Professional Documents
Culture Documents
Agustus 2017
PTERIGIUM
OLEH :
Fitri Winda Sari, S.Ked
G1A215058
PEMBIMBING :
dr. Ameria Paramita, Sp.M, MARS
2017
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT MATA
1
PTERIGIUM
Oleh:
Fitri Winda Sari, S.Ked
G1A215058
TAHUN 2017
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat Mata ini yang berjudul
2
Pterigium. Tulisan ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
stase di Kepaniteraan klinik bagian Ilmu Mata RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya Referat Mata ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan
dorongan dari dr. Ameria Paramita, Sp.M, MARS, yang telah bersedia meluangkan
waktunya untuk membimbing penulis, sehingga sebagai ungkapan hormat dan
penghargaan penulis mengucapkan banyak terimakasih.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan masukan dari semua pihak. Semoga
tulisan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pendidikan kedokteran dan
kesehatan.
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
dipermukaan kornea atau akibat astigmatisme kornea akibat fibrosis pada tahap
regresif. Diplopia juga dapat timbul akibat terbatasnya gerak okular.2
Penangan kasus pteregium pada fase awal berupa tindakan konservatif berupa
edukasi untuk melindungi mata dari faktor resiko pteregium dan menghindari iritasi.
Pada keadaan mata merah akibat iritasi pada jaringan pteregium dapat diberikan
lubrikans, vasokonstriktor, dan kortikosteroid topikal. Selain itu, jika jaringan telah
mengganggu ketajaman penglihatan maka operasi dapat dilakukan. Terdapat
berbagai teknik operasi yang dapat dipilih antara lain bare sclera, conjunctival graft,
dan amnion membran transplantation.2
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
menyatu sejauh 3 mm). Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan
sklera di bawahnya.1,2
Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika
semilunaris) terletak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga pada
beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula)
menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi
yang mengandung elemen kulit dan membran mukosa.2
Gambar 2.2Konjungtiva
7
sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat
berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui
desmosom dan makula okluden, ikatan ini menghambat pengaliran air, eliktrolit, dan
glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang
melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
Adanya ikatan yang kuat antara sel-sel epitel superfisial mencegah terjadinya
penetrasi cairan air mata ke dalam stroma.
2. Lapisan Bowman
Lapisan Bowman adalah lapisan yang terkuat dan terbentuk dari lapisan fibril
kolagen yang tersusun secara random. Ketebalan lapisan ini sekitar 8-14 mikro
meter. Bila terjadi luka yang mengenai bagian ini maka akan digantikan dengan
jaringan parut karena tidak memiliki daya regenerasi.
3. Stroma
Stroma merupakan 90% dari seluruh ketebalan kornea dan dibentuk oleh
keratosit yang memproduksi kolagen. Jenis kolagen yang dibentuk adalah tipe I, III
dan VI. Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan
lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedangkan di bagian perifer
serat kolagen ini bercabang, terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu
lama yang kadangkadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea
yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah
trauma. Transparansi kornea juga ditentukan dengan menjaga kandungan air di
stroma sebesar 78%.
4. Membran Descement
Membrana descement adalah suatu lamina basalis yang tebal dan longgar
pada stroma. Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane basalnya. Bersifat sangat
elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 m.
8
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu,bentuk heksagonal, besar 20-40 m.
Endotel melekat pada membran descement melalui hemi desmosom dan zonula
okluden. Sel endotel mempunyai fungsi transport aktif air dan ion yang
menyebabkan stroma menjadi relatif dehidrasi sehingga terus menjaga kejernihan
kornea.
Gambar2.3.Kornea
Fisiologi Kornea
Secara umum, fungsi utama kornea merupakan sebagai medium refraksi
dan melindungi struktur yang terdapat di intraokular. Fungsi tersebut dapat
dijalankan melalui transparansi kornea dan penggantian jaringannya.
Transparansi kornea merupakan akibat susunan lamella kornea yang unik
avaskularitas, dan keadaan dehidrasi relatif. Glukosa dan zat terlarut melalui
transport aktif dan pasif melalui aqueous humour dan difusi kapiler perilimbal.
Oksigen didapatkan secara langsung dari udara melalui tear film.1
9
Sebagian besar lesi kornea, baik superfisial maupun dalam dapat
menyebabkan nyeri dan fotofobia karena kornea memiliki banyak serat nyeri.
