You are on page 1of 20

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Melanoma Maligna.


2.1.1. Definisi.
Melanoma maligna adalah sebuah kanker dari sel yang menghasilkan
melanin. Oleh karena itu, bisa timbul pada kulit, mukosa, retina, dan
leptomeninges (Chan dan Greenbaum, 2013). Melanoma maligna merupakan
sebuah keganasan dari sel yang menghasilkan pigmen (melanosit), biasanya
berada di kulit tapi juga ditemukan di telinga, saluran pencernaan, mata, mulut,
mukosa genital, dan leptomeninges (McCourt, Dolan, dan Gormley, 2014).
2.1.2. Epidemiologi.
Meskipun melanoma maligna terhitung hanya 4% dari semua kanker
kulit, melanoma maligna menyebabkan 80% kematian dari kanker kulit (Miller
dan Mihm, 2006). Melanoma maligna terhitung 3% dari semua keganasan di
seluruh dunia. Melanoma maligna kanker yang paling banyak pada dewasa muda
(20-39 tahun) dan paling banyak menyebabkan kematian karena kanker (Chan dan
Greenbaum, 2013).
Secara geografis, insiden dan mortalitas bervariasi di seluruh dunia.
Kejadian melanoma maligna tertinggi dimana Negara yang populasinya
didominasi oleh Caucasian (kulit putih) dan rendah pada Negara yang
berpenduduk asli Asian atau African (de Vries et al., 2006). Semua Negara Eropa
melaporkan insiden melanoma maligna tinggi pada perempuan daripada laki-laki.
Sebaliknya, di Australia dan Amerika Utara laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan (MacKie, Hauschild, dan Eggermont, 2009) sedangkan untuk bagian
tubuh yang sering ditemukan pada laki-laki adalah trunkus dan pada perempuan
sering pada daerah tungkai dan trunkus. Jarang ditemukan pada bagian tubuh yang
tertutup pakaian (Pasaribu, 2006).
Penyebab utama terjadi peningkatan insiden melanoma maligna secara
umum adalah paparan radiasi ultraviolet (UV). Menurut Elwood et al. dalam
MacKie, Hauschild, dan Eggermont (2009), terpapar sinar matahari yang
6

membakar kulit dalam waktu singkat tapi berulang-ulang diketahui sebagai faktor
risiko utama (MacKie, Hauschild, dan Eggermont, 2009).
2.1.3. Faktor Risiko.
a. Faktor Genetik
Berdasarkan hasil penelitian 25-40% dari anggota keluarga yang
menderita melanoma maligna diidentifikasi terdapat germline mutation
pada cyclin-dependent kinase inhibitor 2A (CDKN2A) dan juga sedikit
didapatkan mutasi pada cyclin-dependent kinase 4 (CDK4). Terdapat
dasar rasional untuk hubungan antara kejadian melanoma dan mutasi
pada CDKN2A dan CDK4 karena kedua tersebut adalah tumor-
suppresor genes (Miller dan Mihm, 2006). Lima sampai sepuluh
persen dari semua melanoma maligna adalah dari pasien dengan
familial atypical multiple mole melanoma syndrome (FAMMM).
Pasien dengan FAMMM mempunyai risiko 70% selama hidup untuk
berkembangnya sebuah melanoma maligna (Holterhues, 2011).
Mutasi pada tumor-suppressor genes seperti c-kit, p53, dan
BRAF dilaporkan meningkatkan risiko melanoma maligna. Namun,
masih belum jelas seberapa pentingya mutasi dari gen-gen ini dianggap
sebagai faktor risiko melanoma maligna (Holterhues, 2011).
b. Faktor Lingkungan
Paparan radiasi ultraviolet (UV) dari matahari menjadi faktor
penting dikaitkan dengan peningkatan kejadian melanoma maligna,
terutama pada sinar matahari yang membakar kulit dalam waktu
singkat tapi berulang-ulang (Putra, 2008). Dari hasil penelitian yang
lain juga memperlihatkan bahwa paparan sinar matahari yang
berlebihan, berulang-ulang tetapi dalam waktu singkat (intermittent),
dan lama dapat menyebabkan terjadinya melanoma maligna. Terutama
pada waktu intens terpapar oleh sinar matahari seperti membakar kulit
pada waktu anak-anak ataupun remaja menjadi faktor risiko melanoma
maligna (Holterhues, 2011).
7

