You are on page 1of 112

Tugas Pokok dan Fungsi Balai Konservasi Sumber Daya

Alam (BKSDA)

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :


6187/Kpts-II/ 2002 tanggal 10 Juni 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Konservasi
Sumber Daya Alam, dua aspek tugas pokok BKSDA Bali adalah :

Melaksanakan pengelolaan kawasan konservasi, yaitu kawasan hutan Cagar Alam


(CA), dan kawasan hutan Taman Wisata Alam (TWA),
Melaksanakan upaya konservasi tumbuhan dan satwa liar, baik di dalam habitatnya
(konservasi in-situ) maupun di luar habitatnya (konservasi ex-situ)

Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Balai KSDA Bali mempunyai fungsi :

Menyusun Program Pengembangan Kawasan, Pemangkuan Kawasan Suaka Alam


(Cagar Alam Batukahu), Taman Wisata Alam (TWA. Danau Buyan-Danau
Tamblingan, TWA. Penelokan dan TWA. Sangeh).
Melaksanakan konservasi perlindungan dan pemanfaatan kawasan serta jenis
tumbuhan dan satwa.
Pengamanan kawasan dan jenis sumber daya alam hayati diluar kawasan.
Pembinaan cinta alam dan penyuluhan konservasi sumber daya alam.
Menyelenggarakan Administrasi Perkantoran/Ketata Usahaan Kantor

Visi
Dalam melaksanakan tugasnya BKSDA Bali mempunyai Visi :

Terwujudnya pengelolaan sumber daya alam hayati dan pengelolaan hutan konservasi yang
aman dan mantap secara legal formal, didukung kelembagaan yang kuat dalam
pengelolaannya serta mampu memberikan manfaat optimal kepada masyarakat, untuk
mendukung pembangunan Bali yang berkelanjutan.

Misi
Untuk mewujudkan Visi tersebut, BKSDA Bali mengemban Misi :

Memantapkan pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,


Memantapkan perlindungan hutan dan penegakan hukum (Law enforcement),
Mengembangkan secara optimal pemanfaatan sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian,
Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan dalam rangka pengelolaan,
perlindungan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Sasaran
Untuk mencapai tujuan sesuai dengan Visi dan Misi yang telah direncanakan, ditetapkan
Sasaran sebagai berikut :
Meningkatkan efektifitas pengelolaan kawasan konservasi dan mendorong
pengembangan kawasan konservasi baru,
Mengembangkan kegiatan fasilitasi pengelolaan ekosistem esensial/daerah
perlindungan satwa,
Meningkatkan upaya pengawetan keanekaragaman sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya,
Meningkatkan upaya perlindungan kawasan, perlindungan sumber daya alam hayati,
dan pengendalian/penanggulangan kebakaran hutan, serta penegakan hukum,
Meningkatkan upaya pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
berdasarkan prinsip kelestarian, serta pengawasan /pengendalian pemanfaatan sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya,
Meningkatkan pengembangan pemanfaatan obyek dan daya tarik wisata alam dan jasa
lingkungan, serta pengembangan Bina Cinta Alam,
Mengembangkan upaya penguatan kelembagaan dan kemitraan dalam rangka
pengelolaan, perlindungan, dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya

UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati


dan Ekosistem

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 5 TAHUN 1990

TENTANG

KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

1. bahwa sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai kedudukan
serta peranan penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu
perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi
kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya,
baik masa kini maupun masa depan;
2. bahwa pembangunan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya adalah
bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan
Pancasila;
3. bahwa unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling
tergantung antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan
dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem;
4. bahwa untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung
dengan cara sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan
keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri;
5. bahwa peraturan perundang-undangan yang ada dan masih berlaku merupakan produk
hukum warisan pemerintah kolonial yang bersifat parsial, sehingga perlu dicabut karena
sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kepentingan nasional;
6. bahwa peraturan perundang-undangan produk hukum nasional yang ada belum
menampung dan mengatur secara menyeluruh mengenai konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya;
7. bahwa sehubungan dengan hal-hal di atas, dipandang perlu menetapkan ketentuan
mengenai konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam suatu undang-
undang.

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan
(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823);
3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3215);
4. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan
Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3234) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1988 (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3368);
5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985
Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299).

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KONSERVASI SUMBER


DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan:

1. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya
alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur
non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
2. Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang
pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
3. Ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur
dalam alam, baik hayati maupun non hayati yang saling tergantung dan pengaruh
mempengaruhi.
4. Tumbuhan adalah semua jenis sumber daya alam nabati, baik yang hidup di darat maupun di
air.
5. Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat, dan atau di air, dan
atau di udara.
6. Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang hidup di alam bebas dan atau dipelihara, yang masih
mempunyai kemurnian jenisnya.
7. Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara
yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh
manusia.
8. Habitat adalah lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang
secara alami.
9. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di
perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem
penyangga kehidupan.
10. Cagar alam adalah kawasan suaka alam karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan
tunbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan
perkembangannya berlangsung secara alami.
11. Suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa
keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat
dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
12. Cagar biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan atau
ekosistem yang telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan
dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan.
13. Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun
di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya.
14. Taman nasional adalah kawasan pelesatarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola
dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
15. Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan
atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi
kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya,
pariwisata dan rekreasi.
16. Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk
pariwisata dan rekreasi alam.

Pasal 2

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan
dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang.

Pasal 3
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya
kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

Pasal 4

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan
kewajiban Pemerintah serta masyarakat.

Pasal 5

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:

1. perlindungan sistem penyangga kehidupan;


2. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
3. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

BAB II
PERLINDUNGAN SISTEM PENYANGGA KEHIDUPAN

Pasal 6

Sistem penyangga kehidupan merupakan satu proses alami dari berbagai unsur hayati dan
non hayati yang menjamin kelangsungan kehidupan makhluk.

Pasal 7

Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis


yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
mutu kehidupan manusia.

Pasal 8

(1) Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pemerintah


menetapkan:

1. wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;


2. pola dasar pembinaan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;
3. pengaturan cara pemanfaatan wilayah pelindungan sistem penyangga kehidupan.

(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 9

(1) Setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan dalam wilayah sistem
penyangga kehidupan wajib menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut.

(2) Dalam rangka pelaksanaan perlindungan sistem penyangga kehidupan, Pemerintah


mengatur serta melakukan tindakan penertiban terhadap penggunaan dan pengelolaan tanah
dan hak pengusahaan di perairan yang terletak dalam wilayah perlindungan sistem penyangga
kehidupan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8.

(3) Tindakan penertiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 10

Wilayah sistem penyangga kehidupan yang mengalami kerusakan secara alami dan atau oleh
karena pemanfaatannya serta oleh sebab-sebab lainnya diikuti dengan upaya rehabilitasi
secara berencana dan berkesinambungan.

BAB III
PENGAWETAN KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA
BESERTA EKOSISTEMNYA

Pasal 11

Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dilaksanakan


melalui kegiatan:

1. pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;


2. pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.

Pasal 12

Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dilaksanakan


dengan menjaga keutuhan kawasan suaka alam agar tetap dalam keadaan asli.

Pasal 13

(1) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan suaka
alam.

(2) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di dalam kawasan suaka alam dilakukan dengan
membiarkan agar populasi semua jenis tumbuhan dan satwa tetap seimbang menurut proses
alami di habitatnya.

(3) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar kawasan suaka alam dilakukan dengan
menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa untuk menghindari bahaya
kepunahan.

BAB IV
KAWASAN SUAKA ALAM

Pasal 14

Kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 terdiri dari:

1. cagar alam;
2. suaka margasatwa.

Pasal 15

Kawasan suaka alam selain mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, juga berfungsi sebagai wilayah
perlindungan sistem penyangga kehidupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).

Pasal 16

(1) Pengelolaan kawasan suaka alam dilaksanakan oleh Pemerintah sebagai upaya
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.

(2) Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penetapan dan pemanfaatan suatu wilayah
sebagai kawasan suaka alam dan penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai
daerah penyangga diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17

(1) Di dalam cagar alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan
pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lainnya yang menunjang
budidaya.

(2) Di dalam suaka margasatwa dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan
pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan lainnya yang
menunjang budidaya.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 18

(1) Dalam rangka kerjasama konservasi internasional, khususnya dalam kegiatan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, kawasan suaka alam dan kawasan tertentu lainnya
dapat ditetapkan sebagai cagar biosfer.

(2) Penetapan suatu kawasan suaka alam dan kawasan tertentu lainnya sebagai cagar biosfer
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19

(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap
keutuhan kawasan suaka alam.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk kegiatan pembinaan
habitat untuk kepentingan satwa di dalam suaka margasatwa.

(3) Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah
jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.
BAB V
PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA

Pasal 20

(1) Tumbuhan dan satwa digolongkan dalam jenis:

1. tumbuhan dan satwa yang dilindungi;


2. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.

(2) Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
digolongkan dalam:

1. tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan;


2. tumbuhan dan satwa yang populasinya jarang.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 21

(1) Setiap orang dilarang untuk :

1. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan


memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup
atau mati;
2. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau
mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.

(2) Setiap orang dilarang untuk :

1. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan


memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
2. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang
dilindungi dalam keadaan mati;
3. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam
atau di luar Indonesia;
4. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa
yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau
mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar
Indonesia;
5. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan
atau sarang satwa yang dillindungi.

Pasal 22

(1) Pengecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 hanya dapat dilakukan
untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan atau penyelamatan jenis tumbuhan dan
satwa yang bersangkutan.
(2) Termasuk dalam penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pemberian
atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri dengan izin
Pemerintah.

(3) Pengecualian dari larangan menangkap, melukai, dan membunuh satwa yang dilindungi
dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena suatu sebab satwa yang dilindungi
membahayakan kehidupan manusia.

(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 23

(1) Apabila diperlukan, dapat dilakukan pemasukan tumbuhan dan satwa liar dari luar negeri
ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.

(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 24

(1) Apabila terjadi pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,
tumbuhan dan satwa tersebut dirampas untuk negara.

(2) Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi atau bagian-bagiannya yang dirampas untuk
negara dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak
di bidang konservasi tumbuhan dan satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak
memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan.

Pasal 25

(1) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya dapat dilakukan dalam
bentuk pemeliharaan atau pengembangbiakan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk untuk
itu.

(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB VI
PEMANFAATAN SECARA LESTARI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN
EKOSISTEMNYA

Pasal 26

Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui
kegiatan:

1. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam;


2. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.
Pasal 27

Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga
kelestarian fungsi kawasan.

Pasal 28

Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan
potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar.

BAB VII
KAWASAN PELESTARIAN ALAM

Pasal 29

(1) Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 terdiri dari:

1. taman nasional;
2. taman hutan raya;
3. taman wisata alam.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu wilayah sebagai kawasan pelestarian
alam dan penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 30

Kawasan pelestarian alam mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan,


pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Pasal 31

(1) Di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dilakukan
kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
budaya, dan wisata alam.

(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi
pokok masing-masing kawasan.

Pasal 32

Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona
pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan.

Pasal 33

(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap
keutuhan zona inti taman nasional.
(2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta
menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.

(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona
pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

Pasal 34

(1) Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dilaksanakan oleh
Pemerintah.

(2) Di dalam zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam
dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan.

(3) Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak
pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata
alam dengan mengikut sertakan rakyat.

(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 35

Dalam keadaan tertentu dan sangat diperlukan untuk mempertahankan atau memulihkan
kelestarian sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya, Pemerintah dapat menghentikan
kegiatan pemanfaatan dan menutup taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam
sebagian atau seluruhnya untuk selama waktu tertentu.

BAB VIII
PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

Pasal 36

(1) Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilaksanakan dalam bentuk:

1. pengkajian, penelitian dan pengembangan;


2. penangkaran;
3. perburuan;
4. perdagangan;
5. peragaan;
6. pertukaran;
7. budidaya tanaman obat-obatan;
8. pemeliharaan untuk kesenangan.

(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB IX
PERAN SERTA RAKYAT
Pasal 37

(1) Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan
dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil
guna.

(2) Dalam mengembangkan peran serta rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB X
PENYERAHAN URUSAN DAN TUGAS PEMBANTUAN

Pasal 38

(1) Dalam rangka pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,
Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang tersebut kepada Pemerintah
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-
pokok Pemerintahan di Daerah.

(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB XI
PENYIDIKAN

Pasal 39

(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
meliputi pembinaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

(2) Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak mengurangi
kewenangan penyidik sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983
tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985
tentang Perikanan.

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang untuk:

1. melakukan pemeriksanaan atas laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di
bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
2. melakukan pemeriksaaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
3. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan suaka alam dan kawasan
pelestarian alam;
4. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
5. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan tindak
pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
6. membuat dan menandatangani berita acara;
7. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana
di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

(4) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan
dan melaporkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Pejabat Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 107 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

BAB XII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 40

(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).

(2) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).

(3) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).

(4) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) adalah pelanggaran.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 41

Hutan suaka alam dan taman wisata yang telah ditunjuk dan ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya Undang-undang ini dianggap telah
ditetapkan sebagai kawasan suaka alam dan taman wisata alam berdasarkan Undang-undang
ini.

Pasal 42

Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang konservasi


sumber daya hayati dan ekosistemnya yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-undang ini, tetap berlaku sampai dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru
berdasarkan undang-undang ini.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 43

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:

1. Ordonansi Perburuan (Jachtordonnantie 1931 Staatsblad 1931 Nummer 133);


2. Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar (Dierenbeschermingsordonnantie 1931
Staatsblad 1931 Nummer 134);
3. Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtoddonnantie Java en Madoera 1940
Staatsblad 1939 Nummer 733);
4. Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbeschermingsordonnantie 1941 Staatsblad 1941
Nummer 167); dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 44

Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Konservasi Hayati.

Pasal 45

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan


penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

Pada tanggal 10 Agustus 1990

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Agustus 1990

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA,

Ttd

MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1990 NOMOR 49

Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT KABINET RI

Kepala Biro Hukum dan Perundang-undangan

ttd

Bambang Kesowo, S.H.,LL.M.


BAB 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Sumber Daya Alam merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan
ini,karena tanpa ada sumber daya alam kita mustahil untuk dapat hidup di dunia ini,misalnya
untuk makan maka kita mengambil makanan tersebut dari alam,untuk membangun rumah
kita menggunakan kayu,kayu ter sebut juga berasal dari sumber daya alam dan masih banyak
yang lainnya pokoknya semua kegiatan di bumi ini pasti tidak terlepas dari sumber daya
alam.Di Indonesia ini terdapat berbagai macam sumber daya alam yang melimpah,namun
kitasepertinya tidak memanfaatkan sumber daya alam tersebut dengan baik dan juga tidak
bijaksana dalam menggunakannya.Mengingat begitu pentingnya manfaat sumber daya alam
ter sebut maka kita seharusnya melakukan konser vasi atau melestarikan sumber daya alam
tersebutuntuk kelangsungan hidup kita.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka masalah yang timbul adalah:
a. Apa pengertian Konservasi
b. Jenis-jenis sumber daya alam
c. Upaya untuk melakukan konservasi sumber daya alam
d. Kendala untuk melakukan konservasi
e. Contoh Konservasi Sumber daya alam di Indonesia
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian dari konservasi sumber daya alam
b. Mengetahui jenis sumber daya alam
c. Untuk mengetahui bagaimana cara melakukan servasi
d. Untuk menambah penngetahuan penulis

BAB 2
Pembahasan

2.1 Pengertian Konservasi Sumber Daya Alam


Ditinjau dari bahasa, konservasi berasal dari kata conservation, dengan pokok kata to
conserve (Bhs inggris) yang artinya menjaga agar bermanfaat, tidak punah/lenyap atau
merugikan. Sedangkan sumber dalam alam sendiri merupakan salah satu unsur dari
liungkungan hidup yang terdiri dari sumber daya alam hayati dan sumber daya alam non
hayati, serta seluruh gejala keunikan alam, semua ini merupakan unsur pembentuk
lingkungan hidup yang kehadirannya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Dari sedikit uraian tersebut diatas, maka konservasi sumber daya alam dapat diartikan
sebagai pengelolaan sumber daya alam yang dapat menjamin pemanfaatannya secara
bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas keanekaragamannya.
Pengertian konservasi sumber daya alam dapat mengandung tiga aspek, yaitu :

1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan

Sistem penyangga kehidupan merupakan satu proses alami dari berbagai unsur hayati dan
non hayati yang menjamin kelangsungan kehidupan makhluk. Perlindungan sistem
penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang
kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan
manusia.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut Pemerintah menetapkan:


a. wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pola dasar pembinaan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;
c. pengaturan cara pemanfaatan wilayah pelindungan sistem penyangga kehidupan.

2. Pengawetan dan pemeliharaan keanekaragaman, jenis baik flora dan fauna beserta
ekosistemnya.

Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa bertujuan untuk:


a. menghindarkan jenis tumbuhan dan satwa dari bahaya kepunahan;
b. menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa;
c. memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada;
agar dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan.

Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui upaya:


a. penetapan dan penggolongan yang dilindungi dan tidak dilindungi;
b. pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya;
c. pemeliharaan dan pengembangbiakan.

3. Pemanfaatan secara lestari bagi terjaminnya sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.

Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui
kegiatan:
a. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam;
b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.

2.2 Jenis-jenis Sumber Daya Alam


Menurut kemungkinan pemulihannya, kita mengenal 2 (dua) macam sumber daya
alam, yaitu :

1. Renevable, sumber daya alam yang dapat dipulihkan/ diperbaharui, yaitu sumber
daya alam yang dapat dipakai kembali setelah diadakan beberapa proses.
Contoh : air, pohon, hewan dll
2. Anrenevable, yaitu sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui/ dipulihkan apabila
dipakai terus menerus akan habis dan tidaka dapat diperbarui.
Contoh : minyak bumi, batubara, Emas dll.

2.3 Upaya untuk melakukan konservasi sumber daya alam

Agar usaha pembangunan konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup di
Indonesia dapat mencapai harapan yang telah ditetapkan secara garis besar perlu ditempuh
upaya sebagai berikut :

1. Intensifikasi pengelolaan kawasan konservasi


2. Peningkatan dan perluasan kawasan konservasi sehingga mewakili tipe-tipe ekosistem
yang ada.
3. Recruitment dan peningkatan ketrampilan personel melalui pendidikan dan latihan.
4. Peningkatan sarana dan prasarana yang memadai.
5. Peningkatan kerjasama dengan isntansi lain didalam dan luar negeri.
6. Penyempurnaan peraturan perundang-undanagn dibidang konservasi sumber daya
alam dan lingkungan hidup.
7. Peningkatan pengamanan dan pengawasan terhadap kawasan konservasi (dengan
pemberian pal-pal batas) peradaran flora dan fauna.
8. Memasyarakatkan konservasi ke seluruh lapisan masyarakat sehingga dapat berperan
serta dalam upaya konservasi sumber daya alam dan lingkungan

2.4 Kendala dalam konservasi sumber daya alam


Dalam melaksanakan pembangunan konservasi sumber daya alam, dan ekosistemnya
masih ditemui kendala pada umumnya diakibatkan oleh :

1. Tekanan penduduk
Jumlah penduduk Indonesia yang padat sehingga kebutuhan akan sumber daya alam
meningkat.
2. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran ekologis dari masyarakat masih rendah, hal ini dikarenakan tingkat
pendidikan yang rendah dan pendapatan yang belum memadai. Sebagai contoh
beberapa kawasan konservasi yang telah ditetapkan banyak mengalami kerusakan
akibat perladangan liar / berpindah-pindah.
3. Kemajuan teknologi
Kemajuan teknologi yang cukup pesat akan menyerap kekayaan (eksploitasi sumber
daya alam) dan kurangnya aparat pengawasan serta terbatasnya sarana prasarana.
4. Peraturan dan perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini belum cukup mendukung
pembentukan kawasan konservasi khususnya laut (perairan).

2.5 Contoh Konservasi sumber daya alam di Indonesia

1. Kawasan suaka alam, adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik didarat dan
diperairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai
wilayah penyangga kehidupan.
2. Kawasan pelestarian alam, adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik didarat
maupun diperairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta
pemanfaatannya secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
3. Cagar alam, adalah hutan suaka alam yang berhubungan dengan keadaan alam yang
khas termasuk alam hewani dan alam nabati yang perlu dilindungi untuk kepentingan
ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Selain contoh yang disebutkan diatas tentunya masih banyak lagi contoh yang lainnya
seperti,melakukan reboisasi,membuang sampah pada tempatnya,tidak melakukan penebangan
hutan secara liar dan lain-lain.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Simpulan
a. konservasi sumber daya alam dapat diartikan sebagai pengelolaan sumber daya alam yang
dapat menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragamannya.
b. Sumber daya alam itu terbagi menjadi dua yaitu sumber daya alam yang dapat diperbaharui
dan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui.

3.2 Saran
Kawasan konservasi adalah merupakan salah satu sumber kehidupan yang dapat
meningkatkan kesejahtreraan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu usaha-usaha konservasi
di Indonesia haruslah tetap memegang peranan penting dimasa yang akan datang, suatu hal
yang perlu diperhatikan adalah bahwa usaha konservasi sumber daya alam tersebut harus
dapat terlihat memberikan keuntungan kepada masyarakat luas, hal ini penting untuk
mendapat dukungan dan partisipasi seluruh lapisan masyarakat.
Demikian makalah dari kami apabila ada kesalahan dalam penulisan atau isi yang
kurang berkenanharapkan kami mohon maaf,dan kami mengharapkan kritik serta saran yang
membangun bagi pembaca yang budiman.

Kegiatan Konservasi sumber daya alam hayati merupakan upaya pengelolaan sumber daya
alam hayati dengan memperhitungkan kelangsungan dan tetap memelihara serta
meningkatkan kualitasnya.

Tujuan melakukan konservasi tersebut adalah untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian


sumber daya alam dan keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mutu kehidupan manusia.

Ada tiga strategi yang digunakan untuk mewujudkan tujuan tersebut yaitu :

1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan;


2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar beserta ekosistemnya;
3. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Proses perlindungan, pengawetan dapat dilakukan di kawasan konservasi, taman hutan raya,
dan taman wisata alam; mengingat kawasan konservasi itu adalah kawasan pelestarian alam
yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk
tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan
rekreasi.

Perlindungan Sistem Penyangga Perlindungan sistem penyangga ini dimaksudkan untuk


memelihara proses ekologi yang dapat menunjang kelangsungan dan mutu kehidupan, serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

a. Konservasi In-Situ (Kelebihan dan Kelemahannya)

Konservasi in-situ merupakan upaya pengawetan jenis tumbuhan dan satwa liar di dalam
kawasan suaka alam yang dilakukan dengan jalan membiarkan agar populasinya tetap
seimbang menurut proses alami di habitatnya. Sampai saat ini telah ditetapkan ada enam jenis
kawasan yang dipergunakan sebagai kawasan konservasi in-stu, yaitu kawasan konservasi,
taman wisata alam, taman hutan raya, cagar alam, suaka margasatwa, dan taman buru.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan
dan Satwa Liar, maka pengelolaan di dalam habitatnya dapat dilakukan dalam bentuk
identifikasi, inventarisasi, pemantauan habitat dan populasinya, penyelamatan jenis,
pengkajian, penelitian dan pengembangan. Upaya konservasi in-situ ini dikatakan paling
efektif, karena perlindungan dilakukan di dalam habitat aslinya, sehingga tidak diperlukan
lagi proses adaptasi bagi kehidupan dari jenis tumbuhan dan satwa liar tersebut ke tempat
yang baru .

Namun demikian, suatu kelemahan akan terjadi jika suatu jenis yang dikonservasi secara in-
situ tersebut memiliki penyebaran yang sempit; kemudian tanpa diketahui terjadi perubahan
habitat, maka akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup jenis tersebut; begitu
pula jika di daerah tersebut terjadi bencana atau kebakaran, niscaya seluruh jenis yang
terdapat di dalamnya akan terancam musnah dan tidak ada yang dapat dicadangkan lagi. Oleh
karena itu, selain upaya konservasi in-situ perlu dilengkapi dengan upaya konservasi ex-situ.

b. Konservasi Ex-Situ (Kelebihan dan Kelemahannya)

Upaya konservasi ex-situ merupakan upaya pengawetan jenis di luar kawasan yang dilakukan
dengan menjaga dan mengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa liar. Tempat yang cocok
untuk melakukan kegiatan tersebut misalnya di kebun binatang, kebun raya, arboretum, dan
taman safari. Kegiatan konservasi ex-situ ini dilakukan adalah untuk menghindarkan adanya
kepunahan suatu jenis. Hal ini perlu dilakukan mengingat terjadinya berbagai tekanan
terhadap populasi maupun habitatnya. Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999
tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, maka pengelolaan jenis di luar
habitatnya dapat dilakukan dalam bentuk pemeliharaan, pengembangbiakan, pengkajian,
penelitian, pengembangan rehabilitasi satwa, penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa liar.

Untuk melakukan kegiatan konservasi ex-situ berbagai persyarataan yang perlu dipenuhi,
yaitu: tersedianya tempat yang cukup luas, aman dan nyaman, memenuhi standart kesehatan
tumbuhan dan satwa, serta mempunyai tenaga ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan.
Begitu pula kalau ingin melakukan perkembangbiakan jenis di luar habitatnya, maka
persyaratan yang perlu dipenuhi yaitu: dapat menjaga kemurnian jenis dan keanekaragaman
genetik, dapat melakukan penandaan dan sertifikasi, serta dapat membuat buku daftar silsilah.
Ada berbagai kelebihan dan kekurangan dalam penyelenggaraan kegiatan konservasi ex-situ.
Kelebihannya antara lain dapat mencegah kepunahan lokal pada berbagai jenis tumbuhan
akibat adanya bencana alam dan kegiatan manusia, dapat dipakai untuk arena perkenalan
berbagai jenis tumbuhan dan wisata alam bagi masyarakat luas, berguna untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama yang berkaitan dalam kegiatan
budidaya jenis hewan dan tumbuhan; sedangkan kelemahannya antara lain, konservasi ex-situ
memerlukan kegiatan eksplorasi dan penelitian terlebih dahulu. Hal ini dilakukan adalah
untuk melihat adanya kecocokan terhadap daerah atau lokasi sebelum kegiatan tersebut
dilakukan; di samping itu pada kegiatan ini dibutuhkan pula dana yang cukup besar, serta
tersedianya tenaga ahli dan orang yang berpengalaman.

Konservasi in situ berarti konservasi dari spesies target "di tapak (on site)", dalam ekosistem
alami atau aslinya, atau pada tapak yang sebelumnya ditempat oleh ekosistem tersebut.
Khusus untuk tumbuhan meskipun berlaku untuk populasi yang dibiakkan secara alami,
konservasi in situ mungkin termasuk regenerasi buatan bilamana penanaman dilakukan tanpa
seleksi yang disengaja dan pada area yang sama bila benih atau materi reproduktif lainnya
dikumpulkan secara acak.
Secara umum, metode konservasi in situ memiliki 3 ciri:

1. Fase pertumbuhan dari spesies target dijaga di dalam ekosistem di mana mereka
terdapat secara alami;
2. Tataguna lahan dari tapak terbatas pada kegiatan yang tidak memberikan dampak
merugikan pada tujuan konservasi habitat;
3. Regenerasi target spesies terjadi tanpa manipulasi manusia atau intervensi terbatas
pada langkah jangka pendek untuk menghindarkan faktor-faktor yang merugikan
sebagai akibat dari tataguna lahan dari lahan yang berdekatan atau dari fragmentasi
hutan.

Persyaratan kunci untuk konservasi in situ dari spesies jarang (rare species) adalah
penaksiran dan perancangan ukuran populasi minimum viable (viable population areas)
dari target spesies. Untuk menjamin konservasi diversitas genetik yang besar di dalam
spesies, beberapa area konservasi mungkin diperlukan, jumlah yang tepat dan ukurannya
akan tergantung kepada distribusi diversitas genetik dari spesies yang dikonservasi.
Penjagaan dan berfungsinya ekosistem pada konservasi in situ tergantung kepada pemahaman
beberapa interaksi ekologi, terutama hubungan simbiotik di antara tumbuhan atau hewan,
penyebaran biji, jamur yang berasosiasi dengan akar dan hewan yang hidup di dalam
ekosistem.
Konservasi EX SITU

Konservasi ex situ merupakan metode konservasi yang mengonservasi spesies di luar distribusi
alami dari populasi tetuanya. Konservasi ini merupakan proses melindungi spesies tumbuhan dan
hewan (langka) dengan mengambilnya dari habitat yang tidak aman atau terancam dan
menempatkannya atau bagiannya di bawah perlindungan manusia.

Kebun botani (raya), arboretum, kebun binatang dan aquarium merupakan metode konservasi ex
situ konvensional; Fasilitas ini menyediakan bukan hanya tempat terlindung dari spesimen spesies
langka tetapi juga memiliki nilai pendidikan. Fasilitas ini memberikan informasi bagi masyarakat
mengenai status ancaman pada spesies langka dan faktor-faktor yang menimbulkan ancaman dan
membahayakan kehidupan spesies.

Penyimpanan benih, metode konservasi ex situ yang lain, merupakan penyimpanan benih pada
lingkungan yang terkendali. Dengan pengendalian temperatur dan kondisi kelembaban, benih
beberapa spesies yang disimpan akan tetap viabel (mampu hidup) untuk beberapa dekade. Teknik
ini merupakan konservasi yang utama pada tanaman pertanian dan mulai dipergunakan untuk
spesies pohon hutan.

