You are on page 1of 18

MAKALAH PENYAKIT INFEKSIUS

DISTEMPER PADA ANJING

AVIDIA ARINTA TANDIONTONG (O111 14


AZIZAH RESKY RAY AYU (O111 14 015)
UTARI RESKY TARUKLINGGI (O111 14 301)
WULAN SARI SINAGA (O111 14 501)
NIKITA TENRITOJANG MUSTAFA (O111 14 505)

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya kepada
kami sehingga berhasil menyelesaikan makalah mengenai Distemper pada Anjing ini dengan
tepat waktu.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Penyakit Infeksius. Penulisan
menuliskan makalah berdasarkan data primer berupa referensi beberapa informasi dari internet.
Penulisan makalah ini karena adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, kami mengucapkan terima kasih atas bantuan dan bimbingan tersebut kepada semua pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyusun makalah ini dengan sebaik baiknya. Namun, kami menyadari
kemungkinan adanya kekurangan atau kesalahan yang tidak disengaja. Oleh karena itu, kritik
dan saran dari dosen mata kuliah serta pembaca akan kami terima dengan rasa syukur. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

Makassar, 4 April 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................1


DAFTAR ISI..................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................3
A. Latar Belakang .............................................................................3
B. Tujuan ..........................................................................................3
C. Manfaat ........................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................5


A. Pengertian dan Etiologi Distemper ..............................................5
B. Gejala Klinis Distemper ...............................................................8
C. Diagnosa Penyakit Distemper ......................................................10
D. Patogenesa Penyakit Distemper ...................................................12
E. Epidemiologi Penyakit Distemper ...............................................13
F. Pengobatan Penyakit Distemper ..................................................14
G. Pencegahan Penyakit Distemper ..................................................20

BAB III PENUTUP .......................................................................................23


Kesimpulan ........................................................................................23
Saran ..................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................24
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan etiologi distemper?
2. Bagaimana gejala klinis distemper?
3. Bagaimana diagnosa penyakit distemper?
4. Bagaimana patogenesa penyakit distemper?
5. Bagaimana epidemiologi penyakit distemper?
6. Bagaimana pengobatan penyakit distemper?
7. Bagaimana pencegahan penyakit distemper?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dan etiologi distemper
2. Mengetahui gejala klinis distemper
3. Mengetahui diagnosa penyakit distemper
4. Mengetahui patogenesa penyakit distemper
5. Mengetahui epidemiologi penyakit distemper
6. Mengetahui pengobatan penyakit distemper
7. Mengetahui pencegahan penyakit distemper
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian dan Etiologi Distemper


Distemper adalah salah satu penyakit menular yang menyerang anjing. Penyakit
tersebut disebabkan oleh virus dalam genus Morbillivirus dari famili Paramyxoviridae dan
mempunyai hubungan dekat dengan virus measles dan rinderpest (Erawan, et al., 2009).
Penyakit distemper pada anjing merupakan penyakit viral yang bersifat multisistemik
diantaranya sistem pernafasan, pencernaan, urinaria, saraf pusat dan sistem lainnya. Penyakit
ini disebabkan oleh Virus Canine Distemper (VCD) family virus morbili. Penyakit distemper
memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi terutama pada populasi anjing yang tidak
divaksinasi (Sitepu, et al., 2013). Canine Distemper Virus (CDV) dapat
menyerang saluran respirasi, pencernaan, dan urogenital. Canine Distemper Virus
bereplikasi pada saluran tersebut 60-90 hari pasca infeksi. Replikasi virus dapat terjadi pada
organ limfoid dan sistem saraf pusat (Natania, 2012).

Pada tahun 1809, Edward Jenner adalah orang pertama yang menjelaskan
penyebab dan gejala klinis dari CDV namun etiologi virus didemonstrasikan oleh Carr. Henri
Carr dianggap sebagai penemu Canine
Distemper Virus pada tahun 1905. Pada tahun 1988, virus yang berbeda namun mirip
dengan CDV, yaitu Phocine Distemper Virus (PDV), diisolasi
dari sejumlah besar anjing laut yang mati di sepanjang pantai utara Eropa dan
menunjukkan gejala klinis yang serupa dengan distemper pada anjing (Natania, 2012).

