You are on page 1of 26

MAKALAH

Fiqh Muamalah

Tentang

HARTA

DISUSUN OLEH :

NAMA : ANGGA SETIADI


DOSEN : DIAN MELIZA, S,Hi,. MA
SEMESTER : II

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM KUANTAN SINGINGI
(UNIKS)
2017
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadiran Allah SWT. Atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya lah sehingga penulis dapat menyelesiakan Laporan ini,
yang berjudul HARTA dapat selesai pada waktu yang telah di tentukan.
Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi besr
Muhammad Saw.
Dengan terselesianya makalah ini, tak lupa penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyususnan
makalah ini
Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena
itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga saja makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Terimakasih

Wassalamualaikum wr.wb.

Teluk Kuantan Maret 2017


Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
A . Latar Belakang......................................................................................1
B . Rumusan Masalah.................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................
A . Pengertian Harta....................................................................................
B. Asas Kurikulum Pendidikan Islam........................................................
C. Prinsip-Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam........................................
D. Isi Kurikulum Pendidikan Islam............................................................

BAB III. PENUTUP.........................................................................................15


A . Kesimpulan...........................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................16
BAB I
LATAR BELAKANG
A. Pendahuluan
Harta dalam bahasa arab disebut al-maal, yang merupakan akar kata dari
lafadz yang berarti condong, cenderung, dan miring.
Dalam al-Muhith dan Lisan Arab, menjelaskan bahwa harta merupakan
segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia untuk menyimpan dan
memilikinya. Dengan demikian unta, kambing, sapi, tanah, emas, perak, dan
segala sesuatu yang disukai oleh manusia dan memiliki nilai (qimah), ialah harta
kekayaan.
-Ibnu Asyr- mengatakan bahwa Kekayaan pada mulanya berarti emas dan
perak, tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi segala barang yang
disimpan dan dimiliki
Sedangkan harta (al-maal), menurut Hanafiyah
ialah sesuatu yang digandrungi oleh tabiat manusia dan memungkinkan
untuk disimpan hingga dibutuhkan.
Maksud pendapat di atas definisi harta pada dasarnya merupakan sesuatu
yang bernilai dan dapat disimpan. Sehingga bagi sesuatu yang tidak dapat
disimpan, tidak dapat dikatagorikan sebagai harta. Adapun manfaat termasuk
dalam katagori sesuatu yang dapat dimiliki, ia tidak termasuk harta. Sebaliknya
tidaklah termasuk harta kekayaan sesuatu yang tidak mungkin dipunyai tetapi
dapat diambil manfaatnya, seperti cahaya dan panas matahari. Begitu juga
tidaklah termasuk harta kekayaan sesuatu yang pada gahlibnya tidak dapat
diambil manfaatnya, tetapi dapat dipunyai secara kongrit dimiliki, seperti
segenggam tanah, setetes air, seekor lebah, sebutir beras dan sebagainya.
Dengan demikian, konsep harta menurut Imam Hanafi yaitu segala sesuatu
yang memenuhi dua kriteria :
Pertama : Sesuatu yang dipunyai dan bisa diambil manfaatnya menurut
ghalib.
Kedua : Sesuatu yang dipunyai dan bisa diambil manfaatnya secara kongkrit
(aayan) seperti tanah, barang-barang perlengkapan, ternak dan uang
Menurut Jumhur Ulama Fiqh selain Hanafiyyah mendefinisikan konsep
harta sebagai berikut :
Dari pengertian di atas, Jumhur Ulama memberikan pandangan bahwa
manfaat termasuk harta, sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan
dzatnya. Intinya bahwa segala macam manfaat-manfaat atas sesuatu benda
tersebut dapat dikuasai dengan menguasai tempat dan sumbernya, karena
seseorang yang memiliki sebuah mobil misalnya, tentu akan melarang orang lain
mempergunakan mobil itu tanpa izinnya.
Maksud manfaat menurut Jumhur Ulama dalam pembahasan ini adalah
faedah atau kegunaan yang dihasilkan dari benda yang tampak seperti mendiami
rumah atau mengendarai kendaraan. Adapun hak, yang ditetapkan syara kepada
seseorang secara khusus dari penguasaan sesuatu, terkadang dikaitkan dengan
harta, seperti hak milik, hak minum, dan lain lain. Akan tetapi terkadang tidak
dikaitkan dengan harta, seperti hak mengasuh dan lain-lain.
Menurut Imam as-Suyuthi harta ialah segala sesuatu yang dapat dimiliki
dan mempunyai nilai jual yang akan terus ada, kecuali bila semua orang telah
meninggalkannya. Jika baru sebagian orang saja yang meninggalkannya, barang
itu mungkin masih bermanfaat bagi orang lain dan masih mempunyai nilai bagi
mereka.
Menurut ahli hukum positif, dengan berpegang pada konsep harta yang
disampaikan Jumhur Ulama selain Hanafiyyah, mereka mendefinisikan bahwa
benda dan manfaat-manfaat itu adalah kesatuan dalam katagori harta kekayaan,
begitu juga hak-hak, seperti hak paten, hak mengarang, hak cipta dan sejenisnya.
Ibnu Najm mengatakan bahwa harta kekayaan, sesuai dengan apa yang
ditegaskan oleh ulama-ulama Ushul Fiqh, adalah sesuatu yang dapat dimiliki
dan disimpan untuk keperluan tertentu dan hal itu terutama menyangkut yang
kongkrit. Dengan demikian tidak termasuk di dalamnya pemilikan semata-semata
atas manfaat-manfaat saja. Dalam hal ini, beliau menganalogikan konsep harta
dalam persoalan waris dan wakaf, sebagaiman al-Kasyf al-Kabir disebutkan
bahwa zakat maupun waris hanya dapat terealisasi dengan menyerahkan benda
(harta atau tirkah dalam hal waris) yang kongkrit, dan tidak berlaku jika hanya
kepemilikan atas manfaat semata, tanpa menguasai wujudnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Harta ?
2. Apa saja Unsur-unsur harta ?
3. Bagaimana pandangan islam terhadap harta ?
4. bagaimana pembagian harta ?
5. apasaja fungsi dari harta ?
6. bagaimana asas pembagian harta ?
7 apa pengertian hak milik ?
8. sebab-sebab kepemilikan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Harta
Harta dalam bahasa Arab disebut al-mal, berasal dari kata - -
yang menurut bahasa berarti condong, cenderung, atau miring. Al-mal juga
diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka
pelihara, baik dalam bentuk materi, maupun manfaat.
Menurut bahasa umum, arti mal ialah uang atau harta. Adapun menurut
istilah, ialah segala benda yang berharga dan bersifat materi serta beredar di
antara manusia. 1[1]
Menurut ulama Hanafiyah yang dikutip oleh Nasrun Haroen,2[2] al-mal
(harta) yaitu:

Segala yang diminati manusia dan dapat dihadirkan ketika diperlukan, atau
segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan.
Menurut jumhur ulama (selain ulama Hanafiyah) yang juga dikutip oleh
Nasroen Haroen, al-mal (harta) yaitu:

"segala sesuatu yang mempunyai nilai, dan dikenal ganti rugi bagi orang
yang merusak atau melenyapkannya"
Harta tidak saja bersifat materi melainkan juga termasuk manfaat dari
suatu benda. Akan tetapi, ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang dimaksud
dengan harta itu hanya bersifat materi.
Milik adalah sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan tidak
dicampuri penggunaannya oleh orang lain. Adapun harta adalah sesuatu yang

1 [1] Wahbab al-Zuhaily, Al Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr,


2005), juz 4, hlm.8.

2
dapat disimpan untuk digunakan ketika dibutuhkan. Dalam penggunaannya, harta
dapat dicampuri oleh orang lain. Jadi, menurut ulama Hanafiyah, yang dimaksud
harta hanyalah sesuatu yang berwujud (ayan).
B. Unsur Unsur Harta
Unsur-unsur Harta, Menurut para Fuqaha harta bersendi pada dua unsur
yaitu unsur aniyah dan unsur urf. Unsur aniyah adalah bahwa harta itu ada
wujudnya dalam kenyataan (ayan). Manfaat sebuah rumah yang dipelihara
manudia tidak disebut harta tetapi termasuk milik atau hak.
Unsur Urf ialah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau
sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatu kecuali menginginkan
suatu manfaatnya, baik manfaat madiyah maupun manfaat manawiyah.
C. Pandangan Islam Memandang Harta
Hak milik adalah wewenang yang diberikan oleh syariat kepada individu
maupun publik untuk menggunakan atau memanfaatkan suatu harta tertentu.
Dalam ekonomi Islam, hak milik dibagi menjadi dua: hak milik pribadi, dan hak
milik publik. Inti dari sistem ekonomi kapitalis adalah pengakuan atas hak milik
pribadi dan tidak mengakui hak milik publik (umum), tetapi menganggapnya
hanya sebagai pengecualian. Dalam sistem ini, setiap individu mendapatkan
kebebasan sebebas-bebasnya dalam menggunakan harta pribadinya tanpa adanya
suatu aturan, bahkan negara tidak mempunyai hak untuk mengintervensi hak
milik ini. Sebaliknya, dalam sistem ekonomi sosialis hak milik pribadi hanyalah
sebagai pengecualian, dan yang diakui hanyalah hak milik publik. Dengan
demikin, seseorang tidak berhak untuk memiliki harta, pemilik harta adalah
negara. Tak satupun dari kedua sistem ini yang berhasil menempatkan individu
selaras dalam suatu mosaik sosial.
Berbeda dengan dua sistem ekonomi tersebut, Islam mengakui kedua
konsep hak milik secara bersamaan. Dalam artian, Islam tidak hanya mengakui
hak milik individu saja, tetapi juga mengakui hak milik publik. Pengakuan atas
hak milik pribadi ini tentu saja tidak dibebaskan sebebas-bebasnya tanpa aturan
seperti halnya dalam sistem ekonomi kapitalis, tapi Islam memberikan aturan
main dalam hal usaha untuk mendapatkan harta dan juga dalam penggunaan harta.
Islam tidak hanya mengakui hak milik individu, tapi juga melindungi hak milik
individu dari siapa saja yang ingin merebutnya. Bahkan, pemerintah tidak boleh
merebut ataupun mencabut hak tersebut dari pemiliknya. Dan jika pemerintah
ingin menguasai hak milik ini karena adanya suatu maslahat umum di dalamnya,
maka harus menggantinya dengan nilai yang sesuai.
Pandangan Islam mengenai harta dapat diuraikan sebagai berikut:
5) Pemiliki Mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah
ALLAH SWT. Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk
melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuanNya
Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari
hartamu yang Allah Telah menjadikan kamu menguasainya[1456]. Maka orang-
orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya
memperoleh pahala yang besar. (QS Al_Hadiid: 7).
[1456] yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan yang bukan
secara mutlak. Hak milik pada hakikatnya adalah pada Allah. Manusia
menafkahkan hartanya itu haruslah menurut urge-hukum yang Telah disyariatkan
Allah. Karena itu tidaklah boleh kikir dan boros.
Dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda: Seseorang pada
Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa
dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan
dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dipergunakan.
2) Status harta yang dimiliki manusia adlah sebagai berikut:
a. Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang
amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada.
b. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa
menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan ( Ali Imran: 14). Sebagai
perhiasan hidup harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan serta
kebanggaan diri.(Al-Alaq: 6-7).
c. Harta sebgai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan
memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak (al-Anfal: 28).
d. Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksankan perintah menyadan
melaksanakan muamalah si antara sesama manusia, melalui zakat, infak, dan
sedekah.(at-Taubah :41,60;
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada urge yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Q.s Ali
Imran: 133-134).
3) Pemilikan harta dapat dilakukan melalui usaha (amal) ataua mata pencaharian