Bentuk yang paling umum untuk konservasi ex-situ untuk pohon adalah tegakan hidup. Tegakan
seperti ini sering kali bermula dari koleksi sumber benih dan dipelihara untuk pengamatan. Ukuran
tegakan mungkin berkisar dari spesimen dalam kebun botani (raya) dan arboretum, sampai dengan
beberapa pohon ornamental pada plot-plot kecil, atau plot-plot yang lebih besar untuk pohon.

Ada beberapa kelemahan konservasi ex situ.

Konservasi exsitu ini sesungguhnya sangat bermanfaat untuk melindungi biodiversitas, tetapi jauh
dari cukup untuk menyelamatkan spesies dari kepunahan. Metode ini dipengunakan sebagai cara
terakhir atau sebab suplemen terhadap konservasi ini situ karena tidak dapat menciptakan kembali
habitat secara keseluruhan: seluruh varisi genetik dari suatu spesies, pasangan simbiotiknya, atau
elemen-elemennya, yang dalam jangka panjang, mungkin membantu suatu spesies beradaptasi pada
lingkungan yang berubah. Sebalinya, konservasi ex situ menghilangkan spesies dari konteks ekologi
alaminya, melindunginya di bawah kondisi semi-terisolasi di mana evolusi alami dan proses adaptasi
dihentikan sementara atau dirubah dengan mengintroduksi spesimen pada habitat yang tidak alami.
Dalam hal metode penyimpanan kriogenik, proses-proses adaptasi spesimen yang dipreservasi
membeku keseluruhannya. Kelemahannya adalah bila spesimen ini dilepaskan ke alam, spesies
mungkin kekurangan adaptasi genetik dan mutasi yang akan memungkinkannya untuk bertahan
dalam habitat alami yang selalu berubah.

Di samping itu, teknik-teknik konservasi ex situ seringkali mahal, dengan penyimpanan kriogenik
yang secara ekonomis tidak layak pada kebanyakan spesies. Bank benih tidak efektif untuk
tumbuhan tertentu yang memiliki benih rekalsitran yang tidak tetap viabel dalam jangkan lama.
Hama dan penyakit tertentu di mana spesies yang dikonservasi tidak memiliki daya tahan
terhadapnya mungkin juga dapat merusakannya pada pertanaman ex situ dan hewan hidup dalam
penangkaran ex situ. Faktor-faktor ini dikombinasikan dengan lingkingan yang spesifik yang
diperlukan oleh banyak spesies, beberapa di antaranya tidak mungkin diciptakan kembali, membuat
konservasi ex situ tidak mungkin dilakukan untuk banyak flora dan fauna langka di dunia.

Tetapi, bila suatu spesies benar-benar akan punah, konservasi ex situ menjadi satu-satunya pilihan
yang tersisa. Lebih baik mepreservasi suatu spesies daripada membiarkan punah seluruhnya.
Konservasi Sumber Daya Genetik

Hutan alam tropika di Indonesia dewasa ini menghadapi masalah kerusakan yang menjadi
semakin parah karena adanya penebangan kayu secara besar-besaran dan kebakaran hutan
yang terjadi setiap musim kemarau tiba. Kerusakan yang terjadi secara cepat menyebabkan
banyak ahli kehutanan berpendapat bahwa hutan alam tropika di Indonesia akan segera punah
pada tahun 2015, terutama di Sumatra dan Kalimantan.

Rusak/punahnya hutan alam tropika di Indonesia, selain tampak pada kerusakan fisik secara
nyata juga tercakup di dalamnya sumber genetik tumbuhan yang merupakan salah satu aspek
yang sangat berpengaruh pada regenerasi hutan di masa yang akan datang. Padahal
kelestarian hutan alam tergantung dari kemampuan hutan tersebut untuk meremajakan diri.
Kondisi tersebut membuat Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan untuk melakukan
konservasi dan pelestarian sumber daya alam hayati pada prioritas utama. Tujuan utama dari
kebijakan ini adalah untuk mempertahankan biodiversitas yang merupakan landasan
terciptanya stabilitas ekosistem. Biodiversitas memiliki arti tidak hanya berkaitan dengan
jumlah jenis tetapi juga meliputi variasi dan keunikan gen tumbuhan beserta ekosistemnya.

Ada beberapa cara yang dapat diterapkan untuk melakukan konservasi genetik, (1)
Konservasi ex-situ, yang dikerjakan/dibangun di luar wilayah asal tanaman, meliputi kebun
benih, kebun klon, bank klon, dan pertanaman uji provenans. Konservasi dengan cara ini
sangat menguntungkan guna kepentingan pemuliaan dan program penghutanan kembali yang
dikaitkan dengan peningkatan kualitas genetik.; (2) Konservasi in-situ, yang
dikerjakan/dibangun di wilayah tanaman berasal. Secara teoritis, konservasi in-situ lebih
menguntungkankan sebab selain jenis tumbuhan yang akan dikonservasi, juga termasuk di
dalamnya habitat atau ekosistem dimana tumbuhan tersebut tumbuh dan berkembang juga
ikut dipertahankan.

Kondisi asli ini akan menyebabkan tetap terkontrolnya interaksi genetik dengan
lingkungannya, yang meliputi adaptasi dan evolusi populasi yang dikonservasi.
Keanekaragaman genetik pada sebuah hutan sesungguhnya merupakan sebuah hal yang
kompleks, heterogen dan dinamis; keanekaragaman tersebut terwujud oleh adanya interaksi
antara lingkungan secara fisik, sistem biologis hutan dan populasinya, serta pengaruh
manusia dan lingkungan sosial sekitar hutan. Untuk melakukan konservasi atas hutan tersebut
diperlukan kebijakan yang tepat sehingga dapat menguntungkan semua pihak.

Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan konservasi genetik yang
diharapkan:

1. Pertimbangan atas berbagai macam kepentingan konservasi dikaitkan dengan hak


masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah konservasi. Konflik lahan yang seringkali terjadi
pada kawasan hutan, dimana masyarakat sekitar hutan berusaha untuk menggarap tanah
hutan dan diakui sebagai sebagai miliknya membuat pemerintah tidak dapat mengabaikan
keberadaan mereka. Tidak adanya pendekatan yang tepat terhadap masyarakat akan
menyebabkan setiap program yang direncanakan terhadap wilayah hutan akan mendapat
hambatan yang serius. Hal ini bukan saja karena ketidaktahuan masyarakat, tetapi juga
karena masyarakat mencoba untuk mendapatkan atau memperluas tanah garapannya.
Kondisi semacam ini dapat diatasi apabila pemerintah berusaha untuk mengakomodasi
kepentingan mereka sejalan dengan program yang direncanakan. Keikutsertaan masyarakat
dalam program yang direncanakan diharapkan akan membuat masyarakat berpikir/mengerti
akan kepentingannya sehingga turut mewujudkan atau paling tidak menjaganya;
2. Kebijakan integrasi, koordinasi dan inovasi. Guna memperoleh hasil seperti yang diharapkan,
maka harus ada wewenang dan tanggung jawab yang jelas antara pihak-pihak yang bekerja
dalam lingkup kehutanan. Pemerintah yang berusaha melakukan konservasi hutan dan
instansi swasta yang pada umumnya mementingkan aspek komersial, harus mengadakan
integrasi dan koordinasi sehingga masing-masng pihak dapat mengambil keuntungan tanpa
merugikan pihak yang lain dalam hal ini berkaitan dengan pengelolaan konservasi hutan.
3. Kapasitas dan kerjasama antar institusi pemerintah. Program yang dicanangkan pemerintah,
seringkali menimbulkan dampak yang tidak diharapkan dari adanya kebijakaan antar
departemen yang saling berbenturan. Sebagai contoh, tidak jarang kebijakan pada bidang
pertanian membuat program penghijauan kawasan hutan menjadi tidak mungkin
dilaksanakan karena perubahan tata guna lahan secara sepihak. Hal seperti ini seharusnya
bias dihindari apabila masing-masing departemen saling menghargai dan bias menyamakan
persepsi atas status suatu lahan. Bahkan akan sangat menguntungkan apabila antar
departemen melakukan kerjasama untuk mengelola lahan sehingga pemanfaatannya bias
maksimal.
4. Penunjukan secara tepat berkait dengan tipe konservasi yang sesuai. Untuk dapat
memutuskan secara tepat tipe konservasi yang diperlukan, harus dipahami lebih dahulu
bahwa ekosistem hutan sangat kompleks, baik menyangkut jenis-jenis tumbuhan yang ada
di dalamnya, nilai ekonomi kayu atau tumbuhannya maupun status populasinya. Konservasi
ek situ akan efektif dilakukan apabila memang saangat tidk dimungkinkan untuk melakukan
konservasi in situ pada jenis yang diinginkan, atau terdapat ancaman kerawanan yang tinggi
sehingga keamanan jenis tidak dapat dijamin pada lingkungan aslinya. Sedangkan konservasi
insitu akan efektif dilakukan apabila fungsi dan proses ekosistem serta proses interaksi antar
spesies dalam kawasan konservasi berjalan sesuai dengan sifat alaminya, tanpa gangguan,
sehingga memunculkan karakteristik yang tepat untuk konservasi in situ.
5. Pengembangan kebijakan konservasi yang terintegrasi. Mengingat pentingnya konservasi
genetik maka pihak-pihak yang bergerak di bidang kehutanan, pemerintah maupun swasta,
hendaknya menangani permasalahan ini secara khusus. Apabila perlu sangat dimungkinkan
pelaksanaan konservasi genetik ini dengan melibatkan berbagai untur secara terpadu agar
diperoleh hasil yang maksimal.

Manfaat dan Ancaman Keanekaragaman Hayati (The Values Of Biodiversity)

Keanekaragaman hayati mengandung beragam manfaat dan dapat memerankan berbagai fungsi

sehingga pelestariannya menjadi sangat penting baik ditinjau dari sudut ekonomi maupun ekologi serta etika.

Berbagai komponen flora maupun fauna telah memberikan sumbangannya dalam penemuan dan pengembangan

farmasi dan kedokteran, subsitusi terhadap jenis-jenis bahan pangan baru, dan peningkatan kemampuan rekajasa

genetik.

Keindahan dan keunikan keanekaragaman hayati telah memperkaya kehidupan dan kebudayaan kita,

menyediakan berbagai obyek penelitian dan pengembangan, menunjang keharmonisan hidup dan ketenangan

batiniah, dan memberikan kepuasan dan kesenangan serta jasa berwisata. Potensi tersebut merupakan modal

yang besar dalam pengembangan ekturisme yang berkembang pesat dari tahun ke tahun.

Manfaat lain yang sulit untuk dihitung adalah peranan keanekaragaman hayati sebagai pemelihara dan

penyangga proses-proses pendukung kehidupan. Hutan misalnya, berfungsi sebagai pengatur iklim dan

pelindung siklus air, penyerap bahan-bahan pencemar, dan pelindung tanah dari erosi.

Nilai dan manfaat dari keragaman hayati secara umum dapat dibagi berdasarkan :
Keanekaragaman hayati mengandung beragam manfaat dan dapat memerankan berbagai fungsi

sehingga pelestariannya menjadi sangat penting baik ditinjau dari sudut ekonomi maupun ekologi serta etika.

Berbagai komponen flora maupun fauna telah memberikan sumbangannya dalam penemuan dan pengembangan

farmasi dan kedokteran, subsitusi terhadap jenis-jenis bahan pangan baru, dan peningkatan kemampuan rekajasa

genetik.

Keindahan dan keunikan keanekaragaman hayati telah memperkaya kehidupan dan kebudayaan kita,

menyediakan berbagai obyek penelitian dan pengembangan, menunjang keharmonisan hidup dan ketenangan

batiniah, dan memberikan kepuasan dan kesenangan serta jasa berwisata. Potensi tersebut merupakan modal

yang besar dalam pengembangan ekturisme yang berkembang pesat dari tahun ke tahun.

Manfaat lain yang sulit untuk dihitung adalah peranan keanekaragaman hayati sebagai pemelihara dan

penyangga proses-proses pendukung kehidupan. Hutan misalnya, berfungsi sebagai pengatur iklim dan

pelindung siklus air, penyerap bahan-bahan pencemar, dan pelindung tanah dari erosi.

Keanekaragaman hayati atau


biological diversity (biodiversity)
merupakan istilah yang mengacu
pada berbagai kehidupan di bumi.
Secara umum, kajiannya
menyangkut tiga tingkatan, yaitu:
keanekaragaman genetik,
keanekaragaman jenis, dan
keanekaan ekosistem. Di alam,
beranekaragam jenis hayati
umumnya hidup dalam kondisi
lingkungan tertentu, hasil interaksi
antara jenis-jenis hayati (biotik)
dengan faktor abiotik (antara lain
tanah, udara, air, temperatur,
kelembaban) di sekitarnya.
Selanjutnya, sistem hubungan timbal
balik antara jenis-jenis hayati dengan
lingkungannya membentuk suatu
sistem ekologi atau
ekosistem. Ekosistem di alam banyak
ragamnya. Misalnya, ekosistem
hutan, pesisir, lautan dan lain-lain.
Berbagai ragam varietas, jenis atau
pun ekosistem itu memberikan
manfaat pada manusia. Oleh
karenanya, semua itu perlu dikelola
oleh manusia dengan sebaik-baiknya,
agar berbagai keuntungan tersebut
tidak punah. Salah satu caranya
adalah dengan melakukan
konservasi. Konservasi atau
conservation dapat diartikan sebagai
suatu usaha pengelolaan yang
dilakukan oleh manusia dalam
memanfaatkan sumberdaya alam
sehingga dapat menghasilkan
keuntungan sebesar-besarnya secara
berkelanjutan untuk generasi
manusia saat ini, serta tetap
memelihara potensinya untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan
aspirasi-aspirasi generasi generasi
yang akan datang.
Berdasarkan pengertian tersebut, konservasi mencakup berbagai aspek
positif, yaitu perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan secara berkelanjutan,
restorasi, dan penguatan lingkungan alam (IUCN, 1980). Pengertian tersebut juga
menekankan bahwa konservasi tidak bertentangan dengan pemanfaatan aneka
ragam varietas, jenis dan ekosistem untuk kepentingan manusia secara maksimal
selama pemanfaatan tersebut dilakukan secara berkelanjutan.
Dalam praktek di lapangan, kerap kali masih ditemukan pengertian dan
persepsi tentang konservasi yang keliru, yaitu seolah-olah konservasi melarang total
pemanfataan sumberdaya alam. Berlandaskan pada pengertian tersebut
masyarakat, khususnya penduduk setempat yang bermukim di sekitar kawasan
konservasi, dilarang keras untuk dapat menikmati berbagai manfaat yang
diberikan oleh lingkungan sekitarnya. Penduduk dipisahkan dengan lingkungannya
secara paksa, padahal mereka secara turun-temurun telah lama tinggal di
wilayahnya.
Tujuan utama konservasi, menurut Strategi Konservasi Sedunia (World
Conservation Strategy), ada tiga, yaitu: (a) memelihara proses ekologi yang esensial
dan sistem pendukung kehidupan, (b) mempertahankan keanekaan genetis , dan (c)
menjamin pemanfaatan jenis (spesies) dan ekosistem secara berkelanjutan.
Dari uraian mengenai tujuan konservasi tersebut, kita tahu bahwa tidak ada
larangan bagi manusia untuk memanfaatkan varitas, jenis, dan ekosistem yang ada
di sekitarnya. Dan bila dilihat dari sejarah perkembangan peradaban manusia di
muka bumi, sesungguhnya manusia tidak pernah lepas dari aspek pemanfaatan dan
pengelolaan anekaragam jenis dan ekosistem di lingkungan sekitarnya.

2. KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI

Banyak spesies telah berkembang dan punah sejak kehidupan bermula. Hal
ini dapat ketahui melalui catatan fosil. Tetapi, sekarang ini spesies menjadi punah
dengan laju yang lebih tinggi daripada waktu sebelumnya dalam sejarah geologi,
hampir keseluruhannya disebabkan oleh kegiatan manusia. Di masa geologi yang
lalu spesies yang punah akan digantikan oleh spesies baru yang berkembang
mengisi celah atau ruang yang ditinggalkan. Pada saat sekarang, hal ini tidak akan
mungkin terjadi karena banyak habitat telah hilang.
Kerusakan hutan telah meningkatkan emisi karbon hampir 20 %. Ini sangat
signifikan karena karbon dioksida merupakan salah satu gas rumah kaca yang
berimplikasi pada kecenderungan pemanasan global. Salju dan penutupan es telah
menurun, suhu lautan dalam telah meningkat dan level permukaan lautan
meningkat 100-200 mm selama abad yang terakhir. Bila laju yang sekarang
berlanjut, para pakar memprediksi bumi secara rata-rata 1oC akan lebih panas
menjelang tahun 2025. Peningkatan permukaan air laut dapat menenggelamkan
banyak wilayah. Kondisi cuaca yang ekstrim yang menyebabkan kekeringan, banjir
dan taufan, serta distribusi organisme penyebab penyakit diprediksinya dapat
terjadi.
Hutan dapat mempengaruhi pola curah hujan melalui transpirasi dan
melindungi daerah aliran sungai. Deforestasi menyebabkan penurunan curah hujan
dan perubahan pola distribusinya. Ini juga menyebabkan erosi dan banjir. Apa
yang disampaikan di atas hanya beberapa dampak ekologis dari deforestasi, yang
dampaknya berpengaruh langsung pada manusia.
Bencana alam seperti banjir, dan kebakaran hutan yang secara langsung
maupun tidak langsung disebabkan kegiatan manusia, semuanya memberikan
konsekuensi ekonomi serius pada wilayah yang terkena. Biaya untuk mengatasinya
bisa menelas ratusan juta rupiah, termasuk kesengsaraan manusian yang terkena.
Erosi dan terbentuknya gurun karena deforestasi menurunkan kemampuan
masyarakat setempat untuk menanam tanaman dan memberi makan mereka
sendiri.
Ekploitasi sumbedaya hutan yang tidak bijaksana pada akhirnya juga
berakhir dengan kehancuran industri hasil hutan. Bila metode lestari yang
dipergunakan, areal yang dipanenan ditanami kembali, maka ini bukan merupakan
substitusi untuk hutan yang telah dipanen. Hutan alam mungkin memerlukan
ratusan tahun untuk berkembang menjadi sistem yang rumit yang mengandung
banyak spesies yang saling tergantung satu sama lain. Pada tegakan dengan pohon-
pohon yang ditanam murni, lapisan permukaan tanah dan tumbuhan bawahnya
diupayakan relatif bersih. Pohon-pohon muda akan mendukung sebagian kecil
spesies asli yang telah ada sebelumnya. Pohon-pohon hutan hujan tropis perlu
waktu bertahun-tahun untuk dapat dipanen dan tidak dapat digantikan dengan
cepat; demikian juga komunitasnya yang kompleks juga juga tidak mudah
digantikan bila rusak.
Kehilangan keanekaragaman hayati secara umum juga berarti bahwa spesies
yang memiliki potensi ekonomi dan sosial mungkin hilang sebelum mereka
ditemukan. Sumberdaya obat-obatan dan bahan kimia yang bermanfaat yang
dikandung oleh spesies liar mungkin hilang untuk selamanya. Kekayaan spesies
yang terdapat pada hutan hujan tropis mungkin mengandung bahan kimia dan
obat-obatan yang berguna. Banyak spesies lautan mempertahankan dirinya secara
kimiawi dan ini merupakan sumber bahan obat-obatan yang penting.
Banyak metode dan alat yang tersedia dalam pengelolaan keanekaragaman
hayati yang secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut:
- Konservasi Insitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies, variasi
genetik dan habitat dalam ekosistem aslinya. Pendekatan insitu meliputi
penetapan dan pengelolaan kawasan lindung seperti: cagar alam, suaka
margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, hutan lindung, sempadan
sungai, kawasan plasma nutfah dan kawasan bergambut. Dalam prakteknya,
pendekatan insitu juga termasuk pengelolaan satwa liar dan strategi
perlindungan sumberdaya di luar kawasan lindung. Di bidang kehutanan dan
pertanian, pendekatan insitu juga digunakan untuk melindungi
keanekaragaman genetik tanaman di habitat aslinya serta penetapan spesies
dilindungi tanpa menspesifikasikan habitatnya.
- Konservasi Eksitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies
tanaman, satwa liar dan organisme mikro serta varietas genetik di luar
habitat/ekosistem aslinya. Kegiatan yang umum dilakukan antara lain
penangkaran, penyimpanan atau pengklonan karena alasan: (1) habitat
mengalami kerusakan akibat konversi; (2) materi tersebut dapat digunakan
untuk penelitian, percobaan, pengembangan produk baru atau pendidikan
lingkungan. Dalam metode tersebut termasuk: pembangunan kebun raya,
koleksi mikologi, museum, bank biji, koleksi kultur jaringan dan kebun
binatang. Mengingat bahwa organisme dikelola dalam lingkungan buatan,
metode eksitu mengisolasi spesies dari proses-proses evolusi.
- Restorasi dan Rehabilitasi, meliputi metode, baik insitu maupun eksitu,
untuk membangun kembali spesies, varietas genetik, komunitas, populasi,
habitat dan proses-proses ekologis. Restorasi ekologis biasanya melibatkan
upaya rekonstruksi ekosistem alami atau semi alami di daerah-daerah yang
mengalami degradasi, termasuk reintroduksi spesies asli, sedangkan
rehabilitasi melibatkan upaya untuk memperbaiki proses-proses ekosistem,
misalnya Daerah Aliran Sungai, tetapi tidak diikuti dengan pemulihan
ekosistem dan keberadaan spesies asli.
- Pengelolaan Lansekap Terpadu, meliputi alat dan strategi di bidang
kehutanan, perikanan, pertanian, pengelolaan satwa liar dan pariwisata untuk
menyatukan unsur perlindungan, pemanfaatan lestari serta kriteria
pemerataan dalam tujuan dan praktek pengelolaan. Mengingat bahwa
tataguna lahan tersebut mendominasi keseluruhan bentuk lansekap, baik
pedalaman maupun wilayah pesisir, reinvestasi untuk pengelolaan
keanekaragaman hayati memiliki peluang besar untuk dapat diperoleh.
- Formulasi Kebijakan dan Kelembagaan, meliputi metode yang membatasi
penggunaan sumberdaya lahan melalui zonasi, pemberian insentif dan pajak
untuk menekan praktek penggunaan lahan yang secara potensial dapat
merusak; mengaturan kepemilikan lahan yang mendukung pengurusannya
secara lestari; serta menetapkan kebijakan pengaturan kepentingan swasta
dan masyarakat yang menguntungkan bagi konservasi keanekaragaman
hayati.

3. PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DALAM EKOSISTEM


HUTAN

Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1990, konservasi sumberdaya alam


hayati dan ekosistemnya dilakukan dengan kegiatan: (1) perlindungan sistem
penyangga kehidupan; (2) pengawetan keanekaragaman spesies tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya; dan (3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya. Dalam konteks ini, konservasi keanekaragaman hayati
(biodiversity) merupakan bagian tak terpisahkan dari pengertian konservasi
sumberdaya alam hayati. Selain itu, dengan ratifikasi Konvensi Keanekaragaman
Hayati (Biodiversity Convention) oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1994, konservasi keanekaragaman hayati telah menjadi komitmen
nasional yang membutuhkan dukungan seluruh lapisan masyarakat.
Luas hutan hujan tropika di dunia hanya meliputi 7 % dari luas permukaan
bumi, tetapi mengandung lebih dari 50 % total jenis yang ada di seluruh dunia.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa hutan hujan tropika merupakan salah satu
pusat keanekaragaman hayati terpenting di dunia. Laju kerusakan hutan hujan
tropika yang relatif cepat telah menyebabkan tipe hutan ini menjadi pusat
perhatian dunia internasional. Meskipun luas Indonesia hanya 1.3 % dari luas
bumi, tetapi memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, meliputi : 10 % dari total
jenis tumbuhan berbunga, 12 % dari total jenis mamalia, 16 % dari total jenis
reptilia, 17 % dari total jenis burung dan 25 % dari total jenis ikan di seluruh
dunia. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi pusat perhatian dunia internasional
dalam hal keanekaragaman hayatinya.
Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2002/2003,
total daratan yang ditafsir adalah sebesar 187,91 juta ha kondisi penutupan lahan,
baik di dalam maupun di luar kawasan, adalah : Hutan 93,92 juta ha (50 %), Non
hutan 83,26 juta ha (44 %), dan Tidak ada data 10,73 juta ha (6 %). Khusus di
dalam kawasan hutan yaitu seluas 133,57 juta ha, kondisi penutupan lahannya
adalah sebagai berikut : Hutan 85,96 juta ha (64 %), Non hutan 39,09 juta ha (29
%) dan Tidak ada data 8,52 juta ha (7 %). (BAPLAN, 2005)
Eksploitasi hutan alam produksi secara besar-besaran yang telah
berlangsung sejak tahap awal pembangunan jangka panjang pertama (1969) telah
memberikan kontribusi besar bagi pembangunan nasional melalui produk
utamanya kayu dan hasil hutan ikutan (non-kayu) seperti rotan, damar,
tengkawang, cendana dan gaharu. Tanpa mengabaikan dampak positif tersebut,
eksploitasi hutan alam produksi juga telah memberikan dampak negatif bagi
sumberdaya hutan sendiri. Berbagai jenis kayu komersial, bahkan di antaranya
termasuk kayu mewah, kini telah menjadi langka. Kayu eboni (Dyospyros ebenum
dan D. celebica), kayu ulin (Eusyderoxylon zwageri), ramin (Gonystylus bancanus),
dan beberapa jenis meranti (Shorea spp.) adalah contoh dari beberapa jenis
komersial yang harganya tinggi, tetapi sudah sulit ditemukan di alam dan di
pasaran. Selain itu, puluhan jenis kayu kurang dikenal (lesser-known species) saat
ini mungkin telah menjadi langka atau punah sebelum diketahui secara pasti
nilai/manfaat dan sifat-sifatnya.
Setiap species mempunyai kecepatan tumbuh yang berbeda-beda, ada yang
tergolong fast growing spesies terutama untuk jenis-jenis pioner, tetapi ada yang
termasuk dalam slow growing spesies. Untuk keberlanjutan pemanenan jangka
panjang jenis pohon yang lambat pertumbuhannya seperti Shorea ovalis, S. seminis,
S. leavis, Vatica sp., Koompassia sp. dan Eusideroxylon zwageri, maka diperlukan
pengurangan dalam intensitas pembalakan (total gabungan sekitar 5 batang/ ha).
Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi kepunahan dalam jenis tertentu akibat
penebangan hutan.
Pohon-pohon besar yang hidup di hutan-hutan dataran rendah dengan
ketinggian kanopi mencapai hampir 50 meter. Jenis-jenis pohon yang berada di
hutan-hutan ini adalah dari suku Dipterocarpaceae. Pohon-pohon ini menduduki
sekitar 80% dari biomassa pohon yang kanopinya tertinggi dan nilai biomassanya
mencapai 70% dari seluruh biomassa pohon yang kanopinya tertinggi (Curran dan
Leighton, 2000). Juga merupakan 10% dari semua jenis pohon yang ada di
Indonesia (Ashton dkk., 1998).
Jenis-jenis pohon dari suku Dipterocarpaceae merupakan bagian akhir dari
suksesi hutan, karena hanya tumbuh di hutan-hutan yang sudah memiliki kanopi
yang rapat. Jenis-jenisnya tersebar luas sekali, tumbuh di hutan-hutan dari dataran
rendah sampai kaki pegunungan di seluruh Asia Tenggara dan sub-benua India.
Suku Dipterocarpaceae merupakan bagian dari kayu keras yang paling berharga di
dunia.
Selama beberapa dekade, hutan-hutan Dipterocarpaceae di Indonesia secara
komersial ditebang dengan laju penebangan yang tinggi dan tidak
berkesinambungan. Dampak langsung penebangan terhadap hutan yang sangat
jelas adalah hilangnya sejumlah tertentu pohon. Namun dampak tidak langsung
pengaruhnya sangat besar bagi kesehatan hutan dataran rendah di masa depan.
Tanaman-tanaman ini tidak hanya harus menghadapi bahaya terinjak-injak,
terluka, dan gangguan-gangguan lainnya yang disebabkan oleh penebangan, tetapi
juga harus bersaing dengan spesies pionir yang tumbuh cepat yang dapat membuat
tanaman tersebut kalah dalam bersaing mendapatkan cahaya matahari. Satu kajian
menunjukkan bahwa penebangan kembali spesies pionir dan pemberian lubang di
kanopi untuk memberi lebih banyak sinar matahari mampu meningkatkan
ketahanan regenerasi Dipterocarp hingga 30%. Di daerah-daerah yang tidak
dikelola, Dipterocarp umumnya hanya menutup 25% dari total luas lahan basah
(Kuusipalo dkk., 1997).

4. PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA

Luas hutan produksi saat ini adalah 64 juta hektar tersebar di seluruh
Indonesia, dikelola oleh berbagai lembaga antara lain yaitu Dinas Kehutanan, HPH
(Hak Pengusahaan Hutan), BUMN (Badan Usaha Milik Negara), HPH perusahaan
patungan (BUMN dan Swasta) dan Persero. Sementara itu data menunjukkan
bahwa potensi hutan produksi cenderung menurun dan mengalami kemunduran.
Bukti lain atas fenomena tersebut ditunjukkan oleh realisasi produksi kayu bulat
selama periode 1993/1994 s/d 1997/ 1998 selalu dibawah 20 juta m3 setiap tahun
(Anonim: 1998). Gambaran lain dilaporkan oleh Fraser (1999) bahwa hutan primer
yang termasuk hutan produksi akan habis 7 - 8 tahun lagi.
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 6 ayat 1 dan
2, membagi hutan menurut fungsi pokoknya menjadi (1) hutan konservasi, (2)
hutan lindung dan (3) hutan produksi. Definisi yang diberikan untuk hutan
produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil
hutan. Interpretasi menyimpang membuat hutan tersebut dikhususkan untuk
tujuan produksi saja tanpa memperhatikan fungsi yang lain seperti pengaturan tata
air, pencegahan banjir dan erosi, memelihara kesuburan tanah, pelestarian
lingkungan hidup, konservasi keanekaragaman hayati dan sebagainya.
Para pengelola hutan produksi seakan merasa tidak bersalah jika terjadi
bencana banjir, dan kemunduran kualitas tempat tumbuh karena fungsi ini
dibebankan pada hutan lindung walaupun disadari benar bahwa luas hutan lindung
yang sangat kecil yaitu kurang dari 10 juta ha dibanding dengan luas hutan total
seluas 121,19 juta ha berdasarkan Inventarisasi Hutan Nasional (Fraser:1999) atau
bahkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan luas daratan Indonesia.
Pengertian hutan konservasi juga menunjukkan fenomena yang sama yaitu
tentang kawasan konservasi tertentu dan bukan lagi pada fungsinya. Di bagian
perundangan lain yaitu pada UU No 5 tahun 1990 yang semestinya menjadi acuan
UU No 41 tahun 1999 ini disebutkan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati
adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan
secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap
rnemelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Pada
pasal 5 perundangan tersebut dan pasal 12 UUPLH dikatakan bahwa konservasi
dilakukan dengan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan pemanfaatan
secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Dengan mengacu perundangan yang ada tampak adanya dualisme pengertian
konservasi, di satu pihak konservasi berarti kawasan dan di pihak lain konservasi
berarti fungsi atau kegiatan. Dualisme pengertian ini tanpa terasa terus berjalan,
sehingga membuat para pengelola hutan bersikap ambivalen terhadap konservasi.
Dengan mendasarkan sikap bahwa konservasi adalah pengertian kawasan maka
seakan lupa bahwa hutan adalah salah satu pemanfaatan ekosistem sumberdaya
alam hayati dalam satuan ekosistem yang merupakan salah satu pilar konservasi.
Sebagai konsekuensinya konservasi mestinya merupakan keharusan dalam
pengelolaan hutan.
Sebagai bagian masyarakat dunia, Indonesia terikat oleh berbagai
kesepakatan internasional, antara lain adalah Convention on Biodiversity,
Convention on Climate Change, Forest Principles dan World Conservation
Strategy. Dengan ratifikasi konvensi ini seluruh kebijakan pengelolaan hutan harus
mempertimbangkan rambu-rambu yang telah disepakati dalam konvensi ini.
Berbagai kesepakatan internasional seperti Forest Principles (KTT Bumi),
konferensi ITTO, kelembagaan ekolabel telah mengarahkan ke bentuk pengelolaan
hutan di Indonesia yang bersifat sustainable forest management, yang bercirikan
keterlanjutan fungsi ekologis/lindung fisik hutan (tanah, flora, fauna, hidrologi dan
iklim), keberlanjutan fungsi produksi dan keberlanjutan fungsi sosial budaya.
Dengan kata lain pengelolaan hutan yang tetap berorientasi sebagai ekosistem
dengan fungsi ekologis, produksi dan sosial telah merupakan kesepakatan
internasional.

5. PERSPEKTIF SILVIKA DALAM PENGELOLAAN HUTAN

Tujuan pengelolaan hutan seperti yang dimaksud dalam UU No. 41 tahun


1999 ini mengisyaratkan bahwa produk hutan sudah semestinya bukan didasarkan
atas kayu saja, melainkan produk seluruh potensi ekosistem hutan sesuai
kemampuan optimal ekosistem yang bersangkutan secara lestari. Sudah harus
dimulai bahwa penentuan AAC (annual available cut) ditentukan bukan ber-
dasarkan pada konsumsi kayu (baik legal maupun illegal cutting), akan tetapi lebih
pada kemampuan ekosistem hutan dan atau kesejahteraan masyarakat sekitar.
Perhitungan Jatah Tebangan Tahunan (AAC) didasarkan atas total volume
kayu komersial (diukur melalui inventarisasi) yang dikalikan dengan faktor
eksploitasi 0,8 dan kemudian dengan faktor keamanan 0,7 (total 0,56) serta
membagi jumlah total dengan 35 tahun. Sistem ini merupakan bentuk pengaturan
hasil, namun angkanya bersifat statis dan tidak didasarkan pada karakteristik areal
hutan bersangkutan. Dalam banyak hal, ini telah mengakibatkan terjadinya
pemanenan berlebih (overcutting atau undercutting). Selain itu, kegiatan
inventarisasi seringkali terlalu menekankan pada keberadaan jenis komersial, dan
faktor eksploitasi yang diukur di lapangan adalah 0,5 (Matikainen, Herika &
Muntoko, 1998).
Asumsi bahwa pertumbuhan kembali hutan setelah pemanenan sebesar 1 m3
ha tahun-1, sehingga memberi hasil sebesar 35 m3 ha-1 pada akhir siklus. Namun
-1

demikian, ini merupakan taksiran tingkat pertumbuhan yang berlebihan, dan tidak
memperhatikan aspek kematian (mortalitas) alami. Hutan tidak tumbuh secepat
seperti yang diasumsikan.
Menurut Lamprecht (1996) pertumbuhan hutan primer riapnya kecil dan
dalam skala luas besarnya mendekati nol, walaupun terdapat permudaan namun
jumlahnya sering sedikit saja. Untuk hutan sekunder riap awalnya besar namun
lambat laun akan mengecil.
Perhitungan taksiran hasil untuk siklus kedua tidak memperhatikan
kerusakan berarti yang terjadi pada tegakan sisa akibat penebangan. Praktek
pemanenan yang kurang baik mengakibatkan pembukaan tajuk dan meningkatkan
persaingan antara jenis dipterocarps komersial dengan jenis yang senang dengan
cahaya. Belum banyak upaya dilakukan untuk mengurangi kerusakan akibat
penebangan, sehingga mengakibatkan penurunan kualitas dan areal hutan.
Ragam ekosistem hutan di Indonesia sangat tinggi baik dalam sebaran
horizontal (dari garis katulistiwa ke garis lintang utara maupun selatan) maupun
vertikal (ketinggian tempat mulai dari dataran pantai sampai gunung yang tinggi)
yang diikuti ragam jenis yang tinggi pula. Untuk memudahkan pemahamannya,
ragam tersebut dapat diklasifikasi berdasarkan kondisi ekologisnya dengan
membagi hutan produksi menjadi 2 kelompok besar yaitu:
a. kelompok tipe zonal yang dipengaruhi terutama oleh iklim
b. kelompok tipe azonal yang dipengaruhi terutama oleh habitat.
Kelompok zonal merupakan kelompok ekosistem yang sangat tergantung pada
intensitas curah hujan sehingga atas dasar faktor ini pula dapat dibedakan menjadi
tipe hutan tropika humida, tropika musim, savana dan lain-lain. Kelompok ini
masih dapat dibedakan (diklasifikasi) lagi berdasarkan faktor lain seperti tinggi
tempat, jenis tanah, topografi dan sebagainya. Hutan produksi sebagian besar (lebih
dari 80%) termasuk dalam tipe ekosistem hutan tropika humida dan tersebar di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Papua Barat, sedangkan
sisanya termasuk dalam tipe ekosistem hutan tropika musim dan tersebar di Jawa,
Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Sementara itu kelompok
azonal keberadaannya sangat ditentukan oleh habitat aslinya dan hampir tidak
terpengaruh oleh curah hujan, antara lain adalah ekosistem hutan mangrove, pan-
tai, gambut, kerangas, terumbu karang, black water ecosystem dan sebagainya.
Ragam ekosistem hutan tersebut membawa konsekuensi karakteristik /
perilaku ekosistem yang berbeda satu dengan yang lain. Dengan demikian hutan
bukan hanya sekedar kumpulan jenis flora dan fauna pada habitat tertentu, akan
tetapi jenis-jenis tersebut bersama-sama dengan faktor biofisik yang lain
membentuk satuan ekosistem yang berinteraksi sangat erat (Sajise: 1975; 1977a;
1977b). Oleh karena itu informasi interaksi ini harus terus digali agar dapat
memberikan landasan pengelolaan/ budidaya ekosistem yang bersangkutan, pening-
katan produktivitas dan pelestarian jasa lingkungan.
Jika keragaman ekosistem hutan produksi ini telah diyakini, maka
keseragaman pengelolaan hutan seperti yang terjadi selama ini sungguh tidak tepat,
apalagi bila motif utama pengelolaan adalah kepentingan ekonomi. Sebagai contoh
misalnya (1) peraturan TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) tidak terpusatkan
akan tetapi diadakan di setiap propinsi (2) peraturan TPTI disesuaikan dengan
karakteristik hutan yang dimaksud dan (3) pengalaman budi daya hutan jati yang
termasuk dalam ekosistem tropika musim diterapkan begitu saja di Hutan
Tanaman Industri (HTI) di hutan tropika humida. Pada saat ini terdapat semacam
pemaksaan kehendak pada suatu ekosistem hutan sehingga berakibat degradasi
hutan. Hutan tropika humida yang dicirikan dengan lahan yang miskin hara,
keasaman tinggi, curah hujan tinggi dan lain sebagainya (sering disebut sebagai
fragile ecosystem) berubah menjadi habitat yang ideal bagi tropika humida yang
mempunyai struktur (susunan) tertentu, setidaknya digambarkan pada kondisi
aslinya. Namun dengan berubahnya struktur secara drastis akibat tebangan, pena-
naman atau metode silvikultur yang lain berubah pula atribut fungsionalnya sampai
pada kemundurannya. Apalagi variasi berbagai faktor lingkungan biofisik yang
tinggi, maka keseragaman metode pengelolaan sangat tidak kondusif bagi
pertumbuhan dan pelestarian hutan.

6. PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI BERWAWASAN KONSERVASI

Jika untuk sementara kayu masih menjadi sasaran target utama produksi
hutan, maka segala aktivitas untuk peningkatan produktivitasnya sudah semestinya
tetap berlandaskan kaidah ekosistem hutan atau berwawasan konservasi agar
pelestarian ekosistem hutan dalam jangka panjang dapat menjadi kenyataan.
Beberapa peluang pengelolaan hutan produksi yang berwawasan konservasi dapat
dilakukan dan disesuaikan pada setiap tipe hutan. Pengertian peluang disini adalah
kemungkinan penerapan metode tertentu yang bukan saja untuk kepentingan
ekonomis sesaat (yang bisa merusak ekosistem hutan dalam jangka panjang) tetapi
juga mempertimbangkan aspek konservasinya. Untuk memudahkan pembahasan
dibedakan antara pengelolaan hutan produksi alam dan tanaman.

6.1. Pengelolaan Hutan Alam

Hampir seluruh hutan alam termasuk dalam ekosistem hutan tropika humida
dengan sederet atribut yang melekat padanya dan dikenal dengan ekosistem yang
rapuh (fragile ecosystem). Dalam perjalanan pengelolaannya sampai saat ini kondisi
hutan sudah banyak mengalami kerusakan, akibat eksploitasi yang berlebihan, alih
fungsi, kebakaran, penjarahan dan sebagainya. Kegiatan pengusahaan hutan
selama ini ternyata telah menyebabkan terjadinya penurunan areal dan kualitas
hutan yang berdampak jumlah kayu tersedia untuk panenan siklus tebang kedua
jauh lebih rendah dari yang diharapkan.
Ragam ekosistem hutan alam sangat tinggi, baik dalam volume standing stock,
komposisi, faktor lingkungan dan sebagainya, sehingga memerlukan penanganan
yang berbeda pula. Kebijakan pengelolaan hutan alam yang berlaku saat ini
(Tebang Pilih dan Tanam Indonesia - TPTI) menetapkan sistem pemanenan yang
seragam untuk areal hutan di seluruh wilayah Indonesia, tanpa memperhatikan tipe
dan kondisi hutannya. Intensitas penebangan ditetapkan dengan batas diameter
minimum 40 cm untuk hutan rawa, 50 cm untuk hutan Dipterocarp dataran rendah
serta 60 cm untuk areal hutan produksi terbatas dengan kelerengan melebihi 40%.
Sistem ini telah mengakibatkan pemanenan berlebih di banyak areal, sehingga
hutan tidak dapat pulih dalam waktu 35 tahun untuk dapat menghasilkan kayu
pada rotasi kedua.
Keanekaragaman jenis sangat tinggi membentuk struktur tertentu baik secara
vertikal (stratifikasi tajuk dan atau perakaran) maupun horizontal. Mekanisme in-
ternal untuk mendapatkan stabilitas ekosistem justru diperoleh dari aspek ini.
Hutan primer saat ini telah hampir habis dan pada pengelolaan selanjutnya
sudah harus beralih ke hutan bekas tebangan dan atau hutan tanaman. Karena itu
upaya peningkatan produktivitas dengan input energi (biaya) serendah-rendahnya
dan tanpa merugikan lingkungan (tetap berwawasan konservasi) sangat diperlukan.
Sistem silvikultur yang digunakan hampir seluruhnya adalah TPTI (Tebang
Pilih Tanam Indonesia) dengan satu aturan untuk seluruh hutan alam di Indonesia,
walaupun sistem ini adalah sistem silvikultur yang relatif paling aman untuk
diterapkan dibanding yang lain dalam hal jasa lingkungannya.
Tidak ada batasan maksimum jumlah volume kayu atau jumlah batang yang
dapat ditebang per satuan areal. Penebangan terlalu banyak pohon di setiap unit
areal dapat mengakibatkan terciptanya kondisi yang mengganggu pertumbuhan
jenis-jenis kayu komersial.
Sesuai dengan situasi saat ini hutan dituntut untuk memberikan produk yang
selalu meningkat, kelestarian yang tetap terjamin dan masukan biaya yang rendah.
Pemenuhan tuntutan ini sungguh tidak mudah namun tampaknya tidak ada pilihan
lain kecuali harus terus mencari peluang untuk mendapatkan tujuan yang
diinginkan. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah :
1. Sesuai dengan ragam hutan alam yang tinggi maka perlu penerapan peraturan
(sistem silvikultur dan aturan pengelolaan lainnya) yang berbeda, setidaknya
dibedakan pada level propinsi.
2. Kemampuan optimal suatu ekosistem hutan bukan hanya kayu, karena itu
penentuan AAC seyogyanya tidak hanya mendasarkan pada produksi kayu saja.
Karena itu diperlukan reorientasi pemikiran baru untuk mendapatkan
produktivitas hutan yang optimal. Pola konsumsi produk hasil hutan dalam
bentuk apapun harus didasarkan pada kemampuan ekosistem hutan yang
dimaksud.
3. Dengan mulai habisnya hutan primer, maka pengelolaan hutan alam akan beralih
ke hutan bekas tebangan. Jika diasumsikan tidak ada tebangan cuci mangkok
(tebang ulang sebelum waktunya) hutan bekas tebangan perlu dipelihara untuk
terus meningkatkan produksinya atau setidaknya kembali ke keadaan semula,
apalagi yang karena sebab tertentu tebang ulang tampaknya tidak bisa dihindari.
Karena itu pemeliharaan hutan menjadi aspek yang sangat penting. Namun jika
kegiatan pemeliharaan hutan ini didasarkan pada sistem silvikultur TPTI
hasilnya tidak efisien (Marsono: 1997). Di antara kegiatan pemeliharaan bekas
tebangan yang berupa perapihan, pembebasan pertama, pengadaan bibit,
pengayaan, pemeliharaan tanaman, pembebasan kedua dan ketiga, dan
penjarangan tajuk, hanya penjarangan tajuklah yang secara langsung
memberikan percepatan pertumbuhan tegakan tinggal paling efektif. Hal ini
terjadi karena tindakan penjarangan memberikan ruang tumbuh optimal bagi
pohon binaan yang terdiri dari pohon inti dan permudaan tingkat dibawahnya.
Kegiatan ini hanya terbatas pada pohon-pohon future harvest saja dan pada
tingkat pertumbuhan tertentu yang paling responsif terhadap perlakuan ini,
sehingga input biaya sangat rendah. Sementara itu pohon pendamping tetap
berfungsi sebagai pembentuk struktur sehingga terus memberikan jasa
lingkungan dan atau atribut fungsionalnya (tetap berwawasan konservasi), dan
sangat efisien karena menghilangkan banyak pekerjaan dan biaya yang
sebenarnya tidak diperlukan.
4. Dalam jangka panjang sudah harus mulai dipikirkan untuk mengelola hutan
berdasarkan konsep kesesuaian lahan. Dengan berbasis pendekatan ekosistem,
pengelolaan hutan produksi didasarkan pada unit-unit ekologis yang merupakan
resultante dari seluruh faktor lingkungan (biofisik) sehingga terbentuk kesatuan
pengelolaan yang berkemampuan sama baik produktivitas maupun jasa
lingkungannya
5. Introduksi sistem silvikultur atau sistem baru lainnya yang sekiranya
menjanjikan produksi hendaknya dikaji lebih mendalam terlebih dulu agar
kerusakan hutan dapat lebih dibatasi
6. Keberhasilan pengelolaan konservasi di hutan ini sangat tergantung sumber daya
manusianya, karena itu penyiapannya perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya.

6.2. Pengelolaan Hutan Tanaman

Pada prinsipnya hutan tanaman secara ekologis adalah bentuk simplifikasi


sistem alam dengan tuntutan ekonomis sebagai pengendali utama. Pengembangan
lebih lanjut terhadap motivasi ekonomis tersebut dilakukan dengan simplifikasi
berbagai komponen sistem antara lain jenis (jenis yang bergenetis baik), bentukan
struktur (stratifikasi tajuk dan atau perakaran), input energi (biaya) dan
penggantian natural stabilizing factor (homeostasis ekosistem) dengan chemical
stabilizing factor (pupuk, pestisida dan lain-lain). Keseluruhan manipulasi ini
dikemas dalam bentuk metode dan sistem silvikultur dengan output utama
produktivitas. Jika prinsip hutan tanaman masih tetap seperti ini maka pelestarian
jangka panjang akan diragukan, atau pada suatu saat secara finansial akan akan
tidak ekonomis lagi, karena harus menanggung beban atribut fungsional yang
sudah tidak berjalan lagi. Dalam sudut pandang lain dapat dikatakan bahwa
integritas ekosistem tidak dapat dipertahankan lagi, kaidah ekosistem hutan menjadi
hilang, terfragmentasi, sehingga memacu parahnya water yield dan kualitas air,
sempitnya ruang gerak satwa, tererosinya sumber daya genetik dan penurunan
produktivitas hutan dalam jangka panjang (Soekotjo:1999).
Beberapa contoh kasus mundurnya hutan tanaman yang kurang
memperhatikan wawasan konservasi telah disebutkan di muka yaitu antara lain
penurunan produktivitas, penurunan bonita pada areal tertentu dan sebagainya. Di
Philipina, penanaman hutan monokultur (Leucaena leucocephala) pada kelerengan
36 - 50 % terjadi kebocoran fosfat pada neraca hara yang dibuatnya sebesar 56,76
kg/ ha/th, sementara pada grassland area dengan kelerengan yang sama diperoleh
saldo sebesar 35,43 kg/ha/th. Keadaan yang hampir sama dilaporkan dari India
berasal dari hutan tanaman cepat tumbuh dan eksot (Eucalyptus sp. dan pinus) yang
ditanam monokultur, tidak berwawasan konservasi menjadi bencana besar bagi
pelestarian lingkungan. Bencana kekurangan air terjadi karena konsumsi air sangat
tinggi untuk pertumbuhan (1,41 dan 8,87 mm per gram biomasa kering untuk
eucalyptus dan pinus) dan kemunduran kualitas tempat tumbuh (Shiva &
Bandyopadhyay: 1983). Kemudian tahun 1985 FAO (Food and Agriculture Organi-
zation of The United Nations) juga melaporkan kondisi serupa di banyak negara
seperti Brazil, Australia, Malawi dan Afrika Selatan (Poore & Fries: 1985).

Dengan penekanan hutan produksi untuk berfungsi ekonomis yang setinggi-


tingginya maka telah terjadi bahwa hutan tanaman dianggap kurang/tidak
memperhatikan aspek konservasi, sehingga memunculkan isu penting sebagai
berikut:
1. Simplifikasi ekosistem hutan secara berlebihan sehingga struktur hutan yang
terbentuk selalu monokultur. Struktur hutan ini memutus sama sekali kaidah
ekosistem hutan sehingga atribut fungsional ekosistem tidak operasional
2. Stabilitas hutan menjadi rendah (natural stabilizing factor tidak berfungsi),
sehingga cenderung mengganti menjadi chemical stabilizing factor yang biayanya
mahal dan tidak ramah lingkungan
3. Kemunduran site quality / bonita / tapak hutan. Banyak lahan hutan tanaman
yang mengalami kemunduran tapak hutan yang ditandai dengan penurunan
produktivitas atau kejemuan jenis tertentu sehingga harus diganti dengan jenis
tanaman lain
4. Faktor hidroorologi belum/tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Hal ini
dapat dilihat pada besar dan frekuensi banjir hampir setiap sungai yang ada
pada setiap musim penghujan. Akan tetapi sebaliknya pada musim kemarau
banyak sungai yang debitnya sangat kecil dan bahkan kering tidak berair.

Dalam jangka panjang harus sudah dimulai pengelolaan hutan berdasarkan


kesesuaian lahan, membentuk unit-unit ekologis berdasarkan kaidah ekosistem
yang mempunyai respon yang sama baik dalam produktivitas maupun jasa
lingkungannya. Aspek ini tampak semakin penting belakangan ini terutama bila
dikaitkan dengan desakan pihak lain untuk menyelenggarakan agribisnis di areal
hutan produksi. Terlepas dari berbagai faktor yang berpengaruh mulai dari politik,
sosial, ekonomi dan kelembagaannya, masalah ini dapat didekati dengan menyusun
klasifikasi lahan yang baik, agar dapat dideliniasi dengan jelas kawasan-kawasan
yang bisa ditolerir untuk agribisnis dan kawasan yang harus dilakukan pengelolaan
hutan berbasis konservasi, sehingga kualitas lingkungan yang menjadi tanggung
jawab hutan produksi dapat tetap dipertahankan.

7. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan:


1. Keanekaragaman hayati atau biological diversity (biodiversity) merupakan
kajian menyangkut tiga tingkatan, yaitu: keanekaragaman genetik,
keanekaragaman jenis, dan keanekaan ekosistem.
2. Untuk keberlanjutan pemanenan jangka panjang jenis pohon yang lambat
pertumbuhannya seperti Shorea ovalis, S. seminis, S. leavis, Vatica sp.,
Koompassia sp. dan Eusideroxylon zwageri, maka diperlukan pengurangan dalam
intensitas pembalakan.
3. Jenis-jenis pohon dari family Dipterocarpaceae merupakan bagian akhir dari
suksesi hutan, tumbuh di hutan-hutan yang memiliki kanopi yang rapat. Jenis
ini tidak hanya menghadapi bahaya kerusakan disebabkan oleh penebangan,
tetapi juga harus bersaing dengan spesies pionir yang tumbuh lebih cepat
membuat tanaman tersebut kalah bersaing mendapatkan cahaya matahari.
4. Hutan produksi merupakan kesatuan ekosistem yang ragamnya tinggi,
sehingga pengelolaannya perlu didasarkan pada kaidah ekosistem yang
bersangkutan untuk mendapatkan peningkatan produktivitas dan pelestarian
jasa lingkungan dalam jangka panjang. Keseragaman peraturan dalam
pengelolaan hutan produksi sudah tidak sesuai lagi untuk mengelola hutan
produksi mengingat ragam ekosistem hutan produksi yang ada.
5. Pengelolaan hutan alam, sistem silvikultur TPTI sudah saatnya ditinjau
kembali terutama berkaitan dengan adanya beberapa metode silvikultur yang
kurang relevan dan mulai dikelolanya hutan bekas tebangan rotasi pertama.
6. Siklus tebangan sistem silvikultur TPTI selama 35 tahun yang seragam harus
diperpanjang disesuaikan dengan pertumbuhan riap dan kondisi setempat.
7. Simplifikasi sistem yang berlebihan pada hutan tanaman membahayakan
produktivitas dalam jangka panjang dan atau lingkungan hidup.
8. Kesesuaian lahan yang dapat menggambarkan unit-unit ekologis berdasarkan
kaidah ekosistem untuk mendapatkan respon yang sama dalam produktivitas
maupun jasa lingkungan sudah saatnya diterapkan di hutan produksi untuk
mendapatkan hasil yang optimal.
Istilah Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati umumnya mempunyai beberapa istilah antara lain

biodiversity,
biodiversitas,
keanekaragaman hayati,
keragaman hayati

Keragaman adalah gabungan antara jumlah jenis dan jumlah individu

masing masing jenis dalam satu komunitas.(Desmukh, 1992). Istilah diversitas

dalam ekologi umumnya mengarah pada keanekaraman jenis. Selain itu diversitas

juga merupakan suatu keragaman / perbedaan diantara anggota-anggota

sekelompok populasi baik hewan maupun tumbuhan. (Mc Noughton,dkk.1978).

Dalam ekosistem masalah diversitas umumnya mengarah pada diversitas

jenis, oleh karena itu pengukuran diversitas dilakukan dengan melihat jumlah jenis

tertentu dan kelimpahan relatif jenis tersebut dalam satu komunitas.

Keanekaragman atau diversitas ditentukan oleh dua komponen yakni jumlah spesis

organisme dalam komunitas dan jumlah individu antara spesis sama atau seimbang.

Stabilitas satu ekosistem sangat ditentukan oleh struktur vegetasi satu ekositem.

Sedangkan Keanekaragaman jenis adalah keanekaragam mahkluk hidup

yang diukur dari jumlah total jenis baik binatang, tumbuhan , mikroorganisme di
muka bumi (Masyud, 1992) menyatakan satu komunitas dikatakan mempunyai

keanekaragaman jenis yang tinggi apabila kelimpahannya sama banyak atau hampir

sama dari jenis yang ada (Brower et all, 1984).

Keragaman hayati adalah keanekaragaman diantara mahkluk hidup dari

semua sumber termasuk diantaranya daratan, lautan dan ekosistem akuatik lain

serta komplex-komplex ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamnnya,

mencakup keanekaragaman dalam spesis antara spesis dan ekosistem (Mc

Noughton,dkk.1978).

Keragaman hayati lebih besar bilamana ekuitabilitas lebih besar yakni jika

polulasi satu dan lainnya sama dalam kelimpahan dan bukan beberapa sangat

umum, sedangkan lainnya sangat jarang (Desmukh, 1992). Odum (1971)

menyatakan keanekaragaman jenis mempunyai sejumlah komponen yang dapat

memberikan reaksi secara berbeda-beda terhadap faktor-faktor geografi,

perkembangan maupun fisik komponen utama dari keanekaragaman jenis adalah

kekayaan jenis dan kesamarataan (Eveness).

Dalam pasal 2 konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dijelaskan

bahwa keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman diantara mahkluk hidup

dari semua sumber, termasuk diantarnya daratan, lautan, ekositem akuatik lainnya

serta komplex-komplex ekologi yang merupakan bagian dari kenekaragamn yang

mencakup keanekragaman dalam sepsis, anatar sepsis maupun ekosistem.

Keanekaragaman hayati terbagi atas tiga jenis yakni kenekaragaman

jenis, keanekaragaman ekosistem, dan kenekaragaman genetik ( Masyud,1992).


Untuk keanekaragam tingkat spesis hingga saat ini baru didentifikasi hanya sekitar

1,4 juta spesis organisme hidup di seluruh dunia (Alikodra, 1980). Untuk

keanekaragaman ekosistem lebih berkaitan dengan kesehatan dan

keanekaragaman kompleks dari tempat-tempat dimana spesis tersebut berada.

Keanekaragaman genetik adalah konsep variabilitas di dalam satu spesies yang

diukur oleh satu variasi genetik didalam spesies, variates, sub spesis atau keturunan

tertentu. Dimana upaya konservasi dari ketiga keanekaragaman ini mempunyai

tingkat urgensi yang sama untuk menunjang konservasi dan identifikasi potensi yang

harus dilaksanakan. (Masyud,1992).

Sementara menurut Mc Noughton,dkk. (1978), keanekaragaman

ekosistem lebih berkaitan dengan kesehatan dan keanekaragaman komplex dimana

spesis itu berada. Keragaman sumberdaya hayati hutan lebih meliputi beberapa

jenis sumberdaya diantaranya fauna dan flora alam, bentang alam (landscape),

tanah, air, batu-batuan yang berada di hutan (Sumber daya fisik), teknologi tepat

guna yang telah dikuasai oleh masyarakat setempat (Sumber daya manusia),

budaya atau adat istiadat masyarakat, dialek, bahasa setempat (Sumber daya

manusia) (Djuwantoko,2004).

Kumpulan beraneka-ragam jenis spesis atau organisme yang membentuk suatu

pesekutuan hidup alam, dengan mewujudkan suatu system kehidupan tertentu, mereka saling

mempengaruhi satu sama lain baik secara individu dalam satu jenis, serta saling

mempengaruhi terhadap lingkungannya baik faktor fisik tanah,air,atau iklim mikro. Brower

dan Zar (1979) menyatakan suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis

yang tinggi apabila jenis yang melimpah banyak ditemui dalam komunitas tersebut, dengan
demikian diversitas yang tinggi merupakan indikasi bahwa komunitas tersebut sangat

komplex.

