You are on page 1of 89

1

GAMBARAN EFEKTIFITAS PERAWAT


PADA PROGRAM STRATEGI DOTS
DI UNIT KERJA PUSKESMAS
KABUPATEN MAMASA

RAHMAWATI
NH 02 06 053

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN B


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
NANI HASANUDDIN
MAKASSAR
2008
2

HALAMAN PERSETUJUAN

Hasil penelitian ini telah kami setujui untuk disajikan dihadapan tim penguji

pada seminar hasil penelitian Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Nani Hasanuddin Makassar dalam rangka penyempurnaan penulisan.

Makassar, April 2008

Tim Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Ietje Herman, S. Kep, Ns Muhammad Nur, S.Sit, M.Kes

Ketua Program Studi Keperawatan

Muhammad Askar As, S. Kep


3

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Ujian Skripsi Program

Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kekehatan Nani Hasanuddin Makassar

Pada tanggal 25 April 2008

Tim penguji

1. Ietje Herman, S. Kep, Ns ()

2. Muhammad Nur, S. Sit, M.Kes (....)

2. Muhammad Basri, S. Sit, M. Kes ()

Mengetahui
Ketua STIKES Nani Hasanuddin
Makassar

Sukriyadi, S.Kep, Ns, M. kes


NIDN. 0911096201
4

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan

karuniaNya jualah sehingga penulis dapat melaksanakan dan merampungkan

penyusunan skripsi ini. Penulis sangat menyadari bahwa hasil penelitian ini masih

jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, koreksi, saran serta kritikan yang sifatnya

membangun, penulis sangat hargai untuk menyempurnakan penelititan serupa dimasa

yang akan datang.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis menemukan berbagai kesulitan dan

hambatan. Namun atas bantuan, bimbingan dan kerja sama dari semua pihak maka

segala hambatan tersebut dapat teratasi.

Untuk itu, perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih dan

penghargaan sebesar-sebesarnya kepada :

A. Sukriyadi, S.Kep, Ns, M. Kes, selaku ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nani

Hasanuddin Makassar, para Wakil Ketua, Staff pengajar beserta karyawan yang

telah memberikan bimbingan kepada penulis selama mengikuti pendidikan

Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Nani Hasanudin Makassar.

B. Bupati Kabupaten Mamasa, kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Mamasa dan

Kepala Puskesmas Malabo yang telah memberikan izin belajar.

C. Kepala Puskesmas seKabupaten Mamasa beserta seluruh stafnya yang telah

membantu penulis melaksanakan penelitian ini. Terkhusus untuk rekan kerjaku di

Puskesmas Malabo terima kasih atas bantuan dan pengertiannya slama ini.
5

D. Ietje Herman, S. Kep, Ns selaku pembimbing I yang selama penyusunan skripsi

ini telah banyak memberikan bimbingan

E. Muhammad Nur, S. Sit, M.Kes selaku pembimbing II yang telah memberikan

banyak masukan selama penyusunan skripsi.

F. Muhammad Basri, S. Sit, M. Kes selaku penguji yang telah memberikan

masukan, koreksi serta saran yang sangat berguna bagi penulis demi

sempurnaannya penyusunan skripsi ini.

G. Seluruh Mahasiswa STIKES Nani Hasanuddin terutama Ners B 2006 yang telah

memberikan bantuan selama mengikuti pendidikan, untuk IBU Ena Hasri terima

kasih banyak atas pinjaman bukunya, untuk rekanku Yusnawati dan Hikmaati

terima kisah banyak atas kebersamaannya. Terkhusus buat my best friends Mia,

Nidar, Arna, Thanks for your support................

Selanjutnya skripsi ini kupersembahkan kepada ayahanda Mustafa dan ibunda

Hj.Nurhayati yang tersayang, serta saudarahku Fasmawati, Mustika, Rubiati,A.Md.,

Nuralam,A.Md., Kameliati,SP., Alamzya yang tercinta, terima kasih atas segala

perhatian, dukungan, pengorbanan dan iringan doa yang tiada henti hentinya.

Akhirnya, semoga amal baik dan bantuan semua pihak mendapatkan berkat

berlimpah dari ALLAH, SWT dan semoga penulisan skripsi ini menjadi bacaan serta

masukan yang bermanfaat.

Makassar, April 2008

Penulis
6

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... 1
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ 2
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. 3
KATA PEMGANTAR ........................................................................................ 4
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 5
DAFTAR TABEL .............................................................................................. 8
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... 9
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... 10
ABSTRAK ......................................................................................................... 11
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................. 13
B. Rumusan Masalah............................................................................. 17
C. Tujuan Penelitian............................................................................... 17
D. Manfaat Penelitian............................................................................. 17

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan umum penyakit TB Paru......................................................19


B. Tinjauan umum tentang program strategi DOTS............................... 24
C. Peran perawat dalam pelaksanaan strategi DOTS............................. 30
D. Kerangka konsep................................................................................ 50

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Desain penelitian dan kerangka kerja................................................ 53


B. Lokasi penelitian.................................................................................53
C. Populasi dan sampel .......................................................................... 54
D. Identitas variabel dan defenisi operasional........................................ 55
E. Instrumen penelitian........................................................................... 57
7

F. Cara pengumpulan data...................................................................... 57


G. Langkah pengolahan data.................................................................. 58
H. Penyajian data................................................................................... 59
I. Keterbatasan .... ................................................................................. 60
J. Etika penelitian .................................................................................. 60
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBEHASAN
A. Hasil Penelitian .............................................................................. 61
B. Pembahasan .................................................................................... 63
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. kesimpulan ..................................................................................... 75
B. Saran .............................................................................................. 75

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 77


LAMPIRAN ........................................................................................................
8

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Distribusi efektifitas perawat dalam penemuan penderita TB paru
di unit kerja Puskesmas Kabupaten Mamasa................................... 61
2. Distribusi efektifitas perawat dalam pemberian obat pada penderita
TB paru di unit kerja Puskesmas Kabupaten Mamasa..................... 62
3. Distribusi efektifitas perawat dalam pemberian obat pada penderita
TB paru di unit kerja Puskesmas Kabupaten .................................. 62
9

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Skema kerangka konsep penelitian gambaran efektifitas perawat
pada program strategi DOTS di unit kerja Puskesmas
Kabupaten Mamasa...................................................................... 52
2. Skema kerangka kerja penelitian gambaran efektifitas perawat
pada program strategi DOTS di unit kerja Puskesmas
Kabupaten Mamasa........................................................................... 53
10

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Lembar permohonan menjadi responden


Lampiran 2 : Lembar kesediaan menjadi responden
Lampiran 3 : Kuesioner penelitian
Lampiran 4 : Perhitungan kriteria objektif
Lampiran 5 : Master tabel penelitian
Lampiran 6 : Hasil analisis SPSS
Lampiran 7 : Surat ijin penelitian dari STIKES Nani Hasanuddin Makassar
Lampiran 8 : Surat ijin penelitian dari KESBANG dan POLITIK Kabupaten
Mamasa
Lampiran 9 : Surat ijin penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Mamasa
Lampiran 10 : Keterangan sudah melakukan penelitian dari Dinas Kesehatan
Kabupaten mamasa
Lampiran 11 : Daftar riwayat hidup
11

ABSTRAK

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


NANI HASANUDDIN MAKASSAR
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN B
Rahmawati
GAMBARAN EFEKTIFITAS PERAWAT PADA PROGRAM STRATEGI
DOTS DI UNIT KERJA PUSKESMAS KABUPATEN MAMASA, dibawah
bimbingan Ietje Herman dan Muhammad Nur. (xi + 62 halaman + 3 tabel + 11
lampiran )

Tuberkulosa (TB) adalah suatu infeksi berbahaya yang menyerang paru-paru,


membunuh hampir 2 juta orang setiap tahun di seluruh dunia. Penanggulangan TB
Paru di Indonesia melalui program strategi DOTS (Directly Observed Treatment
Shortcourse) yang memperlihatkan keberhasilan cukup besar karena program ini
melibatkan peran serta lintas sektoral dalam memberantas penyakit TB Paru.
Penelitian ini bertujuan untuk mangetahui gambaran efektifitas perawat pada program
strategi DOTS di unit kerja Puskesmas Kabupeten Mamasa.
Metode penelitian yang di digunakan adalah deskriptif survey. Pemilihan sampel
dalam penelitian ini dengan metode total sampling, jumlah sampel diteliti 27 responden yang
merupakan perawat penanggung jawab program penanggulangan penderita TB di Puskesmas
Kabupaten Mamasa. Data di kumpulkan malalui wawancara dengan menggunakan daftar
pertanyaan, kemudian dianalisa dengan tehnik univariat sacara deskriptif melalui distribusi
dan presentasi dari setiap variabel, kemudian disajikan dalam bentuk tabel. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dari seluruh sampel yang diteliti didapatkan: (1) 70,4% perawat kurang
efektif dalam melakukan penemuan penderita penyakit TB paru dan yang baik hanya 29,6%.
(2) 74,1% perawat melakukan pemberian obat pada penderita TB paru dengan baik dan yang
kurang efektif sebanyak 25,9%. (3). 63,0% perawat melakukan pencatatan dan pelaporan
pada penderita TB paru dengan baik dan yang kurang efektif sebanyak 37,0%.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah bawah efektifitas perawat pada program
strategi DOTS dalam hal penemuan penderita penyakit TBC masih kurang, dan untuk
pemberian obat serta pencatatan dan pelaporan sudah baik.

Kata Kunci : Efektifitas Perawat, Program Strategi DOTS.


12
13

BAB 1

PANDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 bertujuan untuk

meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal melalui

terciptanya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang ditandai oleh

penduduknya yang hidup dengan prilaku dan dalam lingkungan yang sehat,

memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu

secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang optimal di

seluruh wilayah Republik Indonesia (Depkes,1999).

Sasaran pembangunan kesehatan pada akhir tahun 2007 diarahkan

untuk mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui

peningkatan akses masyarakat, terutama penduduk miskin, terhadap

pelayanan kesehatan yang antara lain tercermin pada beberapa indikator

diantaranya: Menurunnya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit

malaria, demam berdarah dengue (DBD), tuberkulosis paru, diare, dan

HIV/AIDS. Sasaran yang hendak dicapai pada kesembuhan penyakit TB

dengan angka kesembuhan lebih dari 85% dan cakupan penemuan penderita

TB paru diatas 70% (Depkes,2007)

Tuberkulosa (TB) adalah suatu infeksi berbahaya yang menyerang paru-

paru, membunuh hampir 2 juta orang setiap tahun di seluruh dunia. Para pakar
14

di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meramalkan jumlah ini akan terus

meningkat pada dekade yang akan datang. Hampir 2 milyar orang, sepertiga

dari jumlah penduduk dunia saat ini terinfeksi TB, dan diikuti oleh satu

infeksi baru yang terjadi setiap detik. Penyakit TB telah menghantui umat

manusia selama berabad-abad. Saat ini, meskipun telah ditemukan berbagai

kemajuan dalam pengobatan, TB tetap merupakan pandemik global, yang

dipicu dengan menyebarnya penyakit HIV/AIDS, kemiskinan, kurangnya

pelayanan kesehatan dan ditemukannya jenis bakteri Mycobacterium

tuberculosis penyebab penyakit TB yang kebal terhadap obat (Anonim,2007).

WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TB, pada tahun 1993,

karena sebagian besar negara di dunia, penyakit ini tidak terkendali. Ini

disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama

penderita menular (BTA positif). Pada tahun 1995, diperkirakan setiap tahun

terjadi sekitar 9 juta penderita baru TB dengan kematian 3 juta orang (WHO,

Treatment of Tuberculosis, Guidelines, 1997). Di negara-negara berkembang

kematian TB merupakan 25% dari seluruh kematian, yang sebenarnya dapat

dicegah. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara berkembang, 75%

penderita TB adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun) (Depkes,2002).

Menurut Surkesnas 2001, TB paru menempati urutan ke-3 penyebab

kematian umum (9,4%). Pada tahun 2003, TB paru menjadi penyakit nomor

dua terbanyak pada pasien rawat jalan dan penyakit nomor enam pada pasien
15

rawat inap di RSU. Pada tahun 2004 TB paru merupakan penyebab kematian

terbanyak nomor 4 di rumah sakit di Indonesia. Jumlah kasus TB yang

terdeteksi pada tahun 2004 sebanyak 214.658 kasus terdiri dari 133.410 kasus

dengan BTA (+) (128.981 kasus baru, 4.429 kasus kambuh), 68.848 kasus

BTA(-) dengan rontgen positif, dan 4.267 kasus ekstra pulmoner

(Depkes,2006). Insiden kasus BTA positif (menular) tahun 2005 diperkirakan

107 kasus baru/100.000 penduduk (246.000 kasus baru setiap tahun) dan

prevalensi 597.000 kasus dalam semua kasus (Depkes,2007).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kabupten Mamasa pada

tahun 2005 terdapat penderita Tuberkulosis Paru BTA (+) berjumlah 48 kasus,

pada tahun 2006 terdapat penderita Tuberkulosis BTA (+) 84 kasus, dan pada

tahun 2007 terdapat penderita Tuberkulosis BTA (+) 118 kasus, yang

menandakan bahwa setiap tahun terjadi peningkatan.

Penanggulangan Tuberkulosis (TB) Paru di Indonesia menggunakan

strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang

direkomendasikan WHO sejak tahun 1995 . Sejalan dengan kebijakan WHO,

Indonesia telah melakukan strategi DOTS (directly observed treatment

shortcourse) yaitu strategi yang memberikan obat paling efektif kepada

penderita TB yang didiagnosis dengan pemeriksaan mikroskopis, memastikan

mereka meminum obat sampai selesai dan memantau kemajuan

pengobatannya sampai sembuh. Penemuan penderita TB Paru dalam strategi


16

DOTS dilakukan secara pasif (passive case finding). Penjaringan tersangka

TB Paru dilaksanakan hanya pada penderita yang berkunjung ke unit

pelayanan kesehatan terutama Puskesmas sehingga penderita yang tidak

datang masih menjadi sumber penularan yang potensial (Depkes, 2002).TB

Paru di Indonesia cenderung meningkat sehingga pelaksanaan DOTS secara

passive case finding perlu ditinjau ulang. Penemuan penderita TB Paru secara

aktif di masyarakat sangat penting untuk mencegah penularan lebih lanjut

tetapi kendala di lapangan adalah jumlah tenaga kesehatan yang ada sangat

terbatas. Metode active case finding yang dilakukan oleh kader masyarakat

untuk meningkatkan angka cakupan (coverage) penemuan, pemeriksaan dan

pengobatan TB Paru sejauh ini masih belum diterapkan (Ferry,2007).

Perawat sebagai propesi kesehatan yang paling banyak dan paling

sering kontak dengan masyarakat diharapkan mempunyai kemampuan baik

dalam menanggulangi masalah melalui strategi DOTS, dimana dalam hal ini

peran perawat sangat dibutuhkan.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka dianggap perlu melakukan

penelitian tentang gambaran efektifitas perawat pada program strategi DOTS

di unit kerja puskesmas Kabupaten Mamasa.


17

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah Bagaimana gambaran efektifitas perawat pada program strategi

DOTS di unit kerja Puskesmas Kabupaten Mamasa.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Diketahuinya gambaran efektifitas perawat pada program strategi

DOTS di unit kerja Puskesmas Kabupaten Mamasa.

2. Tujuan khusus

1) Diperolehnya gambaran efektifitas perawat dalam penemuan

penderita tuberculosis paru dengan program strategi DOTS.

2) Diperolehnya gambaran efektifitas perawat dalam pemberian obat

pada penderita tuberculosis paru dengan program strategi DOTS.

3) Diperolehnya gambaran efektifitas perawat dalam melaksanakan

pencatatan dan pelaporan pada penderita tuberculosis paru dengan

program strategi DOTS.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan

dan dapat menjadi bahan bacaan peneliti berikutnya.


18

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi Dinas

Kesehatan Kabupaten Mamasa, khususnya bagi Puskesmas tempat

penelitian di lakukan.

3. Bagi peneliti

Merupakan pengalaman yang berharga dalam memperluas wawasan dan

pengetahuan tentang efektifitas seorang perawat pada program strategi

DOTS dalam penanggulangan TB Paru, khususnya di unit kerja peneliti

sendiri.
19

BAB Il

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Penyakit TB Paru

1. Defenisi TB Paru

Menurut Burnner & Suddart (2002) Tuberkulosis (TB) Paru adalah

penyakit infeksi, yang terutama menyerang parenkim paru. Dimana

penyakit TB paru merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh

bakteri Mikobakterium Tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan

bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam

(BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal

24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi

nama Basil Koch. Bahkan, penyakit TB pada paru-paru kadang disebut

sebagai Koch Pulmonum (KP) (Anonim,2007)

2. Tanda-Tanda dan Gejala

Gejala penyakit TB dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala

khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara

klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit

untuk menegakkan diagnosa secara klinik.

a. Gejala sistemik/umum

1). Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan

malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam

seperti influenza dan bersifat hilang timbul.


20

2) Menurunnya napsu makan dan berat badan.

3) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).

4) Perasaan tidak enak (malaise) dan lemah.

b. Gejala khusus

1). Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan

sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan

kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara

"mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.2). Kalau ada cairan

dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan

sakit dada.

3). Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang

yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit

di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.

4). Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan

disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah

demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang. Pada

pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TB paru dapat terdeteksi

kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TB paru dewasa. Kira-kira

30-50% anak yang kontak dengan penderita TB paru dewasa


21

memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan 5

tahun yang tinggal serumah dengan penderita TB paru dewasa dengan

BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan

serologi/darah (Anonim,2007).

3. Penegakan Diagnosis

Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TB, maka beberapa hal

yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:

a. Anamnese baik terhadap pasien maupun keluarganya.

b. Pemeriksaan fisik.

c. Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).

d. Pemeriksaan patologi anatomi (PA).

e. Rontgen dada (thorax photo).

f. Uji tuberculin (Anonim, 2007).

4. Cara Penularan.

TB paru ditularkan melalui percikan dahak penderita ketika batuk,

bersin, berbicara atau meludah. Seorang penderita TB paru dengan status

BTA positif dapat menularkan kepada 10-15 orang setiap tahunnya. Beban

TB di Indonesia masih sangat tinggi, khususnya mengenai angka

kesembuhan yang ada.

Bakteri Mikobakterium Tuberkulosa yang dilepaskan pada saat

penderita TB paru batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya


22

berasal dari penderita TB dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan

terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak

(terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat

menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening, oleh sebab

itulah infeksi TB dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti:

paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening,

dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena

yaitu paru-paru.

Saat Mikobakterium Tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru,

maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular

(bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TB ini

akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling

bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu

membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TB

akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang

sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.

Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan

tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan

sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami

perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang

banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah

yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang


23

telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami

pertumbuhan tuberkel berlebihan dan positif terinfeksi TB

(Anonim,2007).

Individu yang berisiko tinggi untuk tertular Tuberkulosis adalah:

a. Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB

aktif.

b. Individu imunosupresif (termasuk lansia, pasien, dengan kanker,

mereka yang dalam terapi kortikosteroid, atau mereka yang terinfeksi

dengan HIV).

c. Penggunaan obat-obat IV dan alkoholik

d. Setiap individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat (tunawisma,

tahanan, etnik, ras minoritas, terutama anak-anak dibawah usia 15

tahun dan dewasa mudah antara yang berusia 15 sampai 44 tahun).

e. Setiap individu dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya

(misalnya: diabetes, gagal ginjal kronis, silikosis, penyimpangan gizi,

bypass gastroktomi atau yeyunoileal)

f. Imigran dari negara dengan insiden TB yang tinggi (Asia Tenggara,

Afrika, Amerika Latin, karibia)

g. Setiap individu yang tinggal di daerah perumahan substandard kumuh.

h. Petugas kesehatan.

Resiko untuk tertular tuberkulosis juga tergantung pada banyaknya

organisme yang terdapat di udara ( Brunner & Suddarth,2002).


24

B. Tinjauan Umum Tentang Program Strategi DOTS

Strategi DOTS (Directly Observe Treatment Shortcourse = pengobatan

jangka pendek dengan pengawasan) pertama kali diperkenalkan di Indonesia

pada tahun 1995 dan telah diimplementasikan secara meluas dalam system

pelayanan kesehatan masyarakat. Strategi DOTS direkomendasi oleh WHO.

Kemudian berkembang seiring dengan pembentukan GERDUNAS-TB

(Gerakan Terpadu Nasional Tuberkulosis), maka Pemberantasan penyakit

Tuberkulosis Paru berubah menjadi Program Penanggulangan Tuberkulosis

(TB) (Depkes,2002)

Sejak 1999/2000, 98% Puskesmas dikembangkan untuk melaksanakan

strategi DOTS, dalam hal ini pemerintah memberikan terapi DOTS secara

gratis. Untuk pemeriksaan dahak di Puskesmas, pemerintah telah memberikan

subsidi untuk Reagensia (zat kimia yang diperlukan untuk tes TB di

laboratorium) yang cukup untuk semua daerah, namun secara kualitas

ditingkatkan bertahap melalui intensifikasi seperti pelatihan, magang dan

bimbingan teknis. Ekspansi yang cepat melalui keterlibatan seluruh BP4 dan

RS Paru serta kurang lebih 30% RS dalam pelayanan TB dengan strategi

DOTS.

Penanggulangan dengan strategi DOTS dapat memberikan angka

kesembuhan yang tinggi. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS merupakan

strategi kesehatan yang paling Cost-effective. Pada tahun 2001 di Indonesia

kasus TB dapat diturunkan menjadi 582.000 dan 261.000 diantaranya


25

merupakan TB menular. Insiden rate dari tahun ke tahun dapat diturunkan

yaitu pada tahun 2001 sebesar 122 per 100.000 penduduk dan pada tahun

2002 menjadi 115 per 100.000 penduduk. Penemuan kasus TB (CDR=Case

Detection Rate ) pada tahun 2005 adalah 68%, telah mendekati target global

untuk penemuan kasus pada tahun 2005 sebesar 70% dan target 2007 menjadi

74%. Sedangkan angka keberhasilan pengobatan (Success Rate = SR)

mencapai 89,7% melebihi target WHO sebesar 85%.

Dengan strategi DOTS, manajemen penanggulangan TB di indonesia,

ditekankan pada tingkat Kabupaten/kota.

1. Strategi

a. Paradigma Sehat

1) Meningkatkan penyuluhan untuk menemukan kontak sedini

mungkin serta meningkatkan cakupan program.

2) Promosi Kesehatan dalam rangka meningkatkan perilaku hidup

sehat.

3) Perbaikan perumahan serta peningkatan status gizi pada kondisi

tertentu (Depkes,2002).

b. Strategi DOTS, dilakukan di pelayanan kesehatan dasar di dunia

untuk mendeteksi dan menemukan pasien TB, strategi ini terdiri dari

5 komponen:
26

1) Dukungan politik para pemimpin wilayah di setiap jenjang.

Program ini menjadi salah satu prioritas dan pendanaan pun

akan tersedia.

2) Mikroskopis sebagai komponen utama untuk mendiagnosa

penyakit TB melalui pemeriksaan sputum langsung pasien

tersangka dengan penemuan secara pasif.

3) Pengawasan minum obat (PMO) yaitu orang yang dikenal,

dipercaya baik oleh pasien maupun petugas kesehatan yang

akan ikut mengawasi pasien minum seluruh obatnya,

diharapkan sembuh pada akhir proses pengobatan.

4) Pencatatan dan pelaporan dengan baik dan benar, sebagai

bagian dari sistem surveilens penyakit ini, sehingga

pemantauan pasien tetap berjalan.