Perubahan gaya hidup masyarakat yang lebih menyukai


berjemur ataupun karena pekerjaan yang memang harus terpapar
matahari juga menjadi risiko terjadinya melanoma. Sama halnya
dengan pemakaian sunbed (MacKie, Hauschild, dan Eggermont,
2009).
c. Fenotipe
Orang Caucasian, rambut pirang atau merah, banyak freckles
(ephelides), terdapat lebih dari 50 banal melanocytic nevi, nevi besar,
atypical nevi, dan dysplastic nevi merupakan faktor risiko melanoma
maligna (MacKie, Hauschild, dan Eggermont, 2009).
d. Status Sosio-ekonomi
Melanoma maligna lebih sering pada orang yang memiliki
status sosio-ekonomi tinggi memungkinkan mereka terkena terpapar
sinar UV berulang-ulang tapi dalam waktu singkat yang tinggi dan
berlebihan (olahraga outdoor, olahraga musim dingin, dan
sunbathing). Peningkatan kekayaan pada Caucasian dalam waktu 6
dekade ini berkontribusi dalam peningkatan insiden melanoma
maligna (de Vries et al., 2006).
e. Penyakit Dahulu dan Penyerta
Orang yang berisiko selanjutnya, yaitu orang yang pernah
menderita melanoma maligna sebelumnya, yang menderita xeroderma
pigmentosum, giant congenital pigmented naevus. Selain itu, orang
yang dengan kondisi immune compromised seperti terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV), Hodkins disease, dan orang yang
mendapat terapi cyclosporine A berisiko menderita melanoma maligna
(Chan dan Greenbaum, 2013).
2.1.4. Patofisiologi.
a. Proliferasi dari Melanosit (benign lesions)
Hal yang pertama terjadi yaitu sebuah proliferasi dari
melanosit menjadi benign nevus. Secara klinis, nevi ini berbentuk datar
dan sedikit menonjol dengan warna yang seragam atau gambaran teratur
8

dari pigmen dot-like pada sebuah latar yang cokelat atau hitam
kecokelatan. Secara histologi, lesi ini memiliki peningkatan jumlah dari
kumpulan melanosit yang bersarang sepanjang lapisan basalis (Paek et
al., 2008).
b. Dysplastic Nevi (random atypia)
Selanjutnya perkembangan dari pertumbuhan yang abnormal.
Ini mungkin terdapat pada tempat yang sebelumnya ada benign nevus
atau pada tempat yang baru. Secara klinis lesi ini mungkin asimetris,
batasan tidak rata, mengandung lebih dari satu warna, atau memiliki
diameter yang lebih besar. Secara histologi, lesi ini memiliki sel yang
abnormal bentuk yang bebas dan sel-selnya tidak berdampingan lagi
(Miller dan Mihm, 2006).
c. Fase Radial-growth (pertumbuhan intraepidermal)
Selama fase radial-growth, sel-sel memiliki kemampuan
untuk berproliferasi secara intraepidermal. Secara klinis, lesi ini kadang-
kadang bisa menonjol. Lesi ini tidak lagi memperlihatkan sel abnormal
yang bebas dan sebagai gantinya dia memperlihatkan bentuk sel kanker
di seluruh lesi (Paek et al., 2008).
d. Fase Vertical-growth (invasi dermis)
Lesi yang berlanjut ke fase vertical-growth memiliki
kemampuan untuk masuk ke dermis dan membentuk nodul besar,
meluas ke papillary dermis. Sel-sel kanker bisa juga masuk ke reticular
dermis dan sel adipose (Miller dan Mihm, 2006).
e. Metastasis Melanoma
Akhir dari semua perkembangan kanker yaitu berhasil
menyebarkan sel-sel kanker ke bagian kulit lain dan organ-organ tubuh
lainnya, dimana sel-sel tersebut bisa berproliferasi dan metastasis (Miller
dan Mihm, 2006).
9

2.1.5. Manifestasi Klinis.


Manifestasi klinis ditemukan pada melanoma maligna sudah dikenal
dengan Melanoma Maligna ABCDEF, sebagai berikut:
A-Asymetry, yaitu bentuk tumor yang asimetris
B-Border irregularity, yaitu garis batas yang tidak teratur
C-Color variegation, yaitu memiliki lebih dari satu warna seperti cokelat
atau hitam. Bisa juga merah, biru, abu-abu, hipopigmentasi atau
depigmentasi
D-Diameter, yaitu diameter tumor lebih dari 6 mm
E-Evolution atau change, yaitu ada perubahan dari warna, ukuran,
simetris, dan gejala
F-Funny-looking lesions (Bandarchi et al., 2010; Holterhues, 2011)
2.1.6. Diagnosis.
a. Anamnesis
Memberikan pertanyaan riwayat terpapar sinar matahari yang
lama, riwayat kulit terbakar yang berulang akibat paparan sinar matahari,
riwayat menderita melanoma maligna sebelumnya ataupun keluarga
yang pernah menderita melanoma maligna, riwayat immunosuppressant
diseases, dan jika memang ada lesi ditanyakan sesuai Glasgow 7-point
checklist dimana jika ada 2 poin dari kriteria mayor seperti perubahan
ukuran, perubahan warna, dan perubahan bentuk dengan 1 poin dari
kriteria minor seperti mengeluarkan darah, perubahan sensasi, inflamasi
atau diameter lebih dari 7 mm. jika didapatkan 3 poin maka dicurigai
terdapat keganasan kulit (McCourt, Dolan, dan Gormley, 2014).
b. Pemeriksaan Fisik
Ada 4 jenis melanoma maligna yang berbeda terlihat dari
gambaran klinis:
Superficial Spreading Melanoma (SSM) merupakan 70% jenis
melanoma maligna, biasanya berkembang pada tempat yang
sebelumnya ada naevus, mengalami perubahan yang lambat
hingga membutuhkan beberapa tahun, kemudian tumbuh secara
10

