keratitis Endotelial
Disfungsi endotel kornea akan berakibat pada edema kornea yang mula-mula
mengenai stroma dan kemudian epitel. Ini berbeda dengan edema yang
disebabkan peningkatan tekanan intraocular, yang dimulai dari epitel dan diikuti
stroma. Selama kornea tidak terlalu sembap, kelainan morfologi endotel kornea
sering masih dapat dilihat dengan slitlamp. Sel-sel radang pada endotel (keratic
precipitates, atau KPs) tidak selalu menandakan adanya penyakit endotel karena
sel radang juga manifestasi dari uveitis anterior, yang bisa dan bisa juga
menyertai keratitis stromal.

2.3 Keratitis Viral


Keratitis viral disebabkan oleh infesksi virus herpes simpleks dan herpes zoster.10
2.3.1 Keratitis Herpes Simpleks
Keratitis herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk yaitu epithelial dan stromal.
Hal yang murni epithelial adalah dendiritik dan stromal adalah diskiformis. Biasanya
infeksi herpes simpleks ini berupa campuran epitel dan stroma. Perbedaan ini akibat
mekanisme kerusakannya berbeda. Pada yang epithelial kerusakan terjadi akibat
pembelahan virus dalam sel epitel, yang akan mengakibatkan kerusakan sel dan
membentuk tukak kornea superficial. Stromal diakibatkan reaksi imunologik tubuh
pasien sendiri terhadap virus yang menyerang. Antigen (virus) dan antibodi (pasien)
bereaksi didalam stroma kornea dan menarik sel leukosit dan sel radang lainnya. Sel
ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak antigen (virus ) yang juga akan
merusak jaringan stromal disekitarnya. Hal ini sangat berkaitan dengan pengobatan

11
dimana pada yang epithelial dilakukan terhadap virus dan pembelahan dirinya
sedang pada keratitis stromal dilakukan pengobatan menyerang virus dan reaksi
radangnya . 10
Keratitis herpes simplek adalah penyebab ulkus kornea paling sering dan
penyebab kebutaan kornea paling umum di Amerika. Bentuk epitelnya adalah
padanan dari herpes labialis, yang memiliki ciri-ciri immunologi dan patologi sama,
juga perjalanan penyakitnya. Perbedaan satu-satunya adalah bahwa perjalanan klinik
keratitis dapat berjalan lebih lama karena stroma kornea kurang vaskuler, sehingga
menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada
hospes imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara
imunologi tidak kompeten, termasuk pasien yang diobati dengan kortikosteroid
topikal, perjalanannya mungkin dapat menahun dan dapat merusak.
Penyakit endotel dan stroma tadinya diduga hanyalah respon imunologik
terhadap partikel virus atau perubahan seluler akibat virus, namun sekarang makin
banyak bukti yang menunjukkan bahwa infeksi virus aktif dapat timbul di dalam
stroma dan mungkin juga sel-sel endotel, selain di jaringan lain dalam segmen
anterior, seperti iris dan endotel trebekel. Hal ini mengharuskan penilaian
kemungkinan peran relatif replikasi virus dan respon imun hospes sebelum dan
selama pengobatan terhadap penyakit herpes. Studi serologic menunjukkan bahwa
hamper semua orang pernah terpajan virus ini meskipun tidak sampai menunjukkan
gejala klinis. Sesudah infeksi primer, virus ini menetap secara laten di ganglion
trigeminum. Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan oleh HSV tipe 1
(herpes labialis) dan HSV tipe 2 (herpes genitalis). Lesi korneanya tidak dapat
dibedakan.
Kortikosteroid topikal dapat mengendalikan respon peradangan yang merusak
namun memberikan peluang terjadinya replikasi virus. Jadi setiap kali menggunakan
kortikosteroid topikal, harus ditambahkan obat anti virus. Setiap pasien yang
menggunakan kortikosteroid topikal selama pengobatan penyakit mata akibat herpes
harus dalam pengawasan oftalmolog.1,2,3

12
Gambar.2 Gambar slitlamp pada epitel dendritik setelah pewarnaan fluoresence

Keratitis herpetik dibedakan infeksi primer dan infeksi sekunder:


