You are on page 1of 21

4

BAB 2

KAJIAN TEORITIS

2.1 Anatomi dan Embriologi Telinga Luar

2.1.1 Anatomi Daun Telinga

Gambar 2.1 Anatomi skematis daun telinga

Pinna atau daun telinga merupakan corong terbentuk dari tulang rawan
yang simetris bilateral yang membantu memfokuskan suara serta menentukan
arah datangnnya suara. Pinna terdiri atas mangkuk konka, tragus di bagian
anterior, antiheliks di bagian superior dan posterior, serta antitragus di bagian
inferior. Heliks memanjang dibagian superior dan posterior membentuk helical
crus pada lobulus, mengelilingi antiheliks, konka, dan antitragus. Diantara heliks
dan anti heliks terdapat scaphoid fossa. Fossa triangular terletak diantara crura
superior dan inferior dari antiheliks. Pinna tertambat pada tulang kranial oleh
5

kulit, tulang rawan, otot-otot auricular, serta ligamen-ligamen ekstrinsik (Lalwani,


2007).

2.1.2 Anatomi Liang Telinga

Gambar 2.2 Anatomi liang telinga

Liang telinga memiliki panjang sekitar 2,5 cm dan diameter sekitar 0,6 cm.
Liang telinga sedikit berbentuk huruf S (Moller, 2006). Sepertiga lateral liang
telinga merupakan tulang rawan sedangkan duapertiga medialnya merupakan
tulang keras (Maqbool, 2000). Bagian tulang rawan dari liang telinga ini
berbentuk relatif bulat pada individu yang masih muda dan sejalan dengan
pertambahan usia akan berubah menjadi lebih oval (Moller, 2006). Bagian tulang
rawan ini memiliki celah-celah kecil yang disebut fissura santorini yang dapat
berperan sebagai jalan penyebaran infeksi dari liang telinga ke kelenjar parotis
dan mastoid. (Shrivastav, 2014). Struktur tulang keras liang telinga dibentuk oleh
bagian timpanik dan squamous dari tulang temporal.
6

Liang telinga di selimuti oleh kulit yang menghasilkan serumen (ear wax)
dan memiliki rambut di permukaannya. Tidak ada kelenjar keringat di liang
telinga. Karena letaknya yang terlindung, kulit liang telinga tidak bersentuhan
atau bergesekan secara alami sebagaimana kulit yang ada di permukaan tubuh.
Sehingga untuk membersihkannya di butuhkan mekanisme pembersihan sendiri
untuk menyingkirkan sel-sel mati dan serumen. Ada dua jenis sel yang berperan
dalam sekresi serumen, yaitu sel sebacea yang letaknya berdekatan dengan follikel
rambut dan sel seruminous penghasil serumen (Moller, 2006).

Kulit di liang telinga memiliki persarafan yang tidak biasa. Reseptor


sensorisnya dipersarafi oleh empat saraf kranial (CN) yang berbeda, yaitu bagian
mandibular dari nervus Trigeminus (CN V), nervus facial (CN VII), nervus
glossofaringeal (CN IX), dan cabang auricular dari nervus vagus (CN X), yang
mempersarafi dinding posterior dari liang telinga dan membran timpani. Cabang
saraf ini merupakan bagian dari Arnolds nerve, yang juga menerima kontribusi
persarafan dari nervus glossofaringeus sehingga beberapa individu akan
mengalami refleks batuk saat kulit dari bagian dalam liang telinga tersentuh.
Persarafan oleh nervus glossofaringeus dan nervus vagus juga mengakibatkan
timbulnya efek pada jantung dan sirkulasi darah saat ada stimulasi mekanis pada
liang telinga, sehingga pada individu-individu yang sensitif dapat pingsan saat
telinganya dibersihkan dari serumen (ear wax) (Moller, 2006).

Telinga luar membantu transimisi suara menjadi lebih efisien mencapai


membran timpani dengan berperan sebagai resonator fungsional. Kontribusi
akustik dari telinga luar adalah meningkatkan transmisi serta frekuensi suara.
Kedalaman serta bentuk liang telinga yang berkelok-kelok melindungi membran
timpani serta struktur di telinga tengah dan telinga dalam. Rambut di lateral liang
telinga luar mencegah masuknya benda asing berukuran kecil serta debris-debris
dari luar (Lalwani, 2007).
7

