You are on page 1of 51

TUGAS PRESENTASI KASUS

PENYAKIT JANTUNG KORONER

Pembimbing :

dr. Hardiyanto Sp. Rad

Disusun Oleh :
Dhanista Hastinata Sukarna Putra, S. Ked
Rizadin Anshar, S. Ked
Junia Astri Damayanti, S. Ked
KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

RSUD KARANGANYAR

2017
LAPORAN KASUS
ILMU RADIOLOGI

PENYAKIT JANTUNG KORONER

Diajukan oleh :

Dhanista Hastinata Sukarna Putra, S. Ked


Rizadin Anshar, S. Ked
Junia Astri Damayanti, S. Ked
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta pada

Pembimbing :

dr. Hardiyanto Sp. Rad (..........................)

Dipresentasikan di hadapan :

dr. Hardiyanto Sp. Rad (..........................)

Disahkan Ka. Program Profesi :

dr. Dona Dewi Nirlawati (..........................)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan suatu keadaan dimana terjadi
penurunan suplai oksigen dan darah pada daerah myocardium akibat obstruksi
maupun spasme dari pembuluh darah koronaria. Saat ini, penyakit jantung coroner
masih merupakan masalah kesehatan utama dunia dan menjadi penyebab
terbanyak kematian akibat penyakit kardiovaskular di dunia.Jumlah kematian
akibat penyakit kardiovaskular meningkat dari 14,4 juta di tahun 1990 menjadi
17,5 juta di tahun 2005, dimana sekitar 7,6 juta kematian disebabkan oleh penyakit
jantung koroner.2 Lebih dari 80% kematian ini terjadi di negara berpendapatan
menengah dan rendah, disebabkan oleh faktor sosioekonomi yang mempengaruhi
gaya hidup.3,4 Pada tahun 2002, negara India memiliki angka kematian akibat PJK
tertinggi disusul oleh Rusia dan Cina. Di Amerika, PJK menyebabkan sekitar
400.000 kematian di tahun 2008, dimana setiap tahunnya, sekitar 785.000 orang
akan mendapatkan serangan jantung dan sekitar 470.000 akan mendapat serangan
berulang. Estimasi insiden serangan jantung setiap tahunnya mencapai 610.000
kasus baru dan 325.000 kasus baru miokard infark berulang.5,6 Di Indonesia, PJK
menjadi penyebab kematian terbanyakpada usia diatas 60 tahun dan penyebab
kematian terbanyak kedua pada rentang usia 15-59 tahun setelah HIV/AIDS. PJK
menyebabkan sekitar 100.000-500.000 kematian di Indonesia pada tahun 2002.7
Langkah pertama dalam pengelolaan penyakit jantung koroner ialah
menetapkan diagnosis pasti, karena bila diagnosis PJK telah dibuat, maka ada
kemungkinan menjadi infark jantung atau kematian mendadak. Maka seorang
dokter harus dapat memilih pemeriksaan secara tepat untuk menunjang diagnosis.
Pemeriksaan radiologis merupakan salah satu alat bantu untuk menunjang
diagnosis PJK, baik dengan teknik yang invasive maupun non invasive.
Pemeriksaan secara invasive yang dilakukan adalah kateterisasi jantung melalui
angiografi koronaria. Sementara itu, pemeriksaan noninvasive terbaru dapat
dilakukan dengan modalitas CT angiografi. Dalam karya tulis ini, akan dibahas
mengenai pemilihan modalitas yang tepat sesuai dengan indikasi dalam
mendiagnosis PJK, kelebihan, serta kekurangan dari masing-masing modalitas
pencitraan tersebut dalam menunjang diagnosis PJK.
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
- Nama Pasien : Tn. G
- Umur : 60 tahun
- Jenis kelamin : Laki-laki
- Alamat : Karangdowo, Karangmojo, Tasikmadu
- No. RM : 3868xx
- Pekerjaan : Petani
- Status perkawinan : Menikah
- Agama : Islam
- Suku : Jawa
- Tanggal masuk RS : 20 September 2017
- Tanggal pemeriksaan : 21 September 2017

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri dada
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Karanganyar dengan keluhan nyeri dada.
Nyeri dada dirasakan 12 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada
dirasakan sejak pukul 9 pagi, nyeri dada dirasakan selama 30 menit. Nyeri
dirasakan seperti ditindih beban berat. Pasien mengatakan bahwa nyeri
menjalar ke puggung, bahu kiri, rahang dan bagian ulu hati. Nyeri dada
disertai dengan keringat dingin dan tidak hilang dengan istirahat. Nyeri dada
dirasakan 3 kali sejak pukul 9 pagi sampai sebelum masuk rumah sakit.
Sebelumnya pasien tidak pernah merasakan nyeri dada seperti ini.
Selain nyeri dada, pasien juga merasakan nyeri di ulu hati. Pasien juga
mengeluh mual namun tidak muntah. Pasien tidak mempunyai riwayat sakit
maag. Pasien mengaku seorang perokok aktif, 1 bungkus per hari sebelum
mengalami kejadian ini. Pasien jarang makan jeroan, makanan berlemak,
dan goreng-gorengan. Pasien mengaku mempunyai riwayat hipertensi.
Pasien mengatakan BAK lancar, warna kekuningan, BAB lancar, warna
normal. Pada kedua kaki pasien tidak terlihat adanya pembengkakan.

3. Riwayat penyakit dahulu


Riwayat keluhan sama : tidak ada
Riwayat maag : tidak ada
Riwayat darah tinggi : ada
Riwayat penyakit gula : tidak ada
Riwayat asma : tidak ada
Riwayat alergi : tidak ada
Riwayat sakit jantung : tidak ada
Riwayat mondok : ada ( 3 kali)
Riwayat trauma pada perut : tidak ada

4. Riwayat Pribadi
Riwayat merokok : ada
Minum-minuman jamu : tidak ada
Riwayat konsumsi obat : tidak ada
5. Riwayat Keluarga
Riwayat darah tinggi : tidak ada
Riwayat penyakit gula : tidak ada
Riwayat asma : tidak ada
Riwayat alergi : tidak ada
Riwayat sakit jantung : tidak ada
6. Riwayat Kebiasaan
Sebelum sakit pasien makan sehari 3 kali nasi 1 porsi dengan lauk tahu
tempe kadang telur, sayur bayam, buncis, nangka muda, kangkung berganti
ganti. Nafsu makan cukup baik. Pasien tidak suka makan makanan pedas dan
minum manis. Pasien jarang mengkonsumsi kopi namun sering konsumsi teh.
Pasien termasuk orang yang periang dan suka berbicara, tidak pemarah, bila
tidak sakit semua aktifitas pribadi dikerjakan sendiri, jarang minta bantuan ke
orang lain. Pasien sering melakukan aktivitas keagamaan maupun sosial.
Sejak 2 minggu terakhir kegiatan pasien hanya di sekitar tempat tidur. Pasien
biasa tidur malam sekitar pukul 21.00, dan bangun pagi sekitar pukul 04.30.
7. Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan
a. Keadaan Sosial
Kondisi lingkungan tempat tinggal pasien berada di kampung dengan
jarak dari jalan besar sekitar 1 km. Keadaan tempat tinggal/ lingkungan:
rumah pribadi, terdiri dari bangunan utama, teras, dengan kamar mandi di
belakang rumah. Kamar mandi berukuran 2 x 3 m, berlantai plester semen,
WC jongkok, berukuran 1.25 x 1.25 m.
Pasien tinggal dengan istri, anak-anak nya sudah mandiri tinggal di
sekitar rumah pasien. Anak-anak pasien sering berkunjung ke rumah.
Kegiatan memasak, mencuci baju, belanja dan bersih-bersih rumah sering
dilakukan oleh anak dan menantu. Sebelum sakit pasien tidak memerlukan
bantuan untuk aktivitas mandi dan berganti pakaian. Sejak sakit pasien ke
kamar mandi dipapah anak. Makan dan minum sendiri, tapi semenjak sakit
diambilkan oleh suami. Hubungan dengan keluarga baik terkadang ada
keluarga yang datang berkunjung ke rumah pasien. Hubungan dengan
tetangga dan teman baik serta tidak ada masalah.
b. Keadaan ekonomi
Pasien seorang ibu rumah tangga.. Pasien mempunyai 3 anak dan 2
cucu. Keuangan pasien dibantu oleh anaknya. Anaknya bekerja di pabrik.
Biaya rawat inap ditanggung oleh anaknya.

