You are on page 1of 14

PEMERIKSAAN SEL-SEL IMUN GRANULOSIT DAN AGRANULOSIT

Oleh :
Nama : Nindya Nuraida Ayuningtyas
NIM : B1J0141118
Rombongan : IV
Kelompok : 4
Asisten : Meity Wardani Saputri

LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOBIOLOGI

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2016
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang

Darah adalah salah satu cairan tubuh yang beredar dalam sistem
pembuluh darah yang tertutup yang tersusun atas plasma dan sel darah. Volume
darah umumnya 6-8% dari berat badan, dipengaruhi oleh faktor umur, status
kesehatan, makanan, ukuran tubuh, laktasi, derajat aktivitas dan lingkungan.
Menurut Marieb (1988), sel darah dibentuk oleh tiga elemen yakni, sel darah
merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan keping darah. Fungsi darah
menurut Thomas (1983) adalah sebagai alat transportasi yang bekerja dengan
cara:
1. Bersirkulasi membawa nutrisi dari saluran pencernaan menuju ke jaringan
tubuh
2. Mengirim oksigen dari jantung ke jaringan sel dan karbondioksida dari
jaringan ke paru-paru
3. Membawa sisa-sisa metabolisme dari jaringan sel ke ginjal untuk
diekskresikan
4. Mempertahankan sistem keseimbangan dan buffer.
Leukosit merupakan unit aktif dari sistem pertahanan tubuh.
Pembentukan leukosit sebagian di sumsum tulang dan sebagian lagi di jaringan
limfe yang diangkut dalam darah menuju bagian tubuh untuk digunakan (Mayer,
2003). Fungsi leukosit menurut Guyton (1997) adalah untuk menghancurkan
agen penyerang dengan proses fagositosis dan membentuk antibodi yang dapat
menghancurkan atau membuat benda asing menjadi tidak aktif. Leukosit dibagi
menjadi dua kelompok besar, yakni granulosit atau yang memiliki butir khas dan
jelas dalam sitoplasma dan agranulosit atau yang tidak memiliki butir khas
dalam sitoplasma. Granulosit terdiri dari neutrofil, eosinofil dan basofil.
Sedangkan agranulosit dibagi menjadi dua, yaitu limfosit dan monosit. Masing
masing mempunyai fungsi dan kinetik yang independen dalam mekanisme
pertahanan tubuh terhadap infeksi.
Sistem imun pada ikan bekerja secara umum seperti sistem imun pada
mamalia. Stimulasi antigenik menginduksi respons imun yang dilakukan system
seluler secara bersama-sama diperankan oleh makrofag, limfosit B, dan limfosit
T. Makrofag memproses antigen dan menyerahkannya kepada limfosit. Limfosit
B yang berperan sebagai mediator imunitas humoral yang mengalami
transformasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi. Limfosit T
mengambil peran pada imunitas seluler dan mengalami diferensiasi fungsi yang
berbeda sebagai sub populasi (Sharma, 1991).

I.2 Tujuan
Tujuan praktikum acara ini adalah:
1. Mengetahui jenis-jenis sel imun granulosit dan agranulosit beserta fungsi
dan bentuknya.
2. Mengetahui persentase sel-sel imun pada berbagai hewan.

II. MATERI DAN CARA KERJA


II.1 Materi
Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah darah ayam, ikan,
mencit dan manusia, larutan Giemsa 7%, alkohol 70%, methanol dan akuades.
Alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah object glass, lancet
dan pen, spuit injeksi, mikroskop, gunting dan alat tulis.

II.2 Cara Kerja

1. Darah ikan diambil di bagian jantung menggunakan spuit injeksi.


2. Object glass dibersihkan menggunakan alkohol 70%.
3. Ujung object glass yang sudah bersih dan bebas lemak diteteskan satu tetes
darah ikan yang telah diambil sebelumnya.
4. Darah diapus/dismear menggunakan ujung object glass yang lain (tepinya
rata) dengan membentuk sudut 45 .
5. Preparat difikasasi pada methanol selama lima menit.
6. Sisa methanol dibersihkan, kemudian direndam pada larutan pewarna
giemsa 7% selama sepuluh menit.
7. Preparat dicuci pada air mengalir dan dikeringanginkan.
8. Setelah kering preparat diamati di bawah mikroskop dengan ditambahkan
minyak emersi di atasnya.
9. Preparat diamati dan dihitung jumlah leukositnya dalam sepuluh kali lapang
pandang.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