Anjing yang terserang penyakit distemper biasanya yang berumur muda, terutama anak
anjing yang tidak divaksin secara lengkap. Anjing yang diserang umumnya berumur kurang
dari satu tahun. Hal ini terjadi karena pada umur ini terjadi penurunan antibodi maternal,
tingkat stres yang tinggi pada masa pertumbuhan, dan serangan penyakit lain yang menurunkan
kondisi tubuh divaksinasi (Sitepu, et al., 2013)
Taksonomi CDV berdasarkan International Committee on Taxonomy of Viruses
(ICTV) pada tahun 2009 (Natania, 2012):
Ordo : Mononegavirales
Famili : Paramyxoviridae
Subfamili : Paramyxovirinae
Genus : Morbilivirus
Spesies : Canine distemper virus

(a) (b)
Gambar 1. (a) Struktur virion dari Morbilivirus (b) Canine Distemper Virus (Natania, 2012).

Diameter dari virionnya adalah 150-350 nm dan memiliki nukleokapsid yang dikelilingi
oleh amplop lipid. Vtrinn sangat sensitif terhadap dehidrasi, panas, deterjen, pelarut, dan agen
oksidasi (Natalia, 2012)
Distemper pada anjing disebabkan oleh virus RNA Paramyxovirus yang berukuran 150-
300m dengan nukleokapsid simetris dan berbungkus lipoprotein. Virus distemper terdiri atas
6 struktur protein yaitu nukleoprotein(N) dan 2 enzim (P dan L) pada nukleokapsidnya,juga
membran protein (M) disebelah dalam dan 2 protein lagi (H dan F) pada bungkus lipoprotein
sebelah luar. Pembungkus lipoprotein mudah dihancurkan oleh pelarut lemak yang menjadikan
virus tidak menular lagi. Semua bangsa dan umur anjing secara universal dapat menderita
distemper. Anjing yang menderita distemper akut akan mengeluarkan virus dari ekskresi yang.
Sekresi yang keluar dari alat pernafasan merupakan penyebar virus lewatudara yang paling
sering terjadi. Virus distemper diluar induk semang tidak stabil dan akan segera mati (Pusat
Kesehatan Hewan, 2008).

2. Gejala Klinis Distemper


Virus distemper menyerang dan menimbulkan gejala atau lesi pada mata, saluran
respirasi, gastrointestinal, urogenital, sistem saraf, dan kulit (Koutinas et al., 2004). Gejala
klinik yang ditimbulkan sangat bervariasi. Gejala dapat terjadi berat atau ringan, tanpa atau
dengan memperlihatkan gejala-gejala saraf (Dharmojono, 2001).
Gejala tersebut merupakan infeksi kombinasi antara virus dan bakteri. Virus distemper
yang bersifat subklinis dan dalam jangka waktu yang lama juga dapat menginfeksi kulit,
sehingga telapak kaki anjing menjadi keras dan menebal, dan disebut sebagai penyakit hard
pad. Selain itu, virus juga menyerang system kekebalan tubuh sehingga merusak kemampuan
tubuh untuk melawan infeksi (Legendre 2005).
Temuan pemeriksaan fisik dapat berupa suara napas yang keras saat dilakukan auskultasi,
kaheksia, dehidrasi, dan peradangan pada mata (anterior uveitis, optic neuritis, degenerasi
retina, atau keratokonjungtivitis) jika infeksi CDV bersifat sistemik (Ct 2011). Setengah dari
total anjing yang terinfeksi CDV mengalami kerusakan saraf karena CDV tertarik dan
bereplikasi cepat pada jaringan saraf (Legendre 2005). Kerusakan pada saraf mengakibatkan
kejang yang disebut sebagai chewing-gum seizures karena membuka dan menutup mulut
dengan keras secara berulang-ulang. Gejala lain yang menunjukkan infeksi CDV adalah
mioklonus kepala, leher, atau tungkai (Ct 2011). Mioklonus adalah kontraksi ritmik yang
sangat kuat pada otot rangka (Widodo et al. 2011). Kerusakan pada sumsum tulang dapat
mengakibatkan kelemahan dan paralisis, namun kerusakan pada saraf juga dapat menyebabkan
gerakan tidak terkoordinasi dari kaki (Legendre 2005). Pada anjing yang pulih dari infeksi
CDV dimungkinkan mengalami anosmia persisten atau kehilangan daya penciuman (Ct
2011).