Diversitas jenis menyatakan banyaknya jenis perunit areal tertentu

sedangkan diversitas genetik menunjukan jumlah gen alel dalam populasi.

Umumnya diversitas jenis maupun genetik sangat tinggi pada wilayah-wilayah yang

berbeda geografisnya, dimana pada lingkungan yang tidak seragam secara spasial

akan memberikan kesempatan untuk lebih mengganggu seleksi dan kemudian

spesialisi, baik diversitas spesies maupun genetik tetap cukup tinggi

Berkurangnya keanekaragaman hayati akan mempunyai dampak negatif

yang cukup besar diantaranya akan mempengaruhi ketahanan/stabilitas ekosistem

terhadap goncangan faktor luar, berpengaruh pada kemampuan untuk memproduksi

tanaman baru, serta mempengaruhi kepastian masa depan untuk kebutuhan

generasi akan datang (Djuwantoko, 2004).

Umumnya prinsip keanekaragaman hayati diantaranya :

Keanekaragamanan haayati memiliki nilai bawaan dan menjadi kepedulian bersama


seluruh umat manusia
Negara memiliki hak berdaulat atas keanekaragaman hayati
Negara bertanggung jawab untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan
memanfaatkan sumber daya hayati secara bekelanjutan
Penyebab berkurangnnya keanekaragaman hayati perlu ditanggulangi pada
sumbernya.

Artikel Terkait :

Definisi Plasma Nutfah


Manfaat Keanekaragaman Hayati
Konservasi Insitu
Konservasi Exsitu
Konservasi Sumber Daya Genetik
Manfaat dan Ancaman Keanekaragaman Hayati
Prespektif Silvika Dalam Keanekaragaman Hayati dan Silvikultur
Istilah Keanekaragaman Hayati
Pengelolaan Keanekaragaman Hayati dalam Ekosistem Hutan
Keanekaragaman Hayati dalam Hutan
Konservasi Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman Serangga Sebagai Spesies Indikator

Faktor Penentu Perubahan Keanekaragaman Hayati


Hierarki Keanekaragaman Hayati (Biodiversity)
Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar

Keanekaragaman Hayati dalam Hutan

Hutan sebagai suatu ekosistem, tidak hanya terdiri atas komunitas tumbuhan dan hewan semata
tetapi juga meliputi keseluruhan interaksinya dengan faktor tempat tumbuh dan lingkungan (Odum,
1988). Pembentukan dan perkembangan hutan akan terjadi melalui proses yang disebut suksesi.

Kimmins dalam Sumardi dan Widyastuti (2004) mengatakan bahwa dalam proses yang disebut
suksesi terjadi proses perubahan dan pergantian antar penyusun hutan dan perubahan faktor
lingkungan yang terlibat. Dengan demikian akan terbentuk rangkaian komunitas biotik secara
berurutan yang satu menggantikan yang lain sesuai dengan lingkungan yang terjadi dan
berkembang. Laju perubahan komposisi biota dalam perkembangan hutan makin lama makin lambat
sampai pada tingkat perkembangan yang komposisi biotanya di dalam hutan tidak banyak berubah.
Kondisi ini disebut klimaks yang juga disebut sebagai kondisi komunitas yang mencapai
keseimbangan alam.

Adanya jalinan komplek yang terdapat di hutan akan membangun struktur yang berkembang tinggi
dan jenis beraneka ragam. Atribut struktural hutan terdiri dari komponen komposisi jenis, stratifikasi
tajuk, stratifikasi perakaran, diversitas, sebaran spatial dan lain-lain. Kesemuanya merupakan mata
rantai dan bila dirusak akan berdampak pada mata rantai lainnya. Penebangan hutan, konversi hutan
alam menjadi hutan tanaman, lahan perkebunan, lahan tanaman semusim, lahan pertanian
mengakibatkan keseimbangan alam dan ekosistem berubah. Apabila dalam pemanfaatan hutan
terjadi kecenderungan dominasi tumbuhan tertentu maka hutan yang mempunyai fungsi utama
sebagai perlindungan, perwakilan ekosistem, menjaga satwa dan tumbuhan langka serta
keanekaragaman hayati akan menimbulkan pengaruh atau perubahan terhadap ekosistem aslinya.
Dengan menurunnya komunitas dan keanekaragaman maka mahluk hidup di dalamnya juga semakin
berkurang.

Krebs (1985) mengemukakan bahwa biodiversitas atau keanekaragaman hayati merupakan keadaan
yang menggambarkan tingkat keanekaragaman dan banyaknya jenis organisme yang hidup dalam
suatu komunitas. Dalam suatu komunitas terjadi interaksi yang dicirikan adanya arus energi dari
suatu organisme ke organisme yang lain. Arus energi berlangsung dari tingkat tropik paling rendah
ke tingkat tropik paling tinggi membentuk rantai makanan yang saling berhubungan.

Sumber keanekaragaman hayati sangat terkait dengan kehidupan manusia dalam agro ekosistem,
perikanan, perhutanan dan industri-industri lainnya. Tidak dapat dielakkan bahwa jenis-jenis yang
akan punah sebelum ditemukan karena rusaknya ekosistem alaminya. Pengantisipasian hal-hal
tersebut telah ditetapkan undang-undang untuk melindungi jeni-jenis yang ada. Hasil Convention
Biological Diversity di Rio De Jenairo dalam Biological Diversity adalah variabilitas antar makhluk
hidup dari semua sumber daya termasuk di daratan, ekosistem perairan dan kompleks ekologis
termasuk keanekaragaman spesies antar spesies dan ekosistemnya (Marsono, 2004).

Konservasi Keanekaragaman Hayati


Banyak spesies telah berkembang dan punah sejak kehidupan bermula. Hal ini dapat ketahui melalui
catatan fosil. Tetapi, sekarang ini spesies menjadi punah dengan laju yang lebih tinggi daripada
waktu sebelumnya dalam sejarah geologi, hampir keseluruhannya disebabkan oleh kegiatan
manusia. Di masa geologi yang lalu spesies yang punah akan digantikan oleh spesies baru yang
berkembang mengisi celah atau ruang yang ditinggalkan. Pada saat sekarang, hal ini tidak akan
mungkin terjadi karena banyak habitat telah hilang.
Kerusakan hutan telah meningkatkan emisi karbon hampir 20 %. Ini sangat signifikan karena karbon
dioksida merupakan salah satu gas rumah kaca yang berimplikasi pada kecenderungan pemanasan
global. Salju dan penutupan es telah menurun, suhu lautan dalam telah meningkat dan level
permukaan lautan meningkat 100-200 mm selama abad yang terakhir. Bila laju yang sekarang
berlanjut, para pakar memprediksi bumi secara rata-rata 1C akan lebih panas menjelang tahun
2025. Peningkatan permukaan air laut dapat menenggelamkan banyak wilayah. Kondisi cuaca yang
ekstrim yang menyebabkan kekeringan, banjir dan taufan, serta distribusi organisme penyebab
penyakit diprediksinya dapat terjadi.

Hutan dapat mempengaruhi pola curah hujan melalui transpirasi dan melindungi daerah aliran
sungai. Deforestasi menyebabkan penurunan curah hujan dan perubahan pola distribusinya. Ini juga
menyebabkan erosi dan banjir. Apa yang disampaikan di atas hanya beberapa dampak ekologis dari
deforestasi, yang dampaknya berpengaruh langsung pada manusia.
Bencana alam seperti banjir, dan kebakaran hutan yang secara langsung maupun tidak langsung
disebabkan kegiatan manusia, semuanya memberikan konsekuensi ekonomi serius pada wilayah
yang terkena. Biaya untuk mengatasinya bisa menelas ratusan juta rupiah, termasuk kesengsaraan
manusian yang terkena. Erosi dan terbentuknya gurun karena deforestasi menurunkan kemampuan
masyarakat setempat untuk menanam tanaman dan memberi makan mereka sendiri.

Eksploitasi sumbedaya hutan yang tidak bijaksana pada akhirnya juga berakhir dengan kehancuran
industri hasil hutan. Bila metode lestari yang dipergunakan, areal yang dipanenan ditanami kembali,
maka ini bukan merupakan substitusi untuk hutan yang telah dipanen. Hutan alam mungkin
memerlukan ratusan tahun untuk berkembang menjadi sistem yang rumit yang mengandung banyak
spesies yang saling tergantung satu sama lain. Pada tegakan dengan pohon-pohon yang ditanam
murni, lapisan permukaan tanah dan tumbuhan bawahnya diupayakan relatif bersih. Pohon-pohon
muda akan mendukung sebagian kecil spesies asli yang telah ada sebelumnya. Pohon-pohon hutan
hujan tropis perlu waktu bertahun-tahun untuk dapat dipanen dan tidak dapat digantikan dengan
cepat; demikian juga komunitasnya yang kompleks juga juga tidak mudah digantikan bila rusak.

Kehilangan keanekaragaman hayati secara umum juga berarti bahwa spesies yang memiliki potensi
ekonomi dan sosial mungkin hilang sebelum mereka ditemukan. Sumberdaya obat-obatan dan
bahan kimia yang bermanfaat yang dikandung oleh spesies liar mungkin hilang untuk selamanya.
Kekayaan spesies yang terdapat pada hutan hujan tropis mungkin mengandung bahan kimia dan
obat-obatan yang berguna. Banyak spesies lautan mempertahankan dirinya secara kimiawi dan ini
merupakan sumber bahan obat-obatan yang penting.

Banyak metode dan alat yang tersedia dalam pengelolaan keanekaragaman hayati yang secara
umum dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Konservasi Insitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies, variasi genetik dan
habitat dalam ekosistem aslinya. Pendekatan insitu meliputi penetapan dan pengelolaan
kawasan lindung seperti: cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata
alam, hutan lindung, sempadan sungai, kawasan plasma nutfah dan kawasan bergambut.
Dalam prakteknya, pendekatan insitu juga termasuk pengelolaan satwa liar dan strategi
perlindungan sumberdaya di luar kawasan lindung. Di bidang kehutanan dan pertanian,
pendekatan insitu juga digunakan untuk melindungi keanekaragaman genetik tanaman di
habitat aslinya serta penetapan spesies dilindungi tanpa menspesifikasikan habitatnya.
Konservasi Eksitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies tanaman, satwa liar
dan organisme mikro serta varietas genetik di luar habitat/ekosistem aslinya. Kegiatan yang
umum dilakukan antara lain penangkaran, penyimpanan atau pengklonan karena alasan: (1)
habitat mengalami kerusakan akibat konversi; (2) materi tersebut dapat digunakan untuk
penelitian, percobaan, pengembangan produk baru atau pendidikan lingkungan. Dalam
metode tersebut termasuk: pembangunan kebun raya, koleksi mikologi, museum, bank biji,
koleksi kultur jaringan dan kebun binatang. Mengingat bahwa organisme dikelola dalam
lingkungan buatan, metode eksitu mengisolasi spesies dari proses-proses evolusi.
Restorasi dan Rehabilitasi, meliputi metode, baik insitu maupun eksitu, untuk membangun
kembali spesies, varietas genetik, komunitas, populasi, habitat dan proses-proses ekologis.
Restorasi ekologis biasanya melibatkan upaya rekonstruksi ekosistem alami atau semi alami
di daerah-daerah yang mengalami degradasi, termasuk reintroduksi spesies asli, sedangkan
rehabilitasi melibatkan upaya untuk memperbaiki proses-proses ekosistem, misalnya Daerah
Aliran Sungai, tetapi tidak diikuti dengan pemulihan ekosistem dan keberadaan spesies asli.
Pengelolaan Lansekap Terpadu, meliputi alat dan strategi di bidang kehutanan, perikanan,
pertanian, pengelolaan satwa liar dan pariwisata untuk menyatukan unsur perlindungan,
pemanfaatan lestari serta kriteria pemerataan dalam tujuan dan praktek pengelolaan.
Mengingat bahwa tataguna lahan tersebut mendominasi keseluruhan bentuk lansekap, baik
pedalaman maupun wilayah pesisir, reinvestasi untuk pengelolaan keanekaragaman hayati
memiliki peluang besar untuk dapat diperoleh.
Formulasi Kebijakan dan Kelembagaan, meliputi metode yang membatasi penggunaan
sumberdaya lahan melalui zonasi, pemberian insentif dan pajak untuk menekan praktek
penggunaan lahan yang secara potensial dapat merusak; mengaturan kepemilikan lahan
yang mendukung pengurusannya secara lestari; serta menetapkan kebijakan pengaturan
kepentingan swasta dan masyarakat yang menguntungkan bagi konservasi keanekaragaman
hayati.

Artikel Terkait :

Definisi Plasma Nutfah


Manfaat Keanekaragaman Hayati
Konservasi Insitu
Konservasi Exsitu
Konservasi Sumber Daya Genetik
Manfaat dan Ancaman Keanekaragaman Hayati
Prespektif Silvika Dalam Keanekaragaman Hayati dan Silvikultur
Istilah Keanekaragaman Hayati
Pengelolaan Keanekaragaman Hayati dalam Ekosistem Hutan
Keanekaragaman Hayati dalam Hutan
Konservasi Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman Serangga Sebagai Spesies Indikator

Faktor Penentu Perubahan Keanekaragaman Hayati


Hierarki Keanekaragaman Hayati (Biodiversity)
Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar
Faktor Penentu Perubahan KEANEKARAGAMAN JENIS Organisme dalam EKOSISTEM

Krebs (1985) menyebutkan ada enam faktor yang menentukan perubahan keanekaragaman jenis
organisme dalam satu ekosistem yaitu :

1. Waktu
Selama kurun waktu geologis akan terjadi perubahan keadaan lingkungan, yang mengakibatkan
banyak individu yang tidak dapat mempertahankan kehidupannya, tetapi ada juga kelompok-
kelompok individu yang mampu bertahan hidup terus dalam waktu relatif lama sebagai hasil proses
evolusi.
Evolusi dapat diartikan sebagai proses yang menyebabkan terjadinya perubahan sifat populasi
spesies dari waktu ke waktu berikutnya (Untung, 1993). Semakin lama waktu berlangsung berarti
makin banyak kesempatan bagi spesies organisme untuk beradaptasi dengan sumberdaya
lingkungan setempat bahkan kemudian mengalami spesialisasi dan pemencaran yang pada akhirnya
mempengaruhi perubahan keanekaragaman hayati ( Krebs, 1985).
Komunitas yang lebih tua, dan yang telah lama berkembang akan memiliki lebih banyak jenis jasad
hidup daripada komunitas muda sehingga tingkat keanekaragaman hayatinya juga akan lebih tinggi.
Meskipun demikian, faktor waktu tidak dapat berfungsi sendiri, tetapi hanya akan berfungsi melalui
satu atau lebih faktor lain dalam mempengaruhi keanekaragaman hayati (Krebs, 1985).

2. Heterogenitas Ruang
Heterogenitas ruanag umunya terdapat dalam lingkungan yang rumit. Lingkungan yang heterogen
dan rumit memiliki daya dukung lebih besar tehadap keanekaragaman organisme yang ada di
dalamnya. Heterogenitas tipografik dan mikrohabitat tampaknya lebih dulu berpengaruh pada
banyaknya spesies tumbuhan (vegetasi) yang bisa berkembang di dalamnya. Diversitas vegetasi ini
yang memungkinkan berkembangnya keanekaragaman herbivor maupun komponen-komponen
trofik berikutnya.
Di daerah tropik keanekaragaman spesies tumbuhan lebih tinggi daripada di subtropik, sehingga
mempunyai daya dukung yang besar terhadap keanekaragaman spesies herbivora dan karnivora
serta menyediakan relung yang lebih banyak untuk didiami organisme (Krebs, 1985).
3. Persaingan
Persaingan (kompetisi) dalam suatu komunitas dapat dikelompokkan menjadi dua jika dilihat dari
asalnya yakni persaingan yang berasal dari dalam populasi jenis itu sediri yang disebut intraspesifik
dan persaingan yang berasal dari luar populasi tersebut yang disebut ekstraspesifik. Proses
persaingan merupakan bagian dari ko-evolusi spesies, karena strategi spesies dalam persaingan
merupakan arah seleksi spesies yang menentukan keberhasilan spesies tersebut dalam
mempertahankan suatu tingkat kerapatan populasi tertentu dalam lingkungan hidupnya.
Di daerah subtropik seleksi alam lebih banyak ditentukan oleh kondisi lingkungan fisik yang ekstrim,
sedangkan di daerah tropik faktor utama yang mengendalikan seleksi alam adalah persaingan antar
komponen biologik. Tajamnya kompetisi di daerah tropik telah memaksa spesies-spesies organisme
yang hidup di dalamnya untuk memiliki daya adaptasi yang tinggi (Krebs, 1985).

4. Pemangsaan
Keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas sangat dipengaruhi oleh hubungan fungsional tingkat
tropik atau pemangsaan. Pemangsaan dan persaingan saling menunjang dalam mempengaruhi
kenaekaragaman spesies. Pemangsaan besar pengaruhnya terhadap keanekaragaman spesies-
spesies yang dimangsa sedang fluktuasi keanekaragaman jenis pemangsa lebih banyak dipengaruhi
oleh faktor persaingan. Efesiensi pemangsaan berpengaruh langsung terhadap keanekaragaman
jenis dengan mempertahankan monopolisasi syarat-syarat lingkungan utama oleh suatu jenis.
Sedangkan efesiensi pemangsaan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain frekuensi makan,
selera pemangsa terhadap rasa mangsa, kerapatan mangsa, kualitas makanan dan adanya inang
alternatif (Odum, 1988).
Kondisi daerah tropik memungkinkan keberadaan hewan pemangsa dan parasit dalam jumlah yang
lebih banyak dibandingkan di subtropik, dan aktivitasnya menekan populasi inang. Turunnya
populasi inang membuat kompetisi antar sesama inang menjadi lebih longgar. Pada kondisi ini
sangat mungkin terjadi pertambahan jenis inang yang lain, dan kemudian sekaligus menyebabkan
bertambahnya jenis pemangsa dan parasit di dalam ekosistem tersebut (Odum, 1988)

5. Stabilitas Lingkungan
Komunitas sangat dipengaruhi oleh lingkungan fisiknya (radiasi matahari, curah hujan, suhu,
kelembaban, salinitas, pH) yang secara bersama-sama membentuk ekosistem. Komunitas di dalam
lingkungan fisik yang relatif stabil seperti pada hutan tropik mempunyai keanekaragaman jenis yang
lebih tinggi daripada komunitas yang dipengaruhi oleh lingkungan fisik yang tidak stabil atau sering
mengalami gangguan musiman secara periodik (Odum, 1985).
Lingkungan yang stabil lebih menjamin keberhasilan adaptasi suatu organisme dan lebih
memungkinkan berlangsungnya evolusi daripada lingkungan yang berubah-ubah (tidak stabil)
sehingga evolusi tersebut menyebabkan antara lain menyempitnya relung spesies sehingga suatu
habitat dapat ditempati jasad hidup yang lebih beranekaragam.

6. Produktivitas

Price (1975), menyatakan produktivitas atau arus energi dapat mempengaruhi keanekaragaman
jenis dalam suatu komunitas karena makin besar produktivitas suatu ekosistem maka semakin tinggi
keanekaragaman jenis suatu organisme, jika keadaan semua faktor lain sama. Tingkat produktivitas
suatu ekosistem dipengaruhi oleh letak lintang geografis dan ketinggian tempat dari permukaan laut.
Ekosistem di daerah tropik mempunyai tingkat produktivitas tinggi, dan kian menurun ke arah kutub.
Begitu pula ekosistem di dataran rendah akan mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi dan
semakin menurun ke arah dataran tinggi. Hal ini dikarenakan di daerah tropik dan dataran rendah
mempunyai iklim yang relatif lebih stabil sehingga hanya relatif sedikit energi yang dialokasikan
untuk proses pengaturan keseimbangan. Sebaliknya cukup banyak energi yang dapat digunakan
untuk pertumbuhan dan reproduksi. Dengan demikian populasi maupun jenis organisme di daerah
tropik bertambah lebih cepat.

Krebs (1985) menyatakan bahwa masa pertumbuhan yang lebih di daerah tropik menghasilkan
komponen spesies yang terbagi dalam ruang dan waktu di ekosistem, sehingga memungkinkan
keanekaragaman jenis yang lebih banyak. Keanekaragaman ekosistem mempunyai arti yang sangat
penting baik sebagai sumberdaya maupun dalam hal pemeliharaan ekosistem. Hal ini didukung oleh
Price(1975), yang mengemukakan bahwa arti penting tersebut terutama karena keanekaragaman
hayati dipandang sebagai faktor penentu stabilitas ekosistem, yaitu suatu aspek yang bertalian erat
dengan fenomena pendorong terciptanya keseimbangan ekosistem.
Keadaan ekosistem yang stabil terjadi jika kepadatan populasi organisme-organisme selalu
cenderung menuju ke arah keseimbangannya masing-masing setelah ada gangguan (perubahan iklim
yang ekstrim maupun perubahan rekayasa manusia) yang telah mengenai populasi tersebut (Krebs,
1985). Pada ekosistem yang seimbang tidak ada satu jenis organisme yang menjadi dominan dan
populasinya menonjol dibandingkan dengan populasi organisme yang lain (Untung, 1993).

Keanekaragaman hayati dipandang sebagai faktor penentu stabilitas ekosistem. Ekosistem yang
stabil terjadi jika kepadatan populasi dari organisme yang ada selalu cenderung menuju ke arah
keseimbangan masing-masing setelah adanya gangguan (Krebs, 1985). Tingkat keragaman dicirikan
dengan adanya jumlah spesies yang ditemukan dalam suatu lahan. Komunitas dan keragaman yang
tinggi, suatu spesies tidak akan menjadi dominan dan sebaliknya, komunitas dengan keragaman
rendah akan menyebabkan satu atau dua spesies menjadi dominan. Keragaman dan dominansi
berkorelasi negatif, artinya apabila tingkat keragaman tinggi maka tingkat dominansi suatu jenis
adalah rendah (Price, 1975).

Krebs, C.J. 1985. Ecology. The Experimental Analisys of Distribution and Abudance. Third Edition.
Harper & Raws Publishers. New York.
Hierarki Biodiversity

Hirarchi biodiversitas adalah urutan dalam jenjang klasifikasi dari berbagai kategori
keanekargaman hayati yang terdapat didalam komunitas bumi ini dimana ragam yang
terbesar adalah ragan dalam sifat genetik atau gen , diikuti dengan ragam spesies atau jenis
serta ragam dalam ekosistemnya.

Secara sederhana digambarkan hirarchi biodiversitas sebagai berikut :

1. Keragaman ekosistemnya
2. Keragaman jenis dan species
3. Keragaman dan genetiknya

KERAGAMAN GENETIKA (Gen diversity)

Keragaman genetik berasal dari adanya ragam yang tinggi dari unsur yang terkecil yaitu
terbentuk dari berbagai DNA sehingga dari sini terbetuk banyak variasi gen dalam satu
species pada suatu populasi

Sifat yang dimiliki oleh gen dalam populasinya dapat bersifat variasi karena ruang /Spatial (
hambatan ruang untuk beraktifitas ) atau sifat yang karena skala waktu / Temporal ( dimensi waktu
yang berjlamn membuat ada mutasi mutasi gen baru yang terjadi.

KERAGAMAN SPECIES (Species diversity)


Adanya banyak variasi jenis atau species dalam Biosfer . Variasi variasi yang terjadi ini karena banyak
faktor pembentuk spesies baru yang berasal dari spesies yang sudah ada dalam suatu ruang / Spatial
, Hambatan ruang spatial contohnyaadalah isolasi geografis baik vertikal maupun horisontal.

KERAGAMAN EKOSISTEM (Ecosistem diversity)

Adanya berbagai sub Habitat dan Habitat dalam satu komunitas ke ecosistem baik krean ciri
dan karaktersistik lokasi tentunya berpengaruh pada pembentukan komponen Biotik dan
proses-proses ekologi didalammnya Aktifitas dan proses proses ekologi di dalam ekosistem
seperti Aliran Energy dan daur materi, kemudian rantai makan dan siklus hidup komponen
biotik . Keragaman ekosistem ini bisa bisa dilihat mulai dari permukaan laut

Ekosistem perairan yaitu ekosistem laut dalam, ekosistem laut dangkal, ekosistem
pesisir , ekosistem bakau kemudian ekosistem hutan pantai , ekosistem rawa
mengalir / tergenang,
Ekosistem darat yaitu ekosistem hutan hujan dataran rendah, ekosistem hutan dataran tinggi
dan ekosistem pegunungan

Artikel Terkait :

Definisi Plasma Nutfah


Manfaat Keanekaragaman Hayati
Konservasi Insitu
Konservasi Exsitu
Konservasi Sumber Daya Genetik
Manfaat dan Ancaman Keanekaragaman Hayati
Prespektif Silvika Dalam Keanekaragaman Hayati dan Silvikultur
Istilah Keanekaragaman Hayati
Pengelolaan Keanekaragaman Hayati dalam Ekosistem Hutan
Keanekaragaman Hayati dalam Hutan
Konservasi Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman Serangga Sebagai Spesies Indikator

Faktor Penentu Perubahan Keanekaragaman Hayati


Hierarki Keanekaragaman Hayati (Biodiversity)
Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar

PEMANFAATAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR *)


Oleh
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

I. PENDAHULUAN

Indonesia sebagai salah satu


negara mega-biodiversity telah
memiliki komitmen untuk
melestarikan pemanfaatan
tumbuhan dan satwa liar yang
ada secara berkelanjutan, dengan
merativikasi Convention on
International Trade in
Endangered Species of Wild
Fauna and Flora
(CITES) melalui Keputusan
Presiden RI Nomor 43 Tahun
1978, yang selanjutnya membawa
konsekuensi perdagangan
tumbuhan dan satwa liar yang
dilaksanakan pemerintah
Indonesia harus mengikuti
ketentuan-ketentuan CITES.
Pengelolaan tumbuhan dan satwa liar merupakan rangkaian dari kegiatan konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya berazaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati secara serasi
dan seimbang yang dilakukan melalui kegiatan :
1) perlindungan sistem ekologis penting penyangga kehidupan;
2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
3) pemanfaatan secara lestari sumber dalam alam hayati. Pengelolaan tumbuhan dan satwa liar sebagai suatu
sumber daya alam hayati tersebut tersebar di berbagai tipe habitat yang terdapat di dalam wilayah
Indonesia, didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, beserta peraturan pelaksanaannya, khususnya Peraturan Pemerintah
Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, dan Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999, jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dimanfaatkan untuk
keperluan:
a) Pengkajian, penelitian dan pengembangan;
b) Penangkaran;
c) Perburuan;
d) Perdagangan;
e) Peragaan;
f) Pertukaran;
g) Budidaya tanaman obat-obatan, dan
h) Pemeliharaan untuk kesenangan.
Selanjutnya, pengaturan kegiatan pemanfaatan lebih lanjut telah ditetapkan berbagai Keputusan Menteri
Kehutanan.
Berdasarkan pasal 65 Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999, Departemen yang bertanggungjawab di
bidang kehutanan ditetapkan sebagai Otoritas Pengelola (Management Authority) konservasi tumbuhan dan
satwa liar. Dengan demikian pelaksanaan konservasi tumbuhan dan satwa liar dilaksanakan oleh Departemen
Kehutanan. Selanjutnya melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 104/Kpts-II/2003 (sebagai pengganti
Keputusan Menteri Kehutanan No.36/Kpts-II/1996), Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam telah ditunjuk sebagai pelaksana Otoritas Pengelola (Management Authority) CITES di Indonesia.
Departemen Kehutanan Cq. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) telah
menerbitkan perizinan dalam bidang pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar, melakukan penilaian keberhasilan
pemanfaatan tumbuhan dan satwa, melakukan pembinaan dan mendaftarkan unit usaha penangkar satwa liar
jenis yang tercantum dalam Appendiks I CITES, melakukan pembinaan unit usaha pengedar tumbuhan dan
satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang atau pengedar satwa liar yang dilindungi dari hasil
penangkaran, serta melakukan pengendalian pengawasan peredaran tumbuhan dan satwa liar di dalam negeri
maupun ke dan dari luar negeri.
Dalam pelaksanaan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar terdapat beberapa permasalahan antara lain :
a) belum lengkapnya data dasar populasi dan habitat tumbuhan dan satwa liar yang dapat dimanfaatkan,
b) adanya kerusakan dan penurunan kualitas habitat satwa liar,
c) penetapan kuota pemanfaatan,
d) pengendalian peredaran ke atau dari luar negeri, dan
e) belum mantapnya sistem pengendalian pemanfaatan nasional, regional dan internasional.
Walaupun adanya permasalahan pemanfaatan tersebut di atas, dalam pelaksanaannya Direktorat Konservasi
Keanekaragaman Hayati selaku Pelaksana Harian Otoritas Pengelola CITES di Indonesia, telah berupaya
menekan permasalahan yang ada semaksimal mungkin, dengan melakukan kerjasama dengan Pusat Penelitian
Biologi LIPI, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang konservasi dan instansi
terkait. Selanjutnya dalam pelaksanaan pengendalian pengawasan peredaran telah melaksanakan koordinasi
dengan instansi-instansi yang terkait dengan peredaran jenis tumbuhan dan satwa liar, antara lain seperti : Pusat
Karantina Hewan dan Pusat Karantina Tumbuhan Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
Pusat Karantina Ikan Departemen Kelautan dan Perikanan, Kepolisian RI. dan Departemen Perindustrian dan
Perdagangan.

II. PEMANFAATAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

Pemanfaatan satwa liar di awali dari kegiatan penangkapan satwa dari alam (habitat alam)
atau pengambilan dari hasil penangkaran (pengembangbiakan satwa atau pembesaran satwa)
terhadap jenis-jenis yang termasuk dalam Appendiks CITES maupun Non-Appendiks CITES
baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi. Untuk pemanfaatan jenis yang
dilindungi harus dilakukan penangkaran atau satwa tersebut ditetapkan sebagai satwa buru di
wilayah Indonesia.
Untuk dapat memanfaatkan secara komersial, terdiri dari pemanfaatan dalam negeri dan pemanfatan ke luar
negeri. Untuk pemanfaatan komersial dalam negeri, maka setiap orang atau badan usaha harus mendapat izin
pemanfaatan komersial dalam negeri berupa izin mengedarkan spesimen tumbuhan atau satwa liar yang tidak
dilindungi undang-undang atau satwa yang dilindungi sebagai hasil penangkaran atau satwa yang telah
ditetapkan sebagai satwa buru di dalam negeri. Sedangkan untuk pemanfaatan komersial ke luar negeri, maka
setiap badan usaha harus mendapat izin pemanfaatan komersial luar negeri berupa izin mengedarkan spesimen
tumbuhan atau satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang atau satwa yang dilindungi sebagai hasil
penangkaran ke luar negeri.
1. Kuota Penangkapan atau Pengambilan
Perdagangan jenis satwa liar diawali dengan penetapan kuota pengambilan/ penangkapan
satwa liar dari alam yang merupakan batas maksimal jenis dan jumlah spesimen satwa liar
yang dapat diambil dari habitat alam. Penetapan kuota pengambilan/penangkapan
tumbuhan dan satwa liar didasarkan pada prinsip kehati-hatian (precautionary principle)
dan dasar-dasar ilmiah untuk mencegah terjadinya kerusakan atau degradasi populasi (non-
detriment finding) sebagaimana tertuang dalam Article IV CITES. Kuota ditetapkan oleh
Direktur Jenderal PHKA berdasarkan rekomendasi LIPI untuk setiap kurun waktu 1 (satu)
tahun takwim untuk spesimen baik yang termasuk maupun tidak termasuk dalam daftar
Appendiks CITES baik jenis yang dilindungi maupun tidak dilindungi undang-undang.
Dalam proses penyusunan kuota disadari bahwa ketersediaan data potensi satwa liar yang
menggambarkan populasi dan penyebaran setiap jenis masih sangat terbatas. Untuk itu
peranan lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi akan sangat berarti dalam
membantu informasi mengenai potensi dan penyebaran jenis satwa liar yang dapat
dimanfaatkan.
Kuota pengambilan tumbuhan dan penangkapan satwa liar yang tidak dilindungi undang-
undang dikelompokkan ke dalam :
NO. Kelas Jumlah Jenis
1. Mamalia 5

2. Reptilia (Ular) 12

3. Reptilia (Biawak) 7

4. Reptilia (Kura-kura) 8

5. Reptilia (Buaya) 2

6. Aves/burung 19

7. Insekta/serangga 23

8. Gaharu 2

9. Pakis 1

10. Anggrek (budidaya) Berbagai jenis

11. Ramin 1

12. Koral/karang hias (alam) 73

13. Koral/karang hias (budidaya) 61

2. Perizinan
Perdagangan jenis satwa liar hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan mendapat izin dari Pemerintah (Departemen Kehutanan Cq.
Direktorat Jenderal PHKA). Dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003,
untuk izin perdagangan satwa liar, dikenal 3 (tiga) jenis izin, yaitu:

a. Izin mengambil atau menangkap tumbuhan dan satwa liar diterbitkan Balai KSDA
berdasarkan kuota wilayah yang ada;
b. Izin sebagai pengedar Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri diterbitkan oleh
Kepala Balai KSDA. Pemegang izin sebagai pengedar dalam negeri yang akan
mengambil atau menangkap satwa wajib memiliki izin pengambilan atau
penangkapan yang diterbitkan oleh Kepala Balai KSDA, serta wajib memiliki tempat
dan fasilitas penampungan tumbuhan dan satwa liar yang memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal. Satwa hasil penangkapan, dapat diangkut ke
daerah lain untuk diedarkan di dalam negeri, atau dapat juga diangkut ke pengedar
dalam negeri di daerah lain yang selanjutnya diangkut ke luar
negeri. Pengangkutan di dalam negeri spesimen satwa liar wajib dilengkapi dengan
Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri (SATS-DN) yang diterbitkan
oleh Kepala Balai KSDA.
c. Izin sebagai pengedar tumbuhan dan satwa liar ke negeri diterbitkan oleh Direktur
Jenderal perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (khusus untuk pemanfaatan
sarang burung walet diterbitkan oleh Walikota/ Bupati). Pemegang izin sebagai
pengedar ke luar negeri dapat mengangkut/ mengirim spesimen satwa ke luar
negeri sesuai ketentuan yang berlaku. Untuk menunjukkan legalitas peredaran
satwa liar untuk tujuan perdagangan ke luar negeri, kepada setiap pedagang
diwajibkan meliput peredaran tumbuhan dan satwa liar Surat Angkut Tumbuhan dan
Satwa Liar Luar Negeri (SATS-LN). Terhadap spesimen yang tercantum dalam
Appendiks CITES, peredarannya ke luar negeri (ekspor)/ CITES export
permit. Apabila dari luar negeri (impor) wajib diliput dengan dokumen CITES
import permit, dan pengiriman lagi ke luar negeri (re-ekspor)/CITES re-export
permit). Dokumen tersebut memuat informasi mengenai jenis dan jumlah satwa
liar yang diangkut, nama dan alamat pengirim dan penerima, serta asal dan tujuan
pengiriman.

3. Perdagangan ke Luar Negeri


Perdagangan ke luar negeri tumbuhan dan satwa liar dapat dilakukan oleh Badan Usaha
yang telah memiliki izin sebagai pengedar ke luar negeri serta memiliki SATS-LN, baik CITES
permit atau Non CITES permit yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal PHKA. Sampai
dengan saat ini tercatat di Direktorat Jenderal PHKA sebanyak 277 pemegang izin usaha
pengedar tumbuhan dan satwa liar ke luar negeri sengan rincian sebagai berikut :
Jumlah Pengedar ke Luar Negeri
No. Jenis Spesimen
Dari Alam Hasil Penangkaran
1. Reptil hidup 16 21
2. Kulit reptil/barang jadi 15 -
3. Mamalia 9 19
4. Koral/transplantasi koral 22 8
5. Insekta 5 6
6. Amfibi 13 1
7. Tanduk rusa 5 -
8. Gaharu 22 -
9. Pakis 10 -
10. Ramin 1 -
11. Burung 10 9
12. Sarang burung walet 10 -
13. Wallrus (re-ekspor) 6 -
14. Kulit kanguru (re-ekspor) 4 -
15. Kulit buaya (re-ekspor) - 2
16. Arwana - 36
17. Buaya - 29
18. Sikas - 1
19. Kima dan lola - 3
20. Tumbuhan lidah buaya - 1
21. Anggrek/tumbuhan alam - 9
Jumlah 148 145
Pengusaha pemegang izin pengedar ke luar negeri tersebut di atas menjadi anggota
Himpunan Asosiasi Pemanfaat Flora Fauna Indonesia (HAPFFI) dan masing-masing
perusahaan telah bergabung ke dalam 9 (sembilan) asosiasi pemanfaat fauna flora yang
terdiri dari:
No. Nama Asosiasi
1. Asosiasi Koral Kerang dan Ikan Hias Indonesia (AKKII)

2. Asosiasi Penangkar dan Pemanfaat Burung Seluruh


Indonesia (APPBSI)

3. Indonesian Reptile and Amphibi Trade Association


(IRATA)

4. Asosiasi Pengusaha Penangkar Buaya Indonesia (APPBI)

5. Asosiasi Penangkar dan Pemanfaat Hewan Percobaan


Indonesia (APPERI)

6. Kompartemen Flora (Pakis)

7. Asosiasi Penangkar dan Pemanfaat Reptil/ Amfibi


Seluruh Indonesia (APPRASI)

8. Asosiasi Pengusaha Eksportir Gaharu Indonesia


(ASGARIN)

9. Asosiasi Pengusaha Ikan Arwana Indonesia (ASPIARI)

4. Pengendalian dan pengawasan perdagangan satwa liar.


Pengendalian dan pengawasan perdagangan satwa liar dilakukan mulai dari tingkat kegiatan
pengambilan atau penangkapan spesimen tumbuhan dan satwa liar, pengawasan peredaran
dalam negeri, dan pengawasan peredaran ke dan dari luar negeri yang dilakukan oleh Balai
KSDA. Pengendalian dan pengawasan penangkapan satwa liar di alam dilakukan dengan
tujuan agar pemanfaatan sesuai dengan izin yang diberikan (tidak melebihi kuota tangkap),
penangkapan spesimen tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan tidak merusak habitat
atau populasi di alam, dan untuk spesimen yang dimanfaatkan dalam keadaan hidup tidak
menimbulkan banyak kematian yang disebabkan oleh cara pengambilan atau penangkapan
yang tidak benar.
4. Pengendalian perdagangan satwa liar satwa liar di dalam negeri, dilakukan dengan
pengendalian dalam penerbitan SATS-DN, pemeriksaan stok satwa yang ada pada pengedar
ataupun penangkar satwa, dan pemeriksaan stok yang akan dimohonkan SATS-LN atau yang
akan diekspor. Dalam penerbitan SATS-DN yang dikendalikan antara lain memeriksa
kesesuaian jenis dan jumlah antara dokumen yang diterbitkan dengan spesimen yang akan
di angkut. Pemeriksaan stok satwa antara lain mengendalikan ada tidaknya mutasi satwa
dari pengedar atau penangkar yang ada di wilayahnya. Sedangkan pemeriksaan spesimen
yang akan diekspor dilakukan dalam mengendalikan kesesuaian jenis dan jumlah spesimen
yang akan diekspor dengan dokumen ekspor yang ada.
Pengendalian dan pengawasan yang dilakukan Direktorat Jenderal PHKA antara lain adalah
mengendalikan SATS-DN yang telah diterbitkan oleh Kepala Balai KSDA serta mengendalikan
permohonan ekspor spesimen agar tidak melebihi kuota nasional yang ada.
Dalam pelaksanaan pengendalian dan pengawasan peredaran satwa di dalam negeri Balai
KSDA telah bekerjasama dengan Balai/ Kantor Karantina Hewan atau Karantina Tumbuhan
atau Karantina Ikan yang ada di daerah. Sedangkan untuk peredaran ke luar negeri selain
bekerja sama dengan Balai/ Kantor Karantina, juga dilakukan dengan Kantor Pelayanan Bea
dan Cukai, Kepolisian, Departemen Perdagangan (d/h Deperindag).
5. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Tumbuhan dan satwa liar
Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) selama ini dikenakan berupa pengenaan Provisi
Sumber Daya Hutan (PSDH) sebagai pengganti nilai intrinsik dari pemanfaatan tumbuhan
dan satwa liar. Pengenaan PSDH didasarkan kepada Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun
1998 tentang Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku di Departemen Kehutanan dan
Perkebunan. Sejak tahun 1989, besarnya penerimaan negara bukan pajak dari pemanfaatan
tumbuhan dan satwa liar (berupa iuran ekspor) rata-rata setiap tahunnya sebesar Rp.
200.000.000,-, yang disebabkan belum adanya Keputusan Menteri Kehutunan sebagai tindak
lanjut dari PP No. 59 Tahun 1998 dan pengenaan PSDH masih menggunakan tarif yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal PHPA pada tahun 1989.
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
476/MPP/Kep/8/2004 tentang Penetapan Harga Patokan Tumbuhan Alam dan Satwa liar
Yang Tidak Dilindungi, maka penerimaan PSDH yang diberlakukan sejak bulan September
2004 akan menghasilkan penerimaan 8 10 kali lipat penerimaan sebelumnya atau Rp. 1,6
Rp. 2 Milyard. Dengan akan ditetapkannya Keputusan Mentari Kehutanan tentang Tata
Usaha Pengenaan dan Pemungutan PNBP di Bidang PHKA, dimana pengenaan PSDH
dilakukan pada saat penangkapan atau pengambilan di alam dan saat akan ekspor, maka
penerimaan PNBP diperkirakan sebesar Rp. 3,2 Rp. 4 Milyar, dengan asumsi kuota
penangkapan satwa atau pengambilan tumbuhan alam tidak mengalami penurunan.

III. PERMASALAHAN

1. Lemahnya peraturan perundangan di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya seperti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor
7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Status perlindungan fauna dan
flora dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 belum mengakomodasi klasifikasi perlindungan
fauna dan flora sesuai ketentuan CITES dan belum mengatur sanksi bagi pelanggaran
pemanfaatan jenis- jenis yang tidak dilindungi.
2. Data dasar potensi TSL guna pemanfaatannya (dari luar kawasan konservasi) masih lemah
dan belum sepenuhnya menggunakan Non Detrimental Finding. Penetapan kuota dilakukan
melalui prinsip kehati-hatian (precausinary approach) dan kelestarian.
3. Dalam pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar secara komersial, pelaksanaannya masih
sangat tergantung kepada permintaan pasar dan nilai dari sumber daya alam hayati masih
dinilai sangat rendah.
4. Kriteria/standar nasional tentang pengelolaan penangkaran dan lembaga konservasi (LK)
belum ada. Begitu juga tentang Tim Akreditasi penilai kinerja penangkaran dan Lembaga
Konservasi belum ada.
5. Kurang sinkronnya kebijakan pemanfaatan biota laut/air tawar yang tidak dilindungi UU dan
tidak masuk Appendiks CITES. Selama ini pelaksanaannya dilakukan DKP sehingga sulit
kontrolnya. Pola pemanfaatan biota laut/air tawar yang tidak dilindungi UU namun masuk
Appendiks CITES juga belum jelas (contoh: Labi-labi dan Kura-kura). Keterlibatan PHKA
selama ini karena kapasitas PHKA sebagai Management Authority CITES.
6. Belum mantapnya sistem dan koordinasi pengendalian dan pengawasan peredaran
tumbuhan dan satwa liar dengan instansi terkait, khususnya di daerah terbatas di bandar
udara dan bandar laut, mengingat sampai dengan saat ini Departemen Kehutanan tidak
termasuk dalam tugas Custom, Immigration and Quarantine (CIQ).

IV. KEBIJAKAN PEMANFAATAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

Dengan mengacu kepada visi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), maka
disusunlah visi Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati : Terwujudnya Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya bagi Kesejahteraan Masyarakat. Sedangkan misi Direktorat Konservasi
Keanekaragaman hayati yang dikembangkan dari strategi konservasi dunia terdiri dari :

1.

1. Melindungi dan memelihara proses ekologis esensial dan sistem penyangga kehidupan;
2. Mengawetkan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
3. Memanfaatkan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian;
4. Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan KSDAHE.
Misi tersebut di atas dapat diwujudkan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang terdiri dari :
1. Memulihkan populasi (Population Recovery) spesies langka/ terancam punah/ kritis in situ
dan ex situ.
Akibat kerusakan habitat dan perburuan liar banyak species yang saat ini populasinya dalam
kondisi yang kritis, yang apabila tidak ada campur tangan pengelolaan yang intensif maka
peluang untuk menjadi punah dalam waktu dekat menjadi besar. Populasi jenis-jenis ini
harus dipulihkan ke tingkat aman dan secara alami dapat bertahan hidup dalam jangka
panjang. Pemulihan populasi (Population Recovery) dilaksanakan untuk mengeliminir
faktor-faktor penghambat maupun faktor penyebab turunnya populasi dan mempromosikan
peningkatan faktor-faktor yang mendukung meningkatnya populasi.Faktor-faktor di atas
dapat berupa faktor alami maupun faktor manusia, termasuk faktor pemerintah.

2. Mengelola dan mengendalikan pemanfaatan spesies terancam punah (endangered) dan


species yang populasinya melimpah di alam maupun di dalam penangkaran.
Indonesia saat ini menganut azas pemanfaatan jenis secara lestari (sustainable
utilization). Pemanfaatan secara lestari ini dalam arti pemanfaatan dapat dalam bentuk
pemanenan dari alam seperti perburuan dan perdagangan, atau pemanfaatan dari jasa yang
ditimbulkan oleh species tersebut, misalnya ekoturisme berbasis species. Pemanfaatan
dalam bentuk perdagangan, secara internasional diatur melalui konvensi yang dikenal
dengan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora) sehingga di lingkup nasional sistem perundang-undangan perlu disesuaikan
CITES. Hal ini berimplikasi pada perbaikan sistem pemanfaatan bukan hanya di lingkup
internasional tetapi juga secara nasional.
Pemanfaatan jenis-jenis terancam bahaya kepunahan harus sedemikian rupa sehingga tidak
menyebabkan gangguan terhadap populasi di alam dan terjadinya genetic
drain. Sedangkan untuk jenis-jenis yang populasinya belum terancam pemanfaatan dari
alam harus melalui perencanaan yang baik melalui pengembangan program pengelolaan
species.
3. Mengembangkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan pengendalian pemanfaatan
jenis.
Ketidakberhasilan program konservasi sering diakibatkan oleh tidak adanya peran serta yang
baik dari masyarakat. Padahal masyarakat, terutama yang berada di sekitar habitat adalah
unsur strategis dari pengelolaan konservasi. Di masa yang lalu, pengelolaan konservasi
sering sangat eksklusif dimana hanya Pemerintah yang bergerak melakukan ini. Masyarakat
justru sering dianggap sebagai faktor yang dapat menghambat konservasi. Paradigma
konservasi ke depan harus dirubah untuk memasukkan masyarakat sebagai unsur penting
dalam pengelolaan konservasi. Kendala utama dalam masyarakat adalah rendahnya tingkat
sosial ekonomi yang berimplikasi pada rendahnya pendidikan. Hal tersebut yang pertama-
tama harus diatasi agar masyarakat dapat berperan secara lebih besar. Pola pendekatan
atau konsep pengelolaan kolaboratif (Colaborative Management), perlu diimplementasikan
dan mewarnai kebijakan konservasi species.
4. Mengendalikan populasi jenis dan habitat.
Dalam kondisi habitat yang terbatas dan populasi berkembang dengan baik karena
pengelolaan yang baik maka populasi dapat lebih besar dari kemampuan habitat untuk
mendukungnya. Namun demikian untuk jenis-jenis yang secara global maupun nasional
terancam bahaya kepunahan, populasi yang seperti itu perlu dikendalikan dengan hati-hati
dan perhitungan yang cermat. Perburuan mungkin dapat dibuka untuk musim-musim
tertentu dan dengan metoda tertentu pula. Kecuali itu perburuan perlu juga dikembangkan
bagi jenis-jenis eksotik, yang walaupun dilindungi namun di suatu daerah tertentu
merupakan jenis asing yang dapat mengganggu keberadaan jenis asli, misalnya Rusa Timor
dan Monyet Ekor Panjang di Irian. Kegiatan ini selain secara ekologis membantu
lingkungan, secara ekonomis dapat membantu masyarakat sekitar untuk mengembangkan
sosial ekonominya. Bahkan apabila dikelola dengan cara yang profesional, dapat menjadi
obeyek yang mendatangkan pendapatan bagi pemerintah.
5. Mempertahankan keanekaragaman genetik dan kemurnian jenis.
Selama ini konservasi terhadap keanekaragaman genetik hampir terlupakan. Kebijakan
yang mengarah pada konservasi genetik baik in situ maupun ex situ walaupun ada,
kondisinya sangat tersebar, dan bersifat sektoral yang dilaksanakan oleh berbagai instansi
tanpa ada koordinasi dan strategi yang jelas. Beberapa species, sebagai contoh species
kayu-kayu komersial, banyak yang sudah terancam bahaya kepunahan, sementara itu
konservasi terhadap keunggulan-keunggulan genetiknya belum dilaksanakan. Sedangkan
habitat hutan alam (terutama di dataran rendah yang kaya akan species) akan habis dalam
waktu yang tidak terlalu lama. Untuk itu harus segera dikembangkan strategi yang jelas
bagi konservasi genetik jenis-jenis kayu komersial dan jenis lain yang sedang mengalami
ancaman degradasi genetik.
6. Mengendalikan akses terhadap sumberdaya genetik untuk menunjang budidaya dan
menjamin kepemilikan sumberdaya (resource property right and benefit sharing).
Kebijakan pengendalian akses terhadap sumber daya genetik telah diamanatkan dalam
Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity/CBD). Selama ini
banyak sekali sumber daya genetik Indonesia yang dikembangkan di luar negeri dan kembali
ke Indonesia dalam bentuk produk genetik bermutu tinggi yang harus dibeli, apabila
Indonesia menginginkan untuk menggunakannya.
7. Mengembangkan sistem informasi melalui pengelolaan penelitian, pengembangan sistem
inventarisasi serta monitoring populasi dan habitat.
Pengembangan sistem informasi merupakan misi yang yang sangat mendesak untuk
dilaksanakan karena sistem informasi yang baik dan berdasar kaidah-kaidah ilmiah
merupakan dasar yang sangat relevan bagi penentuan kebijakan dan pengambilan
keputusan. Selama ini sistem informasi untuk pengambilan kebijaksanaan di bidang
konservasi sangat didasarkan pada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan
intuisi. Dalam kondisi dimana informasi yang akurat sangat kurang, prinsip tersebut sangat
relevan untuk dilakukan, namun sistem informasi akurat perlu dikembangkan agar
pengambilan keputusan dapat lebih berdasar kaidah-kaidah ilmiah.
8. Penyempurnaan dan pengembangan peraturan perundang- undangan.
Sistem peraturan perundang-undangan merupakan dasar melakukan tindakan sehari-sehari
agar strategi pengelolaan keanekaragaman hayati dapat sesuai dengan tujuan konservasi
keanekaragaman hayati. Beberapa peraturan perundangan perlu segera disempurnakan
karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman dan beberapa hal masih belum
diatur secara baik dalam sistem peraturan perundangan.
Undang-undang No. 5 tahun 1990 memerlukan revisi terutama pada pengaturan yang
berhubungan dengan pembagian status hukum species, pengaturan terhadap masing-masing
status species, pengenaan sanksi terhadap aturan bagi setiap status species, pengaturan
mengenai pengelolaan kolaborasi dengan masyarakat, dan sebagainya.
9. Mengembangkan jaringan kerja dengan stakeholders.
10. Pelaksanaan konservasi tidak dapat dilaksanakan hanya oleh pemerintah saja tetapi
harus dilaksanakan oleh seluruh unsur masyarakat termasuk pemerintah daerah, organisasi
non-pemerintah, dan masyarakat sekitar habitat maupun masyarakat secara luas. Kerja
sama ini perlu dikembangkan ke arah kerja sama mengenai teknis-teknis konservasi,
perbaikan sistem administrasi pemerintahan yang ramah terhadap lingkungan, penegakan
hukum, sistem informasi, dan sebagainya. Selain itu, pengembangan jaringan kerja perlu
diarahkan bagi pembinaan masyarakat sekitar hutan/ habitat dalam pengembangan sosial
ekonomi yang berdampak pada semakin efektifnya konservasi.
11. Mengoptimalkan Pelaksanaan konvensi yang berhubungan dengan keanekaragaman
hayati.
12. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi atau mengikatkan diri dalam beberapa konvensi
yang berhubungan dengan konservasi keanekaragaman hayati (bio-diversity related
conventions), diantaranya CITES, CBD dan Ramsar. Dengan ratifikasi tersebut, Indonesia
terikat pada komitmen-komitmen yang dihasilkan dari keputusan-keputusan di dalam
konvensi yang sering berdampak langsung pada pelaksanaan konvensi tersebut di dalam
negeri. Konvensi seperti CITES bahkan mengharuskan negara anggota untuk
mengembangkan sistem legislasi nasional yang dapat melaksanakan konvensi secara efektif,
selain penegakan terhadap legislasi yang sudah dikembangkannya.
13. Mengembangkan potensi SDM di bidang pengelolaan konservasi species, genetik,
ekosistem esensial dan penegakan hukum (law enforcement).
14. Dalam memasuki millenium ketiga yang ditandai dengan era perdagangan bebas dan
teknologi informasi, serta prediksi terjadinya krisis hidupan liar dalam jangka 50 tahun yang
akan datang, maka diperlukan sumber daya manusia yang profesional bagi pengelolaan
konservasi termasuk penegakan hukumnya. Profesionalisme sumber daya manusia untuk
pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati perlu dikembangkan melalui sistem
rekrutmen dan mutasi yang terarah dengan pola pelatihan yang berkesinambungan mulai
dari pelatihan konservasi bagi pegawai baru (freshers training), pelatihan bagi pejabat
struktural, pelatihan bagi pejabat fungsional konservasi dan pelatihan bagi petugas
penegakan hukum mengenai konservasi dan kejahatan dalam bidang hidupan liar (wildlife
crimes), serta pelatihan bagi pegawai lain dan masyarakat umum tentang
konservasi. Dalam jangka panjang mungkin diperlukan semacam pusat pendidikan dan
latihan khusus untuk konservasi seperti yang ada di Amerika Serikat dengan National
Conservation Training Center (NCTC) yang digunakan untuk pelatihan bukan hanya pegawai
PHKA tetapi juga pegawai lain yang berhubungan dengan konservasi.
15. Menerapkan/ memperhatikan kesejahteraan satwa (animal welfare).

Dalam kegiatan pemanfatan satwa liar melalui kegiatan pengambilan atau penangkapan spesimen
jenis tumbuhan dan satwa liar, wajib memperhatikan kesejahteraan satwa (animal welfare) yaitu
tidak menyakiti, melukai, mematikan atau perlakuan lain yang menyebabkan satwa tertekan
(stress) pada invidu yang ditangkap maupun kelompok atau populasi yang ditinggalkan di habitat
alamnya. Selain penangkapan, juga pemanfatan satwa liar dalam lembaga konservasi dan taman
satwa wajib memperhatikan kesejahteraan satwa tersebut.

Struktur ..:: HUTAN HUJAN TROPIS ::.

1. Ekosistem Hutan Hujan Tropis

Hutan Hujan Tropis adalah suatu masyarakat kompleks merupakan tempat yang
menyediakan pohon dari berbagai ukuran. Dalam buku ini istilah kanopi hutan
digunakan sebagai suatu yang umum untuk menjelaskan masyarakat tumbuhan
keseluruhan di atas bumi. Di dalam kanopi iklim micro berbeda dengan
diluarnya; cahaya lebih sedikit, kelembaban sangat tinggi, dan temperatur lebih
rendah. Banyak dari pohon yang lebih kecil berkembang dalam naungan pohon
yang lebih besar di dalam iklim mikro inilah terjadi pertumbuhan. Di atas bentuk
pohon dan dalam iklim mikro dari cakupan pertumbuhan kanopi dari berbagai
jenis tumbuhan lain: pemanjat, epiphytes, mencekik, tanaman benalu, dan
saprophytes.

Pohon dan kebanyakan dari tumbuhan lain berakar pada tanah dan menyerap
unsur hara dan air. Daun-Daun yang gugur, Ranting, Cabang, dan bagian lain
yang tersedia; makanan untuk sejumlah inang hewan invertebrata, yang penting
seperti rayap, juga untuk jamur dan bakteri. Unsur hara dikembalikan ke tanah
lewat pembusukan dari bagian yang jatuh dan dengan pencucian dari daun-daun
oleh air hujan. Ini merupakan ciri hutan hujan tropis yang kebanyakan dari
gudang unsur hara total ada dalam tumbuhan; secara relatif kecil di simpan
dalam tanah.

Di dalam kanopi hutan, terutama di hutan dataran rendah, disana hidup


binatang dengan cakupan luas, hewan veterbrata dan invertebrata, beberapa
yang makan bagian tumbuhan, yang memakan hewan. Hubungan timbal balik
kompleks ada antara tumbuhan dan binatang, sebagai contoh, dalam hubungan
dengan penyerbukan bunga dan penyebaran biji. Beberapa tumbuhan, yang
disebut myrmecophytes, menyediakan tempat perlindungan untuk semut di
dalam organ yang dimodifikasi. Banyak tumbuhan, menghasilkan bahan-kimia
yang berbisa bagi banyak serangga dan cara ini untuk perlindungan diri dari
pemangsaan.

Keseluruhan masyarakat organik dan lingkungan phisik dan kimianya bersama-


sama menyusun dasar ekosistem pada hutan hujan tropis. Jika bagian dari
hutan menjadi rusak, tumbuhan (dan satwa) terbukanya gap, yang lain
menyerbu dengan persaingan; ada suatu suksesi sekunder dari komunitas
tumbuhan seral, hingga dengan cepat suatu masyarakat yang serupa menjadi
asli seperti semula. Ini disebut Klimaks. Pada permukaan tanah terbuka,
contohnya, terjadi pada 1963 oleh letusan Gunung Agong di Bali, suatu suksesi
primer, atau prisere, terjadi juga hingga Klimaks.

2. Synusiae

Suatu synusia adalah suatu kelompok tumbuhan dari bentuk hidup yang serupa mengisi relung yang
sama dan berperan serupa di dalam komunitas dimana bentuknya terpisah (Richards 1952); Ini
merupakan suatu bentuk hidup komunitas terpisah.

Synusiae menyediakan suatu bahan untuk menganalisa masyarakat tumbuhan


yang kompleks. Richards (1952) telah memperkenalkan suatu penggolongan
yang praktis untuk synusiae hutan hujan tropis:

A. Tumbuhan Autotrophic (dengan butir hijau daun)

1. Tumbuhan Independent Mekanis

(a) pohon dan treelets; ( b) herba.

2. Tumbuhan Dependent Mekanis

(a) pemanjat; ( b) para pencekik; ( c) epiphytes ( termasuk semi-parasitic epiphytes).

B. Tumbuhan Heterotrophic (tanpa butir hijau daun).


1. Saprophytes.

2. Parasites.
Jenis sangat berbeda hubungan taxonomic menyusun synusiae. Seperti halnya
yang dipunyai bentuk hidup umum, banyak juga mempunyai physiognomy yang
sangat serupa. Penyajian yang relatif ttg kelompok ekologis berbeda dalam
berbagai Formasi hutan hujan tropis adalah penting definisi mereka. Mereka
adalah mewakili seluruh hutan hujan dataran rendah yang hijau tropis. Synusiae
terjadi sepanjang daerah tropis di mana saja Formasi ditemukan.

3. Siklus Pertumbuhan Hutan

Pohon ada yang mati dan secepatnya mati disebabkan umur yang tua, biasanya
dari ujung cabang memutar kembali kepada tajuk, sedemikian sehingga
spesimen hampir mati tua (`overmature' di dalam bahasa rimbawan) adalah
stagheaded'', dengan dahan lebat yang diarahkan oleh hilangnya anggota yang
semakin langsing; lubang biasanya berongga pada tingkat ini. Gugur tajuk ke
bawah adalah bagiannya, dan secepatnya batang dan musim gugur potongan
dahan sisanya, sering menyurut oleh suatu hembusan keras badai yang diawali
dengan angin. Alternatif batang terpisah sebagai kolom berdiri. Banyak pohon
tidak pernah menjangkau tingkat lanjut seperti itu tetapi diserang mati oleh kilat
atau turun satu demi satu atau di dalam kelompok pada kedewasaan utama
mereka atau lebih awal. Rimbawan mencoba untuk memanen suatu pohon baik
sebelum umur tua hampir matinya.
Kematian dari suatu pohon individu atau suatu kelompok menghasilkan suatu
gap di dalam kanopi hutan yang memungkinkan pohon lain tumbuh. Ini pada
gilirannya menjangkau kedewasaan dan barangkali senescence; kemudian mati.
Kanopi Hutan, secara terus menerus mengganti pohon tumbuh dan mati. Ini
merupakan suatu kesatuan hidup dalam keadaan keseimbangan dinamis. Itu
menyenangkan untuk diteliti pertumbuhan ini siklus kanopi ke dalam tiga fasa:
tahap gap, membangun tahap, dan tahap dewasa ( cf. Watt 1947).
Tingkat dan pengaturan dari tahap ini berbeda dari hutan ke hutan, sebagian
besar berbeda sebab faktor yang menyebabkan kematian. Di Hutan Hujan
Dipterocarpaceae selalu hijau pada Malaya Tengah, suatu daerah dimana gap
kecil merupakan hal yang biasa terjadi.
Jumlah materi tumbuhan baru memproduksi per unit area per unit waktu, yang
dapat disebut netto produktivitas primer hutan, berbeda antara tiap tahapan.
Tahap gap yang rendah, meningkat ke suatu maksimum di dalam tahap
pertumbuhan, dan merosot sepanjang tahap dewasa ( cf. Watt 1947).

4. Stratifikasi

Hutan sering dianggap menjadi lapisan atau strata dan formasi hutan
berbeda untuk mendapatkan jumlah strata berbeda & Strata ( Lapisan, atau
tingkat) sering mudah dilihat dalam hutan atau pada suatu diagram profil, tetapi
kadang tidak dapat.
Mungkin pemakaian umum istilah stratifikasi untuk mengacu pada lapisan total
tingginya pohon, yang kadang-kadang diambil seperti lapisan tajuk pohon.
Pandangan yang klasik lapisan pohon yang selalu hijau dataran rendah tropis
hutan hujan adalah bahwa ada lima strata, A-E. Lapisan A merupakan lapisan
paling tinggi pohon yang paling besar yang biasanya berdiri seperti terisolasi
atau kelompok yang muncul kepala dan bahu, di atas berlanjut lapisan B, kanopi
yang utama. Di bawah B adalah suatu tingkat pohon lebih rendah, Lapisan C
ditunjukan bergabung dalam B kecuali pada dua poin-poin dekat akhir. Lapisan
D adalah berhutan treelets dan lapisan E forest-floor tumbuh-tumbuhan herba
dan semaian bibit kecil. Bersama-Sama ini lima lapisan menjadi anggota
synusiae dari tumbuhan autotrophic independent mekanis. Dihubungkan dengan
Lapisan struktural ini, sering kasus yang di dalam strata yang lebih rendah tajuk
pohon kebanyakan lebih tinggi dari lebar, dan sebaliknya.
Konsep struktural lapisan kelihatan hilang pada alam yang dinamis dari kanopi
hutan hujan, kenyataannya yang tumbuh dalam ditambah sejak semula.
Penambalan pada berbagai ukuran adalah tahap beragam siklum pertumbuhan
hutan.

Lapisan bentuk tajuk berhubungan dengan pertumbuhan pohon. Pohon muda


masih bertumbuh tingginya lingkar hampir selalu monopodial, dengan batang
tunggal (ada beberapa perkecualian, sebagai contoh Alstonia), dan tajuk pada
umumnya sempit dan jangkung. Pohon Dewasa kebanyakan jenis adalah
sympodial, tanpa batang pusat tunggal, dan beberapa dahan melanjut untuk
tumbuh menambah lebar tajuk setelah dewasa tingginya telah dicapai; paling
pada umumnya, sympodial tajuk lebih luas dibanding mereka adalah dalam,
terus meningkat sangat dengan meningkatnya umur pohon. Pohon lebih pendek
belum dewasa dibanding yang tinggi. Lapisan bentuk tajuk begitu sangat
diharapkan.

Pertumbuhan Tinggi kebanyakan jenis pohon menjadi sempurna ketika hanya


antara sepertiga dan setengah mencapai lubang diameter akhir. Diikuti daun-
daunan akan cenderung untuk dipusatkan berlapis-lapis di mana suatu jenis
atau suatu kelompok jenis dari dewasa serupa tingginya mendominasi suatu
posisi, sebagai contoh, di dalam hutan dipterocarp.

Lapisan struktural kadang-kadang kelihatan pada diagram profil atau di dalam


hutan dan jumlah dan tingginya lapisan akan tergantung pada tahap atau
mewakili tahap siklus pertumbuhan. Tiga lapisan pohon di dalam pohon hutan
hujan tropis yang selalu hijau dataran rendah adalah suatu yang abstrak
menyenangkan menghadirkan status yang umum bangunan dan tahap dewasa
mempertimbangkan bersama-sama. Tetapi pengambilan data dari suatu area
tanpa memperhatikan langkah-langkah yang phasic akan pada umumnya
mengaburkan keberadaan lapisan, kecuali Hutan dengan sedikit jenis atau
kelompok yang mendewasakan pada kemuliaan berbeda.

Penggunaan lain dari konsep stratifikasi pada ketinggian dimana jenis


pohon tertentu atau bahkan keluarga-keluarga biasanya dewasa. Sebagai
contoh, di Malaya muncul atau yang paling atas lak terdiri kebanyakan kelompok
Dipterocarpaceae dan Leguminosae. Tentang Dipterocarpaceae, Dipterocarpus,
Dryobalanops, dan Shorea menyediakan banyak yang muncul dan sebagai
pembanding Hopea dan Vatica pohon yang kecil yang B dan C lapisan. Hanya
sedikit dari 53 jenis Leguminosae Pohon didalam Malaya adalah umum seperti
muncul, terutama jenis Dialium, Koompassia, dan Sindora ( Whitmore 1972d).
Hutan hujan dataran rendah selalu hijau Dipterocarp pada umumnya puncak
kanopi pada 45 m, dan umumnya pohon individu mencapai tinggi 60 m. Pohon
paling tinggi dicatat adalah Kompassia Excelsa ( 80'72 m Malaya, 83'82 m.
Sarawak; Gambar. 4.2, p. 54) dan Dryobalanops aromatica 67'1 m ( Foxworthy
1926). Timur Pilipina dipterocarps hanya di tempat penting dan kanopi lebih
rendah, sebagai contoh, Vitex cofassus Pometia pinnata di dalam Hutan dataran
rendah Bougainville pada umumnya 30- 35 m tinggi dengan muncul tersebar
sampai 39 m ( Heyligers 1967).

Burseraceae dan Sapotaceae berlimpah-limpah pada lapisan kanopi utama di


barat Malesia dan lapisan puncak kanopi di timur Malesia. Pada daerah yang luas
ini tingkat umumnya dikatakan lapisan C atau lapisan pohon bawah berisi
kebanyakan jenis dua famili pohon paling besar, Euphorbiaceae dan Rubiaceae,
dan banyak Annonaceae, Lauraceae, dan Myristicaceae, di antara yang lain.

Pohon yang mencapai puncak kanopi terlihat ke atmospir eksternal, sangat


trerisolasi, temperatur tinggi, dan pergerakan angin harus dipertimbangkan, dan
harus yang sesuai diadaptasikan secara fisiologis. Di dalam kanopi microclimate
sungguh berbeda, seperti telah digambarkan di pendahuluan pada bab ini dan
dilanjutkan yang berikutnya. Mengikutinya mungkin salah satu yang dikenali dari
dua kelompok yang berbeda jenis, menyesuaikan untuk diatur dua kondisi-
kondisi ini; dan menarik seluruh jenis itu, atau bahkan seluruh familinya,
memanfaatkan satu situasi atau yang lain. Jenis yang tumbuh dibawah naungan
tetapi mencapai puncak dari kanopi pada tingkat dewasa dengan hidup di dua
lingkungan sangat berbeda pada tahap berbeda dalam hidup, dan mungkin
berubah secara fisiologis, meskipun demikian data eksperimen masih sebagian
besar kekurangan.

5. Bentuk Pohon

Pohon adalah bentuk hidup yang utama pada hutan hujan. Bahkan tumbuhan
bawah sebagian besar terdiri dari tambuhan berkayu bergentuk pohon berhutan;
semak belukar yang terlihat jarang, meskipun demikian lapisan D sering dengan
bebas disebut lapisan semak belukar

Tajuk

Aspek yang paling penting dari bentuk pohon untuk rimbawan yang disebut
dalam bagian yang sebelumnya, adalah perbedaan antara konstruksi tajuk
monopodial dan sympodial. Kebanyakan jenis berubah ke bentuk tajuk
sympodial ketika mereka dewasa tetapi beberapa mempertahankan bentuk tajuk
monopodial sepanjang seluruh hidup, sebagai contoh, semua Annonaceae dan
Myristicaceae di hutan tropis timur jauh, ini umum terjadi di antara jenis pohon
kecil berkembang di dalam kanopi. Rimbawan tertarik dengan volume kayu yang
meningkat per area, dan pohon-pohon monopodial dengan karakteristik tajuk
yang sempit, merupakan subyek yang lebih baik dalam penanaman
dibandingkan jenis sympodial. Ini merupakan salah satu alasan mengapa conifer
yang akan ditanam pada tropika basah yang memiliki daya tarik lebih untuk
diperhatikan, khusunya Pinus spp tropis, dan Araucaria dan mengapa Shorea
spp dari kelompok Dipterocarpaceae kayu Meranti Merah Terang dan jenis cepat
tumbuh lainnya, jenis yang memerlukan cahaya, jenis kayu keras asli setempat,
seperti Albizia falcata, Campnosperma, Endospernum dan Octomeles, memiliki
perhatian yang terbatas.

Tajuk pohon memiliki konstruksi yang tepat. Faktor utama yang menentukan
bentuk tajuk adalah pertumbuhan apical versus lateral, meristem radial simetrik
versus bilateral simetrik, berselangseling dan berirama versus pertumbuhan
berlanjut dari tunas dan daun atau bunga. Kombinasi faktor-faktor ini hanya
memberikan pembatasan jumlah total dari model yang mungkin dari konstruksi
tajuk. Arsitektur pohon tidak berkorelasi baik dengan taksonomi, beberapa famili
kaya akan model, contohnya Euphorbiaceae dan yang lain miskin, contohnya
Myristicaceae.

Batang Pohon
Untuk mengamati bentuk batang pohon di atas lantai hutan selalu lebih kurang
seperti tiang, sedikitnya sampai bagian yang paling rendah, dan ia merasakan
seolah-olah di dalam suatu katedral beratap hijau. Sesungguhnya ada beberapa
yang pada umumnya dapat dibandingkan dengan lilin yang kecil, dapat dilihat
pada pohon yang di tebang dan kelebihannya harus dibuat ketika membuat tabel
volume untuk tujuan kehutanan.

Banir

Tinggi Banir, menyebar, bentuk permukaan dan ketebalan biasanya tetap di


dalam suatu jenis dan oleh karena itu, seperti bentuk tajuk penunjang adalah
penuntun untuk identifikasi hutan. Ada sedikit bukti yang ganjil untuk menilai
kebenaran atau jika tidak menyangkut penyamarataan yang umum bahwa
pohon dengan akar ketukan dalam tidak membentuk penunjang, dan sebaliknya.

Kulit Batang

Sesuatu kekeliruan umum bahwa semua atau sebagian pohon hutan memiliki
kulit batang yang pucat, tipis dan licin. Ini jauh dari kenyataan, hutan hujan
kaya dengan warna dan bayangan dari hitam (Dyospiros) sampai putih
(Tristania), sampai warna coklat terang (Eugenia). Kecuali batang-batang pohon
yang mengarah keluar iklim mikro hutan, seperti pohon yang dalam proses
terisolasi dan pada pinggiran hutan, memiliki warna yang seragam yaitu abu-
abu pucat. Sapihan dan tiang yang kecil memiliki kulit batang yang tipis dan
lembut. Batang pohon dengan diameter di atas 0.9 m memperlihatkan suatu
keaneka ragaman bentuk permukaan, secara kasar seperti bercelah, bersisik,
atau dippled, dan beberapa licin. Setelah daun, karakteristik permukaan kulit
batang dan penampilannya menjadi bantuan yang paling utama ke pengenalan
jenis hutan dan mungkin punya arti untuk taksonomi. Beberapa famili homogen
kulit batangnya dan yang lain menunjukkan pola gamut.

Bunga

Biasanya bunga berkembang berhubungan dengan batang (Cauliflory) atau


cabang (ramiflory) bervariasi antara formasi hutan hujan tropis yang berbeda.
Cauliflory adalah paling umum di hutan hujan tropis dataran rendah yang selalu
hijau dan berkurang sehubungan dengan pertambahan tinggi tempat.
Akar

Suatu Pertumbuhan, memperbaharui minat akan sistem akar pohon hutan hujan
tropis dengan pengembangan studi dalam produktivitas dan siklus hara.. Seperti
kebanyakan kasus, kebanyakan akar ditengah hutan hujan ditemukan sampai
pada 0.3 m atau kira-kira pada tanah. Banyak pohon yang sistem perakarannya
dangkal dengan tidak menembus terlalu dalam semuanya. Beberapa, mungkin
sedikit, mempunyai akar ketukan dalam, tetapi oleh karena; berhubungan
dengan berbagai kesulitan dalam pelaksanaannya maka sistem perakaran
sangat sedikit dipelajari. Nye dan Greenland (1960) sudah memberi perhatian
pada peran penting akar secara relatif , beberapa menembus ke kedalaman
tertentu untuk mengambil hara mineral dari pelapukan partikel batuan atau
horizon alluvial, di samping peran mereka sebagi penstabil dan jangkar.
Sesungguhnya sangat sukar untuk mengetahui akar mana yang sangat bagus
dan merupakan ciri hidup mereka. Komponen ini kemudian biasanya
diremehkan, meskipun demikian esuatu yang sangat substansial dalah
menegtahui jumlah biomassa akar. Biomassa akar merupakan urutan kesepuluh
dari total biomassa dari dua hutan yang dipelajari. Hal ini merupakan alasan
yang dapat dipercaya menagapa akar terkonsentarsi di permukaan karena hara
inorganik terbentuk di sana sebagai hasil dekomposisi sisa-sisa bagian
tumbuhan yang jatuh dan hewan yang mati.
6. Epifit, pemanjat dan pencekik

Epifit dan pemanjat dibuat stratifikasi. Di dalam masing-masing synusia dua


kelompok utama dapat dikenali, suatu photophytic atau kelompok yang
memerlukan matahari , menyesuaikan diri secara morfologi maupun fisiologi
dengan iklim mikro dari kanopi hutan, dan skiophytic atau kelompok yang
memerlukan keteduhan, menyesuaikan diri dengan daerah yang lebih dingin,
lebih gelap dan lebih lembab pada iklim mikro dari kanopi hutan, meskipun
demikian perbdaan ini tidak pernah absolut.

Epifit

Epifit tajuk pohon seperti kebanyakan anggrek dan Ericaceae. Dalam hutan
hujan tropika banyak tumbuh golongan epifit yang jumlahnya kurang lebih
10% dari pohon-pohon dalam hutan hujan (Richards, 1952). Epifit adalah
semua tumbuh-tumbuhan yang menempel dan tumbuh di atas tanaman lain
untuk mendapatkan sinar matahari dan air. Akan tetapi epifit bukanlah
parasit. Epifit bahkan menyediakan tempat tumbuh bagi hewanhewan
tertentu seperti semut-semut pohon dan memainkan peranan penting dalam
ekosistem hutan. Sebagian besar tanaman ini (seperti lumut, ganggang,
anggrek, dan paku-pakuan) tingkat hidupnya rendah dan bahkan lebih senang
hidup di atas tumbuhtumbuhan lain daripada tumbuh sendiri.

Pemanjat

Banyak pemanjat yang menjangkau puncak kanopi mempunyai bentuk tajuk,


dan sering juga ukuran, dari tajuk pohon. Pemanjat biasanya dengan bebas
menggantung pada batang pohon, dan dapat berubah menjadi pemanjat
berkayu besar. Mereka diwakili oleh banyak famili tumbuhan. Semua kecuali dua
jenis dicurigai Gymnosperm Gnetum adalah pemanjat berkayu besar. Di antara
pemanjat berkayu besar yang paling umum adalah Annonaceae. Palm yang
menjadi pemanjat, rotan, adalah kelas penting lainnya dari pemanjat berkayu
besar yang merupakan corak hutan hujan.

Pemanjat berkayu paling besar adalah photophytes dan tumbuh prolifically di dalam
pembukaan hutan dan pinggiran hutan, menimbulkan dongeng yang populer rimba raya tebal
yang tak dapat tembus. Mereka bertumbuh dalam gap dan tumbuh dengan tajuk pada pohon
muda, maka akan ikut dengan bertumbuh tingginya penggantian kanopi. Mereka juga bertumbuh
setelah operasi penebangan dan boleh membuktikan suatu rintangan serius kepada pertumbuhan
suatu hutan

Pencekik

Para pencekik adalah tumbuhan yang memulai hidupnya sebagai epifit dan
menurunkan akar ke tanah dan meningkat dalam jumlah dan ukuran dan
bertahan di bawah tekanan dan akhirnya dapat membungkus pohon yang
menjadi tuannya sehingga sering pohon itu kemudian mati. Contoh pencekik
adalah Schefflera, Fagraea, Timonius, Spondias dan Wightia.

Klasifikasi Hutan

Hutan yang merupakan kumpulan pohon-pohon pada hamparan yang luas dapat digolongkan
menurut tujuan pengelolaan sebagai berikut :

1. Susunan Jenis
Hutan murni ialah hutan yang seluruhnya atau hampir semua dari jenis yang sama.
Hutan campuran ialah hutan yang tersusun dari dua atau lebih jenis pohon.
Baik hutan murni atau campuran dapat berupa seumur, tidak seumur atau segala umur.

2. Kerapatan Tegakan

Hutan-hutan berbeda dalam hal jumlah pohon dan volume per hektar, luas bidang dasar dan
kriteria lainnya.
Perbedaan antara sebuah tegakan yang rapat dan jarang, lebih mudah dilihat bila
menggunakan kriteria pembukaan tajuknya. Sedangkan kerapatan berdasarkan volume, luas
bidang dasar, dan jumlah batang per hektar dapat diketahui melalui pengukuran. Untuk lebih
praktis ada kelas kerapatan tajuk yaitu:

1. Rapat, bila terdapat lebih dari 70% penutupan tajuk


2. Cukup, bila terdapat 40 70% penutupan tajuk
3. Jarang, bila terdapat kurang dari 40% penutupan tajuk.

Hutan yang terlalu rapat, pertumbuhannya akan lambat, karena persaingan yang keras
terhadap sinar matahari, air dan unsur hara mineral. Stagnaasi pertumbuhan akan terjadi,
tetapi tidak terus berlangsung karena pohon-pohon yang lemah akan mati karena persaingan,
dan penguasaan oleh pohon-pohon yang kuat.

Sebaliknya hutan yang terlalu jarang, terbuka atau hutan rawang, akan menghasilkan pohon-
pohon dengan tajuk besar dan banyak percabangan dengan batang yang pendek.
Hutan yang dikelola dengan baik, kerapatannya dipelihara pada tingkat yang optimum,
sehingga pohon-pohonnya dapat dengan maksimal memanfaatkan air, sinar matahari dan
unsur hara dalam tanah.

Hutan yang tajuknya kurang rapat berfungsi kurang efesien, kecuali bila ada celah yang
terbuka, diisi dengan permudaan hutan atau pohon-pohon muda. Tempat-tempat terbuka
tersebut biasanya ditumbuhi gulma yang mengganggu pertumbuhan jenis-jenis pohon utama
atau tanaman pokok.

3. Komposisi Umur

Hutan seumur adalah Suatu hutan yang ditanam pada waktu bersamaan. Meskipun demikian
ukurannya dapat berbeda karena perbedaan laju pertumbuhan.

Hutan segala umur terdiri dari pohon-pohon yang besar hingga tingkat semai. Jadi meliputi
berbagai umur maupun ukuran.

Hutan tidak seumur adalah hutan yang hanya mempunyai dua atau tiga kelompok umur
atau ukuran. Misalnya hutan yang terdiri dari pohon-pohon yang sudah masak tebang,
miskin riap dan ukuran pancangnya saja.
Hutan segala umur biasanya penyebaran ukurannya lebih beragam dan umumnya jenis yang
lebih toleran naungan. Sementara hutan seumur umumnya terdiri dari jenis intoleran.
Gangguan alam seperti angin topan, kebakaran, bencana alam ataupun penebangan
berlebihan menciptakan celah di dalam hutan sehingga menciptakan kelompok-kelompok
yang tidak seumur.
Adanya variasi hutan menyebabkan sulitnya pelaksanaan praktek silvikultur, seperti pada
hutan alam produksi di berbagai tempat di Indonesia.

4. Tipe Hutan

Tipe hutan ialah istilah yang digunakan bagi kelompok tegakan yang mempunyai ciri-ciri
yang sama dalam susunan jenis dan perkembangannya. Ini disebabkan oleh faktor-faktor
ekologi tertentu, merupakan kelompok alami atau asosiasi berbagai jenis pohon yang tumbuh
bersama pada suatu daerah yang luas. Tipe hutan diberi nama menurut satu atau lebih jenis
pohon yang dominan. Cara yang lazim digunakan di Indonesia menurut formasi hutan, yaitu
suatu kelompok vegetasi yang mempunyai bentuk (life form) yang sama. Misalnya
pembagian menurut Van Steenis (1950), seperti berikut ini.

1. Hutan hujan tropika selalu hijau dataran rendah.


2. Hutan hujan tropika pegunungan rendah.
3. Hutan hujan tropika pegunungan tinggi.
4. Hutan tropika sub alpin
5. Hutan kerangas
6. Hutan pada batu kapur
7. Hutan pada batuan ultrabasa
8. Vegetasi pantai
9. Hutan bakau
10. Hutan payau
11. Hutan rawa gambut
12. Hutan rawa air tawar dan hutan rawa air musiman
13. Hutan hujan tropika semi selalu hijau.
14. Hutan gugur daun tropika lembab.
15. Formasi lain yang beriklim musiman semakin kering.

Menurut Soerianegara dan Indrawan terdapat keragaman yang besar dalam vegetasi hutan di
Indonesia, baik dari segi keadaan lingkungan dan tempat tumbuhnya, maupun dari susunan
floristiknya, sehingga pada waktu ini masih belum mungkin untuk menyusun klasifikasi
vegetasi Indonesia yang lengkap.

Klasifikasi Pohon-Pohon
dalam Sebuah Hutan

Klasifikasi pohon dalam sebuah hutan sangat berguna bagi keperluan pengelolaan
hutan. Beberapa cara disebutkan dibawah ini :

1. Klasifikasi berdasarkan ukuran, misalnya diameter setinggi dada dan tinggi pohon, seperti
dalam hutan alam produksi pada HPH :
1. Semai , tinggi sampai 1,5 cm
2. Pancang / sapihan tinggi > 1,5 m sampai diameter < 10 cm
3. Tiang diameter 10 sampai dengan 19 cm
4. Pohon inti, diameter 20 cm sampai 49 cm
5. Pohon besar, diameter > 50 cm

2. Klasifikasi berdasarkan posisi tajuk pohon.

Hal ini sangat bermanfaat pada hutan seumur seperti pada hutan tanaman jati, pinus, mahoni
dan lain-lain.

Dominan :
pohon dengan tajuk lebar di atas lapisan tajuk, menerima sinar matahari dari atas dan
sebagian dari samping.

Kodominan :
pohon dengan tajuk besar pada lapisan tajuk, menerima sinar matahari langsung dari atas dan
sebagian dari samping. Tajuk agak lebih kecil dari dominan, tetapi sehat dan tegar.

Tengahan:
pohon dengan bagian besar tajuk di bawah lapisan tajuk atau terjepit, menerima sebagian
matahari dari atas dan sebagian kecil atau tidak sama sekali dari samping.

Tertekan :
pohon dengan tajuk dinaungi pohon besar dan tidak menerima sinar matahari sepenuhnya,
baik dari atas maupun dari samping.

Selain klasifikasi tersebut, terdapat penggolongan berdasarkan kualitas pohon sebagai berikut
:

Pohon serigala (Wolf tree) : Pohon yang menghalangi pertumbuhan pohon lain yang sehat
dan subur, tetapi kurang bernilai komersil.
Pohon buruk dan berbatang ganda : Pohon yang bentuknya kurang bernilai komersil.
Pohon berbekas luka bakar.
Pohon gerowong
Pohon membusuk
Ekosistem .:: HUTAN HUJAN TROPIS ::.

Secara geografis daerah tropis mencakup wilayah yang terletak di antara titik balik rasi bintang
Cancer dan rasi bintang Capricornus, yaitu antara 2327 Lintang Utara dan 2327 Lintang Selatan.
Meliputi wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara, Australia bagian Utara, sebagian besar wilayah
Afrika, Kepulauan Pasifik, Amerika Tengah dan sebagian besar wilayah Amerika Selatan. Menurut
Koeppen (1930) daerah tropis adalah wilayah yang terletak di antara garis isoterm 180 C bulan
terdingin. Daerah tropis secara keseluruhan mencakup 30 % dari luas permukaan bumi. Hutan Tropis
merupakan hutan yang berada di daerah tropis.

Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak
lahan. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah
hujan 2.000 -11.000 mm per tahun, rata-rata temperatur 25C dengan perbedaan temperatur yang
kecil sepanjang tahun, dan rata-rata kelembapan udara 80 %.

Tipe ekosistem hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B (menurut
klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson), atau dapat dikatakan bahwa tipe ekosistem tersebut berada
pada daerah yang selalu basah, pada daerah yang memiliki jenis tanah Podsol, Latosol, Aluvial, dan
Regosol dengan drainase yang baik, dan terletak jauh dari pantai.

Tegakan hutan hujan tropis didominasi oleh pepohonan yang selalu hijau. Keanekaragaman spesies
tumbuhan dan binatang yang ada di hutan hujan tropis sangat tinggi. Jumlah spesies pohon yang
ditemukan dalam hutan hujan tropis lebih banyak dibandingkan dengan yang ditemukan pada
ekosistem yang lainnya. Misalnya, hutan hujan tropis di Amazonia mengandung spesies pohon dan
semak sebanyak 240 spesies.

Hutan alam tropis yang masih utuh mempunyai jumlah spesies tumbuhan yang sangat banyak.
Hutan di Kalimantan mempunyai lebih dari 40.000 spesies tumbuhan, dan merupakan hutan yang
paling kaya spesiesnya di dunia. Di antara 40.000 spesies tumbuhan tersebut, terdapat lebih dari
4.000 spesies tumbuhan yang termasuk golongan pepohonan besar dan penting. Di dalam setiap
hektar hutan tropis seperti tersebut mengandung sedikitnya 320 pohon yang berukuran garis tengah
lebih dari 10 cm. Di samping itu, di hutan hujan tropis Indonesia telah banyak dikenali ratusan
spesies rotan, spesies pohon tengkawang, spesies anggrek hutan, dan beberapa spesies umbi-
umbian sebagai sumber makanan dan obat-obatan.

Tajuk pohon hutan hujan tropis sangat rapat, ditambah lagi adanya tumbuh-tumbuhan yang
memanjat, menggantung, dan menempel pada dahan-dahan pohon, misalnya rotan, anggrek, dan
paku-pakuan. Hal ini menyebabkan sinar matahari tidak dapat menembus tajuk hutan hingga ke
lantai hutan, sehingga tidak memungkinkan bagi semak untuk berkembang di bawah naungan tajuk
pohon kecuali spesies tumbuhan yang telah beradaptasi dengan baik untuk tumbuh di bawah
naungan.