vertikal dan berkembang menjadi nodula biru kehitaman.


Berupa plak berukuran 0,5 3 cm dengan tepi meninggi dan
ireguler. Terdapat bermacam-macam warna, seperti abu-abu,
biru, hitam, dan kemerahan (Swetter, Geller, dan Kirkwood,
2004).
Nodular melanoma (NM), terhitung 15% dari semua melanoma
maligna dan bisa menjadi lebih agresif daripada SSM dengan
permulaan klinis yang pendek. Lesi ini berasal dari de novo di
kulit dan lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan,
biasanya di
badan, kepala, atau leher. Biasanya berupa papula berwarna
biru atau hitam, diameternya 1-2 cm, dan berbatas tegas (Chan
dan Greenbaum, 2013).
Lentigo Maligna Melanoma (LMM), jenis ini jarang ditemukan
di Indonesia, di Negara barat lokasi yang tersering pada wajah
sekitar 4-10% dan umumnya pada usia tua, pertumbuhannya
vertikal dan sangat lambat, berupa makula kecokelatan. LMM
berhubungan dengan paparan sinar matahari yang panjang dan
intens, lebih sering terkena perempuan daripada laki-laki
(Goldstein dan Goldstein, 2001).
Acral Lentigo Melanoma (ALM), ini biasanya banyak
ditemukan pada orang kulit berwarna. Biasa pada orang Asia
terutama Jepang, terhitung insiden 70% di Jepang. Lesi ini
berwarna dan sering ditemukan pada telapak tangan, telapak
kaki, atau di bawah nail bed. Jenis ini dinyatakan paling agresif
dibanding jenis yang lain (Bandarchi et al., 2010).
c. Pemeriksaan dermoskopi
Pemeriksaan ini dilakukan sesuai dengan manifestasi klinis
Melanoma Maligna ADCDEF (Suyatno dan Pasaribu, 2010).
11

d. Pemeriksaan Histopatologi dengan Biopsi


Pemeriksaan histopatologi dengan biopsi ini merupakan standar
diagnosis melanoma maligna. Apabila ditemukan lesi pigmentasi yang
diduga melanoma maligna setelah lesi pigmentasi memenuhi 2 kriteria
mayor dan 1 kriteria minor maka selanjutnya dilakukan biopsi eksisi
luas. Semua lesi yang diduga melanoma maligna seharusnya dihilangkan
sempurna vertikal dan horizontal (Suyatno dan Pasaribu, 2010). Prinsip
biopsi harus sempurna, jenis biopsi tergantung pada ukuran dan lokasi
anatomi lesi. Bila kurang dari 2 cm dilakukan eksisi tumor dengan batas
tumor 2-5 mm sedangkan insisi tumor dilakukan ketika diameter lesi
lebih dari 2 cm dan secara anatomi letak lesi sulit seperti di daerah wajah
(Rager, Bridgeford, dan Ollila, 2005). Tindakan lymph node dissection
dan terapi adjuvan dipengaruhi oleh kedalaman lesi. Untuk 5-6 mm
punch biopsy dilakukan untuk mengambil lesi yang mencapai
subcutaneous fat (Goldstein dan Goldstein, 2001)
Laporan histopatologi setidaknya memuat sesuai NIH Consensus
Conference of 1992 dan the French Consensus Conference of 1995,
sebagai berikut:
Diagnosis lesi memang berasal dari sel melanosit dan
konfirmasi keganasan
Ketebalan tumor dalam milimeter (berdasarkan metode
Breslow)
Penilaian kesempurnaan eksisi
Tingkat invasi (Clark)
Ada dan luas regresi
Ada dan luas ulkus
Tambahan parameter, yaitu:
Jenis histologi
Bertempat di lesi sebelumnya
Mitotic index
Invasi ke vaskular
12

