You are on page 1of 22

Sutjipto, Implementasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

IMPLEMENTASI KURIKULUM MULTIKULTURAL


DI SEKOLAH DASAR

IMPLEMENTATION OF MULTICULTURAL CURRICULUM IN PRIMARY SCHOOL

Sutjipto
Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud
Jl. Gunung Sahari Raya, Nomor 4A, Jakarta Pusat
e-mail: sutjipto.55@gmail.com

Naskah diterima tanggal: 8-06-2017, disetujui tanggal: 31-06-2017

Abstract: This study is to examine the empirical facts of multicultural curriculum


implementation in primary schools in South Tangerang City. The method used was
descriptive qualitative and the main data were collected from focus group discussions and
school observation. Data analysis techniques using descriptive statistics. The study was
conducted from July 2016 to November 2016. The population of this study were teachers
and elementary school students in the city. The sample was taken by purposive sampling.
The result show that the existing curriculum documents have significantly integrated
multicultural values and the teachers and principals understanding of multicultural
knowledge lies in a significant category. Concerning the implementation of the curriculum,
it is revealed that it is not significantly controlled in schools, it has not significantly
encouraged the reinforcement of multicultural values, and it has not voiced significant
harmony for educational culture, school curriculum, and multiculturalism through
empowerment. In conclusion, the implementation of multicultural curriculum in primary
schools in this city has not changed for the better direction.

Keywords: curriculum implementation, multicultural curriculum, primary school

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah mengkaji fakta empiris implementasi kurikulum
multikultural di sekolah dasar. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.
Data utama dikumpulkan dengan diskusi kelompok terpumpun dan observasi sekolah.
Teknik analisis data menggunakan statistik deskriptif, yaitu penggambaran data dengan
pola deskripsi atau telaah. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2016 sampai dengan November
2016. Populasi dari penelitian ini adalah guru dan siswa sekolah dasar di Kota Tangerang
Selatan. Sampel penelitian diambil secara purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dokumen kurikulum yang ada secara signifikan telah mengintegrasikan nilai-nilai
multikulturalisme dan pemahaman guru serta kepala sekolah terhadap pengetahuan
multikultural berada pada kategori cukup signifikan. Berkaitan dengan implementasi
kurikulum, terdapat tiga temuan, yakni: belum dikendalikan secara signifikan dengan baik
di sekolah; belum mendorong secara signifikan penguatan nilai-nilai multikultural; dan
belum menyuarakan keharmonisan secara signifikan antara budaya pendidikan, kurtur
sekolah, dan multikulturalisme melalui pemberdayaan. Dengan demikian, peng-
implementasian kurikulum multikultural di sekolah dasar di Kota Tangerang Selatan
umumnya belum berubah ke arah yang lebih baik.

Kata kunci: implementasi kurikulum, kurikulum multikultural, sekolah dasar

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017 1


Sutjipto, Implementasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

PENDAHULUAN sikap toleransi dalam kehidupan dinamika


Terkait kurikulum pendidikan multikultural masyarakat, dan menanamkan penghargaan
(keberagaman budaya) terdapat beberapa atas realitas kemajemukan sosial. Secara
catatan. Pertama, semua negara di dunia individual, penerapan kurikulum multikultural
memiliki kebijakan kurikulum pendidikan yang akan meningkatkan pengetahuan, informasi,
berpihak pada prinsip-prinsip pembelajaran penyadaran, dan kemampuan teknis kemasya-
berbasis keberagaman. Kedua, keanekaragaman rakatan, sehingga siswa memiliki kemampuan
sosial-budaya dalam ikatan kemasyarakatan untuk memperkuat daya sintas (survival) dalam
yang membentuk kelompok telah menyebar ke kawasan realitas kemajemukan kehidupan sosial.
semua peradaban di dunia yang mensyaratkan Sebuah studi longitudinal oleh Thompson, dkk.
perilaku yang saling toleransi satu sama lain (2009) menunjukkan bahwa pengalaman
untuk dicerminkan dalam kurikulum. Ketiga, berbasis lapangan memiliki dampak pengetahuan
adanya kelompok yang berbeda ras, suku, multikultural terhadap siswa dan mereka juga
agama, adat-istiadat, dan golongan yang saling merasakan adanya potensi diri (self-efficacy).
berinteraksi dalam hidup bersama, meski Indonesia sebagai bangsa yang majemuk,
terdapat perbedaan dipastikan mendambakan penguatan dimensi kurikulum multikultural harus
kedamaian, kerukunan, dan harmoni sosial. dilakukan untuk dapat mengembangkan
Kedamaian yang ditandai sebagai keutuhan, orientasi dan wawasan mengenai realitas
keselarasan, dan keharmonisan dalam hubungan kehidupan sosial kebangsaan yang pluralistik di
antarmanusia dan lingkungan diperlukan sekolah. Kurikulum pendidikan multikultural
perawatan dan penumbuhan melalui penerapan membangun kesadaran setiap siswa tentang
dalam suatu kurikulum pendidikan. kenyataan kemajemukan dalam kehidupan ber-
Kurikulum pendidikan yang sarat dengan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Siswa
nilai-nilai keberagaman dan perdamaian diharapkan peka dan menyadari bahwa bangsa
memerlukan proses perjuangan pembelajaran di ini dibangun di atas landasan keberagaman
sekolah. Hasil penelitian Mitchell (2010) agama, etnik, ras, budaya, dan adat-istiadat,
mengungkapkan bahwa fungsi berbagai proses yang menuntut kesediaan semua pihak untuk
yang terkait dengan demokrasi, pemerintahan, saling menerima keberadaan yang lain. Struktur
pembangunan dan sekuritisasi merupakan dasar negara-bangsa ini bercorak multikultural,
untuk perdamaian pada aktivitas manusia sehingga setiap elemen bangsa harus bersedia
sehari-hari sebagai wahana untuk memahami hidup secara konsisten. Karenanya, implemetasi
hubungan yang kompleks antara aktor inter- kurikulum dalam kerangka pengembangan
nasional dan lokal dalam konteks perdamaian. budaya sekolah hendaknya mencerminkan
Temuan ini memberi makna bahwa interaksi kehidupan yang sesungguhya, yaitu bersatu
antara jenis kesatuan-kesatuan sosial yang dalam keberagaman dan beragam dalam
majemuk dalam segala proses berbangsa dan kesatuan.
bernegara melalui sebuah kurikulum multikultural Kurikulum pendidikan multikultural menjadi
yang harmonis akan berdampak pada dinamika sangat penting terutama untuk menumbuhkan
sosial kemasyarakatan. Untuk itu, diperlukan nilai-nilai kebinekaan, toleransi, dan memperkuat
komitmen semua pihak. basis solidaritas sosial. Penguatan nilai-nilai
Kurikulum pendidikan multikultural juga multikultural pada pembelajaran itu mutlak
merupakan wahana untuk meningkatkan diperlukan untuk dapat mereduksi atau
kapasitas individual dan sosial setiap siswa mengeliminasi potensi konflik dalam masyarakat
dalam hal kompetensi sosial berupa kemampuan majemuk. Sebagai suatu bentuk strategi
sosialisasi, beradaptasi, berinteraksi dalam membangun keadaban, kurikulum multikultural
masyarakat, menjalin relasi sosial, memupuk juga dimaksudkan untuk pembinaan sikap mental

2 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017


Sutjipto, Implementasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

dan karakter, pemupukan inovasi dan kre- oleh semua pihak disadari akan membuka tempat
ativitas, kepemimpinan, dan jiwa kewirausahaan bagi koeksistensi identitas masyarakat yang
siswa. berbeda-beda sebagai cara untuk percaya dan
Studi longitudinal Maddux, dkk. (2014) hidup bersama untuk saling mengerti hendaknya
mengungkapkan bahwa pendekatan psikologis merupakan misi yang diemban oleh kurikulum.
individu ketika berada pada lingkungan Beberapa hasil penelitian mengenai
multikultural, di mana mereka terlibat dengan pendidikan multikultural telah dilaksanakan
budaya yang berbeda dan menentukan per- dengan berfokus pada keragaman agama,
tumbuhan kompleksitas integratif, ternyata kemasyarakatan, dan perbedaan etnis (Olmedo,
mampu meningkatkan kesuksesan karir peluang 2004; Mentz & van der Walt, 2007; Lykogianni,
kerja mereka berikutnya secara lebih profesional. 2008; Okoye-Johnson, 2011; Miafodzyeva, dkk.,
Hasil penelitian Maddux, dkk. (2014) tersebut 2013; Agirdag, dkk, 2016; Solano-Campos, A.
memberi makna bahwa tenaga kerja yang 2015). Namun, studi-studi tersebut umumnya
profesional dapat ditingkatkan melalui pendidikan tidak memberi tumpuan khusus pada aspek
dan dipengaruhi dengan penerapan nilai-nilai implementasi kurikulum dan hubungannya dengan
multikultural. Dalam arti, melalui kurikulum keberhasilan internalisasi nilai-nilai multikultural.
pendidikan multikultural terjadi upaya mem- Studi-studi tersebut lebih menumpukan pada
bangun daya saing bangsa dan harmoni sosial. peranan pendidikan multikultural dalam
Dengan demikian, siswa dilatih menjadi lebih mengurangi sikap rasial, kesiapan guru di mana
terbuka menerima segala perbedaan, memiliki mereka mengajar di sekolah-sekolah multi-
sikap toleransi untuk menghadirkan kehidupan kultural, keragaman agama, dan isu-isu
sosial, dan pranata lain yang melingkupinya, kemasyarakatan seperti transnasionalisme,
sehingga kompetisi global dan kohesi sosial di imigrasi ilegal maupun rasisme.
dalam masyarakat plural akan tercipta. Secara Sementara itu, penelitian di Indonesia
sosiologi, merujuk pada penelitian Keddie (2014) umumnya lebih berkaitan dengan aspek-aspek
bahwa dampak kohesi sosial, persatuan dan praktik pendidikan, lintas budaya, muatan dalam
solidaritas sosial bisa dihasilkan melalui konsep buku, nilai-nilai pada mata pelajaran, dan
multikulturalisme. Sementara pada sisi lain, masyarakat keagamaan (Wihardit, 2010;
faktor-faktor yang berdampak membangun, Nurhayati, 2011; Zuriah, 2011; Heryadi &
menurut hasil penelitian Schoorman & Bogotch Silvana, 2013; Purwanto, dkk, 2013). Benang
(2010) menunjukkan bahwa hal-hal yang positif merah dari dua koridor penelitian tersebut, yang
berfungsi sebagai titik awal untuk dialog tentang belum menggambarkan impresi moderasi
re-konseptualisasi peran multikultural. hubungan kurikulum dan yang fokus pada
Implementasi kurikulum pendidikan multi- implementasinya menjadi tumpuan kajian yang
kultural yang sarat dengan pengalaman sosial menarik untuk dilaksanakan.
dan situasi kehidupan multikultural beserta Secara sosiologi, merujuk pada pandangan
kedekatan pada modernisasi budaya yang Banks (2007), multikultural adalah cara
didesain masyarakat sekolah, berada pada posisi memandang realitas dan cara berpikir, dan bukan
utama untuk menentukan cara hidup kelompok- hanya konten tentang beragam kelompok etnis,
kelompok lainnya, dalam hal afiliasi pada tradisi ras, dan budaya. Dalam konteks kemasya-
agama dan sosial-budaya. Pengalaman- rakatan, multikultural dapat dimaknai bahwa
pengalaman yang membentuk multikultural ini dalam sebuah masyarakat, bangsa, atau negara
adalah krisis, gejolak dan penyisihan etnik, yang terbentuk karena adanya keanekaragaman
seperti yang telah terjadi dalam konflik-konflik sosial-budaya. Keanekaragaman tersebut
sosial selama ini. Nilai-nilai sosial yang merupakan sesuatu yang tidak terbantahkan.
menyangkut cara hidup bersama yang dianut Negara-bangsa Indonesia dikenal dengan