Selain itu, lesi kornea biasanya menyebabkan penglihatan yang blur, terutama
bila lokasinya di sentral. Photophobia terjadi akibat kontraksi pada iris yang
mengalami peradangan. Dilatasi pada pembuluh darah iris merupakan refleks
akibat iritasi ujung saraf kornea. Meskipun demikian, photophobia terjadi secara
minimal pada keratitis herpes karena hipestesi yang terjadi.
2.2 PTERIGIUM
2.2.1 DEFINISI
10
Gambar 2.4.Pterigium; jaringan fibrovaskular konjungtiva berbentuk segitiga
2.2.2 EPIDEMIOLOGI
Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian dunia, tetapi
lebih banyak di daerah iklim panas dan kering dengan prevalensi yang dilaporkan
berkisar antara 0,3%-29%.Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Studi
epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari yang
kronis. Insiden pterigiumcukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah ekuator,
yaitu 13,1%.3,4
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi
pterigiummeningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan.
Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering
pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan
berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di
luar rumah.3
Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang berkulit
hitam (usia 40-84 tahun) diBarbados, yang terletak di daerah tropis 13 utara
khatulistiwa,memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%) sedangkan
tingkat prevalensiorang kulit putih di perkotaan(usia 40-101 tahun) Melbourne,
Australia kurang dari (1,2%). Prevalensipterigium orang kulit putih lebih dari 40
tahun di pedesaan Australia (6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang
lebih dari 40 memiliki tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian ini juga melaporkan
orang Indonesia lebih dari 40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera (16,8%)
yakni lebih tinggi daripada semuaras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya,
kecuali dengan penduduk kulit hitam dari Barbados.7
Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi
visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi
sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.
12
2.2.4 PATOGENESIS
Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus menerus
terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV memainkan
bagian yang penting dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV memulai rantai
peristiwa terjadinya pterigium pada level intraselular dan ekstraselular yang
melibatkan DNA, RNA, dan komposisi matriks ekstraselular.3,4,8
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih
banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping
kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara
tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva
lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.8
Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat terjadi pada
daerah yang kekurangan limbal stem cell.Limbal stem cell adalah sumber regenerasi
epitel kornea.Defisiensi limbal stem cell menyebabkan konjungtivalisasi kornea dari
segala arah. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
14
vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan membran pertumbuhan jaringan fibrotik.
Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian
menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi
localized interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar UV terjadi
kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.
Gambar2.6.(A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang
kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman
pada kornea. (B) Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi
kornea. (C) Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada
konjunctiva bulbi, area paling ujung
16
meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa
kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
2. Type II : menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah
operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.
3. Type III : mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang
luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva
yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola
mata.
2.2.6 DIAGNOSIS
Anamnesis
Pasien dengan pterigium datang dengan berbagai keluhan, mulai dari tanpa
gejala sampai dengan gejala kemerahan yang signifikan, pembengkakan, gatal,
17
iritasi, dan penglihatan kabur berhubungan dengan elevasi lesi dari konjungtiva dan
dekat kornea pada satu atau kedua mata.3,4
Pemeriksaan fisik
Suatu pterigium dapat tampak sebagai salah satu dari berbagai perubahan
fibrovaskular pada permukaan konjungtiva dan kornea. Pterigium paling sering
ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula
ditemukan pterigium pada daerah temporal, serta di lokasilainnya.
Pemeriksaan penunjang
a) Pinguekula
18
Gambar 2.8. Pingueculum (panah abu-abu) merupakan lesi di limbus
sklerokorneal yang berbeda dengan pterigium, di mana tidak tumbuh mencapai
permukaan kornea.
b) Pseudopterigium
19
Gambar 2.9. Pseudopterigium yang tumbuh dari kuadran inferior nasal
konjunctiva bulbar yang diikuti luka bakar asam lokal
20
dan kornea. OSSN biasanya tampak seperti lesi conjunctiva yang meninggi
yang terlihat dekat limbus, berwarna putih keabuan dengan karekteristk
berkas dari pembuluh dara pada fissure intra palpebral. Biasanya pasien
dating diikuti dengan gejala mata merah, irigasi dan sensasi benda asing.