3. Diagnosa Distemper
Diagnosa didasarkan pada anamnesa,gejala klinis yang ditemukan dan pemeriksaan
laboratorium seperti pemeriksaan darah, PCR, immunofluororesensi, isolasi virus, analisa ciran
serebrospinal, serologi dan tes ELISA untuk antibodi spesifik distemper (Admin, 2008).
Uji serologi untuk evaluasi program vaksinasi sebenarnya telah lama dikenal untuk
penyakit distemper, seperti uji serum netralisasi dengan telur tertunas, biakan sel atau bahkan
uji ELISA (Sudarisman, 2007)
Sudarisman pada tahun 2006 telah pula mengembangkan ELISA antibodi untuk penyakit
distemper. Tingginya titer antibodi sangat menentukan tingkat kekebalan anjing terhadap
penyakit distemper. Melalui uji ELISA ternyata dapat dipelajari epidemiologi penyakit
distemper di daerah tertular dan daerah yang melakukan program vaksinasi (Sudarisman,
2007).
Diagnosa banding penyakit distemper ini adalah (Admin, 2008):
Infeksi Adenovirus 2
Infeksi Bordetella Broncoseptica
Mikoplasma
Toxoplasmosis
Koksidiosis
Cacingan
Hepatitis Virus

4. Patologenesa Distemper
Penyebaran umumnya dimulai dari virus yang terinhalasi oleh anjing. Pada peradangan
akut, virus akan menginfeksi dan bereplikasi pada sel makrofag dan limfosit pada daerah
saluran pernafasan yang selanjutnya akan menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah.
Pada anjing yang telah terinfeksi akan tampak lesu, depresi, anoreksia, eksesif discharge pada
bagian naso-ocular serta tidak jarang diikuti dengan gejala diare (Lan et al., 2006).
Panjang periode laten (waktu dari infeksi ketika individu menjadi menular kepada
orang lain) biasanya 1 minggu, sedangkan periode menular adalah 2-3 minggu (1 minggu
sebelum dan 1-2 minggu setelah timbulnya gejala ), dan dalam kasus yang jarang terjadi 60-90
hari. Masa inkubasi (waktu dari infeksi ke tanda-tanda klinis) sering 1-2 minggu. Urin dan air
liur anjing eksperimental yang terinfeksi telah terbukti menjadi infektif dari hari 6 hari 22 PI,
dan dari hari 7 hari 41 PI, masing-masing (Rikula, 2008).
Pada stadium kronis anjing penderita akan tampak inkoordinasi sampai tidak mampu
mengontrol mikturisi. Hal ini disebabkan adanya kerusakan pada sel-sel otak dan bahkan bisa
menimbulkan kematian pada sel-sel tersebut (Rudd et al., 2009).
Pada paru-paru, agen infeksi yang masuk secara aerogen mula-mula akan menginfeksi
saluran pernafasan bagian atas, lalu berlanjut ke bagian bronkus, bronkiulus kemudian meluas
ke bagia alveoli paru-paru. Secara mikroskopis, paru-paru dari hewan yang terinfeksi akan
tampak mengalami peradangan. Pneumonia interstitialis akan teramati pada paru-paru yang
diikuti dengan banyak infiltrasi sel-sel radang. Bila berlangsung kronis, reaksi peradangan akan
meluas sampai ke bagian alveoli. Apabila terjadi infeksi sekunder terutama terinfeksi oleh
bakteri pyogenes, peradangan dengan eksudat purulen dapat juga terjadi pada organ ini (Chvala
et al., 2007).
Kerusakan jaringan terjadi karena infeksi sekunder oleh bakteri. Kelainan
patologis baik secara anatomi maupun histologi pada anjing yang mati akibat terinfeksi
CDV dapat ditemukan terutama pada organ pernapasan (Natania, 2012).
Secara patologi, anjing yang terinfeksi virus distemper dapat menyebabkan multi-
sistemik infeksi. Gambaran klinis darah perifer dari anjing yang terinfeksi virus ini mula-mula
mengakibatkan terjadinya lymphopenia, walaupun pada tingkat sub akut sampai kronis diikuti
dengan meningkatnya jumlah monosit / peripheral blood mononuclear cells (Kardena, 2011).
Secara histopatologi, otak akan tampak terjadi peningkatan infiltrasi sel-sel glia yang
diikuti dengan peningkatan kadar sitokin karena pengaruh reaksi radang pada daerah tersebut
(Kardena, 2011).