Kesimpulan : Sosial ekonomi kurang

C. ANAMNESIS SISTEM
Sistem Serebrospinal Gelisah (-), Lemah (+), Demam (-), pusing (-)
Sistem Kardiovaskular Akral dingin (-), sianosis (-), anemis (-),
palpitasi (-), nyeri dada (+)
Sistem Respiratorius Batuk (-), sesak nafas (-)
Sistem Genitourinarius Kencing (+) lancar, nyeri (-) darah (-)
Sistem Gastrointestinal Nyeri perut (+), mual (+), muntah (-), nafsu
makan menurun (+), Berak cair (-)
Sistem Muskuloskeletal Badan lemas (+), nyeri pinggang (-), atrofi
otot (-)
Sistem Integumentum Pucat (-), Clubbing finger (-)
Kesan : terdapat masalah pada sistem serebrospinal, kardiovasculer,
gastrointestinal, dan muskuloskeletal.

D. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan tanggal 21 September 2017
Keadaan umum : Tampak sakit sedang, compos mentis, gizi kesan kurang
Tanda vital :
Tekanan Darah Baring : 150 /90 mmHg
Tekanan Darah Duduk : 150 /90 mmHg
Tekanan Darah berdiri : Sulit dievaluasi, pasien tidak mampu berdiri
Nadi baring : 80x/ mnt reguler, isi dan tegangan cukup
Nadi duduk : 80x /menit reguler, isi dan tegangan cukup
Nadi berdiri : Sulit dievaluasi, pasien tidak mampu berdiri
Pernafasan baring : 20 x/ menit
Pernafasan duduk : 20 x/menit
Pernafasan berdiri : Sulit dievaluasi, pasien tidak mampu berdiri
Suhu : 36,8 0C aksila
Status Gizi
BB : 41 kg
TB : 152 cm
BMI : 17,8 kg/m2 underweight
Kulit :
Ikterik (-), kulit pucat (-), turgor kulit cukup, hiperpigmentasi (-),
hipopigmentasi (-), petechie (-), bekas granulasi (-), kulit kering (-), dekubitus
(-).
Kepala :
Bentuk mesocephal, rambut beruban (+), rambut mudah rontok (-), luka (-),
benjolan abnormal (-).
Wajah :
Moon face (-), atropi musculus temporalis (+).
Mata :
Ptosis (-), blefaritis (-), oedem palpebra (-), konjungtiva pucat (-/-), sklera
ikterik (-/-), perdarahan subconjungtiva (-), pupil isokor 3mm/3mm, reflek
cahaya (+)/(+), katarak (-), pterygium (+/-)
Telinga :
Tofus (-), sekret (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-), gangguan
fungsi pendengaran (-), telinga berdenging (-), alat bantu dengar (-).
Hidung :
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), gangguan fungsi pembauan (-
), septum deviasi (-), polip nasi (-), nyeri tekan sinus frontalis (-), sinus
ethmoidalis (-).
Mulut :
Bibir sianosis (-), bibir kering (-), stomatitis (-), lidah deviasi (-), lidah kotor (-),
tepi lidah hiperemis (-), papil lidah atropi (-), lidah tremor, tampak gigi karies
(+), palatoschisis (-), napas bau aceton (-), gusi berdarah (-), mukosa bibir
basah, gigi (-).
Leher :
Trachea di tengah, JVP R+2 cm H2O, pembesaran kelenjar limfe (-),
pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonodi cervical (-), leher kaku (-
), distensi vena- vena leher (-)
Dada :
Bentuk normochest, simetris, retraksi (-), spider naevi (-), venectasi (-), atrofi
muskulus pektoralis mayor (-), pembesaran kelenjar limfe supraklavikuler (-),
infraklavikuler (-), pembesaran KGB Axilla (-/-).
Paru :
Depan
Inspeksi :
Statis :Simetris, sela iga melebar (-), retraksi supra sternal (-), retraksi
intercostalis (-)
Dinamis : Pengembangan dada kanan // kiri
Palpasi :
Statis : Simetris
Dinamis : Fremitus raba kanan // kiri
Perkusi : Sonor / Sonor
Auskultasi :
Kanan : Suara dasar bronkovesikuler, Suara tambahan (-)
Kiri : Suara dasar bronkivesikuler, Suara tambahan (-)
Belakang
- Inspeksi :
Statis : punggung kanan kiri simetris
Dinamis : pengembangan dada simetris
- Palpasi :
Statis : punggung kanan dan kiri simetris
Dinamis : pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
- Perkusi :
Kanan : sonor, mulai redup pada batas paru bawah V Th X
Kiri : sonor, mulai redup pada batas paru bawah V Th XI
Peranjakan diafragma 5 cm kanan sama dengan kiri.
- Auskultasi :
Kanan : Suara dasar bronkovesikuler, Suara tambahan (-)
Kiri : Suara dasar bronkivesikuler, Suara tambahan (-)
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba di SIC V 1 cm medial LMC sinistra, tak
kuat angkat, tidak melebar, thrill (-)
Perkusi : Batas jantung kanan atas di SIC II Linea sternalis dextra
Batas jantung kanan bawah di SIC IV Linea sternalis dextra
Batas jantung kiri atas di SIC II Linea parasternalis sinistra
Batas jantung kiri bawah di SIC V 1 cm medial LMCS
Pinggang jantung di SIC II-III Linea parasternalis sinistra
Kesimpulan : Batas jantung tidak melebar
Auskultasi: Bunyi jantung I-II murni, Intensitas normal, Bising (-),Gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Dinding perut < dinding dada, venectasi (-), bekas operasi (+)
Auskultasi : Peristaltik usus (+) 20x/menit, metallic sound (-)
Perkusi : Tympani, pekak sisi (+), pekak alih (-), area troube (+)
Papalpasi : Distended (-), nyeri tekan epigastrium (+), splenomegali (-)
Hepatomegali (-)
Ekstremitas
Ekstremitas superior inferior
oedem -/- -/-
pucat -/- -/-
sianosis -/- -/-
akral dingin -/- -/-
jari tabuh -/- -/-
eritema palmaris +/+ -/-
Kekuatan 5/5 5/5
Tonus N/N N/N
RF (Bisep,Tricep
Patella, Achilles) N/N N/N
RP -/- -/-
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah Rutin 20 September 2017
Hematologi Rutin Hasil Satuan Rujukan
Hb 11.0 g/dl 12 16
HCT 34.6 37 47
AL 9.8 103/l 5 10
AT 423 103/l 150 300
AE 4.02 106/l 4,00 5,00
Index Eritrosit
MCV 86.1 /um 82,0 92,0
MCH 27.4 Pg 27,0 31,0
MCHC 31.8 g/dl 32,0 37,0
RDW 16.2 % 11,6 14,6
Hitung Jenis
Granulosit 70.3 % 50,0 70,0
Limfosit 35.0 % 25,0 40,0
Monosit 8.5 % 3,0 9,0
Limfosit 1.1 Ribu/ul 1,25 4,0
Monosit 0.7 Ribu/ul 0,30 1,00
Granulosit 2.6 Ribu/ul 2,50 7,00
Kimia Klinik
GDS 130 mg/dL 70 150
Imuno-Serologi
HIV Non reaktif

Pemeriksaan Laboratorium Darah tanggal 20 September 2017


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
SGOT 110 U/I 0-46
SGPT 86 U/I 0-42

Ureum 21 mg/100ml 10-50


Kreatinin 0,53 mg/dl 0.5-0.9
Serologi
HbSAG Non reaktif Non reaktif

EKG
T inverted di lead II, III, aVF, V5, V6
ST-elevasi pada V1, V2

Kesan : antero-septal MI ,inferior dan lateral wall ischemia.

F. RESUME
- Dari hasil anamnesis didapatkan keluhan nyeri dada. Nyeri dada dirasakan
12 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada dirasakan sejak pukul 9 pagi,
nyeri dada dirasakan selama 30 menit. Nyeri dirasakan seperti ditindih
beban berat. Pasien mengatakan bahwa nyeri menjalar ke puggung, bahu kiri,
rahang dan bagian ulu hati. Nyeri dada disertai dengan keringat dingin dan
tidak hilang dengan istirahat. Nyeri dada dirasakan 3 kali sejak pukul 9 pagi
sampai sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien tidak pernah
merasakan nyeri dada seperti ini. Keluhan lain nyeri pada ulu hati, pasien
tidak mempunyai riwayat maag tetapi mempunyai riwayat hipertensi
- Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang.
Kesadaran Compos Mentis, Gizi underweight, Vital Sign: Tekanan darah
150/90 mmHg, nadi 80 x/menit, Respirasi rate: 20x/menit; suhu 36,8C.
didapatkan pterygium oculi dextra, atrofi musckulus temporalis, nyeri tekan
(+) regio epigastrium
- Hasil laboratorium menunjukkan adanya peningkatan SGOT dan SGPT pada
pemeriksaan darah rutin., EKG hasiilnya ST elevasi Superior

G. DIAGNOSIS KERJA
1. STEMI
Dasar diagnosis:
- Nyeri dada khas, yaitu nyeri dada seperti ditindih dan dijalarkan ke bahu kiri,
punggung, ulu hati, sampai leher. Selain itu nyeri dada disertai keringat
dingin.
- Nyeri dada 30 menit
- Faktor resiko hipertensi grade I, diabetes mellitus tipe II, hiperkolesterolemia,

laki-laki usia >40 tahun, dan perokok aktif.