Tidak dapat
Dapat dimasukkan
Sonde dimasukkan -
dibawahnya -
dibawahnya
Kekam
Residif Tidak Tidak Tidak
buhan
Subkonjunctiva
Bisa terjadi darimana Terbatas pada Di sekitar daerah
Lokasi yang dapat
saja konjuntiva bulbi limbus
mencapai kornea
- Terapi Konservatif
21
(misalnya, PredForte1%) bila gejala lebih intens. Selain itu, penggunaan kacamata
anti-UV disarankan untuk mengurangi paparan radiasi ultra violet lebih lanjut.
- Terapi pembedahan
- Mengganggu visus
- Mengganggu pergerakan bola mata
- Berkembang progresif
- Mendahului suatu operasi intraokuler
- Kosmetik
Berbagai teknik bedah yang digunakan saat ini untuk pengelolaan pterigium:
22
4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi
untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan
pada bekas eksisi.
5. Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva
bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian
dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan.
(misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).
2.2.9 KOMPLIKASI5,8
Komplikasi pterigium meliputi distorsi dan/atau pengurangan penglihatan
sentral, kemerahan, iritasi, jaringan parut/skar pada konjungtiva dan kornea serta
keterlibatan yang luas dari otot-otot ekstra okuler dapat membatasi motilitas okular
dan berkontribusi terhadap terjadinya diplopia. Pada pasien yang belum menjalani
bedah eksisi, jaringan parut dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum
dari diplopia. Pada pasien dengan pterigium yang sebelumnya telah menjalani eksisi
bedah, jaringan parut atau disinsertion dari otot rektus medial adalah penyebab
paling umum dari diplopia.
23
2.2.10 PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah
48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali.3,4,8
Rekurensi pterigium setelah operasi masih merupakan suatu masalah
sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan
dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva.
Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan
konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi
terjadi pada 3 6 bulan pertama setelah operasi.3,4,8
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterigium seperti terpapar sinar
matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi
terpapar sinar matahari.
24
BAB III
KESIMPULAN
Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan
merupakan yang tersering nomor dua di Indonesia setelah katarak, hal ini
dikarenakan letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak
terpapar oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab dari
pterigium. Pterigium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-
laki lebih banyak di luar ruangan, serta dialami oleh pasien diatas 40 tahun karena
faktor degeneratif.
Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun
(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi
benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnya.
Terapi dari pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya perwatan secara
konservatif seperti memberikan antiinflamasi pada pterrigium yang iritatif. Pada
pemebedahan akan dilakukan jika pterigium tersebut sudah sangat mengganggu bagi
penderita misal gangguan visual, dan pembedahan ini pun hasilnya juga kurang
maksimal karena angka kekambuhan yang cukup tinggi mengingat tingginya
kuantitaf sinar UV di indonesia. Walaupun begitu penyakit ini dapat dicegah dengan
menganjurkan untuk memakai kacamata pelindung sinar matahari.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Riordan, Paul. Anatomi & Embriologi Mata. Dalam: Daniel G. Vaughan, Taylor
Asbury, Paul Riordan-Eva. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Penerbit
Widya Medika. 2002.
2. Schwab, Ivan & Chandler R. Dawson. Konjungtiva. Dalam: Daniel G. Vaughan,
Taylor Asbury, Paul Riordan-Eva. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta:
Penerbit Widya Medika. 2002.
3. Laszuarni. Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat (Tesis). Medan:
Departemen Ilmu Kesehatan mata FKUSU. 2009.
4. Pigamintha Dimar. Prevalensi Pterigium Di Sekitar Universitas Sumatera Utara
(Karya Tulis Ilmiah). Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2011.
5. Nana, Wijana. Konjungtiva. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: EGC. 1996.
Hal: 40-2.
6. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2004.
7. Gazzard G, Saw Ms, Et Al. Pterigium In Indonesia: Prevalence, Severity, And
Risk Factors.Br J Ophthalmol .2002;86:134146.
8. Pterygium. Diakses tanggal 26 Agustus 2017. Diunduh dari
http://www.repository.usu.ac.id
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum
dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : CV. Sagung Seto; 2002.
10. Ahmed, Ismail & Attaallah Radi Heba.Research Article. Assessment of the
Corneal Aberration and Elevation Changes after Pterygium Surgery.2016.
26