(Maisyah) yang halal dan sesuai dengan aturanNya.
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan Ketahuilah, bahwa
Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Q.s. Al-Baqarah:267).[8]
Dalam sebuah Hadits di katakana :
Sesungguhnya Allah mencintai hambaNya yang bekerja. Barangsiapa yang
bekerja keras mencari nafkah yang halal untk keluarganya maka sama dengan
mujahid di jalan Allah. (HR Ahmad).
4) Dilarang mencari harta , berusaha atau bekerja yang melupakan mati (at-
Takatsur:1-2), melupakan Zikrullah/mengingat ALLAH (al-Munafiqun:9),
melupakan sholat dan zakat (an-Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada
sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr: 7).
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari
harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah,
untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang
yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang
Kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah.
Dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (Q.s. Al-Hasyr: 7).
5) Dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba (al-
Baqarah: 273-281), perjudian, jual beli barang yang haram (al-maidah :90-91),
mencuri merampok (al-Maidah :38), curang dalam takaran dan timbangan (al-
Muthaffifin: 1-6), melalui cara-cara yang batil dan merugikan (al-Baqarah:188),
dan melalui suap menyuap (HR Imam Ahmad).
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Maidah :
38)
D. Pembagian Harta
Pembagian Harta Menurut Fuqaha ini dapat ditinjau dari beberapa segi.
Harta terdiri dari beberapa bagian, tiap-tipa bagian memiliki ciri khusus dan
hukumnya tersendiri, adapun pembagian jenis harta ini sebagai berikut :
1. Mal Mutaqawwin dan Ghair Mutaqawwin
a. Harta mutaqawwin, adalah semua harta yang baik jenisnya maupun cara
memperoleh dan penggunaannya. Misalnya kerbau halal dimakan oleh umat
Islam, tetapi kerbau tersebut disembelih tidak sah menurut syara, misalnya
dipukul, maka daging kerbau tidak bisa dimanfaatkan karena cara
penyembelihannya batal menurut syara.
b. Harta Ghair mutaqawwin, yakni tidak boleh diambil manfaatnya, baik
jenisnya, cara memperolehnya maupun cara penggunaannya. Misalnya babi
termasuk ghair mutaqawwin, karena jenisnya. Sepatu yang diperoleh dengan cara
mencuri termasuk ghair mutaqawwin karena cara memperolehnya yang haram,
Uang disambungkan untuk membangun cara pelacuran, termasuk harta ghair
mutaqawwin karena penggunaannya itu.
2. Mal Mitsli dan Mal Qimi
a. Mal Mitsli, benda-benda yang ada persamaan dalam kesatuan-kesatuannya
dalam arti dapat berdiri sebagiannya di tempat yang lain, tanpa ada perbedaan
yang perlu dinilai.
b. Mal Qimi, benda-benda yang kurang dalam kesatuan-kesatuannya, karenanya
tidak dapat berdiri sebagiannya di tempat yang lain, tanpa ada perbedaan yang
dinilai.
c. Dengan perkataan lain, harta mitsli adalah harta yang jenisnya diperoleh di
pasar (secara persis), dan qimi ialah harta yang jenisnya sulit didaptkan di pasar,
bisa diperoleh, tapi jenisnya berbeda, kecuali dalam nilai harganya. Jadi, harta
yang ada imbangannya (persamaannya) disebut mitsli dan harta yang tidak ada
imbangannya secara tepat disebut qimi. Misalnya seorang pembeli senjata api
akan kesulitan mencar imbangannya di Indonesia, bahkan mungkin tidak ada.
Maka senjata api Rusia di Indonesia termasuk harta qimi, tetapi harta tersebut di
Rusia termasuk harta mitsli karena barang ini tidak sulit untuk diperoleh. Harta
yang disebut qimi dan mitsli bersifat amat relatif dan kondisional, artinya bisa saja
di suatu tempat atau negara yang satu menyebutnya qimi dan ditempat lain
menyebutnya sebagai jenis harta mitsli.
3. Harta Istihlak dan Harta Istimal
a. harta istihlak, terbagi menjadi 2 yaitu harta istihlak haqiqi dan istihlak huquqi.
Harta istihlak haqiqi, adalah suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas
(nyata) zatnya habis sekali digunakan sedangkan harta istihlak huquqi yaitu suatu
harta yang sudah habis nilainya bila sudah tidak digunakan, tetapi zatnya masih
tetap ada. Misalnya uang yang dipakai untuk membayar utang, dipandang habis
menurut hukum walaupun uang tersebut masih utuh, hanya pindah
kepemilikannya.
b. harta istimal, yaitu sesuatu yang dapat digunakan berulang kali dan materinya
tetap terpelihara. HArta istimal tidaklah habis sekali digunakan, tetapi dapat
digunakan lama menurut apa adanya, seperti kebun, tempat tidur, pakaian, sepatu,
dan lain sebagainya.
Perbedaan 2 jenis harta ini, yaitu harta istihlak habis satu kali digunakan
sedangkan harta istimal tidak habis dalam satu kali pemanfaatan.
4. Harta Manqul dan Harta Ghair Manqul
a. Harta Manqul, segala harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari satu tempat
ke tempat lain. Seperti emas, perak, perunggu, pakaian, kendaraan, dan lain
sebagainya.
b. Harta Ghair Manqul, sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan dibawa dari satu
tempat ke tempat lain. Seperti kebun, rumah, pabrik, sawah dan yang lainnya.
5. Harta Ain dan harta Dayn
a. Harta Ain, yaitu harta yang berbentuk benda, seperti rumah, pakaian, beras,
jambu, kendaraan (mobil), dan yang lainnya. Harta ain terbagi menjadi dua :
harta ain dzati qimah, yaitu suatu benda yang memiliki bentuk yang dipandang