Gambar 2. Pneumonia akibat infeksi CDV (Natania, 2012)

Gambar 3. Histopatologi badan inklusi CDV pada organ (a) sitoplasma epitel vesica urinaria (b)
nukleus sel glial otak (c) intrasitoplasmik dan intranuklear sel Sertoli (d) intrasitoplasmik epitel
saluran empedu (Natania, 2012).

Pada infeksi ringan, terutama pada anjing yang telah divaksin, prognosanya baik,
sedang lainnya meragukan sampai infausta (Admin, 2008).

5. Epidemiologi Distemper
Distemper ditemukan tersebar di seluruh dunia. Penyebaran virus distemper yang
paling utama adalah melalui sekresi partikel-partikel virus secara aerosol oleh hewan terinfeksi.
Anjing terinfeksi distemper dapat mengeluarkan virus dalam beberapa bulan (Erawan, et al.,
2009).
Penyebaran umumnya dimulai dari virus yang terinhalasi oleh anjing. Pada peradangan
akut, virus akan menginfeksi dan bereplikasi pada sel makrofag dan limfosit pada daerah
saluran pernafasan yang selanjutnya akan menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah
(Kardena, 2011).
Virus CDV ini menyerang hewan yang termasuk famili Canidae (anjing, dingo,
sengala, rubah), Mustidae (musang: cerpelai, sigung, berang-berang), Procyomdae (rakun,
panda), beberapa Viveridae (binturong), sejumlah besar Felidae (singa, macan, cheetah): dan
Tayassu tajacu (Natania, 2012)
Karena CDV (Canine Distemper Virus) tidak bertahan dalam bentuk menular setelah
resolusi infeksi, dan kedua infeksi dan vaksinasi hasil imunitas tahan lama, sumber konstan
individu yang rentan diperlukan untuk proliferasi CDV dalam populasi. Diperkirakan bahwa
setidaknya 300.000 individu yang diperlukan untuk menjaga virus campak yang beredar.
Mengingat kisaran inang yang luas dari CDV, peredaran virus tidak semata-mata tergantung
pada ukuran populasi anjing tapi pada ukuran total populasi gabungan dari semua spesies yang
rentan di daerah. Selanjutnya, struktur kontak dari antara mereka spesies akan sangat penting
bagi kehadiran lanjutan dari virus.
Penentu intrinsik dari host dan agen tingkat infeksi diperkirakan secara signifikan lebih
tinggi daripada tingkat penyakit, dan lebih dari 50% dari infeksi pada anjing domestik mungkin
subklinis. Prevalensi CD pada anjing perkotaan tertinggi antara 3 dan 6 bulan. Namun, dalam
populasi sepenuhnya rentan CDV mampu menyebabkan kematian pada anjing dari segala usia.
keturunan brakiosefalika anjing telah dilaporkan memiliki prevalensi lebih rendah dari
penyakit, kematian dan gejala sisa dibandingkan dengan trah berkepala panjang. Di antara
bulu ternak, bulu pastel lebih rentan terhadap CD daripada bentuk gelap biasa dari spesies.
Jenis kelamin tidak memainkan peran penting dalam kerentanan terhadap CD. (Rikula Ulla,
2008).
Tidak ada informasi yang diterbitkan dari ID50 in vivo dari virus. Namun, dalam
kondisi eksperimental penyakit klinis telah diinduksi oleh inokulasi 5 x 103 anjing makrofag
paru ID50 dari virulen CDV regangan intranasal pada anjing beagle jantan 4-bulan-tua
spesifik-bebas patogen. Tidak ada data kuantitatif pada virulensi agen, misalnya dalam bentuk
LD50, telah diterbitkan. Tingkat kematian pada populasi anjing naif akan naik menjadi 80%,
sehingga secara kualitatif virulensi yang dapat dianggap sebagai setidaknya moderat untuk
tinggi. The case fatality rate di musang dalam negeri (Mustela furo putorius) mendekati 100%.
Namun, virulensi berbeda antara strain CDV (Rikula Ulla, 2008).
CDV tidak mendirikan negara pembawa benar tetapi virus dapat ditunjukkan setelah
penyakit klinis untuk waktu yang lebih lama dalam sel epitel dan makrofag pada saluran
pernapasan bagian bawah. Hal ini juga dapat bertahan selama setidaknya 60 hari dalam kulit,
perampok dan SSP. Signifikansi epidemiologi dari temuan ini tetap tidak meyakinkan (Rikula
Ulla, 2008).
Antigenic drift di strain CDV-tipe liar dapat menyebabkan peningkatan jumlah wabah
pada anjing dan binatang liar populasi. Beberapa genotipe CDV telah terbukti secara
bersamaan beredar di populasi. Namun, CDV dianggap hanya memiliki satu jenis antigen (Zee
1999). Haas et al. (1999) tidak menemukan keragaman besar dalam gen H dan tes netralisasi
antara tipe liar baru-baru ini isolat dan strain vaksin. Di sisi lain, serum dari anjing yang
terinfeksi dengan strain Onderstepoort bereaksi pada tingkat yang rendah terhadap dua bidang
Japanese CDV isolat dalam uji immunoperoxidase (Rikula, 2008).
Transmisi CDV paling melimpah di eksudat pernapasan dari hewan yang terinfeksi dan
ditularkan terutama melalui aerosol atau paparan droplet. kontak langsung atau tidak langsung
antara yang baru terinfeksi (subklinis atau klinis) dan hewan rentan mempertahankan virus
dalam populasi. Di daerah beriklim sedang insiden tertinggi telah dilaporkan selama musim
dingin. Ini mungkin disebabkan kemampuan virus untuk bertahan hidup lebih lama di tempat
yang sejuk, lingkungan teduh, yang dapat meningkatkan kemungkinan penularan tidak
langsung (Rikula, 2008).
Terjadinya dan tuan rumah berbagai CDV memiliki distribusi di seluruh dunia. CDV
mampu menginfeksi hampir semua keluarga karnivora darat dari urutan carnivora. Hal ini juga
dikaitkan dengan massa-kematian segel Baikal (Pusa mantan sibirica Phoca) dan segel Caspian
(Pusa mantan caspica Phoca), yang termasuk ke dalam keluarga Phocidae dari Carnivora.
Selanjutnya, CDV-diinduksi ensefalitis yang fatal telah dilaporkan dalam Monyet Jepang
(Macaca fuscata) dan berkerah peccaries (Tayassu tajacu), yang termasuk ke dalam keluarga
Cercopithecidae di Primata rangka dan untuk keluarga Tayassuidae dalam urutan Artiodactyla,
masing-masing. Infeksi eksperimental CDV pada kucing domestik (Felis silvestris catus) dan
babi (Sus scrofa) menyerupai infeksi anjing dengan dilemahkan CDV, tetapi tidak infeksi alami
atau penyakit klinis pada kucing telah dilaporkan. Meskipun kisaran inang yang luas, anjing
adalah host reservoir utama untuk CDV (Rikula, 2008).
Di Finlandia, CD diketahui telah terjadi di kedua anjing dan hewan bulu (bulu) sedini
tahun 1950-an dan 1970-an. Pada 1985-1987, peternakan bulu menderita wabah meluas yang
berasal dari rubah impor, tetapi penyakit ini tidak menyebar ke anjing dan akhirnya
dikendalikan oleh vaksinasi massal semua hewan bulu di daerah bulu-pertanian yang paling
penting. Akibatnya, distemper pada hewan bulu menjadi penyakit dilaporkan di Finlandia
(Rikula Ulla, 2008).