Tipe sel
Tumor infiltrating lymphocytes (TILs)
Fase pertumbuhan; vertikal atau radial (Ngrier et al.,
2001)
Ketentuan metode Breslow (Suyatno dan Pasaribu, 2010), sebagai
berikut:
Golongan I : Ketebalan tumor < 0,76 mm
Golongan II : Ketebalan tumor 0,76-1,5 mm
Golongan III : Ketebalan tumor > 1,5 mm
Tingkat invasi berdasarkan Clark (Herbst, 2014):
Tingkat I : Sel melanoma maligna terletak di lapisan luar
kulit (epidermis), disebut juga melanoma maligna in situ
Tingkat II : Sel melanoma maligna tepat dibawah lapisan
epidermis (papillary dermis)
Tingkat III: Sel melanoma maligna sampai dengan
perbatasan papillary dermis dan reticular dermis
Tingkat IV: Sel melanoma maligna sampai ke lapisan
reticular dermis
Tingkat V : Sel melanoma maligna tumbuh sampai lapisan
lemak di bawah kulit (subcutaneous fat).
2.1.7. Prognosis.
a. Usia
Beberapa penelitian melaporkan bahwa seiring bertambah usia
pasien menandakan prognosis buruk sesuai hubungannya dengan overall
survival rates. Laki-laki dengan usia lebih dari 60 tahun memiliki
mortalitas yang tinggi pada melanoma maligna. Seperti yang diketahui
bahwa semakin bertambah usia berpengaruh terhadap penurunan
mekanisme pertahanan imun tubuh (Nagore et al., 2006).
13

b. Jenis kelamin
Banyak dari penelitian telah melaporkan bahwa perempuan
memiliki survival rates yang lebih baik daripada laki-laki, walau telah
disesuaikan juga dengan tebal tumor dan letak tumor (de Vries et al.,
2007).
c. Letak tumor
Letak melanoma maligna sesuai anatomi berbagai hasil dampaknya
terhadap survival rate. Sesuai penelitian yang dilakukan AJCC, letak
melanoma maligna di badan, kepala, dan leher berhubungan dengan
prognosis buruk daripada letak melanoma maligna di ekstremitas (Garbe
et al., 1995).
d. Ketebalan tumor
Ketebalan tumor beradasarkan metode Breslow dari tumor primer
menunjukkan hubungan dengan survival rate pada penyakit stage I dan
II. semakin meningkat ketebalan tumor semakin menurun survival rate.
Sebelum AJCC 7th edition tahun 2009 di publikasikan, tingkat invasi
Clark berpengaruh terhadap survival rate, namun sekarang sudah
digantikan posisinya oleh mitotic index (de Vries et al., 2006).
e. Ulkus
Ulkus disebut sebagai faktor bebas prognosis di dalam AJCC 7th
edition tahun 2009 yang mana sangat berhubungan dengan survival.
Terdapat ulkus pada tumor primer berisiko berkembangnya penyakit
lebih parah dan menurunkan survival rate. Ulkus berhubungan dengan
ketebalan tumor, dimana ulkus jarang pada melanoma maligna yang tipis
(6% untuk melanoma maligna < 1 mm) dan banyak pada melanoma
maligna yang tebal (63% untuk melanoma maligna > 4 mm). pada
penyakit stage III, ulkus berpengaruh yang signifikan pada overall
survival (Balch et al., 2009).
f. Mitotic Index
Pada beberapa pustaka dan penelitian memperlihatkan hasil yang
mendukung hubungan yang signifikan antara tumor mitotic index dengan
14

prognosis pada melanoma maligna. Mitotic index dihitung sebagai


jumlah mitosis per millimeter kuadrat, ini biasanya dihitung jumlah
mitosis yang nampak pada 5 lapangan pandang mikroskop daya kuat
(x40), dimulai dari lapangan pandang yang paling banyak mitosis. Pada
AJCC 7th edition tahun 2009 sudah dicantumkan mitotic index sebagai
salah satu penentu staging. Pada pasien dengan mitotic index 0/mm
memiliki hasil yang signifikan untuk survival rate yang baik daripada
pasien dengan mitotic index 1/mm (Paek et al., 2008).
g. Faktor histologi lain
Faktor lain yang mungkin berpengaruh pada prognosis melanoma
maligna seperti terdapat microsatellitosis, tumor infiltrating lymphocytes
(TILs), regresi, tumor lymphamgiogenesis, dan radial versus vertical
growth phase (Paek et al., 2008).