2.1.2 Anatomi Membran Timpani

Membran timpani adalah sebuah membran tipis yang sedikit oval yang
mengakhiri liang telinga. Berbentuk kerucut dengan tinggi 2 mm serta apeks
yang mengarah kedalam. Terlihat dari liang telinga luar, membran ini sedikit
cekung dan digantung oleh cincin tulang. Secara normal membran ini berada pada
tegangan tertentu. Luas permukaan nya kira-kira 85 mm2. Bagian utama dari
membran timpani adalah pars tensa dengan area kira-kira seluas 55 mm2, yang
tersusun atas serat-serat sirkuler yang saling tumpang tindih. Serat-serat ini
tersusun atas kolagen dan membentuk membran kaku yang ringan sehingga ideal
untuk mengubah gelombang suara menjadi getaran pada tulang malleus. Bagian
lebih kecil dari membran timpani adalah pars flaccida, terletak diatas manubrium
malleus, lebih tebal dari pada pars tensa dan serat-seratnya tidak tersusun baik
seperti serat-serat kolagen pada pars tensa. Membran timpani di lapisi oleh selapis
sel epidermis, yang merupakan lanjutan dari liang telinga. Bagian luar membran
timpani ini bermigrasi dari tengah ke bagian luar dan memindahkan luka kecil dan
parut serta mentransport benda asing kecil keluar ke liang telinga. Lubang kecil
pada membran timpani biasanya akan sembuh spontan (Moller, 2006).

2.1.3 Pembuluh Darah dan Aliran Limfe

a. Pembuluh Darah

Arteri aurikular posterior dan cabang auriculotemporal arteritemporar


superfisial yang berasal dari arteri karotis eksterna memperdarahi aurikula dan
liang telinga lateral. Cabang dari arteri maksilaris dibagian dalam akan
memperdarahi bagian medial liang telinga dan permukaan luar dari membran
timpani. Vena aurikula posterior dan temporal superfisial akan menerima darah
balik dari liang telinga luar. Vena aurikula posterior akan bergabung dengan sinus
sigmoid (Lalwani, 2007).
8

b. Aliran Limfe

Cairan limfe dari dinding anterior dan superior liang telinga luar dan
tragus akan di alirkan oleh nodus limfatik preaurikular. Nodus limfatik infra-
aurikular akan mengalirkan cairan limfe dari heliks dan bagian inferior dari liang
telinga luar, sementara konka dan antiheliks didrainase oleh nodus mastoid
(Lalwani, 2007).

2.1.4 Embriologi

Gambar 2.3 Skema perkembangan embriologi telinga luar

Telinga mamalia terbagi menjadi tiga komponen berbeda yang saling


berhubungan. Komponen-komponen tersebut meliputi telinga luar, tengah, dan
dalam, yang berbeda asal embrilogisnya. Telinga luar terdiri atas pinna, liang
telinga luar, dan membran timpani (Lalwani, 2007).
9

Telinga luar secara embriologis di turunkan dari arkus brachial pertama


dan kedua serta melibatkan komponen ektodermal dan endodermalnya. Bagian
mesoderm dari arkus tersusun dari paraxial mesoderm dan sel-sel neural crest.
Sel-sel neural crest ini berasal dari hindbrain dan memiliki implikasi untuk
regulasi dari pembetukan hindbrain dan segmentasi sebagaimana pembentukan
telinga luar (Lalwani, 2007).

Arkus pertama akan berkembang menjadi pinna anterior dan liang telinga
luar, tympanic ring, serta porsi superior dari malleus dan incus. Arkus kedua akan
berkembang menjadi pinna posterior, porsi inferior dari malleus dan incus, serta
stapes. Pinna terbentuk dari perubahan bentuk dan penyatuan bertahap komponen-
komponen auricular hillocks, yang berkembang dari arkus pertama dan kedua
(Lalwani, 2007).

Pembentukan liang telinga luar merupakan hasil dari pertumbuhan sebuah


lempeng epitelial solid dari sel-sel ektoderm, meatal plug, yang akhirnya akan
mengalami rebsorbsi dan hanya menyisakan jaringan yang melapisi liang telinga.
Saluran liang telinga di lapisi oleh sel-sel epitel yang berasal dari ektoderm.
Membran timpani mulai berkembang pada usia kehamilan 28 minggu dan
berkembang dari bagian paling medial meatal plug, yang akan menjadi lapisan
eksternal membran timpani (Lalwani, 2007).

2.2 Serumen

Serumen merupakan gabungan dari sekresi kelenjar sebaseous dan


kelenjar serumenous di liang telinga luar. Selain itu juga mengandung epitel yang
terlepas serta partikel-partikel debu (Maqbool, 2000). Serumen tersusun dari
lapisan corneocytes yang mengalami desquamasi (pengelupasan), yang berasal
dari bagian permukaan dan bagian dalam liang telinga luar, bercampur dengan
sekresi kelenjar (Guest, 2004).

Ada dua jenis serumen yaitu basah dan kering. Tipe kering umumnya di
temukan pada orang-orang oriental dan mongoloid, sedangkan serumen basah
10

umumya ditemukan pada orang-orang kaukasia, afrika dan hispanik. Jenis


serumen secara genetis berkaitan dengan kromosom 16 yang telah diidentifikasi
sebagai lokus pembawa sifat serumen (Moller, 2006).