6. Pengobatan

Seperti telah diketahui tidak ada pengobatan yang khusus untuk penyakit yang
disebabkan oleh virus. Pengobatan yang dilakukan adalah berdasarkan simptomatik Baja.
Pemeliharaan yang baik adalah salah satu yang terpenting untuk pengobatan seianjutnya.
Anjing-anjing yang sakit harus ditempatkan pada ruangan yang hangat dan kering. Sampai saat
ini pengobatan yang paling ampuh adalah dengan penyuntikan homoserum dengan dosis untuk
pencegahan 2 ml per kg berat badan subkutan atau intramuskuler dengan dosis minimum 20
ml (10 ml untuk ras kecil) dan dosis pengobatan 5-10 ml per kg berat badan subkutan,
intramuskuler atau intravenus secara perlahan-lahan (tidak boleh kurang dari 10 ml untuk ras
keci1).

Pada kasus distemper ini sering terjadi komplikasi sekunder dan bakteri, terutama pada
sa.luran pernafasan. Pengobatan yang tepat untuk mengatasi infeksi bakteri ini yaitu dengan
menggunakan antibiotika berspektrum luas, bisa digunakan injeksi Penici1lin dengan dosia 6
600 sampai 22000 IU per kg berat badan intravenus atau intramuskuler atau Streptomycin
dengan dosis 1122 mg per kg berat badan intramuskuler (Anonim1, 1979).