1. Infeksi Primer
Infeksi pada seseorang yang tidak mempunyai antibody terhadap herpes
simpleks. Terdapat pada usia 6 bulan sampai 6 tahun. Dapat terjadi tanpa gejala
klinik atau dengan gejala. Dapat juga berupa erupsi kulit atau congenital, kelainan
di kedua mata. Kelainan primer dimata :
- vesikel dikelopak mata atau margo palpebra
- konjungtivitis folikularis
- keratitis pungtata superficial yang dapat berkembang menjadi liniaris,
fasikularis dan dendritikus terdapat pada pembesaran dari kelenjar
preaurikuler.
Dengan terjadinya infeksi primer maka didalam badan dibentuk antibody.
Infeksi primer ini dapat sembuh atau menjadi infeksi laten (carier virus), yang
sewaktu waktu dapat kambuh bila terdapat trigger mechanisem seperti demam,
terkena sinar ultraviolet, sinar matahari, stress psychis. Adanya antibody dalam
badan tidak mencegah kekambihan, tetapi dapat mengubah manifestasi dikulit
dankonjungtiva, tetapi tidak yang dikorneea, kalau pada serangan pertama
mengenai konjungtiva dan kornea, maka pada serangan kekambuhan konjungtiva
tak diserang lagi. Setelah infeksi primer, virus bersembunyi di salah satu tempat
dibadan diantaranya radi dorsalis ganglion. 10
2. Infeksi Kekambuhan

13
Merupakan infeksi pada seseorang yang telah mempunyai antibody terdapat
herpes simpleks dan dicetuskan oleh berbagai trigger mechanism. Kelainannya
dimata berupa, kelainan epitel dan stroma
- ulkus dendritikus, ulkus, geografik
- keratitis interstitialis ( termasuk keratitis profunda nonulseratif)
- keratitis disiformis ( termasuk keratitis profunda non ulseratif)
- uveitis
Dengan adanya pencetus, virus dipersembunyiannya berkembang biak,
menjadi aktif, menimbulkan serangan kekambuhan. Disamping kelainan lain
seperti pada keratitis pada umumnya , sensibilitas kornea pada keratitis herpes
simpleks juga menurun. Yang sering karakteristik adalah bentuk dendrit. Dapat
terjadi pada wanita maupun pria. Dari usapan ulkus, virus herpes simpleks dapat
dibiak dalam membrane chroioalantion dari embrio ayam yang sedang tumbuh.
Yang termasuk dalam keratitis superficial ulseratif adalah keratitis pungtata
superficial, liniaris, filamentosa , dendritika , geografika. 10

Temuan klinis
Herpes simplek primer pada mata jarang ditemukan, dan bermanifestasi sebagai
blefarokonjugtivitis vesikuler, kadang kadang mengenai kornea, dan umumnya
terdapat pada anak anak muda.4 Bentuk ini umumnya dapat sembuh sendiri, tanpa
menimbulkan kerusakan pada mata yang berarti. Terapi antivirus topikal dapat
dipakai unutk profilaksis agar kornea tidak terkena dan sebagai terapi untuk penyakit
kornea.
Serangan keratitis herpes jenis rekurens umum dipicu oleh demam, pajanan
berlebihan terhadap cahaya UV, trauma, stress psikis, awal menstruasi, atau sumber
imunosupresi lokal atau sistemik lainnya.4 Umumya unilateral, namun lesi bilateral
dapat terjadi pada 4 6% kasus dan paling sering pada pasien atopik.

1. Gejala. Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian
pusat yang terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan.karena anestesi kornea
umumnya timbuil pada awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien

14
mungkin tidak datang berobat. Sering ada riwayat lepuh lepuh demam atau
infeksi herpes lain, namun ulserasi kornea kadang kadang merupakan satu
satunya gejala infeksi herpes rekurens.4
2. Lesi. Gambaran yang khas pada kornea adalah adanya lesi bentuk dendritik,
bentuk ini terjadi pada epitel kornea, memiliki percabangan linear khas dengan
tepian kabur, memiliki bulbus terminalis pada ujungnya.4 Pemulasan fluoresein
memudahkan melihat dendrit, namun sayangnya keratitis herpes dapat juga
menyerupai banyak infeksi kornea yang lain dan harus dimasukkan dalam
diagnosis diferensial.5

