Professional Documents
Culture Documents
Pembimbing :
dr. Damai Suri, Sp.An
Diajukan Oleh:
Irkhamyudhi Primasakti J510165074
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
LEMBAR PENGESAHAN
CASE REPORT
GENERAL ANESTESI PADA PASIEN PEREMPUAN 33 TAHUN DENGAN
MAMMAE ASSESORIA REGIO AXILLARIS DEXTRA
Diajukan Oleh :
Irkhamyudhi Primasakti J510165074
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari Kamis, 24 Agustus 2017
Pembimbing :
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)
Dipresentasikan di hadapan :
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : (1) anestesi lokal, yaitu suatu
tindakan menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai hilangnya kesadaran, dan (2)
anestesi umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang reversibel yang disebabkan oleh
zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh. Sebagian besar
operasi ( 70-75 %) dilakukan dengan anestesi umum, lainnya dengan anestesi lokal /
regional.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. E
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 33 tahun
Alamat : Wates, Karangmojo,Tasikmadu, Karanganyar
Diagnosis Pre Op : Mammae Acessoria/ Aberrans Dextra
Tindakan Op : Ekstirpasi
Tanggal Masuk : 22 Agustus 2017
Tanggal Operasi : 23 Agustus 2017
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Benjolan dibawah ketiak kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 2 tahun SMRS, pasien mengaku teraba benjolan di bawah
ketiak kanan sebesar telur puyuh, benjolan dapat digerakkan, tidak nyeri,
tidak kemerahan, dan tidak mengganggu.
C. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan Umum : Compos Mentis
Vital Sign :
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Frekuensi Nadi : 80 x/ menit
- Frekuensi Nafas : 22 x/ menit
- Suhu : 36,5 o C
Kepala
Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), nafas cuping hidung (-)
Leher
Retraksi suprasternal (-/-), deviasi trakea (-), JVP (-), pembesaran
kelenjar limfe (-/-)
Thoraks
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi : Redup
Auskultasi : Bunyi jantung I-II irama regular, bising
jantung (-)
Paru
Inspeksi : simetris, tidak ada ketinggalan gerak di paru,
dan tidak ditemukannya retraksi intercostae.
Palpasi : Fremitus sama depan dan belakang
Perkusi :
Depan Belakang
Sonor Sonor Sonor Sonor
Sonor Sonor Sonor Sonor
Sonor Sonor Sonor Sonor
Auskultasi :
Depan Belakang
Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan: Whezing (-/-) , ronkhi (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Bentuk abdomen sejajar dengan dada,tidak ada
darm contour, tidak ada darm steifung, ada luka bekas operasi
Auskultasi : Peristaltic usus (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas :
Clubbing finger tidak ditemukan
Tidak ditemukan edema.
Akral hangat
+ +
+ +
b. Status Lokalis
Regio Aksilaris dekstra
Inspeksi : ukuran 9 cm x 8 cm, sewarna kulit, kemerahan (-)
Palpasi : konsistensi kenyal, batas tegas, mobile, nyeri tekan (-)
2. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan Darah Rutin
Status Anestesi
Persiapan Anestesi
1. Persetujuan operasi tertulis
2. Puasa 8 jam pre operatif
3. Jenis anestesi : General Anestesia
4. Teknik Anestesi : TIVA (Total Intravenous Anesthesia)
5. Induksi : Propofol (recovol)
6. Obat yang diberikan : Granisitron, Fentanyl, Sidacum
7. Monitoring tanda vital selama anestesi setiap 5 menit, cairan,
perdarahan, ketenangan pasien dan tanda-tanda komplikasi anestesi.
8. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan.
Penatalaksanaan Anestesi
Jenis anestesi : General Anestesi (GA)
Premedikasi : Granisitron 3mg/3ml / 1 amp
Fentanyl 10 ml / 1amp
Sedacum 15mg/3ml
Fentanyl 1 amp
Medikasi : Propofol 10cc
O2 3 liter/menit
Teknik anestesi : * Pasien dalam posisi tidur terlentang
* Cek infuse pasien, mesin anestesi serta
sistem sirkuitnya dan gas anestesi yang
akan digunakan
* O2, N2O dan agent sudah disiapkan
(dibuka)
* Menyiapkan stetoskop, kanul oksigen
* Setelah obat premedikasi dan induksi
masuk, kita memastikan pasien sudah
dalam keadaan tidur
* Mengawasi pola napas pasien, bila
tampak tanda-tanda hipoventilasi berikan
napas bantuan intermiten secara sinkron
sesuai dengan irama napas pasien, pantau
denyut nadi dan tekanan darah
* Setelah operasi selesai, pelepasan
monitoring alat serta kanul oksigen
Respirasi : Spontan
Posisi : Tidur terlentang
Jumlah cairan yang : Tutofusin 500 ml
masuk
Perdarahan selama : 70 cc
operasi
Pemantauan selama anestesi :
Mulai anestesi : 10.20
Mulai operasi : 10.30
Selesai anestesi : 11.10
Selesai operasi : 10.50
Durasi Operasi : 20 Menit
1. Di Ruang Recovery
- Jam 11.00 : pasien dipindahkan ke recovery room dalam posisi telentang,
pasien dalam kondisi mengantuk, dilakukan monitoring tanda vital, infuse
RL, diberikan O2 3 liter per menit.
