You are on page 1of 28

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

1. Permasalahan

Konflik antarwarga sering terjadi di Maluku, baik dalam skala kecil

maupun besar. Konflik tidak saja terjadi antarpribadi, antargolongan, antaragama,

bahkan juga antarsuku. Geososial Maluku yang berbasis kepulauan, dan

karenanya disebut Daerah Seribu Pulau dengan ribuan kategori sosial-budaya

kemasyarakatannya, menampilkan adanya sebuah kondisi obyektif, yaitu

perbedaan dan kemajemukan ciri sosial, budaya dan keagamaan yang berbasis

komunitas kepulauan.

Kategori-kategori perbedaan tersebut, pada dirinya, selalu mengandung

potensi konfik dan damai, di sisi lain, cenderung menampilkan pula adanya

prasangka (prejudice) dan gambaran buruk (streotipe) terhadap sesama lainnya

sehingga, pada gilirannya akan menjadi pemicu konfik, baik yang bersifat

antarwarga, antaretnik maupun antaragama. Realitas konflik begitu menonjol

sejak zaman prahistoris, yang kemudian telah membimbing masyarakat memasuki

sebuah ambang kesadaran peradaban baru (new civilization) sebagai orang

Maluku, di dalam budaya hidup orang Maluku, yaitu budaya orang basudara

(budaya orang bersaudara) dengan sebuah pola kehidupan adat yang kuat.

Budaya hidup tersebut ditata dan dikelola, serta diselenggarakan dengan

sebuah falsafah yang khas Maluku, yaitu falsafah hidop orang basudara (hidup
2

orang bersaudara), sebagai bentuk kearifan lokal (local genius) anak negeri

Maluku yang sarat dengan kekayaan nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai hidop orang

basudara itu saling mengikat, mempertautkan dan mempersatukan masyarakat

Maluku di dalam realitas perbedaannya yang kaya. Budaya hidop orang basudara

dengan falsafah hidop orang basudara-nya itu, dijaga, dipelihara dan dilestarikan

oleh pendukung-pendukung adat dan budaya orang Maluku, yang disebut anak

adat dalam kelompok-kelompok adat (seperti uli, pata, lor, dan ur), yang

bertaburan di berbagai wilayah kepulauan Maluku. Salah satu wujud empirisnya

pada budaya pela-gandong. Berbagai ritus adat selalu digelar secara rutin untuk

proses pelestarian budaya hidop orang basudara tersebut, seperti: ritus panas

pela, dan panas gandong (Watloly, 2012:241-268).

Falsafah hidop orang basudara dengan budaya pela-gandong-nya, dalam

perjalanannya, tidak pernah luput dari ujian yang terus menempa kehidupan

masyarakat kepulauan Maluku. Konflik antarwarga yang terjadi antara tahun 1999

sampai tahun 2004 di Maluku telah menyita perhatian banyak pihak, baik dari

dalam maupun luar negeri. Konflik berskala besar itu pada satu pihak

mengagetkan tetapi pada pihak lain membingungkan, sebab Maluku dikenal

sebagai wilayah yang memiliki institusi sosial yang kuat, teristimewa budaya

pela-gandong (Pieris, 2004: vii).

Konflik-konflik yang ada, jika dibiarkan berlarut akan turut memengaruhi

tatanan adat dan budaya yang ada di Maluku beserta nilai- nilai yang terkandung

di dalamnya. Nilai-nilai yang terdapat dalam budaya masyarakat Maluku


3

umumnya mempertegaskan pentingnya kekerabatan, kekeluargaan dan

persaudaraan yang erat antaranggota masyarakat adat.

Terdapat bermacam bentuk kearifan lokal (local genius) di Maluku yang

selalu dilestarikan. Kearifan lokal tersebut umumnya menjaga keutuhan

masyarakat adat, sehingga kini menjadi perhatian penting dalam rangka

membangun dan mengembangkan kehidupan masyarakat beradab, yang

menjunjung tinggi nilai-nilai budaya, teristimewa yang bernuansa humanis.

Kearifan lokal (local genius), secara umum menjadi salah satu perhatian

penting di era post-modern. Perhatian kepada nilai-nilai budaya suatu daerah

muncul sebagai akibat dari berkembangnya kesadaran mengenai sisi suram

modernitas dan dengan meningkatnya kritik terhadap sifat anti kemanusiaan yang

ditimbulkannya. Terjadi perhatian dan pertimbangan untuk kembali ke bentuk

tradisional kehidupan sosial yang ditinggalkan atau dihancurkan oleh modernisasi.

Era Post-modern akan memperlihatkan adanya pertimbangan untuk membangun

kembali komunitas, pemakaian kembali ikatan sosial primordial, menghidupkan

kembali kelompok dan hubungan primer (Sztompka, 2008:96).

Kehidupan kelompok masyarakat adat yang memiliki kekuatan budaya

perlu menjadi perhatian, sehingga harus diketahui kedalaman sosio-budayanya

(Liliweri, 2001:339). Tujuannya untuk memahami jati diri manusia yang

berbudaya dengan nilai-nilai luhur yang melekat pada kehidupan bermasyarakat.

Ife dan Toseriero (2008:451) menyatakan, warisan budaya semestinya

tidak dipisahkan, tetapi harus dilihat sebagai bagian yang nyata dari kehidupan

masyarakat, sehingga tradisi budaya lokal dapat menjadi faktor sentral dan
4

penting untuk interaksi sosial demi pengembangan masyarakat. Pendapat Ife dan

Toseriero mengindikasikan betapa pentingnya perhatian pada kearifan lokal yang

ada dalam masyarakat.

Kearifan lokal menjadi ciri khas masyarakat yang berbudaya, dan masih

menjaga kelestarian nilai-nilai luhur budayanya. Ciri khas masyarakat berbudaya

dapat terlihat pada kehidupan anggota masyarakatnya, sehingga nampak pola

hidup yang lahir dari pemahaman akan nilai-nilai budaya dalam kehidupan

masyarakat setempat.