Gambar 3. Keratitis dendritika6

Akan tetapi ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu
sebentuk penyakit dendritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih
lebar.5 Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti halnya penyakit dendritik,
menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat ditimbulkan HSV adalah keratitis
epitelial blotchy, keratitis epitelial stelata, dan keratitis filamentosa. Namun,

15
semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi dendritik khas dalam
satu dua hari.5,
Kekeruhan subepitelial dapat disebabkan infeksi HSV. Bayangan mirip hantu,
yang bentuknya sesuai dengan defek epitelial asli namun sedikit lebih besar,
terlihat di daerah tepat dibawah lesi epitel. hantu itu tetap superfisial namun
sering bertambah nyata karena pemakaian obat antivirus, khususnya idoxuridine.
Biasanya lesi subepitelial ini tidak menetap lebih dari satu tahun.7
Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada infeksi
HSV. Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi
berarti, dan umumnya tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup berat untuk
membentuk lipatan-lipatan dimembran descement. Mungkin terdapat endapan
keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu, namun dapat pula diseluruh endotel
karena sering bersamaan dengan uveitis anterior. Patogenesis pada keratitis
disciformis umumnya dipandang sebagai sebuah reaksi imunologik terhadap
antigen virus dalam stroma atau endotel, namun penyakit virus aktif tidak dapat
dikesampingkan. Seperti kebanyakan lesi herpes pada orang imunokompeten,
keratitis disciformis normalnya sembuh sendiri, setelah berlangsung beberapa
minggu sampai bulan. Edema adalah tanda terpenting, dan penyembuhan dapat
terjadi dengan parut dan vaskularisasi minimal. Gambaran klinik terlihat serupa
pada keratitis endotelial primer (endotelitis), Yang dapat disertai uveitis anterior
dengan tekanan intraokuler yang meninggi dan peradangan fokal pada iris. Ini
dianggap akibat reflikasi virus didalam berbagai dikamera anterior.
Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering
disertai vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus.Penipisan dan
perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika dipakai kortikosteroid
topikal. Jika terdapat penyakit stroma dengan ulkus epitel, akan sulit dibedakan
superinfeksi bakteri atau fungi pada penyakit herpes. Pada penyakit epitelial harus
diteliti benar adanya tanda tanda khas herpes, namun unsur bakteri atau fungi
dapat saja ada dan dapt pula disebabkan oleh reaksi imun akut, yang sekali lagi

16
harus mempertimbangkan adanya penyakit virus aktif. Mungkin terlihat hipopion
dengan nekrosis, selain infeksi bakteri atau fung sekunder.
Lesi perifer kornea dapat pula ditimbulkan oleh HSV. Lesi lesi ini umumnya
linear dan menunjukan kehilangan epitel sebelum stroma kornea dibawahnya
mengalami infiltrasi. Uji sensasi kornea tidak dapat diandalkan pada penyakit
herpes perifer. Pasien cenderung jauh kurang fotofobik dari pada pasien infiltrat
kornea non herpetik. Ulserasi umumnya jarang terjadi.

Diagnosis
Gambaran spesifik dendrit tidak memerlukan konfirmasi pemeriksaan yang
lain. Apabila gambaran lesi tidak spesifik maka diagnosis ditegakan berdasarkan
gambaran klinis infeksi kornea yang relatif sedang, dengan tanda tanda
peradangan yang tidak berat serta riwayat penggunaan obat obatan yang
menurunkan resistensi kornea seperti : anestesi lokal, kortikosteroid dan obat
obatan imunosupresif. Apabila fasilitas memungkinkan dilakukan kultur virus
danjaringan epitel dan lesi stroma.4,5
Pemeriksaan diagnosis yang biasa dilakukan adalah :
1. Ketajaman penglihatan
2. Tes refraksi
3. Pemeriksaan slit-lamp (biomikroskop), penting untuk pemeriksaan kornea
dengan benar; jika tidak tersedia, dapat dipakai kaca pembesar dan
pencahayaan yang terang.
4. Respons reflex kornea
5. Goresan ulkus untuk analisis dan kultur
6. Pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi, dapat memperjelas lesi epitel
superficial yang tidak mungkin terlihat bila tidak dipulas