III.1 Hasil
Tabel 3.1 Hasil Pengamatan Sel-Sel Imun Granulosit dan Agranulosit

Limfosit Monosit Neutrofil Eosinofil Basofil


Kelompok Preparat
(%) (%) (%) (%) (%)
1 Ayam 32 % 16 % 33 % 14 % 5%
2 Ikan 46,7 % 30 % 6,7 % 16,7 % -
3 Manusia 80,95 % - 19,04 % - -
4 Mencit 43 % 12 % 31 % 10 % 2%

Perhitungan
Limfosit
13/30 x 100% = 43 %
Monosit
4/30 x 100% = 12%
Eosinofil
3/30x 100% = 10%
Neutrofil
9/30 x 100% = 31%
Basofil
1/30 x 100% = 2%

III.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil praktikum dan perhitungan yng dilakukan oleh


rombongan IV, bahwa jenis leukosit yang meliputi basofil, eosinofil, neutrofil,
limfosit dan monosit memiliki jumlah persentase yang berbeda-beda. Persentase
hasil perhitungan jenis limfosit, monosit, neutrofil, eosinofil dan basofil pada
ayam adalah 32%, 16%, 33%, 14% dan 5%. Kemudian persentase hasil
perhitungan jenis limfosit, monosit, neutrofil, eosinofil dan basofil pada ikan
adalah 46.7%, 30%, 6.7%, 16.7% dan 0. Selanjutnya persentase hasil
perhitungan jenis limfosit, monosit, neutrofil, eosinofil dan basofil pada manusia
adalah 80.95%, 0, 19.04%, 0 dan 0. Sedangkan persentase hasil perhitungan
jenis limfosit, monosit, neutrofil, eosinofil dan basofil pada mencit adalah 43%,
12%, 31%, 19% dan 2%. Hal tersebut tidak sesuai dengan pernyataan
Baratawidjaja (2009) untuk neutrofil dalam darah normal adalah berkisar antara
50-70 %, nilai normal eosinofil antara 1-3%, nilai normal basofil antara 0-1 %,
nilai normal monosit berkisar antara 2-8 % dan nilai normal limfosit adalah
sekitar 20-40% karena didapatkan hasil untuk neutrophil di bawah rata-rata dan
terdapat limfosit hingga 80.95%.
Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk
melindungi tubuh terhadap bahaya yang ditimbulkan berbagai bahan dalam
lingkungan hidup (Kresno, 2004). Pertahanan tubuh terhadap patogen terdiri dari
sistem imun alamiah atau nonspesifik yang sudah ada dalam tubuh, dan dapat
bekerja segera bila ada ancaman. Sedangkan sistem imun spesifik baru bekerja
setelah tubuh terpapar dengan mikroorgansime ke dua kali atau lebih. Sistem
imun nonspesifik terdiri dari faktor fisik seperti kulit, selaput lendir, silia, batuk
dan bersin, faktor larut yang terdiri dari faktor biokimia seperti lisozim
(keringat), sekresi sebaseus, asam lambung, laktoferin dan asam neuraminik,
faktor humoral sepeti komplemen, interferon dan CRP. Sedangkan faktor seluler
seperti sel fagosit (mono dan polimorfonukliar), sel NK, sel mast dan sel basofil.
Sistem imun spesifik terdiri dari faktor humoral seperti berbagai antibodi yang
diproduksi oleh sel B dan faktor seluler sel T. Darah juga memiliki limfosit
untuk mengenal konfigurasi asing. Memori spesifitas dan pengenalan zat asing
merupakan dasar dari respon imun. Faktor lain yang juga mempengaruhi
pembentukan respon imun adalah hormon kortisol. Limfosit dan hormon
kortisol akan meningkat jumlahnya seiring dengan peningkatan jumlah
konfigurasi protein asing dalam darah (Mardihasbullah et al., 2013). Status imun
atau status kekebalan seseorang akan menjadi acuan tingkat keparahan reaksi
kontaminasi bakteri di dalam darah (Dubey, 2015).
Menurut Bevelander (1988), sistem kekebalan tubuh terdiri atas sistem
imun spesifik (adaptive/acquired) dan sistem imun nonspesifik (natural/native).
Sistem imun spesifik terdiri dari sistem imun spesifik humoral dan selular.
Sistem imun yang berperan dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit
B atau sel B yang jika dirangsang oleh benda asing akan berproliferasi menjadi
sel plasma yang dapat membentuk antibodi (imunoglobulin). Selain itu juga
berfungsi sebagai Antigen Presenting Cells (APC). Sedangkan yang berperan