- Jam 11. 18 (dalam 15 menit pertama) : pasien dapat menggerakan 4
anggota gerak dengan perintah (2), bernafas dalam dan batuk (2), terdapat
perubahan 20-50% dari tekanan darah pre-operasi (1), kesadaran dapat
dibangunkan (1), warna kulit merah (2), total schore locharte 8 (>7 pasien
dapat keluar dari RR)
Tekanan darah : 120/80 mmHg; Nadi : 80x/menit, Suhu : 36 C
- Jam 11.30 : pasien dalam kondisi stabil baik, Keadaan umum sadar,
bernafas sempurna melalui nasal, dan vital sign dalam batas normal,
pasien dipindahkan ke Bangsal Kantil 1.
a. Rawat pasien posisi terlentang, kontrol vital sign. Bila tensi turun <100
mmHg, infus dipercepat. Bila muntah, berikan metoclopramide. Bila
kesakitan, berikan Ketorolac 1 ampul.
b. Lain-lain
Analgetik dan antibiotik sesuai dengan terapi bedah
Puasa sampai dengan flatus
Post operasi, cek Hb, bila < 10mg/dL dilakukan transfuse sampai
Hb10
Kontrol balance cairan
Monitor vital sign
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANESTESI UMUM
Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anestesi yang ideal
terdiri dari : (1) hipnotik (2) analgesia (3) relaksasi otot. Obat anestesi yang
masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar ke jaringan. Yang
pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan pembuluh darah
seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan
sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium
anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah
terjadinya kelebihan dosis. Tanda-tanda klinis anestesia umum (menggunakan zat
anestesi yang mudah menguap, terutama diethyleter):
Stadium I : analgesia dari mulainya induksi anestesi hingga hilangnya
kesadaran.
Stadium II : excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya
respirasi teratur, mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau
muntah.
Stadium III : dari mulai respirasi teratur hingga berhentinya respirasi.
Dibagi 4 plane:
Plane 1 : dari timbulnya pernafasan teratur hingga berhentinya
pergerakan bola mata.
Plane 2 : dari tidak adanya pergerakan bola mata hingga mulainya
paralisis interkostal.
Plane 3 : dari mulainya paralisis interkostal hingga total paralisis
interkostal.
Plane 4 : dari kelumpuhan interkostal hingga paralisis diafragma.
Stadium IV : overdosis, dari timbulnya paralysis diafragma hingga cardiac
arrest.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi
maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi,
maintenance, dan lain-lain.
1. Persiapan Pra Anestesi
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk
keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah:
Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.
Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):1
i. ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
ii. ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka
mortalitas 16%.
iii. ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
iv. ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi
organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.
v. ASA V :Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi
hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa
operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda
darurat .1
2. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain :1
memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
memberikan analgesia, misal : pethidin
mencegah muntah, misal : droperidol
memperlancar induksi, misal : pethidin
mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan
hiosin
3. Obat-obatan Premedikasi
a. Sulfas Atropin
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna untuk
mengurangi sekresi lendir dan menurunkan efek bronchial dan kardial
yang berasal dari perangsangan parasimpatis akibat obat anestesi atau
tindakan operasi. Efek lainnya yaitu melemaskan otot polos, mendepresi
vagal reflek, menurunkan spasme gastrointestinal, dan mengurangi rasa
mual serta muntah. Obat ini juga menimbulkan rasa kering di mulut serta
penglihatan kabur, maka lebih baik tidak diberikan pra anestesi lokal
maupun regional. Dalam dosis toksik dapat menyebabkan gelisah,
delirium, halusinasi, dan kebingungan pada pasien. Tetapi hal ini dapat
diatasi dengan pemberian prostigmin 1 2 mg intravena.
Sediaan : dalam bentuk sulfat atropin dalam ampul 0,25 dan 0,5 mg.