2.2. Mitosis.
2.2.1. Definisi.
Mitosis adalah pembelahan sel dari 1 sel induk membelah menjadi 2 sel
anak yang mempunyai struktur genetika sama dengan sel induknya. Pada saat
mitosis rantai ganda DNA yang merupakan pembawa informasi gen terbelah
menjadi 2 rantai tunggal (Sukardja, 2000).
Pembelahan sel secara mitosis dilaksanakan untuk memperbanyak sel
yang ada dalam tubuh makhluk hidup sehingga makhluk hidup ini dapat
bertumbuh (Junowo dan Juniarto, 2000).
2.2.2. Fase.
a. Profase
Pada profase didalam inti nampak terdapat kromosom yang berupa
benang-benang halus. Dalam inti sel akan dapat dilihat bahwa nukleolus
akan mulai mengecil dan akhirnya menghilang dan membran inti juga
menghilang. Selain itu, sentriol menggandakan diri dan masing-masing
menuju kutub. Fase ini berlangsung selama kurang lebih 1 jam
(Sukardja, 2000).
15

b. Metafase
Sentriol yang ada di kutub nampak terdapat benang-benang halus
menuju equator kromosom mengatur diri menuju equator dan membelah
diri menjadi 2 bagian yang sama. Terbentuklah 2 sel anak yang sama
besar. Fase ini berlangsung kurang dari 1 jam (Juwono dan Juniarto,
2000).
c. Anafase
Kromosom memisahkan diri di equator dan masing-masing menuju
kutub-kutub pembelahan sel dan disamping itu membran plasma akan
tampak mulai berubah sehingga sel akan tampak lebih memanjang. Fase
ini berlangsung kurang lebih setengah jam (Sukardja, 2000).
d. Telofase
Pada fase ini akan terbentuk membran inti yang akan melingkupi
kromosom pada masing-masing kutub pembelahan sel. Kromoson juga
akan mulai tampak menipis dan akhirnya menjadi kromatin.
Pembentukan membran inti diikuti dengan pemisahan sitoplasma
berserta organel yang ada. pada akhirnya akan terbentuk 2 sel yang sama
dalam bentuk dan sifatnya (Juwono dan Juniarto, 2000).
2.2.3. Siklus Sel.
Untuk sebuah sel membelah, DNA harus diduplikasi dan disebarkan
merata ke sel-sel anak. Proses sintesis DNA dan mitosis dipisahkan oleh gaps,
selama RNA dan protein dibentuk dan sel mengatur sel itu sendiri untuk proses
pembelahan sel berikutnya, tahapan ini disebut siklus sel. Siklus sel terdiri dari 4
fase, yaitu fase Gap 1 (G1), fase Sintesis (S), fase Gap 2 (G2), dan fase mitosis
(M) (King, 2000).
Pada fase G1, dimulai dari sel anak yang baru saja membelah. Pada
kebanyakan sel, fase ini membutuhkan waktu antara 3-4 jam, tetapi beberapa jenis
sel membutuhkan beberapa hari sampai beberapa bulan maupun tahun. Pada fase
ini terjadi sintesis RNA yang akan diikuti oleh sintesis protein sehingga
sitoplasma akan bertambah banyak dan sel akan tumbuh. Sintesis RNA awalnya
terjadi dalam inti sel dimana RNA terbentuk berdasarkan model DNA yang ada
16

dalam inti sel sehingga sifat-sifat RNA juga akan spesifik sesuai dengan spesies
makhluk hidup dan protein yang akan disintesis oleh RNA juga bersifat spesifik
(Junowo dan Juniarto, 2000).
Pada fase G1 sel dewasa akan masuk ke zona perbatasan (restriction
zone) yang menentukan apakah sel itu akan berhenti tumbuh atau tumbuh terus.
Sel yang berhenti tumbuh akan masuk ke fase G0. Sel-sel yang masuk ke fase G0
ada 2 golongan, yaitu stem sel yang dapat tumbuh lagi jika ada rangsangan
tertentu dan sel yang tetap tidak akan tumbuh sampai sel itu mati (Sukardja,
2000).
Selanjutnya sel yang akan tumbuh lagi masuk ke fase S. Pada fase ini
terjadi sintesis DNA yang berlangsung selama 5-8 jam. Pada fase ini juga
dibentuk enzim, protein, dan nucleotide triphosphate. Dalam fase ini, molekul-
molekul DNA akan terbentuk melalui proses duplikasi dari molekul DNA yang
sudah ada. Selain itu, pada fase ini juga terjadi pembentukan molekul histon yang
menjadi protein dasar kromosom (King, 2000).
Kemudian masuk ke fase G2 yang merupakan fase akhir dari
pertumbuhan sel. Pada fase ini sintesis RNA masih tetap berlangsung walaupun
sudah mulai berkurang dan berhenti pada saat pembelahan sel. Fase ini hanya
berlangsung 2-5 jam. Setelah itu, sel siap masuk ke dalam fase M dimana akan
terjadi pembelahan sel sehingga terbentuk 2 sel anak dari 1 sel induk (Slingerland
dan Tannock, 1998).
Regulasi primer checkpoint dari fase G1 terdiri dari 3 keluarga protein,
yaitu cyclins, cyclin-dependent kinases (CDK), dan cyclin-dependent kinase
inhibitors (CDKN). Gambaran molekul dari protein ini juga penting pada
checkpoint fase G2 dan M. Kinases mengubah fungsi biologis dari regulasi
protein melalui phosphorylation yang merupakan satu jalan umum dari fungsi
regulasi. Pengaktifan protein oleh cyclin dan penghambatan protein oleh CDKN
berperan dalam checkpoint ini (King, 2000).
Sebuah substrat penting dari kinase adalah protein hasil dari gen
retinoblastoma Rb. Protein ini menghambat proliferasi sel pada checkpoint G1.
Penekanan ini dilepaskan oleh phosphorylation protein dan didapatkan kembali
17