Analisis khromatografik terhadap sampel serumen basah dan kering


menunjukkan bahwa tipe serumen berhubungan dengan perbedaan kuantitas serta
komposisi lipidnya. Serumen basah dan kering mengandung squalene, trigliserida,
asam lemak bebas, dan kolesterol. Selain itu, substansi non lipid seperti steryl
esters dan wax esters juga dapat ditemukan di serumen kering (Roeser, 1997)

Produksi serumen sangat di butuhkan, sebagai konsekuensi dari anatomi


unik liang telinga. Liang telinga adalah satu-satunya cul-de-sac yang terbentuk
dari lapisan stratum korneum di tubuh manusia. Sehingga erosi fisik tidak akan
bisa secara rutin membersihkan atau mengeluarkan lapisan stratum korneum
selama proses turn over berlangsung. Serumen akan memfasilitasi proses
pembuangan sisa-sisa stratum korneum yang terlepas (Guest, 2004).

Fungsi serumen adalah untuk membersihkan serta memberikan lubrikasi


pada liang telinga. Selain itu, serumen juga melindungi liang telinga dari bakteri,
jamur, dan seranga. Serumen di bentuk di dalam liang telinga dan ketika serumen
bermigrasi ke pintu keluar liang telinga, dia membawa partikel debu, benda asing,
dan partikel-partikel kecil lainnya yang melekat keluar bersamanya. Fungsi kedua
dari serumen, yaitu lubrikasi, terjadi karena sebum yang di bentuk di liang telinga
memiliki konsentrasi lipid yang tinggi, dengan sifat hidrofobiknya serumen dapat
bertindak sebagai emollient (pelembab) alami bagi kulit liang telinga (Roeser,
1997).

Penelitian Chai dan Chai (dalam Roeser, 1997) menemukan bahwa


serumen efektif melawan beberapa jenis bakteri tertentu. Mereka menujukkan
bahwa serumen memiliki efek bakterisidal terhadap beberapa strain bakteri yang
mereka teliti. Viabilitas Haemophilus influenzae, Escherisia coli K-12, dan
Serratia marcescens berkurang lebih dari 99%. Sedangkan untuk Pseudomonas
aeruginosa dan Staphylococcus aureus berkurang 30%-80%. Stone dan Fulghun
11

(dalam Roeser 1997) mengemukakan bahwa suspensi serumen pada media yang
telah dibuffer dapat menghambat pertumbuhan bakteri tertentu (Staph. aureus,
Staph. epidermidis, Strep. pyogenes, Streptococcus sp L22, E. coli, Streptococcus
mascescens, Propionibacterium acnes, Corynebacterium spp JOM 125 dan 138).
Selanjutnya berdasarkan penelitian Osborne dan Baty (dalam Roeser 1997) dapat
disimpulkan bahwa serumen dapat memberikan proteksi bakterisidal terhadap
strain bakteri tertentu. Keberadaan serumen di liang telinga bertindak sebagai
barier berminyak yang mencegah masuknya mikroorganisme kedalam kulit dan
memiliki substansi antimikroba yang meliputi lysozyme, IgA, dan asam lemak.

Penumpukan serumen di liang telinga yang meluas dan menimbulkan


sumbatan merupakan penyebab umum terjadinya gangguan pendengaran.
Serumen juga dapat menutupi membran timpani, yang dapat menurunkan
kemampuan pendengaran. Individu yang mencoba membersihkan liang telinga
mereka dengan kapas telinga akan mendorong serumen masuk lebih dalam ke
liang telinga. Serumen seharusnya mengering dan meninggalkan liang telinga.
Serumen yang di sekresikan memiliki sifat anti mikroba dan anti jamur serta dapat
berperan sebagai pengusir serangga sehingga tidak memasuki liang telinga
(Moller, 2006).

Ada dua mekanisme pembersihan alami dari serumen di liang telinga luar
yaitu: (1) mekanisme pembersihan sendiri yang melibatkan migrasi epitel lateral
di liang telinga luar, dan (2) pergerakan rahang (Shrivastav, 2014).