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017 3


Sutjipto, Implementasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

masyarakatnya yang multikultural atau majemuk atau sekolah. Penanaman nilai-nilai multikultural
karena terdiri atas keanekaragaman agama, seyogianya mencakup suatu pemahaman
suku, etnis, budaya, adat-istiadat, dan konsep, perbuatan penghargaan serta penilaian
golongan. atas budaya seseorang, serta suatu penghor-
Tilaar (2004) memberi gambaran, paling matan dan keingintahuan tentang budaya etnis
tidak terdapat tiga program multikulturalisme orang lain dalam komunitas masyarakat. Bahkan,
yang dapat dikuatkan melalui kurikulum, yaitu isu pembelajaran multikultural mendapatkan
bahwa pendidikan multikultural hendaknya: 1) perhatian yang cukup serius dalam pembahasan
didasarkan pada kesetaraan manusia, 2) di al-Quran dan al-Sunnah (Trauna, 2010).
ditujukan pada terwujudnya manusia Indonesia Berdasarkan uraian di atas, terdapat dua
yang cerdas, dan 3) harus berprinsip pada pertanyaan mendasar yang perlu digali melalui
globalisasi. Ketiga program tersebut dapat penelitian. Pertanyaan pertama, teori siapakah
dijadikan rujukan pembuat keputusan dalam yang sesuai untuk memotret implementasi
menguatkan dan menginternalisasikan nilai-nilai kurikulum multikultural di sekolah. Rumusan
multikultural ke dalam kurikulum pendidikan. seorang ahli multikulturalisme bernama James
Di banyak negara, implementasi konsep Albert Banks tentang wawasan pendidikan
multikulturalisme dalam kurikulum pendidikan multikultural yaitu perkembangan historis,
menjadi perhatian yang sangat serius. Di dimensi, dan praktiknya patut dijadikan rujukan.
Irlandia, misalnya, hasil penelitian Faas & Ross Menurutnya, mutlikultural adalah konsep, ide
(2012) memberi rekomendasi bahwa peran atau falsafah sebagai suatu rangkaian
sekolah dalam mengembangkan kewarga- kepercayaan (set of believe) dan penjelasan
negaraan dan konsep identitas terhadap yang mengakui dan menilai pentingnya kera-
masyarakat migran di Irlandia berargumen gaman budaya dan etnis di dalam membentuk
bahwa kurikulum pada tingkat pendidikan dasar gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi,
menekankan keragaman dan kewarganegaraan kesempatan-kesempatan pendidikan dari
aktif dalam masyarakat majemuk memiliki porsi individu, kelompok maupun Negara (Banks,
lebih besar daripada kurikulum pada tingkat 2007).
pendidikan menengah. Pada contoh lain, dalam Pertanyaan kedua, budaya multikultural
kajiannya terhadap bangsa Amerika Serikat seperti apa yang layak diperjuangkan melalui
yang dianggap tanah imigran dan memiliki kurikulum di sekolah. Pertanyaan kedua ini
keragaman budaya, Ford (2013) mengung- selaras dengan kajian Lie (2014) yang menyin-
kapkan bahwa sekolah dan guru harus responsif tesiskan pelajaran multikultural seperti apa yang
budaya, dengan cara penguatan persepsi dan harus negara berikan kepada imigran secara
apresiasi siswa dalam menghormati yang lain signifikan, seperti Korea Selatan, yang diambil
melalui implementasi pendidikan multikultural. dari pengalaman negara-negara lain. Masih
Implementasi kurikulum multikultural pada menurut Lie (2014), kebijakan multikulturalisme
jenjang pendidikan dasar dan menengah seperti apa yang mereka adopsi dan mengapa
hendaknya sejalan dengan keseluruhan konsep itu perlu. Kedua pertanyaan tersebut, mem-
pendidikan multikultural. Konsep pendidikan berikan makna isu sentral, bahwa multikul-
multikultural pada hakikatnya mengutamakan turalisme tidak mengurangi keragaman,
persamaan (equality) atau mengedepankan melainkan juga untuk menentukan prinsip-prinsip
keberagaman (diversity). Dari dua pilihan dan prosedur di mana perbedaan dinegosiasi
tersebut, konsep mana yang akan ditempuh oleh ulang atas nama keadilan (Arneil & MacDonald,
pelaksana kebijakan, pengimplementasiannya 2010).
tentu akan disesuaikan dengan konteks sosial- Apa pun isu terkait dengan implementasi
budaya masing-masing daerah, masyarakat, kurikulum multikultural di sekolah, apabila

4 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017


Sutjipto, Implementasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

dilakukan secara saksama akan membuahkan Kelima dimensi yang dirujuk, selanjutnya
opsi kebijakan yang sarat makna. Penelitian memandu koridor permasalahan penelitian yang
Banting et al. (2006) terhadap multikulturalisme akan diungkapkan, yaitu bagaimana realita dari
dan kesejahteraan negara mengungkap fakta integrasi isi dalam kurikulum, bentuk konstruksi
bahwa penelitian lintas-nasional baru-baru ini ilmu pengetahuan, model pengurangan pra-
menunjukkan bahwa tidak ada bukti dari sangka, kesetaraan pengajaran, dan pember-
kecenderungan yang sistematis untuk kebijakan dayaan budaya yang terimplementasi melalui
multikulturalisme yang sanggup melemahkan kurikulum di sekolah? Dengan demikian, tujuan
kesejahteraan negara. Begitu pula Bachvarova utama dari penelitian ini adalah untuk mengkaji
(2014) dalam kajiannya juga berpendapat bahwa fakta empiris terkait dengan pengimple-
manfaat dari multikulturalisme berbasis mentasian kurikulum multikultural di sekolah
nondominasi lebih berbobot dibandingkan dengan dasar ditinjau dari kelima dimensi tersebut.
pendekatan egaliter liberal. Pendekatan ini
difokuskan pada kualitas moral hubungan METODE
antara aktor sentral dan menguatnya keber- Penelitian ini akan mengangkat potret sosial-
langsungan perlakuan antara kelompok-kelompok budaya pada konteks belajar (Dominguez &
dalam komunitas. Dengan merujuk dua hasil Hollstein, 2014; Ford, 2014). Sementara itu,
tersebut, dapat dimaknai bahwa pengimple- jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif
mentasian kurikulum pendidikan multikultural kualitatif.
memiliki kontribusi positif terhadap menguatnya Populasi dari penelitian ini adalah guru,
tatanan kesejahteraan masyarakat. tenaga kependidikan, dan siswa sekolah dasar
Berdasarkan berbagai penelaahan di atas, di Kota Tangerang Selatan. Sampel penelitian
penelitian tentang pengimplementasian kurikulum didasarkan atas purposive sampling dengan
pendidikan multikultural di Sekolah Dasar, Banks penetapan sampel secara nonprobability
& Banks (2004) menjelaskan bahwa terdapat sampel.
lima dimensi yang harus ada. Pertama, adanya Ada empat sekolah yang dijadikan sampel,
integrasi isi dalam kurikulum (content integra- yakni: 1) SD Negeri Benda Baru 03, Jl. Borobudur
tion) yang melibatkan keragaman dalam satu Raya No. 11, Benda Baru, Pamulang, Tangerang
kultur pendidikan yang tujuan utamanya adalah Selatan; 2) SD Negeri Benda Baru 02, Jl.
menghapus prasangka. Kedua, konstruksi ilmu Borobudur Raya No. 11, Benda Baru, Pamulang,
pengetahuan (knowledge construction) yang Tangerang Selatan; 3) SD Negeri Serua 03,
diwujudkan dengan mengetahui dan memahami Bukit Indah, Ciputat, Tangerang Selatan; dan
secara komprehensif keragaman yang ada. 4) SD Negeri Serua 05, Bukit Indah, Ciputat,
Ketiga, pengurangan prasangka (prejudice re- Tangerang Selatan.
duction) yang lahir dari interaksi antar- Masing-masing sekolah diambil satu kelas
keragaman dalam kultur pendidikan. Keempat, IV, satu kelas V, dan satu kelas VI sebagai
pedagogik equitas/kesetaraan (equity peda- sampel, sedangkan guru yang mengajar di kelas
gogy) yang memberi ruang dan kesempatan tersebut sekaligus dijadikan responden. Dengan
yang sama kepada setiap elemen yang beragam. demikian, jumlah responden sebanyak 12 orang.
Kelima, pemberdayaan budaya sekolah (empow- Data dikumpulkan dengan menggunakan dua
ering school culture). Hal yang kelima ini adalah cara, yakni: 1) diskusi kelompok terpumpun dan
tujuan dari pendidikan multikultural, yaitu agar 2) observasi sekolah. Model observasi menurut
sekolah menjadi elemen pengentas sosial kajian Grice, dkk. (2016) merupakan sebuah
(transformasi sosial) dari struktur masyarakat alternatif untuk konseptualisasi data yang
yang timpang menjadi struktur yang berkeadilan. bergeser dari statistik agregat dan tanpa
pengujian hipotesis signifikansi.

