You are on page 1of 5

Contoh Ijtihad

Penentuan I Syawal, Para ahli agama dan para ulama berkumpul dan bemusyawarah dengan
mengeluarkan argument-argumentnya untuk menetapkan jatuhnya tanggal 1 syawal. Dan
penentuan awal ramadhan. Pada setiap ahli dan para ulama mempunyai argument dan dasar
hukum yang berbeda maupun cara penghitungannya. Namun setelah bermusyawarah akhirnya
munculah kesepakatan untuk penentuan hari 1 syawal.

Pengertian Ijtihad
Ijtihad dalam bahasa Arab berasal dari kata jahada yang artinya bersunggung-sungguh
atau mencurahkan segala daya dalam berusaha (Othman Ishak, 1980:1). Secara terminologis,
ulama ushul mendefinisikan ijtihad sebagai mencurahkan kesanggupan dalam mengeluarkan
hukum syara yang bersifat amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci baik dalam Al-Quran
maupun Sunnah (Khallaf, 1978: 216).
Dalam hubungannya dalam hukum, ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-
sungguh dengan menggunakan segenap kemampuan yang ada, yang dilakukan oleh orang (ahli
hukum) yang memenuhi syarat untuk merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak
ada ketentuannya di dalam Al Quran dan Sunnah Rasulullah (Mohammad Daud Ali,
2011:116).

Metode-metode Ijtihad
Metode-metode yang umum dipergunakan adalah ishtihsan, al-maslahah al-
mursalah,istishhab, dan urf
1. Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut
ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau
kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa
atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk
meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan. Mujtahid yang dikenal banyak
memakai ishtihsan dalam meng-istinbath-kan hukum adalah Imam Abu Hanifah (Imam
Hanafi).
Istihsan berbeda dengan qiyas. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau
kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya.
Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan
persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua.
Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu
telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan
untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada
hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan
hukum itu. Dengan perkataan lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan
'illat dari dua peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling
tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.

