Professional Documents
Culture Documents
LAPORAN KASUS
3.1. IDENTIFIKASI
Nama : Ny. J
Umur : 54 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : IRT
Alamat : Orang kayo hitam, Kel. Talang Banjar
MRS : Kamis, 10 Agustus 2017
2
memberat 1 bulan terakhir ini. Adapun penyebab dari timbulnya mata merah
tersebut menurut pasien adalah karena sering terpapar oleh debu dan angin.
Adanya penglihatan ganda disangkal, keluhan sakit kepala disertai rasa sakit
pada daerah mata juga disangkal, kotoran mata (-), bengkak (-).
BB: 44 kg, TB: 150 cm. Status gizi: 19,56 (gizi cukup)
3
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
Kepala : Normocephal
Mata : Status Oftalmologi
THT : Telinga : normotia, secret -/-, serumen -/-. Hidung : Deviasi
septum (-), secret -/-. Tenggorokan : Faring tidak hiperemis
Mulut : Lidah kotor (-), tonsil T1-T1, tidak hiperemis
Leher : Pembesaran KGB (-), tiroid tidak teraba
Thoraks : Jantung: S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikular (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : datar, soepel, nyeri tekan (-), tympani, bising usus (+) normal
Ekstremitas : tidak ada keluhan
Superior: akral hangat (+/+), oedem (-/-)
Inferior: akral hangat (+/+), oedem (-/-)
4
Kedudukan Bola Mata
Posisi Ortoforia Ortoforia
Jaringan Pteregium
5
inferior Papil (-), folikel (-), lytiasis Papil (-), folikel (-), lytiasis
(-) (-)
Konjungtiva bulbi Injeksi konjungtiva (-), Injeksi konjungtiva (-),
Injeksi Silier (-), Kimosis (-), Injeksi Silier (-), Kimosis
Ekimosis (-) (-), Ekimosis (-)
Kornea
Jernih - -
Edema - -
Ulkus - -
Perforasi - -
Makula - -
Leukoria - -
Pigmen iris - -
Laserasi - -
Bekas jahitan - -
Jaringan fibrovaskuler + +
Limbus Kornea
Arcus sinilis - -
Bekas jahitan - -
Jaringan fibrovaskuler + +
Sklera
Sklera biru - -
Episkleritis - -
Skleritis - -
COA
Volume Sedang Sedang
Iris
Warna Coklat Coklat
6
Kripta Normal Normal
Prolaps - -
Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Isokoria Isokor Isokor
Ukuran 3 mm 3 mm
RCL + +
RCTL + +
Lensa
Kejernihan Jernih Jernih
Tekanan Intra Okuler
Palpasi Normal Normal
Tonometer Schiotz Tidak dilakukan Tidak dilakukan
VISUAL FIELD TIDAK DILAKUKAN
FUNDUSKOPI TIDAK DILAKUKAN
3.4 RESUME
Seorang wanita, usia 54 tahun, datang dengan keluhan mata kanan terasa
semakin mengganjal sejak 1 bulan terakhir. Gatal (+), rasa mengganjal (+), sekret (-
), perih (-), bengkak (-). Pasien tidak mengeluhkan gangguan pandangannya. Riwayat
operasi pada mata sebelumnya (-), pasien tidak bekerja dan hanya melakukan
pekerjaan rumah tangga, sering terpapar paparan sinar matahari dan angin serta debu
(+). Pada pemeriksaan status oftalmologis, didapatkan adanya jaringan fibrovaskular
yang berbentuk segitiga berawal dari tepi fisura palpebra bagian nasal dengan puncak
tidak melewati pupil pada mata kanan dan terdapat jaringan fibrovaskular yang
berbentuk segitiga berawal dari tepi fisura palpebra bagian nasal dengan puncak tidak
7
melewati pupil pada mata kiri. Refleks cahaya pada kedua pupil baik, pupil isokor.
Pada pemeriksaan visus didapatkan VOD 6/9 dan VOS 6/9.