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017 5


Sutjipto, Implementasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai Integrasi Pendidikan dalam Kurikulum
dengan November 2016. Teknik analisis data (Content Integration)
menggunakan statistika deskriptif, yaitu Dokumen kurikulum yang dipakai di sekolah saat
penggambaran data dengan pola deskripsi atau ini antara lain standar kompetensi lulusan,
telaah atau simpulan agar mudah dibaca dan kerangka dasar dan struktur kurikulum,
bermakna. kompetensi dasar, silabus, rencana pelaksanaan
pembelajaran, dan dokumen pendukung lainnya,
HASIL DAN PEMBAHASAN seperti buku pedoman dan buku pelajaran yang
Dari lima dimensi yang dijadikan konstruk diterapkan di sekolah. Dari data yang dihimpun
penelitian sebagaimana disebutkan pada melalui diskusi kelompok responden terpumpun
pendahuluan, hal itu sekaligus juga menandakan terungkap bahwa dokumen kurikulum tersebut
ada lima kategori/ukuran/koridor yang akan tidak mengandung unsur kata atau ungkapan
disorot terkait dengan penerapan kurikulum maupun ilustrasi yang mendiskreditkan kebe-
multikultural di SD. Oleh karena itu, deskripsi ragaman. Menurut semua responden, hari-hari
hasil dan pembahasan penelitian difokuskan di sekolah tidak ditemukan adanya permasalahan
pada kelima koridor tersebut. terkait dengan gesekan-gesekan kultural
Sebagai gambaran, Tabel 1 dan Tabel 2 antarindividu, seperti ungkapan kebencian,
adalah profil sekolah sampel. Berkaitan dengan perilaku kekasaran, dan ujaran intimidasi. Begitu
asal daerah, baik siswa maupun guru umumnya pula, baik secara tertulis maupun tak tertulis
berasal dari suku: Jawa, Sunda, Betaw i, yang secara stereotip, misalnya mengajak
Minangkabau, Lampung, Dayak, Batak, Manado, kepada pembaca atau orang lain untuk men-
Palembang, Bengkulu, dan Bali dengan mayoritas diskreditkan yang lain, membentuk kelompok-
siswa dan guru merupakan Suku Sunda dan kelompok berdasarkan golongan, suku, etnis
Jawa. masing-masing terhadap kelompok etnis yang
lain.

Tabel 1 Kondisi Siswa

No Sekolah Jumlah Pemeluk Agama


Siswa Islam Kristen Katolik Budha Hindu
1 SD Negeri Benda Baru 03 537 507 15 8 3 4
2 SD Negeri Benda Baru 02 284 270 9 3 1 1
3 SD Negeri Serua 03, Bukit 1.051 1.002 24 10 6 9
Indah
4 SD Negeri Serua 05, Bukit 591 577 12 2 - -
Indah

Tabel 2 Kondisi Guru

No Sekolah Jumlah Pemeluk Agama


Guru Islam Kristen Katolik Budha Hindu
1 SD Negeri Benda Baru 03 21 21 - - - -
2 SD Negeri Benda Baru 02 16 16 - - - -
3 SD Negeri Serua 03, Bukit 36 36 - - - -
Indah
4 SD Negeri Serua 05, Bukit 20 19 - - - 1
Indah

6 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017


Sutjipto, Implementasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

Yang dimaksud stereotip dalam hal ini konteks lain, misalnya teks-teks pembelajaran
adalah tentang budaya suku tertentu daerah yang digunakan, juga telah mengintegrasikan
asal siswa (Tabel 1), yaitu sebagai karakter aura kemajemukan yang akan dapat mengurangi
maupun atribut-atribut yang dianggap melekat timbulnya prasangka. Apabila semua itu dapat
sebagai identitas suku, etnis, dan kelompok. dibiasakan dan dibudayakan, menurut res-
Stereotip dapat bersifat positif maupun negatif, ponden, sekolah dapat menjadi tempat untuk
baik berkaitan dengan kelompok sendiri maupun menyemai dan menghargai perbedaan yang
kelompok di luar dirinya. Dalam banyak kasus, nantinya berguna bagi siswa dalam kehidupan
stereotip sering bersifat berlebihan, cenderung bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
negatif daripada positif, dan sulit diubah Namun, kenyataannya hal tersebut belum
meskipun telah secara nyata berinteraksi sepenuhnya dapat diwujudkan.
dengan seseorang yang memiliki karakteristik Sementara itu, dari observasi sekolah,
bertentangan dengan label stereotip yang ada. terungkap bahwa budaya sekolah dalam
Pola semacam ini, di kemudian hari dapat kerangka mempromosikan nilai-nilai inklusif guna
menimbulkan prasangka bagi orang lain atau merawat dan mengelola multikulturalisme belum
kelompok lain. diprogramkan secara baik. Misalnya, walau
Secara sosiologis, menurut hasil penelitian dalam kelas terdapat siswa yang berbeda
Gordijn, dkk. (2008) mengungkapkan bahwa agama, ritual doa yang dilaksanakan saban hari
prasangka diprediksi lebih negatif daripada umumnya masih dilakukan untuk satu agama
perasaan positif. Timbulnya prasangka bagi tertentu. Begitu pula kegiatan lainnya, seperti
seseorang atau kelompok merupakan faktor pentas budaya (kesenian, berpakaian, dan
yang potensial menciptakan konflik antar- penggunaan atribut lainnya) yang mengusung
kelompok atau antaridentitas (agama, etnis, dan tema asal daerah juga belum tergarap secara
suku). Prasangka dapat menimbulkan adanya proporsional. Pentas budaya yang dirancang
kesulitan interaksi dan kohesi sosial bagi seluruh setiap tahun dengan baik, selain akan mampu
komunitas sosial bersangkutan yang pada membangkitkan energi perjumpaan sosial-
gilirannya dapat memicu konflik sosial. Konflik ekonomi-kultural secara khidmat dalam
sosial akan bertambah berlebihan manakala kemajemukan, sekaligus juga sebagai ajang
dalam beberapa kondisi, seseorang atau kreativitas siswa. Berdasarkan hasil penelitian,
kelompok hanya bertindak atas dasar prasangka. ditemukan bahwa secara keseluruhan, pembe-
Pengalaman menunjukkan, baik di manapun, lajaran multikultural dapat menjadi mekanisme
konflik antaridentitas (agama, etnis, dan suku) penting di mana pengalaman hidup asing mampu
sering berkembang menjadi tragedi yang menyebabkan peningkatan kreativitas (Leung
memilukan. & Chiu, 2010; Maddux, dkk. 2010).
Dari fakta yang terungkap di atas, dapat Secara empiris, fakta kultural yang telah
dimaknai bahwa sekolah umumnya telah terbangun di sekolah selama ini umumnya belum
berupaya mengajarkan cara bertoleransi dan banyak berubah, dalam arti tidak ditemukan
menghormati perbedaan melalui media dampak terhadap munculnya prasangka negatif
pembelajaran berbagai mata pelajaran dalam bagi orang satu ke orang lain, kelompok satu
wujud pengintegrasian pemahaman. Dengan dengan kelompok lainnya, etnis satu dengan
melalui pencerahan pembelajaran pada konteks lainnya, maupun penganut agama tertentu
keragaman, diharapkan berdampak pada makna dengan penganut agama yang berbeda. Hal ini
sosial. Integrasi nilai-nilai kemajemukan yang ditandai antara lain tidak ditemukan ujaran-
dijalani oleh siswa saat belajar maupun ujaran negatif oleh siswa kepada teman yang
berinteraksi dengan yang lain diyakini akan beda suku. Misalnya, dasar wong Jowo lelet,
mampu menghapus prasangka negatif. Pada dasar Menado (menang aksi doang), dasar BTL

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017 7


Sutjipto, Implementasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

(Batak tembak langsung), dan lainnya. Data beragam latar belakang identitas keluarga yang
tersebut diperkuat oleh catatan para kepala anak-anaknya bersekolah.
sekolah, bahwa selama tiga tahun terakhir Dari temuan yang diungkap di atas dapat
umumnya tidak muncul beragam hal yang dapat dimaknai bahwa berbagai upaya untuk mem-
menumpahkan emosi, seperti ujaran-ujaran bangun pengintegrasian pendidikan dalam
kebencian, penistaan, hina-menghina, dan olok- kurikulum multikultural demi kebaikan di sekolah
olok lainnya disertai hal-hal yang merusak telah diupayakan dilaksanakan, bahkan tidak
kemajemukan, keberagaman, dan kebhinekaan. mengenal kata menyerah. Namun, di sekolah
Sikap saling memerlukan dan bergantung hasilnya memang masih belum memperlihatkan
menurut catatan kepala sekolah cukup baik . jejaknya. Berbagai hambatan yang muncul,
Pandangan itu kemudian membentuk aktivitas menurut para kepala sekolah karena adanya
bersama dan hasrat untuk satu. Aktivitas keengganan sebagian kecil warganya terhadap
sekolah yang terbentuk dapat dikatakan satu aksi-aksi aktualisasi nilai-nilai menghargai
untuk semua dan semua untuk satu. Indikator perbedaan. Menurut kepala sekolah, keteladanan
tersebut diperkuat oleh adanya beberapa poster yang kuat dalam bingkai keberagaman, seruan
ajakan/himbauan/kemauan yang terdapat di menghargai yang lain yang tidak menghormati
lingkungan sekolah, seperti 7 K (kebersihan, akan keberagaman pun belum bisa disulap
keindahan, kenyamanan, ketertiban, kesehatan, menjadi sekolah yang ramah dengan kema-
keamanan, dan kerindangan), menyontek awal jemukan.
dari korupsi, tinggalkan perilaku burukmu, mari Padahal, salah satu indikator keberhasilan
memberi bantuan bagi yang kemalangan, aku pengimplementasian kurikulum multikultural di
malu datang ke sekolah terlambat, budayakan sekolah adalah adanya keteladanan peran
6-S (salim-senyum-sapa-salam-sopan-santun), manajemen terhadap nilai-nilai keadaban publik
no cheating-no bullying-no smoking, sholatlah dalam suatu sekolah yang relatif majemuk.
sebelum kamu disholatkan, dan lainnya. Praksis seperti itu, senyampang dengan hasil
Menurut catatan para kepala sekolah, pada penelitian Engelkamp & Glaab (2015) yang
tahap awal dirasakan bahwa membangun nilai- mengungkapkan bahwa, dengan cara menye-
nilai multikulturalisme di sekolah tidaklah mudah. rukan budaya toleransi dan etika hospitality
Ditemukan adanya sebagian kecil warga sekolah yang merayakan ambiguitas normatif sebagai
yang kurang peduli atau bersikap menolak. sumber untuk dialog dapat menguatkan dalam
Tradisi, norma-norma sosial, harapan-harapan membangun budaya. Budaya sekolah sampel
tidak mudah menjadi kebiasaan warga sekolah yang dimaksud, antara lain keagamaan/ibadah,
yang pro-sosial. Secara sosiologis, merujuk pada kerjasama, sadar akan tugas dan tanggung
hasil penelitian Peterson & Sndergaard (2011) jawab, memberikan layanan terbaik, kerja
diungkapkan bahwa untuk mengatasi kontro- dengan kegembiraan, saling menghormati,
versi tentang budaya diperlukan promosi disiplin, sopan-santun, jujur, bersih, dan empati.
percakapan atau dialog. Setelah melalui berbagai Dengan model seperti itu, tampak bahwa
strategi, seperti rapat dinas, adanya komitmen budaya sekolah belum dibangun secara adekuat.
bersama, dibuat tertulis, dan lainnya, lambat Budaya sekolah dijadikan ruh bagi terciptanya
laun tampak membuahkan hasil. Keyakinan iklim sekolah yang kondusif untuk mengurangi
kepala sekolah memperkuat bahwa apa pun prasangka negatif dan saling curiga. Proses
tantangannya, perilaku baik yang menge- pembelajaran yang mengintegrasikan inter-
depankan kemajemukan sangat dibutuhkan nalisasi nilai-nilai kebersamaan dalam imple-
untuk memajukan sekolah dan peradaban mentasi kurikulum sekolah yang mampu menepis
secara lebih luas. Salah satu pertimbangannya berbagai keragaman telah dilakukan, tetapi
karena di dalamnya terdapat orang-orang tampak belum menjadi budaya. Manajemen