Salah satu kearifan lokal di Maluku adalah uli (kelompok) Hatuhaha

Amarima Lou Nusa (lebih dikenal dan selanjutnya disebutkan dengan nama

Hatuhaha Amarima), yakni suatu kelompok masyarakat adat yang terletak di

sebelah Utara pulau Haruku, Kecamatan pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah,

Provinsi Maluku. Komunitas masyarakat adat Hatuhaha Amarima terdiri dari lima

negeri (desa) yaitu Pelauw, Rohomoni, Hulaliu, Kabauw, dan Kailolo. Kelompok

masyarakat Hatuhaha Amarima masih melestarikan nilai-nilai budaya hingga

kini. Nilai-nilai budaya masyarakat adat Hatuhaha Amarima penting untuk dikaji

secara mendalam, sebab hingga kini masih memegang teguh tradisi, adat dan

budaya dalam kehidupan bermasyarakat. Persekutuan ini merupakan salah satu u1i

yaitu, bentuk ikatan atau persekutuan beberapa aman (negeri, desa) dalam satu

wilayah. Uli Hatuhaha Amarima adalah salah satu persekutuan adat yang terdiri

dari lima negeri di Pulau Haruku yang penduduknya memeluk agama yang

berbeda. Kelima aman itu adalah : 1). Aman Hatu Sima (negeri Pelauw), 2). Aman

Hatu Waela (negeri Rohomoni), 3). Aman Hatu Alasi (negeri Hulaliu), 4). Aman
5

Hatu Amen (negeri Kailolo), 5). Aman Hatu Hutui (negeri Kabauw). Uli Hatuhaha

Amarima merupakan bentuk ikatan kekerabatan serta persekutuan adat,

genealogis, teritorial di pulau Haruku (Uhi, 2005:2).

Hatuhaha Amarima terbentuk atas kesadaran masyarakat kelima negeri

tersebut karena memiliki nasib yang sama. Kelima negeri tersebut ke luar dari

wilayah gunung Nunusaku di pulau Seram karena perang saudara, yang disebut

perang Wemale dan Alune. Kelompok Hatuhaha Amarima bersama-sama

melakukan perjalanan mengungsi, untuk menyelamatkan diri dari perang

Wemale dan Alune. Peperangan tersebut telah memaksakan migrasi secara besar-

besaran kelompok Hatuhaha Amarima (Bartels, 1994:36-37), yang diperkirakan

terjadi sekitar abad ke 6 Masehi (Rumahuru, 2012:54). Perkiraan ini didasarkan

pada kedatangan orang-orang Cina ke Maluku abad ke 7 Masehi, di mana ketika

itu sudah ada penduduk di pulau Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusalaut

(Putuhena, 2006:341).

Para leluhur terpaksa meninggalkan kawasan gunung Nunu saku dan

mengembara hingga mencapai bagian utara pulau Haruku, yaitu di daerah

pedalaman yang disebut Hatuhaha, di gunung Alaka (Noya, 1995:15). Peralihan

tempat tinggal dari kawasan pegunungan Nunusaku di Pulau Seram ke gunung

Alaka di Pulau Haruku membuat terjadinya perubahan pada pola hidup dan

budaya. Hal ini menunjukan adanya perubahan kebudayaan yang terjadi seirama

dengan perubahan hidup bermasyarakat. Perubahan hidup itu terjadi akibat

pengalaman baru, pengetahuan baru, situasi baru, dan penyesuaian cara hidup

kepada situasi baru. Sikap mental dan nilai budaya turut berubah dan
6

dikembangkan sesuai integrasi dalam kehidupan bermasyarakat (Bakker,

2000:113). Integrasi dalam kehidupan bermasyarakat memiliki dua prinsip

yang inheren dalam kehakikatan sesuatu, yaitu semangat perubahan dan

semangat pemeliharaan, dimana tidak ada sesuatu yang riil tanpa keduanya.

Bakker (2000:114) menjelaskan, perubahan yang paling berharga terjadi di dalam

masyarakat, di mana ketahanan mental-rohani selalu sanggup memperbaharui

dirinya oleh daya kritik diri, refleksi, dan daya cipta.

Situasi tempat tinggal baru telah memaksakan masyarakat Hatuhaha

Amarima menjalani cara kehidupan yang baru. Hatuhaha adalah tempat di mana

kelima negeri membentuk suatu kesatuan masyarakat yang bersifat genealogis

teritorial. Masyarakat Hatuhaha Amarima kemudian mendirikan sebuah baileo

(rumah adat) sebagai pusat upacara adat dalam keagamaan asli masyarakat di

Maluku (agama suku). Rumah adat juga berfungsi sebagai pusat peribadatan

sesuai kepercayaan yang dianut. Durkheim (2006:251) menyebutkan Agama

Asli, yaitu agama yang paling primitif, sebab agama tersebut tidak dapat

dipisahkan dari organisasi sosial yang ada dalam suatu masyarakat adat.

Kepercayaan religius masyarakat Hatuhaha Amarima sebagai Agama

Asli bertahan sampai masuknya agama Islam ke pulau Haruku. Lima negeri

kemudian menyatakan diri menjadi pemeluk agama Islam. Subagya (1979:24)

menyebutkan peralihan ke agama Islam dengan ajarannya merupakan langkah

besar ke arah kemajuan. Masuknya agama baru (awalnya agama Islam) dalam

persekutuan Hatuhaha Amarima makin beragam lagi dengan datangnya bangsa

Barat. Portugis menang pada perang Alaka I (Bartels, 1978: 118), sehingga
7

memaksakan salah satu negeri, yaitu Hulaliu turun ke daerah pesisir dan

kemudian memeluk agama Kristen (Katolik). Pengaruh Portugis tersebut tidak

berlangsung lama, sebab Belanda mengambil alih kekuasaan, setelah menang

dalam perang melawan Portugis. Belanda segera mengeluarkan instruksi

agar penduduk yang berdiam di daerah pegunungan turun ke pantai.

Penduduk menolak instruksi tersebut sehingga terjadilah perang Alaka II yang

berlangsung dari tahun 1637 sampai tahun 1638 (Leirissa, dkk., 1983:34-36).

Belanda mengalami kekalahan sehingga menggunakan cara pemblokadean

ekonomi. Blokade ekonomi berhasil melumpuhkan perlawanan masyarakat

Hatuhaha Amarima. Akibatnya, masyarakat Hatuhaha Amarima meninggalkan

tempat tinggal di Hatuhaha, turun dan menetap di daerah pesisir sampai sekarang.