oleh dephosphorylation melalui phosphatases protein. Siklus


phosphorylation/dephosphorylation berpengaruh dalam pengaturan mekanisme
kecepatan proliferasi. Aktivasi CDK juga dihambat oleh CDKN, yang terdiri dari
Cyclins Inhibitory Protein/Kinase inhibitory protein (CIP/KIP) protein (meliputi
p21, p27, p57) dan keluarga Inhibitor of cyclin-dependent kinase 4 (INK4) yang
mengikat pada CDK4 dan CDK6 (Slingerland dan Tannock, 1998).
2.2.4. Apoptosis.
Apoptosis merupakan kematian sel melalui mekanisme genetik dengan
kerusakan atau fragmentasi kromosom atau DNA. Salah satu proses apoptosis
melalui beberapa jalur, yaitu aktivitas p53, jalur sitotoksik, disfungsi
mitochondria, dan kompleks Fas ligand. Apoptosis dipicu oleh aktivitas p53
karena sel mempunyai gen yang rusak karena dipicu oleh banyak faktor, seperti
bahan kimia, radikal bebas, maupun virus. P53 merupakan faktor transkripsi
terhadap pembentukan p21. Peningkatan p21 akan menghambat semua CDK dan
cyclin, dimana siklus sel tergantung ikatan kompleks antara CDK dan cyclin.
Apabila terjadi pengikatan p21, semua CDK akan terhambat, baik pada CDK-1
pada fase M maupun CDK4 dan CDK6 pada fase S, kemudian siklus sel akan
berhenti sehingga p53 akan memicu aktivitas Bax. Protein Bax akan menekan
Bcl-2 sehingga terjadi perubahan membran permeabilitas dari mitochondria yang
mengakibatkan pelepasan cytochrome C ke cytosol sehingga akan mengaktivasi
kaskade caspase. Caspase aktif ini akan mengaktifkan DNA-se yang akan
menembus membrane inti dan merusak DNA, sehingga DNA akan terfragmentasi
dan mengalami apoptosis (King, 2000; Slingerland dan Tannock, 1998).
2.2.5. Mitotic Index.
Pertumbuhan jaringan normal maupun jaringan tumor ditentukan oleh
keseimbangan antara pembelahan sel atau mitosis, dan kematian sel oleh karena
apoptosis. Interaksi antara pembelahan sel dan kematian sel bersifat dinamis. Pada
sel jaringan tumor mengalami dedifferentiated dan proliferasi sel yang lebih cepat
daripada jaringan normal. Aktivitas sel yang sedang berproliferasi dalam suatu
populasi sel dapat diukur dengan mitotic index (King, 2000; Sukardja, 2000).
18

Pada AJCC 7th edition tahun 2009 mitotic index telah masuk kedalam
staging pada melanoma maligna (Balch et al., 2009). Terlihat di tabel klasifikasi
tumor primer, sebagai berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi Tumor Primer
Klasifikasi Tebal (mm) Status ulkus/mitosis
T
T1 1,0 a: tanpa ulkus dan mitosis
<1/mm
b: dengan ulkus atau
mitosis 1/mm
T2 1,01-2,0 a: tanpa ulkus
b: dengan ulkus
T3 2,01-4,0 a: tanpa ulkus
b: dengan ulkus
T4 >4,0 a: tanpa ulkus
b: dengan ulkus
Perhitungan mitotic index dilakukan pada jaringan yang telah diwarnai
hemtoxylin-eosin yang kemudian dilihat dengan mikroskop dengan pembesaran
kuat 400x atau lensa objektif 40x yang mana setara dengan besar area 1 mm.
kemudian dihitung jumlah sel yang mengalami mitosis pada 5 sampai 10 lapangan
pandang mikroskop, setelah itu dirata-ratakan untuk mendapatkan angka mitotic
index per millimeter kuadrat (Paek et al., 2008; Attis dan Vollmer, 2007).
Ada beberapa macam kategori nilai mitotic index dalam penelitian
terdahulu. Pada suatu penelitian ada yang hanya mengkategorikan mitotic index
menjadi 2 kategori, yaitu absent dan present (Hale et al., 2013). Dalam AJCC
edisi ketujuh setidaknya 1/mm berpengaruh terhadap prognosis melanoma dan
juga menjadikan sebagai patokan <1/mm dan 1/mm sebagai klasifikasi tumor
primer (Balch et al., 2009). Pada penelitian lain dapat dilihat pembagian nilai
mitotic index setidaknya menjadi 3 kategori yang memilki nilai likelihood ratio
lebih tinggi dibanding yang hanya 2 kategori maupun 4 kategori, seperti <1/mm,
1-4/mm, >4/mm (Attis dan Vollmer, 2007).
19