8 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017


Sutjipto, Implementasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

sekolah hanya meyakini bahwa perilaku Pengelola pembelajaran di kelas umumnya


komunitas sekolah yang pro-sosial akan memahami akan konsep multikulturalisme, tetapi
menumbuhkembangkan ikatan antarwarga masih belum kuat dalam tataran penerapan
sekolah. Persepsi seperti itu, senyampang keberagaman. Oleh karena itu, guru seyogianya
dengan hasil penelitian Rutland, dkk. (2010) diajak memahami tidak hanya mengajarkan
yang mengungkapkan bahwa prasangka harus akademik, melainkan juga toleransi, sopan
dieliminasi sedemikian rupa dalam konteks santun, dan berempati. Di samping itu, dalam
pembangunan sosial-kognitif dan interaksi setiap aktivitas pendidikan di sekolah senantiasa
antara moralitas dan identitas kelompok. Dengan tetap mempertahankan pengajaran mata
demikian, kontak antarkelompok mampu pelajaran sebagai akar tradisi pembelajaran yang
membangun bagaimana siswa menganggap diperkuat dengan pengetahuan kemajemukan
identitas kelompok (dan norma-norma kelompok) Indonesia, sehingga siswa mengerti bagaimana
bersama dengan mereka mampu mengem- menghargai dan bertanggung jawab. Untuk itu,
bangkan keyakinan moral tentang keadilan dan kepala sekolah hendaknya selalu didorong
berkeadilan. Moralitas dan identitas kelompok membuka pilihan makna, bagaimana kepala
memiliki pengaruh yang sangat signifikan sekolah sebanyak mungkin mengatasi tantangan
terhadap berbagai kebijakan sekolah. Penelitian dalam implementasi pendidikan multikultural
Betts & Hinsz (2013) mengungkapkan bahwa (Santamara, 2013; du Plessis & Marais, 2015).
kelompok lebih bermusuhan dari individu ketika Di balik tersajinya bahan pembelajaran yang
ditolak. dimaknai sebagai ilmu pengetahuan, terkandung
banyak nilai bahkan budaya dan kerukunan yang
Konstruksi Ilmu Pengetahuan (Knowledge harus dihayati siswa. Dalam membentuk perilaku
Construction) masyarakat sekolah seperti itu, mengetahui dan
Data yang dihimpun melalui diskusi kelompok memahami instrumen kurikulum pendidikan
terpumpun terungkap bahwa semua responden multikultural memegang peran yang amat
memberikan tanggapan bahwa pada saat penting. Hal tersebut untuk memenuhi,
pembelajaran di sekolah baik di kelas maupun membentuk peradaban bangsa, dan juga
di luar kelas, senantiasa melakukan hal-hal yaitu menjadi inspirasi peradaban dunia. Menurut
1) mengajar tentang pengetahuan berkaitan semua responden, mendekatkan siswa pada
dengan mata pelajaran, 2) membimbing siswa pengetahuan mengenai toleransi akan
ke arah kebaikan, 3) menasihati siswa yang keberagaman budaya, suku, agama, dan
memiliki perilaku yang tidak sesuai norma, 4) golongan akan menguatkan toleransi dalam
menularkan budaya, dan 5) menanamkan kehidupan kebhinekaan di sekolah yang
kebaikan kepada orang lain melalui contoh merupakan simbol masyarakat yang beradab.
konkret. Konstruk yang terbentuk tersebut Indonesia yangdidirikan dengan ciri kodrati
menandakan bahwa pemahaman guru dan kepala majemuk, beragam, dan bhineka, baik dalam
sekolah terhadap multikulturalisme cukup agama, suku, maupun ras adalah cerminan di
signifikan. Sekolah dianggap memiliki makna sekolah sampel yang merupakan kenyataan
sosial karena internalisasi amalan-amalan yang yang tak terelakkan.
dibiasakan amat berguna dalam proses Namun, pada temuan yang lain, gempitanya
pembudayaan. tanggapan responden terhadap premis
Pada sisi yang lain, praksis sebagaimana pemahaman konsep multikultural ternyata tidak
terungkap di atas, menandakan bahwa peran berbanding lurus dengan dinamika aktivitas
kepala sekolah tentang konstruksi pembelajaran kesehariannya di sekolah. Potret yang meng-
multikulturalisme juga cukup signifikan. Namun, gambarkan bahwa warga sekolah mampu
hal tersebut paradoks dengan para gurunya. menggairahkan kesadaran dan tekad yang kuat

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017 9


Sutjipto, Implementasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

sebagai penanda ruh kebhinekaan ternyata kurikulum pendidikan yang sarat dengan nilai-
belum terwujud. Belum semua elemen sekolah, nilai keragaman dengan cara mengelola dan
baik guru, kepala sekolah dan pengelola lainnya merawat keberagaman, sehingga menghasilkan
memancarkan komitmen pribadi dalam men- masyarakat yang penuh kerukunan, toleransi,
transformasikan situasi plural monokul- dan penghargaan terhadap kemanusiaan.
turalisme menuju situasi plural-multikul- Meminjam istilah Yudhoyono, Tak ada resep
turalisme lewat berbagai medium aktivitas yang ajaib (Yudhoyono, 2017). Selaras dengan
kesehariannya. Pembelajaran masih tampak hasil penelitian kualitatif terhadap guru di
datar, belum menjadikan pluralisme sebagai Republik Ceko yang dilakukan Moree, dkk. (2008)
dinamika pembelajaran yang dapat membentuk menunjukkan bahwa kurikulum dan pengajaran
segregasi sosial, seraya membuka ruang-ruang pendidikan multikultural telah menjadi kewajiban
komunikasi bagi proses-proses interaktif, bagi sekolah dasar dan menengah. Temuan
pertukaran gagasan, dan penyerbukan silang penelitian ini memberi makna bahwa sekolah
budaya. hakikatnya dipandang sebagai suatu institusi
Temuan lainnya, aktivitas yang muncul sosial yang menjadi media proses penanaman
sebagai budaya kultural di sekolah lazimnya tak nilai-nilai budaya dan kebersamaan hidup dalam
berbeda dengan sekolah lain. Misalnya, di pagi keberagaman.
hari budaya salaman dan cium tangan kepada Kesadaran peran guru seperti itu membuat
yang lebih tua, seperti guru, kepala sekolah, kehadiran implementasi kurikulum multikultural
satuan pengamanan, dan lainnya selalu di- di sekolah dasar akan mampu mengkonstruksi
lakukan. Cara untuk menghormati dan meng- pengetahuan siswa untuk melihat arah pengem-
hargai orang lain seperti itu juga lazim dilakukan bangan perwujudan peradaban masa depan.
di sekolah lain. Nilai keadilan yang berkaitan Keadaban dapat dibentuk melalui nilai toleransi,
dengan hak-hak warga sekolah juga dalam moderasi, gotong royong, dan kerukunan di
bentuk keamanan sosial dan pengakuan timbal sekolah. Dengan begitu, keberagaman yang ada
balik dalam perbedaan bentuk-bentuk budaya di sekolah juga akan tumbuh dengan baik dan
kehidupan, menurut sebagian besar responden, menghasilkan identitas kewargaan ke-Indo-
juga masih menjadi isu krusial yang belum nesiaan yang bernas. Mayoritas responden
memperoleh penguatan. Padahal, dalam menjaga sepakat, terbentuknya kewarganegaraan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia karena pemahaman siswa atas
menurut semua responden, kata kuncinya perbedaan memperoleh bimbingan dari gurunya
adalah menjaga kebhinekaan meru-pakan merupakan prasaratnya.
keniscayaan, merupakan tugas semua pihak Hasil penelitian Blanchet-Cohen & Di
yang tak pernah berhenti, di mana pun berada. Mambro (2014) terhadap proyek-proyek
NKRI harus dijaga, salah satunya dengan lingkungan sebagai wahana keterlibatan anak-
membiasakan menjaga toleransi dan kohesi anak SD imigran dalam komunitas mereka
sosial di sekolah, tentunya diikuti yang menunjukkan bahwa jika didukung oleh guru
berkeadilan. Keadilan memang bisa membantu yang memiliki komitmen dan memfasilitasi mereka
persatuan, tetapi dengan keadilan saja tidak dengan cara menghargai dari aspek sosio-fisik
cukup. Persatuan punya gramatika sendiri, yaitu dan estetika lingkungan, akan memberi rasa
kohesi sosial (Latif, 2017). memiliki. Temuan ini mengindikasikan bahwa
Pengetahuan dan pemahaman tentang penerapan kurikulum multikultural yang digali dari
multikulturalisme harus terus diperjuangkan pemahaman nilai keberagaman mampu
walaupun tidak mudah. Bagi bangsa yang menguatkan identitas kewargaan nasional siswa.
beragam kultural tidak memerlukan kesera- Dari dua alat pengumpul informasi yang
gaman. Guru harus terus-menerus menerapkan diungkap di atas, tampak bahwa manajemen