Masyarakat Hatuhaha Amarima mengalami perubahan kepercayaan

religius dan perubahan cara hidup, yang oleh Earhart (1993:26) hal tersebut

juga dipengaruhi oleh pengalaman hidup masyarakat setempat (internal

experience). Masyarakat Hatuhaha Amarima yang terbentuk dari masa sebelum

penjajahan sampai sekarang tidak meninggalkan adat, tradisi dan budaya asli.

Bahasa daerah, termasuk bahasa Hatuhaha, memang pernah dilarang

penggunaannya dalam kekristenan sejak zaman Belanda (Cooley, 1987: 93-96),

namun ternyata hingga kini masyarakat Hulaliu masih terus menggunakannya.

Bahasa Hatuhaha kini menjadi salah satu mata pelajaran (Muatan Lokal) yang

diajarkan pada sekolah-sekolah di kelima negeri. Perhatian akan pentingnya

bahasa asli Hatuhaha sangat beralasan, sebab Boas (1955:13) mengungkapkan,

bahwa intermediasi antara bahasa dan mitos yang terjadi dalam suatu masyarakat
8

adat akan melahirkan kreativitas-kreativitas yang artistik.

Masyarakat Hatuhaha Amarima menjalani hidup dalam kemajemukan

keyakinan, tetapi tetap melestarikan ciri-ciri pribadi Hatuhaha Amarima.

Masyarakat Hatuhaha Amarima tetap dalam ikatan sebagai masyarakat adat.

Pengaruh berbagai agama baru tidak membuat berubahnya hubungan

kekerabatan dan persaudaraan, justru menjadikan Hatuhaha Amarima tetap

dalam keutuhan dengan tradisi hidup (budaya dan adat) yang tetap kokoh.

Keutuhan masyarakat tetap terjadi meskipun Islam dianut oleh keempat negeri

(Pelauw, Rohomoni, Kabau dan Kailolo) dan Kristen dianut oleh negeri

Hulaliu. Agama Islam dan Agama Kristen tidak menghilangkan ikatan

Hatuhaha Amarima dengan budaya dan tradisi. Masyarakat Hatuhaha Amarima

masih tetap mempertahankan nilai-nilai luhur yang ada dalam budaya Hatuhaha.

Perubahan zaman selalu disertai dengan perubahan budaya dan peradaban.

Perubahan peradaban, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga akan

memengaruhi tingkah laku manusia, baik terhadap alam maupun sesama manusia

(Sztompka, 2008:25-26). Sztompka (2008:85-90) pada bagian lain menyebutkan,

seluruh kehidupan sosio-budaya, etik-moral, estetika, eko-lingkungan, religiositas,

dan pandangan tentang keberagamaan juga mengalami perubahan. Kehidupan

manusia penuh persaingan, sehingga berdampak pada menonjolnya pola hidup

individualistis. Modernitas menimbulkan efek ambivalen, yaitu bukan hanya

menguntungkan melainkan juga merugikan, dan ada kalanya menimbulkan

kerusakan yang sangat tragis. Kemungkinan adanya perang nuklir, kerusakan

lingkungan, runtuhnya transaksi kerjasama ekonomi global, dan potensi kerusakan


9

global lain memberikan sebuah cakrawala bahaya yang mengerikan (Giddens,

2005:163-165).

Sztompka (2008:91-93) menyebutkan bahwa dalam zaman modern

manusia menjadi tidak berperikemanusiaan yang ditandai dengan sifat buas,

egois, individualistis, dan siap bertempur untuk mempertahankan kepentingannya

tanpa menghiraukan kepentingan orang lain. Kehidupan sosio-budaya yang

santun, etika hidup yang berbudaya, budaya hidup rukun dan damai, bekerjasama

dan bekerja bersama-sama, budaya hidup dalam kecukupan dan kesederhanaan,

budaya melestarikan alam, budaya ketimuran yang selalu beradab dan berperi-

kemanusiaan, bukan saja telah menurun melainkan menuju ke masyarakat yang

kehilangan identitas budayanya, termasuk nilai-nilai yang terkandung di dalam

budaya.

Cornelis Anthonie van Peursen (1988:17-19) menegaskan, perubahan

zaman yang disertai dengan perkembangan kebudayaan umumnya terdiri atas tiga

tahap perkembangan kebudayaan, yakni tahap mitis, tahap ontologi, dan tahap

fungsional. Tahap-tahap perkembangan budaya ini menjadi penting untuk melihat

perkembangan budaya pada masyarakat Hatuhaha Amarima.

Kenyataan suasana persaudaraan dalam kehidupan masyarakat Hatuhaha

Amarima yang berlangsung pada setiap tahap perkembangan kebudayaan yang ada

di komunitas Hatuhaha Amarima mendorong penulis untuk melakukan penelitian

yang mendalam dengan judul Hatuhaha Amarima Lou Nusa dalam Perspektif

Filsafat Kebudayaan Cornelis Anthonie van Peursen dan Relevansinya dengan

Keutuhan Bangsa Indonesia: Studi pada Masyarakat Adat di Pulau Haruku,


10

Maluku Tengah. Kajian ini dititikberatkan pada upaya mengungkap dinamika

historis dan wujud kebudayaan Hatuhaha Amarima, serta menemukan hakikat

Hatuhaha Amarima. Telaah atas Hatuhaha Amarima dilakukan dalam perspektif

filsafat kebudayaan melalui pemikiran van Peursen untuk menemukan makna dan

nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Penelitian disertasi ini dilakukan

juga untuk menemukan relevansinya dengan keutuhan bangsa Indonesia.

2. Rumusan Masalah.

Permasalahan pokok yang akan diteliti dalam studi ini adalah:

1. Apa yang menjadi dinamika historis dan wujud kebudayaan Hatuhaha

Amarima?

2. Apa hakikat Hatuhaha Amarima?

3. Apa relevansi nilai-nilai budaya Hatuhaha Amarima dengan keutuhan

bangsa Indonesia?

3. Keaslian Penelitian.

Beberapa penelitian yang pernah membahas keberadaan kesatuan

Hatuhaha Amarima. Noya (1995) pernah melakukan penelitian, dan

mengungkapkannya dalam tulisan yang berjudul Nunulau Malaka: Sejarah

Kesatuan Hatuhaha Amarima. Penelitian Noya difokuskan pada sejarah

Hatuhaha Amarima menurut masyarakat Hulaliu. Data penelitiannya didapat

hanya pada salah satu negeri dari kelima negeri dalam Hatuhaha Amarima. Noya

mendeskripsikan persekutuan Hatuhaha yang terdiri atas lima negeri, yaitu


11

Pelauw (negeri Islam), Hulaliu (negeri Kristen), Rohomoni (negeri Islam), Kailolo

(negeri Islam) dan Kabauw (negeri Islam). Penelitian Noya bertujuan

mempertegas hubungan genealogis dari kelima negeri tersebut dalam perspektif

sejarah.