Dosis : 0,01 mg/ kgBB.
Pemberian : SC, IM, IV
b. Pethidin
Pethidin merupakan narkotik yang sering digunakan untuk
premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan
induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia pra
dan pasca bedah, memudahkan melakukan pemberian pernafasan buatan ,
dan dapat diantagonis dengan naloxon.
Pethidin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat
menyebabkan hipotensi orthostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila
digunakan pada pasien dengan hipovolemia. Juga dapat menyebabkan
depresi pusat pernapasan di medula yang dapat ditunjukkan dengan respon
turunnya CO2. mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi narkotik
pada pusat muntah di medula. Posisi tidur dapat mengurangi efek tersebut.
Sediaan : dalam ampul 100 mg/ 2cc.
Dosis : 1 mg/ kgBB.
Pemberian : IV, IM
4. Induksi
a. Persiapan induksi
Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita mempersiapkan STATICS :
a. S : Scope (stetoskop, laringoskop)
Stetoskop : untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringoskop : untuk membuka mulut dan membuat area mulut lebih
luas serta melihat daerah faring dan laring, mengidentifikasi epiglotis,
pita suara dan trakea.
Ada dua jenis laringoskop, yaitu:
Blade lengkung (Miller, Magill). Biasa digunakan pada
laringoskopi dewasa.
Blade lurus.
b. T : Tube (pipa endotraceal, LMA)
- Pipa Endotrakeal
Endotracheal tube mengantarkan gas anastetik langsung ke
dalam trakea.
- Laringeal mask airway (LMA)
Indikasi pemasangan LMA ialah sebagai alternatif dari ventilasi
face mask atau intubasi ET. Kontraindikasi pemasangan LMA
pada pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung dan pasien-
pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka
waktu lama. LMA terdiri dari 2 macam : :
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas.
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar
dan lainnya pipa tambahanyang ujung distalnya berhubungan
dengan esofagus
c. A : Airway device (sarana aliran udara, misal sungkup muka, pipa
oropharing)
- Alat bantu jalan napas orofaring (oropharyngeal airway)
Alat bantu jalan napas orofaring menahan pangkal lidah dari
dinding belakang faring. Alat ini berguna pada pasien yang masih
bernapas spontan, alat ini juga membantu saat dilakukan pengisapan
lendir dan mencegah pasien mengigit pipa endotrakheal (ETT)
d. T : Tape (plaster)
Plester untuk memfiksasi pipa trakea setelah tindakan intubasi supaya
tidak terlepas
e. I : Introducer (stilet/ forceps Magill)
Stilet (mandren) digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa
endotrakeal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forseps intubasi (Mc
gill) digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakeal nasal atau pipa
nasogastrik melalui orofaring.
f. C : Connection
Connection ialah hubungan antara mesin respirasi/anestesi dengan
sungkup muka, serta penghubung-penghubung yang lain,
g. S : Suction
Digunakan untuk membersihkan jalan napas dengan cara menyedot
lendir, ludah, dan lain-lainnya.
b. Cara memberikan anestesi
Pemberian anestesi dimulai dengan induksi yaitu memberikan obat
sehingga penderita tidur. Tergantung lama operasinya, untuk operasi yang
waktunya pendek mungkin cukup dengan induksi saja. Tetapi untuk
operasi yang lama, kedalaman anestesi perlu dipertahankan dengan
memberikan obat terus menerus dengan dosis tertentu, hal ini disebut
maintenance atau pemeliharaan.
Kedaaan ini dapat diatasi dengan cara mendalamkan anestesi. Pada
operasi-operasi yang memerlukan relaksasi otot, bila relaksasinya kurang
maka ahli bedah akan mengeluh karena tidak bisa bekerja dengan baik,
untuk operasi yang membuka abdomen maka usus akan bergerak dan
menyembul keluar, operasi yang memerlukan penarikan otot juga sukar
dilakukan. Keadaan relaksasi bisa terjadi pada anestesi yang dalam,
sehingga bila kurang relaksasi salah satu usaha untuk membuat lebih
relaksasi adalah dengan mendalamkan anestesi, yaitu dengan cara
menambah dosis obat.
Pada umumnya keadaan relaksasi dapat tercapai setelah dosis obat
anestesi yang diberikan sedemikian tinggi, sehingga menimbulkan
gangguan pada organ vital. Dengan demikian keadaan ini akan
mengancam jiwa penderita, lebih-lebih pada penderita yang sensitif atau
memang sudah ada gangguan pada organ vital sebelumnya. Untuk
mengatasi hal ini maka ada tehnik tertentu agar tercapai trias anestesi
pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur dengan obat
hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik kuat, relaksasinya
menggunakan pelemas otot (muscle relaxant) tehnik ini disebut balance
anestesi.
Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant, maka
otot mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami
kelumpuhan, termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak dapat bernafas.
Karena itu harus dilakukan nafas buatan (dipompa), tanpa dilakukan nafas
buatan, penderita akan mengalami kematian, karena hipoksia. Jadi nafas
penderita sepenuhnya tergantung dari pengendalian pelaksana anestesi,
karena itu balance anestesi juga disebut dengan tehnik respirasi kendali
atau control respiration.
Untuk mempermudah respirasi kendali penderita harus dalam
keadaan terintubasi. Dengan menggunakan balance anestesi maka ada
beberapa keuntungan antara lain :
-
Dosis obatnya minimal, sehingga gangguan pada organ vital dapat
dikurangi. Polusi kamar operasi yang ditimbulkan obat anestesi
inhalasi dapat dikurangi. Selesai operasi penderita cepat bangun
sehingga mengurangi resiko yang ditimbulkan oleh penderita yang
tidak sadar.
-
Dengan dapat diaturnya pernafasan maka dengan mudah kita bisa
melakukan hiperventilasi, untuk menurunkan kadar CO2 dalam darah
sampai pada titik tertentu misalnya pada operasi otak. Dengan
hiperventilasi kita juga dapat menurunkan tekanan darah untuk operasi
yang memerlukan tehnik hipotensi kendali.
-
Karena pernafasan bisa dilumpuhkan secara total maka mempermudah
tindakan operasi pada rongga dada (thoracotomy) tanpa terganggu oleh
gerakan pernafasan. Kita juga dapat mengembangkan dan
mengempiskan paru dengan sekehendak kita tergantung keperluan.
Dengan demikian berdasar respirasinya, anestesi umum dibedakan
dalam 3 macam yaitu:
-
Respirasi spontan yaitu penderita bernafas sendiri secara spontan.
-
Respirasi kendali/respirasi terkontrol /balance anestesi : pernafasan
penderita sepenuhnya tergantung bantuan kita.
-
Assisted Respirasi : penderita bernafas spontan tetapi masih kita
berikan sedikit bantuan. Bila obat anestesi seluruhnya menggunakan
obat intravena, maka disebut anestesi intravena total (total intravenous
anesthesia/TIVA). Bila induksi dan maintenance anestesi
menggunakan obat inhalasi maka disebut VIMA (Volatile Inhalation
and Maintenance Anesthesia)1
5. Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida /Gas Gelak (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif,
tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan
tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai
sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi
dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak
mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen
dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP
menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa
pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam
ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian
oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan
oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi
N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.
b. Ethrane ( Enflurane)
Merupakan anestesi yang poten. Dapat mendepresi SSP menimbulkan
efek hipnotik. Pada kontrasepsi inspirasi 3 3,5 % dapat menimbulkan
perubahan EEG yaitu epileptiform, karena itu sebaiknya tidak digunakan
pada pasien epilepsi. Dan dapat meningkatkan aliran darah ke otak. Pada
anestesi yang dalam dapat menurunkan tekanan darah disebabkan depresi
pada myokardium. Aritmia jarang terjadi dan penggunaan adrenalin untuk
infiltrasi relatif aman. Pada sistem pernafasan, mendepresi ventilasi
pulmoner dengan menurunkan volume tidal dan mungkin pula
meningkatkan laju nafas. Tidak menyebabkan hipersekresi dari bronkus.
Pada otot, Ethrane menimbulkan efek relaksasi yang moderat.
Menyebabkan peningkatan aktivitas obat pelumpuh otot non depolarisasi.
Penggunaan Ethrane pada operasi sectio cesaria cukup aman pada
konsentrasi rendah (0,5 - 0,8 vol %) tanpa menimbulkan depresi pada
fetus. Berhati-hati pada penggunaan konsentrasi tinggi karena dapat
menimbulkan relaksasi otot uterus.(1)
Untuk induksi, Ethrane 2 4 vol % dikombinasikan O 2 atau campuran
N2O-O2, sedangkan untuk mempertahankan anestesi diperlukan 0,5 3 %.
Keuntungan dari Ethrane adalah harum, induksi dan pemulihan yang
cepat, tidak ada iritasi, sebagai bronkodilator, relaksasi otot baik, dapat
mempertahankan stabilitas dari sistem kardiovaskuler serta bersifat non
emetik. Sedangkan kerugiannya bersifat myocardial depresan, iritasi pada
CNS, ada kemungkinan kerusakan hati. Sebaiknya dihindari pemberiannya
pada pasien dengan keparahan ginjal.(5)
6. Obat Pelumpuh Otot
a. Suksametonium (Succynil choline).
Terutama digunakan untuk mempermudah/ fasilitas intubasi trakea
karena mula kerja cepat (1-2 menit) dan lama kerja yang singkat (3 5
menit). Juga dapat dipakai untuk memelihara relaksasi otot dengan cara
pemberian kontinyu per infus atau suntikan intermitten. Dosis untuk
intubasi 1-2 mg/kgBB/I.V.
Komplikasi dan efek samping dari obat ini adalah (1) bradikardi,
bradiaritma dan asistole pada pemberian berulang atau terlalu cepat serta
pada anak-anak; (2) takikardi dan takiaritmia; (3) lama kerja memanjang
terutama bila kadar kolinesterase plasma berkurang; (4) peningkatan
tekanan intra okuler; (5) hiperkalemi; (6) dan nyeri otot fasikulasi.
Obat ini tersedia dalam flacon berisi bubuk 100 mg dan 500 mg.
Pengenceran dengan garam fisiologis / aquabidest steril 5 atau 25 ml
sehingga membentuk larutan 2 %. Cara pemberian I.V/I.M/ intra lingual/
intra bukal.(1)
7. Intubasi Endotrakeal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga
jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea
bertujuan untuk :
Mempermudah pemberian anestesi.
Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
Pemakaian ventilasi yang lama.
Mengatasi obstruksi laring akut.
8. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus
mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan
perioperatif bertujuan untuk :
Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi.
Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti
pada ileus obstriktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan
cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap
kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang= 6 ml / kgBB/jam
Berat = 8 ml / kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang
dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak
3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka
dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis
1-2 kali darah yang hilang.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
9. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room
yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar
merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca
operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena
operasi atau pengaruh anestesinya.
B. ILLEUS OBSTRUKSI
1. Definisi
BAB IV
PEMBAHASAN
Apabila total Aldrete score > 7 pasien sudah dapat dipindah ke bangsal. Pada
saat malam hari post operasi.
Sistem Pernapasan
Respiratory Rate : 20 x/mnt
Sistem Sirkulasi
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/mnt
Sistem Saraf Pusat
GCS : E4V5M6
Sistem Perkemihan
Dalam batas normal
Sistem Pencernaan
Bising usus : 5x/mnt
Sistem Muskuloskeletal
Dalam batas normal
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tn. DW, usia 37 tahun, berat badan 60 kg. Pasien pada kasus ini di diagnosis
dengan mammae acessoria/abberans dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari
anamnesis didapatkan pasien berencana operasi pengambilan benjolan yang sudah
ada 2 tahun. Untuk rencana penatalaksanaan pasien ini dengan operatif, teknik
operatif laparotomi dengan anestesi general.
Kebutuhan cairan selama operasi yaitu jumlah dari maintanance dan stress
operasi (120 + 240 = 360 cc) untuk 1 jam pertama karena pasien hanya
memerlukan 20 menit untuk operasi jadi hanya memerlukan cairan 120 cc,
sedangkan cairan yang sudah diberikan saat operasi adalah 500 cc, sehingga
balance cairannya adalah +380cc. Selama proses operasi tidak terjadi masalah
gejolak hemodinamik.
Di ruang pemulihan (recovery room), vital sign pasien dalam batas normal
dan nilai aldrette score mencapai 9 sehingga pasien selanjutnya bisa dipindahkan
ke bangsal.
DAFTAR PUSTAKA
dr. Gde Mangku, Sp.An. KIC, dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, Sp.An., Editors;
Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks Jakarta. 2010.
Latief SA., Suryadi KA., Dachlan MR., Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: FK
UI. 2009; 2: 29-96
Pecci M., Kreher JB., Clavicle fracture. (Cited) January, 1st 2008. Available from
URL: http://www.aafp.org/afp/2008/0101/p.65.html
Rubino LJ., Clavicle Fracture. (Cited) March, 7th 2012. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1260953-overview#a0199.
Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta,
2005
Yerra L, Karunad AB, Votaw ML: Primary breast cancer in aberrant breast tissue in
the axilla. South Med J, 90: 661-662, 1997.
Lesavoy M, Gomez-Garcia A, Nejdl R, Yospur G, Syiau T-J, Chang P. Axillary breast
tissue: clinical presentation and surgical breast treatment. Ann Plast Surg 1995;
35: 356360.