10 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017


Sutjipto, Implementasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

sekolah umumnya telah memahami posisi dengan kebaikan, dapat mengubah bagaimana
konstruksi ilmu pengetahuan pada kurikulum kita dapat merasakan tentang apa yang mereka
multikultural. Akan tetapi, secara paradoksal lakukan. Hasil kajian ini memberikan bukti, bahwa
juga terjadi ketimpangan dalam implemen- sejumlah perilaku multikulturalisme mampu
tasinya. Implementasi kurikulum multikutural membawa kepingan bijak di tengah masyarakat
yang habitus, yang mampu menorehkan dengan sikap hidup toleran, mengurangi
toleransi dan tenggang rasa tampak masih belum prasangka, lebih reflektif dan kontemplatif untuk
kuat. Internalisasi nilai toleransi bermakna menjaga pluralisme.
mampu memahami adanya perbedaan, belum Pertanyaannya, seberapa kuat peran semua
membudaya di ruang-ruang kelas. Demikian pula guru saat mengajar di sekolah sampel dapat
nilai tenggang rasa, yaitu kemampuan terlibat dalam penghapusan prasangka?
mengendalikan diri dari sikap-sikap yang dapat Pertanyaan seperti itu sulit ditemukan jawa-
menyinggung dan merendahkan identitas bannya di sekolah. Walaupun prasangka dalam
sesama warga sekolah yang berbeda agama, diri siswa, yang masih usia SD adalah sangat
suku, ras, golongan, dan adat-istiadat dalam nyata. Dalam hal ini, Banks (2007) menyatakan
ranah pembelajaran juga tampak belum menjadi siswa datang ke sekolah senantiasa disertai
kebiasaan guru. dengan prasangka terhadap kelompok-kelompok
yang berbeda. Siswa yang datang ke sekolah
Pengurangan Prasangka (Prejudice dengan banyak prasangka, apabila merujuk hasil
Reduction) kajian Cavilla (2014) memperoleh diferensiasi
Data yang dihimpun melalui diskusi kelompok kurikulum dan infus budaya melalui pendidikan
terpumpun terungkap bahwa menurut semua secara baik akan memenuhi kebutuhan mereka.
responden pada hakikatnya pembelajaran Telaah ini sejalan dengan hasil penelitian Walling
sejatinya adalah membantu siswa agar (2016) yang menunjukkan bahwa 62% dari
memperoleh berbagai pengalaman, sehingga direktur yang mengajar di sekolah-sekolah
tingkah laku siswa bertambah baik, baik internasional melaporkan penggunaan musik dari
kuantitas maupun kualitas. Pengalaman tersebut berbagai budaya saat praktik pengajaran
meliputi pengetahuan, keterampilan dan nilai multikultural telah mempengaruhi secara positif.
atau norma yang berfungsi sebagai pengendali Indikator berkait dengan penggunaan
sikap dan perilaku menjalani kehidupan warga- metode mengajar guru untuk membantu siswa
bangsa Indonesia. Nilai-nilai kehidupan yang mengembangkan sikap rasial yang lebih positif,
sebenarnya akan memunculkan kesadaran bagi ditemukan dari observasi kelas belum mem-
siswa untuk mengekspresikan perasaan berikan perspektif multikulturalisme yang
toleransinya bahwa Indonesia adalah negara signifikan. Guru, yang umumnya satu agama
multikultural, yang memerlukan warganya dalam melaksanakan pembelajaran belum
berbudaya Nusantara. berafiliasi pada berbasis multikultural, seperti
Temuan tersebut dapat dimaknai bahwa mengintegrasikan materi pembelajaran yang
kebijakan kepala sekolah dalam mendesain relevan dengan unsur-unsur terkait dengan
implementasi kurikulum dikualifikasi sebagai multikulturalisme. Pembelajaran yang terjadi
kebijakan yang didaktis-konstruktif. Kebera- dapat dimaknai berlangsung seperti sediakala,
daannya merupakan suatu pengurangan penuh dengan pesan-pesan yang bersifat
prasangka yang lahir dari interaksi keberagaman abstrak. Guru umumnya belum membantu siswa
dalam kultur sekolah yang melatih kebajikan dalam mengembangkan perilaku positif tentang
tampak telah dipahami. Kebajikan, menurut perbedaan kelompok, baik mengenai ke-
pandangan Brownlie & Anderson (2016) dalam agamaan, kesukuan maupun identitas lainnya.
kajiannya tentang keterlibatan sosiologis

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017 11


Sutjipto, Implementasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

Misalnya, ketika siswa memiliki perilaku bahwa penggunaan buku teks pelajaran atau
negatif dan terjadi kesalahpahaman terhadap bahan pengajaran lain, strategi pembelajaran
keberadaan agama, suku, kelompok atau etnik yang kooperatif dapat membantu siswa untuk
lain, guru belum melakukan aksi yang dapat mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap
membantu mereka mengembangkan perilaku toleransi yang lebih kuat.
akomodatif dan yang lebih positif maupun Dalam konteks toleransi, Wilson (2014)
menyediakan kondisi yang memiliki citra positif dalam penelitiannya menemukan bahwa
tentang perbedaan kelompok. Aktualisasi toleransi terjadi di mana-mana di seluruh Eropa.
tentang nilai-nilai pluralisme tidak harus diingkari Bahkan, Dewan Eropa berupaya untuk mem-
atau dipaksakan untuk seragam tetapi sebuah bangun itu, sekolah diwajibkan untuk meng-
anugerah illahi yang sama-sama diwujudkan ajarkannya. Hasil kajian Wilson (2014) ini
untuk kebaikan bersama. Sikap toleran agar memberi pesan bahwa pengalaman siswa
dijadikan prasyarat mutlak yang harus dimiliki dengan model penguatan terhadap latar
siswa dalam berinteraksi dan mestinya belakang yang beragam akan mampu mem-
memperoleh penguatan. berikan energi positif dalam penguatan kohesi
Penguatan dimaksud merujuk hasil kajian sosial dan terajutnya ikatan kewargaan sekolah.
Buckley & Foldy (2010) yang telah mengem- Kondisi tersebut, linier dengan kenyataan bahwa
bangkan sebuah model pedagogis terkait masyarakat sekolah yang ada adalah majemuk,
kompetensi konseling multikultural yang berfokus sehingga diperlukan nilai toleransi. Toleransi
pada ras, rasisme, dan pengembangan identitas merupakan penghargaan kepada lainnya dan
ras. Mereka merekomendasikan bahwa premis dibutuhkan keterbukaan sikap. Bahkan Bautista,
dasar proses mengajar serta pendekatan dkk. (2017) dalam penelitiannya terhadap
pembelajaran tambahan yang menekankan karakteristik pendidikan para guru pendidikan
kehadiran pada jenis keselamatan, keamanan anak usia dini (PAUD) mendefinisikan keter-
psikologis, dan keamanan identitas sebagai bukaan pikiran sebagai kesediaan untuk
proses perkembangan seumur hidup dapat mempertimbangkan pengalaman, keyakinan,
mengurangi prasangka negatif. Dari model ini nilai, dan perspektif yang berbeda dari
tampak bahwa seorang guru pada saat di kelas keinginannya sendiri dalam mengayunkan
dituntut memiliki kepekaan yang tinggi terkait toleransi.
dengan jaminan rasa aman diri siswa dari Implementasi kurikulum multikultural
perlakuan stereotip negatif teman-temannya. menyangkut berbagai aspek kehidupan yang
Munculnya prasangka dalam diri siswa sangat penting dan tidak mengenal kata
kepada yang lain, menurut sebagian besar terlambat untuk dijadikan agenda bersama
responden, memang tidak mudah dideteksi, dalam hasanah aktivitas pembelajaran di
tetapi diyakini ada. Persepsi responden tentang sekolah, cukup dipahami oleh guru dan tenaga
hal tersebut ditemukan dari hasil observasi, yang kependidikan. Namun, bentuk aksi-aksi dalam
umumnya belum ada pemodelan dari guru yang kerangka pengurangan prasangka negatif siswa
menerapkan strategi pembelajaran yang lebih yang bisa muncul, tampak belum secara
bersahabat dengan budaya lain. Misalnya, hasil signifikan dibumikan di sekolah. Misalnya, proses
kajian Lowenstein (2009) dapat dijadikan rujukan penerapan kurikulum multikultural yang dapat
dalam mengajar yang menyatakan bahwa mengurangi gesekan prasangka negatif, seperti
apabila guru melihat masa depan siswa memiliki interaksi nilai-nilai sosial, memahami, peduli
sumber daya dan kemampuan untuk belajar akan, dan bertindak atas dasar inti nilai
maka guru harus kritis memeriksa dan dialog keberagaman di antara beragam pemikiran dan
tentang apa yang mereka modelkan melalui nilai melalui mata pelajaran, sehingga meng-
pedagogi tersebut. Kajian ini memberi sinyal hasilkan habituasi yang pada akhirnya akan