Sopacua, Pattinama dan Noya (dalam Sahusilawane, F, ed, 1996)

melakukan penelitian dan membahas perang masyarakat Hatuhaha Amarima

melawan Portugis dan Belanda. Hatuhaha Amarima, secara singkat diuraikan

dalam perspektif sejarah peperangan masyarakat Maluku melawan bangsa

penjajah. Penelitiannya tidak difokuskan pada kehidupan sosio-budaya

masyarakat Hatuhaha Amarima.

Pattikayhatu dan Manuputty (1998) telah melakukan penelitian pada

komunitas masyarakat Hatuhaha Amarima, dan menulis hasil penelitian tersebut

dengan judul Sejarah Lokal Maluku: Uli Hatuhaha. Penelitian dan penulisan ini

terfokus pada sejarah Hatuhaha Amarima yang isinya tidak meluas, dan tidak

mencakup aspek kebudayaan Hatuhaha Amarima.

Uhi (2005) pernah melakukan penelitian pada kehidupan ikatan

masyarakat Hatuhaha Amarima. Penelitian tersebut berpusat pada kehidupan

beragama masyarakat Hatuhaha Amarima. Hasil penelitian tersebut dituangkan

dalam tulisan tesis yang menekankan kehidupan beragama masyarakat Hatuhaha

Amarima sebagai ajang membangun teologi pluralistis yang kontekstual. Uhi

lebih mendeskripsikan fenomena hidup beragama dari masyarakat Hatuhaha

Amarima yang kajiannya diuraikan secara teologis.


12

Penelitian-penelitian tersebut memberikan perhatian pada objek formal

yang berbeda. Noya memfokuskan penelitiannya pada segi sejarah terbentuknya

Hatuhaha Amarima secara genealogis. Sopacua, Patinama dan Noya mengkajinya

dari aspek sejarah perang Hatuhaha, dimana Hatuhaha Amarima dilihat sebagai

sebuah kerajaan, yaitu kerajaan Alaka. Hal yang sama juga terlihat pada hasil

penelitian Pattikayhatu dan Manuputty. Uhi membahas Hatuhaha Amarima dari

sudut Teologi sehingga tidak ada unsur kesamaan atau kemiripan dengan

penelitian disertasi ini.

Peneliti mengkaji secara mendalam kehidupan masyarakat Hatuhaha

Amarima pada aspek yang berbeda dari sebelumnya, yaitu dari sudut pandang filsafat

kebudayaan. Penelitian ini menyajikan suatu penulisan yang sangat berlainan dari

penulisan-penulisan sebelumnya. Meskipun objek material dari penelitian dan

penulisan ini pernah dilakukan oleh peneliti lainnya, namun penelitian ini didekati

dari sudut pandang yang berbeda. Begitu pula dengan objek formalnya. Hal ini berarti

yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada objek

formal dan pendekatan analisisnya, sehingga keaslian dari penelitian dan penulisan

ini dapat dipertanggung-jawabkan.

4. Manfaat Penelitian.

Penelitian ini secara akademis dapat memberikan manfaat pemikiran

bagi:

1. Ilmu pengetahuan, di mana penelitian ini diharapkan dapat menambah

perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam mengkaji kebudayaan


13

daerah sebagai suatu kearifan lokal yang harus dipertahankan dan

dikembangkan. Penelitian ini masih merupakan penelitian baru sehingga

diharapkan hasilnya dapat memperluas dimensi pengetahuan budaya

sekaligus dimensi materiil dari kajian filsafat.

2. Filsafat, teristimewa dalam pengembangan penelitian-penelitian selanjutnya

pada bidang filsafat kebudayaan guna memecahkan berbagai persoalan

sosial kemasyarakatan dewasa ini. Hasil penelitian dapat menambah

inventarisasi informasi filsafat dengan konteks kedaerahan yang tersusun

dengan baik dalam bentuk hasil penelitian. hasil penelitian ini dapat

dijadikan sebagai salah satu rujukan mengembangkan filsafat nusantara.

3. Bangsa Indonesia. Penelitian ini secara praktis dapat memberikan manfaat

bagi bangsa Indonesia yang beranekaragam budaya, etnis, suku, agama dan

ras dalam menjaga nilai-nilai budaya demi menjaga keutuhan bangsa dan

terciptanya kehidupan masyarakat yang damai. Penelitian ini diharapkan

dapat bermanfaat sebagai bahan refleksi bagi masyarakat lokal dan

masyarakat luas untuk melihat sejauhmana nilai-nilai budaya dapat dijaga

dan dilestarikan dalam praktik hidup bermasyarakat demi menjaga

keutuhan kekerabatan dan persaudaraan sebagai bangsa.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Mengungkapkan dinamika historis dan wujud kebudayaan Hatuhaha

Amarima.
14

2. Mengungkapkan hakikat Hatuhaha Amarima.

3. Mengungkapkan relevansi nilai-nilai budaya Hatuhaha Amarima dengan

keutuhan bangsa Indonesia.

C. Tinjauan Pustaka

Hatuhaha Amarima Lou Nusa (biasanya disebut Hatuhaha Amarima)

berarti di pulau (Haruku) berkumpul lima negeri di atas batu. Hatuhaha Amarima

merupakan kelompok masyarakat yang terdiri dari lima negeri (Pattikayhatu dan

Manuputty, 1998).

Hatuhaha Amarima muncul dari kesadaran diri sebagai orang-orang yang

ke luar dari kenyataan keterpurukan hidup, akibat situasi perang saudara di

kawasan gunung Nunusaku. Orang-orang yang mengungsi dari kawasan gunung

Nunusaku bergumul dalam penderitaan dan ketidak-pastian masa depan dan

berkeinginan memunculkan ada-nya sebuah kelompok masyarakat, yaitu

Hatuhaha Amarima yang menghargai kekeluargaan dan persaudaraan sejati

sepanjang zaman. Masyarakat Hatuhaha Amarima kemudian berkumpul dan

bermusyawarah di sekitar gunung Alaka untuk membentuk dan mengelompokkan

diri dalam satu ikatan yang disebut Hatuhaha Amarima Lou Nusa. Hatuhaha

Amarima pada masa perkembangannya menjadi sebuah kekuatan politik dengan

mendirikan kerajaan Alaka (Noya, 1987).

