Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. 3 Forniks
Bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian posterior
palpebra dan bola mata. Forniks konjungtiva berganbung dengan konjungtiva
bulbar dan konjungtiva palpebra. Dapat dibagi menjasi forniks superior, inferior,
lateral, dan medial forniks. 2,4,5
2. 2 Definisi
Konjungtivitis adalah penyakit mata paling umum didunia. Penyakit ini
bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis
berat dengan banyak sekret purulen kental. Penyabab umumnya eksogen, tetapi
bisa endogen. 1
Konjungtivitis merupakan radang pada konjungtiva atau radang selaput
lendir yang menutupi belakang kelopak dan bola mata. Konjungtivitis dapat
disebabkan oleh bakteri, virus, klamidia, alergi toksik seperti konjungtivitis
vernal, dan moluscum contangiosum.2
Konjungtivitis virus adalah suatu penyakit umum yang dapat disebabkan
oleh berbagai jenis virus. Keadaan ini berkisar antara penyakit berat yang dapat
menimbulkan cacat, sampai infeksi ringan yang cepat sembuh sendiri.1
2. 3 Etiologi
Berbagai jenis virus diketahui dapat menjadi agen penyebab konjungtivitis.
Adenoviral merupakan etiologi tersering dari konjungtivitis virus. Beberapa
subtipe dari konjungtivitis adenovirus antara lain demam faringokonjungtiva serta
keratokonjungtivitis epidemika. Infeksi mata primer oleh karena herpes simplex
sering ditemukan pada anak-anak dan biasanya menimbulkan konjungtivitis
folikuler. Infeksi ini umumnya disebabkan oleh HSV tipe I walaupun HSV tipe II
dapat pula menyebabkan konjungtivitis terutama pada neonatus. 1,4
Penyebab lain yang lebih jarang antara lain infeksi virus varicella-zoster
(VZV), pikornavirus (enterovirus 70, coxsakie A24), poxvirus (molluskum
kontagiosum, vaccinia), serta Human Immunodeficiency Virus (HIV). Infeksi oleh
pikornavirus menyebabkan konjungtivitis hemoragika akut yang secara klinis
mirip dengan infeksi oleh adenovirus namun lebih parah dan hemoragik.
Molluscum kontagiosum dapat menyebabkan konjungtivitis kronis yang terjadi
akibat shedding partikel virus dari lesi ke dalam sakus konjungtiva. Infeksi oleh
virus Vaccinia saat ini sudah jarang ditemukan seiring dengan menurunnya
insiden infeksi smallpox. Infeksi HIV pada pasien AIDS pada umumnya
menyebabkan abnormalitas pada segmen posterior, namun infeksi pada segmen
6
anterior juga pernah dilaporkan. Konjungtivitis yang terjadi pada pasien AIDS
cenderung lebih berat dan lama daripada individu lain yang immunokompeten.
Konjungtivitis juga kadang dapat ditemukan pada periode terinfeksi virus sistemik
seperti virus influenza, Epstein-Barr virus, paramyxovirus (measles, mumps,
Newcastle) atau Rubella.1,4
2. 4 Patofisiologi
Konjungtiva merupakan jaringan ikat longgar yang menutupi permukaan
mata (konjungtiva bulbi), kemudian melipat untuk membentuk bagian dalam
palpebra (konjungtiva palpebra). Konjungtiva melekat erat dengan sklera pada
bagian limbus, dimana konjungtiva berhubungan dengan kornea. Glandula
lakrima aksesori (Kraus dan Wolfring) serta sel Goblet yang terdapat pada
konjungtiva bertanggung jawab untuk mempertahankan lubrikasi mata. Seperti
halnya membrane mukosa lain, agen infeksi dapat melekat dan mengalahkan
mekanisme pertahanan normal dan menimbulkan gejala kinis seperti mata merah,
iritasi serta fotofobia. Pada umumnya konjungtivitis merupakan proses yang dapat
menyembuh dengan sendirinya, namun pada beberapa kasus dapat menimbulkan
infeksi dan komplikasi yang berat tergantung daya tahan tubuh dan virulensi virus
tersebut.4
kelainan lain seperti skleritis atau keratitis berdasar pada injeksinya. Tipe-tipe
injeksi dibedakan menjadi:
a. Injeksi konjungtiva (merah terang, pembuluh darah yang distended
bergerak bersama dengan konjungtiva, semakin menurun jumlahnya saat
menuju ke arah limbus).
