Professional Documents
Culture Documents
Definisi Aqiqah
Aqiqah adalah kambing yang disembelih untuk untuk bayi pada hari ketujuh dari
kelahirannya.1 Sedangkan di dalam kitab Mausuah al-Fiqh al-Islami dijelaskan bahwa
aqiqah adalah hewan yang disembelih untuk kelahiran seorang anak. Dalam definisi lain
aqiqah adalah jamuan makanan yang dihidangkan oleh para ayah karena lahirnya seorang
anak.2
Al Azhari berkata dalam kitab Attahdhib: Abu Ubaid dan Al asmai serta yang
lainnya berkata, "Kata Aqiqah asli artinya adalah rambut yang ada di kepala seorang anak
ketika di lahirkan dan ia juga dinamakan syaat (kambing) yang di sembelih ketika waktu
aqiqah, karena rambut yang dicukur pada waktu dzabh (menyembelih ) itulah yang
dinamakan aqiqah.
Abu Ubaid berkata, "Diantara makna aqiqah yang lain adalah setiap yang dilahirkan
dari binatang, sedang rambut yang ada di kepala pada waktu dilahirkan disebut aqiqah."
Al Azhari berkata, "Makna dari kata adalah yang mempunyai arti pecah,
sedang rambut yang menempel pada kepala seorang anak itulah yang dinamakan aqiqah
karena ia dicukur dan di potong ( pada waktu aqiqah )."3
Hukum Aqiqah
Menurut Mazhab Dzahiri aqiqah hukumnya wajib, sedangkan menurut Abu
Hanifah aqiqah hukumnya bukan fardhu dan bukan sunnah, melainkan hukumnya
tathawu.4 Abu Bakar Jabir Al-Jazairi menjelaskan bahwa aqiqah hukumnya sunnah
muakadah bagi orang tua yang mampu melakukannya,5 karena Rosulullah bersabda,
Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya. Aqiqah disembelih untuknya pada
hari ketujuh, ia dinamai dan rambutnya digundul (pada hari ketujuh tersebut). (H.R. Abu
Daud dan An-NasaI)
Di dalam kitab Lajnah Daimah juga dijelaskan bahwa aqiqah hukumnya sunnah
muakadah dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan
kambing dan disembelih pada hari yang ketujuh,6 hal ini sebagaimana pendapat jumhur
Ulama.7
1
Imam Ahmad berkata, Anak tersebut tertahan dari memberi syafaat untuk kedua
orang tuanya. Sedangkan Ar-Rahn menurut bahasa adalah tertahan sebagaimana firman
Allah taala:
Tiap-tiap diri bertanggung jawab, atas apa yang telah diperbuatnya. (Q.S. Al-
Mudatsir: 3)
Secara dzahir hadist Rohinah bermakna terhalangi untuk berbuat kebaikan yang
dikehendakinya, namun hal itu tidak menjadikannya kelak diadzab di akhirat. Jika seorang
anak terhalangi untuk berbuat kebaikan karena kedua orang tuanya tidak melaksanakan
aqiqahnya, maka berarti dia telah kehilangan kebaikan disebabkan oleh kelalaian kedua
orang tuanya sebagaimana hubungan jima tatkala sang ayah membaca tasmiyah, maka
setan tidak bisa berbuat kemudharatan kepada anaknya, akan tetapi jika tidak membacanya
niscaya penjagaan tersebut tidak bisa di dapat. Dengan demikian ini menunjukkan bahwa
aqiqah lazim untuk dilaksanakan dan sebuah keharusan, sebagaimana pendapat Al-Laits
bin Saad Al-Hasan Al-Basri dan Ahlu Dhahir.8
Hikmah Aqiqah
Aqiqah disyareatkan memiliki hikmah diantaranya ialah sebagai bentuk syukur
seorang ayah kepada Allah taala atas nikmat anak dan merupakan wasilah untuk Allah
taala dalam menjaga dan mengasuhnya.9
Di antara faedah aqiqah yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam bukunya yang
berjudul Tuhfatul Maudud bahwa aqiqah sama halnya dengan berkurban untuk
mendekatkan diri kepada Allah taala, melatih diri untuk bersikap pemurah, dan
mengalahkan kekikiran yang ada dalam diri manusia. Memberikan jamuan makanan adalah
sebuah bentuk amal pendekatan diri kepada Allah dan aqiqah adalah membebaskan bayi
dari rintangan yang menghambatnya untuk dapat memberi syafaat kepada kedua orang
tuanya atau dari halangan untuk beroleh syafaat dari kedua orang tuanya.10
Syarat Hewan Aqiqah
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menjelaskan hewan aqiqah hendaknya selamat
dari cacat, sebagaimana hal tersebut berlaku untuk hewan yang dijadikan kurban. Karena
hukum aqiqah sama seperti hukum udhiyah dalam masalah umurnya, begitu juga hal-hal
yang menghalangi sahnya hewan kurban juga berlaku dalam aqiqah dan dianjurkan untuk
memilih sifat hewan aqiqah yang telah disunnahkan. Imam At-Tha berkata, Hewan jantan
lebih saya senangi dari pada betina." 11 Hal ini senada dengan perkataan jumhur ulama yang
mengatakan bahwa tidak boleh menyembelih hewan aqiqah kecuali dengan hewan yang
diperbolehkan dalam udhiyah.12 Adapun ketentuan kambing aqiqah sama seperti ketentuan
yang berlaku pada hewan kurban.
Hewan udhiyah atau Aqiqah yang disunnakan
Disunnahkan udhiyah atau aqiqah dengan domba yang gemuk, bertanduk dan jantan.
Ini merupakan kesepakatan ulama fikih.
Hewan udhiyah atau aqiqah yang dilarang hukumnya
Dilarang udhiyah atau aqiqah dengan hewan yang buta sebelah, hewan yang sakit,
hewan yang pincang serta hewan yang kurus. Ini merupakan kesepakatan ulama fikih.
Berhujah dengan sabda Nabi saw,
8
. Zadul Maad
9
. Minhajul Muslim: 286
10
. Atfalul Muslimin terjmh: 84
11
. Al-Mughni 22, 10
12
. Bidayatul Mutahid: 1/373
2
"Empat jenis hewan yang tidak boleh dijadikan kurban, hewan yang buta sebelah
yang jelas butanya, hewan yang sakit jelas sakitnya, hewan yang pincang yang jelas
pincangnya dan hewan yang kurus yang hilang sungsumnya."(H.R.Al-Khomsah,
Ahmad dan Ashabu sunnan dan dishahihkan oleh Tirmidzi)
Hewan udhiyah atau aqiqah yang hukumnya makruh
Makruh hukumnya udhiyah atau aqiqah dengan hewan yang kupingnya terbelah,
robek, dan yang terpotong. Begitu juga hewan yang diambil bulunya sebelum
dipotong, hewan yang matanya juling atau giginya sudah copot karena umurnya
sudah tua dan hewan yang berkudis yang banyak kudisnya.13
Para Ulama Mazahib telah sepakat bahwa tidak sah berkurban dengan hewan yang
buta sebelah mata, pincang, hewan yang sakit serta hewan yang kurus yang sungsumnya
telah hilang. Sedangkan mereka berselisih mengenai hewan yang pecah tanduknya dan
terbelah telinganya.14Jumhur Ulama berpendapat, jika cacat fisik yang terdapat pada hewan
kurban sangat parah, maka hal itu menghalangi ke-sah-an hewan kurban.15
Imam Abu Hanifah, Syafi'I dan jumhur ulama berpendapat bahwa sah hukumnya
berkurban dengan hewan yang pecah tanduknya secara mutlak sedangkan Imam Malik
memakruhkannya.16
13
. Fiqh Islami wa Adilatuhu: 3/617-624
14
. Majmu' Syarhul Muhadzab: 8/297
15
. Bidayatul Mujtahid: 4/77
16
. Nailul Author: 5/205
17
. Bidayatul Mutahid: 1/373
18
. Al-Lajnah Ad-Daimah Lilbuhutsi Ilmiyah Wal Ifta: 14/13
19
. Fiqh Sunnah: 328
3
"Hewan Aqiqah disembelih pada hari ketujuh, atau hari keempat belas,
atau hari kedua puluh satu." ( H.R. Al-Baihaqi) Hadist ini telah dishahihkan oleh
Muhammad Nashirudin Al- Albani, lihat hadist no.4132 di dalam shahihul jami'. 20
o Imam Malik berkata, Telah dikisahkan dari Ibnu Wahab bahwa beliau pernah
berkata, "Jika tidak dilaksanakan pada hari ketujuh yang awal dan yang kedua, maka
Imam Thimidzi telah menukil perkataan Ahlu Ilmi bahwa mereka menganjurkan
untuk melaksanakan aqiqah pada hari ketujuh, jika tidak mungkin untuk dilaksanakan
pada hari tersebut, maka pada hari keempat belas, jika tidak mungkin lagi, maka pada
hari keduapuluh satu. Sedangkan hujah yang memperkuat pendapat ini sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya dari Nabi
saw beliau bersabda,
Aqiqah disembelih pada hari ketujuh, keempat belas dan kedua puluh satu. (H.R.
Al-Baihaqi)21 Hadist ini telah dishahihkan oleh Muhammad Nashirudin Al-
Albani, lihat hadist no.4132 di dalam shahihul jami'.22
o Al-Albani berkomentar di dalam Silsilah asshahih, tentang hadist,
"Adalah Nabi mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diutus menjadi seorang nabi."
Beliau berkata, "Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani kadang kala menguatkan
hadist ini dan pada lain waktu melemahkannya. Dan telah dinukil di dalam "al-Fath";
9/594-595 dari Imam Ar-Rafi'I bahwa hendaknya aqiqah tidak diakhirkan hingga usia
baligh, jika telah baligh, maka telah gugur kewajiban orang yang mengaqiqahinya,
akan tetapi jika anak tersebut mau melaksanakan aqiqah untuk dirinya sendiri maka
silahkan melaksanakannya. Sebagian salaf banyak yang mengamalkan pendapat ini,
dan telah diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah di dalam Musannaf 8/235-236 dari
Muhammad Sirin beliau berkata, "Jika aku mengetahui bahwa dia (bapakku) belum
mengaqiqahi saya, niscaya saya akan melaksanakan aqiqah untuk diri saya sendiri
dan isnadnya shahih. Ibnu Hazm menyebutkan di dalam Al Muhalla 8/322 dari jalur
Ar-Rabi' bin shobih dari Hasan Al-Basri beliau berkata, "Jika kamu belum diaqiqahi,
maka aqiqahilah dirimu jika kamu laki-laki." Isnad ini Hasan.23
o Abu Isa berkata, "Kalangan ahlu ilmu menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh,
apabila belum siap untuk melasanakannya maka pada hari ke empat belas, jika belum
juga maka pada hari ke dua puluh satu."24
o Imam Syafii berkata, Maksudnya aqiqah tidak diakhirkan dari hari ketujuh sebagai
bentuk ikhtiyar, jika mengakhirkan sampai anak tersebut baligh, maka hukum aqiqah
gugur dari pihak yang mengaqiqahi, akan tetapi jika ingin mengaqiqahi dirinya
sendiri maka hukumnya boleh.25
o Sedangkan mazhab Hambali dan jamaah ahli fikih berpendapat bahwa tetap
dianjurkan untuk melaksanakan aqiqah meskipun sudah berlalu satu bulan atau satu
tahun atau lebih dari hari kelahiran sang bayi yaitu dengan mengambil keumuman
hadist, yang diriwayatkan Baihaqi dari Anas ra bahwa Nabi saw melaksanakan
aqiqah untuk dirinya setelah bitsah.26 Yaitu;
20
. Shahih wa dhoif sunan At-Thirmidzi: 16/228
21
. Nailul Authar: 156
22
. Shahih wa dhoif sunan At-Thirmidzi: 16/228
23
. Al Silsilah As -Shahihah: 6/225
24
. Shahih wa Dhoif Sunan At-Thirmidzi: 4/22
25
. Al-Lajnah Ad-Daimah Lilbuhutsi Ilmiyah Wal Ifta: 8/156, Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As-
Sayyid Salim, Maktabah At-Tauqifuiyah, II/383
26
. Al-Lajnah Ad-Daimah Lilbuhutsi Ilmiyah Wal Ifta: 14/26
4
Bahwasahnya Nabi beraqiqah untuk dirinya sendiri setelah ia diutusnya menjadi
27
Nabi (HR Al Baihaqi )
o Sedangkan untuk bayi yang berumur satu tahun setengah kemudian meninggal dan
belum sempat di aqiqahi, maka mengakhirkan pelaksanaan aqiqah hukumnya sah,
namum hal ini menyelisihi waktu yang disunnahkan.28
o Dalam madzhab Hambali disebutkan bahwa hak seorang ayah agar berusaha
mengaqiqahi sang anak meskipun dalam kondisi sempit, sehingga dibolehkan
baginya untuk berhutang terlebih dahulu jika tidak memberatkan baginya untuk
melunasinya-demi melaksakanan sunnah. Begitu pula pendapat Imam Ahmad. Akan
tetapi menurut madzhab Syafi'iyah bahwa aqiqah dilaksanakan jika dalam kondisi
lapang.29
27
. Bidayatul Mujtahid 1/339
28
. Al-Lajnah Ad-Daimah Lilbuhutsi Ilmiyah Wal Ifta: 14/27
29
. Shahih Fiqh Sunnah, 2/382
30
. Minhajul Muslim: 287
31
. Atfalul Muslimin terjmh: 89
32
. Atfalul Muslimin terjmh: 84
33
. Minhajul Muslim: 287
5
Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwasanya nabi meng-aqiqahi Hasan dan
Husein dan beliau bersabda, "Ucapkanlah:
"Dengan nama Allah, ya Allah untuk-Mu dan bagi-Mu aqiqah fulan." (HR. Al-
Baihaqi dengan sanad hasan)34
"Semoga Allah memberkahimu dan membalasmu dengan kebaikan dan engkau di beri
seperti itu dan balasanmu dilipatgandakan"35
34
Fiqh Islam Wa Adillatuhu, 3/639
35
Al-Adzkar Imam Nawawi 413, Hisnul Muslim terj. 129
36
. Lajnah Daimah:14/24
37
. Lajnah Daimah: 14/26
6
Berilah sepotong kaki dari aqiqah itu kepada suku anu, makanlah dan berilah makan,
dan jangan menghancurkan tulang darinya ( aqiqoh )."
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Atho Anggota-anggota badan sembelihan dipotong
dan tidak dihancurkan menjadi kecil- kecil .
Adapun hikmah dalam masalah ini adalah :
1) 1. Menampakkan kemuliaan memberikan makan kepada para tetangga, yaitu
dengan memberikan potongan- potongan secara sempurna dan berukuran besar,
yang tulangnya belum dipecahkan dan belum dikurangi dari anggota badannya .
2) Sebagai harapan akan keselematan dan kesehatan akan tubuh anak yang dilahirkan,
karena aqiqah simbol dari pengorbanan yang dikeluarkan bagi anak yang
dilahirkan.38
Namun di dalam Shahih Fiqh Sunnah disebutkan bahwa tidak benar pendapat akan
larangan menghancurkan tulang hewan aqiqah dan tidak ada dalil yang menunjukkan
makruhnya hal tersebut.39Begitu pula menurut Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz
dalam majmu' fatawanya.
Ibnu Hazm berkata, "Hadits tentang larangan ini adalah Mursal, sedangkan hadits
Mursal tidak bisa dijadikan hujjah."40
Wallahua'lam bis Showab
Referensi:
1. Al-Mughni, Ibnu Qudamah, Hajr, Kairo, Cet; II, Th; 1413 H/1992 M
2. Zadul Ma'ad, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, Cet; III, Th;
1419 H/1998 M
3. Majmu Syarhul Muhadzab, Imam Nawawi, Darul Fikri, Beirut, Cet; I, Th; 1417 H/1996
M
4. Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd Al-Qurthubi An-Andalusi, Darul Kutub Al-'Ilmiyah,
Beirut, Cet; I, Th;1416 H/1996 M
5. Al-Lajnah Ad-Daimah Lilbuhutsi Ilmiyah wal Ifta, Darul, Riyadh,Cet; III, Th;
1419H/1998 M
6. Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Darul Fikr, Damsyiq, Cet, III, Th;
1404 H/1984 M
7. Majmu Fatawa, Syaikh Abdul Azis bin Abdullah Bin Bazz, Cet; III, Th; 1423 H/2003 M
8. Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maram, Hasan Sulaiman An-Nuuri 'Ulwi 'Abbas al-
Maiki, Daul Fikr, Beirut, Th; 1422 H/ 2002 M
9. Al-Adzkar, Imam Nawawi, Darul Fikr, Damsyiq, Cet; I, Th;1403 H/1983 M
10. Hisnul Muslim terj, Syaikh Sa'id bin Wahf Al-Qahthani, Cet;III, Th; 1427 H/2007 M
11. Tarbiyatul Aulad,
12. Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Al-Maktabah At-
Tauqifiyah,
13. As-Salsabil Fi Ma'rifati ad-Dalil, Syaikh Shalih bin Ibrahim Al-Bulaihi, Maktabah
Riyadh, Cet; I, Th; 1417 H/1996 M
14. Manarus Sabil, Syaikh Ibrahim bin Muhammad Salim bin Dhawayyan, Maktabah Al-
Ma'arif LinnasyrWa At-Tauzi', Riyadh, Cet; I, Th; 1417 H/1996M
15. Tahdzibut Tahdzib, Ibnu Hajar Al-Asqalani,
38
Tarbiyatul Aulad : 1 /92
39
Shahih Fiqh Sunnah, 2/384
40
As-Salsabil Fi Ma'rifati ad-Dalil 2/310
7
16. Subulus Salam,
17. Atfalul Muslimin terj, Jamal Abdurrahman, Irsyad Baitus Salam, Cet;X, Th; 1425
H/2005 M
18. Nailur Author, Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Darul Fikr
19 Mausuah al-Fiqh al-Islami,
20. Minhajul Muslim, Abu Bakar Jabir Al-Jazairi