Masyarakat Hatuhaha Amarima memiliki sejarah perjuangan yang

panjang dan berat untuk dapat mempertahankan keberadaannya. Perang melawan


15

Portugis dan Belanda, yang disebut perang Alaka, tidak dapat menghancurkan

kekuatan keutuhan Hatuhaha Amarima (Lestaluhu, 1988).

Tatanan sosial Hatuhaha Amarima menampilkan adanya suatu relasi yang

intens antara seseorang dengan orang lain, baik dalam salah satu negeri pada

Hatuhaha Amarima, ataupun seseorang dengan orang lain di luar komunitas

negerinya, namun masih dalam lingkup Hatuhaha Amarima. Salah satu ciri khas

tatanan sosial yang erat, yang memperlihatkan sikap kekerabatan, kekeluargaan,

dan persaudaraan adalah bahasa Hatuhaha. Bahasa Hatuhaha menjadi salah satu

ciri khas Hatuhaha Amarima, dalam kaitan dengan tatanan sosialnya. Tatanan

sosial Hatuhaha Amarima ini dapat terlihat dalam aktivitas-aktivitas adat, budaya,

dan agama, serta relasi-relasi non formal lainnya. Terkadang memang ada

persinggungan, namun hal itu tidak menjadi halangan untuk mengembangkan nilai-

nilai budaya di dalam relasi sosialnya. Nilai-nilai budaya itulah yang menguatkan

relasi social dan kerja sama Hatuhaha Amarima (Bartels, 1978).

Barbu (1971: 17-18) mencatat bahwa di dalam suatu kelompok, apalagi

kelompok masyarakat, selalu terdapat kerja sama dan ada pembagian kerja di

dalamnya. Kerja sama dan pembagian kerja terlihat pula dalam pola organisasi

Hatuhaha yang memiliki pembagian tugas, dan dipimpin oleh Pati Hatuhaha

(pemimpin tertinggi). Hatuhaha Amarima menjadi organisasi yang kuat pada

zaman itu, dan memiliki simbol atau lambang dengan nama Saira Nunu Lau

Malaka (beringin daun halus).

Anggota Hatuhaha Amarima memiliki relasi sosio-budaya yang erat antara

kelima negeri tersebut. Relasi sosio-budaya tersebut mencerminkan suatu


16

hubungan, baik secara geneologis maupun hubungan antarmanusia yang terpencar

di pedalaman pulau Haruku, yaitu dalam bentuk rumatau (keluarga). Pelauw, di

dalam persekutuan Hatuhaha Amarima, berkedudukan sebagai pemimpin,

sekaligus menempati kedudukan tertinggi, disusul oleh Rohomoni, Hulaliu,

Kabau dan Kailolo. Interaksi sosial budaya (sosio-cultural) yang terjalin dalam

nuansa kekerabatan, kebersamaan dan persaudaraan yang telah ada sejak dahulu

kala masih dipertahankan. Interaksi sosial-budaya terungkap dalam salah satu

kapata (nyanyian adat) yang isinya berbunyi :

"Henamasa Ami loto Eri Allaka-o.


Puna lsu Ama Eke Amarima Hatuhaha-o.
Ao Olo Ruma-e Eke Ruma S'igito.
Tanita-e-tanita-le-Maso- muso Soki-c- tanita.
Kuru-e-Ume Kuru-Lau parutu.
Eke Ama Hatuhaha Amarima Lou Nusa ".
Artinya :
Kemarin kita di gunung Allaka.
Kita membangun lima negeri di atas batu.
Kita bangun rumah Masjid.
Kita membangun kesatuan yang lebih besar.
Masuk keluar gunung-gunung. Turun untuk bergabung.
Negeri di atas batu, lima negeri berkumpul di pulau". (Sahusilawane dkk,
1998: 26).

Kapata ini menunjukkan terbentuknya kesatuan Hatuhaha yang berintikan

hubungan sosial budaya yang erat antarnegeri : Pelauw, Rohomoni, Hulaliu,

Kabau, dan Kailolo. Kesatuan Hatuhaha Amarima, melalui kapata di atas

mencerminkan suatu hubungan kekerabatan, kekeluargaan dan persaudaraan yang

rukun dan damai.

Toynbee (2005 : 2-3) menegaskan, semua komponen yang ada dalam sebuah

masyarakat selalu ditemukan dalam kesaling-terkaitannya dengan yang lain.


17

Masyarakat Hatuhaha Amarima juga berada dalam hubungan kesaling-terkaitan yang

kuat antara satu dengan lainnya. Negeri Hulaliu (negeri Kristen) berada di

tengah-tengah negeri yang lain (negeri-negeri Islam) dan menjalin hubungan

yang erat dan harmonis. Posisi masyarakat Hulaliu di konteks Hatuhaha

Amarima memiliki ciri tersendiri, karena menunjukkan sebuah konsistensi sosio-

historis dengan saudara serumpunnya yang beragama Islam di desa lainnya

dalam sebuah tradisi hidup yang khas dan mendalam. Konsistensi sosio-historis

inilah yang menjadikan budaya hidup masyarakat Hatuhaha Amarima tetap

memiliki nilai-nilai luhur sebagai orang bersaudara.

D. Landasan Teori

Kebudayaan selalu diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang

dan setiap kelompok orang-orang (van Peursen, 1988:10), sehingga kebudayaan,

kini dipandang sebagai sesuatu yang dinamis, bukan hal yang kaku atau statis.

Kebudayaan tidak lagi diartikan sebagai sebuah koleksi barang-barang

kebudayaan. Van Peursen berpandangan bahwa manusia merupakan makhluk

hidup yang dalam realitasnya selalu dinamis. Manusia, sebagai landasan ontologis

kebudayaan, bukan saja memiliki ada berupa fakta diri yang fisik biologis apa

adanya, tetapi juga memiliki dinamika keber-ada-an berupa peristiwa eksistensi

yang hakiki.