b. Injeksi perikornea (pembuluh darah superfisial, sirkuler atau cirkumcribed
pada tepi limbus).
c. Injeksi siliar (tidak terlihat dengan jelas, pembuluh darah berwarna terang
dan tidak bergerak pada episklera di dekat limbus).
d. Injeksi komposit (sering).
Dilatasi perilimbal atau siliar menandakan inflamasi dari kornea atau
struktus yang lebih dalam. Warna yang benar-benar merah menandakan
konjungtivitis bakterial, dan penampakan merah susu menandakan
konjungtivitis alergik. Hiperemia tanpa infiltrasi selular menandakan iritasi
dari sebab fisik, seperti angin, matahari, asap, dan sebagainya, tetapi mungkin
juda didapatkan pada penyakit terkait dengan instabilitas vaskuler (contoh,
acne rosacea).
5. Pseudoptosis1-5
Kelopak mata atas seperti akan menutup, disebabkan karena adanya
infiltrasi sel-sel radang pada palpebra superior maupun karena edema pada
palpebra superior.
6. Hipertrofi folikel1-5
Terdiri dari hiperplasia limfoid lokal dengan lapisan limfoid dari
konjungtiva dan biasanya mengandung germinal center. Secara klinis, folikel
dapat dikenali sebagai struktur bulat, avaskuler putih atau abu-abu. Pada
pemeriksaan menggunakan slit lamp, pembuluh darah kecil dapat naik pada
tepi folikel dan mengitarinya. Terlihat paling banyak pada kasus konjungtivitis
viral dan pada semua kasus konjungtivitis klamidial kecuali konjungtivitis
inklusi neonatal, pada beberapa kasus konjungtivitis parasit, dan pada
beberapa kasus konjungtivitis toksik diinduksi oleh medikasi topikal seperti
idoxuridine, dipiverin, dan miotik. Folikel pada forniks inferior dan pada batas
tarsal mempunyai nilai diagnostik yang terbatas, tetapi ketika diketemukan
terletak pada tarsus(terutama tarsus superior), harus dicurigai adanya
konjungtivitis klamidial, viral, atau toksik (mengikuti medikasi topikal).
7. Hipertrofi papiler1-5
Adalah reaksi konjungtiva non spesifik yang muncul karena
konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di dasarnya oleh fibril. Ketika
pembuluh darah yang membentuk substansi dari papilla(bersama dengan
elemen selular dan eksudat) mencapai membran basement epitel, pembuluh
10
darah tersebut akan bercabang menutupi papila seperti kerangka dari sebuah
payung. Eksudat inflamasi akan terakumulasi diantara fibril, membentuk
konjungtiva seperti sebuah gundukan. Pada kelainan yang menyebabkan
nekrosis(contoh,trakoma), eksudat dapat digantikan oleh jaringan granulasi
atau jaringan ikat. Ketika papila berukuran kecil, konjungtiva biasanya
mempunyai penampilan yang halus dan merah normal. Konjungtiva dengan
papila berwarna merah sekali menandakan kelainan disebabkan bakteri atau
klamidia(contoh, konjungtiva tarsal yang berwarna merah sekali merupakan
karakteristik dari trakoma akut). Injeksi yang ditandai pada tarsus superior,
menandakan keratokunjungtivitis vernal dan konjungtivitis giant papillary
dengan sensitivitas terhadap lensa kontak; pada tarsal inferior, gejala tersebut
menandakan keratokonjungtivitis atopik. Papila yang berukuran besar juga
dapat muncul pada limbus, terutama pada area yang secara normal dapat
terekspos ketika mata sedang terbuka(antara jam 2 dan 4 serta antara jam 8
dan 10). Di situ gejala nampak sebagai gundukan gelatin yang dapat mencapai
kornea. Papila limbal adalah tanda khas dari keratokonjungtivitis vernal tapi
langka pada keratokonjungtivitis atopik.