sebagai harta karena memiliki nilai.
harta ain ghayr dzati qimah, yaitu suatu benda yang tidak dapayt dipandang
sebagai harta karena tidak memiliki harga, misalnya sepiji beras.
b. Harta dayn, sesuatu yang berada dalam tanggung jawab. Seperti uang yang
berada dalam tanggung jawab seseorang.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa harta tidak dapat dibagi menjadi harta ain
dan dayn karena harta menurut hanafiyah ialah sesuatu yang berwujud, maka
sesuatu yang tidak berwujud tidaklah dianggap sebagai harta, misalnya utang
tidak dipandang sebagai harta tetapi utang menurut Hanafiyah adalah washfi al-
dhimmah.
6. Mal al-ain dan mal al-nafi (manfaat)
a. Harta aini ialah suatu benda yang memiliki nilai dan berbentuk (berwujud),
misalnya rumah, ternak dan lainnya.
b. Harta nafi ialah aradl yang berangsur-angsur tumbuh menurut perkembangan
masa, oleh karena itu mal al nafi tidak berwujud dan tidak mungkin disimpan.
Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa harta ain dan harta nafi ada
perbedaan dan manfaat dianggap sebagai harta mutaqawwin (harta yang dapat
diambil manfaatnya) karena manfaat adalah sesuatu yang dimaksud dari
pemilikan harta benda.
Hanafiyah berpendapat sebaliknya, bahwa manfaat dianggap bukan harta, karen
manfat tidak berwujud, tidak mungkin untuk disimpan, maka manfaat tidak
termasuk harta, manfaat adalah milik.
7. Harta Mamluk, Mubah, dan Mahjur
a. Harta mamluk, sesuatu yang masuk ke bawah milik, milik perorangan maupun
milik badan hukum, seperti pemerintah dan yayasan.
b. Harta Mubah, sesuatu yang pada asalnya bukan milik seseorang, seperti air
pada mata air, binatang burung darat, laut, pohon-pohon di hutan dan buah
buahannya.
Tiap-tiap manusia boleh memiliki harta mubah sesuai dengan ketetapannya, orang
yang mengambilnya akan menjadi pemiliknya sesuai dengan kaidah :
barangsiapa yang mengeluarkan dari harta mubah, maka ia menjadi pemiliknya
c. Harta Mahjur, sesuatu yang tidak dibolehkan dimiliki sendiri dan memberikan
kepada orang lain menurut syariat, adakalanya benda itu benda wakaf ataupun
benda yang dikhususkan untuk masyarakat umum, seperti jalan raya, masjid-
masjid, kuburan-kuburan, dan yang lainnya.
8. Harta yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
a. Harta yang dapat dibagi, adalah harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian
atau kerusakan apabila harta itu dibagi-bagi, misalnya beras tepung dan yang
lainnya.
b. Harta yang tidak dapat dibagi, adalah harta yang menimbulkan suatu kerugian
atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi, misalnya gelas, kursi, meja,
mesin, dan yang lainnya.
9. Harta Pokok dan Harta Hasil (buah)
Harta pokok adalah harta yang mungkin darinya terjadi harta lain. sedangkan
harta hasil (samarah) ialah harta yang terjadi dari harta yang lain. Pokok harta
bisa juga disebut modal misalnya uang, emas dan lainnya, contoh harta pokok dan
harta hasil adalah bulu domba dihasilkan dari domba, maka domba merupakan
harta pokok dan bulunya merupakan harta hasil, atau kerbau yang beranak,
anaknya dianggap sebagai harta hasil dan induknya yang melahirkannya disebut
harta pokok.
10. Harta Khas dan Harta am
a. Harta Khas, yaitu harta pribadi, tidak bersekutu dengan harta lain, tidak boleh
diambil manfaatnya tanpa disetujui pemiliknya.
b. Harta am, harta milik umum (bersama) yang boleh diambil manfaatnya.
Harta yang dapat dikuasai (ikhraj) terbagi menjadi dua bagian yaitu sebagai
berikut :
harta yang termasuk milik perseorangan.
harta-harta yang tidak dapat termasuk milik perseorangan.
Harta yang dapat menjadi milik perseorangan, ada dua macam yaitu :
Harta yang bisa menjadi milik perorangan, tetapi belum ada sebab pemilikan,
misalnya buruan binatang buruan di hutan.
Harta yang bisa menjadi milik perorangan, adalah harta yang menurut syara
tidak boleh dimiliki sendiri, misalnya sungai, jalan raya dan yang lainnya.
Sekian dari informasi ahli mengenai Pengertian Harta, Unsur-unsur, Fungsi Harta
dan Pembagian Harta, semoga tulisan dari informasi ahli terkait dengan
Pengertian Harta, Unsur-unsur, Fungsi Harta dan Pembagian Harta dapat
bermanfaat bagi pembaca.
D. Fungsi Harta
Fungsi harta bagi manusia sangat banyak. Harta dapat menunjang kegiatan
manusia, baik dalam kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu,
manusia selalu berusaha untuk memiliki dan menguasainya. Tidak jarang dengan
memakai beragam cara yang dilarang syara dan urge urge, atau ketetapan yang
disepakati oleh manusia.
Biasanya cara memperoleh harta, akan berpengaruh terhadap fungsi harta.
Seperti orang yang memperoleh harta dengan mencuri, ia memfungsikan harta
tersebut untuk kesenangna semata, seperti mabuk, bermain wanita, judi, dan lain-
lain. Sebaliknya, orang yang mencari harta dengan cara yang halal, biasanya
memfungsikan hartanya untuk hal-hal yang bermanfaat.
Dalam pembahasan ini, akan dikemukakan fungsi harta yang sesuai
dengan syara, antara lain untuk:
1. Kesempurnaan ibadah mahdhah, seperti shalat memerlukan kain untuk
menutup aurat.
2. Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT,
sebagai kefakiran mendekatkan kepada kekufuran.
3. Meneruskan estafeta kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah (QS.
An-Nisaa:9).
4. Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat, Rasulullah SAW. Bersabda:

( )

Artinya:
tidaklah seseorang itu makan walaupun sedikit yang lebih baik daripada
makanan yang ia hasilkan dari keringatnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah,
Daud, telah makan dari hasil keringatnya sendiri (HR. Bukhari dari Miqdam bin
Madi Kariba)

Dalam hadist lain dinyatakan:

( )


Artinya:
bukanlah orang yang baik bagi mereka, yang meninggalkan masalah dunia
untuk masalah akhirat, dan meninggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia,
melainkan seimbang di antara keduanya, karena masalah dunia dapat
menyampaikan manusia kepada masalah akhirat (HR. Bukhari)

5. Bekal mencari dan mengembangkan ilmu.


6. Keharmonisan hidup bernegara dan bermasyarakat, seperti orang kaya yang
memberikan pekerjaan kepada orang miskin.
7. Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan tuan.
8. Untuk menumbuhkan silaturrahim.
F. Asas-asas kepemiliakan Harta
Di dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah mencantumkan empat asas
kepemilikan benda, yaitu, asas amanah, infiradiyah, ijtimaiyah, dan manfaat3[8]
1. Asas Amanah
Allah menempatkan isteri, anak dan harta di satu sisi sebagai amanah, dan di satu
sisi yang lain sebagai fitnah. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak
mempunyai kepemilikan mutlak atas harta yang dikuasainya. Dari sudut teologi
Allah adalah Pemilik langit dan bumi dengan segala isinya, sekaligus juga Allah-
lah sebagai Dzat Yang memiliki kekayaan. Sebagaimana termuat dalam Surat Al
Hudud ayat 2
Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, dia menghidupkan dan
mematikan, dan dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.4[9]
Allah SWT telah menyerahkan harta kekayaan kepada manusia untuk diatur dan
dibagikan kepada mereka. Karena itulah manusia telah diberi hak untuk memiliki
.dan menguasai harta tersebut
Terjemahnya:
Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari
hartamu yang Allah Telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang
yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya
memperoleh pahala yang besar. (QS. Al-Hadid : 7)5[10]

penguasaan yang bukan secara mutlak. hak milik pada hakikatnya adalah pada
Allah. manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang
Telah disyariatkan Allah. Karena itu tidaklah boleh kikir dan boros.

3[8] Lihat. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02


Tahun 2008, Pasal 17.
4[9] Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya. Bumi Restu,
5[10] Ibid.
Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-
kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. (QS. Nuh :
12)

Ketika Allah SWT menjelaskan tentang status asal kepemilikan harta


kekayaan tersebut, Allah SWT menyandarkan kepada diri-Nya, dimana Allah
SWT menyatakan 'Maalillah' (harta kekayaan milik Allah). Sementara ketika
Allah SWT menjelaskan tentang perubahan kepemilikan kepada manusia, maka
Allah menyandarkan kepemilikan tersebut kepada manusia. Dimana Allah SWT
menyatakan dengan firman-Nya :
Manusia diberikakn kewenangan mengeksplolarasi dan memanfaatkannya
untuk kemaslahatan manusia. Kewenangan yang diberikan bukan kewenangan
mutlak, tetapi hanya sebuah titipan yang sewaktu-waktu akan dicabut. Manusia
diamanatkan bahwa harta yang dimilkinya bersifat nisbih. Oleh karena itu cara
memperoleh dan cara penggunaannya harus menurut kehendak Pemilk mutlak.
Penegasan ini menunjukkan bahwa cara memperoleh dan cara
penggunaannya dengan cara yang halal, dan berkualitas. Hukum Islam
menempatkan harta sebagai salah satu dari sumber fitnah. Sedangkan fitnah itu
sendiri suatu perilaku yang memprofokasi individu-individu atau sekelompok
orang dengan pemberitaan yang tidak benar.
2. Asas infiradiyah
Kepemilikan individu adalah ketetapan hukum syara' yang berlaku bagi
zat ataupun manfaat (jasa) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang
mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh
kompensasi dari barang tersebut (jika barangnya diambil kegunaannya oleh orang
lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti
dibeli). Oleh karena itu setiap orang bisa memiliki kekayaan dengan sebab-sebab
(cara-cara) kepemilikan tertentu.
An-Nabhaniy mengemukakan, dengan mengkaji secara komprehemsif
hukum-hukum syara' yang menentukan pemilikan seseorang atas harta tersebut,
maka akan nampak bahwa sebab-sebab kepemilikan tersebut terbatas pada lima
sebab berikut ini :
(1) Bekerja.
(2) Warisan.
(3) Kebutuhan akan harta untuk mempertahankan hidup.
(4) Harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat.
(5) Harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau
tenaga apapun.6[11]
Kepemilikan harta pada dasarnya bersifat individual dan penyatuan benda
dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha atau koperasi.7[12] hukum Islam
memberikan kebebasan bagi manusia secara individu untuk memiliki harta
sebanyak-banyak.
Allah telah menyuruh mnusia untuk mencari sebanyak-banyaknya rezki di
muka bumi ini. Oleh sebab itu, pandangan yang menyatakan bahwa sistem
kepemilikan harta dalam Islam selalu bersifat kolektif tidaklah bijaksana
Sinyalimen nas bahwa janganlah meninggalkan keluarga dalam keadaan lemah,
wariskan harta untuk kesejahteraan hidup mereka, sebagai dasar bahwa
kepemilikan harta secara individu dalah suatu keniscayaan. Setiap orang diberi
kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya dan keluarganya.
Jadi dari pendekatan teologi pemegang hak milik sebenar ialah Allah
SWT. Manusia hanya diberi hak mengurus dan mengambil manfaat daripada
harta yang dianugerahkan Allah SWT. Hak milik dalam Islam adalah tidak mutlak
tetapi terikat kepada hukum dan peraturan Allah.
Islam meng-iktiraf pemilikan harta secara individu. Pada masa yang sama
Islam mensyaratkan pemilik harta supaya menjaga dan memelihara agama, jiwa,
akal, kehormatan dan keselamatan harta serta melarang memperoleh harta secara
haram.
Pemilikan harta individu yang tidak terkawal dan terarah boleh
mendatangkan gangguan terhadap orang lain dan kebajikan umum. Demi

6
7
kesejahteraan dan keharmonisan hidup masyarakat, Islam telah menentukan cara-
cara pemilikan harta.
Asas ini berbeda dengan asas kepemilikan menurut kapitalis konvensional,
yang memberikan kepada pemilik modal seluas-luasnya mengembakan
kepemilikannya dengan mengabaikan hak-hak sosial.
3. Asas ijtimaiyah
Menurut hukum Islam dalam hak indvidul terdapat hak masyarakat. Hak
masyarakat tidak akan menghapus hak individu, selama hak masyarakat itu
digunakan untuk kepentingan bersama (umum). harta dapat dimiliki baik secara
individu maupun secara kelompok hanya memiliki fungsi pemenuhan kebutuhan
hidup pemilik, tetapi pada saat yang sama di dalamnya terhadap hak masyarakat.
hak masyarakat dalam kepemilikan individu diasarkan pada kepekaan sosial
indvidu. Kepekaan sosial ini teraplikasikan dalam kewajiban individu untuk
memnuhi kewajiban ibdah zakat, infak dan sedakah serta kewajiban sosial untuk
kesejahteraan umum dalam bentuk pewakafan.
Hak-hak sosial yang terdapat dalam kepemilikan harta individu menjadi suatu
keharusan individu untuk memenuhinya. Pemenuhan hak-hak sosial itu untuk
peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat.
Betapa banyak para aghniyah mengabaikan asas ini, tidak ada sentifitas dan
kepekaan social untuk membelanjkan kepemilikan harta mereka untuk
kesejahteraan hidup masyarakat. tidak atau kurang adanya kesadaran akan
pertambahan nilai dari pemenuhan hak-hak social itu. Padahal Islam memberi
sinyal bahwa memenuhi satu hak-hak social Allah akan menambahkkan tujuh
puluh nilai kepemilikan harta.
4. Asas manfaat
Dari pendekatan filosis pemanfaatan kepemilikan harta pada asasnya
diarahkan untuk memperbesar manfaat dan mempersempit mudarat.
Memanfaatkan harta untuk kepentingan pribadi dan keluarga menjadi kewajiban
primer, sedangkan kepentingan sosial kemasyarakatan menjadi kewajiban
sekunder. Tetapai pada keadaan tertentu kewajiban sekunder akan menjadi
kewajiban primer.
Asas manfaat dalam kepemilikan harta menempatkan pemenuhuahn
kebutuhan pribadi dan keluarga menjadi prioritas, betapa banyak sinyal- sinyal
Alquran dan Sunnah Rasul yang menunjukkan itu. Jagalah dirimu dan
keluargamu dari siksaan api neraka. Nafkahilah kerabat-kerabatmu, kaum fakir
dan miskin. Sinyal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan harta itu diutamakan
untuk menikatkan kesejahteraan keluarga sebagai pondasi utama, jika telah
terpenuhi kebutuhan kerabat, baru pemanfaatan selanjutnya untuk memenuhi
kebutuhan orang fakir dan orang miskin.
G. Pengertian Hak Milik
Menurut pengertian umum, hak ialah:



Artinya: Suatu ketentuan yang digunakan oleh syara untuk menetapkan suatu
kekuasan atau suatu beban hukum.
Pengertian hak sama dengan arti hukum dalam istilah ahli Uul :





Artinya: Sekumpulan kaidah dan nash yang mengatur atas dasar harus ditaati
untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik mengenai orang
maupun mengenai harta.
Ada juga hak didefinisikan sebagai berikut:



Artinya: Kekuasaan mengenai sesuatu atau sesuatu yang wajib dari seseorang
kepada yang lainnya.
Milik didefinisikan sebagai berikut:




Artinya: Kekhususan terdapat pemilik suatu barang menurut syara untuk
bertindak secara bebas bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada
penghalang syar`i.
Apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang sah menurut syara`,
orang tersebut bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik akan dijual maupun
akan digadaikan, baik dia sendiri maupun dengan perantara orang lain.
Islam juga memberikan batas-batas tentang hak milik agar manusia
mendapat kemaslahatan dalam pengembangan harta tadi dalam menafkahkan dan
dalam perputarannya, yaitu melalui prinsip-prinsip diantaranya:
1. Hakikatnya harta itu adalah milik Allah SWT.
2. Harta kekayaan jangan sampai hanya ada atau dimiliki oleh segolongan kecil
masyarakat
3. Ada barang-barang yang karena dlaruri-nya adalah untuk kepentingan
masyarakat seluruhnya

Mazhab Maliki dan Hanafi mengemukakan teori ta`asuf yang didalam


penerapannya terhadap hak milik sebagai berikut:
1. Tidak boleh menggunakan hak kecuali untuk mencapai maksud yang dituju
dengan mengadakan hak tersebut.
2. Menggunakan hak dianggap tidak menurut agama jika mengakibatkan timbulnya
bahaya yang tidak lazim.
3. Tidak boleh menggunakan hak kecuali untuk mendapat manfaat bukan untuk
merugikan orang lain.
4. Tidak boleh menggunakan hak melebihi aturan syariah.
5. Tidak boleh menggunakan hak yang lebih condong ke madharatnya dari pada
manfaatnya.
Hak yang dijelaskan di atas, adakalanya merupakan sultah dan taklif.
1. Sultah terbagi dua, yaitu:
a. Sultah ala al nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa, seperti hak pemeliharaan
anak.
b. Sultah ala syaiin muayanin ialah hak manusia untuk memiliki sesuatu, seperti
seseorang berhak memiliki sebuah mobil.
2. Taklif adalah orang yang bertanggung jawab. Taklif adakalanya tanggungan
pribadi (`ahdah syakhiyah) seperti seseorang buruh menjalankan tugasnya,
adakalanya tanggungan harta (ahdah maliyah) seperti membayar utang.
H. Sebab-Sebab Kepemilikan
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan harta dapat dimiliki, yaitu:
1. Ikraj al Mubahat, untuk harta yang belum dimiliki oleh seseorang (mubah)
Untuk memiliki benda-benda mubahat diperlukan dua syarat, yaitu:
a. Benda mubahat belum diikhrazkan (dikelola) oleh orang lain.
b. Adanya niat (maksud) memiliki.
2. Khalafiyah, yaitu bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru bertempat di
tempat yang lama, yang telah hilang berbagai macam haknya.
Khalafiyah ada dua macam, yaitu:
a. Khalafiyah syakhsy an syakhsy, yaitu si waris menempati tempat si muwaris
dalam memiliki harta benda yang ditinggalkan oleh muwaris, harta yang
ditinggalkan oleh muwaris disebut tirkah.
b. Khalafiyah syaian syaiin, yaitu apabila seseorang merugikan milik orang lain
atau menyerobot barang orang lain, kemudian rusak ditangannya atau hilang,
maka wajiblah dibayar harganya dan diganti kerugian-kerugian pemilik harta.
Maka khalafiyah syaian syaiin ini disebut tadlmin atau tawidl (menjamin
kerugian).
3. Tawallud min Mamluk, yaitu segala yang terjadi dari benda yang telah dimiliki,
menjadi hak bagi yang memiliki benda tersebut. Misalnya bulu domba menjadi
milik pemilik domba.
4. Karena penguasaan terhadap milik negara atas pribadi yang sudah lebih dari tiga
tahun. Umar r.a. ketika menjabat khalifah ia berkata,Sebidang tanah akan
menjadi milik seseorang yang memanfaatkannya dari seseorang yang tidak
memanfaatkannya selama tiga tahun. Hanafiyah berpendapat bahwa tanah yang
belum ada pemiliknya kemudian dimanfaatkan oleh seseorang, maka orang itu
berhak memiliki tanah itu.8
Hak milik yang sempurna dapat beralih dari seseorang pemilik kepada
orang lain sebagai pemilik yang baru, yaitu salah satunya dengan cara :
1. Jual beli atau tukar menukar
2. Hibah
3. Wakaf
4. Perkawinan yang sah atau kekerabatan (hubungan kekeluargaan)

8
5. Ashobah `Uhsubah Sabababiyah, yaitu ahli waris yang terikat oleh `ushubah
sababiyah yaitu kekerabatan itu ditentukan berdasarkan hukum. Ashobah
sababiyah menurut hukum itu terjadi lantaran :
a. Adanya perjanjian untuk saling tolong-menolong.
b. Wala`ul ataqoh atau wala`ul `itqi, yaitu `ushubah yang disebabkan karena
memerdekakan budak (membebaskannya), sehingga ia memperoleh kedudukan
yang bebas dan mempunyai hak serta kewajiban sebagai manusia bebas lainnya.
Dan apabila yang dimerdekakan itu meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli
waris, maka bekas tuannya yang membebaskannya (mu`tiq) itulah yang berhak
menerima harta warisannya. Tetapi apabila si tuan meninggal dunia, bekas budak
yang dibebaskan tidaklah mewaris dari harta benda bekas tuannya itu.
Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW, yaitu sebagai berikut :

( ) .
Artinya : Hak wala itu orang yang memerdekakan. (Muttafaqalaih)9
Proses pemindahan hak milik bisa dikelompokkan dalam dua macam:
1. Pengalihan hak milik dengan maksud atau ikhtiar dari pemiliknya
2. Pengalihan hak milik tanpa kehendak dan ikhtiar pemiliknya tapi mengikuti
keadaan dan kenyataan. Misalnya pengalihan dikarenakan orang yang sedang
menjadi pemiliknya meninggal dunia. Pengalihan hak milik yang demikian
namanya pengalihan hak ijbariyah yang tidak memerlukan adanya kerelaan pihak
yang menerima sekalipun. Menurut Fiqh Islam para ahli waris dalam menerima
pengalihan hak atas harta waris tidak diperlukan kerelaan.10

9
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Harta adalah sesuatu yang dibutuhkan dan di peroleh manusia,baik berupa
benda yang tampak seperti mas perak maupun yang tidak tampak yakni manfaat
seperti pakaian,tempat tinggal. Sehingga persoalan harta dimasukkan kedalam
salah satu lima keperluan pokok yang diatur oleh Al-Quran dan as-sunah.
Adapun fungsi harta diantaranya kesempurnaan ibadah mahdzah,memelihara dan
meningkatkan keimanan dan serta menyelaraskan antara kehidupan dunia dan
akhirat. Sedangkan pembagian harta di bagi menjadi delapan bagian.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diambil kesimpulan, bahwa
harta meliputi segala sesuatu yang digunakan manusia dalam kehidupan sehari-
hari (duniawi) seperti uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan, perabotan rumah
tangga, hasil perkebunan, hasil perikan-lautan, dan pakaian termasuk dalam
katagori al amwal. Islam sebagai agama yang benar dan sempurna memandang
harta tidak lebih dari sekedar anugerah Allah swt yang dititipkan kepada manusia.
Oleh karena itu, di dalam Islam terdapat etika di dalam memperoleh harta dengan
bekerja. Dalam artian, terdapat keseimbangan usaha manusia dalam mendapatkan
materi agar sesuai dengan harapan yang dicita-citakan sebagai khalifah di
bumi.keseimbangan tersebut baik terhadap Tuhan,.

DAFTAR PUSTAKA

Suhendi, Hendri, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002)


http://fiqhmuamalah924.blogspot.com/2011/02/teori-harta.html
Q.s Ali Imran: 133-134
Q.s. Al-Baqarah:267
QS Al_Hadiid: 7
http://nabela.blogdetik.com/islamic-economic/kedudukan-harta-dalam-islam/
Prof. Dr. Abdullah al-Mushlih, Prof. Dr. Shalah Ash-Shawi, Fikih Ekonomi
keuangan Islam, Darul Haq, (Jakarta:2004)
Ensklopedi Indonesia (Bandung: PT Van Hoeve,tt)

You might also like