Van Peursen (2003: 123) menegaskan, kebudayaan selalu mengingatkan

orang pada sesuatu yang khas, sesuatu yang tidak termasuk hal-hal sehari-hari,

sehingga kebudayaan sebenarnya menyangkut manusia itu sendiri. Artinya,


18

berbicara tentang kebudayaan berarti fokus pembicaraan selalu menyangkut hak

cipta manusia. Van Peursen, dalam hal ini menyatakan bahwa kebudayaan baru

ada dan berfungsi jika berada di dalam jangkauan manusia. Kebudayaan dapat

bermakna apabila dilihat dalam eksistensi dan rencana hidup manusia.

Van Peursen juga menyebutkan bahwa alam semesta merupakan bagian

yang turut memengaruhi manusia dalam menciptakan budaya. Artinya, suatu

kebudayaan membuat sebuah gambaran dari dunia secara tertentu, sehingga dunia

di dalam gambaran kebudayaan tertentu juga memperoleh corak yang khas, yang

disebut cultural context, yakni konteks kebudayaan (van Peursen, 1975: 24).

Penjelasan landasan ontologi budaya yang dibuat oleh van Peursen

menegaskan bahwa kebudayaan meliputi seluruh wilayah praksis manusia, yang

berlangsung secara sadar maupun tidak sadar (van Peursen, 1988: 181). Artinya,

dalam setiap proses budaya manusia akan menjadi manusiawi yang

sesungguhnya. Kebudayaan manusia tersebut muncul sebagai pengungkapan roh,

baik dalam aspek objektif maupun subjektif.

Berkaitan dengan landasan epistemologi budaya, van Peursen (1980: 26)

berpendapat bahwa pengetahuan merupakan upaya manusia memahami sesuatu

yang disadarinya, sekaligus dalam memahami itu manusia memahami dan

menyadari dirinya. Andaikata manusia hidup, terkurung dalam dirinya, manusia

tidak dapat memahami atau mengetahui sesuatu, sehingga tidak mampu

menghasilkan suatu budaya. Van Peursen, dalam hal ini, menegaskan bahwa

mengetahui sesuatu selalu mengandaikan adanya perbedaan antara aku dengan

yang lain, tetapi yang lain juga dapat berupa kesadaran diri sendiri. Artinya,
19

dalam epistemologi budaya, pengetahuan budaya selalu menyangkut jalinan relasi

antara subjek dan objek.

Nilai-nilai budaya akan selalu berkaitan dengan fakta. Pernyataan ini

terlihat pada penjelasan van Peursen tentang nilai. Van Peursen (1990: 58)

mengungkapkan bahwa fakta adalah pembatasan terhadap realitas yang lebih

jelas, di mana manusia terlibat dalam percakapan terus-menerus tentang makna

nilai. Artinya fakta tidak mendahului nilai. Sebaliknya, nilai selalu merupakan

akar dari fakta, sehingga reduksi nilai menjadi fakta.

Van Peursen (1988:17-18) menjelaskan, ada tiga tahap perkembangan

kebudayaan. Ketiga tahap tersebut memperlihatkan sesuatu yang terkandung dalam

setiap kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan kebudayaan itu, antara lain:

1). Tahap mitis, yakni sikap manusia yang merasa dirinya terkepung oleh

adanya kekuatan gaib sekitar.

2). Tahap ontologis, yaitu sikap manusia yang tidak hidup dalam kekuatan

mitis, tetapi bebas meneliti segala hal yang terjadi disekitarnya dengan cara

menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakikat segala sesuatu

dan tentang segala sesuatu menurut perinciannya.

3). Tahap fungsional, yakni sikap dan alam pikiran yang terlihat dalam

manusia modern, di mana terdapat relasi-relasi baru mengenai kebertautan

antara sesuatu yang baru dengan segala sesuatu dalam lingkungannya.

Van Peursen (1988:34-35) menyatakan bahwa tahapan dalam

perkembangan kebudayaan yang meliputi tahap mitis selalu dikaitkan dengan

adanya kekuatan-kekuatan ajaib di alam semesta. Sikap ontologi berusaha


20

menampakkan dunia transenden, dunia yang diketahui manusia, bahkan

menyelidiki sesuatu yang dapat dimengerti. Akhirnya, pada tahap fungsional

berusaha untuk mendapatkan arti dan maknanya melalui ilmu pengetahuan, yang

sudah menyangkut hubungan pertautan dan relasi. Pendapat van Peursen

mengindikasikan bahwa memahami kebudayaan harus diketahui faktor ontologinya,

agar proses beradanya suatu kebudayaan dapat diketahui secara jelas sehingga

terlihat unsur-unsur yang berperan dan memengaruhinya.

Van Peursen (1990:72) mengatakan, semua kebudayaan di dunia

mengalami suatu periode perubahan yang mendalam. Nilai-nilai lama sering

terlihat tidak berguna lagi dan generasi muda menolak nilai-nilai tersebut,

sehingga nilai-nilai budaya yang ada selalu berkembang.

E. Metode Penelitian

1. Bahan Penelitian

Penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian filsafat

dengan pendekatan kualitatif. Caranya, melakukan penelitian pustaka yang

kemudian diperkuat dengan observasi dan wawancara di lapangan. Objek

material penelitian ini adalah kehidupan kelompok masyarakat budaya

(Kaelan, 2005: 300-304), yaitu Hatuhaha Amarima. Peneliti akan meneliti

konsepsi dasar yang meresapi seluruh hidup suatu kelompok berbudaya dan

salah satu fenomena sentralnya, serta apa yang pada umumnya

menghidupkan suatu kelompok atau ikatan masyarakat adat dan memberikan

stabilitas dan identitas kepadanya (Sudarto, 2002: 120-121).


21

Data yang dikumpulkan menyangkut latar belakang hidup masyarakat

Hatuhaha Amarima. Seluruh alasan-alasan dan keterangan-keterangan yang

diberikan oleh anggota-anggota kelompok masyarakat budaya tentang

kebiasaan dan perilaku hidup mereka juga dikumpulkan (Bakker dan Zubair,

2009: 93-94).

Sumber primer penelitian ini meliputi data atau tulisan tentang masyarakat

Hatuhaha Amarima (objek material) dan buku-buku atau tulisan-tulisan yang

berkaitan dengan filsafat kebudayaan dari Cornelis Anthonie van Peursen (objek

formal). Sumber primer dari objek material meliputi buku-buku karangan:

1. G. E. Rumphius, 1695, DAmbonsche Landbeschrijving, Den Haag

(manuscript K.B).