Itu semua merupakan ciri umum bagi ekosistem hutan hujan tropis. Selain ciri umum yang telah
dikemukakan di atas, masih ada ciri yang dimiliki ekosistem hutan hujan tropis, yaitu kecepatan daur
ulang sangat tinggi, sehingga semua komponen vegetasi hutan tidak mungkin kekurangan unsur
hara. Jadi, faktor pembatas di hutan hujan tropis adalah cahaya, dan itu pun hanya berlaku bagi
tumbuh-tumbuhan yang terletak di lapisan bawah. Dengan demikian, herba dan semak yang ada
dalam hutan adalah spesies-spesies yang telah beradaptasi secara baik untuk tumbuh di bawah
naungan pohon.

A. Tipe Hutan Hujan Tropis Menurut Ketinggian Tempat


Menurut ketinggian tempat dari permukaan laut, hutan hujan tropis dibedakan menjadi tiga zona
atau wilayah sebagai berikut.
1. Zona 1 dinamakan hutan hujan bawah karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 0 -
1.000 m dari permukaan laut.
2. Zona 2 dinamakan hutan hujan tengah karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat
1.000 - 3.300 m dari permukaan laut.
3. Zona 3 dinamakan hutan hujan atas karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 3.300
- 4.100 m dari permukaan laut.

1. Zona Hutan Hujan Bawah

Penyebaran tipe ekosistem hutan hujan bawah meliputi pulaupulau Sumatra, Kalimantan, Jawa,
Nusa Tenggara, Irian, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku misalnya di pulau Taliabu, Mangole,
Mandioli, Sanan, dan Obi. Di hutan hujan bawah banyak terdapat spesies pohon anggota famili
Dipterocarpaceae terutama anggota genus Shorea, Dipterocarpus, Hopea, Vatiea, Dryobalanops, dan
Cotylelobium. Dengan demikian, hutan hujan bawah disebut juga hutan Dipterocarps. Selain spesies
pohon anggota famili Dipterocarpaceae tersebut juga terdapat spesies pohon lain dari anggota famili
Lauraceae, Myrtaceae, Myristicaceae, dan Ebenaceae, serta pohon-pohon anggota genus Agathis,
Koompasia, dan Dyera.

Pada ekosistem hutan hujan bawah di Jawa dan Nusa Tenggara terdapat spesies pohon anggota
genus Altingia, Bischofia, Castanopsis, Ficus, dan Gossampinus, serta spesies-spesies pohon dari
famili Leguminosae. Adapun eksosistem hutan hujan bawah di Sulawesi, Maluku, dan Irian,
merupakan hutan campuran yang didominasi oleh spesies pohon Palaquium spp., Pometia pinnata,
Intsia spp., Diospyros spp., Koordersiodendron pinnatum, dan Canarium spp. Spesies-spesies
tumbuhan merambat yang banyak dijumpai di hutan hujan bawah adalah anggota famili
Apocynaceae, Araceae, dan berbagai spesies rotan (Calamus spp.).

2. Zona Hutan Hujan Tengah


Penyebaran tipe ekosistem hutan hujan tengah meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi,
sebagian daerah Indonesia Timor, di Aceh dan Sumatra Utara. Secara umum, ekosistem hutan hujan
tengah didominasi oleh genus Quercus, Castanopsis, Nothofagus, dan spesies pohon anggota famili
Magnoliaceae.
Di beberapa daerah, tipe ekosistem hutan hujan tengah agak khas. Misalnya di Aceh dan Sumatra
Utara terdapat spesies pohon Pinus merkusii, di Jawa Tengah terdapat spesies pohon Albizzia
montana dan Anaphalis javanica, di beberapa daerah Jawa Timur terdapat spesies pohon Cassuarina
spp., di Sulawesi terdapat kelompok spesies pohon anggota genus Agathis dan Podocarpus. Di
sebagian daerah Indonesia Timur terdapat spesies pohon anggota genus Trema, Vaccinium, dan
pohon Podocarpus imbricatus, sedangkan spesies pohon anggota famili Dipterocarpaceae hanya
terdapat pada daerah-daerah yang memiliki ketinggian tempat 1.200 m dpl.

3. Zona Hutan Hujan Atas

Penyebaran tipe ekosistem hutan hujan atas hanya di Irian Jaya dan di sebagian daerah Indonesia
Barat. Tipe ekosistem hutan hujan atas pada umumnya berupa kelompok hutan yang terpisah-pisah
oleh padang rumput dan belukar. Pada ekosistem hutan hujan atas di Irian Jaya banyak mengandung
spesies pohon Conifer (pohon berdaun jarum) genus Dacrydium, Libecedrus, Phyllocladus, dan
Podocarpus. Di samping itu, mengandung juga spesies pohon Eugenia spp. dan Calophyllum,
sedangkan di sebagian daerah Indonesia Barat dijumpai juga kelompokkelompok tegakan
Leptospermum, Tristania, dan Phyllocladus yang tumbuh dalam ekosistem hutan hujan atas pada
daerah yang memiliki ketinggian tempat lebih dari 3.300 m dpl.

B. Tipe Hutan Tropis Menurut Iklim di Indonesia

1. Hutan Tropis Basah


Hutan tropis basah adalah hutan yang memperoleh curah hujan yang tinggi, sering juga kita kenal
dengan istilah hutan pamah. Hutan jenis ini dapat dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku Bagian Utara dan Papua. Jenis-jenis yang umum ditemukan di hutan ini, yaitu: Meranti
(Shorea dan Parashorea), keruing (Dipterocarpus), Kapur (Dryobalanops), kayu besi (Eusideroxylon
zwageri), kayu hitam (Diospyros sp).

2. Hutan Muson Basah


Hutan muson basah merupakan hutan yang umumnya dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
periode musim kemarau 4-6 bulan. Curah hujan yang dialami dalam satu tahun 1.250 mm-2.000
mm. Jenis-jenis pohon yang tumbuh di hutan ini antara lain jati, mahoni, sonokeling, pilang dan
kelampis.
3. Hutan Muson Kering
Hutan muson kering terdapat di ujung timur Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa. Tipe hutan ini berada
pada lokasi yang memiliki musim kemarau berkisar antara 6-8 bulan. Curah hujan dalam setahun
kurang dari 1.250 mm. Jenis pohon yang tumbuh pada hutan ini yaitu Jati dan Eukaliptus.

4. Hutan Savana
Hutan savana merupakan hutan yang banyak ditumbuhi kelompok semak belukar diselingi padang
rumput dengan jenis tanaman berduri. Periode musim kemarau 4 6 bulan dengan curah hujan
kurang dari 1.000 mm per tahun. Jenis-jenis yang tumbuh di hutan ini umumnya dari Famili
Leguminosae dan Euphorbiaceae. Tipe Hutan ini umum dijumpai di Flores, Sumba dan Timor.

C. Tipe Hutan Hujan Tropis Menurut Physiognomi

Pada sistem klasifikasi ini dasar yang dipakai adalah ciri-ciri luar vegetasi yang mudah dikenali dan
dibedakan, seperti semak, rumput, pohon dan lain-lain. Ciri lebih lanjut seperti menggugurkan daun,
selalu hijau, tinggi dan derajad penutupan tegakan dapat pula diterapkan. Ciri-ciri yang umum
digunakan yaitu :
- Tinggi vegetasi, yang berkaitan dengan strata yang nampak oleh mata biasa
- Struktur, berpedoman pada susunan stratum (A, B, C, D dan E), dan penutupan tajuk (Coverage).
- Life-form atau bentuk hidup atau bentuk pertumbuhan, merupakan individu-individu penyusun
komunitas tumbuh-tumbuhan.

Contoh :

a. Ciri physiognomi hutan tropis dataran rendah :

Kanopi : 25 45 m

Tinggi pohon (emergent) : Khas, 60 80 m

Daun penumpu : Sering dijumpai

Elemen daun dominan : Mesophyl

Akar papan : Sering dijumpai dan sangat besar

Kauliflori : Sering dijumpai

Liana berkayu : Sering dijumpai

Liana pada batang : Sering dijumpai

Ephyphit : Sering dijumpai

b. Ciri physiognomy hutan tropis dataran tinggi/ pegunungan :

Kanopi : 15 33 m
Tinggi pohon (emergent) : Sering tidak ada

Daun penumpu : Jarang dijumpai

Elemen daun dominan : Mesophyl

Akar papan : Jarang dijumpai dan kecil

Kauliflori : Jarang dijumpai

Liana berkayu : Jarang dijumpai

Liana pada batang : Sering dijumpai

Ephyphit : Sangat sering dijumpai

c. Ciri physiognomi hutan tropis pegunungan tinggi :

Kanopi : 2 - 18 m

Tinggi pohon (emergent) : Pada umumnya tidak ada

Daun penumpu : Sangat jarang dijumpai

Elemen daun dominan : Microphyl

Akar papan : Pada umumnya tidak ada

Kauliflori : Tidak ada

Liana berkayu : Tidak ada

Liana pada batang : Jarang dijumpai

Ephyphit : Sering dijumpai

Di Indonesia berdasarkan ciri physiognomi tedapat dua tipe hutan yaitu : Hutan Hujan Tropis, hutan
yang selalu hijau dan hutan musim atau hutan yang menggugurkan daun. Hutan hujan tropis
umumnya dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku bagian Utara dan Papua sedangkan
hutan musim yang menggugurkan daun dijumpai di Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan Maluku bagian
Selatan.

D. Tipe Hutan Hujan Tropis Menurut Sosiologi Vegetasi

Tipe hutan berdasarkan sosiologi vegetasi merupakan pengklasifikasian hutan berdasarkan jenis
yang dominan pada hutan tersebut atau berdasarkan famili yang dominan di daerah itu. Contoh :
- Hutan Dipterocarpaceae di Asia Tenggara, merupakan hutan tropis yang umum dijumpai dan Famili
yang mendominasi adalah Famili Dipterocarpaceae.
- Hutan Shorea albida di Serawak, merupakan hutan tropis yang didominasi jenis Shorea albida.
- Hutan Ebony (Diospyros sp) di Sulawesi, merupakan hutan tropis yang didominasi oleh Ebony atau
kayu hitam.
- Hutan Mahoni di Jawa, meupakan hutan musim yang didominasi oleh mahoni di pulau Jawa.

E. Tipe-tipe Hutan Hujan Tropis pada Kondisi Khusus (Azonal)

Hutan pada tipe azonal umumnya dipengaruhi oleh kondisi tanah dan air serta kondisi tempat
tumbuh yang miskin hara.

1. Hutan Mangrove
Hutan yang berada di tepi pantai, didominir oleh pohon-pohon tropika atau belukar dari genus
Rhizophora, Languncularia, Avicennia dan lain-lain.

2. Hutan Gambut (Peak Forest)


Hutan yang tumbuh pada tanah organosol dengan lapisan gambut yang memiliki ketebalan 50 cm
atau lebih, umumnya terdapat pada daerah yang memiliki tipe iklim A atau B menurut klasifikasi tipe
iklim Schmidt dan Ferguson.

3. Hutan Rawa (Swamp Forest)


Hutan yang tumbuh pada daerah-daerah yang selalu tergenang air tawar, tidak dipengaruhi iklim.
Pada umumnya terletak dibelakang hutan payau dengan jenis tanah aluvial. Tegakan hutan selalu
hijau dengan pohon-pohon yang tinggi bisa mencapai 40 m dan terdiri atas banyak lapisan tajuk.
KERUSAKAN HUTAN DI INDONESIA
Irwanto, 2012

Banjir yang terjadi di beberapa tempat di


Indonesia akibat kerusakan hutan. Banjir hanya
salah satu akibat dari kerusakan hutan yang
berdampak pada lingkungan hidup. Tidak hanya
banjir pada musim hujan, bahaya kekeringan
terjadi ketika musim kemarau datang.

Bila hutan masih terjaga dengan baik memiliki pohon-pohon yang rimbun, hutan dapat
menyerap air ketika hujan datang dan menyimpannya dalam tanah di celah-celah perakaran,
kemudian melepaskannya secara perlahan melalui daerah aliran sungai.

Hutan mengontrol fluktuasi debit air pada sungai sehingga pada saat musim hujan tidak
meluap dan pada saat musim kemarau tidak kering. Di sini hutan berfungsi sebagai pengatur
hidro-orologis bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Selain banjir dan
kekeringan, masih banyak lagi dampak negatif dari kerusakan hutan. Kerusakan lingkungan
hutan seperti ini merupakan kerusakan akibat ulah manusia yang menebang pohon pada
daerah hulu sungai bahkan pembukaan hutan yang dikonversi dalam bentuk penggunaan lain.

Gambar. Kerusakan Hutan akibat Ulah Manusia

Terganggunya sistem hidro-orologis akibat kerusakan hutan. Banjir pada musim hujan dan
kekeringan pada musim kemarau merupakan salah satu contoh dari tidak berfungsinya hutan
untuk menjaga tata air. Air hujan yang jatuh tidak dapat diserap dengan baik oleh tanah, laju
aliran permukaan atau runoff begitu besar. Air Hujan yang jatuh langsung mengalir ke laut
membawa berbagai sedimen dan partikel hasil dari erosi permukaan. Terjadinya banjir
bandang dimana-mana yang menimbulkan kerugian harta maupun nyawa. Masyarakat yang
terkena dampaknya kehilangan harta benda dan rumah tempat mereka berteduh akibat
terbawa banjir bandang, bahkan ditambah kerugian jiwa yang tak ternilai harganya.

Gambar. Kerusakan Hutan akibat Perambahan Hutan


Pengertian dan definisi dari kerusakan hutan adalah berkurangnya luasan areal hutan karena
kerusakan ekosistem hutan yang sering disebut degradasi hutan ditambah juga penggundulan
dan alih fungsi lahan hutan atau istilahnya deforestasi. Studi CIFOR (International Forestry
Research) menelaah tentang penyebab perubahan tutupan hutan yang terdiri dari perladangan
berpindah, perambahan hutan, transmigrasi, pertambangan, perkebunan, hutan tanaman,
pembalakan dan industri perkayuan. Selain itu kegiatan illegal logging yang dilakukan oleh
kelompok profesional atau penyelundup yang didukung secara illegal oleh oknum-oknum.
Pembukaan areal hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit ditunding sebagai salah satu
penyebab kerusakan hutan. Hutan yang didalamnya terdapat beranekaragam jenis pohon
dirubah menjadi tanaman monokultur, menyebabkan hilangnya biodiversitas dan
keseimbangan ekologis di areal tersebut. Beberapa jenis satwa yang menjadikan hutan
tersebut sebagai habitatnya akan berpindah mencari tempat hidup yang lebih sesuai.
Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit pada areal hutan tropis merupakan salah
satu pemicu terjadinya kebakaran hutan dan berdampak negatif terhadap emisi gas rumah
kaca.

Gambar. Konversi Hutan menjadi Lahan Perkebunan Kelapa Sawit

Hasil Penelitian terakhir dari CIFOR mengungkapkan beberapa dampak negatif dari
perubahan penggunaan lahan untuk produksi bahan bakar nabati atau biofuel. Pembangunan
perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut, menyebabkan emisi karbon yang dihasilkan dari
konversi lahan memerlukan waktu ratusan tahun untuk proses pemulihan seperti sedia kala.
Gambar. Kerusakan Hutan akibat Kebakaran

Data kerusakan hutan di Indonesia masih simpang siur, ini akibat perbedaan persepsi dan
kepentingan dalam mengungkapkan data tentang kerusakan hutan. Laju deforestasi di
Indonesia menurut perkiraan World Bank antara 700.000 sampai 1.200.000 ha per tahun,
dimana deforestasi oleh peladang berpindah ditaksir mencapai separuhnya. Namun World
Bank mengakui bahwa taksiran laju deforestasi didasarkan pada data yang lemah.

Sedangkan menurut FAO, menyebutkan laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai


1.315.000 ha per tahun atau setiap tahunnya luas areal hutan berkurang sebesar satu persen
(1%). Berbagai LSM peduli lingkungan mengungkapkan kerusakan hutan mencapai
1.600.000 2.000.000 ha per tahun dan lebih tinggi lagi data yang diungkapkan oleh
Greenpeace, bahwa kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3.800.000 ha per tahun yang
sebagian besar adalah penebangan liar atau illegal logging. Sedangkan ada ahli kehutanan
yang mengungkapkan laju kerusakan hutan di Indonesia adalah 1.080.000 ha per tahun.

KERUSAKAN EKOSISTEM | Membawa Dampak Negatif Bagi Lingkungan


Ekosistem hutan mengalami ancaman berupa penebangan hutan (deforestasi), fragmentasi dan
konversi menjadi bentuk pemanfaatan lain. Berdasarkan data Bank Dunia 2001 diperkirakan bahwa
kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,6 juta ha per tahun atau tiga ha per menit hingga dua juta
ha per tahun. Jika penggundulan hutan terjadi secara terus menerus, maka akan mengancam spesies
flora dan fauna dan merusak sumber penghidupan masyarakat. Pembukaan jalan dalam kawasan
yang dilindungi lebih banyak membawa dampak negatif bagi lingkungan.
Indonesia mempunyai lahan basah (termasuk hutan rawa gambut) terluas di Asia, yaitu 38 juta ha
yang tersebar mulai dari bagian timur Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Maluku sampai Papua.
Tetapi luas lahan basah tersebut telah menyusut menjadi kurang lebih 25,8 juta ha (Suryadiputra,
1994).

Penyusutan lahan basah dikarenakan berubahnya fungsi rawa sebesar 37,2 persen dan mangrove
32,4 persen. Luas hutan mangrove berkurang dari 5,2 juta ha tahun 1982 menjadi 3,2 juta ha tahun
1987 dan menciut lagi menjadi 2,4 juta ha tahun 1993 akibat maraknya konversi mangrove menjadi
kawasan budi daya (Suryadiputra, 1994, Dahuri et al, 2001).

Luas terumbu karang Indonesia diduga berkisar antara 50.020 Km2 (Moosa dkk, 1996 dalam
KLH,2002) hingga 85.000 Km2 (Dahuri 2002). Hanya sekitar 6 persen terumbu karang dalam kondisi
sangat baik, diperkirakan sebagian terumbu karang Indonesia akan hilang dalam 10-20 tahun dan
sebagian lainnya akan hilang dalam 20-40 tahun.

Rusaknya terumbu karang mempunyai dampak pada masyarakat pesisir, misalnya berkurangnya
mata pencaharian nelayan kecil.
Kepunahan Spesies

Satu spesies diperkirakan punah setiap harinya (KMNLH, 1997). Inventarisasi yang dilakukan oleh
badan-badan internasional, seperti International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources (IUCN) dapat dijadikan indikasi tentang keterancaman spesies. Pada 1988 sebanyak 126
spesies burung, 63 spesies binatang lainnya dinyatakan berada di ambang kepunahan (BAPPENAS,
1993).

Pada 2002, Red data List IUCN menunjukan 772 jenis flora dan fauna terancam punah, yaitu terdiri
dari 147 spesies mamalia,114 burung, 28 reptilia, 68 ikan, 3 moluska, dan 28 spesies lainnya serta
384 spesies tumbuhan. Salah satu spesies tumbuhan yang baru-baru ini juga dianggap telah punah
adalah ramin (Gonystylus bancanus). Spesies tersebut sudah dimasukkan ke dalam Appendix III
Convention of International Trade of Endengered Species of Flora and Fauna (CITES).Sekitar 240
spesies tanaman dinyatakan mulai langka, diantaranya banyak yang merupakan kerabat dekat
tanaman budidaya. Paling tidak 52 spesies keluarga anggrek (Orchidaceae) dinyatakan langka.

Kepunahan jenis di Indonesia terutama disebabkan oleh degradasi habitat (deforestasi, perubahan
peruntukan lahan), bencana (kebakaran), eksploitasi secara tidak bijaksana (perburuan/pemanenan
liar) dan masuknya spesies asing invasif serta perdagangan satwa liar.

Perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar Indonesia. Lebih dari 90
persen satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Lebih
dari 20 persen satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak. Berbagai jenis
satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas diIndonesia, seperti
orangutn, penyu, beberapa jenis burung, harimau Sumatera dan beruang.

Semakin langka satwa tersebut semakin mahal pula harganya. Pada tahun 2002 sekitar 1.000 ekor
orangutan diburu dari hutan Kalimantan untuk diperdagangkandan juga diselundupkan ke luar
negeri. Menurut Yayasan Gibbon, jumlah orangutan di Indonesia saat ini sekitar 14.000 ekor. Di
beberapa daerah, telah terjadi kepunahan lokal beberapa spesies, seperti lutung Jawa di beberapa
daerah di Banyuwangi.

Untuk perdagangan penyu, dunia internasional telah memberikan perhatiannya sejak lima
belastahun terakhir. Tahun 1990-an, beberapa lembaga internasional seperti Greenpeace telah
mempublikasikan terjadinya perdagangan dan pembantaian ribuan penyu per tahun di Bali. Isu
boikot pariwisata terhadap Bali pun mencuat sebagai respon dari kepedulian masyarakat
internasional terhadap nasib malang penyu-penyu yang bebas diperdagangkan di Bali.

Kemudian isu boikot pariwisata Bali semakin mereda seiring dengan berjalannya waktu dan
munculnya isu yang mengatakan bahwa perdagangan penyu di Bali telah menurun. Namun
investigasi ProFauna Indonesia di tahun 1999 membuktikan bahwa perdagangan penyu di Bali masih
berlangsung. ProFauna Indonesia mencatat ada sekitar 9000 ekor penyu yang diperdagangkan hanya
dalam kurun waktu empat bulan, yaitu Mei hingga Agustus 2001.

Kemudian untuk jenis burung yang diperdagangkan sebanyak 47 persen burung paruh bengkok yang
diperdagangkan adalah termasuk jenis yang dilindungi, antara lain Cacatua sulphurea, Cacatua
gofini, Eclectus roratus, Lorius lory, dan Cacatua galerita. Jenis burung yang paling banyak
diperdagangkan adalah Lorius lory.

Artikel Terkait :

Kerusakan Lingkungan Berdampak Negatif


Macam dan Jenis Pencemaran Lingkungan
Berdasarkan Lingkungan Tempat Terjadinya
o pencemaran udara,
o pencemaran air, dan
o pencemaran tanah.
Kerusakan Hutan Indonesia
Penyebab Kerusakan Hutan
Akibat Kerusakan Hutan
Penebangan hutan untuk menyukseskan Gerhan
Pengertian Perlindungan Hutan
Strategi Perlindungan Hutan
Pengertian Kebakaran Hutan
Akibat Kebakaran Hutan
Dampak Kebakaran Lahan
Penanggulangan Kebakaran Hutan
Pengertian Degradasi Hutan
Pengertian Deforestasi
Kerusakan Lingkungan
Kerusakan Hutan Pulau Kecil
Gambar-Gambar Kerusakan Hutan
Dampak Kebakaran Lahan
Dampak Negatif Pertambangan
Pengertian Reboisasi dan Penghijauan
Konservasi Tanah
Pengertian Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
Dampak Pemanenan Kayu Hutan
Manfaat Ekonomi dan Dampak Ekologis Pengusahaan Hutan
Macam dan Tipe Hutan di Indonesia
Fungsi Hutan
Kerusakan Hutan Pulau Kecil
Pengertian Hutan | Definisi Hutan
Manfaat Hutan
Pengertian Abrasi Pantai
Formasi Ekosistem Hutan
Manfaat Hutan Mangrove
Definisi Hutan Mangrove
Suksesi Hutan
Pengertian Ekosistem
Tipe Tipe Hutan Tropis
Indonesia jadi Miskin Tanpa Hutan
Presiden Dedikasi Tiga Tahun Terakhir untuk Hutan Indonesia
Illegal Logging pada Kawasan Hutan Konservasi
Ekosistem .:: HUTAN GAMBUT ::.

Hutan gambut adalah hutan yang tumbuh di atas kawasan yang digenangi air dalam keadaan asam
dengan pH 3,5 - 4,0. Hal itu tentunya menjadikan tanah sangat miskin hara. Menurut Indriyanto
(2005), hutan gambut didefinisikan sebagai hutan yang terdapat pada daerah bergambut ialah
daerah yang digenangi air tawar dalam keadaan asam dan di dalamnya terdapat penumpukan bahan
bahan tanaman yang telah mati.

Ekosistem hutan gambut merupakan suatu tipe ekosistem hutan yang cukup unik karena tumbuh di
atas tumpukan bahan organik yang melimpah. Daerah gambut pada umumnya mengalami genangan
air tawar secara periodik dan lahannya memiliki topografi bergelombang kecil sehingga menciptakan
bagian-bagian cekungan tergenang air tawar.

Arief (1994) mengemukakan bahwa gambut itu terjadi pada hutan-hutan yang pohonnya tumbang
dan tenggelam dalam lumpur yang hanya mengandung sedikit oksigen, sehingga jasad renik tanah
sebagai pelaku pembusukan tidak mampu melakukan tugasnya secara baik. Akhirnya bahon-bahan
organik dari pepohonan yang telah mati dan tumbang tertumpuk dan lambat laun berubah menjadi
gambut yang tebalnya bisa mencapai 20 m.

Menurut Irwan (1992), gambut adalah suatu tipe tanah yang terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan
(akar, batang, cabang, ranting, daun, dan lainnya) dan mempunyai kandungan bahan organik yang
sangat tinggi. Permukaan gambut tampak seperti kerak yang berserabut, kemudian bagian dalam
yang lembap berisi tumpukan sisa-sisa tumbuhan, baik itu potongan-potongan kayu besar maupun
sisa-sisa tumbuhan lainnya. Anwar dkk. (1984 dalam Irwan, 1992) mengemukakan bahwa gambut
dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, yaitu gambut ombrogen dan gambut topogen.

1. Gambut ombrogen
Bentuk gambut ini umum dijumpai dan banyak ditemukan di daerah dekat pantai dengan kedalaman
gambut mencapai 20 m. Air gambut itu sangat asam dan sangat miskin hara (oligotrofik) terutama
kalsium karena tidak ada zat hara yang masuk dari sumber lain, sehingga tumbuhan yang hidup pada
tanah gambut ombrogen menggunakan zat hara dari gambut dan dari air hujan.

2. Gambut topogen

Bentuk gambut seperti ini tidak sering dijumpai, biasanya terbentuk pada lekukan-lekukan tanah di
pantai-pantai (di balik bukit pasir) dan di daerah pedalaman yang drainasenya terhambat. Air
gambut ini bersifat agak asam dan mengandung zat hara agak banyak (mesotrofik). Tumbuhan-
tumbuhan yang hidup pada tanah gambut topogen masih mendapatkan zat hara dari tanah mineral,
air sungai, sisa-sisa tumbuhan, dan air hujan.

Tipe ekosistem hutan gambut ini berada pada daerah yang mempunyai tipe iklim A dan B (tipe iklim
menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson), pada tanah organosol yang memiliki lapisan gambut
setebal lebih dari 50 cm (Santoso,1996; Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Hutan gambut itu
pada umumnya terletak di antara hutan rawa dan hutan hujan.

Vegetasi yang menyusun ekosistem hutan gambut merupakan spesies-spesies tumbuhan yang selalu
hijau (evergreen). Spesies-spesies pohon yang banyak dijumpai di dalam ekosistem hutan gambut
antara lain Alstonia spp., Dyera spp., Durio carinatus, Palaquium spp., Tristania spp., Eugenia spp.,
Cratoxylon arborescens, Tetramerista glabra, Dactyloeladus stenostachys, Diospyros spp., dan
Myristica spp. Khusus di Kalimantan dan Sumatra Selatan, pada ekosistem hutan gambut banyak
dijumpai Gonystylus spp.
Ekosistem Hutan Rawa

Ciri dari tipe ekosistem Hutan Rawa adalah hutan yang tumbuh pada daerah-daerah yang selalu
tergenang air tawar, tidak dipengaruhi iklim. Pada umumnya terletak dibelakang hutan payau
dengan jenis tanah aluvial dan aerasinya buruk. Tegakan hutan selalu hijau dengan pohon-pohon
yang tinggi bisa mencapai 40 m dan terdiri atas banyak lapisan tajuk.

Tipe ekosistem hutan rawa terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia, misalnya di Sumatra
bagian Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku dan Irian Jaya bagian Selatan.

Vegetasi yang menyusun ekosistem hutan rawa termasuk kategori vegetasi yang selalu hijau, di
antaranya adalah berupa pohon-pohon dengan tinggi mencapai 40 meter dan mempunyai beberapa
lapisan tajuk. Oleh karena hutan rawa ini mempunyai beberapa lapisan tajuk (beberapa stratum),
maka bentuknya hampir menyerupai ekosistem hutan hujan tropis. Spesies-spesies pohon yang
banyak terdapat dalam ekosistem hutan rawa antara lain Eucalyptus degulpta, Palaquium
leiocarpum, Shorea uliginosa, Campnosperma macrophylla, Gareinia spp., Eugenia spp., Canarium
spp., Koompassia spp., Calophyllum spp., Xylopia spp.. Pada umumnya spesies-spesies tumbuhan
yang ada di dalam ekosistem hutan rawa cendenmg berkelompok membentuk komunitas tumbuhan
yang miskin spesies. Dengan kata lain, penyebaran spesies tumbuhan yang ada di ekosistem hutan
rawa itu tidak merata.
Eucalyptus degulpta tumbuh pada hutan rawa di MALUKU

Ada beberapa daerah berawa yang hanya ditumbuhi rumput, ada pula yang hanya didominasi oleh
pandan dan palem. Meskipun demikian ada juga yang menyerupai hutan hujan tropis dataran
rendah dengan pohon-pohon berakar tunjang, berbagai spesies palem, dan terdapat spesies-spesies
tumbuhan epifit, tetapi kekayaan jenis dan kepadatannya tentu lebih rendah dibandingkan dengan
ekosistem hutan hujan tropis.
Tipe Tipe Hutan Tropis
A. Tipe Hutan Berdasarkan Faktor Iklim

Di daerah tropis umumnya temperaturnya tinggi dan ketersediaan air merupakan faktor yang sangat
penting. Berdasarkan dua faktor tersebut dilahirkan berbagai zonasi atau pengelompokan vegetasi
dengan cara-cara yang berbeda.
Klasifikasi berdasarkan kedua hal tersebut dilakukan antara lain oleh :
- de Martone (1926)
- Koeppen (1936)
- Koeppen dan Trewartha (1943) dan
- Lauer (1952)

Klasifikasi menurut Koeppen (1936), Koeppen dan Trewartha (1943) merupakan klasifikasi
yang paling banyak digunakan. Sistem ini didasarkan pada pengaruh iklim terhadap
pertumbuhan vegetasi yang selanjutnya dikelompokkan dalam lima kelompok besar yaitu :
- Iklim Hutan Tropis (A)
- Iklim Tropis Kering (B)
- Iklim Savana
- Iklim Stepa
- Iklim Gurun

Peta Lokasi Daerah Tropis

Iklim Hutan Tropis (A), secara umum dicirikan oleh suhu rata-rata bulanan lebih dari atau
sama dengan 180 C, dengan suatu klasifikasi lebih lanjut berdasarkan besarnya curah hujan
bulanan dan distribusinya lebih lanjut, sebagai berikut :

Af : tanpa bulan kering, hujan sepanjang tahun dengan curah hujan bulanan lebih dari 60
mm.
Am : memiliki bulan kering yang pendek, dimana pada bulan kering lapisan tanah bagian
dalam tetap lembab dan curah hujan rata-rata tahunan tinggi.
Aw : hujan pada bulan kering
As : jarang dijumpai.