dalam sistem imun spesifik selular adalah limfosit T atau sel T yang berfungsi
sebagai regulator dan efektor. Fungsi regulasi terutama dilakukan oleh sel T
helper (sel TH, CD4) yang memproduksi sitokin seperti interleukin-4 (IL4 dan
IL-5) yang membantu sel B memproduksi antibodi, IL-2 yang mengaktivasi sel-
sel CD4, CD8 dan Interferon yang makrofag. Fungsi efektor terutama dilakukan
oleh sel T sitotoksik (CD8) untuk membunuh sel-sel yang terinfeksi virus, sel-
sel tumor, dan allograft. Fungsi efektor CD4+ adalah menjadi mediator reaksi
hipersensitifitas tipe lambat pada organisme intraseluler seperti Mycobacterium.
Semua sel dalam sistem imun berasal dari stem cells yang pluripoten di
dalam sumsum tulang (bone marrow), berkembang melalui proses
hematopoeisis. Terbagi dalam 2 jalur diferensiasi yaitu jalur mieloid dan jalur
limfoid. Macam-macam sel imun itu antara lain:
1. Sel Fagosit
Granular atau Polimorfonuklear
a. Neutrofil
Neutrofil (Polimorf), sel ini berdiameter 1215 m memilliki inti yang
khas padat terdiri atas sitoplasma pucat di antara 2 hingga 5 lobus dengan
rangka tidak teratur dan mengandung banyak granula merah jambu
(azuropilik) atau merah lembayung. Granula terbagi menjadi granula primer
yang muncul pada stadium promielosit, dan sekunder yang muncul pada
stadium mielosit dan terbanyak pada neutrofil matang.Kedua granula
berasal dari lisosom, yang primer mengandung mieloperoksidase, fosfatase
asam dan hidrolase asam lain, yang sekunder mengandung fosfatase lindi
dan lisosom.(Hoffbrand & Pettit, 1996).
Fungsi utama neutrofil adalah fagositosis dan mikrobiosidal. Menurut
Guyton (1997), neutrofil merupakan salah satu tipe dari sel darah putih
yang berperan penting dalam melindungi tubuh dalam melawan penyakit
dan infeksilewat proses fagositosis. Menurut Dellmann (1989), neutrofil
merupakan garis pertahanan pertama yang mampu keluar dari sirkulasi
darah menuju jaringan tempat terjadinya peradangan akibat infeksi bakteri
atau agen penyakit lainnya. Fungsi neutrofil terjadi secara efisien dalam
jaringan dan efektivitasnya dipengaruhi oleh defisiensi beberapa komponen
selular atau humoral, obat-obatan dan produk toksik bakterial.
b. Eosinofil
Sel ini serupa dengan neutrofil kecuali granula sitoplasmanya lebih
kasar dan berwarna lebih merah gelap (karena mengandung protein basa)
dan jarang terdapat lebih dari tiga lobus inti. Waktu perjalanan dalam darah
untuk eosinofil lebih lama daripada neutrofil. Eosinofil memasuki eksudat
peradangan dan nyata memainkan peranan istimewa pada respon alergi,
pada pertahanan melawan parasit dan dalam pengeluaran fibrin yang
terbentuk selama peradangan.(Hoffbrand & Pettit, 1996).
Eosinofil berperan aktif dalam pengaturan respon alergi dan
peradangan akut, infeksi parasit (cacing dan beberapa protozoa), proses
koagulasi dan fibrinolisis, antigen-antibodi kompleks, mikoplasma dan ragi
(Dellmann, 1989). Menurut Tizard (1988), eosinofil mempunyai dua fungsi
istimewa, pertama, menyerang dan menghancurkan kutikula larva cacing
dan kedua dapat menetralkan faktor radang yang dilepaskan oleh sel mast
dan basofil dalam reaksi hipersensitifitas tipe 1. Menurut Raphael (1987),
eosinofil dalam reaksi alergi berperan sebagai pembawa histamin pada
reaksi pertahanan tubuh dimana eosinofil akan tertarik pada daerah radang
oleh faktor kemotaktik eosinofil. Pada jaringan yang mengalami reaksi
alergi, eosinofil cenderung untuk berkumpul. Hal ini menurut Guyton
(1997) disebabkan oleh induksi dari sel mast dan basofil yang ikut serta
berperan dalam reaksi alergi dalam pelepasan faktor kemotaktik eosinofil
sehingga terjadi migrasi eosinofil ke jaringan alergik yang meradang.