- Dari EKG terlihat gambaran ST elevasi di lead V1,V2 dan T inverted di lead
II, III, v5, v6 dan aVF

2. Hipertensi Grade I
PEMERIKSAAN YANG DIANJURKAN:

Pemeriksaan darah rutin, CKMB, troponin T, troponin I, LDL, HDL


Echocardiography, foto Ro thorax PA

RENCANA PENGELOLAAN

Non medikamentosa

- Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit, penanganan, serta komplikasi


dari penyakit yang diderita oleh pasien.

Medikamentosa

Non farmakologis :

Infus RL 15 tpm

02 3 L/m

Tirah baring total

Farmakologis :

Inj. Lansoprazole / 12 jam

Inj. Arixtra / 24 jam

ISDN 3 x 5 mg
CPG 1 x 1 mg

Aspilet 3x 75 mg

Bisoprolol 1x1

PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad malam

Ad functionam : dubia ad malam

Ad sanationam : dubia ad malam


BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Penyakit Jantung Koroner


Penyakit jantung koroner adalah suatu keadaan dimana terjadinya penurunan
suplai oksigen dan darah pada daerah miokardium akibat obstruksi maupun
spasme dari pembuluh darah koronaria. Keadaan ini menyebabkan tidak
tercukupinya kebutuhan jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh.
Obstruksi dari pembuluh darah koronaria ini terbanyak disebabkan oleh proses
aterosklerosis.1
B. Etiologi
Penyebab utama penyakit jantung koroner ialah aterosklerosis yang
membentuk plak pada tunika intima arteri koronaria. Plak tersebut bersifat tidak
stabil sehingga mudah mengalami ruptur dan akhirnya membentuk trombus.
Penyebab lain yang mungkin terjadi selain plak adalah adanya embolus, spasme
pembuluh darah dan sebagai akibat dari penyakit sistemik lainnya.1
Embolus yang berasal dari pembuluh darah lain dapat terbawa sampai ke
arteri koronaria, sedangkan spasme pembuluh darah koronaria dapat timbul secara
mendadak atau dicetuskan oleh penggunaan kokain dan nikotin. Penyakit lain
yang dapat mengakibatkan terjadinya penyakit jantung koroner antara lain, defek
pada waktu kelahiran, infeksi virus, SLE, arteritis atau trauma mekanis yang
secara langsung mengenai pembuluh darah. Semua penyebab tersebut berakhir
pada ketidakseimbangan supply dan demand dari oksigen ke jantung, sehingga
terjadi iskemia miokardium.1
C. Faktor Risiko
Faktor risiko penyakit jantung koroner dapat dibagi menjadi:
1. Faktor risiko tidak dapat dimodifikasi
Faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner yang tidak dapat
dimodifikasi adalah usia, jenis kelamin dan genetik. Menurut studi yang
dilakukan di Amerika serikat, semakin lanjut usia seseorang, maka risiko
terjadinya penyakit jantung koroner semakin tinggi. Seiring bertambahnya usia
seseorang maka semakin berkurang tingkat perbaikan sel dalam tubuh akibat
proses penuaan yang kemudian mempermudah terjadinya proses aterosklerosis
dan sindrom metabolik.8,9 Angka terjadinya penyakit jantung koroner lebih
tinggi pada laki-laki sekitar 4 kali lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan. Hal ini diduga akibat kadar estrogen pada wanita mempunyai
faktor protektif. Estrogen meningkatkan kadar HDL dalam darah sehingga
menurunkan risiko terjadinya penyakit jantung koroner.8 Genetik juga
mempunyai peranan dalam peningkatan risiko terjadinya penyakit jantung
koroner. Risiko terjadinya penyakit jantung koroner meningkat bila dalam
keluarga mempunyai riwayat penyakit jantung koroner.8
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
Gaya hidup sedentary life (kebiasaan makan makanan berlemak dan
kurangnya aktivitas fisik) meningkatkan terjadinya sindrom metabolik.
Sindrom metabolik merupakan suatu abnormalitas pada sistem metabolisme
tubuh. Gaya hidup seperti demikian berkaitan erat dengan obesitas, hipertensi,
tingginya kadar lemak dan kolesterol dalam darah serta diabetes mellitus yang
merupakan faktor risiko penyakit jantung coroner. Kriteria dari sindrom
metabolik menurut NCEP: ATP III 2001 (National Cholesterol Education
Program and Adult Treatment Panel III) adalah 3 atau lebih dari hal berikut:
a. Obesitas sentral : lingkar pinggang > 102 cm untuk laki-laki dan > 88 cm
untuk perempuan
b. Hipertrigliseridemia : kadar trigliserida >150 mg/dl atau dalam medikasi
spesifik
c. Hipertensi : kadar tekanan darah >130mmHg sistolik atau >85mmHg
diastolik
d. Kadar glukosa puasa >100 mg/dl atau medikasi spesifik atau telah
didiagnosis diabetes tipe 2 sebelumnya.1
Sindrom metabolik menyebabkan terjadinya peningkatan kadar glukosa,
trigliserida dan VLDL akibat tingginya kadar asam lemak bebas, sehingga
terjadi resistensi insulin dan pelepasan mediator-mediator inflamasi seperti IL-6
dan TNF yang memicu proses thrombosis.1