9. Phylctenules1-5
Menggambarkan manifestasi lokal pada limbus karena alergi terhadap
toxin yang dihasilkan mikroorganisme. Phlyctenules dari konjungtiva pada
mulanya terdiri dari perivaskulitis dengan pengikatan limfositik pada
pembuluh darah. Ketika berkembang menjadi ulserasi dari konjungtiva, dasar
ulkus mempunyai banyak leukosit polimorfonuklear.
11. Granuloma1-5
Adalah nodus stroma konjungtiva yang meradang dengan area bulat
merah dan terdapat injeksi vaskular. Tanda ini dapat muncul pada kelainan
sistemik seperti tuberkulosis atau sarkoidosis atau mungkin faktor eksogen
seperti granuloma jahitan postoperasi atau granuloma benda asing lainnya.
Granuloma muncul bersamaan dengan bengkaknya nodus limfatikus
12
2. 6 Klasifikasi
1. Konjungtivitis Folikular Viral Akut
a. Demam Faringokonjungtivital
Demam faringokonjungtival ditandai oleh demam 38,3 - 400C,
sakit tenggorokan, dan konjungtivitis pada satu atau dua mata. Folikel
sering mencolok pada kedua konjungtiva, dan pada mukosa faring.
Penyakit ini dapat terjadi bilateral atau unilateral. Mata merah dan berair
mata sering terjadi, dapat disertai keratitis superficial sementara ataupun
sedikit kekeruhan di daerah subepitel. Limfadenopati preaurikuler yang
muncul tidak disertai nyeri tekan. Sindrom yang ditemukan pada pasien
mungkin tidak lengkap, hanya terdiri atas satu atau dua gejala utama
(demam, faringitis, dan konjungtivitis).1
Tipe ini biasanya disebabkan oleh adenovirus tipe 3 dan kadang-
kadang tipe 4 dan 7. Virusnya dapat dibiakkan dalam sel sel HeLa dan
13
b. Keratokonjungtivitis epidemika
Konjungtivitis yang timbul umumnya bilateral. Awitan sering pada
satu mata kemudian menyebar ke mata yang lain. Mata pertama biasanya
lebih parah. Gejala awal berupa nyeri sedang dan berair mata, diikuti
dalam 5-14 hari kemudian dengan fotofobia, keratitis epitel, dan
kekeruhan subepitel bulat. Fase akut ditandai dengan edema palpebra,
kemosis, dan hiperemia konjungtiva. Dalam 24 jam sering muncul folikel
dan perdarahan konjungtiva. Kadang-kadang dapat terbentuk
pseudomembran ataupun membran sejati yang dapat meninggalkan parut
datar ataupun symblepharon.1
Konjungtivitis berlangsung selama 3-4 minggu. Kekeruhan epitel
terjadi di pusat kornea, menetap berbulan-bulan namun menyembuh tanpa
disertai parut.1
Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan oleh adenovirus
subgroup D tipe 8, 19, 29, dan 37. Virus ini dapat diisolasi dalam biakan
sel dan dapat diidentifikasi dengan uji netralisasi. Kerokan konjungtiva
menampakkan reaksi radang mononuklear primer. Bila terbentuk
pseudomembran, juga tampak neutrofil yang banyak.1
Kerato konjungtivitis epidemika pada orang dewasa teratas pada
bagian luar mata, tetapi pada anak anak mungkin terdapat gejala sistemik
infeksi virus, seperti demam, sakit tenggorokan, otitis media, dan diare.