c. Basofil
Basofil hanya terlihat kadang-kadang dalam darah tepi normal.
Diameter basofil lebih kecil dari neutrofil yaitu sekitar 9-10 m. Jumlahnya
1% dari total sel darah putih. Basofil memiliki banyak granula sitoplasma
yang menutupi inti dan mengandung heparin dan histamin. Dalam jaringan,
basofil menjadi mast cells. Basofil memiliki tempat-tempat perlekatan
IgG dan degranulasinya dikaitan dengan pelepasan histamin. Fungsinya
berperan dalam respon alergi (Hoffbrand & Pettit, 1996).
Basofil menurut Tizard (1988) mempunyai fungsi yang menyerupai
selmast, yakni membangkitkan proses peradangan akut pada tempat
deposisi antigen dengan melepaskan mediator seperti histamin, bradikinin
dan serotonin untuk aktivitas peradangan dan alergi. Menurut Dellmann
(1989), basofil juga ikut berperan dalam metabolisme trigliserida dan
memiliki reseptor untuk IgE dan IgG yang menyebabkan degranulasi
melalui eksositosis. Granula basophil mengandung heparin, histamin, asam
hialuron, kondroitin sulfat, serotonin dan beberapa faktor kemotakti.
Heparin berfungsi untuk mencegah pembekuan darah dan mempercepat
pelepasan jaringan lemak dari darah, sedangkan histamin berfungsi untuk
menarik eosinofil (Ganong, 2002).
Agranula atau Mononuklear
a. Monosit
Bentuk monosit bermacam-macam, biasanya lebih besar daripada
leukosit darah, memiliki diameter 16-20 m dan memiliki inti besar di
tengah oval atau berlekuk dengan kromatin mengelompok. Terdapat
sitoplasma yang melimpah, berwarna biru pucat dan mengandung banyak
vakuola halus sehingga terlihat seperti kaca (Hoffbrand & Pettit, 1996).
Monosit di dalam sirkulasi darah dikenal sebagai sistem fagositik
mononuclear atau mononuclear phagositic system (MPS) terhadap infeksi
yang tidak terlalu akut. Monosit memiliki peran penting dalam reaksi
imunologi dengan membentuk protein dari suatu komplemen dan
mengeluarkan substansi yang mempengaruhi terjadiiya proses pemdangan
kronis (Swenson, 1984). Menurut Guyton (1997), monosit di dalam
sirkulasi darah memiliki sedikit kemampuan dalam melawan bahan
infeksius, kemudian masuk ke dalam jaringan untuk menjadi makrofag
jaringan. Selain itu, monosit juga mensekresikan kolagenase, elastase dan
aktivator plasrninogen yang berguna dalam proses penyembuhan luka dan
fagositosis (Tizard, 1988).
b. Limfosit
Sebagian besar limfosit yang terdapat dalam darah merupakan sel kecil
yang berdiameter sekitar 10m. Intinya berwarna gelap berbentuk bundar
atau agak berlekuk dengan kelompok kromatin kasar yang tidak terlalu
jelas. Sitoplasmanya berwarna biru-langit dan dalam kebanyakan sel,
terlihat seperti bingkai halus yang berada di sekitar inti sel. Sekitar 10%
limfosit yang beredar merupakan sel yang lebih besar dengan diameter 12-
16m dengan kebanyakan sitoplasmanya mengandung sedikit granula
azuropilik. Bentuk yang lebih besar ini dipercaya telah dirangsang oleh
antigen, misalnya virus atau protein asing (Hoffbrand & Pettit, 1996).
2. Sel NK
Sel NK atau Natural Killer juga dikenal sebagai limfosit granular besar
(LGL). Sel ini memiliki fungsi dalam membunuh sel yang terinfeksi virus atau
mengubah bentuk sel. Keberadaannya dapat diidentifikasi oleh CD56 + atau
CD16 + atau CD3-. Sel ini akan aktif setelah bertemu dengan IL-2 dan IFN-
yang kemudian akan menjadi sel LAK. Sel NK (limfosit granular besar),
ditemukan di seluruh jaringan tubuh tetapi terutama dalam sirkulasi, merupakan
5-10% dari limfosit dalam darah manusia. Mengandung zat sitotoksik yang
penting untuk perlindungan terhadap virus dan beberapa tumor, serta mensekresi
sitokin yang mencegah replikasi virus dan membantu untuk mengaktifkan
kekebalan sel dimediasi T (Hoffbrand & Pettit, 1996).