3.5 DIAGNOSIS KERJA
Pterigium grade III OD et OS
DIAGNOSIS BANDING
- Pseudopterigium
- Pinguekula
3.7 PENATALAKSANAAN
Non-Medikamentosa
- Menggunakan kaca mata hitam pelindung UV
- Menggunakan helm saat berpergian dengan motor, kaca helm
diturunkan untuk mencegah terpaparnya mata dengan angin dan debu
- Menjelaskan pasien tentang penyakitnya yang dapat berulang
walaupun telah dioperasi.
- Menjelaskan cara penggunaan tetes mata
Medikamentosa
- tetes mata kombinasi antibiotik-steroid 6 kali sehari selama 5-7 hari.
3.8 PROGNOSIS
Prognosis baik.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar2.1.Anatomi Mata
9
posterior (pada fornices superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera
dan menjadi konjungtiva bulbaris.1,2
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale dan melipat berkali-
kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan
konjungtiva sekretorik. (duktus-duktus kelenjar lakrimalis bermuara ke forniks
temporal superior). Kecuali di limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu
sejauh 3 mm). Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera di
bawahnya.1,2
Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika
semilunaris) terletak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga pada
beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel
superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi yang
menga
ndung elemen kulit dan membran mukosa.2
Gambar 2.2Konjungtiva
Kornea adalah jaringan transparan dan avaskular terletak di bagian sentral dari
kutub anterior bola mata yang akan bergabung dengan sklera dan konjungtiva.
Kornea akan tampak berbentuk elips bili dilihat dari bagian depan dengan ukuran
diameter horisontal 11-12 mm dan diameter vertikal 9-11 mm. Indeks refraksi kornea
sebesar 1,376. Radius dari kurvatura kornea sentral sekitar 7,8 mm (6,7-9,4 mm).
Kekuatan dioptri karena sebesar 43,25 dioptri atau sekitar 74% dari total kekuatan
10
dioptri mata manusia normal. Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya
dan menutup bola mata bagian di sebelah depan. Nutrisi kornea diperoleh dari difusi
glukosan akuos humor dan difusi oksigen melalui lapisan air mata. Bagian perifer
kornea juga mendapat oksigen dari sirkulasi limbal.
2. Lapisan Bowman
Lapisan Bowman adalah lapisan yang terkuat dan terbentuk dari lapisan fibril
kolagen yang tersusun secara random. Ketebalan lapisan ini sekitar 8-14 mikro meter.
Bila terjadi luka yang mengenai bagian ini maka akan digantikan dengan jaringan
parut karena tidak memiliki daya regenerasi.
3. Stroma
Stroma merupakan 90% dari seluruh ketebalan kornea dan dibentuk oleh
keratosit yang memproduksi kolagen. Jenis kolagen yang dibentuk adalah tipe I, III
dan VI. Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan
lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedangkan di bagian perifer
11
serat kolagen ini bercabang, terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu
lama yang kadangkadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea
yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah
trauma. Transparansi kornea juga ditentukan dengan menjaga kandungan air di
stroma sebesar 78%.
4. Membran Descement
Membrana descement adalah suatu lamina basalis yang tebal dan longgar
pada stroma. Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane basalnya. Bersifat sangat
elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 m.
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu,bentuk heksagonal, besar 20-40 m.
Endotel melekat pada membran descement melalui hemi desmosom dan zonula
okluden. Sel endotel mempunyai fungsi transport aktif air dan ion yang menyebabkan
stroma menjadi relatif dehidrasi sehingga terus menjaga kejernihan kornea.
12
Gambar2.3.Kornea
Fisiologi Kornea
Secara umum, fungsi utama kornea merupakan sebagai medium refraksi
dan melindungi struktur yang terdapat di intraokular. Fungsi tersebut dapat
dijalankan melalui transparansi kornea dan penggantian jaringannya.
Transparansi kornea merupakan akibat susunan lamella kornea yang unik
avaskularitas, dan keadaan dehidrasi relatif. Glukosa dan zat terlarut melalui
transport aktif dan pasif melalui aqueous humour dan difusi kapiler perilimbal.
Oksigen didapatkan secara langsung dari udara melalui tear film.1
Sebagian besar lesi kornea, baik superfisial maupun dalam dapat
menyebabkan nyeri dan fotofobia karena kornea memiliki banyak serat nyeri.
Selain itu, lesi kornea biasanya menyebabkan penglihatan yang blur, terutama bila
lokasinya di sentral. Photophobia terjadi akibat kontraksi pada iris yang
13
mengalami peradangan. Dilatasi pada pembuluh darah iris merupakan refleks
akibat iritasi ujung saraf kornea. Meskipun demikian, photophobia terjadi secara
minimal pada keratitis herpes karena hipestesi yang terjadi.
2.2 PTERIGIUM
2.2.1 DEFINISI
14
2.2.2EPIDEMIOLOGI
Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian dunia,
tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering dengan prevalensi yang
dilaporkan berkisar antara 0,3% - 29%. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan
kering. Studi epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar
matahari yang kronis. Insiden pterigium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di
daerah ekuator, yaitu 13,1%.3,4
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi pterigium
meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan. Insiden
tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada
umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan
berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di
luar rumah.3
Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang berkulit
hitam (usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis 13 utara
khatulistiwa,memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%) sedangkan
tingkat prevalensi orang kulit putih di perkotaan (usia 40-101 tahun) Melbourne,
Australia kurang dari (1,2%). Prevalensi pterigium orang kulit putih lebih dari 40
tahun di pedesaan Australia (6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang
lebih dari 40 memiliki tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian ini juga melaporkan
orang Indonesia lebih dari 40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera (16,8%) yakni
lebih tinggi daripada semua ras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya, kecuali
dengan penduduk kulit hitam dari Barbados.7
Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi
visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi sehingga
menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.
15
2.2.3 FAKTOR RESIKO
Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi
ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor
herediter.3,4,7
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterigium
adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan
konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang,
waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor
penting.
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium
dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga
dengan pterigium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.
3. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui
pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan
berpendapat pterygium terbanyak pada usia dekade dua dan tiga.
4. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan
sinar UV.
5. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang
dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa
memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga
menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada
garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali
lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan.
16
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
pterygium.
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu
seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
pterygium.
2.2.4 PATOGENESIS
Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus menerus
terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV memainkan bagian
yang penting dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV memulai rantai peristiwa
terjadinya pterigium pada level intraselular dan ekstraselular yang melibatkan DNA,
RNA, dan komposisi matriks ekstraselular.3,4,8
17
dan timbulnya jaringan fibrovesikuler, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan
epitel dapat saja normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia.
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih
banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak
langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak
langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih
sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.8
18
Peran VEGF sangat penting dalam proses angiogenesis. Diproduksi oleh
fibroblast korneal saat terjadi inflamasi atau adanya stimulus yang dianggap
berbahaya bagi mata, termasuk UVR. VEGF telah dideteksi bertanggung jawab
terhadap pertumbuhan terus-menerus epitel pterigium, dibandingkan dengan
konjungtiva normal melalui studi imunohistokimia. Hasilnya dapat dilihat
menggunakan RT-PCR assay.
Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat terjadi pada
daerah yang kekurangan limbal stem cell.Limbal stem cell adalah sumber regenerasi
epitel kornea.Defisiensi limbal stem cell menyebabkan konjungtivalisasi kornea dari
segala arah. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan membran pertumbuhan jaringan fibrotik.
Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian
menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi
localized interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar UV terjadi
kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.
19
Gambar 2.5 Patofisiologi Pterigium
20
2.2.5 GAMBARAN KLINIS DAN KLASIFIKASIPTERIGIUM
Pterigiumlebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah.
Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Pterigium yang
terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun pterigium di
daerah temporal jarang ditemukan. Kedua mata sering terlibat, tetapi jarang simetris.
Perluasan pterigium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi
sumbu penglihatan, menyebabkan penglihatan kabur.3-7
Secara klinis pterigium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada
konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra.. Deposit besi
dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterigium(stoker's line).
Pterigiumdibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head) dan cap.
Bagian segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya kearah kantus
disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke belakang disebut cap. A
subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir
pterigium.8
Gambar. 2.6.(A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zonaabu-abu pada kornea yang
kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan
bowman pada kornea. (B) Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang
menginvasi kornea. (C) Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang
vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung
21
2. Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi membentuk
membran tetapi tidak pernah hilang.
Pada fase awal pterigium tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik. Gangguan
terjadi ketika pterigium mencapai daerah pupil atau menyebabkan astigatisme karena
pertumbuhan fibrosis pada tahap regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga
menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.
22
Derajat 4 : pertumbuhan pterigium melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.
2.2.6 DIAGNOSIS
Anamnesis
Pasien dengan pterigium datang dengan berbagai keluhan, mulai dari tanpa
gejala sampai dengan gejala kemerahan yang signifikan, pembengkakan, gatal, iritasi,
dan penglihatan kabur berhubungan dengan elevasi lesi dari konjungtiva dan dekat
kornea pada satu atau kedua mata.3,4
23
Pemeriksaan fisik
Suatu pterigium dapat tampak sebagai salah satu dari berbagai perubahan
fibrovaskular pada permukaan konjungtiva dan kornea. Pterigium paling sering
ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula
ditemukan pterigium pada daerah temporal, serta di lokasilainnya.
Pemeriksaan penunjang
a) Pinguekula
24
Gambar 2.8. Pingueculum (panah abu-abu) merupakan lesi di limbus
sklerokorneal yang berbeda dengan pterigium, di mana tidak tumbuh mencapai
permukaan kornea.
b) Pseudopterigium
25
seperti ulkus kornea. Selain pseudopterigium, pterigium dapat pula
didiagnosis banding dengan pannus dan kista dermoid.
26
c) Ocular Surface Squamous Neoplasm
Reaksi tubuh
Iritasi atau
penyembuhan dari Dispalsiaepitelsel
Sebab Proses degeneratif kualitas higienitas
luka bakar, GO, squamous
air yang kurang.
difteri,dll.
Tidak dapat
Dapat dimasukkan
Sonde dimasukkan -
dibawahnya -
dibawahnya
27
2.2.8 PENATALAKSANAAN 1,5,8
Pasien dengan pterigium dapat hanya diobervasi kecuali lesi menunjukkan
pertumbuhan menuju pusat kornea atau pasien menunjukkan gejala kemerahan yang
signifikan, ketidak nyamanan, atau perubahan dalam fungsi visual.
Terapi Konservatif
Terapi pembedahan
- Mengganggu visus
- Mengganggu pergerakan bola mata
- Berkembang progresif
- Mendahului suatu operasi intraokuler
- Kosmetik
28
Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan pterigium
dan untuk mencegah terjadinya rekurensi.
29
2.5 Tekhnik Pembedahan Pada Pterygium
2.2.9 KOMPLIKASI5,8
Komplikasi pterigium meliputi distorsi dan/atau pengurangan penglihatan
sentral, kemerahan, iritasi, jaringan parut/skar pada konjungtiva dan kornea serta
keterlibatan yang luas dari otot-otot ekstra okuler dapat membatasi motilitas okular
dan berkontribusi terhadap terjadinya diplopia. Pada pasien yang belum menjalani
bedah eksisi, jaringan parut dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum
dari diplopia. Pada pasien dengan pterigium yang sebelumnya telah menjalani eksisi
bedah, jaringan parut atau disinsertion dari otot rektus medial adalah penyebab paling
umum dari diplopia.
30
degenerasi ganas dari jaringan epitel yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat
terjadi.
2.2.10 PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah
48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali.3,4,8
Rekurensi pterigiumsetelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga
untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan
antimetabolit atau antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien
dengan rekuren pterigiumdapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva
autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 6
bulan pertama setelah operasi.3,4,8
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterigiumseperti terpapar sinar
matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi terpapar
sinar matahari.
31
BAB III
ANALISA KASUS
Pada kasus ini, dilaporkan seorang perempuan, usia 54 tahun, datang dengan keluhan
mata kanan terasa semakin mengganjal sejak 1 bulan terakhir. Gatal (+), rasa
mengganjal (+), sekret (-), perih (-), bengkak (-). Pasien tidak mengeluhkan adanya
gangguan penglihatan. Riwayat operasi pada mata sebelumnya (-), pasien tidak
bekerja dan hanya melakukan pekerjaan rumah tangga, sering terpapar paparan sinar
matahari dan angin serta debu (+). Selain itu, diketahui bahwa sejak dulu pasien
sering memiliki keluhan mata merah, terasa gatal dan berair. Adanya penglihatan
ganda disangkal, keluhan sakit kepala disertai rasa sakit pada daerah mata juga
disangkal, kotoran mata (-), bengkak (-).Riwayat alergi (-).
Pada pemeriksaan status oftalmologis, didapatkan adanya jaringan
fibrovaskular yang berbentuk segitiga berawal dari tepi fisura palpebra bagian nasal
dengan puncak tidak melewati pupil pada mata kanan dan terdapat jaringan
fibrovaskular yang berbentuk segitiga berawal dari tepi fisura palpebra bagian nasal
dengan puncak tidak melewati pupil pada mata kiri. Refleks cahaya pada kedua pupil
baik, pupil isokor. Pada pemeriksaan visus didapatkan VOD 6/9 dan VOS 6/9.
Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa pada anamnesis
kasus pterigium bisa didapatkan adanya keluhan seperti mata merah, gatal, mata
sering berair, dan mata terasa mengganjal serta gangguan penglihatan.
Dari pemeriksaan status oftalmologis, didapatkan adanya jaringan
fibrovaskular berbentuk segitiga berawal pada tepi fisura palpebra daerah nasal tidak
melewati pupil pada mata kanan dan jaringan fibrovaskular dimulai dari fisura
palpebra daerah nasal tidak melewati pupil pada mata kiri. Tidak tampak kekeruhan
pada kornea dan lensa.
Menurut literatur inspeksi pada pterigium terlihat sebagai jaringan
fibrovaskuler pada permukaan konjungtiva. Pterigium paling sering ditemukan pada
konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal. Kasus ini juga didukung dengan
32
adanya faktor resiko yaitu paparan sinar matahari dan iritasi kronis akibat paparan
debu pada mata pasien.
Adapun pemeriksaan tambahan yang perlu dilakukan pada kasus ini adalah
topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme
ireguler yang disebabkan oleh pterigium.
Terapi atau penatalaksanaan pada kasus ini adalah medikamentosa tetes mata
kombinasi steroid-antibiotik dikarenakan belum adanya gangguan penglihatan.
Namun berdasarkan literature operasi ekstirpasi pterigium, bedah eksisi adalah satu-
satunya pengobatan yang memuaskan, yang diindikasikan untuk alasan kosmetik,
perkembanagn lanjutan yang mengancam daerah pupil, dan diplopia karena gangguan
di gerakan okular.
Untuk prognosis pada kasus ini adalah baik walaupun dapat terjadi rekurensi.
Secara visual dan kosmetik dari eksisi pterigium adalah baik. Prosedur operasi dapat
ditoleransi secara baik oleh pasien, dan disamping rasa tak nyaman pada hari-hari
pertama pasca pembedahan, pasien bisa melanjutkan aktivitas secara penuh dalam 48
jam.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Riordan, Paul. Anatomi & Embriologi Mata. Dalam: Daniel G. Vaughan, Taylor
Asbury, Paul Riordan-Eva. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Penerbit
Widya Medika. 2002.
2. Schwab, Ivan & Chandler R. Dawson. Konjungtiva. Dalam: Daniel G. Vaughan,
Taylor Asbury, Paul Riordan-Eva. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta:
Penerbit Widya Medika. 2002.
3. Laszuarni. Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat (Tesis). Medan:
Departemen Ilmu Kesehatan mata FKUSU. 2009.
4. Pigamintha Dimar. Prevalensi Pterigium Di Sekitar Universitas Sumatera Utara
(Karya Tulis Ilmiah). Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2011.
5. Nana, Wijana. Konjungtiva. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: EGC. 1996.
Hal: 40-2.
6. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2004.
7. Gazzard G, Saw Ms, Et Al. Pterigium In Indonesia: Prevalence, Severity, And
Risk Factors.Br J Ophthalmol .2002;86:134146.
8. Pterygium. Diakses tanggal 25 Mei 2017. Diunduh dari
http://www.repository.usu.ac.id
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum
dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : CV. Sagung Seto; 2002.
34