Transmisi nosokomial selama pemeriksaan mata sangat sering terjadi
14
melalui jari jari tangan dokter, alat pemeriksaan yang kurang steril dan
memakai larutan yang terkontaminasi. Larutan mata, terutama anestetik
topikal, mungkin terkontaminasi saat ujung penetes obat menyedot materi
terinfeksi dari konjungtiva atau bulu mata. Virus dapat bertahan dalam
larutan tersebut yang akan menjadi sumber penyebaran. 1,6-10
Bahaya kontaminasi botol larutan dapat dihindari dengan memakai
penetes steril pribadi atau tetes mata dengan menggunakan kemasan unit
dose. Mencuci tangan secara teratur diantara pemeriksaan dan
pembersihan serta sterilisasi alat alat yang menyentuh mata khususnya
tonometer juga merupakan suatu keharusan. 1,6-10
c. Keratokonjungtivitis Campak
Enantema khas morbili seringkali mandahului erupsi kulit. Pada
tahap awal konjungtiva nampak seperti kaca yang aneh, yang dalam
beberapa hari diikuti pembengkakan lipatan semilunar (tanda Meyer).
Beberapa hari sebelum erupsi kulit timbul konjungtivitis eksudatif dengan
sekret mukopurulen. Bersamaaan dengan munculnya erupsi kulit akan
timbul bercak-bercak koplik pada konjungtiva dan kadang-kadang pada
carunculus. Keratitis epithelial dapat terjadi pada anak-anak dan orang tua.
1,6-10
pada infeksi yang menahun dan sering mengalami kekambuhan, pada reaksi
konjungtiva yang atipikal, serta terjadi kegagalan respon terhadap
pengobatan yang diberikan sebelumnya. Pengecatan giemsa juga dapat
dilakukan. Pada konjungtivitis virus ditemukan sel mononuklear dan
limfosit. Inokulasi merupakan teknik pemeriksaan dengan memaparkan
organism penyebab kepada tubuh manusia untuk memproduksi kekebalan
terhadap penyakit itu. Deteksi terhadap antigen virus dan klamidia dapat
dipertimbangkan. Polymerase chain reaction (PCR) merupakan pemeriksaan
yang digunakan untuk mengisolasi virus dan dilakukan pada fase akut. 1-4
Sementara itu konjungtivitis virus harus dibedakan dengan
konjungtivitis yang lain dan penyakit mata merah lainnya terkait dengan
penatalaksanaannya. Secara klinis bedasarkan keluhan subyektif dan
obyektif perbedaan konjungtivitis virus dengan konjungtivitis yang lain
serta diagnosis mata merah dapat dilihat pada tabel dibawah ini. 1-4
2. 8 Penatalaksanaan
Konjungtivitis viral biasanya bersifat suportif dan merupakan terapi
simptomatis, belum ada bukti yang menunjukkan keefektifan penggunaan
antiviral. Umumnya mata bisa dibuat lebih nyaman dengan pemberian cairan
pelembab. Kompres dingin pada mata 3 4 x / hari juga dikatakan dapat
membantu kesembuhan pasien. Penggunaan kortikosteroid untuk penatalaksanaan
konjungtivitis viral harus dihindari karena dapat memperburuk infeksi.1,11
Sebagai pencegahan terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri dapat diberikan
Kloramfenikol tetes mata. Kloramfenikol merupakan obat antimikroba yang
memiliki spektrum luas, meliputi bakteri gram negatif dan gram positif. Senyawa
ini memang memiliki sifat bakteriostatik terhadap kebanyakan mikroorganisme,
akan tetapi dapat berfungsi sebagai bakteriosidal terhadap beberapa jenis bakteri,
yakni H. influenzae, Neisseria meningitidis, and S. pneumoniae. Kloramfenikol
efektif dalam melawan bakteri aerobik dan nonaerobik baik gram positif ataupun
gram negatif. Senyawa ini juga efektif pada rickettsae akan tetapi tidak efektif