3. Sel Mast
Sel mast adalah sel jaringan ikat bulat sampai lonjong, bergaris tengah 20-
30 m, yang sitoplasmanya terisi dengan granula basofilik. Intinya agak kecil,
bulat, letaknya di pusat, seringkali tertutup oleh granula sitoplasma.
Bertanggung jawab untuk me-rilis terbentuknya ledakan sitokin, kemokin,
histamine. Fungsi dari sel mast sendiri adalah untuk kekebalan terhadap parasite
dan fagositosis berbagai bakteri (Hoffbrand & Pettit, 1996).
4. Sel Basofil
Basofil adalah granulosit yang memberikan noda biru dengan pewarna
dasar dan hadir dalam jumlah yang sangat rendah dalam sirkulasi (<0,2% dari
leukosit granular). Morfologi basofil dan sel mast sangat mirip. Keduanya
mengandung dan melepaskan butiran karakteristik elektron-padat besar dalam
sitoplasma mereka selama reaksi alergi. Seperti semua granulosit, basofil
dihasilkan dari sel induk di sumsum tulang (Hoffbrand & Pettit, 1996).
Praktikum kali ini menggunakan beberapa alat dan bahan untuk
menunjang keberhasilan acara praktikum. Pada acara kali ini digunakan darah
sebagai sambel untuk memeriksa kadar sel imun granulosit dan agranulosit.
Selanjutnya, menggunakan methanol yang akan berfungsi sebagai larutan
fiksatif, yaitu larutan yang berguna untuk memfiksasi sel-sel imun yang terdapat
di dalam darah. Kemudian juga digunakan larutan giemsa sebagai larutan
pewarna dan alkohol 70% yang berfungsi untuk membersihkan object glass dari
sisa-sisa minyak yang masih ada (Guyton, 1997).
Teknik diagnosa pemeriksaan sel dapat dilakukan dengan menggunakan
apusan darah, deteksi antigen, dan PCR. Menurut Ndao et al. (2004), teknik
diagnosa pemeriksaan sel yang banyak dilakukan adalah menggunakan apusan
darah dengan larutan Giemsa. Penggunaan apusan darah ini diamati dengan
mikroskop. Menurut Jawetz (1974), apusan darah merupakan salah satu cara
mengamati materi-materi yang ada dalam darah baik materi padat atau cair.
Materi padat terdiri dari sel darah merah, sel darah putih, dan keping darah.
Pembuatan apusan darah menggunakan pewarnaan Giemsa. Saat pewarnaan
preparat menggunakan larutan Giemsa harus ditunggu sampai kering terlebih
dahulu baru dicuci dengan air mengalir sebab apabila belum kering tetapi sudah
dicuci maka ketika diamati menggunakan mikroskop maka darah akan terlihat
menggumpal. Jenis apusan darah yaitu sediaan darah tipis dan sediaan darah
tebal.
Menurut Lagler (1977), jumlah leukosit dipengaruhi oleh kondisi tubuh,
stress, kurang makan atau disebabkan oleh faktor lain. Penurunan jumlah
leukosit dapat terjadi karena infeksi usus, keracunan bakteri septicoemia,
kehamilan, dan partus. Hewan yang terinfeksi akan mempunyai jumlah leukosit
yang banyak karena leukosit berfungsi melindungi tubuh dari infeksi. Jumlah sel
sel sistem imun dalam darah berbeda satu dengan yang lainnya, hal ini
disebabkan karena beberapa faktor seperti adanya penyakit, alergi terhadap suatu
bahan tertentu, faktor genetik dan usia. Penderita leukimia jumlah leukosit
dalam darah akan sangat berlebihan dan ini akan sangat berbahaya. Selain itu
jumlah eosinofil pada orang yang terkena alergi akan lebih banyak dibandingkan
dengan orang sehat. Seseorang yang menderita infeksi mempunyai banyak
neutrofil untuk membunuh kuman. Hal ini dapat diperlihatkan dengan
menginkubasi sediaan apus darah yang tidak difiksasi dengan NBT. Neutrofil
yang diaktivasi mengandung butir-butir besar formazan berwarna hitam dalam
sitoplasmanya. Pada orang normal kurang dari 10% neutrofil mengandung
formazan. Pada penderita dengan infeksi jumlah neutrofil dalam darah yang
mengandung formazan dapat mencapai 45% (Widmann, 1995).
IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:


1. Sel-sel imun terbagi menjadi sel agranulosit yang terdiri dari monosit dan
limfosit serta sel granulosit yang terdiri dari eosinofil, basofil dan neutrofil.
Masing-masing sel imun tersebut memiliki fungsinya masing masing dalam
menghadapi jika adanya serangan benda asing di dalam tubuh.
2. Terdapat persentase normal dari masing masing sel imun yaitu neutrofil dalam
darah normal adalah berkisar antara 50-70 %, nilai normal eosinofil antara 1-
3%, nilai normal basofil antara 0-1 %, nilai normal monosit berkisar antara 2-8
% dan nilai normal limfosit adalah sekitar 20-40%.
DAFTAR REFERENSI

Baratawidjaja, Karnen, dan Rengganis, Iris. 2009. Imunologi Dasar edisi ke-8.
Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.

Bevelander, G. 1988. Dasar-Dasar Histologi. Jakarta: Erlangga.

Dellmann, H. D., dan Brown, E. M. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner. Hartono
(Penerjemah). Jakarta: UI Press.

Dubey, A. 2015. Issues Pertaining to Blood Transfusion in Immunocompromised


Patients. Journal of Immune Research, 2(2), pp. 1-2.

Ganong W. F. 2002. Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed ke-20. Jakarta: Penerbit


Buku Kedokteran EGC.

Guyton A. C., dan Hall J. E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta:
EGC.

Hoffbrand, A. V. dan Pettit J. E., 1996. Kapita Selekta : Hematologi (Essential


Haematology). Edisi II. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Jawetz, Melnick, and Alderbergs. 1974. Medical Microbiology Twenty Second


Edition. New York: Mc. Graw Hill.

Kresno, S. B. 2004. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi


keempat. Jakarta: Universitas Indonesia.

Lagler, K. F. 1977. Ichtiology 2nd Edition. New York: Jhon Willey and Sons.

Mardihasbullah, E., Idris, M., dan Sabilu, K. 2013. Akumulasi Nikel (Ni) Dalam
Darah Ikan Bandeng (Chanos chanos forskal) yang Dibudidayakan di Sekitar
Area Tambang. Jurnal Mina Laut Indonesia, 1(1), pp. 1-9.

Mayer, G. 2003. Virology Chapter Twelve Virus Host Interactions University of


South Caorlina.Rastogi SC 1977 Essential of Animal Physiology. New Delhi:
Willley Easterm Limited.

Marieb, E. 1988. Essentials of Human Anatomy and Physiology. Ed ke-2. California:


The Benjamin Cummings Pub.

Ndao, Momar, E. Bandyayera, E. Kokosin, T. W. Gyorkos, J. D. Maclean, and B. J.


Ward. 2004. Comparison of Blood Smear, Antigen Detection, and Nested-
PCR Methods for Screening Refugees from Regions Where Malaria Is
Endemic after a Malaria Outbreak in Quebec, Canada. Journal of clinical
microbiology, 42(6)

Raphael, S. S. 1987. Lynch's Medical Laboratory Technology. Philadelphia: W. B.


Saunders Company.
Sharma, J. M. 1991. Overview of Avian Immune System. Vet Immunol and
Immunopathol, 30, pp. 13-17.

Swenson, M. J. 1984. Dukes Physiology of Domestic Animals. London: Publishing


Assciattes a Division of Conall University.
Thomas, V. 1983. Parasitologi Perubatan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Pustaka.

Tizard, I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Surabaya: Airlangga University.


Terjemahkan dari: An Introduction to Veterinary Immunology.

Widmann, F. K. 1995. Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemerikasaan Laboratorium.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

You might also like