2. al-Maslahatul Mursalah
Al-mashlahatul mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara' dan
tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika
dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Mashlahat mursalah disebut
juga mashlahat yang mutlak karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan atau kebatalannya. Jadi
pembentuk hukum dengan cara mashlahat mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi
manusia. Mujtahid yang dikenal banyak menggunakan metode al-maslahah al-mursalah adalah Imam
Hanbali dan Imam Malik.
Para ulama fikih yang mendukung konsep ini membagi jenis mashlahah kepada dua
macam, yaitu:
A. Dilihat dari segi tingkat kebutuhan manusia, mashlahah yang diakui syari'ah terdiri
dari tiga, macam yaitu:
(1) Dharuriyyah (bersifat mutlak), yaitu kemaslahatan yang menyangkut komponen kehidupannya
sendiri sebagai manusia, yakni hal-hal yang menyangkut terpelihara [a] agama, [b] diri (jiwa, raga dan
kehormatannya), [c] akal pikiran, [d] harta benda, dan [d] nasab keturunan. Kelima komponen tersebut biasanya
disebut al-kulliyyat al-khams atau al-dharuriyyat al-khams, yang menjadi dasar mashlahah (kepentingan dan
kebutuhan manusia).
(2) haajiyyah (kebutuhan pokok), yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan hal-
hal yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan
menolak halangan-halangan. Dan apabila hal-hal tersebut tidak terwujud, maka tidak sampai
menjadikan aturan hidup manusia berantakan atau kacau, melainkan hanya membawa
kesulitan-kesulitan saja.
(3) Tahsiniyyah (kebutuhan pelengkap) dalam rangka memelihara sopan santun dan tata krama dalam
kehidupan.
Penempatan masalah ini sebagai suatu sumber hukum sekunder,
menjadikan hukum Islam itu luwes dan dapat diterapkan pada setiap kurun waktu di segala
lingkungan sosial. Namun perlu dicatat ruang lingkup penerapan hukum mashlahah ini adalah
bidang mu'amalat, dan tidak menjangkau bidang ibadat, karena ibadat itu adalah hak prerogatif Allah
sendiri. Sedangkan objek kajiannya adalah kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya,
tetapi tidak ada satupun nash (Alquran dan Hadis) yang dapat dijadikan dasarnya. Prinsip ini disepakati
oleh kebanyakan pengikut madzhab fikih, demikian pernyataan Imam al-Qarafi ath-Thufi dalam
kitabnya Mashalihul Mursalah yang menerangkan bahwa mashlahat mursalah itu sebagai dasar untuk
menetapkan hukum dalam bidang mu'amalah dan semacamnya. Sedang dalam soal-soal ibadah
adalah Allah untuk menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan
lengkap hikmah ibadat itu. Oleh sebab itu hendaklah kaum muslimin beribadat sesuai dengan
ketentuan-Nya yang terdapat dalam Alquran dan Hadis.
Menurut Imam al-Haramain: Menurut pendapat Imam asy-Syafi'i dan sebagian besar
pengikut Madzhab Hanafi, menetapkan hukum dengan mashlahat mursalah harus dengan
syarat, harus ada persesuaian dengan mashlahat yang diyakini, diakui dan disetujui oleh para
ulama.
Para ulama fikih yang mendukung konsep ini mencatat tiga persyaratan dalam
penerapan hukum mashlahah ini, yaitu,
1. Mashlahah itu harus bersifat pasti, bukan sekadar anggapan atau rekaan, bahwa ia memang
mewujudkan suatu manfaat atau mencegah terjadinya madharrah (bahaya atau kemelaratan).
2. Mashlahah itu tidak merupakan kepentingan pribadi atau segolongan kecil masyarakat, tapi harus
bersifat umum dan menjadi kebutuhan umum.
3. Hasil penalaran mashlahah itu tidak berujung pada terabaikannya sesuatu prinsip yang ditetapkan oleh
nash syari'ah atau ketetapan yang dipersamakan (ijma').
B. Dilihat dari segi wilayah kebutuhan, maslahah yang diakui syari'ah terdiri atas dua
macam, yaitu:
[1] mashlahah 'ainiyah (kepentingan perorangan) dari setiap manusia, yang sifatnya umum yakni yang
merupakan kepentingan setiap manusia dalam hidupnya, seperti yang
digambarkan dalam uraian terdahulu tentang al-kulliyyat al-khams. Hal-hal ini
terkait dengan taklif yang berbentuk fardhu 'ain. Seperti misalnya yang menyangkut mashlahah harta
benda/kepentingan seorang manusia memiliki harta benda (untuk makan, pakaian dan tempat tinggalnya) hal
ini bersangkutan dengan fardhu 'ain yang dijelaskan dalam tuntunan Rasulullah saw. (thalab-u 'l-
halal faridhatun 'ala kulli muslim) yaitu kewajiban bekerja mencari rizki memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari. Seterusnya yang menyangkut mashlahah akal pikiran, bersangkutan dengan fardhu 'ain yang
dijelaskan dalam hadits lain yang berbunyi (thalb-u 'l-'ilmi faridhatun 'ala kulli muslim).
Begitu seterusnya menyangkut tiap mashlahah yang sifatnya dharuriyyah, jelas memperlihatkan
keterkaitannya dengan kewajiban perorangan sebagai imbalan adanya pengakuan
atas mashlahah dharuriyyah yang menimbulkan hak-hak mutlak perorangan bagi setiap manusia.
[2] mashlahah 'ammah yang menjadi kepentingan bersama masyarakat atau kepentingan umum. Ini
menyangkut hak publik dan berkaitan dengan fardhu kifayah.
Imam Rafi'i menjelaskan, fardhu kifayah itu adalah urusan umum yang
menyangkut kepentingan-kepentingan (mashalih) tegaknya
urusan agama dan dunia dalam kehidupan kita, di antaranya adalah:
[a] mencegah madarat kekacauan, seperti persengketaan dan peperangan, kekacauan
dan pertumpahan darah, serta kondisi anarkis, sehingga al-hajah ad-dharuriyyah kehidupan
menjadi terancam, bahkan hancur.
[b] merealisasikan kewajiban agama, baik untuk individu maupun kelompok sosial.
[c] mewujudkan keadilan yang sempurna
Diantara contoh mashlahat mursalah ialah usaha Khalifah Abu Bakar mengumpulkan Alquran
yang terkenal dengan jam'ul Alquran. Pengumpulan Alquran ini tidak disinggung sedikitpun oleh syara',
tidak ada nash yang memerintahkan dan tidak ada nash yang melarangnya. Setelah terjadi peperangan
Yamamah banyak para penghafal Alquran yang mati syahid ( 70 orang). Umar bin Khattab melihat
kemaslahatan yang sangat besar pengumpulan Alquran itu, bahkan menyangkut kepentingan agama
(dhurari). Seandainya tidak dikumpulkan, dikhawatirkan aI-Alquran akan hilang dari permukaan dunia
nanti. Karena itu Khalifah Abu Bakar menerima anjuran Umar dan melaksanakannya.
Demikian pula tidak disebut oleh syara' tentang keperluan mendirikan rumah penjara,
menggunakan mikrofon di waktu adzan atau shalat jama'ah, menjadikan tempat melempar jumrah
menjadi dua tingkat, tempat sa'i dua tingkat, tetapi semuanya itu dilakukan semata-mata untuk
kemashlahatan agama, manusia dan harta.
Dalam mengistinbatkan hukum, sering kurang dibedakan antara qiyas, istihsan dan mashlahat
mursalah. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian, yang pertama tidak ada nashnya, karena itu
belum ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua ada nashnya dan telah ditetapkan hukumnya. Pada
istihsan hanya ada satu peristiwa, tetapi ada dua dalil yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Dalil
yang pertama lebih kuat dari yang kedua. tetapi karena ada sesuatu kepentingan dipakailah dalil yang
kedua. Sedang pada mashlahat mursalah hanya ada satu peristiwa dan tidak ada dalil yang dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa itu, tetapi ada suatu kepentingan yang sangat
besar jika peristiwa itu ditetapkan hukumnya. Karena itu ditetapkanlah hukum berdasar kepentingan
itu.

3. Istishhab
'Istishhab menurut bahasa berarti "mencari sesuatu yang ada hubungannya." Menurut istilah
ulama ushul fiqh, ialah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau
kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain, ialah
menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu hingga ada dalil yang mengubah ketetapan hukum
itu.
Menurut Ibnu Qayyim, istishhab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari
suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan
hukumnya. Sedang menurut asy-Syathibi, istishhab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada
masa lampau dan dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
Dari pengertian istishhab yang dikemukakan Ibnu Qayyim di atas, dipahami bahwa istishhab itu
terbagai kepada dua macam;
i. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa
sekarang, kecuali kalau ada yang mengubahnya. Berdasarkan pengertian ini, istishhab
merupakan salah satu produk hukum.
ii. Menetapkan segala hukum yang ada pada masa sekarang, berdasarkan ketetapan hukum pada
masa yang lalu. Berdasarkan pengertian ini, istishhab merupakan proses penetapan hukum.
Contoh istishab:
1. Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada
di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan
laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan
A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah.
Berpegang dengan hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B,
adalah hukum yang ditetapkan dengan istishhab.
2. Menurut firman Allah SWT:

...
"Dia (Allah)lah yang menjadikan semua yang ada di bumi untukmu (manusia)." (al-Baqarah: 29)
Dihalalkan bagi manusia memakan apa saja yang ada di muka bumi untuk kemanfaatan dirinya, kecuali
kalau ada yang mengubah atau mengecualikan hukum itu. Karena itu ditetapkanlah kehalalan
memakan sayur-sayuran dan binatang-binatang selama tidak ada yang mengubah atau
mengecualikannya.

4. Urf
'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan
mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat
(adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara
'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum
dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah
biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada
sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut
syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli
dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan
dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran
saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus
jual beli, maka salam itu dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma'
dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang
menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan
hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata
pendapatnya sama. Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian
seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang
baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka
terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara
mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah
menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa
mengerjakannya dan memandangnya baik.

You might also like