2. G. E. Rumphius, 1910, De Ambonsche Historie, Behelsende Een kort

Verhaal Der Gedenkwaardigste Geschiedenissen zo in Vreede als

oorlog voorgevallen sedert dat de Nederlandsche Oost Indische

Comp: Het Besit in Amboina Gehadt Heeft.

3. Odo Deodatus Tauren, 1918, Patasiwa und Patalima, Dom

Molukkeneiland Seran und Seinen Bewohnern Ein Beitrag dur

Delforfunde, Derlag Leipzig.

4. Boulan, M. Christina, 1983, Uru, Son of The Sunrise, Universite Libra

de Bruxelles, Paris.

5. Dieter Bartels, 1994, In de Schaduw van de Berg Nunusaku, Landelick

Steunpunt Edukatie Molukkoes, Utrecht.

6. Imam Ridjali, tanpa tahun, Hikayat Tanah Hitu.


22

7. H. J. de Graaf, 1977, De Geschiedenis van Ambon en de Molukken,n

Uitgeverijt Wever B.V. Franeker.

Sumber primer lain dari objek material akan didapatkan dari pelaksanaan

penelitian di lapangan. Data lapangan akan dikumpulkan secara sosiologis dan

antropologis, ditabulasi dan korelasinya merupakan pokok penelitian (Bakker

dan Zubair, 2009: 95). Data lapangan akan dikumpulkan dalam bentuk hasil

observasi yang didapatkan dengan cara melakukan pengamatan langsung ke

lokasi penelitian, yakni di kelima negeri Hatuhaha Amarima. Pengamatan tertuju

pada aktivitas sesehari dari masyarakat, maupun pada acara-acara budaya. Data

lapangan juga akan dikumpulkan dalam dari hasil wawancara kepada kelima raja

dalam komunitas Hatuhaha Amarima, kepala-kepala adat, dan tokoh-tokoh

masyarakat. Peneliti, dalam hal ini, melakukan wawancara baik secara formal

maupun non-formal, sehingga tidak terbatas atau dibatasi oleh ruang dan waktu.

Wawancara dapat dilakukan di dalam ruangan dengan waktu yang telah

disepakati, namun juga dapat dilakukan di tempat lain dengan waktu yang tidak

ditentukan. Data tersebut juga akan dijadikan oleh peneliti sebagai bahan

mentah, dan selanjutnya dikaji dalam perspektif filsafat. Bahan tersebut

dikumpulkan, selanjutnya diberikan hermeneutik, pemaknaan dan memberi

nilai. Penelitian ini juga menyangkut masa lalu dari Hatuhaha Amarima,

sehingga hermeneutik penting untuk dilakukan, sebagaimana yang ditekankan

oleh Gadamer, bahwa hermeneutik harus dapat dipenuhi dalam setiap kasus,

termasuk dalam penggabungan secara arif terhadap seluruh masa lalu dengan masa

kini (Gadamer, 2004: 410).


23

Sumber primer dari objek formal meliputi buku-buku karangan Cornelis

Anthonie van Peursen, antara lain: Korte Inleiding In de Existentiephilosophie

(1951), Phenomenology and Reality (1972), Itu Tuhan: Beberapa Renungan

Mengenai Arti Kata Tuhan (1974), Orientasi di Alam Filsafat (1980), Susunan

Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengentar Filsafat Ilmu (1985), Strategi Kebudayaan

(1988), Tubuh Jiwa Roh: Sebuah Pengantar dalam Filsafat Manusia (1988),

Fenomenologie en analytische filosofie (tanpa tahun), Na Het Postmodernisme:

van Metafysica tot Filosofisch Surrealisme (1994), Fakta, Nilai, Peristiwa:

Tentang Hubungan Antara Ilmu Pengetahuan dan Etika (1990), Menjadi Filsuf:

Suatu Pendorong ke Arah Berfilsafat Sendiri (2003), Berpikir Secara

Kefilsafatan; Bab V - Filsafat Manusia (tanpa tahun).

Data pendukung berupa keterangan tambahan dari luar sumber primer juga

menjadi faktor kontributif yang penting dalam penelitian ini. Data pendukung

tersebut berupa tulisan-tulisan lain yang mencakup objek material maupun objek

formal.

Penelitian ini secara fundamental, juga bergantung pada pengamatan

terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-

orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya (Moleong, 2001: 3).

Keberlangsungan penelitian dalam latar yang wajar atau alamiah, prosesnya

berbentuk siklus. Pendekatan penelitian ini adalah deskriptif, karena

pendekatan ini ditujukan untuk mendeskripsikan, menggambarkan, serta melukiskan

suatu pemikiran atau pandangan hidup filosofis (Kaelan, 2005: 57).


24

Peneliti terjun ke lapangan untuk mengamati objeknya, menjelajah dan

menemukan wawasan-wawasan baru. Penelitian terus-menerus di-reformulasi dan

di-redireksi ketika menemukan informasi-informasi baru (Rakhmat, 1971: 24-26).

Peneliti, dalam hal ini harus memiliki sifat yang reseptif, yaitu selalu mencari,

dan bukan menguji. Peneliti harus memiliki kekuatan integratif, yaitu memadukan

berbagai macam informasi yang diterimanya menjadi satu kesatuan

penafsiran. Peneliti bukan saja menjabarkan, tetapi juga memadukan. Peneliti

merupakan instrumen utamanya dan analisis datanya dilakukan secara deskriptif-

kualitatif.

2. Jalan Penelitian

Jalannya penelitian ini akan melalui beberapa tahap, yaitu :

a. Pengumpulan Data.

Proses pengumpulan data dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu

pertama, pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, di mana

peneliti akan melalukan eksplorasi data berupa buku-buku, jurnal, laporan

penelitian, artikel-artikel, berbagai tulisan yang berkaitan dengan

Hatuhaha Amarima. Kedua adalah observasi, yaitu pengamatan langsung

di lapangan. Proses observasi dilakukan dengan pola pengamatan dan

pencatatan sesuai kebutuhan penelitian. Observasi berguna untuk

menjelaskan, memeriksa dan merinci gejala yang terjadi. Observasi yang

digunakan adalah observasi tidak berstruktur yang berarti peneliti lebih

bebas dan lebih lentur (flexible) dalam mengamati peristiwa. Ketiga adalah
25

wawancara (guide interview) yang dilakukan untuk mendapatkan

kedalaman informasi (pedoman wawancara terdapat pada lampiran 1).