12 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017


Sutjipto, Implementasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

membentuk budaya sekolah, tampak belum tentang perjuangan budaya dan identitas yang
mengenali dan berkembang dalam konteks merupakan bahan multikulturalisme. Artinya,
kebersamaan. Implementasi kurikulum multi- sekolah didorong mendesain ulang dalam
kultural sebagai strategi pembentukan budaya kerangka penguatan nilai-nilai multikulturalisme.
pengurangan prasangka negatif di sekolah Pembelajaran cenderung belum meletakkan
tampak belum mampu memberi kontribusi dalam dasar dengan suguhan-suguhan tentang
proses penguatan bermakna toleransi sosial dan senyatanya kehidupan, misalnya dalam satu
kebudayaan. kelas ada siswa yang beda agama. Bagaimana
menyikapi hal ini? Apa yang harus guru lakukan?
Pedagogik Ekuitas/Kesetaraan (Equity Model konkret seperti apa dalam menghargai
Pedagogy) yang berbeda itu. Misalnya, perlukah di kelas
Implementasi kurikulum multikultural khas dilakukan saling doa dengan siswa yang berbeda
sekolah sampel yang menggambarkan satu agama. Sejumlah temuan itu, menandakan
pedagogik kesetaraan kans siswa (pedagogy bahwa siswa belum diajak membiasakan sebuah
equality of chance learners) di dalam ruang- ritual nilai tentang kehidupan yang berbeda dari
ruang kelas, hasil dari observasi kelas, nampak dirinya. Artinya, pendekatan pedagogis guna
belum menjadi kebiasaan. Kalimat-kalimat pemberian ruang dan kesempatan yang sama
perintah guru yang biasa digunakan umumnya bagi yang lain masih kurang tampak. Temuan
masih tunjuk nama, belum model demokrasi, ini mengindikasikan bahwa aktivitas dalam kelas
misalnya, dengan cara undian nama-nama yang mestinya penuh dengan nilai-nilai multi-
siswa. Demikian pula saat mengajar, guru kulturalisme tampak belum dibiasakan dengan
umumnya masih berperan sebagai pemberi semangat damai dan cinta kepada sesama.
informasi, belum menjadi pendorong sikap mental Esensi pembelajaran di samping mempelajari
siswa untuk bekerja, berkarya, dan ber- hal-hal yang bersifat akademis, pembekalan
argumentasi dalam hal keragaman. Demikian kepribadian tentang kesetaraan penting artinya
benang merah hasil observasi sekolah dengan untuk menghadapi lingkungan dalam situasi apa
tenaga guru di sekolah. pun. Guru di kelas mesti menciptakan citra yang
Pada sisi lain, juga ditemukan bahwa guru cukup kuat untuk menularkan contoh konkrit
umumnya masih melakukan penyeragaman pola yang diwujudkan melalui pedagogik kesetaraan
berpikir dan bertindak yang difokuskan pada satu yang relevan dengan realitas. Dengan begitu,
titik materi, tanpa melibatkan siswa secara adil guru memiliki andil besar dalam memekarkan
dan setara untuk memberikan tanggapan, eksistensi kemanusiaan dan bukan sekadar agar
sumbangan pemikiran, atau sekadar bertanya. manusia dapat hidup secara biologis semata.
Pembelajaran yang terjadi cenderung satu arah, Penegasan bahwa eksistensi sekolah tidak
dengan penekanan pada aspek normatif-kognitif nominal terus-menerus, tetapi menjadi satu
daripada tentang apa yang siswa butuhkan realitas yang tak terbantah. Kerangka pikir
untuk bersosialisasi dengan berbagai kera- seperti itu, sejalan dengan hasil penelitian David
gaman. Temuan ini sepertinya juga menjadi (2011) yang menemukan bahwa pertimbangan
parameter bahwa pembelajaran yang mengu- konseptual tentang ekuitas/kesetaraan dan
sung prinsip keberagaman masih jauh dari keragaman sebagai kunci untuk mengem-
harapan. Demikian pula, aktivitas produksi sosial bangkan kebijakan, praktik, dan pedagogi untuk
berbasis kesetaraan teman sebaya melalui masa depan dalam menghadapi abad ke-21.
berbagai dinamika pembelajaran di kelas Artinya, dalam mengawal pembelajaran,
umumnya juga belum menjadi habituasi. komitmen seorang guru senantiasa dituntut
Manakala hal seperti itu timbul, Galeotti (2010) mampu memberi contoh bagaimana memper-
mengusulkan pertimbangan ulang secara umum lakukan siswa tanpa membedakan asal-usulnya.

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017 13


Sutjipto, Implementasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

Praksis pembelajaran seperti itu, selaras dengan Tugas semacam ini, tampak sederhana, tetapi
Naraian (2016) ketika mengungkapkan hasil dapat dikembangkan menuju budaya multikul-
penelitiannya terhadap siswa dalam pendidikan turalisme, yang berguna bagi lulusan dalam
khusus bahwa komitmen guru hendaknya lebih kehidupan bermasyarakat. Contoh lain yang
memberikan pendekatan eklektik dalam bentuk ditemukan misalnya, berdoa dalam kelas
pedagogi inklusif kepada siswa disabilitas. Hasil umumnya masih diwarnai oleh satu agama.
penelitian ini memberi penegasan apabila guru Padahal, terdapat siswa yang berbeda agama.
mengajar hendaknya memiliki strategi pedagogi Adanya siswa yang berbeda agama seha-
yang mengetengahkan kesetaraan kepada rusnya juga menjadi perenungan seorang guru,
semua anak didiknya yang memiliki keragaman. aksi apa yang bersesuaian dengan kondisi
Jadi, semangat dasarnya adalah harus peng- seperti itu. Guru, selayaknya memiliki jiwa
ajaran yang setara dan berkeadilan. pengorbanan sebagaimana diungkapkan oleh
Meskipun kemajemukan yang ada di sekolah Dollahite, dkk. (2009) tentang pengorbanan
sampel relatif tidak mencolok (lihat Tabel 1), tujuh puluh tujuh remaja di 55 keluarga religius
namun, kegiatan menerapkan kurikulum Yahudi, Kristen, Muslim, dan Mormon di New
multikulturalisme seharusnya menjadi kenis- England dan California menunjukkan bahwa
cayaan, apalagi kenyataan hidup yang akan mereka memandang pengorbanan dilakukan
dihadapi siswa, memang penuh kemajemukan. karena alasan agama dengan pertimbangan pada
Merayakan Hari Raya Idul Fitri, misalnya, seperti lima domain: harapan masyarakat, budaya
halnya hari besar agama lain, mestinya menjadi populer, kenyamanan dan kesenangan, waktu
simbol kebersamaan dan keberagaman bagi dan aktivitas, dan hubungan sesama. Penelitian
komunitas sekolah. Bentuk internalisasi nilai ini memberi makna bahwa penguatan nilai-nilai
seperti itu, belum dibiasakan di sekolah. multikulturalisme membutuhkan perjuangan dan
Aktivitas hari raya keagamaan yang gempita pengorbanan berbagai pihak.
umumnya baru dilakukan sebatas pada satu Model pengajaran guru yang menge-
agama tertentu semata. Program kepala sekolah tengahkan pedagogis kesetaraan terhadap
tampak belum prokeberagaman. Padahal, keragaman siswanya masih belum adekuat.
kecenderungan pola kepemimpinan yang pro- Padahal, menurut penelitian Brown (2004)
pembudayaan, penghayatan, dan pengamalan tentang keragaman budaya tingkat SMP
nilai-nilai kew argaan yang multikultural menegaskan, guru seyogianya menerima pesan
merupakan keniscayaan. Dalam konteks ini, bahwa guru kelas harus multikultural dan guru
Santamara (2013) dalam penelitiannya mere- dibebankan dengan ajaran multikultural. Pesan
komendasikan perlunya alternatif model tersebut dapat memicu beberapa perubahan
kepemimpinan sebagai respon terhadap dalam kepekaan keragaman budaya, namun
keanekaragaman di sekolah dan nilai dalam metodologi yang digunakan untuk mengurangi
mengeksplorasi hubungan antara pendidikan resistensi dan pengasuhan serta penguatan
multikultural dan kepemimpinan pendidikan, perlu pesan memiliki pengaruh yang lebih besar. Jelas
menjadi perenungan. bahwa hasil penelitian ini memberi panduan
Setiap siswa di setiap sekolah belum secara manakala seorang guru mampu meningkatkan
alamiah mampu mengemban tugas dan peran dalam mengelola keberagaman penga-
tanggung jawab menyelesaikan pekerjaan yang ruhnya dapat menguatkan kohesi sosial.
bersentuhan dengan multikulturalisme. Siswa Dalam konteks pemahaman konsep, data
umumnya belum terlatih dan tertantang yang dihimpun melalui diskusi kelompok
menyelesaikan tugas-tugas dengan masalah terpumpun terungkap bahwa semua responden
keberagaman, misalnya, apa yang siswa pikirkan paham dan sepakat agar seorang guru selalu
kalau temanmu yang sakit berbeda agama? memikirkan yang terbaik bagi anak didiknya.

14 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017


Sutjipto, Implementasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

Bagaimana membimbing, menghadapi mereka, penting. Beberapa hal tersebut terungkap


mengarahkan mencapai tujuan, berbuat adil melalui diskusi kelompok terpumpun yang
untuk semua, dan mengelola siswa dalam dilakukan dua mingguan sekali. Pernyataan
menempuh proses pendidikan yang memberi sebagian besar responden, ternyata sejalan
ruang dan kesempatan yang setara dan sama. dengan studi kasus yang dilakukan oleh Kirk
Semua responden menyadari, banyak tujuan dkk. (2016) terhadap beragam etnis SMA
yang diinginkan oleh siswa setelah mengikuti perkotaan di Midwest Amerika Serikat yang
proses pembelajaran, satu di antaranya ialah memberikan pandangan bahwa model pem-
tentang nilai menghargai kemajemukan. berdayaan adalah kerangka yang berguna untuk
Responden memahami bahwa nilai tidak pernah perbaikan sekolah, menambah kekuatan yang
ada akhirnya, berbeda dengan tujuan apabila lebih luas terhadap iklim sekolah, dan
telah tercapai maka berakhirlah aktivitasnya. memperluas kinerja sekolah. Hasil penelitian ini
Tujuan bersekolah adalah menyelesaikan jenjang memberi penegasan bahwa budaya sekolah yang
SD, begitu tamat SD maka selesailah tujuan positif akan terbentuk manakala disertai dengan
itu. Menghargai, misalnya, tidak akan pernah kinerja sekolah yang juga baik dengan
berakhir, nilai itu akan tetap relevan sampai mengedepankan pola pemberdayaan.
kapan pun. Baik dan tidaknya kinerja sekolah, salah
Dalam kurikulum multikultural, nilai adalah satu parameternya adalah seberapa kuat
keseluruhan ciri aneka varietas mata pelajaran manajemen sekolah mampu mewujudkan bidang-
yang mesti dibangun di sekolah. Bahkan, Joesoef bidang garapan problematikanya, satu di
mengatakan kalau pendidikan bertujuan antaranya adalah terkait budaya multikul-
mengetahui bukan fakta, melainkan nilai (Latif, turalisme yang menjadi program unggulan.
2017). Oleh karena itu, saat bersekolah siswa Namun, pandangan itu tampaknya belum
harus mendapat pemahaman, perasaan, dan membentuk budaya bersama dan hasrat untuk
internalisasi tentang nilai-nilai. Dia perlu satu. Dalam sesi diskusi berikutnya, terungkap
memperoleh makna yang jernih mengenai pula bahwa semua belum bertanggung jawab
keindahan dan kebaikan moral kepada sesama. dan belum menjadi bagian dalam merawat
Padahal, tugas guru dalam konteks peng- kebhinekaan,jadi, masih kepala sekolah sentris.
implementasian kurikulum multikultural adalah Hasil yang didapat dari diskusi kelompok
menjabarkan kompetensi yang terdapat dalam terpumpun juga terungkap bahwa pember-
mata pelajaran yang mengandung nilai-nilai dayaan guru yang relatif baru berjalan.
untuk diajarkannya dengan pola pedagogis Pemberdayaan yang terjadi pun, masih normatif,
kesetaraan (equity pedagogy). seperti pembagian tugas mengajar, pembagian
tugas jam piket menjaga siswa, kepanitiaan
Pemberdayaan Budaya Sekolah penerimaan siswa baru, dan kegiatan lain di
(Empowering School Culture) sekolah yang umumnya berhubungan dengan
Salah satu jalan pembentukan budaya sekolah, akademis. Agenda kegiatan bersifat penguatan
menurut hampir semua (83%) responden ialah budaya multikulturalisme belum diprogramkan.
pemberdayaan. Mereka menyatakan, budaya Demikian pula pemberdayaan trisentra pendi-
sekolah tidak mungkin akan terwujud manakala dikan, khususnya keterlibatan orangtua siswa,
manajemen sekolah tidak menerapkan model masyarakat sekitar, dan sumber daya lain masih
pemberdayaan sebagai pemacu dalam mengge- ditemukan kendala. Temuan ini mengindikasikan
rakkan seluruh potensi yang ada. Tidak hanya bahwa domain pemberdayaan dalam kerangka
itu, penciptaan suasana atau iklim kerja sekolah melaksanakan aktivitas kebijakan program guna
yang memungkinkan potensi setiap orang membangun budaya multikultural di sekolah
berkembang, juga diungkapkan sebagai hal yang belum kuat. Semua alasan yang diungkap di