5) Panduan obat TB jangka pendek dan benar termasuk dosis dan

jangka waktu yang tepat sangat penting untuk keberhasilan

pengobatan. Termasuk terjaminnya kelangsungan persediaan

panduan obat (Arif dkk,2001).

c. Peningkatan mutu pelayanan

1) Pelatihan seluruh tenaga pelaksana.

2) Ketepatan diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara

mikroskopik.
27

3) Kualitas laboratorium diawasi melalui pemeriksaan uji silang

(cross check)

4) Untuk menjaga kualitas pemeriksaan laboratorium, dibentuklah

KPP (Kelompok Puskesmas Pelaksana) terdiri dari 1 PRM

(Puskesmas Rujukan Mikroskopik) dan beberapa PS

(Puskesmas Satelit). Untuk daerah dengan geografis sulit dapat

dibentuk PPM (Puskesmas Pelaksana Mandiri).

5) Ketersediaan OAT bagi semua penderita TBC yang ditemukan.

6) Pengawasan kualitas OAT dilaksanakan secara berkala dan

terus menerus.

7) Keteraturan menelan obat sehari-hari diawasi oleh Pengawas

Menelan Obat (PMO). Keteraturan pengobatan tetap

merupakan tanggung jawab petugas kesehatan.

8) Pencatatan dan pelaporan dilaksanakan dengan teratur, lengkap

dan benar (Depkes,2002)

d. Pengembangan program dilakukan secara bertahap ke seluruh UPK.

e. Peningkatan kerjasama dengan semua pihak melalui kegiatan advokasi

diseminasi informasi dengan memperhatikan peran masing-masing.

f. Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program meliputi:

Perencanaan pelaksana monitoring dan evaluasi serta mengupayakan

sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).


28

g. Kegiatan penelitian dan pengembangan dilaksanakan dengan melibatkan

semua unsur terkait.

h. Memperhatikan komitmen internasional.

2. Kegiatan

a. Penemuan dan diagnosis penderita

1) Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe tuberkulosis

2) Pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung

3) Pengobatan penderita dan pengawasan pengobatan

b. Cross check sediaan dahak

c. Pencatatan dan pelaporan

d. Penyuluhan tuberculosis

e. Supervisi

f. Monitoring dan evaluasi

g. Perencanaan

h. Pengelolaan logistic

i. Pelatihan

j. Penelitian (Depkes,2002).

3. Organisasi Pelaksanaan

Organisasi pelaksanaan program penanggulangan TB telah dibentuk,

mulai dari tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota, sampai pada unit pelayanan

kesehatan (Depkes,2002).
29

1) Tingkat Pusat

Upaya penanggulangan TB di tingkat pusat dibawah tanggung

jawab dan kendali Direktur Jenderal PPM (Pemberantasan Penyakit

Menular) dan PL (Penyehatan Lingkungan). Untuk menggalang kemitraan

dibentuk Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis

(GERDUNAS-TB) yang dicanangkan oleh Menteri Kesehatan RI pada

Tanggal 23 Maret 1999, bertepatan dengan peringatan hari TB sedunia.

2) Tingkat Propinsi

Ditingkat propinsi dibentuk GERDUNAS-TB propinsi yang terdiri

dari Tim Pengarah dan Tim Teknis bentuk dan struktur organisasi

disesuaikan dengan kebutuhan daerah.

3) Tingkat Kabupaten/Kota

Ditingkat kabupaten/kota dibentuk GERDUNAS-TB

kabupaten/kota yang terdiri dari Tim Pengarah dan tim teknis. Bentuk dan

struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten/kota.

4) Unit Pelayanan Kesehatan

Dilaksanakan oleh Puskesmas Rumah Sakit BP3/klinik dan

praktek dokter swasta.

a) Puskesmas

Dalam pelaksanaan di Puskesmas, dibentuk Kelompok Puskesmas

Pelaksana (KPP) yang terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis

(PRM) dengan dikelilingi oleh kurang lebih 5 Puskesmas Satelit (PS)


30

yang secara keseluruhan mencakup wilayah kerja dengan jumlah

penduduk 50.000 - 150.0000 jiwa. Pada keadaan geografis yang sulit

dapat dibentuk Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) yang dilengkapi

tenaga dan fasilitas pemeriksaan sputum BTA.

b) Rumah Sakit dan Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP3)

Rumah Sakit dan BP3 dapat melaksanakan semua kegiatan

tatalaksana penderita TB. Dalam hal tertentu Rumah sakit dan BP3

dapat merujuk penderita kembali ke puskesmas yang terdekat dengan

tempat tinggal penderita untuk mendapatkan pengobatan dan

pengawasan selanjutnya. Dalam pengelolaan logistik dan pelaporan

rumah sakit dan BP3 berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota.

c) Klinik dan Dokter Praktek Swasta (DPS)

Secara umum konsep pelayanan di Klinik dan DPS sama dengan

pelaksanaan pada Rumah Sakit dan BP3 Dalam hal tertentu, klinik dan

DPS dapat merujuk penderita dan spesimen ke puskesmas Rumah

sakit atau BP3.

C. Peran Perawat Dalam Pelaksanaan Srategi DOTS

Mengingat masih besarnya masalah penyakit TB, Menkes menghimbau

partisipasi dan kerja sama semua pihak terutama keluarga, para petugas

kesehatan serta semua pihak, yaitu para pengambil keputusan di tingkat Pusat

dan Daerah, Organisasi Profesi, Organisasi Sosial Kemasyarakatan, Lembaga


31

Swadaya Masyarakat, para pakar di perguruan tinggi, para cendikiawan serta

pengusaha swasta untuk bersama-sama bergandengan tangan, bersatu dalam

barisan, bahu membahu melakukan sesuatu sesuai dengan peran masing-

masing dalam mendukung upaya pemberantasan TB dan memerangi

kemiskinan (Depkes, 2007)

Dari himbaun tersebut diatas tak ada artinya bila tidak di tunjang oleh

kinerja seorang perawat sabagai petugas kesehatan yang jumlah banyak di

masyakat terutama di puskesmas sebagai tempat pelayanan kesehatan yang

ada di masyarakat. Sehingga sangat di perlukan peran serta seorang perawat

untuk ikut langsung dalam program penanggulan program TB dengan strategi

DOTS yang sudah terbukti bisa mengatasi masalah penderita TB. Adapun

peran perawat tersebut sebagai berikut (Depkes,2002):

1. Penemuan/mendiagnosis TB dengan Pemeriksaan Dahak Secara

Mikroskopis

a. Penemuan penderita tuberculosis (TB)

1). Penemuan penderita tuberculosis pada orang dewasa

Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif, artinya

penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang

datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan.

Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan

secara aktif, oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk

meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini


32

biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case finding

(penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif)

Selain itu, semua kontak penderita tuberkulosis paru BTA

positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Semua

tersangka penderita harus di periksa 3 spasimen sputum (dahak)

dalam waktu 2 hari berturut-turut, yaitu Sewaktu Pagi Sewaktu

(SPS).

2). Penemuan penderita tuberculosis pada anak

Penemuan penderita tuberkulosis pada anak merupakan hal

yang sulit. Sebagaian besar diagnosis tuberkulosis anak didasarkan

atas gambaran klinis, gambaran radiologis dan uji tuberkulin.

Penjaringan tersangka penderita tuberkulosis pada anak dapat

di peroleh melalui keluarga penderita BTA positif (kontak

serumah), masyarakat (kunjugan posyandu), atau dari penderita

yang berkunjung ke puskesmas maupun langsung ke rumah sakit.

b. Diangnosis tuberculosis (TB)

1). Diagnosis tuberculosis pada orang dewasa

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan

dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara

mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila

sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif.


33

Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan

lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS

diulang.

a). kalau hasil rontgen mendukung TB, maka penderita didiagnosis

sebagai penderita TB BTA positif.

b). Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan

dahak SPS diulang.

Apabila fasilitas memungkinkan, maka dapat dilakukan

pemeriksaan lain, misalnya biakan.

Bila kegiatan spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan

antibiotik spektrum luas (misalnya Kontrimoksasol atau

Amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun

gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS.

a). Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA

positif.

b). Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen

dada, untuk mendukung diagnosis TB.

Bila hasil rontgen mendukung TB,

didiagnosis sebagai penderita TB BTA negatif rontgen

positif.

Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut

bukan TB.
34

UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat

dirujuk untuk foto rontgen dada.

2). Diagnosis tuberculosis pada anak.

Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman TB

dari bahan yang diambil dari penderita, misalnya dahak, bilasan

lambung, biopsi dll. Tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang

didapat, sehingga sebagian besar didiagnosis TB anak didasarkan

atas gambaran klinis, gambaran foto rontgen dada dan uji

tuberkuli.

c. Uraian tugas program TB untuk petugas di unit pelayanan

kesehatan dalam menemukan penderita

1). Memberikan penyuluhan tentang TB kepada masyarakat umum.

2). Menjaring suspek (penderita tersangka) TB

3). Mengumpul dahak dan mengisi buku daftar suspek forum TB.06

4). Membuat sedian hapus dahak

5). Mengirim sedian hapus dahak kelaboratoriun dengan Fomm TB.05

6). Menegakkan diagnosis TB sesuai protap

7). Membuat klasifikasi type penderita

8). Mengisi kartu penderita (Form TB.01) dan kartu identitas penderita

(TB.02)

9). Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TB BTA

positif
35

10). Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita TB

yang ditemukan (Depkes,2002).

2. Pengobatan Dengan Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Jangka

Pendek Dengan Pengawasan Langsung Oleh Pengawas Menelan Obat

(POM).

Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT

jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan

pengobatan diperlukan seorang PMO.

a. Persyaratan PMO

1). Seseorang yang dikenal, dipercaya, dan disetujui baik oleh

petugas kesehatan maupun penderita. Selain itu harus disegani

dan dihormati oleh penderita.

2). Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita.

3). Bersedia membantu penderita dengan sukarela.

4). Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama

dengan penderita.

b. Siapa yang bisa menjadi PMO

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di

Desa, Perawat, Pekarya Sanitarian juru imunisasi dll. Bila tidak ada

petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader

Kesehatan, guru, PKK atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota

keluarga.
36

c. Tugas Seoarang PMO

1). Mengawasi penderita TB agar menelan obat secara teratur

sampai selesai pengobatan.

2). Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur.

3). Mengingatkan penderita untuk memeriksa ulang dahak pada waktu

- waktu yang telah ditentukan.

4). Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang

mempunyai gejala-gejala tersangka TB untuk segera

memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.

d. Informasi Penting Yang perlu dipahami PMO untuk

disampaikan

1). Tuberkulosis bukanlah penyakit keturunan.

2). TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur

3). Tata laksana pengobatan penderita pada Tahap intensif dan

lanjutan

4). Pentingnya berobat secara teratur karena itu pengobatan perlu

diawasi

5). Efek samping obat dan tindakan yang harus dilakukan bila terjadi

efek samping tersebut

6). Cara penularan dan mencegah penularan.


37

3. Kesinambungan pemberian OAT jangka pendek dengan mutu

terjamin.

Peran perawat sangat di perlukan dalam hal ini, sebagai petugas

kesehatan yang jumlahnya banyak, untuk mengetahui dan

melaksanakan pemberian obat berdasarkan panduan yang berlaku di

Indonesia sesuai dengan anjuran WHO.

Panduan obat anti TB jangka pendek yang benar, termasuk dosis

dan jangka waktu yang tepat, sangat penting untuk keberhasilan

pengobatan. Termasuk terjaminnya kelangsungan persediaan panduan

obat ini (Depkes,2002).

a. Jenis dan dosis obat

1). Isoniasid (H)

Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh

90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan.

Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik

aktif yaitu kuman yang sedang berkembang, dosis harian yang

dianjurkan 5 mg/kg BB,sedangkan untuk pengobatan intermiten

3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.

2). Rifampisin (R)

Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi-dormant

(persister) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid. Dosis 10


38

mg/kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun

intermiten 3 kali seminggu.

3). Pirasinamid (Z)

Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada

dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25

mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali

seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.

4). Streptomisin (S)

Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg

BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu

digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun

dosisnya 0,75 gr/hari sedangkan untuk berumur 60 tahun atau

lebih diberikan 0,50 gr/hari.

5). Etambutol (E)

Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan

15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali

seminggu digunakan dosis 30 mg/kgBB.

b. Prinsip pengobatan

Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa

jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6 - 8 bulan, supaya

semua kuman (termasuk kuman persister) dapat dibunuh. Dosis tahap


39

intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal,

sebaiknya pada perut kosong. Apabila panduan obat yang digunakan

tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB

akan berkembang menjadi kuman kebal obat ( resisten). Untuk

menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu

dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed

Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu: tahap intensif

dan lanjutan

1). Tahap intensif

Tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan

diawasai langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap

semua OAT, terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif

tersebut di berikan secara tepat, biasanya penderita menular

menjadi tidak menular lagi dalam kurung waktu 2 minggu.

Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negative

(konversi) pada akhir pengobatan intensif.

2). Tahap lanjutan

Tahap lanjutan penderita mendapat Jenis obat lebih sedikit,

namun dalam jangka waktu lama.


40

c. Panduan pemberian obat di Indonesia

Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia

menggunakan paduan OAT yang terdiri dari: Kategori 1 : 2

HRZE/4H3R3, Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3, Kategori 3 : 2

HRZ/4H3R3

Disamping ketiga kategori ini disediakan paduan obat sisipan

(HRZE). Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak

dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin

kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai 1 paket untuk 1

penderita dalam 1 masa pengobatan.

1) Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin

(R),Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E). Obat-obat tersebut

diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian

diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid (H)

dan Rifampisin (R) diberikan 3 kali dalam seminggu selama 4

bulan (4H3R3).

Obat ini diberikan untuk :

a). Penderita baru TB Paru BTA Positif.

b). Penderita TB Paru BTA negatif Rontgen positif yang sakit

berat .

c). Penderita TB Ekstra Paru berat.


41

Satu paket kombipak kategori 1 berisi 113 blister harian

yang terdiri dari 60 blister HRZE untuk tahap intensif dan 53

blister HRH untuk tahap lanjutan masing-masing dikemas dalam

dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar.

2) Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2

bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan

Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap

lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan 3 kali dalam

seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin

diberikan setelah penderita selesai menelan obat.

Obat ini diberikan untuk :

a). Penderita kambuh (relaps)

b). Penderita Gagal (failure)

c). Penderita dengan Pengobatan setelah lalai (after default)

Satu paket kombipak kategori 2 berisi 156 blister harian yang

terdiri dari 90 blister HRZE untuk tahap intensif dan 66 blister HRE

untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan

disatukan dalam 1 dos besar. Disamping itu, disediakan 30 vial

streptomicin @ 1,5 gr dan pelengkap pengobatan (60 spuit dan

aquabidest) untuk tahap intensif.


42

3) Kategori -3 (2HRZ/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2

bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR

selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (3H3R3).

Obat ini diberikan untuk :

a). Penderit baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan

b).Penderita ekstra paru ringan yaitu TB kelenjar limfe

(limfadenitis), pleuritis eksudativa unilateral, TB kulit, TB

tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

Satu paket kombipak kategori 3 berisi 113 blister harian

yang terdiri dari 60 blister HRZ untuk tahap intensif dan 53 bliter

HR untuk tahap lanjutan, masing masing di kemas dalam dos kecil

dan disatukan dalam 1 dos besar.

4) Oat sisipan (HRZE)

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA

positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan

ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA

positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.

Satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE yang dikemas

dalam 1 dos kecil.


43

d. Pemantauan kemajuan hasil pengobatan

Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa

dilakukan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopik.

Pemeriksaan dahak secara mikroskopik lebih baik dibanding dengan

pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju

Endap Darah (LED) tidak dapat dipakai untuk memantau kemajuan

pengobatan.

Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan

pengobatan dilakukan pada.

1). Akhir tahap intensif

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 2 pengobatan

penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu

sebelum akhir bulan ke 3 pengobatan ulang penderita BTA positif

dengan kategori 2.

2). Sebulan sebelum akhir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 5 pengobatan

penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu

sebelum akhir bulan ke 7 pengobatan ulang penderita BTA positif,

dengan ketegori 2.

3). Akhir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 6 pengobatan

pada penderita BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu


44

sebelum akhir bulan ke 8 pengobatan ulang BTA positif, dengan

kategori ke 2.

Pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum akhir

pengobatan dan akhir pengobatan (AP) bertujuan untuk menilai

hasil pengobatan (sembuh,ataugagal).

e. Tatalaksana penderita yang berobat tidak teratur

Seorang penderita kadang - kadang berhenti minum obat

sebelum masa pengobatan selesai. Hal dapat terjadi karena penderita

belum mamahami bahwa obat harus ditelan seluruhnya dalam waktu

telah ditetapkan. Petugas kesehatan harus mengusahakan agar

penderita yang putus obat tersebut kembali ke UPK. Pengobatan yang

diberikan tergantung pada tipe penderita, lamanya pengobatan

sebelumnya, lama putus berobat, dan bagaimana hasil pemeriksaan

dahak sewaktu dia kembali berobat.

f. Efek samping obat

1) Pembagian efek Samping

Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan

tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek

samping. Oleh karena itu, pemantauan kemungkinan terjadinya

efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.

Pemantauan efek samping obat dilakukan dengan cara:

Menjelaskan kepada penderita tanda-tanda efek samping dan


45

Menanyakan adanya gejala efek samping pada waktu penderita

mengambil OAT.

Efek Samping OAT

a). Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat menjadi

sakit serius. Dalam kasus ini maka pemberian OAT harus

dihentikan dan penderita harus segera dirujuk ke UPK

spesialistik.

b). Efek samping ringan yaitu hanya menyebabkan sedikit perasaan

yang tidak enak. Gejala-gejala ini sering dapat ditanggulangi

dengan obat-obat simptomatik atau obat sederhana, tetapi

kadang-kadang menetap untuk beberapa waktu selama

pengobatan. Dalam hal ini, pemberian OAT dapat diteruskan.

2). Isoniasid ( INH )

Efek samping berat berupa hepatitis yang dapat timbul pada

kurang lebih 0,5% penderita. Bila terjadi ikterus, hentikan

pengobatan sampai ikterus membaik. Bila tanda-tanda hepatitisnya

berat maka penderita harus dirujuk ke UPK spesialistik.

Efek samping INH yang ringan dapat berupa :

a). Tanda-tanda keracunan pada saraf tepi, kesemutan, dan nyeri

otot atau gangguan kesadaran. Efek ini dapat dikurangi dengan

pemberian piridoksin (Vitamin B6 dengan dosis 5-10 mg

perhari atau dengan vitamin B Kompleks)


46

b). Kelainan yang menyerupai defisiensi piridoksin (syndroma

pellagra)

c). Kelainan kulit yang bervariasi, antara lain gatal-gatal.

Bila terjadi efek samping ini pemberian OAT dapat

diteruskan sesuai dosis.

3). Rifampisin

Rifampisin bila diberikan sesuai dosis yang dianjurkan, jarang

menyebabkan efek samping, terutama pada pemakaian terus

menerus setiap hari. Salah satu efek samping berat dari rifampisin

adalah hepatitis, walaupun ini sangat jarang terjadi. Alkoholisme,

penyakit hati yang pernah ada, atau pemakaian obat-obat

hepatotoksis yang lain secara bersamaan akan meningkatkan risiko

terjadinya hepatitis. Bila terjadi ikterik (kuning) maka pengobatan

perlu dihentikan. Bila hepatitisnya sudah hilang/sembuh

pemberian rifampisin dapat diulang lagi.

Efek samping ringan sering terjadi pada saat pemberian berkala

dan dapat sembuh sendiri atau hanya memerlukan pengobatan

simtomatik, Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air

seni, keringat, air mata, air liur. Hasil ini harus diberitahukan

kepada penderita agar penderita tidak jadi khawatir. Warna merah

tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak

berbahaya.
47

4). Pirasinamid

Efek samping utama dari penggunaan pirasinamid adalah

hepatitis. Juga dapat terjadi nyeri sendi dan kadangkadang dapat

menyebabkan serangan arthritis gout yang kemungkinan

disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.

kadang terjadi reaksi hipersensitas misalnya demam, mual

kemerahan dan reaksi kulit yang lain.

5). Streptomisin

Efek samping utama dari streptomisin adalah kerusakan syaraf

kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran.

Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan

peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita

6). Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa

berkurangnya ketajaman penglihatan, buta warna untuk warna

merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut

tergantung pada dosis yang dipakai.

Kalau jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui,

maka pemberian kembali OAT harus dengan cara drug

challenging dengan maksud untuk menentukan obat mana yang

merupakan penyebab dari efek samping tersebut. Untuk maksud

tersebut, sebaiknya penderita dirujuk ke unit pelayanan


48

spesialistik. Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu

telah diketahui, misalnya pirasinamid atau Etambutol atau

Streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan lagi dengan

tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat

lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini

akan menurunkan risiko terjadinya kambuh.

Dalam program penanggulangan TB, perawat bertanggung

jawab dalam memberikan penyuluhan langsung perorangan. Hal ini

sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan

penderita. Penyuluhan ini ditujukan kepada suspek, penderita, dan

keluarganya supaya penderita menjalani pengobatan secara teratur

sampai sembuh. Bagi anggota keluarga yang sehat dapat menjaga,

melindungi, dan meningkatkan kesehatannya sehingga terhindar dari

penularan TB. Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan

media massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang

lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat tentang TB dari

suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan,

menjadi suatu penyakit yang berbahaya, tapi dapat disembuhkan.

g. Uraian tugas program TB untuk petugas di unit pelayanan

kesehatan dalam memberikan pengobatan

1). Menetapkan jenis panduan obat

2). Memberikan obat tahap intensif dan tahap lanjut


49

3). Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita (Fomm

TB.01)

4). Penentuan PMO (bersama penderita)

5). Memberikan penyuluhan kepada penderita, keluarga, dan PMO

6). Memantau keteraturan minum obat

7). Melakukan pemeriksaan dahak ulang untuk Follow-up pengobatan

8). Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara

penanganannya (Depkes,2002)

4. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk nemudahkan

pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB

Pencatatan yang di lakukan di unit pelayanan kesehatan (UPK)

misalnya puskesmas, Rumah Sakit, BP4, klinik dan dokter praktek swasta

dalam pelaksanaan pencatatan dapat melaksanakan pecatatan

menggunakan formulir sabagai berikut (Depkes,2002):

a. Daftar tersangka penderita (suspek) yang diperiksa dahak (TB.06)

b. Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak

(TB.05)

c. Kartu pengobatan TB (TB.01)

d. Kartu identitas penderita (TB.02)

e. Formulir rujukan/pindah penderita (TB.09)

f. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindah (TB.10).


50

Petugas kebupaten/kota akan mengambil data yang dibutuhkan dan

mengisi dalam buku register TB kabupaten (TB.03), tetapi untuk nomor

register yng diberikan oleh kabupaten/kota.

D. Kerangka Konsep

Direct Observe Treatment, Short-Cource (DOTS) merupakan strategi

penanganan TB yang direkomendasikan WHO yang sudah teruji

keampuhannya di berbagai negara dalam mendeteksi dan menyembuhkan

penderita TB, baik sebagai kasus per individu maupun bentuk komuniti dalam

program nasional.

Sampai saat ini di Indonesia tampaknya belum semua pihak terkait

memahami secara utuh mengenai apa itu DOTS serta bagaimana

pelaksanaannya. Secara umum DOTS memang lebih mengarah ke suatu

program yang bersifat nasional, namun bila disimak dari uraian kata DOTS itu

sendiri, pengertian DOTS dapat diterapkan dalam kasus per kasus TB yaitu

dimulai dari memfokuskan perhatian (direct attention) dalam usaha

menemukan/mendiagnosis penderita secara baik dan akurat, utamanya melalui

pemeriksaan mikroskopik. Selanjutnya setiap penderita harus diawasi

(observed) dalam meminum obatnya yaitu obat diminum didepan seorang

pengawas, dan inilah yang dikenal sebagai Directly Observed Therapy (DOT).

Penderita juga harus menerima pengobatan (treatment) dalam sistem

pengelolaan, penyediaan obat anti tuberkulosis yang tertata dengan baik,

termasuk pemberian regimen OAT yang adekuat yakni melalui pengobatan


51

jangka pendek (short cource) sesuai dengan klasifikasi dan tipe masing-

masing kasus. Harus disertai sistem evaluasi yang dapat menilai hasil-hasil

pengobatan kasus per kasus maupun penampilan program secara keseluruhan,

yaitu dalam bentuk pencatatan dan pelaporan yang baku dan seragam. Paling

penting lagi adalah adanya dukungan atau kesepakatan (komitmen) dari

berbagai pihak untuk menjadikan strategi sebagaimana diuraikan di atas

menjadi prioritas dalam penatalaksanaan TB (Situmeang,2004)

Aspek-aspek yang terkait dalam strategi penanganan TB dengan

strategi DOTS diatas, maka dalam penelitian ini akan membahas mengenai:

bagaimana perawat dalam penemukan penderita TB paru, pemberian obat

pada penderita TB paru dan melakukan pencatatan dan pelaporan penderita

TB paru. Berdasarkan hal diatas, maka untuk memberi gambaran yang lebih

jelas dan terarah, dapat di gambarkan kerangka konsep penelitian sebagai

berikut:
52

Penemuan penderita TB paru

Pengawasan langsung
pemberian obat

Efektifitas perawat pada


program strategi DOTS

Pemberian obat pada penderita


TB paru

Pencatatan dan pelaporan

Keterangan:

: Tidak diteliti

: Diteliti

Gambar 1. Skema Kerangka Konsep Penelitian Gambaran Efektifitas Perawat


Pada Program Stratrgi DOTS di Unit Kerja Puskesmas Kabupaten
Mamasa
53

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian dan Kerangka Kerja

1. Desain penelitian

Penelitian ini menggunakan tehnik deskriptif survey yang

bertujuan memberikan gambaran efektifitas perawat pada program strategi

DOTS di unit kerja puskesmas kabupaten Mamasa.

2. Kerangka kerja

Variable independen

Veriabel dependen
Efektifitas perawat pada
program strategi DOTS
Penemuan penderita TB
Penanggulangan
perawat paru
penyakit TB Paru
Pemberian obat pada
penderita TB paru.
Pencatatan dan
pelaporan

Gambar 2. Skema Kerangka kerja Penelitian Gambaran Efektifitas Perawat


Pada Program Stratrgi DOTS di Unit Kerja Puskesmas Kabupaten
Mamasa

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas yang ada di Kabupaten

Mamasa Propinsi Sulawesi Barat, dengan luas wilayah 2.759,23 Km dan

jumlah penduduk 124.433 jiwa, serta jumlah puskesmas yang ada sebanyak

13 puskesmas yang tesebar di setiap Kecamatan. Sebagian besar wilayah

Kabupaten Mamasa terdiri dari hutan, pegunungan dan persawahan.


54

Batas Wilayah Kerja Puskesmas:

1. Utara : Kabupaten Mamuju

2. Barat : Kabupaten Mamuju dan majene.

3. Selatan : Kabupaten Polman

4. Timur : Kabupaten Tana toraj dan kabupaten Pindrang .

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi merupakan seluruh subyek atau obyek karakteristik tertentu

yang akan diteliti (Alimul, 2007)

Populasi dalam penelitian ini adalah perawat penaggung jawab dan

anggota pelaksana program stretegi DOTS yang bertugas di Puskesmas

kabupaten Mamasa.

2. Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti atau

sebagian jumlah dari karekteristik yang dimiliki oleh populasi

(Alimul,2007)

Sampel dalam penelitian ini adalah keseluruhan obyek yang diteliti

atau keseluruhan populasi dengan kriteria inklusi adalah karakteristik

sampel yang dapat dimasukkan atau layak untuk diteliti:

a. Kriteria inklusi dalam penelitian ini:

1). Perawat yang bersedia untuk dijadikan sampel penelitian


55

2). Perawat yang bertangung jawab dan anggota pelaksana program

penanggulan TB Paru

3). Perawat yang berada di tempat kerja pada saat penelitian dilakukan

b. Kriteria eksklusi:

1). Tidak bersedia menjadi responden

2). Bukan penanggung jawab dan anggota pelaksana program

pananggulangan TB Paru

3). Tidak ada di tempat pada saat penelitian di lakukan.

D. Identitas Variabel dan Defenisi Operasional

1. Identitas variabel

a. Veriabel pengaruh atau independent variable adalah efektifitas

perawat pada program strategi DOTS.

b. Variabel terpengaruh atau dependent variable adalah

penanggulangan TBC

2. Defenisi operasional

a. Efektifitas perawat dalam penemuan penderita TB Paru dalam

penelitian ini adalah kemampuan perawat dalam penemuan penderita

TB Paru dengan program strategi DOTS, berdasarkan kriteria yang di

tetapkan Depkes 2002.

Kriteria obyektif :

Baik : Jika Skornya 15

Kurang : jika Skornya < 15


56

Efektifitas perawat diukur dengan 6 butir pertanyaan. Untuk jawaban

sangat sering diberi nilai (4), sering diberi nilai (3), jarang diberi nilai

(2), dan tidak pernah diberi nilai (1).

b. Efektifitas perawat dalam pemberian obat pada penderita TB Paru

dalam penelitian ini adalah kemampuan perawat dalam pemberian

obat pada penderita TB Paru, berdasarkan kriteria yang di tetapkan

Depkes 2002.

Kriteria obyektif :

Baik : Jika Skornya 15

Kurang : jika Skornya < 15

Efektifitas perawat diukur dengan 6 butir pertanyaan. Untuk jawaban

sangat sering diberi nilai (4), sering diberi nilai (3), jarang diberi nilai

(2), dan tidak pernah diberi nilai (1).

c. Efektifitas perawat dalam melaksanakan pencatatan dan pelaporan

dalam penelitian ini adalah kemampuan perawat dalam melakukan

pencatatan dan pelaporan pada penderita TB Paru, berdasarkan kriteria

yang di tetapkan Depkes 2002.

Kriteria obyektif :

Baik : Jika Skornya 15

Kurang : jika Skornya < 15

Efektifitas perawat diukur dengan 6 butir pertanyaan. Untuk jawaban


57

sangat sering diberi nilai (4), sering diberi nilai (3), jarang diberi nilai

(2), dan tidak pernah diberi nilai (1).

E. Instrumen Penelitian

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang

disusun oleh peneliti sendiri, mengaju pada pedoman nasional

penanggulangan Tuberkulosis (Depkes,2002). Kuesioner digunakan untuk

mengetahui efektifitas perawat pada program strategi DOTS. Dengan

mengajukan pertanyaan menyangkut tugas yang harus dilaksanakan seorang

perawat di unit pelayanan kesehatan dalam penanggulangan TBC.

F. Cara Pengumpulan Data

Data sekunder di peroleh dari puskesmas dan primer di peroleh

langsung dengan mengunakan alat ukur kuesioner yang telah dibuat oleh

peneliti dan mengacu pada kepustakaan yang terdiri atas beberapa pertanyaan,

untuk mengatasi kelemahan kuesioner peneliti mengunakan cros-check

(Arikunto,1997). Pengumpulan data secara langsung terhadap perawat

penaggung jawab dan anggota pelaksana program stretegi DOTS yang

bertugas di Puskesmas kabupaten Mamasa, dengan prosedur sebagai berikut:

1. Berdasarkan surat pengantar dari Direktur Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Nani Hasanuddin, surat izin dari Pemerinta Kabupaten Mamasa dan surat

izin dari Kepala Kantor Dinas Kesehatan Mamasa diteruskan ke

Puskesmas.
58

2. Peneliti menemui sampel sesuai kriteria, kemudian peneliti menanyakan

kepada perawat tentang kesediaan untuk dijadikan sampel penelitian,

apabila perawat bersedia maka perawat tersebut akan menandatangani

persetujuan sebagai responden.

3. Peneliti mengadakan interview/wawancara terstruktur, dengan wawancara

terpimpin, yang disusun secara terperinci. Peneliti mengisi jawaban pada

lembar pengkodean sesuai dengan pilihan perawat yang diteliti.

G. Langka Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, peneliti kemudian malakukan langkah-langkah

pengolahan data sebagai berikut:

1. Editing

Proses editing dilakukan setelah data terkumpul dan dilakukan dengan

memeriksa kelengkapan data memeriksa kesinambungan data dan

memeriksa keserangan.

2. Koding

Dilakukan untuk memudahkan dalam pengolahan data, semua jawaban

atau data perlu di sederhanakan yaitu memberikan simbol-simbol tertentu

untuk setiap jawaban (pengkodean), pengkodean dilakukan dengan

memberi nomor halaman daftar pertanyaan, nomor pertanyaan, nomor

variabel, nama variabel dan kodenya.


59

3. Tabulasi data

Dilakukan untuk memudahkan dalam pengolahan data kedalam suatu

tabel menurut sifat-sifat yang dimiliki sesuai dengan tujuan peneliti.

4. Analisis data

Setelah data terkumpul dari lembaran kuesioner yang ada maka di

dilakukan pengolahan data. Proses menguraikan/memberikan interpretasi

terhadap data yang terkumpul dengan mengunakan metode bantuan SPSS

for windos versi 12,0 .Pada penelitian ini menggunakan tehnik analisis

univariate secara deskriptif melalui distribusi dan presentasi dari setiap

variable, lalu di beri interpretasi apa makna dari presentasi tersebut.

H. Penyajian Data

Penyajian data dalam bentuk tabel disertai penjelasan tabel, dalam

bentuk narasi.

I. Keterbatasan

1. Instrumen/alat ukur

Pegumpulan data dengan cara wawancara dengan alat instrumen yang

belum di uji coba dan pertanyaannya menyangkut diri responden yang

kemungkinan akan memberikan jawaban yang tidak benar.

2. Sampel

Keterbatasan dalam sampel, dimana peneliti tidak membedakan tingkat

pendidikan yang mungkin akan mempengaruhi efektifitas perawat pada

program strategi DOTS


60

J. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti perlu mendapat rekomendasi

dari institusinya atas pihak lain dengan mengajukan permohonan izin kepada

institusi/ lembaga tempat penelitian. Setelah mendapat persetujuan barulah

melakukan penelitian dengan menekankan masalah etika yang meliputi :

1. Informed consent

Lembar persetujuan, ini diberikan kepada responden yang akan diteliti

yang memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul penelitian, bila subjek

menolak maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati hak- hak

subjek.

2. Anonimity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama

responden, tetapi lembar tersebut diberi kode.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi responden dijamin peneliti hanya kelompok data

tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitia


61

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksaksanakan di Puskesmas yang ada di Kabupaten Mamasa

sejak tanggal 6 Maret 2008 sampai dengan 26 Maret 2008 dengan sampel sebanyak

27 orang. Berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan kemudian di

sajikan secara sistematik sebagai berikut:

1. Penemuan penderita TB paru

Tabel 6
Distribusi Efektifitas Perawat Dalam Penemuan Penderita
TB paru Di Unit Kerja Puskesmas
Kabupaten Mamasa
Efektifitas Perawat Dalam Perawat Pelaksana Program Strategi
Menemukan Penderita TB paru DOTS
n %
Kurang 19 70,4
Baik 8 29,6
Jumlah 27 100
Sumber: Data primer

Berdasarkan tabel 6 diatas menunjukkan distirbusi Perawat Pelaksana

Program Strategi DOTS yang bekerja di Puskesmas Kabupaten Mamasa

menurut Efektifitas Perawat Dalam Penemuan Penderita TB paru, terbanyak

pada perawat dengan efektifitas kurang sebanyak 19 orang (70,4%) dari 27

sampel sedangkan yang memenuhi kriteria baik hanya 8 orang (29,6%).


62

2. Pemberian obat pada penderita TB paru


Tabel 7
Distribusi Efektifitas Perawat Dalam Pemberian Obat
Pada Penderita TB paru Di Unit Kerja Puskesmas
Kabupaten Mamasa
Efektifitas Perawat Dalam Perawat Pelaksana Program
pemberian obat pada Penderita Strategi DOTS
TB paru n %
Kurang 7 25,9
Baik 20 74,1
Jumlah 27 100
Sumber: Data primer

Berdasarkan tabel 7 diatas menunjukkan distirbusi Perawat Pelaksana

Program Strategi DOTS yang bekerja di Puskesmas Kabupaten Mamasa

menurut Efektifitas Perawat dalam pemberian obat pada Penderita TB paru,

terbanyak pada perawat dengan efektifitas baik sebanyak 20 orang (74,1%)

dari 27 sampel sedangkan efektifitas yang kurang sebanyak 7 orang (25,9%).

3. Pencatatan dan pelaporan pada penderita TB paru


Tabel 8
Distribusi Efektifitas Perawat Dalam Melakukan Pencatatan dan Pelaporan
Pada Penderita TB paru Di Unit Kerja Puskesmas
Kabupaten Mamasa
Efektifitas Perawat dalam melakukan Perawat Pelaksana Program
pencatatan dan pelaporan pada Strategi DOTS
Penderita TB paru n %
Kurang 10 37,0
17
Baik 63,0
Jumlah 27 100
Sumber: Data primer

Berdasarkan tabel 8 diatas menunjukkan distirbusi Perawat Pelaksana

Program Strategi DOTS yang bekerja di Puskesmas Kabupaten Mamasa


63

menurut Efektifitas Perawat dalam melakukan pencatatan dan pelaporan pada

Penderita TB paru, terbanyak pada perawat dengan efektifitas baik sebanyak

17 orang (63,0%) dari 27 sampel sedangkan efektifitas yang kurang sebanyak

10 orang (37,0%).

B. Pembahasan

1. Penemuan Penderita TB Paru

Perawat pelaksana penanggung jawab program TB di unit kerja

Puskesmas Kabupaten Mamasa telah melakukan beberapa kegiatan dalam

melaksanakan program strategi DOTS untuk penemuan penderita TB paru,

diantaranya melakukan penyuluhan. Penyuluhan dilakukan pada pasien yang

berkunjung di Puskesmas yang mengidap gejala gejala penyakit TB paru

atau suspek TB, penyuluhan paling sering dilakukan pada penderita TB paru

positif dan keluarganya. Untuk penyuluhan di masyarakat jarang di lakukan,

bila di lakukan dirangkaikan dengan kegiatan puskesmas keliling. Selain dari

penyuluhan perawat pelaksana penanggung jawab program TB mengadakan

pemasangan poster di posyandu dan pembagian Flidcar terutama pada

keluarga yang menderita TB Positif, pemasangan poster dan pembangian

Fildcar dilakukan bila ada dari Dinas Kesehatan. Kegiatan penyuluhan,

pemasangan poster dan pembagian fildcar selaras dengan kegiatan

GARDUNAS TB (2002) dalam pelaksanaan penyuluhan di unit pelayanan

kesehatan (UPK).
64

Berdasarkan dari hasil penelitian, di peroleh data bahwa tingkat

efektifitas perawat dalam penemuan penderita TB paru pada program stategi

DOTS dengan efektifitas baik sebanyak 29,6% dan kurang sebanyak 70,4 %.

Menunjukkan bahwa pada umunya perawat belum maksimal dalam

menemukan penderita TB paru. Sesuai dengan data yang di peroleh dari Dinas

Kesehatan Kabupeten Mamasa pada Tahun 2005 pencapaian 27,42 %, pada

tahun 2006 pencapaian 51,53% dan pada tahun 2007 pencapaian 59,89% yang

seharusnya cakupan penemuan penderita TB diatas 70% (Depkes, 2007).

Menurut widiatmojo (2004) bahwa hanya sekitar 30 persen dari

seluruh penderita TB aktif yang terdeteksi dan mendapat pelayanan kesehatan

di institusi kesehatan. Dapat dibayangkan, berapa banyak penderita TB yang

tidak terdeteksi dan kemungkinan besar akan terus menularkan penyakitnya

pada keluarga dan masyarakat di sekitarnya.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wasbord (2005)

yang di kutip Seweng (2005) tentang pengobatan TB di berbagai negara,

menunjukkan bahwa deteksi dini penderita sebenarnya lebih sulit dibanding

menjelaskan supaya penderita tetap teratur berobat.

Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Situmeang (2007)

bahwa proses penemuan penderita (Case Finding) tidaklah sederhana

sebagaimana kelihatannya, melalui berbagai tahapan harus dijalani sampai

ditemukannya satu orang penderita.


65

Demikian pula yang di kemukakan oleh Depkes (2002) bahwa

penemuan penderita Tuberculosis pada anak merupakan hal yang sulit. Hal

yang sama dikemukakan oleh Agnes (2004) bahwa angka kejadian TB anak

belum diketahui secara pasti. Namun bila angka kejadian TB dewasa tinggi

dapat diperkirakan kejadian TB anak akan tinggi pula. Demikian hal dengan

apa yang dikatakan oleh Back (2008) bahwa penyakit TB sulit terdeteksi yang

bisa menyebar keberbagai organ tubuh.

Pelaksanaan program strategi DOTS di unit kerja Puskesmas

Kabupaten Mamasa dalam hal penemuan penderita TB mengalami beberapa

kendala, yaitu:

a. Letak geografis Kabupaten Mamasa, terdiri dari daerah

pengunungan sehingga pada umunya masyarakat bertempat tinggal jauh

dari puskesmas dan alat transportasi sangat terbatas, serta sulit di jangkau

oleh petugas kesehatan. Dimana pada pemeriksaan spesimen dahak, setiap

penderita tersangka TB paru harus diperiksa 3 spesimen dahak yaitu:

Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS) dalam waktu 2 hari berturut turut, pada

hari kedua pasien yang bertempat tinggal jauh dari Puskesmas tidak

datang walaupun sebelumnya sudah dijelaskan.

Secara teori Pemeriksaan kontak serumah harus dilakukan pada penderita

TB BTA Positif, tetapi penderita yang bermukim jauh dari Puskesmas dan

sulit di jangkau oleh petugas kesehatan tidak dilakukan pemeriksaan .


66

b. Puskesmas Rujukan Makroskopik (PRM) di kabupaten Mamasa hanya 1

dari 15 puskesmas yang ada dengan petugas 1 orang, dimana PRM

berfungsi untuk melakukan pemeriksaan sputum atau laboratorium

pembaca, yang seharusnya PRM dikelilinggi oleh kurang lebih 5 (lima)

Puskesmas Satelit (PS). Sehingga hasil pemeriksaan laboratorium dari

PRM membutuhkan waktu yang lama dan tidak pasti waktunya.

Berdasarkan interview yang dilakukan pada perawat penanggung jawab

program TB yang bertugas di Puskesmas di dapatkan informasi bahwa

biasanya pasien sudah datang ke Puskesmas untuk mengatahui hasil

pemeriksaan, tapi hasil dari PRM belum ada sehingga biasanya pasien

tidak mau lagi ke puskesmas untuk mengetahui hasil dari pemeriksaan

tersebut. Hingga pasien yang menderita TB BTA positif terlambat di obati

dan meningkatkan resiko penularan di masyarakat sehingga jumlah

penderita baru meningkat.

c. Petugas kesehatan yang bertugas di puskesmas kurang, Sehingga Perawat

pelaksana penanggung jawab program penanggulanagan TB harus

melaksanakan program lain. Hal ini sesuai yang di kemukakan oleh Ferry

(2007) bahwa penemuan penderita secara aktif di masyarakat sangat

penting untuk mencegah penularan lebih lanjut tetapi kendala di lapangan

adalah jumlah tenaga kesehatan yang ada sangat terbatas. Selain dari itu

petugas kesehatan yang mendapatkan pelatihan tentang penanggulangan

TB masih kurang dan pada umumnya ditempatkan di Puskesmas, sehingga


67

bila ada penderita suspek TB paru harus di rujuk ke Puskesmas, yang

seharusnya hal ini bisa dilakukan oleh perawat yang ada di Pustu

d. Kurangnya dana pendukung dalam pelaksanaan program penanggulangan

TB. Hingga untuk merialisasikan kegiatan program penanggulangan TB

jarang dilakukan. Seperti halnya kegiatan pelatihan yang tidak di lakukan

karena faktor dana yang kurang. Berdasarkan dengan interview dengan

petugas penanggung jawab program TB Dinas Kesehatan Kabupaten

Mamasa bahwa dana yang di gunakan untuk kegiatan program

penanggulangan TB dari Dinas Kesehatan Propinsi untuk dana APBD

tidak di anggarkan.

e. Pada pasien yang pemeriksaan BTA negatif dan membutuhkan

pemeriksaan Rontgen, mengalami kesulitan. Dimana pada umunya mereka

tidak ingin di rujuk karena faktor ekonomi, hal ini sesuai dengan yang di

kemukakan oleh Situmeang (2004) bahwa salah satu faktor yang

mempengaruhi penaggulangan TB adalah sosial ekonomi penderita.

Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Sani (2007) di perolah

bahwa penderita TB paru pada 6 Puskesmas di Kabupeten Maros dengan

jumlah sampel 169 orang di temukan 69% berpendapatan rendah (115

orang) di banding dengan jumlah pendepatan cukup hanya 31%.

f. Persedian logistik untuk bahan habis pakai kurang, terutama larutan untuk

pemeriksaan BTA dan pada tahun 2007 kadang pot untuk pengumpulan

dahak kurang di Puskesmas.


68

Kendala kendala tersebut di atas menyebabkan pencapaian

penemuan TB paru tidak memenuhi target. Hal ini selaras dengan apa yang di

kemukakan oleh Seweng (2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa

keberhasilan penanggulan TB paru di masyarakat perlu di perhatikan

hambatan sistem yaitu: menyangkut implementasi program DOTS, misalnya

waktu, biaya, jarak, alat pemeriksaan, hubungan interpersonal petugas

terhadap penderita dan ketersediaan tenaga yang memadai serta monotoring

pelaksana program.

2. Pemberian obat pada Penderita TB Paru

Tujuan pengobatan pada penderita TB paru bukanlah sekedar

memberikan obat. Dalam strategi DOTS di upayakan agar penderita yang

telah menerima obat/resep obat untuk selanjutnya tetap membeli/mengambil

obat, minum obat secara teratur, kembali kontrol untuk menilai pengobatan.

Dengan strategi DOTS, maka tujuan pengobatan yang sesunggunya dapat

dipenuhi yaitu menyembuhkan, mencegah kematian, mencegah kekambuan

atau timbulnya resistensi terhadap OAT dan memutuskan rantai penularan

(Situmeang, 2004)

Berdasarkan dari hasil penelitian, di peroleh data bahwa tingkat efektifitas

perawat dalam pemberian obat pada penderita TB paru pada program stategi

DOTS dengan efektifitas baik sebanyak 74,1% dan kurang sebanyak 25,9%.

Menunjukkan bahwa pada umunya perawat melaksanakan pemberian obat

dengan baik, sesuai dengan data yang di peroleh dari Dinas Kesehatan
69

Kabupaten Mamasa bahwa angka kesembuhan sudah melebihi dari 85% yaitu

tahun 2005 sebanyak 95, 83% dan tahun 2006 sebanyak 87,5%.

Hal ini sesuai dengan penelitian Taliak (2006) tentang faktor faktor yang

berhubungan dengan keberhasilan pengobatan Tuberkulosis melalui strategi

DOTS di Puskesmas Jongaya Makassar menyakatakan bahwa berdasarkan

peran petugas kesehatan sebagai pelaksana penanggulangan TB dengan

keberhasilan strategi DOTS , menunjukkan dari 35 responden yang menjalani

proses pengobatan, terdapat 28 (80,0%) responden yang mengatakan petugas

berperan baik dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap penderita TB,

sedangkan responden yang menyatakan kurang memberi pelayanan kesehatan

kepada penderita TB adalah berjumlah 7 (20,0%) responden.

Hal yang sama didapatkan oleh Rosyanti (2006) dari hasil penelitiannya

menyatakan bahwa sebagian besar responden yang menjalani pengobatan TB

Paru di Puskesmas Antang Perumnas, Puskesmas Antang dan Puskesmas

Tamanggapa yang menyatakan sikap petugas baik adalah sebanyak 42

responden (66,7%) dan sebagian kecil responden yang menilai sikap petugas

kurang yaitu: 21 responden (33,3%), yang manandakan bahwa pada umunya

petugas sudah bersikap baik terhadap penderita TB paru.

Demikian juga yang dikemukakan oleh Ahmad (2006) dalam

penelitiannya bahwa sikap petugas terhadap pemberian obat penderita TB

paru, menyatakan cukup sebanyak 71 responden (93,4%) dan kurang


70

sebanyak 5 responden (6,6%). Hal ini mengambarkan bahwa sikap petugas

terhadap penderita TB paru cukup baik.

Pengobatan dilakukan dengan bekerja sama seorang Pengawas Menelan

Obat (PMO), salah satu faktor yang membedakan metode pengobatan TB paru

standar dengan metode DOTS adalah adanya petugas atau keluarga penderita

yang diberikan tanggung jawab mengawasi keteraturan penderita TB paru

yang di sebut PMO (Seweng, 2005). Hal ini sesuai dengan prinsip pengobatan

Depkes (2002) bahwa untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat,

pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directy

Observerd Treatmen) dan yang menjadi PMO pada umumya anggota keluarga

penderita sendiri. Situmeang (2004) mengemukakan bahwa tujuan pengobatan

akan mudah di capai, bila bekerja sama dengan Pengawas Menelan Obat

(PMO) salah satunya yaitu: anggota keluarga sendiri. Seperti halnya

penelitian yang dilakukan oleh Seweng (2005) bahwa peran PMO yang

kurang mempunyai peranan terhadap kecendrugan penderita untuk Drop

Out lebih besar dibandingkan dengan adanya peranan PMO yang cukup.

Demikian juga penelitian yang di lakukan oleh Ahmad (2006) bahwa peranan

PMO memberikan kostribusi yang besar terhadap penderita TB paru yang

menjalani pengobatan untuk tidak terjadi DO (Drop Out).

Pada penderita yang jarak tempuh ke Puskesmas jauh biasanya di berikan

obat 1 kali dalam sebulan berdasarkan perjanjian penderita, PMO dan petugas

kesehatan.
71

Setiap pemberian obat petugas penanggung jawab program TB melakukan

penyuluhan kepada penderita dan PMO. Penyuluhan menganai keteraturan

minum obat dan efek samping obat. Efek samping yang di timbulkan

penggunaan obat dari tahun 2005 2006 belum ada (Dinkes Mamasa, 2007).

Selain dari penyuluhan perawat pelaksana program TB mengadakan

perjanjian kapan seharusnya pasien mengambil obatnya.

Meskipun sebagian besar efektifitas perawat dalam pemberian obat

pada penderita TB paru sudah baik, tapi sebagian kecil masih ada yang kurang

dalam melakukan pemberian obat pada penderita TB paru. Dimana terkadang

ada penderita tidak dapat mengambil obatnya karena penanggung jawab TB

tidak ada di tempat. Hal ini lah yang menyebabkan sehingga, sebagian dari

perawat efektifitasnya masih kurang dalam pemberian obat pada penderita TB

paru.

3. Pencatan dan pelaporan penderita TB Paru

Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat

penting dalam sistem informasi penanggulangan TB. Untuk itu pencatatan &

pelaporan perlu dibakukan berdasar klasifikasi dan tipe penderita. Semua unit

pelaksana program penanggulangan TB harus melaksanakan suatu sistem

pencatatan dan pelaporan (Anonim, 2008)

Program penanggulan TB harus di sertai sistem evaluasi yang dapat

menilai hasil - hasil pengobatan kasus per kasus maupun penampilan program
72

secara keseluruhan, yaitu dalam bentuk pencatatan dan pelaporan yang baku

dan seragam (Situmeang, 2004)

Berdasarkan dari hasil penelitian, di peroleh data bahwa tingkat

efektifitas perawat dalam melakukan pencatatan dan pelaporan pada penderita

TB paru pada program stategi DOTS dengan efektifitas baik sebanyak 63,0%

dan kurang sebanyak 37,0%. Keadaan ini memberikan gambaran bahwa pada

umumnya perawat pelaksana penanggung jawab program TB di unit kerja

Puskesmas Kabupaten Mamasa, telah melakukan pencatatan dan pelaporan

dengan baik, dalam hal ini peneliti berasumsi bahwa perawat pelaksana

penanggung jawab program TB telah melakukan pendokumentasian dengan

baik.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Amien (2005) dengan judul

yang berbeda bahwa dari 40 responden terdapat 29 respon (72,5%) yang

melakukan dokumentasi keperawaan secara lenkap, sedangkan yang

melakukan dokumentasi keperawatan secara tidak lengkap hanya11 responden

(27,5%)

Demikian juga penelitian yang dilakukan Gani (2006) bahwa 90%

responden termasuk dalam kategori baik dalam melakukan pendokumentasian

dan 10% yang kurang, yang menandakan bahwa perawat telah melakukan

perananya dalam mendokumentasikan tindakan keperawatan yang baik.

Pencatatan dan pelaporan dilakukan pada setiap penderita tersangka

(suspek) yang diperiksa dahak SPS dengan mengisi Formulir TB. 06 atau
73

daftar suspek yang di periksa dahak SPS. Sebelum dahak di kirim ke PRM

terlebih dahulu mengisi formulir permohonan pemeriksaan laboratorium

dimana setiap penderita menggunakan satu formulir, bagian atas formulir di

isi oleh petugas yang meminta pemeriksaan dahak dan bagian bawah oleh

petugas yang membaca sedian dahak, formulir ini disebut formulir TB. 05

atau formulir permohonan laboratorium untuk pemeriksaan dahak. Bagi

penderita dengan BTA positif harus mandapatkan pengobatan dan perawat

pelaksanakan program penanggulangan TBC melakukan pengisian formulir

TB. 01 atau kartu pengobatan TB, dimana kartu ini di simpan di Puskesmas.

Kemudian di lanjutkan dengan pencatatan pada formulir TB. 02 atau kartu

identitas penderita yang disimpan oleh penderita sendiri, untuk mencatat

panduan obat yang di berikan kepada penderita, jumlah obat yang telah di

berikan kepada penderita, tanggal harus kembali dan tanggal pemeriksaan

ulang dahak serta catatan lain dari dokter dan perawat.

Pencatatan pada formulir TB. 09 atau formulir rujukan/pindah

penderita TB digunakan bila ada seorang penderita akan dirujuk atau pindah

berobat ke UPK di luar wilayah kabupaten/kota. Formulir TB. 10 atau

formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan diisi oleh unit

pengobatan yang menerima penderita pindahan, formulir ini di isi setelah hasil

akhir pengobatan penderita pindahan tersebut diketahui.

Meskipun sebagian besar efektifitas perawat dalam melakukan

pencatatan dan pelaporan pada penderita TB paru sudah baik, tapi masih
74

terdapat 37% yang kurang. Di mana dalam pelaksanaan pencatatan dan

pelaporan ada sebagian dari perawat penanggungjawab program

penanggulangan TB lupa mengisi register suspek yang di periksa dahaknya

(Formulir TB. 06) dan mengisi kartu pengobatan penderita TB (Formulir TB.

01), sehingga dalam pembuatan laporan kadang mengigat ngigat kembali.

Peneliti berasumsi hal ini disebabkan oleh kurangnya petugas kesehatan yang

bertugas di puskesmas, sehingga beban kerja petugas penanggungjawab

program penanggulangan TB tinggi.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN


75

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang efektifitas perawat pada program

strategi DOTS di unit kerja Puskesmas Kabupeten Mamasa, maka dapat

disimpulkan bahwa :

1. Tingkat efektifitas perawat dalam penemuan penderita TB paru di unit

kerja Puskesmas Kabupeten Mamasa menunjukkan bahwa efektifitas

perawat masih kurang dalam menemukan penderita TB yang pada umunya

diakibatkan oleh fasilitas kesehatan yang masih kurang.

2. Tingkat efektifitas perawat dalam pemberian obat pada penderita TB paru

di unit kerja Puskesmas Kabupeten Mamasa menunjukkan bahwa pada

umumnya efektifitas perawat baik dalam pemberian obat pada penderita

TB paru.

3. Tingkat efektifitas perawat dalam melakukan pencatatan dan pelaporan

pada penderita TB paru di unit kerja Puskesmas Kabupaten Mamasa

menunjukkan bahwa pada umumnya efektifitas perawat baik dalam

melakukan pencatatan dan pelaporan pada pemberian.

B. Saran

1. Mengigat masih kurangnya efektifitas perawat dalam hal penemuan

penderita TB paru terutama disebabkan oleh fasilitas yang masih kurang,

maka perlu penambahan fasilitas terutama penambahan PRM (Puskesmas

Rujukan Mikroskopik) dan penyedian logistik di setiap Puskesmas. Dan

dibentuknya Puskesmas Pelaksana Mandari (PPM) mengigat wilayah


76

kerja di Puskesmas Kabupaten Mamasa termasuk daerah sulit.

2. Perlu peningkatkan peran aktif perawat dalam pemberian obat terutama

dalam hal penyuluhan setiap pemberian obat dan sesuai dengan jadwal

yang sudah disepakati dengan penderita dan PMO.

3. Perlu peningkatan motivasi untuk tetap melaksanaan pencatatan dan

pelaporan, bila melakukan kegiatan yang berhubungan dengan penderita

TB paru. Dan diharapkan partisipasi setiap kepala Puskesmas setempat

untuk tetap memonitoring kegiatan program penanggulan TB paru serta

peningkatan monitoring dari penanggungjawab program penanggulagan

TB (wasor) Dinas kesehatan Kabupaten Mamasa.

DAFTAR PUSTAKA
77

Agnes, TH. 2004. Waspadai Penyakit TB paru, Seorang Penderita TB Dewasa Bisa
Menulari Sepuluh Anak. (online), (http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/0304/28/hikmah/lainnya02,diakses 17 April jam
13.15)
.
Ahmad. 2006. Faktor Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian DO (Drop
Out) penderita TBC Paru yang Mengalami Pengobatan TB Paru di
Puskesmas Palitakan Kabupaten Polewali Mandar. Skripsi tidak di
terbitkan. Makassar: Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas
Kedokteran Unhas.

Amien, F. 2005.Hubungan Peran Kepala Ruangan Sebagai Supervisor dengan


Kelengkapan Pendokumentasian Asuhan Keperawatan di Ruang Inap
Perjan RS. DR. Wahidin Sudirohusodo. Makassar. Skripsi tidak di
terbitkan. Makassar: Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas
Kedokteran Unhas.

Anonim. 2008. TBC Indonesia Pencatatan dan Pelaporan. (online). (htt://www.Tbc


Indonesi.com,diakses 17 April 2008 jam 13.45).

________. 2007. Tuberkulosis, (online), (http://www.melyoclinie.com/healthy


tuberculosis/D500372, diakses 5 Desember 2007 jam 09.30).

________. 2007. Penyakit Tbc, (online), (http//.www.meprofarm.com/tbc/penyakit-


tbc.htm, diakses 15 Desenber 2007 jam 10.00).

________. 2004. Sembilan Propinsi Lampaui Target Penanggulangan TBC Pada


Tahun 2003, (online), (http://www.depkes.go.id, diakses15 Desember
2007 jam 10.15).

________. 2007. Pengobatan TBC, (online),


(http//www.wedicastore.com./tbc/pengobatan-tbc.htm, diakses 15
Desember 2007 jam 10.45).

Arikunto, S. 1997. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta.


Jakarta

Arif,M., Kuspuji,T., Rakhmi,S. Wahyu,W., Wiwiek,S,. Ganong,W,F., 2001. Kapita


Selekta . jilid I. Media Aesculapius FKUI. Jakarta.
Alimul Aziz. 2002. Riset Keperawatan dan Tehnik Penulisan Ilmiah. Salemba
Madika. Jakarta
78

_______. 2007. Riset Keperawatan dan Tehnik Penulisan Ilmiah. Salemba Madika.
Jakarta.

Back . 2008. Penyakit TB Sulit Terdeteksi. (online), (http://www.cosmedia@pikiran-


rakyat. com, diakses17 April jam 13.10).

Buraerah,A.H. 2006. Biostatistik. Unhas. Makassar.

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Jilid III. ECG. Jakarta.

Dep. Kes. RI. 1999. Rencana Pembengunan Kesehatan Menuju Sehat 2010. DepKes
RI. Jakarta.

________. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. DepKes RI.


Jakarta

_______. 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator
Propinsi Sehat dan Kabupaten/Kota. DepKes RI. Jakarta.

________. 2006. Propil Kesehatan Indonesia 2004. DepKes RI. Jakarta

________. 2007. Penjelasan Umum Rencana KL Tahun 2007 Peningkatan Akses


Masyarakat Terhadap Layananan Kesehatan yang Lebih Berkualitas.
(online). (http://www.bappenas.go.id.diakses 9 januari 2008 jam 10.00)

Dinkes. Kab. Mamasa. 2005 2007. Register TB Kabupaten 2005-2007.Dinkes


Kabupaten Mamasa

________. 2005 2007. Laporan Tahunan Penderita TB 2005 2007. Dinkes


Kabupaten Mamasa.

Fahruddin. 2006. Gambaran Pelaksanaan Model Prektek Keperawatan Profesional


(MPKP) dan Tingkat Kepuasan Pasien di Ruang Perawatan Bedah
Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Skripsi tidak di
terbitkan. Makassar: Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas
Kedokteran Unhas.

Ferry. 2007. Active Case Finding Dalam Penanggulangan TB Paru. (online).


(http://Ferryfendi.blogspot.com/2007/II/html.diakses 7 Desembar 2007
jam 11.35)
Gardunas TBC, 2002. Metode Pelatihan Pananggulangan Tuberkulosis Nasional,
Jakarta.
79

Gani. 2006. Analisa Peran Perawat dalam Pemberian Obat dengan Benar Diruang
Perawatan Lontara I Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo. Skripsi tidak di
terbitkan. Makassar: Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas
Kedokteran Unhas.

Notoatmojo, S. 2005. Metiologi Penelitian Kesehatan. Renika Cipta. Jakarta


Pemda. Kab. Mamasa. 2003-2007. Propeda Kebupaten Mamasa. Pemda Kabupaten
Mamasa

Taliak, E. 2006 Faktor Faktor yang Berhubungan dengan Keberhasilan


Pengobatan Tuberkulosis melalui Strategi DOTS di Puskesmas Jongaya
Makassar . Skripsi tidak di terbitkan. Makassar: Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran Unhas.

Rosyanti. 2006 Faktor Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhatuhan Berobat


Penderita TB Paru di Puskesmas Antang Perumnas, Puskesmas Antang,
dan Puskesmas Tamangapa kecamatan Manggala Kota Makassa. Skripsi
tidak di terbitkan. Makassar: Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas
Kedokteran Unhas.

Sani, FR. 2007.Analisa Gambar Data Demografi Penderita TB Paru pada 6


Puskesmas di Kabupaten Maros Periode Januari Desember 2006.
Skripsi tidak di terbitkan. Makassar: Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran Unhas.

Seweng, A. 2005 Faktor Determinan Hasil Pengobatan Penderita Tuberkulosis


dengan Metode DOTS di Propinsi Sulawesi Tenggara. Skripsi tidak di
terbitkan. Makassar: Program Pascasarjana Unhas.

Situmeang, T. 2004. Pengobatan Tuber Kulosis Paru Masih Menjadi Masalah.


(online). (htt://www.suarapembaharuan.com,diakses 15 Desember 2007).

Sukandi, IN. 2005. Hubungan Beban Kerja Perawat dengan Pendokumentasian


Asuhan Keperawatan di Ruang Perawatan Baji Pamai Badan Pengelola
Rumah Sakit Labuang Baji Kota makassar. Skripsi tidak di terbitkan.
Makassar: Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Unhas.

Widiatmoko. D.2004. Pemberantasan Tuberculosis Paru di Indonesia. (online).


(htt://www.stilennfikasio.com,diakses 17 April 2008 jam 13.00).
Lampiran 1

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


80

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


NANI HASANUDDIN
MAKASSAR

DAFTAR PERTANYAAN
GAMBARAN EFEKTIFITAS PERAWAT PADA
PROGRAM STATEGI DOTS DI UNIT KERJA
PUSKESMAS KABUPATEN MAMASA
A. Pengantar

Dengan hormat,

Sehubungan dengan penelitian tentang gambaran efektifitas perawat pada

program stategi DOTS, maka peneliti memohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara (i)

untuk memberikan jawaban berdasarkan pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.

Semua jawaban akan diterima dan kerahasian jawaban serta identitas

Bapak/Ibu/Saudara (i) akan dijaga dan dilindunggi. Oleh karena itu diharapkan

Bapak/Ibu/Saudara (i) membarikan jawaban apa adanya, sesuai dengan yang

diketahui dan dialami.

Apabila Bapak/Ibu/Saudara (i) bersediah, mohon tanda tangani lembar

persetujuan.

Akhirnya atas kesediaan Bapak/Ibu/Saudara (i) berpartisipasi memberikan

jawaban, peneliti sangat menghargai dan peneliti mengucapkan terima kasih

banyak. Hormat peneliti

RAHMAWATI

Lampiran 2

B. Lembar persetujuan responden


81

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Alamat:

Dengan ini menyatakan bersedia dan tidak keberatan menjadi responden di

dalam penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nani Hasanuddin Makassar atas nama Rahmawati

dengan judul Gambaran Efektifitas Perawat Pada Program Stategi Dots Di Unit

Kerja Puskesmas Kabupaten Mamasa. Demikian surat persejutuan ini saya buat

dengan suka relah tanpa paksaan dari pihak lain dan kiranya pergunakan sebagaimana

mestinya.

Mamasa, Maret 2008

Responden ,

(......................................)

Lampiran 3
Kuesioner
82

Petunjuk: pertanyaan di ajukan oleh peneliti kepada responden dan jawaban diisi oleh
peneliti berdasarkan jawaban responden.
Tgl pengambilan data, 2008
C Identitas umum responden Kode
1. No. Responden
2. 83
Nama : ..........................................

3. Umur :

Jenis kelamin :
4.
a. Laki-laki

b. Perempuan

5
Pendidikan terakhir :

1. Spk

2. DIII (diploma)

3. S1 keperawatan

6 lama bekerja sebagai perawat:

lama bekerja di puskasmas:


7

1. 6 Bulan - 5 Tahun

2. 5 Tahun 10 Tahun

1. >10 tahun

D Identifitas khusus efektifitas perawat pada Kode


program strategi DOTS dalam penemuan penyakit
TBC.
8 Melakukan penyuluhan tentang TBC kepada masyakat
1. Tidak Pernah
2. Jarang
3. Sering
4. Sering Sekali
9 Melakukan penjaringan suspek pada penderita
tersangka TBC
1. Tidak Pernah
2. Jarang
3. Sering
4. Sering Sekali
10 Mengirim sedian hapus dahak ke laboratorium
1. Tidak Pernah
2. Jarang
3. Sering
84

Lampiran 4

Perhitugan Kriteria Obyektif

4. Menentukan skor maksimal, yaitu skor jawaban terbesar dikali banyak item.

4 x 6 = 24

2. Menentukan skor minimal, yaitu skor jawaban terkecil di kali banyaknya item.

1x6= 6

3. Menetukan nilai median, yaitu hasil penjumlahan skor maksimal dengan skor

minimal dibagi dua. (24 + 6 ) : 2 = 15

4. Kriteria obyektif untuk efektiftas perawat di bagi 2 kategori (baik dan kurang)

Jadi di katakan baik apabila skor 15

Dikatakan kurang apabila skor < 15


85

Lampiran 6
ANALISIS DATA
Frequencies
Statistics

umur pendidikan lama kerja


responden jenis kelamin terakhir lama bekarja sebagai
(tahun) responden responden di puskesmas perawat
N Valid 27 27 27 27 27
Missin
0 0 0 0 0
g

efektifitas perawat
pada program strategi efektifitas perawat pada
efektifitas perawat pada DOTS dalam program strategi DOTS
program strategi DOTS pemberian obat pada dalam melakukakan
dalam penemuan penderita penyakit pencatatan dan pelaporan
penderita penyakit TBC TBC pada penderita Penyakit TBC
N Valid 27 27 27
Missin
0 0 0
g

Frequency Table
umur responden (tahun)

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 24 tahun - 33
14 51.9 51.9 51.9
tahun
34 tahun - 43
11 40.7 40.7 92.6
tahun
44 tahun - 53
2 7.4 7.4 100.0
tahun
Total 27 100.0 100.0

jenis kelamin responden


86

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid laki - laki 12 44.4 44.4 44.4
perempua
15 55.6 55.6 100.0
n
Total 27 100.0 100.0

pendidikan terakhir responden

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid spk 19 70.4 70.4 70.4
DII
8 29.6 29.6 100.0
(Diploma)
Total 27 100.0 100.0

lama kerja sebagai perawat

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 1 tahun - 10
14 51.9 51.9 51.9
tahun
11 tahun - 20
12 44.4 44.4 96.3
tahun
21 tahun - 30
1 3.7 3.7 100.0
tahun
Total 27 100.0 100.0

lama bekarja di puskesmas

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 6 bulan - 5
13 48.1 48.1 48.1
tahun
5 tahun - 10
6 22.2 22.2 70.4
tahun
> 10 tahun 8 29.6 29.6 100.0
Total 27 100.0 100.0

efektifitas perawat pada program strategi DOTS dalam penemuan penderita TB Paru

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid kurang 19 70.4 70.4 70.4
baik 8 29.6 29.6 100.0
Total 27 100.0 100.0
87

efektifitas perawat pada program strategi DOTS dalam pemberian obat pada penderita TB Paru

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid kurang 7 25.9 25.9 25.9
baik 20 74.1 74.1 100.0
Total 27 100.0 100.0

efektifitas perawat pada program strategi DOTS dalam melakukakan pencatatan dan pelaporan
pada penderita TB Paru

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid kurang 10 37.0 37.0 37.0
baik 17 63.0 63.0 100.0
Total 27 100.0 100.0

Descriptives

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation


efektifitas perawat pada
program strategi DOTS
dalam penemuan 27 1 2 1.33 .480
penderita penyakit TBC
efektifitas perawat pada
program strategi DOTS
dalam pemberian obat 27 1 2 1.74 .447
pada penderita penyakit
TBC

efektifitas perawat pada


program strategi DOTS
dalam melakukakan
pencatatan dan pelaporan 27 1 2 1.63 .492
pada penderita Penyakit
TBC
88

Valid N (listwise) 27

Lampiran 11

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Rahmawati

Nim : NH. O2. 06. 053

Tempat/Tanggal Lahir : Mamasa. 05 Juli 1981

Agama : Islam

Alamat : Jl. Sahabat Lr. 01. Nomor. 06 Tamalanrea.


Makassar

Pendidikan :

a.Tamat SDN No. 019 Malabo Tahun 1993


b. Tamat SLTP 1 Pelewali Tahun 1996
c.Tamat SPK Pemkab Majene Tahun 2000
d. Tamat Akper Pemkab Majene Tahun 2004
e.Mengikuti pendidikan STIKES Nani Hasanuddin
Tahun 2006 2008
89

You might also like