Hasilnya berupa data kualitatif dari wawancara dengan subjek

penelitian. Peneliti akan menggunakan tape recorder untuk merekam

setiap percakapan dalam wawancara (jika disetujui oleh orang yang

diwawancarai). Wawancara dilakukan dengan para raja dari kelima negeri

dalam Hatuhaha Amarima, orang-orang yang dituakan dalam masyarakat

Hatuhaha Amarima, tokoh-tokoh agama, beberapa tokoh pemuda dan

anggota-anggota masyarakat Hatuhaha Amarima yang dianggap penting,

entah yang ada di dalam maupun di luar kelima negeri Hatuhaha Amarima.

Wawancara akan dilakukan secara terstruktur dan tidak terstruktur,

disengaja atau tidak disengaja, dan dinyatakan atau tidak dinyatakan di

lapangan. Wawancara dilakukan dengan menyesuaikan kondisi informan

di lapangan. Keempat adalah dokumentasi. Dokumentasi dilakukan

dengan merekam, menyalin data, dan memfoto data yang berguna untuk

kebutuhan penelitian dan dianggap penting untuk mendukung hasil

penelitian.

b. Reduksi Data.

Reduksi data dilakukan dalam rangka menulis ulang, secara terperinci

tentang data yang diperoleh di lapangan. Penulisan data ulang dilakukan

secara sistematis sehingga lebih mudah dikendalikan.

c. Klasifikasi data.

Klasifikasi data dilakukan setelah mereduksi data yang telah ada, di mana
26

data-data dikelompokkan berdasarkan ciri khas masing-masing sesuai

dengan objek formal penelitian.

d. Display data.

Display data dilakukan untuk membuat berbagai macam pengklasifikasian

sistematisasi sebab terlalu banyaknya data yang dikumpulkan. Display data

bertujuan agar peneliti dapat mengetahui dan menguasai data-data yang ada.

Display juga merupakan bagian dari kegiatan analisis (Kaelan, 2005: 212).

e. Kesimpulan.

Tahap berikutnya adalah mengambil kesimpulan yang mula-mula sifatnya

tentatif, kabur, diragukan, akan tetapi dengan bertambahnya data kesimpulan

tersebut tidak lagi bersifat grounded. Kesimpulan itu akan diverifikasi

selama penelitian berlangsung dan dilakukan beberapa kali dengan

menggunakan hukum-hukum logika, yaitu induktif apesteriori.

3. Analisis Data

Analisis data akan dilakukan dengan menggunakan dua model analisis, yaitu:

analisis hermeneutika dan analisis heuristika. Analisis hermeneutika dilakukan

dengan menggunakan empat unsur metodis berupa, pertama verstehen, di mana

unsur metodis verstehen dilakukan dengan alasan bahwa yang menjadi sumber

primer dari penulisan dan penelitian ini adalah data kepustakaan dan data lapangan

yang mencakup objek material dan objek formal dari penulisan disertasi ini. Analisis

metode ini diperlukan dalam rangka menemukan pemahaman mendasar tentang

objek penelitian. Kedua, interpretasi yang diperlukan dalam analisis data dengan

tujuan untuk melakukan penafsiran, mengungkapkan pesan realitas Hatuhaha


27

Amarima, dan menangkap makna konsep-konsep serta pemikiran filosofis budaya

masyarakat Hatuhaha Amarima secara sistematis. Ketiga, koherensi, yang

diperlukan untuk menemukan keterhubungan data yang satu dengan data lainnya

sehingga menjadi bahan penting untuk menjelaskan objek penelitian. Keempat,

induktif yang mana proses ini diterapkan atas data yang telah terkumpul dan

dilakukan analisis, yakni melalui suatu sintesis dan penyimpulan secara induktif

apesteriori. Proses ini bukanlah proses generalisasi melainkan suatu pembentukan

konstruksi teoritis.

Analisis data dengan model heuristika dilakukan untuk mempertimbangkan

kemungkinan munculnya suatu pemahaman atau interpretasi baru yang timbul

sebagai akibat dari pendekatan baru dalam proses penelitian. Tujuannya untuk

mendapatkan temuan baru dari penelitian disertasi ini.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan isi disertasi ini akan disusun dalam lima bab, dengan sitematika

berikut ini. Bab I berisikan pendahuluan, di dalamnya akan termuat latar belakang

penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian,

dan sistematika penelitian.

Bab II akan memuat kajian objek formal dari penelitian dan penulisan

disertasi ini dengan judul konsep kebudayaan dalam filsafat kebudayaan Cornelis

Anthonie van Peursen. Rinciannya meliputi penjelasan mengenai kebudayaan

sebagai karya manusia, landasan ontologi budaya, landasan epistemologi budaya,

landasan aksiologi budaya, dan tahap-tahap perkembangan budaya.


28

Bab III mengurai objek material dari penelitian ini, yaitu Hatuhaha

Amarima dalam dinamika historis dan wujud kebudayaan Hatuhaha Amarima.

Penguraian objek material ini dirincikan lagi dalam sub-sub bahasan, antara lain:

a) historitas sebagai tonggak perubahan budaya yang meliputi mitos Nunusaku,

mitos manusia Maluku, perang Wemale Alune sebagai awal penyebaran

penduduk Nunusaku, pembentukan uli Hatuhaha Amarima, dan kerajaan Islam

Hatuhaha; b) wujud kebudayaan Hatuhaha Amarima yang meliputi kosmologi

Hatuhaha Amarima, agama sebagai sumber nilai komunitas Hatuhaha Amarima,

bahasa sebagai perekat eksistensi Hatuhaha Amarima, budaya Hatuhaha

Amarima sebagai wujud akulturasi adat dan agama, serta maningkamu sebagai inti

persaudaraan Hatuhaha Amarima.

Bab IV memuat uraian analisis filosofis, yang di dalamnya menjelaskan

ontologi Hatuhaha Amarima, epistemologi Hatuhaha Amarima, nilai-nilai budaya

Hatuhaha Amarima, refleksi kritis, dan relevansinya dengan keutuhan bangsa

Indonesia.

Bab V berisikan penutup dari penulisan disertasi ini. Bab ini akan memuat

kesimpulan yang berisikan jawaban atas permasalahan dari penelitian ini dan

saran pemikiran ke depan.

You might also like