Untuk mengatasi distemnper tipe kulit yaitu adanya pustulac didaerah perut dan
paha,mula-mula pustulac itu dipecahkan dengan menggunakan alkohol 70% kemudian diobati
dengan Yodiuun l0% atau Penicillin powder atau Sulfa powder (Anonim2, 1980).

Pada kasus distemper selalu terjadi kenaikan temperatur, untuk menurunkannya bisa
digunakan obat-obatan antipiretik. Jika menyerang saluran pencernaan maka akan terjadi diare
yang terus menerus, untuk mengatasinya digunakan kaolin-pectin sada atau kombinasi dengan
antibiotik, derivat asam tanic dan atropinaulfat.

R/ Kaolin 200 mg
Pectin 4 mg
Aquadest ad 1L
Dosis anjing dan kucing 10-40 ml tiap 4 jam
R/ Tanic acid 0,6 mg
Aquadest 30,0 ml
Dosis anjing 5-25 ml secara oral

Antibiotika yang paling baik untuk saluran pencernaan yaitu preparat chloramphenicol
dengan dosis untuk anjing dan kucing 20-50 mg per kg berat badan secara oral setiap 8 Jam.
Intravenus 20 mg per kg berat badan setiap 6 sampai 8 jam dalam satu hari selama 3 sampai 6
hari (Anonim1, l979).
Dosis atropin sullfat injeksi intramuskuler atau subkutan untuk anjing 88-110 mcg per
kg berat badan (Anonim1, 1979). Karena terjadi diare yang terus menerus maka hewan akan
kekurangan cairan tubuh, untuk mengatasi dehidrasi ini hewan harus diinfus dengan solutio
Dextrosa 5% steril subkutan dengan dosis 10-20 ml per kg berat badan.
Infeksi sekunder oleh bakteri dapat ditangani dengan pemberian antibiotik
berspektrumluas, sedangkan untuk geja a diare dan muntah dapat diberikan anti diare,
antiemetik, infus cairan elektrolit untuk mengatasi dehidrasi (Ct 2011). Anjng akan terlihat
normal selama 2 sampai 3 minggu dengan pemberian antibiotik hingga munculnya penyakit
pada otak dan sumsum tulang belakang jika mengalami kerusakan saraf. Pemberian
antikonvulsan dapat dilakukan untuk mengurangi kejang. Perawatan, pemberian pakan yang
berkual tas baik dan disukai, serta lingkungan yang bebas stress akan membantu meningkatkan
selera makan dan menjadi sehat. Penanganan yang dapat dilakukan sangat terbatas, sehingga
vaksinasi merupakan cara yang dapat dilakukan untuk mencegah. Vaksin untuk mencegah
Distemper mulai diberikan Saat anak anjing disapih. Jika induknya sudah divaksinasi atau
sembuh dari Distemper, maka antibodi terhadap Distemper akan diberikan ke pada anaknya di
dalam susu (Legendre 2005).
Untuk memperbaiki kondisi tubuh hewan tersebut maka perlu diberikan vitamin-vitamin
(Anonim2, 1980), yaitu :

Injeksi vitamin C secara intravenus 3 hari berturut- turut dengan dosis:


anjing besar 20 ml
anjing sedang 10 m1
anjing kecil 5 ml
Injekei vitamin B-complex secara intramuskuler dengan dosis 1-5 ml
Injeksi extrak liver secara intramuskuler dengan dosis 1-5 ml.
Sangat jarang anjing yang sembuh dari penyakit distemper bentuk syaraf. Biasanya
pengobatan pada penyakit yang sudah lanjut jarang berhasil, bila berhasil maka gejala-gejala
syaraf yang sudah timbul tidak dapat dihi1angkan. Pada beberapa kasus tertentu digunakan
obat-obatan antikonvulsan, seperti primidone tablet (125 mg) dengan dosis sehari 1/2-2 tablet
atau phenobarbital tablet dengan dosis 1-2 mg per kg berat badan, pengobatan ini hanya
mengobati gejala syaraf secara sementara saja (Anonim1, 1979).
Ada beberapa macam vaksin yang beredar di Indonesia antara lain :
1) Dihasilkan oleh P.T. Vaksindo Satwa Utama Raya
(D) DISVIVAK
Memberikan kekebalan pada anjing terhadap penyakit Distemper. Vakainasi
diulang setiap tahun.
(DH) DISHEVAK
Memberikan kekebalan pada anjing terhadap penyakit Distemper dan Hepatitis.
Vaksinasi diulang setiap tahun.
(DHL) DISHEVAK L
Memberikan kekebalan pada anjing terhadap penyakit Distemper, Hepatitis dan
Leptospirosis. Vaksinasi diulang setiap tahun.
Program vaksinasi
Vaksinasi anak anjing dengan satu dosis DISVIVAK atau DISHEVAK atau
DISHEVAK L pada umur 7-8 winggu dan ulangi vaksinasi setelah 4 minggu (umur
1112 minggu). Cara ini menimbulkan kekebalan yang tinggi terhadap penyakit
distemper. Vaksinasi booster harus diberikan setiap tahun.