Diagnosa Banding

17
Herpes simplex virus (HSV) epithelial keratitis
Recurrent epithelial erosion
Corneal abrasion
Acanthamoeba keratitis
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis,
menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea,
mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta
memperbaiki ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam
mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi,
rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat. Beberapa cara terapi keratitis
adalah:
1. Debridement
Debridement epitel kornea selain berperan untuk pengambilan spesimen
diagnostik, juga untuk menghilangkan sawar epitelial sehingga obat lebih
mudah menembus. Dalam hal ini juga untuk mengurangi subepithelial
"ghost" opacity yang sering mengikuti keratitis dendritik. Cara efektif untuk
mengobati keratitis dendritik adalah dengan debridement epitel karena virus
berlokasi di dalam epitel dan debridement juga mengurangi beban antigenic
virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, tetapi epitel
terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator
berujung kapas khusus. Obat siklopegik (Homatropin 5%). diteteskan
kedalam saccus konjungtivalis, kemudian dibalut tekan. Pasien harus
diperiksa setiap hari dan diganti balutannya sampai defek korneanya sembuh,
umumnya dalam 72 jam. Pengobatan dengan antiviral topikal mempercepat
pemulihan epitel.

2. Terapi Farmakologi

18
Agen antiviral topikal yang dipakai pada keratitis herpes adalah
idoxuridine, trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Idoxuridine dan
trifluridine sering menimbulkan reaksi toksik. Acyclovir oral bermanfaat
untuk pengobatan penyakit herpes mata berat, khususnya pada individu atopic
yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan herpes kulit yang agresif.
Dosis untuk penyakit aktif 5x400 mg per hari pada pasien
nonimmunocompromised dan 5x800 mg per hari pada pasien atopic atau imun
lemah. Dosis profilaksis penyakit rekurens adalah adalah 2x400mg per hari.
Replikasi virus pada pasien immunocompromised, khususnya bila terbatas
pada epitel kornea, biasanya sembuh sendiri dan pembentukan parutnya
minimal. Dalam hal ini, pemberian kortikosteroid topikal tidak dibutuhkan
bahkan berpotensi merusak.
Yang spesifik dengan I.D.U ( 5 iodo 2 dioxy uridin) dipasaran dikenal
sebagai dendrite, yang diteteskan satu tetes/jam siang, dan satu tetes/2 jam
pada malam setiap harinya sampai fluoresensi (-). Kemudian dosis dikurangi,
setiap 2 jam siang dan 4 jam malam harinya, sampai sembuh. Kontraindikasi
pemakaian obat ini pada kehamilan. Sulfas atropine 1% dapat diberikan 3 kali
sehari satu tetes
3. Terapi Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk merehabilitasi
penglihatan pasien dengan parut kornea berat; tindakan ini hendaknya
dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes-nya non aktif. Pascabedah,
infeksi herpes rekurens dapat timbul sebagai akibat trauma bedah dab
kortikosteroid topical yang diperlukan untuk mencegah penolakan tandur
(graft) kornea. Obat antiviral sistemik harus diberikan beberapa bulan setelah
keratoplasti untuk mengimbangi pemakaian kortikosteroid topical.

4. Kauterisasi

19
Pada kasus kasus yang tidak dapat sembuh dengan obat, dapat dilakukan
kauterisasi dengan larutan iodium ( 7% iodine dan 5% KJ). Tujuan dari
kauterisasi ini adalah untuk menghancurkan sel-sel epitel kornea yang sakit
dan mencegah perluasan radang ke lapisan stroma atau lapisan yang lebih
dalam lagi. Caranya :

Mata diberi anestesi topical.

Lakukan tes fluoresensi untuk melihat luasnya kerusakan kornea .lapisan
kornea di daerah defek karena diolesi dengan larutan iodine tersebut.

Setelah itu, ditetesi sulfas atropine dan mata di tutup.

Pembuangan epitel kornea yang sakit dapat juga dilakukan dengan
mengeroknya memakai spatel atau kuret kalazion.

Pengobatan seperti diatas bermanfaat jika pengobatan dengan antiviral
menunjukkan gejala keracunan.

Salep antibiotic untuk menghindarkan infeksi sekunder, mata di tutup
dengan perban

Obat antivirus acyclovir 3% sebagai salep diberikan 5 kali sehari dan
tablet 5 kali sehari.

Penyembuhan dapat juga ditolong dengan pemberian vit C dosis tinggi

Pemberian kortikosteroid merupakan kontraindikasi mutlak karena dapat
menurun kan daya tahan alamiah terhadap peradangan, sehingga
mempercep pertumbuhan virusnya sampai menimbulkan perforasi dan
penurunan tajam penglihatan. Lagipula kortikosteroid dapat menyelubungi
aktivirtas virus sehingga penderita tidak mengetahui perkembangan dari
penyakitnya dan menyampingkananya sampai terdapa kerusakan yang
tidak dapat diperbaiki lagi.10

5. Pengendalian mekanisme pemicu yang mereaktivasi infeksi HSV

20
Mekanisme pemicu yang mereaktivasi infeksi HSV dapat ditemukan melalui
anmanesis yang teliti. Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam; pajanan
berlebihan terhadap sinar matahari dan sinar UV dapat dihindari, dan aspirin
dapat diminum sebelum menstruasi . dapat digunakan antiviral profilaksis
dalam bentuk topical dan/atau oral, misalnya menjelang bedah refraksi kornea
dengan laser.
Prognosis
Bila diobati sedini dini mungkin dengan pengobatan yang adekuat maka
prognosis akan baik. Tetapi dapat kambuh kembali jika terdapat mekanisme
trigger. Antibiotik yang terbentuk didalam badan tidak mencegah timbulnya
kekambuhan , hanya mengubah manifestasi di kulit dan konjungtiva tetapi
tidak yang dikornea. Tidak ada obat yang dapat mematikan virus secara tuntas
sehingga kekambuhan dapat terjadi berulang-ulang. 10

2.3.2 Keratitis Herpes Zoster


Infeksi virus varicella-zoster (VZV) terjadi dalam dua bentuk; primer (varicella)
dan rekurens (herpes zoster). Pada varicella jarang terdapat maifestasi pada mata
sedangkan zoster oftalmik relative banyak dijumpai. Keratitis herpes zoster
disebabkan oleh virus herpes zoster yang menyerang ganglion Gasseri dan melalui
ramus oftalmikus timbul kelaianan kulit frontal dan hidung dimana terdapat vesikel di
kulit mata, kadang-kadang di palpebra unilateral, sedangkan pada herpes simpleks
kelainan kulit terjadi bilateral. Berbeda dari keratitis HSV yang rekurens yang
umumnya hanya mengenai epitel , keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior
sejak awal terjadinya. Bila telah terdapat vesikel di ujung hidung berarti N.
Nasosiliaris terkena, maka biasanya timbul kelainan di kornea, dimana sensibilitas
menurun tetapi penderita merasa sakit. Keadaan ini disebut anesthesia dolorosa.
Pada kornea tanpa infiltrat yang bulat, letak subepitel, disertai injeksi
perikornea. Infiltrat ini dapat mengalami ulserasi yang sukar sembuh. Kadang-kadang
infiltratini ini dapat membentuk keratitis disiformis. Hal ini berbeda dengan keratitis

21
bisiformis pada herpes simplek yang letaknya didalam stroma. Kadang-kadang
tampak edema kornea disertai lipatan-lipatan dari membrane deschment. Keratitis ini
dapat sembuh dalam beberapa minggu, tetapi anesthesia dari kornea dapat belangsung
lama, sehingga mata dapat mudah terkena trauma, tanpa disadari penderita dan
menimbulkan keratitis neuroparalitika. Kadang-kadang timbul penyulit : iridosiklitis,
gloukoma, neuritis optika, skleritis, parase atau paralisis otot-otot muka (jarang).
Bentuk kelainan klinis yang menyerupai herpes zoster, tetapi bukan disebabkan
oleh virus herpes zoster, disebut herpes zoster simptomatis, yang disebabkan oleh
trauma fisik atau kimia pada ganglion Gasseri atau ramus optalmikus. Bila infeksi
dengan herpes zoster telah mereda dapat timbul rasa sakit yang tebal, disebut herpetic
neuralgia. Serangan dapat kambuh bila terdapat pencetus. 10