Gambar 2.1.1Mekanisme terjadinya sindrom metabolik


Merokok juga merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner. Merokok
dapat menyebabkan kerusakan endotel vaskuler yang akhirnya memicu terjadinya
proses trombosis. Merokok juga meningkatkan kebutuhan oksigen dari
miokardium dan menurunkan supplai oksigen, serta meningkatkan risiko
terjadinya hipertensi.1
D. Patogenesis
Penyakit jantung koroner disebabkan oleh terjadinya proses aterosklerosis.
Proses aterosklerosis ditandai dengan adanya akumulasi lipid ekstra sel,
rekruitmen dan migrasi miosit, pembentukan sel busa dan deposit matriks
ekstraseluler, akibat pemicuan multifaktor berbagai patogenesis yang bersifat
kronik progresif, fokal atau difus, bermanifestasi akut maupun kronis, serta
menimbulkan penebalan dan kekakuan arteri.
Pembentukan aterosklerosis terdiri dari beberapa fase yang saling
berhubungan. Fase awal terjadi akumulasi dan modifikasi lipid (oksidasi, agregasi
dan proteolisis) dalam dinding arteri yang selanjutnya mengakibatkan aktivasi
inflamasi endotel. Pada fase selanjutnya terjadi rekrutmen elemen-elemen
inflamasi seperti monosit ke dalam tunika intima. Awalnya monosit menempel
pada endotel, penempelan endotel ini diperantarai oleh beberapa molekul adhesi
pada permukaan sel endotel, yaitu Inter Cellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1),
Vascular Cell Adhesion Molecule-1 (VCAM-1) dan Selectin. Molekul adhesi ini
diatur oleh sejumlah faktor yaitu produk bakteri lipopolisakarida, prostaglandin
dan sitokin. Setelah berikatan dengan endotel kemudian monosit berpenetrasi ke
lapisan lebih dalam dibawah lapisan intima. Monosit yang telah memasuki dinding
arteri ini akan berubah menjadi makrofag dan "memakan" LDL yang telah
dioksidasi melalui reseptor scavenger. Hasil fagositosis ini akan membentuk sel
busa atau foam cell dan selanjutnya akan menjadi fatty streak. Aktivasi ini
menghasilkan sitokin dan faktor-faktor pertumbuhan yang akan merangsang
proliferasi dan migrasi sel-sel otot polos dari tunika media ke tunika intima dan
penumpukan molekul matriks ekstraselular seperti elastin dan kolagen, yang
mengakibatkan pembesaran plak dan terbentuk fibrous cap. Pada tahap ini, proses
aterosklerosis sudah sampai pada tahap lanjut dan disebut sebagai plak
aterosklerotik. Plak ini akan menyebabkan penyempitan lumen arteri yang
menyebabkan terjadinya pengurangan aliran darah, bila plak tersebut ruptur maka
akan terjadi pengaktifan trombosit dan jalur koagulasi dan terjadilah proses
trombogenesis (pembentukan trombus).1
Gambar 2.1.2 Proses aterosklerosis
Proses pembentukan trombus dimulai saat plak aterosklerosis mengalami fisur
ruptur atau ulserasi memicu aktivasi trombosit yang dicetuskan oleh kolagen,
ADP, epinefrin dan serotonin. Trombosit selanjutnya akan menyebabkan
pelepasan tromboksan A2 (vasokonstriktor local yang poten). Aktivasi trombosit
juga memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Reseptor yang
telah mengalami konversi fungsi akan memiliki afinitas tinggi terhadap sekuen
asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand
(vWF) dan fibrinogen. Kedua molekul tersebut merupakan molekul multivalen
yang dapat mengikat dua trombosit yang berbeda secara simultan, menghasilkan
ikatan silang trombosit dan agregasi. Pada sisi lain, kaskade koagulasi diaktivasi
oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X
diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin kemudian
mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin yang berikatan dengan faktor XIII
yang meningkatkan kekuatan bekuan. Arteri koronaria yang terlibat kemudian
akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan
fibrin.4
E. Klasifikasi
Ketidakseimbangan antara supply dan demand dari miosit menyebabkan
terjadinya iskemia bahkan nekrosis dari jantung. Hal ini menimbulkan sindrom
koronaria akut yang dibagi menjadi angina pektoris stabil, angina pektoris tidak
stabil dan infark miokard akut.10
1. Angina Pektoris Stabil
Angina pektoris stabil merupakan suatu sindroma klinis berupa rasa tidak
nyaman di dada, rahang, bahu, punggung, atau lengan yang timbul saat aktivitas
atau stress emosional yang berkurang dengan istirahat atau nitrogliserin.
Umumnya terjadi bila penyempitan arteri koronaria sekitar 50% diameter
lumen, sehingga terjadi iskemia miokardium terutama pada waktu beraktivitas.
Hal tersebut dikarenakan saat beraktivitas terjadi peningkatan denyut jantung,
kontraktilitas, dan stress pada dinding pembuluh darah untuk memenuhi
kebutuhan energi tubuh yang berakibat peningkatan oksigenasi otot jantung.
Klasifikasi angina didasarkan pada klasifikasi CCS (Canadian Cardiovascular
Society) yakni:
a. Kelas I : angina tidak timbul pada aktivitas sehari-hari, seperti berjalan, dan
menaiki tangga. Angina timbul pada saat latihan berat, tergesa-gesa, dan
berkepanjangan.
b. Kelas II : dijumpai pembatasan aktivitas sehari-hari, seperti jalan cepat atau
menaiki tangga, jalan mendaki, aktivitas setelah makan, hawa dingin, dalam
keadaan stress emosional, atau hanya timbul beberapa jam setelah bangun
tidur.
c. Kelas III : adanya tanda-tanda keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari, angina
timbul jika berjalan sekitar 100-200 meter, menaiki tangga satu tingkat pada
kecepatan dan kondisi yang normal.
d. Kelas IV : ketidakmampuan melakukan aktivitas fisik apapun tanpa keluhan
rasa nyaman atau angina saat istirahat.10
2. Angina Pektoris Tidak Stabil
Angina Pektoris Tidak Stabil (ATS) adalah suatu spektrum dari sindroma
iskemik miokard akut yang berada di antara angina pektoris stabil dan anfark

miokard akut. Terminologi ATS harus tercakup dalam kriteria penampilan

klinis sebagai berikut :


a. Angina pertama kali merupakan angina yang timbul pada saat aktifitas fisik
dan baru pertama kali dialami oleh penderita dalam periode 1 bulan terakhir

b. Angina progresif merupakan angina yang timbul saat aktifitas fisik yang

berubah polanya dalam 1 bulan terakhir, yaitu menjadi lebih sering, lebih
berat, lebih lama, timbul dengan pencetus yang lebih ringan dari biasanya
dan tidak hilang dengan cara yang biasa dilakukan. Penderita sebelumnya
menderita angina pektoris stabil.
c. Angina waktu istirahat merupakan angina yang timbul tanpa didahului
aktifitas fisik ataupun hal yang dapat menimbulkan peningkatan kebutuhan
O2 miokard, durasi angina sedikitnya 15 menit.

d. Angina yang terjadi sesudah infark miokard akut (IMA). Angina yang

timbul dalam periode dini (1 bulan) setelah IMA.10


3. Infark Miokard Akut (IMA)
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu dari spektrum sindrom
koronaria akut. Infark miokard akut dibagi menjadi dengan elevasi ST
(STEMI) atau non elevasi ST (non STEMI). STEMI terjadi jika aliran darah
pada arteri koronaria turun secara mendadak setelah oklusi total arteri
koronaria akibat trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya, sedangkan NSTEMI merupakan salah satu angina pektoris tidak
stabil, namun sudah terbukti adanya nekrosis pada miokard yang ditandai
dengan peningkatan enzim biomarker jantung.10

F. Diagnosis
1. Manifestasi Klinis
a. Nyeri pada dada, substernal atau sedikit kiri dari substernal dengan
penjalaran ke leher, rahang, bahu kiri, sampai ke pundak/ jari-jari bagian
ulnar kiri atau punggung dan epigastrium.
b. Nyeri sifatnya tumpul seperti tertindih atau rasa berat di dada, seperti
diremas-remas disertai keringat dingin, sesak dan cemas.
c. Nyeri < 20 menit termasuk angina pektoris stabil, sedangkan > 20 menit
merupakan angina pectoris tidak stail, > 30 menit kemungkinan telah
terjadi infark.
d. Nyeri dapat membaik bila diberi nitrogliserin pada angina, namun pada
infark miokard, nitrogliserin kadang tidak dapat memperbaiki keadaan
e. Nyeri muncul terutama pada waktu aktivitas dalam waktu yang singkat.
Bila nyeri sudah berlangsung lama, kecil kemungkinan merupakan suatu
angina pektoris.10
2. Pemeriksaan Fisik
Sewaktu angina dapat tidak menunjukkan kelainan. Pada auskultasi
dapat terdengar derap atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di daerah
apeks. Frekuensi denyut jantung dapat menurun, menetap atau meningkat
pada waktu serangan angina.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium : enzim jantung (CK, CKMB, Troponin T)
b. EKG : terjadi perubahan ST-T yang sesuai dengan iskemia/infark
miokardium, dapat didapati juga perubahan seperti LVH, ataupun Q
patologis. Gambaran tidak spesifik seperti aritmia atau trifasikular blok
juga dapat ditemukan.
c. Foto thoraks : dapat ditemukan kalsifikasi koronaria/ katup, gagal jantung,
penyakit katup, perikarditis atau menyingkirkan diagnosa nyeri dada akibat
kelainan paru-paru.
d. Echokardiografi : untuk mendeteksi kelainan katup/ kardiomiopati
e. Imaging10

1) Angiografi
Angiografi merupakan suatu teknik pencitraan medis untuk
memvisualisasi bagian dalam, atau lumen dari pembuluh darah dan
organ-organ dalam tubuh manusia, terutama arteri, vena, dan ruang-
ruang jantung. Angiografi biasa dilakukan dengan memasukan zat
kontras kedalam pembuluh darah dan dibaca dengan menggunakan x-
ray, misalnya fluoroscopy.11
Kata angiografi berasal dari bahas yunani angeion pembuluh, dan
graphein menulis atau mencatat. Gambar dari pembuluh darah
disebut angiograf, atau lebih sering disebut angiogram. Walaupun kata
tersebut dapat menggambarkan arteriogram ataupun venogram, dalam
penggunaan sehari-hari kata angiogram dan arteriogram biasa
disamaartikan, dan kata venogram digunakan dengan lebih spesifik.11
Teknik ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1927 oleh
neurologist Portugal Egas Moniz di Universitas Lisbon. Angiografi otak
dengan kontras dilakukan untuk mendiagnosa beberapa jenis penyakit
seperti tumor, gangguan arteri, dan malformasi arteri dan vena.11
Gambar 2.2.1 Angiogram menunjukkan proyeksi melintang dari vertebrobasilar dan
sirkulasi serebral posterior.
Bergantung dari tipe angiogram, akses ke dalam pembuluh darah
paling sering melalui arteri femoralis, untuk melihat sisi kiri dari jantung
serta sistem arterial; atau vena jugular dan vena femoral untuk melihat
sisi kanan jantung dan sistem vena. Dengan menggunakan kabel-kamera
dan kateter, zat kontras disuntikan ke darah sehingga dapat terbaca pada
x-ray.12
Gambar x-ray yang diambil dapat berupa gambar diam, atau
gambar bergerak. Untuk semua struktur kecuali jantung, gambar
biasanya diambil menggunakan teknik yang disebut digital substraction
angiography atau DSA. Gambar dalam hal ini biasanya diambil 2-3
frame per detik, yang memungkinkan ahli radiologi intervensional untuk
mengevaluasi aliran yang melalui pembuluh darah. Teknik ini tidak
menampilkan tulang dan organ lainnya sehingga hanya pembuluh darah
yang terisi dengan zat kontras yang dapat dilihat. Gambar jantung
diambil 15-30 frame per detik, tidak menggunakan teknik DSA. Karena
DSA membutuhkan pasien untuk tetap diam, teknik ini tidak dapat
digunakan pada jantung. Kedua teknik ini memungkinkan ahli radiologi
intervensi atau ahli jantung untuk melihat stenosis di dalam pembuluh
darah yang dapat menghambat aliran darah dan menyebabkan rasa
sakit.12