Lapisan luar dari kulit (epidermis) di liang telinga, bersama dengan lapisan
epidermis membran timpani akan bermigrasi keluar. Migrasi ini membantu
penyemuhan cedera kecil serta memindahkan bekas luka keluar bersamaan
dengan serumen meninggalkan liang telinga. Kegagalan dalam proses migrasi ini
akan menimbulkan beberapa efek pathologis seperti cholesteatoma dan juga
dapat berperan dalam timbulnya inflamasi di liang telinga (Moller, 2006).
12

2.3 Pembersihan Telinga

2.3.1 Mekanisme Pembersihan Alami Liang Telinga

Mekasisme pembersihan ini terjadi sebagai hasil dari migrasi sel epitel
serta pergerakan rahang saat mengunyah dan berbicara. Serumen dibentuk di liang
telinga dan ketika serumen bermigrasi menuju ke pintu keluar liang telinga,
benda-benda asing seperti kotoran, debu, atau pertikel-partikel berukuran kecil
yang melekat padanya akan ikut terbawa keluar meninggalkan liang telinga.
Dalam hasil studi yang di kemukakan oleh Alberti (dalam Roeser, 1997) tentang
mekanisme seperti conveyer belt ini yang menghitung kuantitas pertumbuhan,
migrasi, dan desquamasi dari kulit yang melapisi membran timpani dan bagian
dalam liang telinga pada 62 subjek manusia. Setiap minggu perkiraan kecepatan
dan pola migrasi di buat dengan membubuhkan dye spots pada bagian atas
gendang telinga pada setiap subjek menggunakan sketsa buatan tangan dan foto
serial. Migrasinya terlihat sertrifugal dari umbo menyebar ke semua kuadran
membran timpani. Di dekat umbo, kecepatan migrasi nya setara dengan kecepatan
pertumbuhan kuku jari tangan manusia. Kecepatan migrasi meningkat setelah
marker bergerak menjauh dari umbo, dan daerah yang migrasi nya paling cepat
adalah dinding anterior liang telinga luar.

Pergerakan rahang membantu melepaskan debris dari lapisan epitel.


Selama berbicara dan mengunyah, rahang berotasi secara vertikal dan horizontal
dengan sendi temporomandibular sebagai pusat porosnya, sehingga
mempengaruhi bagian inferior liang telinga. Sehingga debris yang melekat pada
dinding liang telinga terkelupas (Edwards and Harris, dalam Roeser 1997).

2.3.2 Penanganan dan Pembersihan Serumen

Pada pelayanan kesehatan primer, ada dua pendekatan untuk


membersihkan serumen yang menyumbat, yaitu irigasi dan kuretasi. Kedua
pendekatan tersebut dipilin berhubungan dengan manfaat dan resiko masing-
masing. Penggunaan kuretase akan memudahkan klinisi untuk melihat tindakan
dan prosedur yang sedang dia lakukan serta mengurangi penggunaan air sehingga
13

mengurangi resiko infeksi. Namun bagaimanapun, penggunaan kuretase


membutuhkan skill yang memadai. Disisi lain, irigasi lebih sederhana, dan
menggunakan lebih sedikit peralatan serta memiliki resiko yang rendah untuk
menimbulkan trauma gendang telinga. Oleh karena itu, irigasi cenderung
dijadikan pilihan terapi pada serumen prop di pelayanan kesehatan primer (Guest,
2004).

Dalam sebuah survei terhadap dokter umum, 95% dokter menggunakan


teknik syringing (irigasi) untuk membersihkan sumbatan serumen. Empat persen
menggunakan jobson horne probe, dan sisanya langsung merujuk pasien ke rumah
sakit (Guest, 2004).
Pembersihan liang telinga dapat dilakukan secara manual, dengan irigasi,
zat serumenolitik, atau gabungan irigasi dan serumenolitik. Pembersihan manual
melibatkan penggunaan pengait logam atau plastik. Pembersihan manual tidak
menimbulkan paparan kelembaban pada liang telinga sehingga mengurangi
resiko terjadinya infeksi. Pembersihan manual sering lebih cepat dan memberikan
akses visual langsung pada prosedur yang dilakukan. Untuk meminimalisasi
resiko trauma pada liang telinga luar atau membran timpani, dibutuhkan
kerjasama yang baik dari pasien serta keterampilan klinis yang lebih tinggi
(McCarter et al., 2007).
Irigasi dapat dilakukan sendirian, atau didahului dengan terapi
serumenolitik. Ada metode irigasi yang berbeda yang dapat dilakukan yaitu
menggunakan syringe dan oral jet irrigator. Kedua metode ini dapat menimbulkan
trauma pada telinga termasuk perforasi membran timpani. Resiko ini dapat
dikurangi dengan menggunakan ear irrigator tip (Hydro Med, Sherman Oaks,
calif), yang mencegah air secara langsung menghantam membran timpani dan
mengurangi tekanan yang dihasilkan. Terlepas dari metode yang digunakan, kita
perlu menghangatkan agen atau cairan yang kita gunakan untuk irigasi sesuai
dengan temperatur tubuh untuk mencegah caloric reflex (McCarter et al., 2007).
Penarikan lembut telinga luar kearah atas dan belakang perlu dilakukan
untuk meluruskan liang telinga. Air sebaiknya dimasukkan dengan perlahan-lahan
14

dan liang telinga harus diperiksa secara intermitten untuk melihat proses
pembesihan serumen. Irigasi sebaiknya tidak dilakukan jika ada perforasi
membran timpani atau terdapat myringotomy tube yang terpasang. Selain itu,
pada pasien dengan riwayat penyakit telinga tengah, operasi telinga, terapi
radiasi, otisis eksterna, benda asing yang tajam di liang telinga, atau vertigo
sebaiknya tidak dilakukan irigasi (McCarter et al., 2007).

Gambar 2.4 Irigasi telinga

Serumenolitik bekerja dengan memperlunak serumen dan melubrikasi


liang telinga, sehingga dapat memfasilitasi pembersihan serumen dari liang
telinga dan memecah serumen. Ada banyak agen yang telah dicoba dan
digunakan meliputi air, olive oil (minyak zaitun), hidrogen peroksida (H 2O2),
asam asetat, sodium bikarbonat, dan produk-produk lain yang ada di pasaran.
Tidak ada satupun dari agen-agen tersebut yang dapat melarutkan serumen secara
total (Oron et al., 2010). Dan tidak ada satupun serumenolitik yang lebih efektif
dibandingkan serumenolitik yang lain (Roland et al., 2008).
Pada akhirnya kita juga perlu memberikan edukasi kepada pasien untuk
mencegah faktor prilaku yang dapat memicu timbulnya serumen prop. Sebagai
contoh, penggunaan kapas telinga untuk membersihkan liang telinga. Dalam
sebuah penelitian dikemukakan bahwa 75% sumbatan serumen berhubungan
dengan aktifitas membersihkan telinga dengan kapas telinga. Sudah jelas bahwa
bagaimanapun penggunaan kapas telinga untuk membersihkan liang telinga tidak
dibutuhkan (Guest, 2004).
15

2.4 Morbiditas

Menurut Jung dan Jinn (dalam Olaosun, 2014), telinga memiliki


mekanisme pembersihan alamiah pada liang telinga luar sehingga upaya
pembersihan telinga sebenarnya tidak terlalu di butuhkan. Selain itu, Reiss
(dalam Olaosun, 2014) mengungkapkan bahwa kebiasaan ini juga dapat
menimbulkan bahaya serta sebagai faktor predisposisi dari beberapa penyakit
telinga yang umum. Otitis eksterna, infeksi telinga luar, serumen prop, dengan
morbiditas yang berkaitan seperti penurunan pendengaran, serta trauma pada
telinga dan membran timpani adalah masalah yang umum di alami oleh orang
yang melakukan pembersihan telinga sendiri.

Gambar 2.5 Serumen terdorong lebih dalam akibat penggunaan cotton bud.

2.4.1 Otitis Eksterna (OE)

Otitis eksterna akut (OE) di defenisikan sebagai inflamasi diffuse dari


liang telinga luar, yang juga dapat melibatkan pinna atau membran timpani. Onset
gejalanya cepat meliputi gejala dan tanda inflamasi liang telinga. Adapun gejala-
gejala inflamasi liang telinga meliputi (1) otalgia (umumnya berat), gatal, dan
telinga terasa penuh; serta (2) dengan atau tanpa gejala penurunan pendengaran
atau nyeri pada rahang. Sedangkan tanda yang timbul berupa (1) nyeri tekan di
tragus, pinna, atau keduanya; (2) edema liang telinga, eritema, atau keduanya; (3)
dengan atau tanpa otorrhea, limphadenitis regional, eritema membran timpani,
atau selulitis pada pinna dan jaringan disekitarnya (Rosenfeld et al., 2006).
16

OE merupakan selulitis pada kulit dan subdermis dari liang telinga,


dengan inflamasi akut yang disertai edema. Penyebab paling sering adalah bakteri
yang meliputi pseudomonas aeruginosa (prevalensi 20%-60%) dan
staphylococcus aureus (prefalensi 10%-70%), serta sering berupa infeksi
polimikrobial. Selain itu ada juga mikroorganisme gram negatif lain (selain
P.aeruginosa) , yang menyebabkan tidak lebih dari 2%-3% kasus (Rosenfeld et
al., 2006). Infeksi jamur di liang telinga luar biasanya bersifat oportunistik serta
terjadi pada pengobatan antibiotik yang tidak adequat pada infeksi bakteri
sebelumnya, dan umumnya bersifat kronis. Infeksi permukaan kulit liang telinga
oleh yeast (Candida sp.) dapat terlihat pada orang yang menggunakan alat bantu
dengar. Aspergillus sp. Dapat menimbulkan infeksi yang lebih agressif,
melibatkan jaringan epitel dan subkutan (Cummings, 2005).

OE umum ditemukan di daerah dengan iklim hangat dan dengan


kelembaban tinggi. Banyak penelitian yang mengemukakan bahwa OE berkalitan
degan kualitas air. Mikroorganisme patogen dapat di jumpai di kolam renang,
maupun bak mandi. Ada banyak faktor yang dapat memicu timbulnya OE. Salah
satunya adalah kebiasaan rutin membersihkan kotoran telinga (serumen) yang
sebenarnya merupakan pelindung penting bagi liang telinga dalam menjaga
kelembaban dan mencegah infeksi (Rosenfeld et al., 2006). Pengguaan kapas
telinga dalam proses pembersihan serumen secara manual adalah salah satu faktor
resiko timbulnya OE (Nussinovitch, 2004). Serumen membuat pH liang telinga
menjadi sedikit asam yang mencegah infeksi bakteri (khususnya oleh
P.aeruginosa), namun fungsi ini dapat terganggu oleh paparan air, pembersihan
liang telinga yang berlebihan, sisa-sisa sabun, atau tetes telinga yang bersifat
alkali. Debris dari kelainan dermatologis juga dapat memicu timbulnya infeksi,
serta trauma lokal yang ditimbulkan percobaan membersihkan telinga, irigasi,
serta penggunaan alat bantu dengar (Rosenfeld et al., 2006).
17

2.4.2 Serumen prop

Serumen di defenisikan sebagai campuran dari sekresi (sebum bersama


dengan sekresi kelenjar keringat apokrin yang telah termodifikasi) dan epitel-
epitel yang terkelupas, serta merupakan substansi yang normal berada pada liang
telinga luar. Ketika serumen bermigrasi ke lateral, serumen akan bergabung
dengan rambut liang telinga serta partikel-partikel lain. Serumen prop di
defenisikan sebagai sebuah akumulasi dari serumen yang menimbulkan gejela,
mencegah pemeriksaan yang di butuhkan pada liang telinga dan membran
timpani, audiovestibular, atau keduanya. Walaupun akumulasi serumen sering
menyumbat atau menutupi liang telinga, namun tidak harus terjadi sumbatan total
untuk dapat dikatakan sebagai serumen prop (Roland et al, 2008).

Serumen prop merupakan masalah yang sering membuat pasien datang ke


pelayanan kesehatan primer dan merupakan temuan penyerta yang sering pada
populasi yang datang ke pelayanan kesehatan sekunder (Guest, 2004). Akumulasi
disebabkan oleh kegagalan mekanisme pembersihan sendiri. Serumen yang
berlebih, atau sumbatan akibat serumen terjadi pada satu dari 10 pasien anak, satu
dari 20 pasien dewasa, dan lebih dari sepertiga populasi geriatri (Guest, 2004).

Pasien yang membutuhkan penanganan adalah pasien yang datang dengan


gejala atau serumen prop menghalangi proses pemeriksaan telinga yang di
butuhkan. Beberapa pasien datang tanpa gejala dan serumen yang ada tidak
menggangu proses pemeriksaan. Pada serumen asimptomatik seperti ini tidak
perlu dilakukan management aktif, kita hanya perlu melakukan pengawasan
(Guest, 2004).

Gejala yang berhubungan dengan serumen prop meliputi gangguan


pendengaran, tinitus, rasa penuh, gatal, nyeri telinga, pusing, adanya discharge,
bau, batuk, serta meningkatkan resiko timbulnya infeksi. Lebih jauh lagi, serumen
prop yang tidak tertangani dapat berujung pada penurunan pendengaran,
penarikan diri dari lingkungan sosial, serta fungsi kerja yang buruk. Beberapa
pasien dengan serumen prop mengalami perforasi membran timpani. Perforasi
18

membran timpani pada gilirannya akan memicu terjadinya perilymph fistula yaitu
robekan atau lubang di jendela bulat atau oval koklea, yang dapat menimbulkan
nistagmus, penurunan pendengaran tipe sensorineural serta tinitus. Selain itu,
tinitus dapat terjadi apabila terjadi pembebasan serumen prop yang menyumbat di
dekat membran timpani secara tiba-tiba (Guest, 2004).

Serumen prop dapat dipicu oleh adanya kelainan bawaan pada liang
telinga, perubahan anatomis, tahanan fisik, pertambahan usia, keratosis, dan
karotenoid. Kelainan bawaan pada liang telinga seperti stenosis akan memperkecil
liang telinga sehingga memperbesar peluang terjadinya sumbatan pada liang
telinga. Seiring dengan pertambahan umur, liang telinga akan cenderung menjadi
lebih oval, hal ini juga akan mempermudah akumulasi serumen. Sebagaimana
deformitas anatomis dan jumlah rambut di liang telinga yang terlalu banyak,
serumen prop juga dapat dipicu oleh adanya tahan terhadap mekanisme
pengeluaran serumen secara alami oleh benda-benda seperti kapas telinga, alat
bantu dengar, serta alat pelindung pendengaran yang berupa sumbat telinga
(McCarter et al., 2007).

Keratosis merupakan kelainan pada produksi keratin. Produksi keratin


yang berlebihan menyebabkan penebalan dinding liang telinga, selain itu juga
terjadi kegagalan pelepasan keratinosit yang secara normal akan ikut terlepas
sebagai bagian dari masa turn over kedua hal ini akan berujung pada terjadinya
serumen prop. Kerotenoid akan meningkatkan hiperplasia epidermis dan aktifitas
kelenjar cerumenous. Perubahan ini akan menimbulkan peningkatan produksi
serumen serta kecendrungan terjadinya serumen prop (Guest, 2004).

2.4.3 Benda Asing

Penelitian restrospektif Shafi, Yousufani, dan Hussain yang


mengumpulkan data dari total 653 pasien dari tahun 1999 sampai 2007
menemukan ada 41 jenis benda asing. Beberapa benda asing dengan frekuensi
paling tinggi dari penelitian tersebut meliputi: batu 213 32.6%), kapas 93
19

(14.2%), serpihan kacang 62 (9.5%), manik-manik 52 (8%), serpihan kertas 32


(4.9%), serpihan batang korek api 30 (4.6%).

Benda asing yang masuk ke liang telinga dapat berupa makhluk hidup,
atau pun benda mati. Tanda dan gejala di tentukan oleh tipe dan lokasi, durasi,
serta percobaaan sebelumnya untuk mengeluarkan benda asing tersebut. Cara atau
alasan masuknya benda asing berbeda pada anak dan orang dewasa. Pada anak
mungkin secara sengaja memasukkan benda asing, sesuai dengan perkembangan
kognitifnya yaitu picher grasp (memegang benda dengan jari telunjuk dan ibu
jari) yang berkembang penuh pada anak usia 9 bulan yang membuat anak
menjadi ingin tahu dan dengan antusias mengeksplorasi lingkungan dan bagian
tubuhnya terutama bagian kepala dan leher. Pada anak biasa memasukkan benda
asing saat bermain. Pada dewasa, benda asing mungkin dimasukkan selama
pembersihan telinga dengan batang korek api, kapas telinga, atau benda-benda
lainnya yang dimasukkan kedalam liang telinga. Pada orang dengan ganggua
jiwa, mereka memasukkan benda ke telinga sebagai bentuk self-mutilation (Shafi,
Yousufani, dan Hussain, 2007).

Proses mengeluarkan benda asing dari liang telinga dapat dilakukan


dengan berbagai instrumen yang dapat dikombinasikan di pengaruhi oleh usia
pasien, kondisi liang telinga, sifat benda asing, lamanya benda asing berada di
liang telinga, serta percobaan sebelumnya oleh pasien untuk mengeluarkanya
sendiri. Perlu dilakukan pemeriksaan kondisi liang telinga dan mebran timpani
setelah dilakukan pengeluaran benda asing (Shafi, Yousufani, dan Hussain, 2007).

2.4.4 Trauma Membran Timpani

Membran timpani adalah komponen konduksi suara yang penting dengan


karakteristik penyalur getaran (vibratory) yang sangat dibutuhkan dalam proses
transmisi gelombang suara pada manusia (Al-Juboori, 2014). Perforasi membran
timpani dapat disebabkan oleh berbagai etiologi, namun yang paling sering adalah
karena otitis media supuratif. Hal ini terjadi karena toxin dari Streptococcus beta-
hemolyticus mampu menyebabkan nekrosis dengan cepat pada membran timpani.
20

Trauma adalah penyebab kedua tersering dari perforasi membran timpani (Nadol
dan Mckenna, 2005). Ruptur membran timpani dapat disebabkan oleh perubahan
pada tekanan udara (pukulan pada telinga, ledakan, kelainan tuba eustachius,
anastesi nitrogen okisda, dan hyperbaric oxygen treatment), karena cairan
(syringing, caloric tests, dan menyelam), atau karena objek padat (percobaan
mengeluarkan benda asing, batang korek api, penjepit rambut, dan percikan logam
panas)(Al-Juboori, 2014). Ruptur membran timpani adalah bentuk umum cedera
primer ledakan. Hal ini terjadi karena telinga merupakan bagian tubuh yang
sangat sensitif pada perubahan tekanan, dan merupakan organ yang paling di
pengaruhi oleh perubahan tekanan udara (Ritenour, 2008).

Sebagian besar trauma membran timpani akan sembuh spontan dan


kembali ke fungsi normal. Walaupun begitu, perforasi kecil akan lebih cendrung
untuk mengalami penutupan spontan dari pada yang lebih besar. Dua faktor yang
dapat menyebabkan kegagalan penyembuhan dan penutupan spontan adalah luas
jaringan yang hilang dan infeksi sekunder. Tindakan operasi perlu diambil jika
kondisi ini bertahan lebih dari 6 bulan (Al-Juboori, 2014).
21

2.5 Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (dalam Prasetyo, 2013) menjabarkan pengetahuan


sebagai berikut:
1. Pengertian
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini tejadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour).
Berdasarkan pengalaman ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan
lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan
(Notoatmodjo, 2010).

2. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan dalam aspek kognitif menurut Notoatmodjo (2007), dibagi
menjadi 6 (enam) tingkatan yaitu :
a. Tahu ( know )
Tahu diartikan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya,
dari seluruh bahan yang dipelajari. Tahu ini merupakan tingkat pengertian yang
paling rendah.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami ini diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi
ke kondisi sebenarnya.
c. Aplikasi (Aplication)
Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi
atau kondisi yang sebenarnya.
22

d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen - komponen, tetapi masih dalam suatu struktur
organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakan atau
menghubungkan bagian - bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evalusi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau obyek.

3. Faktor yang mempengaruhi pengetahuan (Notoatmodjo, 2007):


a. Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberi respon
terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang yang berpendidikan tinggi akan
memberikan respon yang lebih rasional terhadap informasi yang datang dan akan
berpikir sejauh mana keuntungan yang mungkin akan mereka peroleh dari
gagasan tersebut. Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang
terhadap perkembangan orang lain menuju kearah suatu cita cita tertentu.
Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang
akan pola hidup, terutama dalam memotivasi sikap berperan serta dalam
perkembangan kesehatan. Semakin tinggi tingkat kesehatan, seseorang makin
menerima informasi sehingga makin banyak pola pengetahuan yang dimiliki.

b. Paparan media massa


Melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik berbagai informasi
dapat diterima masyarakat, sehingga seseorang yang lebih sering terpapar media
massa (TV, radio, majalah, pamflet, dan lain - lain) akan memperoleh informasi
yang lebih banyak dibandingkan dengan orang yang tidak pernah terpapar
informasi media. Ini berarti paparan media massa mempengaruhi tingkat
pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang.
23

c. Ekonomi
Usaha memenuhi kebutuhan pokok (primer) maupun kebutuhan sekunder,
keluarga dengan status ekonomi baik akan lebih mudah tercukupi dibandingkan
keluarga dengan status ekonomi rendah. Hal ini akan mempengaruhi pemenuhan
kebutuhan sekunder. Jadi dapat disimpulkan bahwa ekonomi dapat mempengaruhi
pengetahuan seseorang tentang berbagai hal.
d. Hubungan sosial
Manusia adalah makhluk sosial dimana dalam kehidupan saling
berinteraksi antara satu dengan yang lain. Individu yang dapat berinteraksi secara
continue akan lebih besar terpapar informasi. Sementara faktor hubungan sosial
juga mempengaruhi kemampuan individu sebagai komunikasi untuk menerima
pesan menurut model komunikasi media dengan demikian hubungan sosial dapat
mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang tentang suatu hal.
e. Pengalaman
Pengalaman seorang individu tentang berbagai hal biasa diperoleh dari
lingkungan kehidupan dalam proses perkembangannya, misalnya sering
mengikuti kegiatan. Kegiatan yang mendidik misalnya seminar organisasi dapat
memperluas jangkauan pengalamannya, karena dari berbagai kegiatan tersebut
informasi tentang suatu hal dapat diperoleh.
4. Pengukuran Pengetahuan
Pengetahuan dapat diukur dengan wawancara atau angket yang
menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari responden (Notoatmodjo,
2007). Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan secara langsung atau melalui pertanyaan-pertanyaan tertulis atau
angket. Indikator pengetahuan adalah tingginya pengetahuan responden tentang
kesehatan, atau besarnya persentase kelompok responden (Notoatmodjo, 2010).
Pengetahuan dapat dikategorikan menjadi baik dengan nilai benar antara 80%-
100%, dikategorikan cukup dengan nilai benar antara 56%-79% dan kategori
kurang dengan nilai benar < 56%.
24

5. Sumber sumber pengetahuan


Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal
dari berbagai macam sumber, misalnya media massa, media elektronik, buku
petunjuk, petugas kesehatan, media poster, kerabat dekat dan sebagainya.
Menurut Notoatmodjo (2007) sumber pengetahuan dapat berupa pemimpin
pemimpin masyarakat baik formal maupun informal, ahli agama, pemegang
pemerintahan dan sebagainya.

You might also like