Definisi

Herpes zoster oftalmikus adalah infeksi virus herpes zoster yang menyerang bagian
ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang oftalmikus saraf
trigeminus (N.V) yang ditandai dengan erupsi herpetik unilateral pada kulit.1

Insidensi

Insidensi herpers zoster terjadi pada 20 % populasi dunia dan 10 % diantaranya


adalah herpes zoster oftalmikus.2

Manifestasi klinik

Biasanya penderita herpes zoster oftalmik pernah mengalami penyakit varisela


beberapa waktu sebelumnya. Dapat terjadi demam atau malaise dan rasa nyeri yang
biasanya berkurang setelah timbulnya erupsi kulit, tetapi rasa nyeri ini kadang-kadang
dapat berlangung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

22
Gambar 4. Lesi Herpes Zoster

Secara subyektif biasanya penderita datang dengan rasa nyeri serta edema
kulit yang tampak kemerahan pada daerah dahi, alis dan kelopak atas serta sudah
disertai dengan vesikel. Secara obyektif tampak erupsi kulit pada daerah yang
dipersarafi cabang oftalmik nervus trigeminus. Erupsi ini unilateral dan tidak
melewati garis median. Rima palpebra tampak menyempit bila kelopak atas mata
mengalami pembengkakan. Bila cabang nasosiliar nervus trigeminus yang terkena ,
maka erupsi kulit terjadi pada daerah hidung dan rima palpebra biasanya tertutup
rapat. Bila kornea atau jaringan yang lebih dalam terkena maka timbul lakrimasi,
mata silau dan sakit dan penderita tampak kesakitan yang parah. Kelainan mata
berupa bercak-bercak atau bintik-bintik putih kecil yang tersebar di epitel kornea
yang dengan cepat sekalimelibatkan stroma. Bila infeksi mengenai jaringan mata
yang lebih dalam dapt menimbulkan iridosiklitis disertai sinekia iris serta
menimbulkan glaucoma sekunder. Komplikasi lain adalah paresis otot penggerak
mata serta neurirtis optic. 2,4,5

Diagnosis banding
Diagnosis banding herpes zoster oftalmikus antara lain bells palsy, luka bakar,
episkliritis, erosi kornea persisten pada herpes simpleks.2

Penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis sebagian besar dilihat dari adanya riwayat menderita cacar air,
manifestasi nyeri dan gambaran ruam kulit seperti vesikel dengan karakteristik
distribusi sesuai dermatom. Jika gambaran lesi kulit tidak begitu jelas maka

23
dibutuhkan pemeriksaan penunjang laboratorium. Tekhnik polymerase chain reaction
(PCR) adalah tekhnik pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik karena dapat
mendeteksi varicella-zoster virus DNA yang terdapat dalam cairan vesikel. Kultur
virus juga dapat dilakukan namun sensitifitasnya rendah. Pemeriksaan lain
yaitu direct immunofluorescence assay.7

Pengobatan
-
Obat antivirus acyclovir salep mata 3% 5 kali sehari dan tablet acyclovir 5 kali
sehari. Acyclovir oral 5x800 mg sehari (10-14 hari), valacyclovir 1 g (3x1)
selama 7-10 hari. Terapi hendaknya dimulai 72 jam setelah timbulnya kemerahan
(rash). Peran antiviral topical kurang meyakinkan .
-
Kortikosteroid topikal mungkin perlu untuk mengobati keratitis berat, uveitis, dan
glaucoma sekunder . penggunaan kortuikosteroid sistemik masih kontroversial.
-
Sedative, analgetik jika sakit.
-
Obat-obat neurotropik, seperti neurobion peroral atau parenteral karena yang
diserang saraf.
-
Local diberi sulfas atropine 1% 3 kali sehari satu tetes, diberi salep antibiotic atau
tetes ataupun injeksi subkonjungtiva untuk mencegah infeksi sekunder.
-
Isoprenosin obat globulin imun, diberikan setiap 2 sampai 3 jam satu tablet.
-
Kalau terdapat uveitis diberikan kortikosteroid sistemik dengan pengawasan
seksama.
-
Kalau sudah sembuh mata harus dilindungi terus dengan kacamata karena masih
sensitive. 10
Komplikasi
1) Myelitis. Merupakan komplikasi di luar mata yang pernah dilaporkan oleh
Gordon dan Tucker, demikian juga encephalitis dan hemiplegi walaupun jarang
ditemukan tetapi pernah dilaporkan. Hal ini diperkirakan karena penjalaran virus
ke otak.
2) Conjunctiva. Pada mata komplikasi yang dapat timbul adalah chemosis yang ada
hubungannya dengan pembengkakan palpebra. Pada saat ini biasanya disertai
dengan penurunan sensibilitas cornea dan kadang-kadang oedema cornea yang
ringan. Dapat juga timbul vesikel-vesikel di conjunctiva tetapi jarang terjadi

24
ulserasi. Pernah dilaporkan adanya canaliculitis yang ada hubungannya dengan
zoster.
3) Cornea. Bila comea terkena maka akan timbul infiltrat yang berbentuk tidak khas
dengan batas yang tidak tegas , tetapi kadang-kadang infiltratnya dapat
menyerupaiherpes simplex. Proses yang terjadi pada dasamya berupa keratitis
profunda yang bersifat khronis dan dapat bertahan beberapa minggu setelah
kelainan kulit sembuh. Akibat kekeruhan comea yang terjadi maka visus akan
menurun.
4) Iris. Adanya laesi diujung hidung sangat penting untuk diperhatikan karena
kemungkinan besar iris akan ikut terkena mengingat n. nasociliaris merupakan
cabang dari n.ophthalmicus yang juga menginervasi daerah iris, corpus ciliaze
dan cornea. Iritis/iridocyclitis dapat merupakan penjalaran dari keratitis ataupun
berdiri sendiri. Iritis biasanya ringan,jarang menimbulkan eksudat, pada yang
berat kadang-kadang disertai dengan hypopion atau secundair glaucoma. Akibat
dari iritis ini sering timbul sequele berupa iris atropi yang biasanya sektoral. Pada
beberapa kasus dapat disertai massive iris atropi dengan kerusakan sphincter
pupillae.
5) Sclera. Scleritis merupakan komplikasi yang jarang ditemukan, biasanya
merupakan lanjutan dari iridocyclitis. Pada sclera akan terlihat nodulus dengan
injeksi lokal yang dapat timbul beberapa bulan sesudah sembuhnya laesi di kulit.
Nodulusnya bersifat khronis, dapat bertahan beberapa bulan, bila sembuh akan
meninggalkan sikatrik dengan hyperpigmentasi. Scleritis ini dapat kambuh lagi.
6) Ocular palsy. Dapat timbul bila mengenai N III, N IV, N V1, N III dan N IV dapat
sekaligus terkena. Pernah pula dilaporkan timbulnya ophthalmoplegi totalis dua
bulan setelah menderita herpes zoster ophthalmicus. Paralyse dari otot-otot extra-
oculer ini mungkin karena perluasan peradangan dari N Trigeminus di daerah
sinus cavemosus. Timbulnya paralyse biasanya dua sampai tiga minggu setelah
gejala permulaan dari zoster dirasakan, walaupun ada juga yang timbul

25
sebelumnya. Prognosa otot-otot yang pazalyse pada umumnya baik dan akan
kembali normal kira-kira dua bulan kemudian.
7) Retina. Kelainan retina yang ada hubungannya dengan zoster jarang ditemukan.
Kelainan tersebut berupa choroiditis dan perdazahan retina, yang umumnya
disebabkan adanya retinal vasculitis.
8) Optic neuritis. Optic neuritis juga jazang ditemukan; tetapi bila ada dapat
menyebabkan kebutaan karena timbulnya atropi n. opticus. Gejalanya berupa
scotoma sentral yang dalam beberapa minggu akan terjadi penurunan visus
sampai menjadi buta. 3,8,10
Prognosis
Prognosis quo ad vitam pada pasien keratitis adalah bonam. Sedangkan
prognosis fungsionam pada keratitis sangat tergantung pada jenis keratitis itu sendiri.
Jika lesi pada keratitis superficial berlanjut hingga menjadi ulkus kornea dan jika lesi
pada keratitis tersebut telah melebihi dari epitel dan membran bowman maka
prognosis fungsionam akan semakin buruk. Hal ini biasanya terjadi jika pengobatan
yang diberikan sebelumnya kurang adekuat, kurangnya kepatuhan pasien dalam
menjalankan terapi yang sudah dianjurkan, terdapat penyakit sistemik lain yang dapat
menghambat proses penyembuhan seperti pada pasien diabetes mellitus, ataupun
dapat juga karena mata pasien tersebut masih terpapar secara berlebihan oleh
lingkungan luar, misalnya karena sinar matahari ataupun debu.
Pemberian kortikosteroid topikal untuk waktu lama dapat memperpanjang
perjalanan penyakit hingga bertahun-tahun serta dapat pula mengakibatkan timbulnya
katarak dan glaukoma yang diinduksi oleh steroid.

BAB III

KESIMPULAN

26
Keratitis sendiri diartikan sebagai peradangan pada kornea yang ditandai
dengan adanya infiltrasi sel radang dan edema kornea pada lapisan kornea
manapun yang dapat bersifat akut atau kronis yang disebabkan oleh berbagai
faktor antara lain bakteri, jamur, virus atau karena alergi. Keratitis merupakan
penyebab kedua terbanyak (24,5%) untuk tindakan keratoplasti setelah edema
kornea (24,8%).
Karena kornea memiliki banyak serabut nyeri, kebanyakan lesi pada kornea
baik yang bersifat dangkal atau superficial maupun dalam menimbulkan rasa sakit
dan fotofobia.
Keatitis dapat diklasifikasikan bedasakan beberapa hal. Berdasarkan
penyebabnya, keratitis diklasifikasikan menjadi keratitis bakteri, keratitis jamur,
keratitis virus, keratitis alerg, tukak atau ulkus fliktenular, keratitis fasikularis,
keratokonjungtivitis vernal.
Keratitis virus sendiri disebut juga keratitis herpetic yang disebabkan herpes
simpleks dan herpes zoster. Yang disebabkan oleh herpes simpleks dibagi dalam 2
bentuk yaitu epithelial dan stromal. Hal yang murni epithelial adalah dendiritik
dan stromal adalah diskiformis. Bila diobati sedini dini nya dengan pengobatan
baik, prognosis baik. Tetapi dapat kambuh kembali jika terdapat trigger
mechanism.
Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi penyakit ini
dapat berlangsung kronik dan juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien dilarang
mengucek matanya karena dapat memperberat lesi yang telah ada. Pada keratitis
dengan etiologi bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya kita menyarankan pasien
untuk mencegah transmisi penyakitnya dengan menjaga kebersihan diri dengan
mencuci tangan, membersihkan lap atau handuk, sapu tangan, dan tissue.1
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology. External Eye Disease and cornea. San


Fransisco. 2008-2009. Hal 179-90

27
2. Biswell R, MD. Kornea. In: Vaughan DG, Asbury T, Riordan P, ed.
Oftalmologi Umum . Edisi ke-17. Jakarta : EGC. 2009. Hal 125-49

3. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ;
2011.
4. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata.
Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2008. Hal. 1-3
5. Guyton A.Sifat Optik Mata dalam Buku ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-
11. Jakarta. EGC; 2007
6. Wijana, Nana. Ilmu Penyakit Mata Edisi kelima. Jakarta. 1989
7. Thygeson, Phillips. 1950. "Superficial Punctate Keratitis". Journal of the
American Medical Association; 144:1544-1549. Available at :http://webeye.
ophth.uiowa.edu/ dept/service/cornea/cornea.htm
8. Chern KC. Emergency Ophtalmology a Rapid Treatment Guide. Mc Graw-
Hill. 2002.
9. Raymond L. M. Wong, R. A. Gangwani, LesterW. H. Yu, and Jimmy S. M.
Lai.New Treatments for Bacterial Keratitis. Department of Ophthalmology,
Queen Mary Hospital, Hong Kong. 2012
10. Suhardjo. 1999. Penggunaan Asiklovir Oral pada Herpes Zoster Oftalmikus.
Cermin Dunia Kedokteran No.122; 36-38. Available at : http//cermin Dunia
Kedokteran2.mht

28

You might also like