terhadap chlamydiae. Bakteri gram negatif bacillus serta bakteri anaerob dapat
diinhibisi secara in vitro, sedangkan pada bakteri gram positif yang bersifat
aerobik bakteri berbentuk kokus meliputi Streptococcus pyogenes, S. agalactiae
20
b. Keratokonjungtivitis epidemika
Hingga saat ini belum ada terapi spesifik, namun kompres dingin
akan mengurangi beberapa gejala. Selama konjungtivitis akut, penggunaan
kortikosteroid dapat memperpanjang keterlibatan kornea lebih lanjut
sehingga harus dihindari. Anti bakteri harus diberikan jika terjadi
superinfeksi bakteri. 1,11
c. Konjungtivitis herpetik
Untuk konjungtivitis herpes simpleks yang terjadi pada anak diatas
satu tahun atau pada orang dewasa yang umumnya sembuh sendiri dan
mungkin tidak perlu terapi. Namun, antivirus topikal atau sistemik harus
doberikan untuk mencegah terkena kornea. Jika terjadi ulkus kornea, harus
dilakukan debridement korneadengan mengusap ulkus menggunakan kain
steril dengan hati-hati, oenetesan obat anti virus, dan penutupan mata
21
c. Keratokonjungtivitis campak
Tidak ada terapi yang spesifik, hanya tindakan penunjang saja yang
dilakukan, kecuali ada infeksi sekunder. 1,11
Konjungtivitis viral merupakan penyakit infeksi yang angka penularannya
cukup tinggi, sehingga pencegahan adalah hal yang sangat penting. Penularan
juga bisa terjadi di fasilitas kesehatan bahkan ke tenaga kesehatan yang
memeriksa pasien. Langkah langkah pencegahan yang perlu diperhatikan adalah
mencuci tangan dengan bersih, tidak menyentuh mata dengan tangan kosong,
serta tidak menggunakan peralatan yang akan digunakan untuk pemeriksaan
pasien lain. Dalam penularan ke lingkungan sekitar, pasien sebaiknya disarankan
untuk menghindari kontak dengan orang lain seperti di lingkungan kerja / sekolah
dalam 1 2 minggu, juga menghindari pemakaian handuk bersama. 1,11
2. 9 Pencegahan
Konjungtivitis virus sangat menular dengan risiko transmisi sekitar 10%-
50%. Virus menyebar melalui jari tangan yang tercemar, peralatan medis, air
kolam renang, atau barang-barang pribadi. Masa inkubasi diperkirakan 5-12 hari
dan menular hingga 10-14 hari. Pada 95% kasus, aktivitas replikasi virus terlihat
sepuluh hari setelah gejala timbul dan hanya 5% kasus yang tampak pada hari ke-
16 setelah gejala muncul. Berdasarkan tingginya angka penularan, maka perlu
dibiasakan cuci tangan, desinfeksi peralatan medis, dan isolasi penderita. Pasien
tidak boleh saling bertukar barang pribadi dengan orang lain dan harus
menghindari kontak langsung atau tidak langsung (seperti di kolam renang)
selama dua minggu.1
Cara pencegahan penularan yang paling efektif adalah meningkatkan daya
tahan tubuh, menghindari bersentuhan dengan sekret atau air mata pasien,
mencuci tangan setelah menyentuh mata pasien sebelum dan sesudah
menggunakan obat tetes mata. Selain itu, hindari penggunaan tetes mata dari botol
yang telah digunakan pasien konjungtivitis virus, hindari penggunaan alat mandi
dan bantal kepala yang sama. Penggunaan kaca mata hitam bertujuan mengurangi
fotofobia, namun tidak bermanfaat mencegah penularan. 1
23
2. 10 Prognosis
Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus dapat
sembuh spontan (self-limited disease), namun komplikasi juga dapat terjadi
apabila tidak ditangani dengan baik.
24
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA