Professional Documents
Culture Documents
Pembimbing :
dr. Listyo Asist P, M.Sc, Sp. S
dr. Edy Rahardjo, Sp. S
Diajukan Oleh :
Rosyid Prasetyo, S.Ked
J510170015
Oleh :
Pembimbing :
A. Identitas pasien
Nama : Ny.P
Umur : 64 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : -
No RM : 408840
B. Alloanamnesis
Keluhan utama :
- Sulit berbicara
Keluhan Tambahan
1. Status Neurologis
o Kesadaran : Compos Mentis
o Kuantitatif : GCS (E4V2M6)
o Kualitatif :
- Cara berpikir : normal
- Perasaan hati : normal
- Orientasi : normal (tempat,waktu,orang sekitar)
- Tingkah laku : normal
- Daya ingat : normal
2. Kepala :
- Bentuk : normochepal
- Ukuran : normal
- Simetris : (+)
3. Leher :
- Sikap : normal
- Gerakan : terbatas
- Kaku kuduk : (-)
- Nyeri tekan : (-)
- Bentuk vertebra : normal
- Tes brudzinki : (-)
- Tes nafziger : (-)
- Tes valsava : (-)
4. Saraf Otak :
- N. 1 (olfaktorius)
Kanan Kiri
Daya Pembau Normal Normal
- N. II (optikus)
Kanan Kiri
Daya penglihatan Normal Normal
Pengenalan warna Normal Normal
Medan penglihatan Normal Normal
Papil Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Arteri/vena Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Perdarahan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- N. III (okulomotorius)
Kanan Kiri
Ptosis - -
Gerakan mata(ke Normal Normal
atas, medial, bawah
Ukuran pupil 3mm 3mm
Bentuk pupil Isokor Isokor
Reflek cahaya + +
langsung
Reflek cahaya tidak + +
langsung
Stabismus divergen - -
Diplopia - -
- N. IV (trokhlearis)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral Normal Normal
bawah
Stabismus konvergen - -
Diplopia - -
- N. V (trigeminus)
Kanan Kiri
Mengigit Normal Normal
Membuka mulut Normal Normal
Sensibilitas muka Normal Normal
Reflek kornea + +
Reflek bersin + +
Reflek maseter Normal Normal
- N.VI (abducens)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral Normal Normal
Strabismus konvergen - -
Diplopia - -
- N.VII (facialis)
Kanan Kiri
Kerutan kulit dahi Normal Normal
Kedipan mata Normal Normal
Lipatan naso-labial Normal Normal
Sudut mulut Normal Normal
Mengerutkan dahi Normal Normal
Mengerutkan alis Normal Normal
Menutup mata Normal Normal
Meringis Normal Normal
Mengembungkan pipi Normal Normal
Tik fasial - -
Lakrimasi - -
Daya kecap lidah 2/3 Normal Normal
depan
Bersiul S.D.E S.D.E
- N. VIII (akustikus)
Kanan Kiri
Mendengar suara berisik Normal Normal
Mendengar suara detik Normal
Normal
arloji
Tes weber Normal Normal
- N. IX (glossofaringeus)
Kanan Kiri
Arkus faring - -
Daya kecap lidah 2/3 + +
depan
Reflek muntah + +
Sengau - -
Tersedak - -
- N. X (vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Uvula di tengah Uvula di tengah
Nadi + kuat + kuat
Bersuara + +
Gangguan menelan - -
- N. XI (aksesorius)
Kanan Kiri
Memalingkan kepala Normal Normal
Sikap bahu Normal Normal
Mengangkat bahu + +
Trofi otot bahu Eutrofi Eutrofi
- N. XII (hipoglossus)
Kanan Kiri
Sikap lidah Normal Normal
Artikulasi Tidak Jelas Tidak Jelas
Tremor lidah + +
Menjulurkan lidah Normal Normal
Kekuatan lidah Normal Normal
Trofi otot lidah Normal Normal
5. Meningeal sign
Kaku kuduk (-)
Brudzinski I (-)
Brudzinski II (-)
Brudzinski III (-)
Brudzinski IV (-)
Tanda kernig (-)
6. Badan
Interpretasi
Trofi otot punggung Normal
Nyeri membungkukan badan -
Kolumna vertebralis Normal
Trofi otot dada Eutrofi
Palpasi dinding perut supel, distensi (-), nyeri tekan (-)
Gerakan Terbatas
Reflek dinding perut Normal
- Lengan bawah
Kanan Kiri
Gerakan Bebas Terbatas Bebas Terbatas
Kekuatan otot 3 3
Tonus + +
Trofi Eutrofi Eutrofi
- Tangan
Kanan Kiri
Gerakan Bebas Terbatas Bebas Terbatas
Kekuatan otot 3 3
Tonus + +
Trofi Eutrofi Eutrofi
- Sensibiltas
Lengan Lenga Lengan Lengan Tanga Tanga
atas n atas bawah bawah n n kiri
kanan kiri kanan kiri kanan
Nyeri + + + + + +
Termis + + + + + +
Taktitl + + + + + +
diskrimin + + + + + +
asi
Posisi + + + + + +
Vibrasi + + + + + +
Biceps Triceps
Reflek fisiologi +/+ +/+
Perluasan reflek -/- -/-
Reflek silang -/- -/-
Reflek patologis -/- -/-
- Tungkai bawah:
Kanan Kiri
Gerakan Bebas Terbatas Bebas Terbatas
Kekuatan 3 3
Tonus Normal Normal
Trofi Eutrofi Eutrofi
- Kaki
Kanan Kiri
Gerakan Bebas Terbatas Bebas Terbatas
Kekuatan 3 3
Tonus Normal Normal
Trofi Eutrofi Eutrofi
- Sensibilitas
Tungka Tungkai Tungka Tungkai Kaki Kaki
i atas atas kiri i bawah bawah kiri kanan kiri
kanan kanan
Nyeri + + + + + +
Termis + + + + + +
taktil + + + + + +
diskrimina + + + + + +
si
Posisi + + + + + +
Vibrasi + + + + + +
Patella Achilles
Reflek fisiologi +/+ +/+
Perluasan reflek -/- -/-
Reflek silang -/- -/-
Kanan Kiri
Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffaer - -
Rossolimo - -
Mendel bachterew - -
Tes kernig - -
Tes oconnel - -
Laseque - -
Tes Patrick - -
Tes kontra Patrick - -
Tes gaenselen - -
Klonus paha - -
Klonus kaki - -
9. Koordinasi, langkah dan keseimbangan :
- Cara berjalan : S.D.E
- Tes romberg : tidak dilakukan
- Ataksia :+
- Dismetri :-
- Nistagmus :-
- Gerakan abnormal : (-)
10. Fungsi vegetatif :
a. Miksi : inkontinensia (-), retensi urin (-),
b. Defekasi : inkontinensia (-), retensio alvi (-)
D. Pemeriksaan Khusus Stroke
(2) Semi
koma/koma
(0) Tidak
2 Muntah X2 0
(1) Ya
(0) Tidak
3 Nyeri Kepala X2 0
(1) Ya
4 Tekanan darah Diastolik X 10% 7
Ateroma
a. DM
(0) Tidak
5 X (-3) 0
b. Angina pectoris (1) Ya
c. Klaudikasio
terminten
6 Konstante -12 -5
HASIL SSS
Skor Gadjah Mada dapat digunakan sebagai diagnosis pengganti dalam menentukan
jenis patologi stroke dengan parameter penurunan kesadaran, nyeri kepala, dan
refleks babinski. Pada pasien ini tidak didapatkan penurunan kesadaran sehingga
menurut Algoritma Skor Gadjah Mada pada pasien ini didiagnosis stroke non
perdarahan.
E. Pemeriksaan Laboratorium
Darah Rutin Nilai Nilai normal satuan
Hb 15,5 12.00 16.00 g/dL
Ht 45,7 37 47 Vol%
Leukosit 8,31 5,0 10,0 10^3/uL
Trombosit 178 150 300 mm3
Eritrosit 5,45 4,50 5,50 10^6/uL
MCV 83,7 82 92 fL
MCH 28,4 27 31 Pg
MCHC 33,9 32-37 g/dL
MPV 9,7 6,5-12,0 fL
Ureum 42,0 10,0 50,0 Mg/dl
Creatinin 1,26 0,8 1,1 Mg/100ml
GDS 138 70-150 Mg/100ml
F. Resume Pemeriksaan
- KU : cukup
- Kesadaran : compos mentis GCS : E4V2M6
- Nn. Cranialis
G. Diagnosis Banding
Afasia motorik
Stroke non hemorrage
Hipertensi
H. Diagnosis
Diagnosis klinis :
Sulit berbicara
I. Terapi
Medikamentosa :
o Infuse RL 20 tpm
Non medikamentosa :
o Fisioterapi
o Terapi Bicara
J. Prognosis
Death : ad bonam
Disease : dubia ad bonam
Disability : dubia ad bonam
Discomfort : dubia ad bonam
Dissatisfication : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
STROKE INFARK
A. Definisi
Dapat terjadi karena emboli yang lepas dari sumbernya, biasanya berasal dari
jantung atau pembuluh arteri otak baik intrakranial maupun ekstrakranial atau
trombolitik/arteriosklerotik fokal pada pembuluh arteri otak yang berangsur-angsur
menyempit dan akhirnya tersumbat.
B. Klasifikasi Stroke Infark Berdasarkan Penyebabnya
Stroke Trombosis
Stroke trombotik pembuluh darah besar dengan aliran lambat biasanya terjadi
saat tidur, saat pasien relatif mengalami dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun.
Stroke ini sering berkaitan dengan lesi aterosklerotik yang menyebabkan
penyempitan atau stenosis di arteria karotis interna atau, yang lebih jarang di
pangkal arteria serebri media atau di taut ateria vertebralis dan basilaris. Stroke
trombotik dapat dari sudut pandang klinis tampak gagap dengan gejala hilang
timbul bergantiganti secara cepat. Mekanisme pelannya aliran darah parsial
adalah defisit perfusi yang dapat terjadi pada reduksi mendadak curah jantung atau
tekanan darah sistemik. Agar dapat melewati lesi stenotik intra-arteri, aliran darah
yang mungkin bergantung pada tekanan intravaskular yang tinggi. Penurunan
mendadak tekanan darah tersebut dapat menyebabkan penurunan generalisata
CBF, iskemia otak, dan stroke.
Stroke embolik
Stroke embolik erjadi akibat embolus biasanya menimbulkan defisit
neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit. Embolus
berasal dari bahan trombotik yang terbentuk di dinding rongga jantung atau katup
mitralis. Karena biasanya adalah bekuan kecil, fragmenfragmen dari jantung
mencapai otak melalui arteria karotis atau vertebralis. Dengan demikian, gejala
klinis yang ditimbulkannya tergantung pada bagian mana sirkulasi yang tersumbat
dan seberapa dalam bekuan berjalan di percabangan arteri sebelum tersangkut.
Embolisme dapat terurai dan terus mengalir sepanjang pembuluh darah sehingga
gejalagejala mereda. Namun, fragmenfragmen tersebut kemudian tersangkut di
sebelah hilir dan menimbulkan gejalagejala fokal. Pasien dengan stroke
kardioembolik memiliki risiko yang lebih besar terkena stroke hemoragik, karena
terjadi perdarahan petekie atau bahkan perdarahan besar di jaringan yang
mengalami infark beberapa jam atau mungkin hari setelah emboli pertama.
Perdarahan tersebut disebabkan karena struktur dinding arteri sebelah distal dari
okulasi embolus melemah atau rapuh karena perfusi. Dengan demikian, pemulihan
tekanan perfusi dapat menyebabkan perdarahan arteriol atau kapiler di pembuluh
tersebut. Stroke kriptogenik adalah stroke iskemik akibat sumbatan mendadak
pembuluh intrakranium besar tetapi tanpa penyebab yang jelas.
C. Etiologi Stroke Iskemik
Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering disebabkan
oleh emboli ekstrakranial atau trombosis intrakranial. Selain itu, stroke non
hemoragik juga dapat diakibatkan oleh penurunan aliran serebral. Pada tingkatan
seluler, setiap proses yang mengganggu aliran darah menuju ke otak akan
menyebabkan timbulnya kaskade iskemik yang berujung pada terjadinya kematian
neuron dan infark serebri.
Emboli
Sumber embolisasi dapat terletak di arteri karotis atau vertebralis akan tetapi dapat
juga di jantung dan sistem vaskuler sistemik.
1. Embolus yang dilepaskan oleh arteri karotis atau vertebralis, dapat berasal
dari plaque atherosclerotic yang berulserasi atau dari trombus yang
melekat pada intima arteri akibat trauma tumpul pada daerah leher.
2. Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada :
Penyakit jantung dengan shunt yang menghubungkan bagian kanan
dengan bagian kiri atrium atau ventrikel
Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang meninggalkan
gangguan pada katup mitralis
Fibrilasi atrium
Infarksio kordis akut
Embolus yang berasal dari vena pulmonalis
Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endokardial, jantung
miksomatosus sistemik
1. Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai :
Emboli septik, misalnya dari abses paru atau bronkiektasis
Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru
Embolisasi lemak dan udara atau gas
Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right sided
circulation (emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli kardiogenik adalah
trombi valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup buatan, trombi
mural (seperti infark miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal jantung
kongestif) dan atrial miksoma. Sebanyak 2-3% stroke emboli diakibatkan oleh
infark miokard dan 85% diantaranya terjadi pada bulan pertama setelah terjadinya
infark miokard.
Trombosis
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar
(termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus
Willisi dan sirkulus posterior). Tempat terjadinya trombosis yang paling sering
adalah titik percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri
karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi
aliran darah (sehingga meningkatkan resiko pembentukan trombus aterosklerosis
atau ulserasi plak, dan perlengketan platelet.
Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisitemia, anemia sickle cell,
defisiensi protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan
vasokonstriksi yang berkepanjangan akibat gangguan migren. Setiap proses yang
menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan terjadinya stroke
trombotik (contoh: trauma, diseksi aorta torasik, arteritis).4-7
D. Manifestasi Klinis Stroke
Gejala defisit neurologik yang timbul tergantung pada daerah pembuluh darah
yang terkena. Terdapat beberapa sindroma sesuai dengan arteri yang terkena.
Ada suatu penilaian sederhana yang dikenal dengan singkatan FAST (Face, Arms
drive, Speech, dan Three of signs) yang merupakan gejala awal stroke yang harus
diwaspadai.
F = Face (wajah)
Wajah tampak mencong sebelah atau tidak simetris. Sebelah sudut mulut tertarik
ke bawah dan lekukan antara hidung ke sudut mulut atas tampak mendatar.
A = Arms Drive (gerakan lengan)
Angkat tangan lurus sejajar kedepan (90 derajat) dengan telapak tangan terbuka ke
atas selama 30 detik. Apabila terdapat kelumpuhan lengan yang ringan dan tidak
disadari penderita, maka lengan yang lumpuh tersebut akan turun (menjadi tidak
sejajar lagi). Pada kelumpuhan yang berat, lengan yang lumpuh tersebut sudah
tidak bisa diangkat lagi bahkan sampai tidak bisa digerakkan sama sekali.
S = Speech (bicara)
Bicara menjadi pelo (artikulasi terganggu) atau tidak dapat berkata-kata (gagu)
atau dapat bicara akan tetapi tidak mengerti pertanyaan orang lain sehingga
komunikasi verbal tidak nyambung.
T = Three of signs (ketiga tanda diatas)
Ada ketiga-tiga gejala yaitu perubahan wajah, kelumpuhan, dan bicara.
AFASIA
A. Definisi
Afasia adalah gangguan komunikasi yang disebabkan oleh kerusakan pada
bagian otak yang mengandung bahasa (biasanya di hemisfer serebri kiri otak).
Individu yang mengalami kerusakan pada sisi kanan hemisfer serebri kanan otak
mungkin memiliki kesulitan tambahan di luar masalah bicara dan bahasa. Afasia
dapat menyebabkan kesulitan dalam berbicara, mendengarkan, membaca, dan
menulis, tetapi tidak mempengaruhi kecerdasan. Individu dengan afasia mungkin
juga memiliki masalah lain, seperti disartria, apraxia, dan masalah menelan.
B. Area
Terdapat 3 area utama pusat bahasa yaitu, area Broca, area Wernicke dan area
konduksi:
Area Broca yang merupakan area motorik untuk berbicara. Area Broca
terletak di posterior gyrus frontal. Secara neuroanatomi, daerah ini
digambarkan sebagai daerah Brodman 44 dan 45.
Area Wernicke dimana pusat pemprosesan kata kata yang diucapkan
terletak di posterior gyrus temporal superior. Secara neuroanatomi, daerah
ini digambarkan sebagai daerah Brodmann 22.
Area konduksi terdiri daripada fasikulus arkuata yang merupakan satu
bundel saraf yang melengkung dan menguhubungkan antara area Broca
dan area Wernicke. Kerusakan fasikulus arkuata menyebabkan: timbul
defisit unutk mengulang kata kata.
Area Exner terletak tepat di atas area Broca dan anterior area kontrol motor
primer. Ini adalah area untuk menulis, berhampiran dengan lokasi gerakan
6 tangan. Kerusakan area Exner akan mengakibatkan agraphia. Dikenali
sebagai daerah Brodmann 6 secara neuroanatomi.
Area membaca terletak di bagian media lobus oksipital kiri dan di
splenium corpus callosum. Ini adalah pusat untuk membaca. Ia menerima
impuls dari mata dan mengirimkan impuls tersebut ke daerah asosiasi
untuk dianalisa dengan, kemudian ihantar ke fasikulus arkuata. Lesi pada
area ini menyebabkan kebutaan kata murni. Daerah ini neuroanatomi
digambarkan sebagai daerah Brodmann 17.
C. Jenis
Global Afasia adalah afasia yang melibatkan semua aspek bahasa dan
mengganggu komunikasi lisan. Penderita tidak dapat berbicara secara spontan atau
melakukannya dengan susah payah, menghasilkan tidak lebih dari fragmen
perkataan. Pemahaman ucapan biasanya tidak ada; atau hanya bisa mengenali
beberapa kata, termasuk nama mereka sendiri dan kemampuan untuk mengulang
perkataan yang sama adalah nyata terganggu. Penderita mengalami kesulitan
menamakan benda, membaca, menulis, dan menyalin kata kata. Bahasa
otomatisme (pengulangan omong kosong) adalah karakteristik utama. Distribusi
lesi terletak di seluruh arteri serebri, termasuk area Wernicke dan Broca.
Brocas afasia (juga disebut anterior, motorik, atau afasia ekspresif) ditandai
dengan tidak adanya gangguan spontan berbicara, sedangkan pemahaman hanya
sedikit terganggu. Pasien dapat berbicara dengan susah payah, memproduksi kata
kata yang goyah dan tidak lancar. Penamaan, pengulangan, membaca dengan suara
keras, dan menulis juga terganggu. Daerah lesi adalah di area Broca;
mungkindisebabkan infark dalam distribusi arteri prerolandic (arteri dari sulkus
prasentralis).
Afasia Wernicke (juga disebut posterior, sensorik, atau reseptif aphasia)
ditandaidengan penurunan pemahaman yang kronik. Bicara tetap lancar dan
normal mondar-mandir, tetapi kata kata penderita tidak bisa dimengerti (kata salad,
jargon aphasia). Penamaan, pengulangan kata-kata yang di dengar, membaca, dan
menulis juga nyata terganggu. Area lesi ialah Area Wernicke (area 22). Mungkin
disebabkan oleh infark dalam distribusi arteri temporalis posterior.
Afasia transkortikal. Kata-kata yang didengar penderita dapat diulang, tapi
fungsi linguistik lainnya terganggu: tidak bisa bicara secara spontan untuk
penderita transkortikal motor afasia (sindrom mirip dengan Broca afasia), tidak
mempunyai pemahaman bahasa bagi penderita transkortikal afasia sensorik
(sindrom mirip dengan Wernicke afasia). Area lesi transkortikol motorik terletak di
kiri lobus frontal berbatasan dengan area Broca manakala lesi transkortikol
sensorik terletak di temporo-oksipital berhampiran Area Wernicke.
Amnestik (anomik) afasia. Jenis afasia yang ditandai dengan gangguan
penamaan dan mencari perkataan. Bicara masih spontan dan fasih tapi sulit untuk
menemukan kata dan mencipta ayat. Kemampuan untuk mengulang, memahami,
dan menulis kata-kata pada dasarnya normal. Daerah lesinya di korteks
temporoparietal atau di substansia nigra.
Afasia konduksi. Pengulangan sangat terganggu; fasih, bicara spontan
terganggu oleh jeda untuk mencari kata-kata. Pemahaman bahasahanya sedikit
terganggu. Daerah lesi ialah fasikulus arkuata.
Afasia subkortikal. Jenis aphasia yang mirip dengan yang dijelaskan dapat
diproduksi oleh subkortikallesi pada berbagai situs (thalamus, kapsul internal
striatum anterior).
D. Gejala klinis
Afasia Broca
Bicara tidak lancar
Tampak sulit memulai bicara
Kalimatnya pendek
Repetisi buruk
Kemampuan menamai buruk (anomia)
Pemahaman lumayan
Gramatika bahasa kurang, tidak kompleks
Afasia wernicke
Bicara lancar
Panjang kalimat normal
Repetisi buruk
Kemampuan menamai buruk (anomia)
Komprehensi auditif dan membaca buruk
Afasia konduksi
Bicara lancar
Pemahaman bagus
Gangguan berat pada repetisi
E. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan kelancaran berbicara. Seseorang disebut berbicara , lancar bila
bicara spontannya lancar, tanpa tertegun-tegun untuk mencari Kata yang
diinginkan. Kelancaran berbicara verbal merupakan refleksi dari efisiensi
menemukan kata. Bila kemampuan ini diperiksa secara khusus ilnpat dideteksi
masalah berbahasa yang ringan pada lesi otak yang ringan iiImii pada demensia
dini. Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes knlnncaran, menemukan kata
yaitu jumlah kata tertentu yang dapat dlproduksi selama jangka waktu yang
terbatas. Misalnya menyebutkan sebanyak-banyaknya nama jenis hewan selama
jangka waktu satu menit, ulnu menyebutkan kata-kata yang mulai dengan huruf
tertentu, misalnya huruf S atau huruf B dalam satu menit.
Menyebutkan nama hewan : Pasien disuruh menyebutkan sebanyak mungkin
nama hewan dalam waktu 60 detik. Kita catat jumlahnya serta kesalahan yang ada,
misalnya parafasia. Skor : Orang normal umumnya mampu menyebutkan 18 20
nama hewan selama 60 detik, dengan variasi I 5 7.
Usia merupakan faktor yang berpengaruh secara bermakna dalam tugas ini.
Orang normal yang berusia di bawah 69 tahun akan mampu menyebutkan 20 nama
hewan dengan simpang baku 4,5.
Kemampuan ini menurun menjadi 17 (+ 2,8) pada usia 70-an, dan menjadi
15,5 ( 4,8) pada usia 80-an. Bila skor kurang dari 13 pada orang normal di bawah
usia 70 tahun, perlu dicurigai adanya gangguan dalam kelancaran berbicara verbal.
Skor yang dibawah 10 pada usia dibawah 80 tahun, sugestif bagi masalah
penemuan kata. Pada usia 85 tahun skor 10 mungkin merupakan batas normal
bawah.
Menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu: Kepada pasien dapat juga
diberikan tugas menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya
huruf S, A atau P. Tidak termasuk nama orang atau nama kota. Skor: Orang normal
umumnya dapat menyebutkan sebanyak 36 60 kata, tergantung pada usia,
inteligensi dan tingkat pendidikan. Kemampuan yang hanya sampai 12 kata atau
kurang untuk tiap huruf di atas merupakan petunjuk adanya penurunan kelancaran
berbicara verbal. Namun kita harus hati-hati monginterpretasi tes ini pada pasien
dengan tingkat pendidikan tidak melebihi tingkat Sekolah Menengah Pertama.
Pemeriksaan pemahaman (komprehensi) bahasa lisan
Kemampuan pasien yang afasia untuk memahami sering sulit dlnllal
Pemeriksaan klinis disisi-ranjang dan tes yang baku cenderung kurang cukup dan
dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Langkah terakhir dapat digunakan
untuk mengevaluasi pemahaman (komprehensi) secara klinis, yaitu dengan cara
konversasi, suruhan, pilihan (ya atau tidak), dan menunjuk.
Konversasi. Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai
kemampuannya memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan oleh
pemeriksa.
Suruhan. Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (Satu langkah) sampai
pada yang sulit (banyak langkah) dapat digunakan untuk menilai kemampuan
pasien memahami. Mula-mula suruh pasien bertepuk tangan, kemudian tingkatkan
kesulitannya, misalnya: mengambil pinsil, letakkan di kotak dan taruh kotak di
atas kursi (suruhan ini dapat gagal pada pasien dengan apraksia dan gangguan
motorik, walaupun pemahamannya baik; hal ini harus diperhatikan oleh
pemeriksa).
Pemeriksa dapat pula mengeluarkan beberapa benda, misalnya kunci, duit,
arloji, vulpen, geretan. Suruh pasien menunjukkan salah sntu benda tersebut,
misalnya arloji. Kemudian suruhan dapat dlpermilit, misalnya: tunjukkan jendela,
setelah itu arloji, kemudian vulpen. Pasion tanpa afasia dengan tingkat inteligensi
yang rata-rata mampu menunjukkan 4 atau lebih objek pada suruhan yang
beruntun. Pasien dengan Afasia mungkin hanya mampu menunjuk sampai 1 atau 2
objek saja. Jadi, pada pemeriksaan ini pemeriksa (dokter) menambah jumlah objek
yang hams ditunjuk, sampai jumlah berapa pasien selalu gagal.
Ya atau tidak. Kepada pasien dapat juga diberikan tugas berbentuk pertanyaan
yang dijawab dengan ya atau tidak. Mengingat kemungkinan salah ialah
50%, jumlah pertanyaan harus banyak, paling sedikit 6 pertanyaan,
misalnya :
Andakah yang bernama Santoso?
Apakah AC dalam ruangan ini mati ?
Apakah ruangan ini kamar di hotel ?
Apakah diluar sedang hujan?
Apakah saat ini malam hari?
Menunjuk. Kita mulai dengan suruhan yang mudah difahami dan kemudian
meningkat pada yang lebih sulit. Misalnya: tunjukkan lampu, kemudian
tunjukkan gelas yang ada disamping televisi.
Pemeriksaan sederhana ini, yang dapat dilakukan di sisi-ranjang, kurang
mampu menilai kemampuan pemahaman dengan baik sekali, namun dapat
memberikan gambaran kasar mengenai gangguan serta beratnya. Korelasi
anatomis dengan komprehensi adalah kompleks.
Pemeriksaan repetisi (mengulang)
Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang, mula-
mula kata yang sederhana (satu patah kata), kemudian ditingkatkan menjadi
banyak (satu kalimat). Jadi, kita ucapkan kata atau angka, dan kemudian pasien
disuruh mengulanginya.
Cara pemeriksaan
Pasien disuruh mengulang apa yang diucapkan oleh pemeriksa. Mula-mula
sederhana kemudian lebih sulit. Contoh:
Map
Bola
Kereta
Rumah Sakit
Sungai Barito
Lapangan Latihan
Kereta api malam
Besok aku pergi dinas
Rumah ini selalu rapi
Sukur anak itu naik kelas
Seandainya si Amat tidak kena influensa
Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini didapatkan
parafasia, salah tatabahasa, kelupaan dan penambahan.
Orang normal umumnya mampu mengulang kalimat yang mengandung 19
suku-kata.
Banyak pasien afasia yang mengalami kesulitan dalam mengulang (repetisi),
namun ada juga yang menunjukkan kemampuan yang baik dalam hal mengulang,
dan sering lebih baik daripada berbicara spontan.
Umumnya dapat dikatakan bahwa pasien afasia dengan gangguan kemampuan
mengulang mempunyai kelainan patologis yang melibatkan daerah peri-
sylvian. Bila kemampuan mengulang terpelihara, maka daerah -sylvian bebas dari
kelainan patologis.
Umumnya daerah ekstra-sylvian yang terlibat dalam kasus afasia tanpa
defek repetisi terletak di daerah perbatasan vaskuler (area water-shed).
Pemeriksaan menamai dan menemukan kata
Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi herbahasa. Hal
ini sedikit-banyak terganggu pada semua penderita afasia. Dengan demikian,
semua tes yang digunakan untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap
kemampuan ini. Kesulitan menemukan kata erat kaitannya dengan kemampuan
menyebut nama (menamai) dan hal ini disebut anomia.
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek,
bagian dari objek, bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometrik, simbol
matematik atau nama suatu tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan aitem yang
sering digunakan (misalnya sisir, arloji) dan yang jarang ditemui atau digunakan
(misalnya pedang). Banyak penderita afasia yang masih mampu menamai objek
yang sering ditemui atau digunakan dengan cepat dan tepat, namun lamban dan
tertegun, dengan sirkumlokusi (misalnya, melukiskan kegunaannya) atau parafasia
pada objek yang jarang dijumpainya.
Bila pasien tidak mampu atau sulit menamai, ia dapat dibantu dengan
memberikan suku kata pemula atau dengan menggunakan kalimat
penuntun. Misalnya: pisau. Kita dapat membantu dengan suku kata Atau dengan
kalimat: kita memotong daging dengan. Yang penting kita nilai ialah sampainya
pasien pada kata yang dibutuhkan, kemampuannya (memberi nama objek). Ada
pula pasien yang mengenal objek dan mampu melukiskan kegunaannya
(sirkumlokusi) namun tidak dapat menamainya. Misalnya bila ditunjukkan kunci
ia mengatakan : Anu ituuntuk masuk rumahkita putar.
Cara pemeriksaan. Terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh
menyebutkan nama beberapa objek juga warna dan bagian dari objek
tersebut. Kita dapat menilai dengan memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kaca
mata, kemudian bagian dari arloji (jarum menit, detik), lensa kaca mata.
Objek atau gambar objek berikut dapat digunakan: Objek yang ada di ruangan:
meja, kursi, lampu, pintu, jendela. Bagian dari tubuh: mata, hidung, gigi, ibu jari,
lutut
Warna: merah, biru, hijau, kuning, kelabu.
Bagian dari objek: jarum jam, lensa kaca mata, sol sepatu, kepala ikat
pinggang, bingkai kaca mata.
Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan nama objek dengan cepat atau
lamban atau tertegun atau menggunakan sirkumlokusi, parafasia, neologisme dan
apakah ada perseverasi. Disamping menggunakan objek, dapat pula digunakan
gambar objek.
Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, dapatkah ia memilih nama
objek tersebut dari antara beberapa nama objek.
Gunakanlah sekitar 20 objek sebelum menentukan bahwa tidak didapatkan
gangguan.
Area bahasa di posterior ialah area kortikal yang terutama bertugas memahami
bahasa lisan. Area ini biasa disebut area Wernicke; mengenai batasnya belum ada
kesepakatan. Area bahasa bagian frontal berfungsi untuk produksi bahasa. Area
Brodmann 44 merupakan area Broca.
Penelitian dengan PET (positron emission tomography) tentang meta-bolisme
glukosa pada penderita afasia, menyokong spesialisasi regional tugas ini. Namun
demikian, pada hampir semua bentuk afasia, tidak tergantung pada jenisnya,
didapat pula bukti adanya hipometabolisme di daerah temporal kiri. Penelitian ini
memberi kesan bahwa sistem bahasa sangat kompleks secara anatomi-fisiologi,
dan bukan merupakan kumpulan dari pusat-pusat kortikal dengan tugas-tugas
terbatas atau terpisah-pisah atau sendiri-sendiri.
Pemeriksaan sistem bahasa
Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu diperhatikan
bagaimana pasien berbicara spontan, komprehensi (pemahaman), repetisi
(mengulang) dan menamai (naming).
Membaca dan menulis harus dinilai pula setelah evaluasi bahasa lisan. Selain
itu, perlu pula diperiksa sisi otak mana yang dominan, dengan melihat penggunaan
tangan (kidal atau kandal).
Dengan melakukan penilaian yang sistematis biasanya dalam waktu yang
singkat dapat diidentifikasi adanya afasia serta jenisnya. Pasien yang afasia selalu
agrafia dan sering aleksia, dengan demikian pengetesan membaca dan menulis
dapat dipersingkat. Namun demikian, pada pasien yang tidak afasia, pemeriksaan
membaca dan menulis harus dilakukan sepenuhnya, karena aleksa atau agrafia
atau keduanya dapat terjadi terpisah (tanpa afasia).
Pemeriksaan penggunaan tangan (kidal atau kandal)
Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan yang erat
Sebelum menilai bahasa perlu ditentukan sisi otak mana yang dominan, dengan
melihat penggunaan tangan. Mula-mula tanyakan kepada pasien apakah ia kandal
(right handed) atau kidal. Banyak orang kidal telah illnjarkan sejak kecil untuk
menulis dengan tangan kanan. Dengan demikian, mengobservasi cara menulis saja
tidak cukup untuk menentukan npakah seseorang kandal atau kidal. Suruh pasien
memperagakan tangan mana yang digunakannya untuk memegang pisau,
melempar bola, dsb.
Tanyakan pula apakah ada juga kecenderungannya menggunakan tangan yang
lainnya. Spektrum penggunaan tangan bervariasi dari kandal yang kuat; kanan
sedikit lebih kuat dari kiri; kiri sedikit lebih kuat dan kanan dan kidal yang kuat.
Ada individu yang kecenderungan kandal dan kidalnya hampir sama (ambi-
dextrous)
Pemeriksaan berbicara spontan
Langkah pertama dalam menilai berbahasa ialah mendengarkan bagaimana
pasien berbicara spontan atau bercerita. Dengan mendengnrknn pasien berbicara
spontan atau bercerita, kita dapat memperoleh data yang sangat berharga mengenai
kemampuan pasien berbahasa. Cara Ini tidak kalah pentingnya dari tes-tes bahasa
yang formal.
Kita dapat mengajak pasien berbicara spontan atau berceritera melalui
pertanyaan berikut : Coba ceriterakan kenapa anda sampai dirawat di rumah sakit.
Coba ceritakan mengenai pekerjaan anda serta hobi anda.
Bila mendengarkan pasien berbicara spontan atau bercerita, perhatikan:
Apakah bicaranya pelo, cadel, tertegun-tegun, disprosodik (irama, ritme,
intonasi bicara terganggu). Pada afasia sering ada gangguan ritme dan irama
(disprosodi).
Apakah ada afasia, kesalahan sintaks, salah menggunakan kata
(parafasia, neologisme), dan perseverasi. Perseverasi sering dijumpai pada afasia.
Parafasia. Parafasia ialah men-substitusi kata. Kita mengenai 2 jenis parafasia,
yaitu parafasia semantik (verbal) dan parafasia fonomik (literal). Parafasia
semantik ialah mensubstitusi satu kata dengan kata yang lain misalnya: kucing
dengan anjing. Parafasia fonemik, ialah mensubstitusi suatu bunyi dengan
bunyi yang lain, misalnya bir dengan kir, balon dengan galon.
Afasia motorik yang berat biasanya mudah dideteksi. Pasien berbicaranya
sangat terbatas atau hampir tidak ada; mungkin ia hanya mengucapkan: ayaa,
ayaa, aaai, Hi.
Sesekali ditemukan kasus dimana pasien sangat terbatas kemampuan
bicaranya, namun bila ia marah, beremosi tinggi, keluar ucapan makian yang cara
mengucapkannya cukup baik.
Afasia ialah kesulitan dalam memahami dan/atau memproduksi bahasa yang
disebabkan oleh gangguan (kelainan, penyakit) yang melibatkan hemisfer otak.
Didapatkan berbagai jenis afasia, masing-masing mempunyai pola
abnormalitas yang dapat dikenali, bila kita berbincang dengan pasien serta
melakukan beberapa tes sederhana.
Pada semua pasien dengan afasia didapatkan juga gangguan membaca dan
menulis (aleksia dan agrafia)
Pada afasia semua modalitas berbahasa sedikit-banyak terganggu, yaitu
bicara spontan, mengulang (repetisi), namai (naming), pemahaman bahasa,
membaca dan menulis.
Pada lesi di frontal, pasien tidak bicara atau sangat sedikit bicara, dan
mengalami kesulitan atau memerlukan banyak upaya dalam berbicara. Selain itu
gramatikanya miskin (sedikit) dan menyisipkan atau mengimbuh huruf atau bunyi
yang salah, serta terdapat perseverasi. Pasien sadar akan kekurangan atau
kelemahannya. Pemahaman terhadap bahasa lisan dan tulisan kurang terganggu
dibandingkan dengan kemampuan mengemukakan isi pikiran. Menulis sering
tidak mungkin atau sangat terganggu, baik motorik menulis maupun isi tulisan.
Pada lesi di temporo-parietal pasien justru bicara terlalu banyak, cara
mengucapkan baik dan irama kalimat juga baik, namun didapat gangguan berat
pada, mem-formulasi dan menamai sehingga kalimat yang diucapkan tidak
mempunyai arti. Bahasa fisan dan tulisan tidak atau kurang difahami, dan menulis
secara motorik terpelihara, namun isi tulisan tak menentu. Pasien tidak begitu
sadar akan kekurangannya.
Afasia jenis yang disebutkan pertama disebut afasia Broca, atau afasia motorik
atau afasia ekspresif. Afasia jenis ke dua disebut jenis Wernicke atau sensorik atau
reseptif.
Kadang dijumpai pasien dengan gangguan yang berat pada semua modalitas
bahasa. Pasien sama sekali tidak bicara atau hanya bicara sepatah kata
atau frasa, yang selalu diulang-ulang, dengan artikulasi (pengucapan) dan
irama yang buruk dan tidak bermakna.
Hal ini disebut afasia global. Lesi biasanya melibatkan semua daerah bahasa di
sekitar fisura sylvii.
Kadang afasia ditandai oleh kesulitan menemukan nama, sedangkan modalitas
lainnya relatif utuh. Pasien mengalami kesulitan menamai sesuatu benda. Pada
pasien demikian kita dengar ungkapan seperti : anu, itu, kau, kau tahu kan, ya anu
itu. Afasia amnestik ini sering merupakan sisa afasia yang hampir pulih, pada
afasia yang tersebut terdahulu, namun dapat juga dijumpai pada berbagai
gangguan otak yang difus. Afasia amnestik mempunyai nilai lokalisasi yang kecil.
Adakalanya digunakan kata afasia campuran. Sebetulnya kata ini kurang tepat,
karena di klinik semua jenis afasia adalah campuran, hanya bidang tertentu lebih
menonjol atau lebih berat.
Berbagai tes wawabcara, membaca, menulis, menggambar, ataupun melakukan
tugas-tugas tertentu bias digunakan untuk mengetahui terjadinya kerusakan otak,
dan tinggal dicocokkan dengan pemeriksaan CT-Scan pada otak. Pemeriksaan ini
sangat penting untuk terapi dan rehabilitasi pasien.
BAB III
PEMBAHASAN
Masalah yang muncul pada pasien :
Mengalami gangguan bicara
Kesulitan berkomunikasi
Kelemahan pada anggota gerak
Pada kasus ini pasien perempuan usia 64 tahun di diagnosa dengan stroke infark
dd/ thrombus, emboli, disertai Afasia motorik dan hipertensi grade II berdasarkan
hasil anamnesis yang telah dilakukan secara alloanamnesis.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik mulai dari vital sign sampai dengan
status neurologis. Pada vital sign yang didapatkan berupa tekanan darah pasien yang
meningkat yaitu 160/70 mmHg dimana pada kondisi ini termasuk ke dalam hipertensi
grade II menurut literatur JNC 7, dalam literatur juga disebutkan hipertensi
merupakan faktor resiko yang dapat dimodifikasi terhadap terjadinya stroke,
kemudian dilihat nilai leukosit yang normal sehingga menginterpretasikan tidak
terjadinya proses infeksi sehingga dapat melemahkan dugaan infeksi yang dapat
menyebabkan defisit neurologis seperti meningoensefalitis namun gold
standard untuk pemeriksaan ini adalah pungsi lumbal untuk dapat benar-benar
menyingkirkan meningoensefalitis.
Dari hasil pemeriksaaan tersebut, didapatkan diagnosis sementara pasien adalah
stroke non hemoragik, yang ditunjang dengan penilaian hasil score siriraj dengan
score -5 yang menginterpretasikan bahwa ini merupakan jenis stroke non hemoragik
namun untuk menegakkan diagnosis stroke jenis sumbatan atau perdarahan
dibutuhkan hasil Head CT-scan yang dalam literatur disebutkan bahwa head CT scan
merupakan Gold Standard dari stroke. setelah itu dilakukan Head CT scan tanpa
kontras didapatkan kesan gambaran hipodens sehingga diagnosis akhirnya dapat
ditegakan diagnosis stroke infark namun masih terdapat diagnosis banding dari stroke
infark yaitu emboli dan thrombus dimana dalam literatur juga disebutkan bahwa
stroke infark dapat disebabkan karena thrombus atau emboli untuk mengkonfimasi
hal tersebut perlu dilakukan planning diagnosa yaitu dengan melakukan pemeriksaan
antitrombin III, ACA IgG, IgM, Rontgen Thoraks, MRI, MRA, MRV atau DSA untuk
menentukan jenis sumbatan yang terjadi namun pemeriksaan tersebut mahal dan tidak
semua rumah sakit memiliki fasilitas tersebut maka tidak dapat dilakukan
pemeriksaan tersebut.
Pada pasien juga terdapat kesulitan bicara yaitu afasia. Afasia adalah kehilangan
sebagian atau seluruh kemampuan bicara karena penyakit, cacat, atau cedera pada
otak.