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017 15


Sutjipto, Implementasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

atas lebih menge-mukakan rasionalitas, tetapi bekal untuk merekam jejak sosial dan kultural
lemah dihadapkan dengan aksi-aksinya. di sekolah sampel. Sejak pertama kali melakukan
Pemberdayaan warga sekolah dalam observasi, awal Agustus 2016, dan bertemu
menyugesti siswa untuk berbuat kebajikan dengan komunitas sekolah, ada kesan sekolah
sebagai proses habituasi merupakan kebijakan seolah belum menyuarakan keharmonisan antara
yang bermakna proaktif dalam kerangka pikir budaya pendidikan, kultur, dan multikulturalisme
implementasi kurikulum multikultural. Contoh, kepada komunitasnya melalui model pember-
selama ini kebijakan tentang multikulturalisme dayaan. Data semacam itu, dapat dijumpai di
yang diterapkan di pondok pesantren telah dalam upaya pemberdayaan siswa yang belum
berhasil cukup signifikan karena didukung oleh dipandang di samping untuk memperkuat daya
adanya kurikulum pendidikan pesantren yang juga untuk mencegah terjadinya penge-
sarat dengan muatan paham-paham multikultu- lompokan yang tidak seimbang, serta mencip-
ralisme. Premis tersebut diangkat berdasarkan takan kebersamaan dan kemitraan antarmereka
studi Hasyim (2006) yang menemukan bahwa dalam meningkatkan pengetahuan yang
sikap toleransi, penghargaan terhadap perbeda- berdampak pada kesadaran multikultural.
an, dan semangat multikulturalisme cukup jelas Pemberdayaan tampak ada, tetapi sifatnya
ditanamkan melalui kitab kuning (turas Islam). lebih pada sasaran bidang akademis, belum pada
Berangkat dari suatu keanekaragaman pengawalan untuk menemukenali kekhasan
kultural adalah sebuah fakta sosial (demografis potensi sekolah yang bisa ditarik ke dalam ranah
maupun geografis) di dalam kenyataan aktual pembelajaran yang sarat dengan nilai multi-
bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri atas kulturalisme sekaligus mampu menempatkan guru
berbagai kelompok etnis, kelas sosial, budaya, dalam konteks kebersamaan. Premis semacam
agama, dan lain-lain, sehingga negara-bangsa itu, dapat merujuk pada hasil penelitian Elkader
Indonesia secara sederhana dapat disebut (2016) yang menyarankan pendekatan pendi-
sebagai kumpulan masyarakat superetnik. Dari dikan yang lebih demokratis menuju mengajar
semua latar itulah negara-bangsa Indonesia topik kontroversial kurikulum multikultural yang
menemukan kenyataan sosial dan budaya yang disebut multikulturalisme kritis melalui dialogis
multikultural, sebagai konsekuensi alamiah yang pedagogi. Karenanya, dapat dimaknai sekolah
tak terelakkan yang perlu penguatan dalam belum kuat mengetengahkan internalisasi nilai-
kurikulum. Pentingnya pemberdayaan dalam nilai multikulturalisme melalui pemberdayaan,
penerapan nilai-nilai multikultural mestinya tetapi masih sekadar fakta, seperti upacara
bukan hanya didominasi para pelaksana kebi- bendera, beribadah bersama, merayakan hari-
jakan pendidikan. Contohnya, penelitian De Bruin hari besar keagamaan dan nasional.
(2010) tentang seri polisi Belanda Baantjer dan Konteks pemberdayaan kepada komunitas
Spangen yang ditayangkan melalui drama televisi sekolah tentang budaya multikulturalisme
populer menawarkan kepada pemirsa kesem- merupakan suatu proses yang membiasakan
patan untuk membahas tema yang menonjol siswa menggali, mempelajari, menguasai nilai,
dalam masyarakat multikultural Belanda dapat dan menerapkannya demi kecerahan pribadi,
dijadikan inspirasi. Hasil penelitian ini memberi keluarga, dan masyarakat karena sama-sama
makna bahwa isu multikultural telah membawa mengakui kebajikannya mestinya dijadikan
upaya dalam mempersatukan kajian-kajian kebiasaan, bahkan budaya sekolah dan struktur
keberagaman pada setiap momen pendidikan. sosial. Misalnya, menciptakan kondisi saling
Sementara itu, observasi yang dilakukan menghargai dan saling ketergantungan siswa
terhadap konteks pemberdayaan guna memotret yang didasari nilai-nilai multikultural.
budaya sekolah, dapat dimaknakan cukup punya

16 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017


Sutjipto, Implementasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

SIMPULAN DAN SARAN Saran


Simpulan Berdasarkan simpulan penelitian yang diung-
Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas kapkan di atas, saran-saran yang perlu
dapat disimpulkan bahwa implementasi kurikulum disampaikan antara lain. Pertama, ditinjau dari
multikultural di sekolah saat ini umumnya belum perspektif implementasi kurikulum multikultural,
berubah ke arah yang lebih baik. Secara khusus, pembelajaran hendaknya diarahkan dan
ditemukan lima rincian simpulan. Pertama, dikuatkan untuk mewujudkan praktik baik guna
dokumen perangkat kurikulum yang digunakan mengerti bagaimana menghargai dan bertang-
di sekolah umumnya telah mengintegrasikan gung jawab mengenai keberagaman budaya,
nilai-nilai multikulturalisme dan juga tidak suku, agama, dan keyakinan. Kedua, kebera-
mengandung unsur kata, ilustrasi, gambar, gaman yang ada di sekolah hendaknya dirawat
ajakan atau ungkapan prasangka negatif yang dengan baik untuk menghasilkan ke-Indonesia-
mendiskreditkan keberagaman. Kedua, guru dan an yang bermakna dan sekaligus membentuk
tenaga kependidikan di sekolah umumnya secara citra sekolah yang ramah dengan keragaman.
cukup signifikan memahami pengetahuan Ketiga, komunitas sekolah hendaknya ber-
tentang multikultural baik yang tersurat maupun komitmen mengetengahkan budaya bernalar dan
yang tersirat dalam kurikulum. Ketiga, wujud akal sehat dalam membawa kemajemukan ke
pengimplementasian kurikulum dalam kerangka masyarakat dengan disertai sikap hidup toleran,
pengurangan prasangka negatif terhadap lebih reflektif, dan kontemplatif untuk menjaga
keberagaman yang dilakukan baik oleh siswa, kemajemukan. Keempat, pentingnya arti
guru maupun tenaga kependidikan yang muncul implementasi kurikulum pendidikan multikultural,
umumnya belum secara signifikan dapat hendaknya dimaknai sebagai berangkat dari
dikendalikan dengan baik di sekolah. Keempat, pengetahuan, pemahaman, penghayatan, dan
secara pedagogis penugasan-penugasan yang aktualisasi nilai-nilai oleh komunitas sekolah
diberikan kepada siswa dalam kegiatan pembe- secara utuh dan berkelajutan dalam menerima
lajaran di kelas umumnya belum secara signifikan senyatanya kemajemukan. Kelima, guru dan
mendorong upaya penguatan nilai-nilai meng- tenaga kependidikan dalam mengimple-
hargai kemajemukan di bidang-bidang perbaikan mentasikan kurikulum multikultural di sekolah
kehidupan. Kelima, dalam implementasi kurikulum dasar hendaknya selalu mendorong tatanan
multikultural umumnya belum secara signifikan masyarakat sekolah dengan mengutamakan
menyuarakan keharmonisan antara budaya persamaan ( equality) atau mengedepankan
pendidikan, kultur, dan multikulturalisme kepada keberagaman (diversity) sebagai manifestasi
komunitas sekolah untuk saling berinteraksi dari rasa tanggung jawab dan kepedulian
melalui model pemberdayaan. terhadap bangsanya yang bersifat pluralistik.

PUSTAKA ACUAN
Agirdag, O., Merry, M. S. & Van Houtte, M. 2016. Teachers Understanding of Multicultural
Education and the Correlates of Multicultural Content Integration in Flanders, Education
and Urban Society, 48(6), 556-582.
Arneil, B. & F. MacDonald. 2010. Multiculturalism and the Social Sphere, dalam The Ashgate
Research Companion to Multiculturalism, D. Ivison (ed.), 95117. London: Routledge.
Bachvarova, M. 2014. Multicultural Accommodation and the Ideal of Non-Domination. Critical
Review of International Social and Political Philosophy, 17(6), 652673.
Banks, J. A. & Banks, C. A. M (Eds.). 2004. Handbook of Research on Multicultural Education.
2nd Ed. San Francisco: Jossey-Bass.

