You are on page 1of 26

REFERAT MATA

Agustus 2017

PTERIGIUM

OLEH :
Fitri Winda Sari, S.Ked
G1A215058

PEMBIMBING :
dr. Ameria Paramita, Sp.M, MARS

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

SMF/BAGIAN MATA RSUD RADEN MATTAHER/FKIK UNJA

2017

LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT MATA

1
PTERIGIUM

Oleh:
Fitri Winda Sari, S.Ked
G1A215058

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

SMF/BAGIAN MATA RSUD RADEN MATTAHER/FKIK UNJA

TAHUN 2017

Jambi, Agustus 2017


Pembimbing

dr. Ameria Paramita, Sp. M, MARS

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat Mata ini yang berjudul

2
Pterigium. Tulisan ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
stase di Kepaniteraan klinik bagian Ilmu Mata RSUD Raden Mattaher Jambi.

Terwujudnya Referat Mata ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan
dorongan dari dr. Ameria Paramita, Sp.M, MARS, yang telah bersedia meluangkan
waktunya untuk membimbing penulis, sehingga sebagai ungkapan hormat dan
penghargaan penulis mengucapkan banyak terimakasih.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan masukan dari semua pihak. Semoga
tulisan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pendidikan kedokteran dan
kesehatan.

Jambi, Agustus 2017

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

Pteregium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang


bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea
berbentuk segitiga dengan puncak di daerah kornea. Pteregium mudah meradang dan
bila terjadi iritasi akan berwarna merah.1

Secara histologi, konjungtiva terdiri dari lapisan epitelium dan stroma.


Selepitel superfisial nya mengandung sel-sel goblet yang mensekresi mukus. Stroma
konjungtiva dibagi menjadi dua yakni lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan
fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid yang dibeberapa
tempat menunjukan struktur folikel tanpa sentrum germinativum sedangkan lapisan
fibrosa tersusun dari jaringan penyambungyang melekat pada lempeng tarsus. Pada
pteregium, secara histologi menunjukan adanya proses degenerasi jaringan elastis
stroma kolagen disertai jaringan fibrovaskular subepitel.2

Prevalensi pteregium semakin meningkat pada daerah yang mendekati garis


katulistiwa dengan iklim tropis dan subtropis. Di Indonesia, prevalensi pteregium
kedua mata ditemukan 3,2% sedangkan pteregium pada salah satu mata 1,9%.
Insiden pteregium tertinggi ditemukan pada kelompok usia > 70 tahun (15,9%) dan
terendah pada usia 5-9 tahun (0,03%).3

Etiologi pasti dari pteregium belum sepenuhnya diketahui, namun perjalanan


penyakit sangat erat kaitannya dengan paparan sinar ultraviolet dalam jangka waktu
lama, tingkat kekeringan suatu daerah, proses inflamasi, dan paparan angin serta
iritasi mata kronik pada lingkungan kering dan berdebu. Risiko pteregium meingkat
pada mereka yang bekerja diluar rumah terutama petani dan nelayan.1,2

Mereka dengan pteregium tidak akan mengeluhkan apa-apa di awal


perjalanan penyakit. Seiring berkembangnya lesi, mata akan terasa kering (rasa
panas, berair, ataupun gatal dan mengganjal). Dengan semakin besarnya ukuran
pteregium, visus pasien akan menurun ketika pteregium tumbuh melewati batas pupil

4
dipermukaan kornea atau akibat astigmatisme kornea akibat fibrosis pada tahap
regresif. Diplopia juga dapat timbul akibat terbatasnya gerak okular.2

Penangan kasus pteregium pada fase awal berupa tindakan konservatif berupa
edukasi untuk melindungi mata dari faktor resiko pteregium dan menghindari iritasi.
Pada keadaan mata merah akibat iritasi pada jaringan pteregium dapat diberikan
lubrikans, vasokonstriktor, dan kortikosteroid topikal. Selain itu, jika jaringan telah
mengganggu ketajaman penglihatan maka operasi dapat dilakukan. Terdapat
berbagai teknik operasi yang dapat dipilih antara lain bare sclera, conjunctival graft,
dan amnion membran transplantation.2

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI KONJUNGTIVA DAN KORNEA

Gambar 2.1.Anatomi Mata

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang


membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan
dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea
di limbus.1,2
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan
melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan posterior tarsus, konjungtiva melipat ke
posterior (pada fornices superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera
dan menjadi konjungtiva bulbaris.1,2
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale dan melipat berkali-
kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan
konjungtiva sekretorik. (duktus-duktus kelenjar lakrimalis bermuara ke forniks
temporal superior). Kecuali di limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva

6
menyatu sejauh 3 mm). Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan
sklera di bawahnya.1,2
Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika
semilunaris) terletak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga pada
beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula)
menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi
yang mengandung elemen kulit dan membran mukosa.2

Gambar 2.2Konjungtiva

Kornea adalah jaringan transparan dan avaskular terletak di bagian sentral


dari kutub anterior bola mata yang akan bergabung dengan sklera dan konjungtiva.
Kornea akan tampak berbentuk elips bili dilihat dari bagian depan dengan ukuran
diameter horisontal 11-12 mm dan diameter vertikal 9-11 mm. Indeks refraksi kornea
sebesar 1,376. Radius dari kurvatura kornea sentral sekitar 7,8 mm (6,7-9,4 mm).
Kekuatan dioptri karena sebesar 43,25 dioptri atau sekitar 74% dari total kekuatan
dioptri mata manusia normal. Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya
dan menutup bola mata bagian di sebelah depan. Nutrisi kornea diperoleh dari difusi
glukosan akuos humor dan difusi oksigen melalui lapisan air mata. Bagian perifer
kornea juga mendapat oksigen dari sirkulasi limbal.

Secara mikroskopis kornea terdiri dari 5 lapisan, yaitu:


1. Epitel
Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis selepitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih, satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal
sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel

7
sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat
berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui
desmosom dan makula okluden, ikatan ini menghambat pengaliran air, eliktrolit, dan
glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang
melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
Adanya ikatan yang kuat antara sel-sel epitel superfisial mencegah terjadinya
penetrasi cairan air mata ke dalam stroma.

2. Lapisan Bowman
Lapisan Bowman adalah lapisan yang terkuat dan terbentuk dari lapisan fibril
kolagen yang tersusun secara random. Ketebalan lapisan ini sekitar 8-14 mikro
meter. Bila terjadi luka yang mengenai bagian ini maka akan digantikan dengan
jaringan parut karena tidak memiliki daya regenerasi.

3. Stroma
Stroma merupakan 90% dari seluruh ketebalan kornea dan dibentuk oleh
keratosit yang memproduksi kolagen. Jenis kolagen yang dibentuk adalah tipe I, III
dan VI. Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan
lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedangkan di bagian perifer
serat kolagen ini bercabang, terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu
lama yang kadangkadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea
yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah
trauma. Transparansi kornea juga ditentukan dengan menjaga kandungan air di
stroma sebesar 78%.

4. Membran Descement
Membrana descement adalah suatu lamina basalis yang tebal dan longgar
pada stroma. Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane basalnya. Bersifat sangat
elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 m.

8
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu,bentuk heksagonal, besar 20-40 m.
Endotel melekat pada membran descement melalui hemi desmosom dan zonula
okluden. Sel endotel mempunyai fungsi transport aktif air dan ion yang
menyebabkan stroma menjadi relatif dehidrasi sehingga terus menjaga kejernihan
kornea.

Gambar2.3.Kornea

Fisiologi Kornea
Secara umum, fungsi utama kornea merupakan sebagai medium refraksi
dan melindungi struktur yang terdapat di intraokular. Fungsi tersebut dapat
dijalankan melalui transparansi kornea dan penggantian jaringannya.
Transparansi kornea merupakan akibat susunan lamella kornea yang unik
avaskularitas, dan keadaan dehidrasi relatif. Glukosa dan zat terlarut melalui
transport aktif dan pasif melalui aqueous humour dan difusi kapiler perilimbal.
Oksigen didapatkan secara langsung dari udara melalui tear film.1

9
Sebagian besar lesi kornea, baik superfisial maupun dalam dapat
menyebabkan nyeri dan fotofobia karena kornea memiliki banyak serat nyeri.
Selain itu, lesi kornea biasanya menyebabkan penglihatan yang blur, terutama
bila lokasinya di sentral. Photophobia terjadi akibat kontraksi pada iris yang
mengalami peradangan. Dilatasi pada pembuluh darah iris merupakan refleks
akibat iritasi ujung saraf kornea. Meskipun demikian, photophobia terjadi secara
minimal pada keratitis herpes karena hipestesi yang terjadi.