2) Dihasilkan oleh NORDEN


Vanguard D-M: DistemperMeasles
Memberikan kekebalan terhadap penyakit Distemper pada anjing. Vaksinasi
dilakukan pada anak anjing umur 6-12 minggu dilanjutkan dengan vaksinasi
Vanguard DA2L atau DA2PL pada umur 14-16 minggu guna mempertinggi daya
kekebalan anjing terhadap Distemper.
Vanguard DA2L
Memberikan kekebalan pada anjing terhadap penyakit Distemper; Infeksi canine
Hepatitis (Canine Adenovirus type-1); penyakit pernafasan yang disebabkan oleh
Canine Adenovirus type2: Leptospira canicola dan L. icterohaemorrhagiae.
Vanaguard DA2PL
Memberikan kekebalan pada anjing terhadap penyakit Distemper; Infeksi Canine
Hepatitis ( Canine Adenovirus type-1); penyakit pernafasan yang disebabkan oleh
Canine Adenovirus type-2; Parainfluenza: Leptospira canicola dan
L.icterohaemorrhagiae.
3) Dihasilkan oleh IFFA MERIEUX
(C) VIROVAX
Memberikan kekebalan pada anjing terhadap penyakit Distemper.
(CH) BIVIROVAX
Memberikan kekebalan pada anjing terhadap penyakit Distemper dan Hepatitis.
(CDL) CANIFFA
Memberikan kekebalan pada anjing terhadap penyakit Distemper, Hepatitis dan
Leptospirosis.
(CHLR) PENTADOG
Memberikan kekebalan pada anjing terhadap penyakit Distemper, Hepatitis
Leptospirosis dan Rabies.
Program vaksinasi
Vaksinasi pertama pada umur 19 minggu dan ulangi vaksinasi setelah 4 minggu
(umur 11-13 ininwgu). Vaksinasi booster harus diberikan setiap tahun.
4) Dihasilkan o1eh Fromm Laboratories
Fromm DHL
Memberikan kekebalan pada anjing terhadap penyakit Distemper, Hepatitis dan
Leptospirosis. Vaksinasi diiberikan pada anjing yang berumur 12 minggu atau
1ebih.

7. Pencegahan
Mengingat angka morbiditas dan mortalitas dari distemper ini tinggi, maka tindakan
pencegahan adalah merupakan suatu hal yang paling baik dilakukan. Usaha-usaha yang dapat
dilakukan adalah sebagai benikut :
i. Vaksinasi pada semua anjing dengan kombinasi virus yang mengandung vaksin
virus distemper hidup dan vaksin virus infectious canine hepatitis.
ii. Disarankan supaya anak-anak anjing yang berumur 5 bulan divaksinasi.
iii. Memberikan pelajaran kepada peternak-peternak anjing untuk tidak nienjual atau
memberi sebagai hadiah anak anak anjing kecuali jika kelihatannya sehat dan
telah di vaksinasi sekurang-kurangnya 1 minggu sebelumnya.
iv. Memberikan pelajaran kepada pemilikpemilik anjing Untuk tidak membeli
atau menerima hadiah anak-anak anjing kecuali jika kelihatannya sehat dan telah
divaksinasi sekurang-kurangnya 1 minggu sebelumnya.
v. Mengingatkan bahwa anjing-anjing yang tidak divaksinasi dapat menyebarkan
penyakit.
vi. Anjing-anjing yang sakit atau disangka sakit, segera dipisahkan.
vii. Membawa hewan-hewan sakit kepada petugas Dinas Peternakan atau Klinik
Hewan dengan segera agar mendapat pengobatan lebih dini.
viii. Anjing-anjing dilarang memasuki wilayah yang positif distemper tanpa dengan
segera divaksinasi dengan vaksin virus hidup yang sudah dimodifikasi pada
biakan embrio ayam atau biakan jaringan asli, kecuali jika anjing itu telah
divaksinasi dan masa vaksinasi tersebut masih berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Admin. 2008. Distemper anjing atau canine distemper. Animals Health Care Center : Jakarta.