2.3. Tumor Infiltrating Lymphocytes (TILs).


2.3.1. Mekanisme Pada Immune Surveillance.
Pada pasien yang mengalami immunosuppressed, seperti mereka yang
sedang menerima cangkok ginjal (kidney transplant) meningkatnya risiko
berkembangnya kanker kelenjar limfe (lymphomas). Jadi, ada hubungan antara
berkurangnya aktivitas imun dengan pembentukan kanker. Namun, ada bukti pada
binatang dan penelitian bahwa sistem imun tubuh bisa melacak sel yang tidak
normal dan menghancurkan, atau menghambat perkembangannya. Penjagaan atau
pengawasan sistem imun terhadap sel yang tidak normal ataupun kanker terlihat
pada terdapat tumor infiltrating lymphocytes (TILs) pada tumor dan regresi pada
melanoma maligna yang menjadi hipopigmentasi (King, 2000; Maio, 2012).
Sebelum aktifnya sistem imun baik itu limfosit sel B ataupun sel T
terhadap kanker, mereka membutuhkan sebuah tumor-associated antigens (TAA).
TAA biasanya protein yang bisa merangsang imun. Ada 4 kategori TAA, yaitu
TAA menghasilkan tumor-specific expression, TAA menghasilkan gen yang
mengalami point mutation, TAA merupakan antigen yang berdiferensiasi, atau
TAA yang diekspresi berlebihan oleh kanker. Melanoma maligna merupakan
keganasan pada manusia yang sering diinvestigasi untuk tumor immunology.
Melanoma maligna ditentukan sebagai tumor yang sangat kuat merangsang sistem
imun dan beberapa penelitian menggambarkan terdapat aktivitas TILs melawan
TAA. Kebanyakan TAA pada melanoma maligna adalah melanA/MART-1 dan
Melanoma Antigen Expression (MAGE) (King, 2000; Nagorsen et al., 2003).
TAA pada suatu tumor masih belum berjalan sistem imun jika belum
terdapat sesuatu yang mempresentasikan ke sel T. Jadi penting juga disini peran
MHC tapi pada tubuh manusia dikenal dengan Human Leukocyte Antigens
(HLA). Untuk tubuh dapat menghasilkan antibodi membutuhkan presentasi
antigen pada ikatan sel T ke reseptor dan yang berperan sebagai reseptor itu
merupakan MHC. MHC dibagi menjadi tiga kelas, yaitu MHC kelas I ditemukan
pada kebanyakan sel tubuh terutama yang sel berinti, MHC kelas II yang hanya
ditemukan pada antigen-presenting cells (APC) atau macrophages yang terdapat
pada langkah awal pembentukan antibodi, dan MHC kelas III ada pada sestem
20