2.2 PTERIGIUM

2.2.1 DEFINISI

Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva berbentuk


segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah
interpalpebra, bersifat degeneratif dan invasif. Pterigium (L. Pterygion = sayap)
adalah suatu proses degeneratif dan hiperplastik dengan fibrovaskular berbentuk
segitiga (sayap) yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea antara lain
lapisan stroma dan membrana Bowman. Pterigium tumbuh berbentuk sayap pada
konjungtiva bulbi. 3-6
Pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan
penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea dengan
puncak segitiga di kornea. Pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang
artinya wing atau sayap.

10
Gambar 2.4.Pterigium; jaringan fibrovaskular konjungtiva berbentuk segitiga

2.2.2 EPIDEMIOLOGI
Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian dunia, tetapi
lebih banyak di daerah iklim panas dan kering dengan prevalensi yang dilaporkan
berkisar antara 0,3%-29%.Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Studi
epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari yang
kronis. Insiden pterigiumcukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah ekuator,
yaitu 13,1%.3,4
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi
pterigiummeningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan.
Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering
pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan
berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di
luar rumah.3
Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang berkulit
hitam (usia 40-84 tahun) diBarbados, yang terletak di daerah tropis 13 utara
khatulistiwa,memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%) sedangkan
tingkat prevalensiorang kulit putih di perkotaan(usia 40-101 tahun) Melbourne,
Australia kurang dari (1,2%). Prevalensipterigium orang kulit putih lebih dari 40
tahun di pedesaan Australia (6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang
lebih dari 40 memiliki tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian ini juga melaporkan
orang Indonesia lebih dari 40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera (16,8%)
yakni lebih tinggi daripada semuaras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya,
kecuali dengan penduduk kulit hitam dari Barbados.7
Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi
visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi
sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.

2.2.3 FAKTOR RESIKO


Faktor resiko yang mempengaruhi pterigiumadalah lingkungan yakni radiasi
ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor
herediter.3,4,7
1. Radiasi ultraviolet
11
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya
pterigiumadalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea
dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak
lintang, waktu di lu ar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan
faktor penting.
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterigiumdan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat
keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.
3. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui
pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan
berpendapat pterygium terbanyak pada usia dekade dua dan tiga.
4. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan
sinar UV.
5. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang
dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa
memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga
menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada
garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali
lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan.
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
pterygium.
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu
seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
pterygium.

12
2.2.4 PATOGENESIS
Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus menerus
terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV memainkan
bagian yang penting dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV memulai rantai
peristiwa terjadinya pterigium pada level intraselular dan ekstraselular yang
melibatkan DNA, RNA, dan komposisi matriks ekstraselular.3,4,8

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan


ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan
konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium ini biasanya bilateral, karena
kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar
ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke
bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi
inferior.5,6,8

Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterigium.


Disebutkan bahwa radiasi sinar ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar
UV B Merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor
p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis
(program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi
berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase,
migrasi seluler dan angiotenesis, perubahan patologis termaksud juga degenerasi
elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikuler, seringkali disertai dengan
inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis dan biasanya
menunjukkan dysplasia.

Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih
banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping
kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara
tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva
lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.8

Beberapa studi meyebutkan bahwa alasan mengapa pterigium seringkali


muncul di daerah nasal berasal dari peran patogenetik cahaya matahari. Cahaya
matahari diteruskan ke dalam limbus sklerokorneal setelah dipantulkan oleh dinding
nasal lateral, di mana konjungtiva bulbar di daerah nasal inilah yang lebih sering
13
terpapar sinar matahari. Mengingat juga, bulu mata di dekat nasal jauh lebih pendek
dibanding bulu mata di daerah temporal.

Efek dari sinar UV dikatakan mampu mengaktifkan radikal bebas, termasuk


laktoferin. Stress oksidatif yang timbul berpotensi untuk mengganggu regulasi p53.
Akibatnya juga, gangguan tersebut dapat berefek pada ekspresi beberapa jenis sitokin
dalam sel, seperti reseptor faktor pertumbuhan. Adanya perubahan ekspresi sel-sel
sitokin ini telah dievaluasi oleh beberapa studi menggunakan berbagai macam teknik
pemeriksaan imunihistokimia dan ELISA. Sinar UV dapat menginduksi sitokin
seperti interleukin-1 (IL-1) bersama dengan tumor necrosis factor (TNF-)
membantu keratosit korneal beradaptasi memperbaiki fenotip. IL-6 berfungsi dalam
migrasi sel epitel melalui reseptor integrin dan IL-8 melakukan aktivitas mitogenik
dan angiogenetik. Faktor pertumbuhan yang berperan dalam pterigium antara lain
ialah epidermal growth factor (EGF) dan EGF heparin-binding (HB-EGF), vascular
endothelial growth factor (VEGF), basic fibroblast growth factor (bFGF), platelet-
derived growth factor (PDGF), transforming growth factor- (TGF-) and insulin-
like growth factor binding proteins (IGF-BP).

Peran VEGF sangat penting dalam proses angiogenesis. Diproduksi oleh


fibroblast korneal saat terjadi inflamasi atau adanya stimulus yang dianggap
berbahaya bagi mata, termasuk UVR. VEGF telah dideteksi bertanggung jawab
terhadap pertumbuhan terus-menerus epitel pterigium, dibandingkan dengan
konjungtiva normal melalui studi imunohistokimia. Hasilnya dapat dilihat
menggunakan RT-PCR assay.

Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan


proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium.
Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan
basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan
cat untuk jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya, oleh
karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.

Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat terjadi pada
daerah yang kekurangan limbal stem cell.Limbal stem cell adalah sumber regenerasi
epitel kornea.Defisiensi limbal stem cell menyebabkan konjungtivalisasi kornea dari
segala arah. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
14
vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan membran pertumbuhan jaringan fibrotik.
Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian
menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi
localized interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar UV terjadi
kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.

Gambar 2.5 Patofisiologi Pterigium

2.2.5 GAMBARAN KLINIS DAN KLASIFIKASI PTERIGIUM


Pterigium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah. Bisa
unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Pterigiumyang
terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun pterigium di
daerah temporal jarang ditemukan. Kedua mata sering terlibat, tetapi jarang simetris.
15
Perluasan pterigium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi
sumbu penglihatan, menyebabkan penglihatan kabur.3-7
Secara klinis pterigium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada
konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra.. Deposit besi
dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterigium(stoker's
line).
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head) dan cap. Bagian
segitiga yang meninggi pada pterigiumdengan dasarnya kearah kantus disebut body,
sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke belakang disebut cap. A subepithelial
cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterigium.8

Gambar2.6.(A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang
kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman
pada kornea. (B) Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi
kornea. (C) Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada
konjunctiva bulbi, area paling ujung

Pembagian pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu :8


1. Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di depan kepala
pterigium(disebut cap pterigium).
2. Regresifpterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi membentuk
membran tetapi tidak pernah hilang.
Pada fase awal pterigium tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik. Gangguan
terjadi ketika pterigium mencapai daerah pupil atau menyebabkan astigatisme karena
pertumbuhan fibrosis pada tahap regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga
menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.
Pembagian lain pterigium yaitu :8
1. Tipe I : meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi dapat
dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis

16
meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa
kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
2. Type II : menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah
operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.
3. Type III : mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang
luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva
yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola
mata.

Pterigium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :


1. Derajat 1 : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
2. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea.
3. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata
dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 4 mm)
4. Derajat 4 : pertumbuhan pterigium melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.

Gambar 2.7 Derajat Pterigium

2.2.6 DIAGNOSIS
Anamnesis

Pasien dengan pterigium datang dengan berbagai keluhan, mulai dari tanpa
gejala sampai dengan gejala kemerahan yang signifikan, pembengkakan, gatal,

17
iritasi, dan penglihatan kabur berhubungan dengan elevasi lesi dari konjungtiva dan
dekat kornea pada satu atau kedua mata.3,4

Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada


intoleransi kosmetik.Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya
menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan tarikan yang terjadi
pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang
menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan
mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda
atau diplopia.

Pemeriksaan fisik

Suatu pterigium dapat tampak sebagai salah satu dari berbagai perubahan
fibrovaskular pada permukaan konjungtiva dan kornea. Pterigium paling sering
ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula
ditemukan pterigium pada daerah temporal, serta di lokasilainnya.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah


topografi kornea yang dapat sangat berguna dalam menentukan derajat seberapa
besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang di sebabkan oleh pterigium.8

2.2.7 DIAGNOSIS BANDING


Pterigium harus di bedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigium
adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini terbentuk
karena adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea marjinal. Hal ini biasanya
terjadi pada luka bakar akibat zat kimia pada mata.8

a) Pinguekula

Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna


kekuningan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau temporal limbus.
Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun karena
kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi
tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.

18
Gambar 2.8. Pingueculum (panah abu-abu) merupakan lesi di limbus
sklerokorneal yang berbeda dengan pterigium, di mana tidak tumbuh mencapai
permukaan kornea.

b) Pseudopterigium

Pterigium umumnya didiagnosis banding dengan pseudopterigium yang


merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea.Pada
pengecekan dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan
kornea.

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea


yang cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus
kornea, dimana konjungtiva tertarik dan menutupi kornea. Pseudopterigium
dapat ditemukan dimana saja bukan hanya pada fissure palpebra seperti
halnya pada pterigium. Pada pseudopterigium juga dapat diselipkan sonde di
bawahnya sedangkan pada pterigium tidak. Pada pseudopterigium melalui
anamnesa selalu didapatkan riwayat adanya kelainan kornea sebelumnya,
seperti ulkus kornea. Selain pseudo pterigium, pterigium dapat pula
didiagnosis banding dengan pannus dan kista dermoid.

19
Gambar 2.9. Pseudopterigium yang tumbuh dari kuadran inferior nasal
konjunctiva bulbar yang diikuti luka bakar asam lokal

c) Ocular Surface Squamous Neoplasm

Gambar 2.10.OSSN yang searahdenganlimbal

Ocular Surface Squamous Neoplasm atau OSSN merupakan dysplasia, pre-


invasif dan lesi epitel squamous malignan dari seluruh spectrum konjunctiva

20
dan kornea. OSSN biasanya tampak seperti lesi conjunctiva yang meninggi
yang terlihat dekat limbus, berwarna putih keabuan dengan karekteristk
berkas dari pembuluh dara pada fissure intra palpebral. Biasanya pasien
dating diikuti dengan gejala mata merah, irigasi dan sensasi benda asing.

Pterigium Pseudopterigium Pinguekulum OSSN

Reaksi tubuh Iritasi atau kualitas


Dispalsia epitel
Sebab Proses degeneratif penyembuhan dari luka higienitas air yang
sel squamous
bakar, GO, difteri,dll. kurang.

Tidak dapat
Dapat dimasukkan
Sonde dimasukkan -
dibawahnya -
dibawahnya

Kekam
Residif Tidak Tidak Tidak
buhan

Usia Dewasa Anak-anak Dewasa dan anak-anak Dewasa

Subkonjunctiva
Bisa terjadi darimana Terbatas pada Di sekitar daerah
Lokasi yang dapat
saja konjuntiva bulbi limbus
mencapai kornea

2.2.8 PENATALAKSANAAN 1,5,8


Pasien dengan pterigium dapat hanya diobervasi kecuali lesi menunjukkan
pertumbuhan menuju pusat kornea atau pasien menunjukkan gejala kemerahan yang
signifikan, ketidaknyamanan, atau perubahan dalam fungsi visual.

- Terapi Konservatif

Pengobatan konservatif pada pterigium terdiridari topical lubricating drops


atau air mata buatan (misalnya, refresh tears, gen teal drops), serta sesekali
penggunaan jangka pendek tetes mata kortikosteroid topikal anti-inflamasi

21
(misalnya, PredForte1%) bila gejala lebih intens. Selain itu, penggunaan kacamata
anti-UV disarankan untuk mengurangi paparan radiasi ultra violet lebih lanjut.

- Terapi pembedahan

Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang dapat


diindikasikan untuk, menurut Ziegler :

- Mengganggu visus
- Mengganggu pergerakan bola mata
- Berkembang progresif
- Mendahului suatu operasi intraokuler
- Kosmetik

Penghilangan pterigium melibatkan bedah eksisi pada apeks,collum dan


corpus dari pterigium. Corpus dan dasar pterigium tersebut dibedah dengan gunting
konjungtiva, sedangkan apeks dan collum pterigium yang telah menyerang kornea
sering dihilangkan dengan pisau bedah. Dilakukan usaha untuk mengidentifikasi
bidang diseksi, yang memfasilitasi penghilangan pterigium sekaligus
mempertahankan permukaan halus kornea yang mendasarinya. Lapisan stroma yang
tersisa mungkin dapat dirapikan dengan pisau.7

Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan pterigium


dan untuk mencegah terjadinya rekurensi.

Berbagai teknik bedah yang digunakan saat ini untuk pengelolaan pterigium:

1. Bare sclera : tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan kembali


konjungtiva dengan permukaan sklera di depan insersio tendon rektus,
menyisakan area sklera yang terkena. (teknik ini sudah tidak dapat diterima
karena tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai
40-75% dan hal ini tidak direkomendasikan).
2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana
teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk
memungkinkan dilakukannya penempatan flap.

22
4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi
untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan
pada bekas eksisi.
5. Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva
bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian
dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan.
(misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).

Pterygium mempengaruhi permukaan kornea dan menginduksi perubahan elevasi


dan penyimpangan itu mengapa ia harus diangkat untuk memperbaiki kemampuan
penglihatan pada pasien. Kita harus mempertimbangkan eksisi pterigial sebelum
merencanakan operasi refraktif atau lensa untuk pasien tersebut.1

2.2.9 KOMPLIKASI5,8
Komplikasi pterigium meliputi distorsi dan/atau pengurangan penglihatan
sentral, kemerahan, iritasi, jaringan parut/skar pada konjungtiva dan kornea serta
keterlibatan yang luas dari otot-otot ekstra okuler dapat membatasi motilitas okular
dan berkontribusi terhadap terjadinya diplopia. Pada pasien yang belum menjalani
bedah eksisi, jaringan parut dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum
dari diplopia. Pada pasien dengan pterigium yang sebelumnya telah menjalani eksisi
bedah, jaringan parut atau disinsertion dari otot rektus medial adalah penyebab
paling umum dari diplopia.

Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat meliputi:Sclera


dan atau kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul beberapa tahun atau bahkan
puluhan tahun setelah perawatan. Beberapa kasus bisa sangat sulit untuk ditangani.

Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah rekurensi.


Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Tingkat
rekurensi telah berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autografts
konjungtiva / limbal atau transplantasi membran amnion pada saat eksisi. Pada
kesempatan langka, degenerasi ganas dari jaringan epitel yang melapisi sebuah
pterigium yang ada dapat terjadi.

23
2.2.10 PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah
48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali.3,4,8
Rekurensi pterigium setelah operasi masih merupakan suatu masalah
sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan
dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva.
Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan
konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi
terjadi pada 3 6 bulan pertama setelah operasi.3,4,8
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterigium seperti terpapar sinar
matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi
terpapar sinar matahari.

24
BAB III
KESIMPULAN

Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan
merupakan yang tersering nomor dua di Indonesia setelah katarak, hal ini
dikarenakan letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak
terpapar oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab dari
pterigium. Pterigium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-
laki lebih banyak di luar ruangan, serta dialami oleh pasien diatas 40 tahun karena
faktor degeneratif.
Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun
(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi
benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnya.
Terapi dari pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya perwatan secara
konservatif seperti memberikan antiinflamasi pada pterrigium yang iritatif. Pada
pemebedahan akan dilakukan jika pterigium tersebut sudah sangat mengganggu bagi
penderita misal gangguan visual, dan pembedahan ini pun hasilnya juga kurang
maksimal karena angka kekambuhan yang cukup tinggi mengingat tingginya
kuantitaf sinar UV di indonesia. Walaupun begitu penyakit ini dapat dicegah dengan
menganjurkan untuk memakai kacamata pelindung sinar matahari.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Riordan, Paul. Anatomi & Embriologi Mata. Dalam: Daniel G. Vaughan, Taylor
Asbury, Paul Riordan-Eva. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Penerbit
Widya Medika. 2002.
2. Schwab, Ivan & Chandler R. Dawson. Konjungtiva. Dalam: Daniel G. Vaughan,
Taylor Asbury, Paul Riordan-Eva. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta:
Penerbit Widya Medika. 2002.
3. Laszuarni. Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat (Tesis). Medan:
Departemen Ilmu Kesehatan mata FKUSU. 2009.
4. Pigamintha Dimar. Prevalensi Pterigium Di Sekitar Universitas Sumatera Utara
(Karya Tulis Ilmiah). Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2011.
5. Nana, Wijana. Konjungtiva. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: EGC. 1996.
Hal: 40-2.
6. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2004.
7. Gazzard G, Saw Ms, Et Al. Pterigium In Indonesia: Prevalence, Severity, And
Risk Factors.Br J Ophthalmol .2002;86:134146.
8. Pterygium. Diakses tanggal 26 Agustus 2017. Diunduh dari
http://www.repository.usu.ac.id
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum
dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : CV. Sagung Seto; 2002.
10. Ahmed, Ismail & Attaallah Radi Heba.Research Article. Assessment of the
Corneal Aberration and Elevation Changes after Pterygium Surgery.2016.

26

You might also like