Gambar 2.2.2 Lab. Kateterisasi


Gambar 2.2.3 Kateterisasi pada angiografi

2) Angiografi Arteri Koronaria


Angiografi arteri koroner merupakan salah satu angiogram yang
paling umum dilakukan adalah untuk memvisualisasikan darah di arteri
koronaria. Tabung fleksibel yang panjang dan tipis yang disebut kateter
digunakan untuk memasukan zat kontras x-ray di area yang ingin
divisualisasikan. Kateter dimasukan ke dalam arteri di lengan bawah,
dan bagian ujung diteruskan melalui sistem arteri ke arteri koronaria
utama. Gambar x-ray dari distribusi radiokontras dalam darah yang
mengalir di dalam arteri koronaria dapat memvisualisasi ukuran dari
arteri.12
Kateterisasi koronaria merupakan prosedur minimum invasif untuk
mengakses sirkulasi koronaria dan ruang jantung yang terisi darah,
dengan menggunakan kateter. Hal ini dilakukan untuk dua tujuan baik
tujuan diagnostik, atau intervensi.12
Kateterisasi koronaria adalah salah satu dari beberapa prosedur
diagnostik kardiologi. Secara khusus, kateterisasi koronaria adalah
sebuah tes yang diintepretasikan secara visual, yang dilakukan untuk
mendeteksi oklusi, stenosis, restenosis, trombosis atau aneurisma
(pembesaran lumen arteri koronaria); ukuran ruang jantung; kinerja
kontraksi otot-otot jantung; dan fungsi katup jantung. Tekanan darah
didalam jantung dan paru yang tidak dapat diukur dari luar tubuh, dapat
diukur secara akurat selama tes dilakukan. Masalah yang paling sering
didapatkan sebagai biasanya merupakan akibat dari aterosklerosis
lanjut-ateroma dalam dinding arteri koronaria, terkadang dapat pula
ditemukan gangguan katup, gangguan otot jantung, atau aritmia.12
Penyempitan lumen dari arteri koronaria akan mengurangi aliran
darah beroksigen ke jantung, sehingga dapat menimbulkan angina
intermiten. Sumbatan lumen pada tahap lebih lanjut biasanya dapat
meimbulkan serangan jantung. Namun demikian, sejak akhir 1980
ditemukan bahwa kateterisasi koronaria tidak dapat digunakan untuk
mengetahui ada atau tidaknya aterosklerosis koronaria itu sendiri.
Kateter hanya dapat mendeteksi perubahan dari lumen yang terjadi
sebagai komplikasi tahap akhir dari aterosklerosis.12

Gambar 2.2.4 Angiografi koronaria, menunjukan sirkulasi arteri koronaria kiri


Pada pasien tanpa gejala masalah jantung risiko tinggi, tidak harus
dilakukan kateterisasi koronaria untuk menemukan masalah. Indikasi
untuk pemeriksaan meliputi pasien yang berusia di bawah 40 dan
memiliki diabetes, memiliki penyakit pembuluh darah perifer, atau yang
memiliki penyakit jantung koronaria dengan angka kejadian per tahun
lebih besar dari 2%.13
Pasien yang diperiksa biasanya terbangun selama kateterisasi.
Idealnya pemeriksaan dilakukan hanya dengan anestesi lokal seperti
lidokain dan anestesi umum dalam dosis minimal. Prosedur yang
dilakukan dalam kondisi pasien terbangun lebih aman, karena pasien
dapat segera melaporkan setiap ketidaknyamanan atau masalah yang
dirasakan selama pemeriksaan, hal ini memungkinkan penanganan yang
cepat bila terjadi hal yang tidak diinginkan. Monitor medis tidak dapat
memberikan gambaran yang komprehensif tentang keadaan pasien;
informasi yang diberikan pasien dalam pemeriksaan seringkali
merupakan indikator yang paling dapat diandalkan dalam prosedur
keamanan.14
Kematian, infark miokard, stroke, aritmia ventrikel yang serius, dan
komplikasi vaskular, masing-masing terjadi pada kurang dari 1% dari
pasien yang menjalani kateterisasi. Waktu yang disarankan untuk pasien
berada di laboratorium berkisar antara 20-45 menit. Waktu pemeriksaan
dapat diperpanjang apabila terdapat kesulitan teknis, dengan syarat
penambahan waktu pemeriksaan tidak membahayakan pasien.14
Selama kateterisasi koronaria, tekanan darah dicatat dan gerak X-
ray gambar bayangan darah di dalam arteri koronaria juga direkam.
Untuk menghasilkan gambar sinar-X, dokter memasang perangkat
seperti tabung kecil yang disebut kateter, biasanya berdiameter 2.0 mm
(6-French), melalui arteri besar tubuh sampai ujung kateter mencapai
arteri koronaria. Kateter didesain lebih kecil dari lumen arteri; tekanan
darah internal yang / intraarterial dimonitor melalui kateter untuk
memastikan bahwa kateter tidak memblokir aliran darah.14
Kateter sendiri dirancang untuk dapat terlihat dari X-ray dan
memungkinkan pewarna X-ray untuk secara selektif disuntikkan dan
dicampur dengan darah yang mengalir di dalam arteri. Biasanya 3-8 cc
zat radiokontras disuntikkan untuk membuat aliran darah terlihat dalam
gambar selama sekitar 3-5 detik, sampai zat radiokontras mengalir ke
dalam kapiler koronaria dan kemudian vena koronaria. Tanpa injeksi
pewarna X-ray, pembuluh darah dan jaringan sekitar jantung hanya
terlihat sebagai massa yang bergerak perlahan pada X-ray, tidak terlihat
secara jelas struktur pembuluh darah serta organ dalam. Zat radiokontras
dalam darah memungkinkan visualisasi aliran darah dalam arteri atau
bilik jantung, tergantung di mana zat disuntikkan.14
Ateroma, atau bekuan, yang menonjol ke dalam lumen,
menimbulkan penyempitan, penyempitan terlihat sebagai bagian yang
agak kabur bila dibandingkan dengan pembuluh lain disekitar yang tidak
mengalami stenosis.14

Gambar 2.2.5 Area yang mengalami stenosis ditunjukan dengan tanda


panah.
Untuk mengetahui posisi kateter selama pemeriksaan, dokter
bergantung pada pengetahuan yang terperinci mengenai anatomi
internal, lalu kateter dimasukan perlahan, dengan menggunakan
fluoroscopy dan sinar-x dosis rendah untuk visualisasi bila diperlukan.
Ketika dokter siap untuk merekam tampilan diagnostik untuk disimpan
dan diteliti lebih lanjut nantinya, peralatan untuk menerapkan dosis
sinar-x yang lebih tinggi yang disebut cine diaktifkan, sehingga tercipta
gambar dengan kualitas yang lebih baik, dan lebih lebih tajam. Injeksi
kontras, fluoroscopy dan waktu aplikasi cine harus diatur dengan baik
sehingga dapat meminimalkan paparan radiasi pada pasien.14
3) CT Scan
Computed Tomography (CT) menggunakan pancaran sinar-x
terkolimasi pada pasien untuk mendapatkan citra potongan melintang
yang tipis dari kepala dan tubuh pasien. Sebagai pengganti pancaran
pada film sinar-x digunakan sistem deteksi yang lebih sensitif dengan
tabung foto multiplier. Tabung sinar-x berputar mengelilingi pasien
beberapa kali. Citra didapatkan melalui pembacaan digital dari tabung
foto multiplier yang diproses oleh komputer dan analisis pola
penyerapan pada tiap jaringan. Nilai penyerapan dinyatakan pada skala
+1000 unit untuk tulang, yaitu penyerapan maksimum pancaran sinar-X,
hingga -1000 unit untuk udara yang merupakan penyerap terendah.
Setiap gambar mewakili suatu potongan tubuh, dengan ketebalan
bervariasi dari 1 hingga 10 mm. Jaringan yang berada di atas atau di
bawah potongan ini tidak tercakup sehingga diambil suatu seri potongan
untuk mencakup daerah tertentu. Dengan pemindaian spiral, urutan
potongan-potongan tersebut dapat diperoleh dengan cepat, bahkan
pemeriksaan toraks dapat dilakukan hanya dalam sekali menahan napas
dan seluruh abdomen dapat digambarkan hanya dalam beberapa detik.
Citra pada CT mengandung sebuah matriks elemen gambar (pixel),
ketebalan potongan menggambarkan komponen volume (voxel). Setiap
voxel menggambarkan nilai penguatan pancaran sinar-x pada titik tubuh
tertentu. Kontras oral digunakan untuk memperlihatkan saluran
pencernaan atau kontras intravena untuk memperlihatkan sistem
vaskular dan untuk mempelajari perbaikan organ tertentu pada berbagai
kondisi patologis.15

4) CT Kardiak
Seiring dengan meningkatnya insiden Penyakit jantung koroner
(PJK), muncul konsep baru di masyarakat, yaitu screening sebelum
ditemukan gejala untuk mengurangi progresivitas penyakit. Seiring
dengan perkembangan teknologi CT scan, jumlah masyarakat yang
memanfaatkannya sebagai sarana diagnostic untuk mendeteksi
kalsifikasi arteri koronaria juga meningkat. CT kardiak menjadi salah
satu pilihan karena proses pemeriksaan yang cepat dan tidak invasif.16
CT kardiak secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 macam, yaitu
calcium score screening heart scan, coronary CT angiography (CTA),
dan total body CT scan.17

Gambar 2.3.1CT scan non-kontras thoraks.


Terdapat kalsifikasi pada left anterior descending artery/LAD
(tanda panah). Selain itu, terdapat hiatus hernia dan kalsifikasi pleura
yang mengindikasikan paparan terhadap asbes.16

Gambar 2.3.2 Gambaran CT potongan aksial


Menunjukkan penyakit aterosklerosis pada left anterior
descending/LAD dan arteri sirkumfleksa sinistra/LCX (tanda panah)
yang merupakan bukti adanya kalsium.18
CT kardiak digunakan untuk mengevaluasi arteri koronaria jika
hasil nuclear stress test tidak membantu,mengkonfirmasi anomali pada
koronaria atau jantung, menilai patensi bypass graft, dan menilai
aterosklerosis pada pasien yang mengalami nyeri dada atipikal. Selain
mengevaluasi arteri koronaria, CT kardiak juga dapat digunakan untuk
mendeteksi emboli paru dan diseksi aorta (three scan).18,19 Kontras
diberikan untuk menilai patensi pembuluh darah dan mengidentifikasi
trombus atau plak.19 Kontras wajib diberikan jika kita ingin
mengevaluasi kelainan anatomi kardiak atau aorta thorakal (diseksi
aorta) dan mengevaluasi arteri pulmonalis (emboli paru). Kontras harus
diberikan dengan kecepatan 4-5 ml/detik dengan menggunakan catheter
intravena dengan jarum berukuran 18 atau 20 untuk mendapatkan
gambaran yang terbaik.18
Plak pada koronaria dapat dibagi menjadi 3 tipe berdasarkan temuan
yang didapatkan pada CT, yaitu plak non kalsifikasi (lesi dengan
radiodensitas lebih tinggi jika dibandingkan dengan jaringan lunak di
sekitarnya namun memiliki radiodensitas lebih rendah jika dibandingkan
dengan kontras yang melewati lumen koronaria), plak kalsifikasi (lesi
dengan radiodensitas lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontras
yang melewati lumen koronaria), dan campuran keduanya (kadar
kalsium berada pada range 20-80%).20

Gambar 2.3.3 CT angiografi koronaria pada plak yang tidak mengalami kalsifikasi.
Plak non-kalsifikasi ditemukan pada segmen tengah dari left anterior descending
artery.20
Gambar 2.3.4 CT angiografi koronaria pada plak yang mengalami kalsifikasi. Proeksi
CT menunjukkan plak kalsifikasi fokal di segmen proksimal arteri koronaria dekstra
(a). Angiografi koronaria menunjukkan stenosis ringan lumen koronaria [tanda panah
di (b)]. Plak kalsifikasi yang ekstensif dapat ditemukan pada segmen proksimal dan
tengah dari left anterior descending (LAD) (c) dan (d). Stenosis di LAD pada saat
dilakukan angiografi koronaria [tanda panah di (e)].20
Gambar 2.3.5 CT angiografi koronaria menunjukkan plak campuran. Plak campuran
dapat ditemukan di segmen proksimal dari left anterior descending (LAD) dengan
stenosis > 50% (tanda panah di a). Angiografi koronaria mengkonfirmasi stenosis
LAD (tanda panah di b).20
CT angiografi memiliki cara kerja yang mirip dengan CT scan
lainnya, gambar dapat diperoleh dalam waktu 10-20 detik dengan durasi
pemeriksaan 15-30 menit. Detak jantung perlu diatur agar berada di
range 60-65 detik per menit agar didapatkan kualitas gambar yang
optimal, oleh karena itu perlu dilakukan pemberian -blocker sebelum
dilakukan pemeriksaan. Detak jantung yang cepat atau ireguler
merupakan kontraindikasi relatif untuk dilakukan imaging dengan CT
angiografi. Kontras diberikan secara intravena lalu disusul dengan
pemberian nitrogliserin sublingual untuk memaksimalkan dilatasi
pembuluh darah koronaria.
Pada Invasive Coronary Angiography (ICA), kontras diberikan
melalui arteri. Pada CTA, didapatkan visualisasi arteri koronaria yang
maksimal, termasuk diantaranya adalah arteri koronaria yang
mengalami anomali dan graft, sedangkan pada ICA visualisasi
bergantung pada kontras yang dimasukkan, jika kontras yang
dimasukkan tidak adekuat, maka tidak akan didapatkan gambaran arteri
koronaria yang maksimal. Data CT biasanya didapatkan secara spiral
dan data didapatkan saat meja bergerak dalam kecepatan yang konstan.
Data yang diambil berada diantara interval R-R (mid to late diastole),
pada saat gerakan jantung paling lambat. Pada ICA, yang menjadi focus
pemeriksaan adalah lumen arteri koronaria sedangkan pada CT
angiografi, yang menjadi focus pemeriksaan adalah lumen dan dinding
arteri koronaria sehingga CT angiografi lebih sensitif dalam mendeteksi
plak aterosklerosis. CT angiografi tidak dapat mendeteksi erosi dan
ruptur plak namun dapat mendeteksi plak yang berukuran > 1 mm.21
Imaging non invasive seperti CT angiografi dapat digunakan
sebagai pengganti ICA dan secara signifikan dapat mengurangi biaya
yang diperlukan dan komplikasi yang mungkin terjadi akibat dari
penggunaan ICA.22 Menurut penelitian yang dilakukan May, et al.
durasi rawat inap di rumah sakit pasien yang diperiksa dengan
menggunakan CT angiografi berkurang serta biaya yang harus
dikeluarkan pasien juga berkurang jika dibandingkan dengan mereka
yang menggunakan ICA.23 Survey yang dilakukan oleh Society for
Cardiac Angiography and Interventions menyatakan bahwa risiko total
komplikasi terhadap CT angiografi adalah sebesar 2%. Risiko paling
sering adalah terlepasnya plak dari aorta yang dapat mengakibatkan
diseksi arteri atau emboli yang dapat menyebabkan miokard infark atau
stroke. Punksi arteri dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah.
Perdarahan retroperitoneal adalah komplikasi yang cukup signifikan.22
CT angiografi memiliki keterbatasan dan tidak dapat menggantikan
fungsi ICA secara sempurna. Resolusi spasial membatasi kemampuan
CT angiografi untuk memberikan informasi yang tepat mengenai tingkat
keparahan stenosis. Pasien dengan aritmia, atrial fibrilasi, serta pasien
yang alergi kontras tidak dapat diperiksa menggunakan CT angiografi.
Kualitas gambar yang kurang baik karena kalsifikasi yang tebal serta
artefak multipel seperti gerakan arteri dan gerakan nafas juga membatasi
penggunaan CT angiografi.22
Tidak seperti s-ECG (stress electrocardiography), MPI
(Myocardial Perfusion Imaging), dan stress echocardiography, CT
angiografi hanya merupakan alat diagnostic untuk kelainan antomis. CT
angiografi tidak dapt menilai kelainan fungsional pada jantung yang
disebabkan oleh stenosis arteri koronaria.24
Dosis radiasi yang ditimbulkan umumnya lebih tinggi pada CT
angiografi jika dibandingkan dengan ICA. CT angiografi dan ICA sama-
sama memiliki risiko yang terkait dengan injeksi kontras, yaitu dapat
menyebabkan toksisitas renal, reaksi alergi (dapat sampai menyebabkan
reaksi anafilaksis). Pada studi ini, digunakan kontras sebanyak 65-80 ml
untuk mengevaluasi CT angiografi dan ICA.22 Kini telah diperkenalkan
dual source CT scan dengan dosis radiasi < 1 milli Sievert (mSv) untuk
mengurangi radiasi yang ditimbulkan akibat pemberian kontras.24
Pada 18 penelitian mengenai CT angiografi yang menggunakan
1313 sampel, ditemukan lesi signifikan pada >50% pasien dan
prevalensi PJK adalah sebesar 58%. Penelitian ini juga menyatakan
bahwa CT angiografi 64-slice memiliki sensitivitas yang cukup tinggi,
yaitu sebesar 99% (95% CI 97-99%), spesifisitas sebesar 89% (95% CI
83-94%), negative predictive value sebesar 100% (86-100%).
Sensitivitas untuk arteri sirkumfleksa sinistra (LCX) adalah sebesar 85%
(95% CI 69-94%) dan arteri koronaria sinistra sebesar 95% (95% CI 84-
99%). Spesifisitas untuk left anterior descending (LAD) dan
sirkumfleksa sinistra (LCX) adalah sebesar 96% sedangkan untuk arteri
koronaria sinistra adalah sebesar 100%. Pada 5 studi yang
membandingkan sensitivitas pada arteri proksimal, medial, dan distal,
sensitivitas paling buruk didapatkan pada arteri bagian distal karena
ukurannya yang kecil dan rentan terhadap artefak.21
Gambar 2.3.6 Penyempitan moderat (50-70%) pada arteri koronaria dekstra dengan
plak non kalsifikasi yang ekstensif pada CT angiografi (a). Rekonstruksi CT
angiogram (b). Invasive Coronary Angiogram (c).21

Gambar 2.3.7Stenosis difus pada arteri koronaria dekstra. CT angiografi


menunjukkan kalsifikasi ekstensif dan plak non kalsifikasi (a). Invasive Coronary
Angiogram (b).21
5) CT Angiografi dan Angiografi Konvensional
Harus ditekankan bahwa CT angiografi dan angiografi
konvensional merupakan modalitas pencitraan yang berbeda secara
fundamental dengan kekuatan dan kelemahan yang sangat
mempengaruhi setiap perbandingan dari penilaian koroner. Dari dua
aspek resolusi, baik spasial (0,2 mm vs 0,35-0,6 mm) dan temporal (5-
10 ms vs 80-175 ms), dalam praktek klinis saat ini angiografi
konvensional lebih unggul. 25
Selain itu, Ct angiografi jauh lebih rentan terhadap kondisi
pememindaian yang kurang optimal. Denyut jantung yang lebih tinggi
(> 65 kali / menit) dan pasien yang lebih besar (indeks massa tubuh>
40) sering menyebabkan penurunan kualitas gambar, yang mengurangi
akurasi diagnostik. Meskipun studi terbaru menunjukkan bahwa dalam
kondisi ideal, CT memiliki potensi untuk mengukur stenosis koroner
setidaknya seakurat fluoroskopik angiography, kondisi ini belum tentu
akan selalu didapatkan dalam pelaksanaan pemeriksaan dalam praktek.
25

Selain itu, pengaturan tampilan gambar, seperti penyesuaian tingkat


dan kedalaman window, dapat secara signifikan mempengaruhi
interpretasi. Mungkin keterbatasan terbesar untuk CT angiografi saat ini
kesulitan dalam memvisualisasikan lumen arteri dengan adanya
kalsifikasi koroner yang berat. Penelitian analisis CorE-64 menunjukkan
bahwa kalsifikasi segmen arteri koroner dikaitkan dengan berkurangnya
akurasi diagnostik. Untungnya, kalsifikasi koroner berat tidak sering
ditemui pada populasi target CT angiografi. Bahkan pada pasien yang
dirujuk untuk angiografi konvensional, misalnya populasi dengan risiko
tinggi, kurang dari 10% dari plak aterosklerotik yang terdapat
kalsifikasi. Terakhir, paparan radiasi juga menjadi faktor pertimbangan
utama untuk penggunaan CT angiografi. Namun, seiring berjalannya
waktu, dengan semakin majunya teknologi, dan banyaknya studi tentang
penggunaan CT angiografi, telah menyebabkan penurunan drastis dalam
dosis radiasi, menjadi semakin setara bahkan lebih rendah dari
angiografi konvensional.25
Angiografi konvensional hanya terbatas menampilkan gambaran 2-
dimensi dari pembuluh, sehingga proyeksinya sangat terbatas, yang
mana penting untuk intepretasi pencitraan. MDCT memungkin
gambaran dari berbagai sudut pandang dari segmen arteri, sedangkan
pada angiografi konvensional pembacaan dibatasi berapa arah pandang
yang dapat diperoleh di laboratorium kateterisasi. Meskipun, idealnya, 2
proyeksi ortogonal dilakukan untuk setiap evaluasi stenosis arteri
koroner, tumpang tindih dari arah pandang sering menyebabkan hanya 1
arah pandang yang memadai untuk pembacaan. Selain itu, sering terjadi
pemendekan pada gambar, menyebabkan kekeliruan dalam pembacaan
anatomi koroner.25
Angiografi konvensional dianggap sebagai gold standard untuk
penilaian stenosis arteri koroner. Keterbatasan dari angiografi
konvensional menyebabkan sulitnya studi validasi MDCT. Misalnya,
pada beberapa lesi tertentu, analisis MDCT sebenarnya lebih akurat
daripada angiografi konvensional, yang mana sulit dibuktikan dalam
studi analisis dengan angiografi konvensional sebagai gold standard.
Dalam sebuah penelitian menggunakan IVUS (Intravascular
Ultrasonography) sebagai gold standard, MDCT memang memiliki
akurasi yang lebih besar daripada angiografi konvensional untuk
memperkirakan obstruksi lumen.25
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada dasarnya bertujuan untuk memperpanjang hidup dan
memperbaiki kualitas hidup dengan mencegah serangan angina baik secara
medikal atau pembedahan.10
1. Pengobatan Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa bertujuan untuk mencegah dan menghilangkan
serangan angina. Ada 3 jenis obat yang digunakan, yaitu :
a. Golongan nitrat
Nitrogliserin merupakan obat pilihan utama pada serangan angina
akut. Mekanisme kerjanya adalah dengan dilatasi vena perifer dan
pembuluh darah koronaria. Efeknya muncul dalam jangka waktu cukup
singkat, yaitu relaksasi otot polos vaskuler. Nitrogliserin juga dapat
meningkatkan toleransi exercise pada penderita angina sebelum terjadi
hipoksia miokard. Jika nitrogliserin diberikan sebelum exercise, dapat
mencegah terjadinya serangan angina.10
b. Ca-Antagonis
Ca-antagonis dipakai pada pengobatan jangka panjang untuk
mengurangi frekuensi serangan pada beberapa tipe angina. Cara kerjanya
Ca-antagonis :
1) Memperbaiki spasme koronaria dengan menghambat tonus vasometer
pembuluh darah arteri koronaria (terutama pada angina Prinzmetal).
2) Dilatasi arteri koronaria sehingga meningkatkan suplai darah ke
miokard.
3) Dilatasi arteri perifer sehingga mengurangi resistensi perifer dan
menurunkan afterload.
4) Efek langsung terhadap jantung yaitu dengan mengurangi denyut,

jantung dan kontraktilitas sehingga mengurangi kebutuhan O2.10

c. -blocker

Cara kerja -blocker adalah dengan menghambat sistem adrenergenik


terhadap miokard yang menyebabkan kronotropik dan inotropik positif,
sehingga denyut jantung dan curah jantung berkurang. Efek obat yang
kadioprotektif membuat obat ini sering digunakan sebagai pilihan pertama
untuk mencegah serangan angina pektoris pada sebagian besar penderita.