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017 17


Sutjipto, Implementasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

Banks, J. A. 2007. Educating Citizens in A Multicultural Society (2nd ed.). New York: Teachers
College Press.
Banting, K., Johnston, R., Kymlmicka, W., & Soroka, S. 2006. Do Multiculturalism Policies Erode
the Welfare State? An Empirical Analysis, in Multiculturalism and the Welfare State, K.
Banting and W. Kymlicka (eds.), 4991. Oxford: Oxford University Press.
Bautista, N., Misco, T. & Quaye, S. J. 2017. Early Childhood Open-Mindedness: An Investigation
Into Preservice Teachers Capacity to Address Controversial Issues. Journal of Teacher
Education, 1-15. DOI: https://doi.org/10.1177/0022487117702575.
Betts, K. R. & Hinsz, V. B. 2013. Group Marginalization: Extending Research on Interpersonal
Rejection to Small Groups. Personality and Social Psychology Review, 17(4), 355-370.
Blanchet-Cohen, N. & Di Mambro, G. 2014. Environmental Education Action Research with
Immigrant Children in Schools: Space, audience and influence. Action Research, 13(2),
123-140.
Brownlie, J & Anderson, S. 2016. Thinking Sociologically About Kindness: Puncturing The Blas
in The Ordinary City Sociology, 1-17. DOI: 10.1177/0038038516661266
Brown, E. L. 2004. What Precipitates Change in Cultural Diversity Awareness during a
Multicultural Course: The Message or the Method? Journal of Teacher Education, 55(4),
325-340.
Buckley, T. R. & Foldy, E. G. 2010. A Pedagogical Model for Increasing Race-Related Multicultural
Counseling Competency 1 7. The Counseling Psychologist, 38(5), 691-713.
Cavilla, D. 2014. Thoughts on Access, Differentiation, and Implementation of A Multicultural
Curriculum. Gifted Education International, 30(3), 281-287.
David, Miriam E. 2011. Learning from Innovative International Research on Higher Education:
How to Conceptualise Equity for Policy, Practice and Pedagogies in Higher Education.
Research in Comparative and International Education, 6(4), 430-443.
De Bruin, J. 2010. Young People and Police Series: A Multicultural Television Audience Study.
Crime, Media, Culture, 6(3), 309-328.
Dollahite, D. C., Layton, E., Bahr, H. M., Walker, A. B. & Thatcher, J. Y. 2009. Giving Up
Something Good for Something Better: Sacred Sacrifices Made by Religious Youth.
Journal of Adolescent Research, 24(6), 691-725.
Dominguez, S. & Hollstein, B. (Eds.). 2014. Mixed Methods Social Networks Research Design and
Applications. New York: Cambridge University Press.
du Plessis, E. & Marais, P. 2015. A Grounded Theory Perspective on Leadership in Multicultural
Schools. Journal of Asian and African Studies, 52(5), 722-737 doi: 10.1177/
0021909615612122
Elkader, N Abd. 2016. Dialogic Pedagogy and Educating Preservice Teachers for Critical
Multiculturalism. SAGE Open, 6, 1-13.
Engelkamp, S. & Glaab, K. 2015. Writing Norms: Constructivist Norm Research and the Politics of
Ambiguity. Alternatives, 40(3-4), 201-218.
Faas, D. & Ross, W. 2012. Identity, Diversity and Citizenship: A Critical Analysis of Textbooks
and Curricula in Irish schools. International Sociology, 27(4), 574-591.
Ford, Derek R. 2014. Review of Tyson E. Lewis. On study: Giorgio Agamben and educational
potentiality. Studies in Philosophy and Education, 33(1), 105111.

18 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017


Sutjipto, Implementasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

Ford, D. Y. 2013. Why Education Must Be Multicultural, Addressing a Few Misperceptions With
Counterarguments. Gifted Child Today, 37(1), 59-62.
Galeotti, A. E. 2010. Multicultural Claims and Equal Respect. Philosophy & Social Criticism, 36(3-
4), 441-450.
Gordijn, E., Finchilescu, G., Brix, L., Wijnants, N. & Koomen, W. 2008. The Influence of Prejudice
and Stereotypes on Anticipated Affect: Feelings about a Potentially Negative Interaction
with Another Ethnic Group. South African Journal of Psychology, 38(4), 589-601.
Grice, J. W., Yepez, M., Wilson, N. L. & Shoda, Y. 2016. Observation-Oriented Modeling: Going
Beyond Is It All a Matter of Chance? Educational and Psychological Measurement.
Hasyim, S. 2006. Belajar Multikulturalalisme dari Pesantren. Jurnal Al-Wasathiyyah, 1(1).
Heryadi, H. & Silvana, H. 2013. Komunikasi Antarbudaya dalam Masyarakat Multikultural. Jurnal
Kajian Komunikasi, 1(1), 95-108.
Joesoef, D. 2017. Memikir Ulang Pendidikan, Kompas, 25/1/2017, Hal. 6.
Keddie, A. 2014. Australian Multicultural Policy: Social Cohesion Through a Political Conception
of Autonomy. Journal of Sociology, 50(4), 408-421.
Kirk, C. M., Lewis, R. K., Brown, K., Karibo, B., Scott, A. & Park, E. 2016. The Empowering
Schools Project: Identifying the Classroom and School Characteristics That Lead to
Student Empowerment. Youth & Society, 0(0).
Latif, Y. 2017. Kemajemukan Butuh Keadilan: Penolakan Multikulturalisme Dipicu Ketidakadilan,
Harian Kompas. 10 Februari 2017, Hal. 12
Leung, Ka-yee A. & Chiu, Chi-yue. 2010. Multicultural Experience, Idea Receptiveness, and
Creativity. Journal of Cross-Cultural Psychology, 41(5-6), 723-741.
Lie, J. (ed.). 2014. Multiethnic Korea? Multiculturalism, Migration, and Peoplehood Diversity in
Contemporary South Korea. Berkeley: Institute of East Asian Studies, University of
California, Berkeley.
Lowenstein, K. L. 2009. The Work of Multicultural Teacher Education: Reconceptualizing White
Teacher Candidates as Learners. Review of Educational Research, March 2009; 79(1)
163-196.
Lykogianni, R. 2008. Tracing Multicultural Cities From the Perspective of Womens Everyday
Lives. European Urban and Regional Studies, 15(2) 133-143.
Maddux, W. W., Bivolaru, E., Hafenbrack, A. C., Tadmor, C. T. & Galinsky, A. D. 2014. Expanding
Opportunities by Opening Your Mind: Multicultural Engagement Predicts Job Market
Success Through Longitudinal Increases in Integrative Complexity. Social Psychological
and Personality Science, 5(5) 608-615.
Maddux, W. W., Adam, H. & Galinsky, A. D. 2010. When in Rome ... Learn Why the Romans Do
What They Do: How Multicultural Learning Experiences Facilitate Creativity. Personality
and Social Psychology Bulletin, 36(6) 731-741.
Mentz, K. & van der Walt, J. L. 2007. Multicultural Concerns of Educators in the Western Cape
Province of South Africa. Education and Urban Society, 39(3) 423-449.
Miafodzyeva, S., Brandt, N. & Andersson, M. 2013. Recycling behaviour of householders living in
multicultural urban area: a case study of Jrva, Stockholm, Sweden. Waste Management
& Research, 31(5), 447-457.

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017 19


Sutjipto, Implementasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

Mitchell, A. 2010. Peace Beyond Process? Millennium - Journal of International Studies, 38(3)
641-664.
Moree, D., Klaassen, C. & Veugelers, W. 2008. Teachers Ideas about Multicultural Education in a
Changing Society: The Case of the Czech Republic. European Educational Research
Journal, 7(1) 60-73.
Naraian, S. 2016. Teaching for Real: Reconciling Explicit Literacy Instruction With Inclusive
Pedagogy in a Fourth-Grade Urban Classroom. Urban Education, 0(0).
Nurhayati, A. 2011. Menggagas Pendidikan Multikultur di Indonesia. Jurnal Al-Tahrir, 11(2), 327-
347.
Okoye-Johnson, O. 2011. Does Multicultural Education Improve Students Racial Attitudes?
Implications for Closing the Achievement Gap. Journal of Black Studies. 42(8), 1252-
1274.
Olmedo, I. M., 2004. Raising Transnational Issues in a Multicultural Curriculum Project. Urban
Education, 39(3), 241-265.
Peterson, M. F. & Sndergaard, M. 2011. Traditions and Transitions in Quantitative Societal
Culture Research in Organization Studies. Organization Studies, 32(11), 1539-1558.
Purwanto, J., Suwandi, S., & Wardhani, N. E. 2013. Pendidikan Multikultural dalam Buku Pelajaran
Bahasa Indonesia Non-BSE untuk Siswa SMP di Surakarta. Jurnal Pendidikan Bahasa dan
Sastra, 1(1), 12-26.
Rutland, A., Killen, M., & Abrams, D. 2010. A New Social-Cognitive Developmental Perspective on
Prejudice: The Interplay Between Morality and Group Identity. Perspectives on
Psychological Science, 5(3), 279-291.
Santamara, L. J. 2013. Critical Change for The Greater Good: Multicultural Perceptions in
Educational Leadership Toward Social Justice and Equity. Educational Administration
Quarterly, 50(3), 347-391.
Schoorman, D. & Bogotch, I. 2010. What is a Critical Multicultural Researcher? A Self-Reflective
Study of The Role of The Researcher. Education, Citizenship and Social Justice, 5(3),
249-264.
Solano-Campos, A. 2015. Childrens National Identity in Multicultural Classrooms in Costa Rica
and The United States. Research in Comparative and International Education, 10(1), 71-
94.
Thompson, J., Bakken, L. & Wei-Cheng, M. 2009. Equity Education: A Longitudinal Study
Comparing Multicultural Knowledge and Dispositions of Field-Based and Campus-Based
Teacher Candidates. Policy Futures in Education, 7(4), 416-422.
Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Grasindo.
Trauna, D. S. 2010. Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme. Jakarta:
Kementerian Agama.
Walling, C. B. 2016. Secondary Choral Directors Multicultural Teaching Practices, Attitudes and
Experiences in International Schools. International Journal of Music Education, 34(2),
196-207.
Wihardit, K. 2010. Pendidikan Multikultural: Suatu Konsep, Pendekatan dan Solusi. Jurnal
Pendidikan, 11(2).

20 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017


Sutjipto, Implementasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

Wilson, H. F. 2014. The Possibilities of Tolerance: Intercultural Dialogue in a Multicultural Europe.


Environment and Planning D: Society and Space, 32(5) 852-868.
Yudhoyono, S. B. 2017. Menjawab Tantangan 2017, Harian Kompas, 9 Januari 2017, Hal. 6.
Zuriah, N. 2011. Model Pengembangan Kewarganegaraan Multikultural Berbasis Kearifan Lokal
dalam Fenomena Sosial Pasca Reformasi di Perpendidikan Tinggi. Jurnal Penelitian
Pendidikan, 11(2), 75-86.

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017 21


Sutjipto, Implementasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar

22 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017

You might also like