komplemen dan cytokines seperti tumor necrosis factor- (TNF-) (Spaner,


Radvanyi, dan Miller, 1998).
Setelah dipresentasikannya TAA oleh MHC kelas I yang akan langsung
dikenali oleh sel T ataupun MHC kelas II yang akan dikenali sel T dimana akan
merangsang proliferasi sel B untuk membentuk antibodi. Pada sel T ada protein
tambahan untuk mengenali sel target yang dipresentasikan MHC kelas I atau
MHC kelas II. Sel T yang mengenali MHC I adalah CD8+ dan sel T yang
mengenali MHC II adalah CD4+. Sel tumor yang mengekspresikan MHC kelas I
maka sel T CD8+ yang berperan penting dalam penghancuran sel tumor (King,
2000; Houghton dan Guevara-Patio, 2004).
Mekanisme berikutnya yang bisa menghancurkan sel tumor dengan
terdapat interaksi sel Natural Killer (NK). Sel ini berasal dari mononuclear
granulocytic lymphocytes yang biasa ditemukan pada aliran darah dan infiltrasi
tumor. Sel NK bisa membunuh sel kanker yang terisolasi ke aliran darah ataupun
bisa keluar dari aliran darah dan menginfiltrasi jaringan tumor. Sel NK
berinteraksi dengan polisakarida pada sel kanker yang kemudian mengeluarkan
granula yang akan menghancurkan sel kanker (Spaner, Radvanyi, dan Miller,
1998).
Antibodi juga berperan dalam mekanisme penghancuran sel kanker
dengan mengikat pada TAA yang akan melisis sel. Namun, mekanisme ini jarang
ditemukan. Karena bisa saja yang diperlihatkan oleh sel NK dan sel T karena
tidak ada ciri khusus antibodi (King, 2000).
2.3.2. Pengukuran.
Pada preparat yang diwarnai dengan pewarnaan hematoxylin-eosin
kemudian dilihat TILs dengan mikroskop. Kemudian tentukan TILs dengan
ketentuan kategori oleh Clark et al.. yakni, absent, jika tidak ada limfosit di
jaringan tumor ataupun ada tetapi tidak menginfiltrasi tumor. Brisk, jika limfosit
menginfiltrasi tumor secara diffuse di jaringan tumor atau menginfiltrasi dasar
tumor yang vertical-growth. Nonbrisk, jika limfosit menginfiltrasi tumor hanya
focal tidak menyebar (Taylor et al., 2007; Lee et al., 2013). Ada juga yang
mengkategorikan TILs sebagai absent, jika tidak ada limfosit di jaringan tumor
21

ataupun ada tapi tidak menginfiltrasi tumor dan present, diambil pada tumor yang
memiliki TILs yang brisk dan nonbrisk (Reddy et al., 2014).

Gambar 2.1 Absent dan nonbrisk tumor infiltrating lymphocytes.


(Sumber : Busam, K. J., Antonescu, C. R., Marghoob, A. A. et al., 2001. Histologi
Classification of Tumor-Infiltrating Lymphocytes in Primary Cutaneous
Malignant Melanoma. Am J Clin Pathol 2001;115:856-8)
22

Gambar 2.2 Brisk tumor infiltrating lymphocytes. A, sebuah populasi padat


dari limfosit pada sel melanoma maligna (Hematoxylin eosin, x200). B,
keseluruhan invasive melanoma maligna secara menyebar diinfiltrasi oleh
limfosit (Hematoxylin eosin, x40). C, bagian advancing melanoma maligna
secara menyeluruh dikelilingi oleh band-like lymphocytic infiltrate
(Hematoxylin eosin, x40).
(Sumber : Busam, K. J., Antonescu, C. R., Marghoob, A. A. et al., 2001. Histologi
Classification of Tumor-Infiltrating Lymphocytes in Primary Cutaneous
Malignant Melanoma. Am J Clin Pathol 2001; 115: 856-860)

2.4. Hubungan Tumor Infiltrating Lymphocytes dengan mitotic index.


Pada suatu penelitian yang dilakukan untuk melihat apakah terdapat
hubungan mitotic index dengan terdapat atau tidak TILs. Ketika TILs
diidentifikasi, 8% dari pasien mempunyai mitotic index > 4 mm, dan 14% ketika
tidak terdapat TILs. Walaupun tidak mencapai hasil yang signifikan secara
statistik, kebanyakan cenderung menyarankan bahwa kemunculan TILs mungkin
23

berhubungan dengan mitotic index yang rendah dan meningkatkan survival rate
(Reddy et al., 2014).
Mitotic index yang rendah secara signifikan berpengaruh pada survival
rate yang lama sama halnya dengan nilai TILs yang tinggi. Dinyatakan dalam
penelitian ini, berkembangnya metastastic melanoma dinyatakan dengan
keseimbangan antara proliferasi yang tidak terkontrol (mitotic index) dan
kemunculan sistem imun (TILs). Namun belum jelas apakah proliferasi sel tumor
yang rendah pada pasien melanoma maligna memberikan kesempatan pada tubuh
untuk mengembangkan respon imun atau sistem imun yang mengontrol
proliferasi. Pasien dengan kemunculan imun pada lesi tumor cenderung
menstimulasi sel T untuk melawan tumor. Di samping itu, terlihat manfaat yang
besar dari kemoterapi pada pasien melanoma maligna yang memiliki nilai mitotic
index yang tinggi (Bogunovic et al., 2009).
24

2.5. Kerangka Teori.

Melanoma Regresi
Maligna Melanoma
Maligna

Proliferasi
Tumor menurun Sel Lisis
Infiltrating
Lymphocytes Mitotic Target Sel
Index

MHC kelas I CD8+


Tumor-
associated Sel T
Antigen
MHC kelas II CD4+
Sel B

Antibodi

Gambar 2.3 Kerangka Teori.

You might also like