Selain obat-obatan di atas, khusus pada IMA dilakukan terapi reperfusi


dengan menggunakan obat-obatan antitrombotik seperti streptokinase atau
rTPa. Obat-obatan tersebut akan menghancurkan trombus sehingga oklusi
arteri koronaria akan terbuka. Terapi juga dapat ditambah dengan obat-obat
antiplatelet seperti aspirin yang akan menghambat enzim siklooksigenase
sehingga mencegah terjadinya agregasi trombosit sehingga mencegah
terjadinya trombus, selain itu juga dapat diberikan klopridogrel yang
menginhibisi aktivasi trombosit.
d. Terapi tambahan lainnya
1) Untuk menurunkan kolesterol LDL dapat diberi golongan statin
2) Terapi untuk penyakit penyerta lainnya seperti hipertensi atau diabetes
mellitus.10
2. Terapi Non Farmakologis
a. Perubahan gaya hidup
b. PCI / CABG : intervensi koronaria perkutan, biasanya angioplasty atau
stenting tanpa didahului fibrinolisis yang disebut PCI primer. PCI ini
efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam
beberapa jam pertama infark myocard akut. PCI primer lebih efektif dari
fibrinolisis dalam membuka arteri koronaria yang tersumbat dan dikaitkan
dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik.
PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik, risiko perdarahan
meningkat atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika
bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat
fibrinolisis.10
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Kelebihan utama dari CT angiografi dari angiografi konvensional adalah
kemampuannya untuk menilai seluruh dinding arteri secara non-invasif, termasuk
visualisasi plak aterosklerotik. Pemeriksaan langsung plak memungkinkan
mendeteksi CAD pada tahap awal, penilaian total beban plak aterosklerosis, dan
karakter dari plak. Meskipun kemampuan tersebut lebih baik daripada sekedar
menilai stenosis koroner, hal ini dapat mengurangi akurasi diagnostik CT
angiografi bila dibandingkan dengan angiografi konvensional karena dapat
melebih-lebihkan keadaan suatu penyakit, terutama bila pembaca kurang
berpengalaman. Perbedaan hasil antara CT angiografi dan angiografi konvensional
biasanya dipengaruhi oleh variabilitas dari kualitas gambar, pengalaman pembaca
yg terbatas, variabilitas dari lokasi pengambilan potongan, dan resolusi spasial CT
angiografi yang kurang dibanding angiografi konvensional.

B. Saran

Penilaian total beban plak aterosklerosis (dengan kalsifikasi dan tanpa


kalsifikasi) pada arteri koroner, jumlah lesi dan lokasi, serta karakter dari plak,
dapat memberikan gambaran prognostik yang lebih baik dari sekadar pengukuran
lesi secara kuantitatif, dan hal selayaknya mendapat perhatian lebih. Pada tahun-
tahun mendatang, kita perlu mengembangkan penilaian yang terfokus pada lumen
stenosis ke penilaian yang komprehensif dari CAD dan dampaknya terhadap
pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kasper DL, et al. Harrisons principles of internal medicine. Volume II. 18th Ed. USA:
McGraw- Hill; 2011. P: 1983-1991, 1992-1997, 1998-2015.
2. Institute of Medicine. Promoting Cardiovascular Health in the Developing World:
A Critical Challenge to Achieve Global Health. 2010. Washington, DC: The
National Academic Press
3. Sidney C, Smith J. Reducing the Global Burden of Ischemic Heart Disease and
Stroke: A Challenge for Cardiovascular Community and the United Nations.
American Heart Association. 2011; 124: 278-79
4. Gaziano T, Bitton A, Anand S, et al. Gworing Epidemic of Coronary of Heart
Disease in low- and Middle-Income Countries. Curr Probl Cardiol. 2010; 35(2): 72-
115
5. Tardif J. Coronary Artery Disease in 2010. European Heart Journal Supplements.
2010; 12:C2-C10
6. Roger V, Go A, Jones D, et al. Heart Disease and Stroke-2012 Update: A Report
From the American Heart Association. Circulation. 2012; 125:2-220
7. Harian Analisa. 1999-2020, Penyakit Jantung Meningkat Lebih dari 100
Persen [internet]. 2013 [cited 2013 Apr 25]. Avalaible from :
http://www.analisadaily.com/mobile/pages/news/13429/19902020-
penyakitjantungmeningkat-lebih-dari-100-persen.
8. Jousilahti P, Vartiainen E, Tuomilehto J, Puska P. Sex, Age, Cardiovascular Risk
Factors, and Coronary Heart Disease. Journal of Circulation 1999; 99: 1165-1172
9. Lakatta EG. Age-associated Cardiovascular Changes in Health: Impact on
Cardiovascular Disease in Older Persons. Health Failure Review 2002; 7: 29-49
10. Staf Pengajar FK UI. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Ed ke 5. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2009. hal.1728-37.
11. G. Timothy Johnson, M.D. "Arteriograms, Venograms Are Angiogram
Territory". Chicago Tribune. 12 September 2011.
12. Hendel, R. C.; Berman, D. S.; Di Carli, M. F.; Heidenreich, P. A.; Henkin, R. E.;
Pellikka, P. A.; Pohost, G. M.; Williams, K. A.; American College of Cardiology
Foundation Appropriate Use Criteria Task Force; American Society of Nuclear
Cardiology; American College Of, R.; American Heart, A.; American Society of
Echocardiology; Society of Cardiovascular Computed Tomography; Society for
Cardiovascular Magnetic Resonance; Society Of Nuclear, M. (2009).
"ACCF/ASNC/ACR/AHA/ASE/SCCT/SCMR/SNM 2009 Appropriate Use
Criteria for Cardiac Radionuclide Imaging". Journal of the American College of
Cardiology 53(23): 22012229
13. Hurst, J. Willis; Fuster, Valentin; O'Rourke, Robert A. (2004). Hurst's The Heart.
New York: McGraw-Hill, Medical Publishing Division. pp. 48990.
14. Hendel, R. C.; Abbott, B. G.; Bateman, T. M.; Blankstein, R.; Calnon, D. A.;
Leppo, J. A.; Maddahi, J.; Schumaecker, M. M.; Shaw, L. J.; Ward, R. P.;
Wolinsky, D. G.; American Society of Nuclear Cardiology (2010). "The role of
radionuclide myocardial perfusion imaging for asymptomatic
individuals".Journal of Nuclear Cardiology 18 (1): 315.
15. Patel PR. Lecture Notes Radiology. 3rd edition. Oxford: Wiley-Blackwell; 2010.
16. Sutton D. Textbook of Radiology and Imaging. 7th edition. London: Elsevier
Science; 2003.
17. Web MD. Diagnosing Heart Disease with Cardiac Computed Tomography (CT)
[internet]. [cited 2014 Jul 21]. Available from: http://www.webmd.com/heart-
disease/guide/ct-heart-scan.
18. Chen MYM, Pope TL, Ott DJ. Basic Radiology. 2 nd edition. New York: McGraw
Hill; 2011.
19. Herring W. Learning Radiology: Recognizing the Basics. 2nd edition.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2007.
20. Sun Z, Choo GH, Ng KH. Coronary CT angiography: current status and
continuing challenges.The British Journal of Radiology 2012. 85: 495510.
21. Chow CK, Sheth T. What is the role of invasive versus non-invasive coronary
angiography in the investigation of patients suspected to have coronary heart
disease?. Internal Medicine Journal 2011. 41: 5-13.
22. Lazoura O, Vlychou M, Vassiou K, Rountas C, Ioannis F. 128-Detector-Row
Computed Tomography Coronary Angiography Evaluating Coronary Artery
Disease: Who Avoids Cardiac Catheterization?. Angiology 2010. 2(61): 174-178.
23. Rajani R, Brum RL, Preston R, Carr-White G, Berman DS. Coronary computed
tomography angiography for the evaluation of patients with acute chest pain. The
Int J Clin Pract 2011. 65(12): 1267-1273.
24. Yerramasu A, Venuraju S, Lahiri A. Evolving role of cardiac CT in the diagnosis
of coronary artery disease. Postgrad Med J 2011. 87:180-188.
25. Arbab-Zadeh A, Hoe J. Quantification of Coronary Arterial Stenoses by
Multidetector CT Angiographhy in Comparison With Conventional
Angiography. Journal of American College Cardiovascular Imaging.
2011;4(2):191-202

You might also like