Erawan, I Gusti Made Krisna, I Nyoman Suartha, I Wayan Batan, Emy Sapta Budiari, Diana
Mustikawati. 2009. Analisis Faktor Risiko Penyakit Distemper pada Anjing di Denpasar.
Jurnal Veteriner. Universitas Udayana: Denpasar. Vol. 10 No. 3

Kardena, I Made, IB Oka Winaya, I Ketut Berata. 2011. Gambaran Patologi Paru-Paru Pada
Anjing Lokal Bali Yang Terinfeksi Penyakit Distemper. Buletin Veteriner Udayana.
Universitas Udayana: Denpasar. Vol. 3 No.1. :17-24

Natania, Mudita. 2012. Kejadian Penyakit Distemper Dan Parvo Pada Anjing Melalui
Pendekatan Klinis, Studi Di Rumah Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor. [Skripsi].
Institut Pertanian Bogor: Bogor

Sitepu, Yesi Veronica, I Made Kardena, I Ketut Berata. 2013. Gambaran Histopatologi
Penyakit Distemper pada Anjing Umur 2 sampai 12 Bulan. Indonesia Medicus Veterinus.
Universitas Udayana: Denpasar 2013 2(5) : 528 537

Sudarisman. 2007. Seroepidemiologi Penyakit Distemper pada Anjing Di jawa Barat dan DKI
Jakarta. Balai Besar Penelitan Veteriner : Bogor

Chvala, S., Benetka, V., Mostl, K., Zeugswetter, F., Spergser, J., Weissenbock, H. (2007).
Simultaneous Canine Distemper Virus, Canine Adenomavirus Type 2, and Mycoplasma
cynos Infection in a Dog with Pneumonia Veterinary path. 44(4): 508-512.

Lan, N. T., Yamaguchi, R., Inomata, A., Furuya, Y., Uchida, K., Sugano, S., Tateyama, S.
(2006). Comparative analysis of Canine Distemper Viral Isolated from Clinical Cases
of Canine Distemper in Vaccinated Dogs. Veterinary Microbiology 115(1-3): 32-42.

Rudd, A. P., Bastien-Hamel, L., Messiling, V. (2009). Acute Canine Distemper Enchephalitis
is Associated with rapid neuronal loss and local immune Activation. Journal of General
Virology 91: 980-989.

Pusat Kesehatan Hewan. 2008. Distemper anjing atau canine distemper. (diakses pada hari
Sabtu, 18 Februari 2017 di
http://pondokmas.weebly.com/uploads/2/0/7/3/20736490/distemper_pada_anjing.pdf

Rikula, Ulla Kaisa. 2008. Canine distemper in Finland vaccination and epidemiology.
University of Helsinki : Helsinkin.
Ohlson, Anna. 2010. Bovine Coronavirus and Bovine Respiratory Syncytial Virus Infections
in Dairy Herds. Swedish University of Agricultural Sciences : Uppsala.

Koutinas AF, Baumgartner W, Tontis D, Polizopoulou Z, Saridomichelakis MN. 2004.


Histopathology and immunohistochemistry of canine distemper virus-induced footpad
hyperkeratosis (hard pad disease) in dogs with natural canine distemper. Vet Pathol 41:
2-9

Dharmojono. 2001. Kapita selekta kedokteran veteriner 1 (hewan kecil). Jakarta: Pustaka
Popular Obor

Ct E, editor. 2011. Clinical Veterinary Advisor: Dogs and Cats 2nd Edition. USA: Mosby,
Inc.

Legendre AM. 2005. Ettinger and Feldman Textbook of Veterinary Internal Medicine.
London: Elsevier Inc.

Widodo S, Dondin S, Chusnul C, Agus W, Retno W, and Rp Agus L. 2011. Diagnostik


Klinik Hewan Kecil. Bogor: IPB Press.

You might also like