Ketinggian tempat merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kondisi iklim, baik dari segi
suhu, kelembaban udara maupun curah hujan, yang selanjutnya mempengaruhi vegetasi yang
ada. Masing-masing zona ketinggian tempat memiliki karakteristik yang berbeda-beda, baik
dari segi floristik, komposisi maupun struktur. Klasifikasi menurut ketinggian tempat secara
umum sebagai berikut :

1. Hutan Tropis Dataran Rendah (0 kurang dari 800 m dpl.)


Famili penyusun hutan ini untuk wilayah Asia Tenggara, yaitu : Dipterocarpaceae,
Annonaceae, Bombacaceae, Guttiferae, Sapindaceae, Euphorbiaceae, Dilleniacee,
Leguminoceae, Meliaceae, Sterculiaceae.

2. Hutan Tropis Dataran Tinggi/ Pegunungan (800-1.500 m dpl.)


Famili penyusun hutan ini untuk wilayah Asia Tenggara, yaitu : Fagaceae, Lauraceae,
Myrtaceae, Araucariaceae, Juglandaceae.

3. Hutan Tropis Pegunungan Tinggi (lebih dari 1.500 m dpl.)


Famili penyusun tipe hutan ini untuk wilayah Asia Tenggara, yaitu : Myrtaceae,
Podocarpaceae.

Bagaimana dengan tipe hutan tropis menurut iklim yang terdapat di Indonesia ?
Anda dapat mengetahui hal itu dari penjelasan berikut ini.

Tipe Hutan Tropis Menurut Iklim di Indonesia

1. Hutan Tropis Basah


Hutan tropis basah adalah hutan yang memperoleh curah hujan yang tinggi, sering juga kita
kenal dengan istilah hutan pamah. Hutan jenis ini dapat dijumpai di Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku Bagian Utara dan Papua. Jenis-jenis yang umum ditemukan di hutan ini,
yaitu : Meranti (Shorea dan Parashorea), keruing (Dipterocarpus), Kapur (Dryobalanops),
kayu besi (Eusideroxylon zwageri), kayu hitam (Diospyros sp).

2. Hutan Muson Basah


Hutan muson basah merupakan hutan yang umumnya dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa
Timur, periode musim kemarau 4-6 bulan. Curah hujan yang dialami dalam satu tahun 1.250
mm-2.000 mm. Jenis-jenis pohon yang tumbuh di hutan ini antara lain jati, mahoni,
sonokeling, pilang dan kelampis.

3. Hutan Muson Kering


Hutan muson kering terdapat di ujung timur Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa. Tipe hutan
ini berada pada lokasi yang memiliki musim kemarau berkisar antara 6-8 bulan. Curah hujan
dalam setahun kurang dari 1.250 mm. Jenis pohon yang tumbuh pada hutan ini yaitu Jati dan
Eukaliptus.

4. Hutan Savana
Hutan savana merupakan hutan yang banyak ditumbuhi kelompok semak belukar diselingi
padang rumput dengan jenis tanaman berduri. Periode musim kemarau 4 6 bulan dengan
curah hujan kurang dari 1.000 mm per tahun. Jenis-jenis yang tumbuh di hutan ini umumnya
dari Famili Leguminosae dan Euphorbiaceae. Tipe Hutan ini umum dijumpai di Flores,
Sumba dan Timor.

TAHUKAH ANDA ?
Istilah Hutan Hujan Tropis pertama kali diperkenalkan oleh A. F. W. Schimper pada tahun
1898 di dalam bukunya Plant Geography, dan istilah ini terus dipergunakan sampai sekarang.
(T.C. Whitmore, 1975)

B. Tipe Hutan Berdasarkan Physiognomi

Pada sistem klasifikasi ini dasar yang dipakai adalah ciri-ciri luar vegetasi yang mudah
dikenali dan dibedakan, seperti semak, rumput, pohon dan lain-lain. Ciri lebih lanjut seperti
menggugurkan daun, selalu hijau, tinggi dan derajad penutupan tegakan dapat pula
diterapkan. Ciri-ciri yang umum digunakan yaitu :
- Tinggi vegetasi, yang berkaitan dengan strata yang nampak oleh mata biasa
- Struktur, berpedoman pada susunan stratum (A, B, C, D dan E), dan penutupan tajuk
(Coverage).
- Life-form atau bentuk hidup atau bentuk pertumbuhan, merupakan individu-individu
penyusun komunitas tumbuh-tumbuhan.

Contoh :

a. Ciri physiognomi hutan tropis dataran rendah :

Kanopi : 25 45 m
Tinggi pohon (emergent) : Khas, 60 80 m
Daun penumpu : Sering dijumpai
Elemen daun dominan : Mesophyl
Akar papan : Sering dijumpai dan sangat besar
Kauliflori : Sering dijumpai
Liana berkayu : Sering dijumpai
Liana pada batang : Sering dijumpai
Ephyphit : Sering dijumpai

b. Ciri physiognomy hutan tropis dataran tinggi/ pegunungan :

Kanopi : 15 33 m

Tinggi pohon (emergent) : Sering tidak ada


Daun penumpu : Jarang dijumpai
Elemen daun dominan : Mesophyl
Akar papan : Jarang dijumpai dan kecil
Kauliflori : Jarang dijumpai
Liana berkayu : Jarang dijumpai
Liana pada batang : Sering dijumpai
Ephyphit : Sangat sering dijumpai

c. Ciri physiognomi hutan tropis pegunungan tinggi :

Kanopi : 2 - 18 m

Tinggi pohon (emergent) : Pada umumnya tidak ada


Daun penumpu : Sangat jarang dijumpai
Elemen daun dominan : Microphyl
Akar papan : Pada umumnya tidak ada
Kauliflori : Tidak ada
Liana berkayu : Tidak ada
Liana pada batang : Jarang dijumpai
Ephyphit : Sering dijumpai

Di Indonesia berdasarkan ciri physiognomi tedapat dua tipe hutan yaitu : Hutan Hujan Tropis,
hutan yang selalu hijau dan hutan musim atau hutan yang menggugurkan daun. Hutan hujan
tropis umumnya dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku bagian Utara dan
Papua sedangkan hutan musim yang menggugurkan daun dijumpai di Jawa, Bali, Nusa
Tenggara dan Maluku bagian Selatan.

C. Tipe Hutan Berdasarkan Sosiologi Vegetasi

Tipe hutan berdasarkan sosiologi vegetasi merupakan pengklasifikasian hutan berdasarkan


jenis yang dominan pada hutan tersebut atau berdasarkan famili yang dominan di daerah itu.
Contoh :

Hutan Dipterocarpaceae di Asia Tenggara, merupakan hutan tropis yang umum dijumpai dan
Famili yang mendominasi adalah Famili Dipterocarpaceae.
Hutan Shorea albida di Serawak, merupakan hutan tropis yang didominasi jenis Shorea
albida.
Hutan Ebony (Diospyros sp) di Sulawesi, merupakan hutan tropis yang didominasi oleh
Ebony atau kayu hitam.
Hutan Mahoni di Jawa, meupakan hutan musim yang didominasi oleh mahoni di pulau Jawa.

Tegakan Mahoni di Pulau Jawa

Tipe-tipe Hutan pada Kondisi Khusus (Azonal)

Hutan pada tipe azonal umumnya dipengaruhi oleh kondisi tanah dan air serta kondisi tempat
tumbuh yang miskin hara.

1. Hutan Mangrove
Hutan yang berada di tepi pantai, didominir oleh pohon-pohon tropika atau belukar dari
genus Rhizophora, Languncularia, Avicennia dan lain-lain.

2. Hutan Gambut (Peak Forest)


Hutan yang tumbuh pada tanah organosol dengan lapisan gambut yang memiliki ketebalan 50
cm atau lebih, umumnya terdapat pada daerah yang memiliki tipe iklim A atau B menurut
klasifikasi tipe iklim Schmidt dan Ferguson.
3. Hutan Rawa (Swamp Forest)
Hutan yang tumbuh pada daerah-daerah yang selalu tergenang air tawar, tidak dipengaruhi
iklim. Pada umumnya terletak dibelakang hutan payau dengan jenis tanah aluvial. Tegakan
hutan selalu hijau dengan pohon-pohon yang tinggi bisa mencapai 40 m dan terdiri atas
banyak lapisan tajuk.

Hutan Rawa di Pulau Seram (Hutan Sagu)

RANGKUMAN

1. Tipe hutan berdasarkan faktor iklim umumnya diklasifikasikan berdasarkan curah hujan,
suhu udara dan ketinggian tempat. Berdasarkan curah hujan dan suhu udara maka tipe hutan
tropis terdiri dari hutan tropis basah, hutan muson basah, hutan muson kering dan hutan
savanna. Berdasarkan ketinggian tempat hutan tropis terdiri atas hutan tropis dataran endah,
hutan tropis dataran tinggi dan hutan tropis pegunungan tinggi.

2. Tipe hutan berdasarkan physiognomi didasarkan pada ciri luar vegetasi yang mudah
dikenali seperti tinggi vegetasi, struktur dan life-form. Tipe hutan ini yaitu hutan hujan tropis
dan hutan musim (muson).

3. Tipe hutan berdasarkan sosiologi vegetasi didasarkan pada famili atau jenis yang dominant
penyusun hutan tersebut. Tipe hutan ini antara lain Hutan Dipterocarpaceae di Asia Tenggara
dan Hutan Eboni di Sulawesi.

LATIHAN

Soal-soal ini dikerjakan secara individual dan diselesaikan sebagai tugas di rumah dan anda
harus memasukkannya pada awal pertemuan berikutnya Soal :

1. Jelaskan tipe hutan tropis berdasarkan faktor iklim !


2. Sebutkan tipe hutan tropis menurut curah hujan dan suhu udara yang terdapat di daerah
Saudara !
3. Bagaimana cara pengklasifikasian hutan menurut ciri physignomi ?
4. Menurut anda tipe hutan tropis yang ada di daerah Saudara termasuk kedalam tipe hutan
apa menurut ciri physiognomy ?
5. Bagaimana cara pengklasifikasian hutan berdasarkan sosiologi vegetasi ?
6. Apakah terdapat tipe hutan yang didominasi oleh jenis atau famili tertentu di daerah
Saudara? Jika ada sebutkan lokasi dan jenis atau famili yang mendominasi hutan tersebut !
7. Di daerah Saudara terdapat tipe-tipe Hutan Azonal. Sebutkan tipe hutan Azonal di daerah
Saudara!

PENGERTIAN DAN DEFINISI KEANEKARAGAMAN HAYATI

Pengertian dan Definisi Keanekaragaman hayati atau biological diversity (biodiversity) merupakan
istilah yang mengacu pada berbagai kehidupan di bumi. Istilah Keanekaragaman mengandung arti
berjenis-jenis atau bermacam-macam menunjukan adanya perbedaan yang satu dengan yang lain.
Sedangkan istilah hayati adalah sesuatu yang hidup di alam ini. Sehingga Keanekaragaman hayati
merupakan jenis-jenis makhluk hidup flora dan fauna yang terdapat di alam.

Secara umum, kajiannya menyangkut tiga tingkatan, yaitu: keanekaragaman genetik,


keanekaragaman jenis, dan keanekaan ekosistem. Di alam, beranekaragam jenis hayati umumnya
hidup dalam kondisi lingkungan tertentu, hasil interaksi antara jenis-jenis hayati (biotik) dengan
faktor abiotik (antara lain tanah, udara, air, temperatur, kelembaban) di sekitarnya. Selanjutnya,
sistem hubungan timbal balik antara jenis-jenis hayati dengan lingkungannya membentuk suatu
sistem ekologi atau ekosistem.

Ekosistem di alam banyak ragamnya. Misalnya, ekosistem hutan, pesisir, lautan dan lain-lain.
Berbagai ragam varietas, jenis atau pun ekosistem itu memberikan manfaat pada manusia. Oleh
karenanya, semua itu perlu dikelola oleh manusia dengan sebaik-baiknya, agar berbagai keuntungan
tersebut tidak punah. Salah satu caranya adalah dengan melakukan konservasi.
PENGERTIAN DAN DEFINISI KONSERVASI

Pengertian dan Definisi dari Konservasi menurut para ahli dapat dikemukakan bahwa
Konservasi adalah upaya untuk menjaga kualitas lingkungan dan keseimbangan ekosistem.

Istilah Konservasi atau conservation dapat diartikan sebagai suatu usaha pengelolaan yang
dilakukan oleh manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam sehingga dapat
menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya secara berkelanjutan untuk generasi manusia saat
ini, serta tetap memelihara potensinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-
aspirasi generasi generasi yang akan datang.

Berdasarkan pengertian tersebut, konservasi mencakup berbagai aspek positif, yaitu


perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan secara berkelanjutan, restorasi, dan penguatan
lingkungan alam (IUCN, 1980). Pengertian tersebut juga menekankan bahwa konservasi
tidak bertentangan dengan pemanfaatan aneka ragam varietas, jenis dan ekosistem untuk
kepentingan manusia secara maksimal selama pemanfaatan tersebut dilakukan secara
berkelanjutan.

Dalam praktek di lapangan, kerap kali masih ditemukan pengertian dan persepsi tentang
konservasi yang keliru, yaitu seolah-olah konservasi melarang total pemanfataan sumberdaya
alam. Berlandaskan pada pengertian tersebut masyarakat, khususnya penduduk setempat
yang bermukim di sekitar kawasan konservasi, dilarang keras untuk dapat menikmati
berbagai manfaat yang diberikan oleh lingkungan sekitarnya. Penduduk dipisahkan dengan
lingkungannya secara paksa, padahal mereka secara turun-temurun telah lama tinggal di
wilayahnya.

Tujuan utama konservasi, menurut Strategi Konservasi Sedunia (World Conservation


Strategy), ada tiga, yaitu: (a) memelihara proses ekologi yang esensial dan sistem pendukung
kehidupan, (b) mempertahankan keanekaan genetis , dan (c) menjamin pemanfaatan jenis
(spesies) dan ekosistem secara berkelanjutan.

Secara garis besar aspek konservasi dapat dijelaskan meliputi :

1. Kawasan penyangga kehidupan yang perlu dilindungi agar terpeliharanya proses ekologis
yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilaksanakan di dalam
dan di luar kawasan suaka alam.

3. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, yang dilakukan
antara lain dengan :

Pemanfaatan jenis dan pembudidayaan jenis (domestifikasi jenis baik hewan maupun
tumbuhan) yang ada dalam kawasan suaka alam. Eksplorasi jenis terus dilakukan diteruskan
dengan menggali pemanfaatannya bagi umat manusia, termasuk menggali kemungkinan
genetic improvment untuk meningkatkan produktivitas dan menghindari dampak negatif
geopotitik pelestarian plasma nutfah.
Pemanfaatan kawasan pelestarian alam untuk kepentingan pariwisata alam, ilmu
pengetahuan dan teknologi, pendidikan dan budaya.
Menjaga dan mencari bentuk kawasan budidaya (hutan produksi) dan kawasan lainnya agar
dapat disesuaikan dengan karakteristik ekosistemnya seperti percampuran tanaman,
pergiliran tanaman, agroforestry, silvofishery, silvopasture dan lain-lain dengan
mengutamakan landasan konservasi daya alam.
Pertimbangan Konservasi tanah dan air selalu digunakan dalam kesatuan ekosistem binaan.
Budidaya jenis di dalam suatu ekosistem tertentu dilakukan juga dengan pertimbangan
satwa liar yang bersifat migran.

4. Biaya pelestarian suaka alam sangat tinggi. Faktor inilah yang menjadikan kegiatan
pengelolaan konservasi sumberdaya tidak populer dan terkesan kuran mendapat perhatian
yang memadai. Namun jika pemanfaatan objek konservasi baik melalui penemuan atau
domestifikasi jenis yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, pendayagunaan kawasan
untuk kepentingan tertentu seperti pariwisata, pendidikan dan lain-lain sampai kepada upaya
genetic improvment dapat dilakukan dan layak jual maka kegiatan konservasi tidak lagi
spending money akan tetapi menjadi earning money. Dengan kata lain tidak hanya cukup
dengan menyebut pengelolaan konservasi tetapi menjadi bisnis konservasi. Kegiatan
Konservasi dengan pola pikir ini sudah harus memikirkan jumlah uang yang bisa diperoleh
dari bisnis ini dan harapannya akan selalu meningkat.

Dari uraian mengenai tujuan konservasi tersebut, kita tahu bahwa tidak ada larangan bagi
manusia untuk memanfaatkan varitas, jenis, dan ekosistem yang ada di sekitarnya. Dan bila
dilihat dari sejarah perkembangan peradaban manusia di muka bumi, sesungguhnya manusia
tidak pernah lepas dari aspek pemanfaatan dan pengelolaan anekaragaman jenis dan
ekosistem di lingkungan sekitarnya.
HUTAN ALAM :|: Pohon tumbuh secara alami sejak dulu kala ::.

Pengertian dari Hutan Alam adalah hutan yang ditumbuhi pohon-pohon secara alami dan sudah ada
sejak dulu kala. Hutan alam yang dapat bertahan tanpa ada campur tangan manusia atau pun tidak
terjadi eksploitasi hutan disebut "Hutan Primer". Hutan Primer terpelihara dengan baik sering
disebut Hutan Perawan atau Virgin Forest. Sedangkan hutan yang telah terdapat intervensi manusia
didalamnya atau juga faktor bencana alam dapat terbentuk hutan alam sekunder.

Indonesia mempunyai hutan alam yang sangat luas, tetapi semakin hari luasan hutan alam ini terus
berkurang. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Indonesia kehilangan 1,6 - 2 juta hektar hutan alam
setiap tahun. Hutan alam Indonesia pada umumnya ditumbuhi oleh jenis-jenis Dipterocarpaceae,
yang merupakan jenis kayu yang laku di pasaran, sehingga hutan alam ini merupakan sasaran
eksploitasi.

Komposisi jenis penyusun hutan alam di Indonesia berbeda-beda tergantung lokasi tempat
tumbuhnya hutan tersebut. Jenis-jenis pohon di hutan alam Indonesia bagian barat berbeda dengan
Indonesia bagian timur walaupun ada juga jenis yang menyebar luas dari barat sampai ke timur. Ada
beberapa zone tumbuhan hutan alam di Indonesia yaitu zone hutan alam bagian barat, zone hutan
alam bagian timur dan zone peralihan atau bagian tengah.
PENGERTIAN DAN DEFINISI HUTAN PRIMER

Pengertian dan Definisi dari Hutan Primer adalah Hutan Alam yang masih utuh yang belum
mengalami gangguan eksploitasi oleh manusia. Karena belum adanya intervensi manusia hutan-
hutan primer ini serang disebut juga hutan perawan atau virgin forest.

Bebera Sifat-sifat dan ciri hutan primer dapat dijelaskan sebagai berikut :

Hutan primer di Indonesia karena perbedaan tapak, timbul struktur dan tipe hutan yang
beraneka ragam, sehingga tidak ada cara yang berlaku umum untuk pengelolaannya.
Masing-masing hutan alam primer harus diteliti untuk mengetahui cara spesifik dalam
pengelolaannya. Hutan Primer di Indonesia bagian barat mempunyai karakteristik yanbg
berbeda dengan hutan primer di Indonesia bagian Timur.
Jenis pohon pada hutan primer sangat banyak mencapai 40-80 jenis per ha, sehingga jumlah
batang per jenis sangat sedikit. Jumlah jenis pada hutan alam primer di Asia ternggara
termasuk di Indonesia diperkirakan 12.000 - 15.000 spesies untuk pohon yang berukuran
diameter 10 cm keatas.
Jenis-jenis pohon bercampur individual walaupun ada juga jenis-jenis yang hidup
berkelompok.
Pada suatu tapak terdapat variasi struktur dan komposisi. Walaupun lokasinya tidak
berjauhan tetapi dapat terjadi kemungkinan perpedaan struktur dan komposisi jenis karena
kondisi tapak yang berbeda.
Frekwensi jenis pada umumnya rendah, namun ada juga yang penyebarannya vertikal dan
horisontalnya tinggi.
Struktur penyebaran diameter pohon berbentuk kurva grafik plenter (huruf J terbalik ),
yaitu jenis dengan diameter yang berukuran kecil lebih banyak dibandingkan dengan
diameter yang berukuran besar.
Pada hutan primer hanya terdapat sedikit batang yang mulus, pohon-pohon besar sering
bolong.
Hanya sedikit (0-20%) jenis pohon niagawi, volume terjual sekitar 0-20 m3/ha, kecuali hutan
dipterocarpaceae yang mengandung banyak kayu seragam.
Riap pertumbuhan pada hutan primer kecil, dalam skala yang luas besarnya nol.
Walaupun terdapat permudaan namun jumlahnya sering sedikit saja. Hal ini diakibatkan
karena tumbuhan-tumbuhan muda hanya dapat memanfaatkan cahaya dari gap atau celah
yang terbentuk karena tumbangnya pohon-pohon yang sudah tua.
PENGERTIAN DAN DEFINISI HUTAN SEKUNDER

Pengertian dan Definisi dari Hutan Sekunder yang dikemukakan oleh Lamprecht (1986) adalah hutan
yang tumbuh dan berkembang secara alami sesudah terjadi kerusakan/perubahan pada hutan yang
pertama. Hutan sekunder merupakan fase pertumbuhan hutan dari keadaan tapak gundul, karena
alam ataupun antropogen, sampai menjadi klimaks kembali.

Beberapa ciri dari hutan sekunder dapat dilihat dibawah ini :

Komposisi dan struktur tidak saja tergantung tapak namun juga tergantung pada umur.
Tegakan muda berkomposisi dan struktur lebih seragam dibandingkan hutan aslinya.
Tak berisi jenis niagawi. Jenis-jenis yang lunak dan ringan, tidak awet, kurus, tidak laku.
Persaingan ruangan dan sinar yang intensif sering membuat batang bengkok.
Jenis-jenis cepat gerowong. Riap awal besar, lambat laun mengecil.
Karena struktur, komposisi dan riapnya tidak akan pernah stabil, sulit merencanakan
pemasaran hasilnya.

Sedangkan Catterson (1994) mendefinisikan Hutan Sekunder sebagai Suatu bentuk hutan dalam
proses suksesi yang mengkolonisasi areal-areal yang sebelumnya rusak akibat sebab-sebab alami
atau manusia, dan yang suksesinya tidak dipengaruhi oleh vegetasi asli di sekitarnya karena luasnya
areal yang rusak. Bentuk-bentuk formasi vegetasi berikut ini dapat terbentuk: lahan kosong /
padang-padang rumput buatan / areal areal bekas-tebangan baru / areal-areal bekas tebangan yang
lebih tua.
HUTAN TANAMAN INDUSTRI (HTI)

Definisi dan Pengertian dari Hutan Tanaman Industri atau HTI adalah hutan tanaman yang dikelola
dan diusahakan berdasarkan prinsip pemanfaatan yang optimal, dengan memperhatikan kelestarian
lingkungan dan sumber daya alam. Penarapan kedua prinsip itu selalu diupayakan agar dapat
berjalan selaras dan seimbang. Dalam pembangunan nasional, sebagai yang digariskan dalam
Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1990, tujuan pengusahaan HTI adalah :

1. Menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai
tambah dan devisa.
2. Meningkatkan produktivitas lahan dan lingkungan, serta memperluas lapangan kerja dan
lapangan usaha.

Tujuan tersebut dijabarkan lebih jauh sebagaimana yang diformulasikan oleh Ditjen
Pengusahaan Hutan (1991), bahwa tujuan pembangunan HTI antara lain adalah untuk :

1. Membangunan hutan tanaman yang secara ekonomis menguntungkan, secara ekologis


sehat, dan secara sosial bermanfaat bagi masyarakat setempat.
2. Meningkatkan produktivitas hutan dalam arti meningkatkan riap ( growth per ha/tahun),
sehingga diperoleh volume akhir daur (yield) yang tinggi.
3. Memenuhi kebutuahan bahan baku industri yang ada (existing industry), serta yang akan
dikembangkan.

Sasaran pada akhir jangka waktu pembangunan HTI, diarahkan pada pembentukan hutan
yang tertata denagan baik, terutama dalam hal pengelolaannya, komposisi dan struktur
hutannya, serta lingkungan biofisik dan sosial ekonominya. Sedangkan sasaran yang akan
dicapai pada setiap periode lima tahun, adalah pembentukan penutupan lahan dengan
tumbuhan hutan yang berkualitas, perampungan penataan kawasan, serta konsolidasi unit
HTI dengan mengantisipasi pembangunan regional dan pembangunan kehutanan daerah,
termasuk pembangunan dan pengembangan indistri perkayuan.

Pengusahaan HTI pada hakekatnya merupakan alokasi sumber daya antar waktu.
Sumberdaya tersebut berupa sumber daya alam (hutan, tanah dan air) tenaga kerja, modal,
sarana/prasarana dan kemampuan manejerial yang profesional.
Pengusahaan HTI merupakan suatu asaha yang berjangka panjang, sehingga perlu dikelola
sebaik-baiknya dengan menerapkan prinsip-prinsip ekonomi dalam pengusahaanya agar
mampu memberikan keuntungan secara terus-menerus secara lestari.

Pengusahaan HTI sangat bergantung pada keadaan alam dan memerlukan waktu panjang, serta
mengandung resiko kegagalan yang tidak kecil, terutama apabila tidak dilengkapi dengan sarana
pengendalian yang memadai. Karena sifat usaha yang demikian itu, maka perencanaan yang matang
yang meliputi seluruh tahap pengusahaan, merupakan salah satu persyaratan untuk bisa mencapai
tujuan dan sasaran yang ditetapkan.

PENGERTIAN DAN DEFINISI HUTAN RAKYAT

Pengertian dan Definisi dari Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh dan dibangun serta
dikelola oleh rakyat, pada umumnya berada di atas tanah milik atau tanah adat. Ada beberapa
hutan rakyat berada di atas tanah negara, namun hal tersebut biasanya sudah ada campur
tangan dari pemerintah. Hutan rakyat ini ditanami dengan jenis-jenis tanaman hutan, ada
yang dikombinasikan dengan tanaman semusim. Pengelolaan hutan rakyat pada umumnya
menerapkan sistem Agroforestri atau yang dikenal dengan nama Wanatani.

Menurut status tanah hutan rakyat dapat digolongkan dalam beberapa kategori, yaitu ::

1. Hutan milik, yakni hutan rakyat yang dibangun di atas tanah-tanah milik. Ini merupakan
bentuk hutan rakyat yang paling umum, terutama di Pulau Jawa.
2. Hutan adat, atau dalam bentuk lain: hutan desa, adalah hutan-hutan rakyat yang dibangun
di atas tanah milik bersama; biasanya juga dikelola untuk tujuan-tujuan bersama atau untuk
kepentingan komunitas setempat.
3. Hutan kemasyarakatan (HKm), adalah hutan rakyat yang dibangun di atas lahan-lahan milik
negara, khususnya di atas kawasan hutan negara. Dalam hal ini, hak pengelolaan atas bidang
kawasan hutan itu diberikan kepada sekelompok warga masyarakat; biasanya berbentuk
kelompok tani hutan atau koperasi.
DEGRADASI HUTAN

Pengertian dan definisi dari Degradasi Hutan adalah suatu penurunan kerapatan pohon dan/atau
meningkatnya kerusakan terhadap hutan yang menyebabkan hilangnya hasil-hasil hutan dan
berbagai layanan ekologi yang berasal dari hutan. FAO mendefinisikan degradasi sebagai perubahan
dalam hutan berdasarkan kelasnya (misalnya, dari hutan tertutup menjadi hutan terbuka) yang
umumnya berpengaruh negatif terhadap tegakan atau lokasi dan, khususnya, kemampuan
produksinya lebih rendah. Penyebab-penyebab umum degradasi hutan mencakup tebang pilih,
pengumpulan kayu bakar, pembangunan jalan dan budidaya pertanian.
Sebenarnya definisi degradasi agak bersifat subjective (Lamb, 1994), memiliki arti yang berbeda
tergantung pada suatu kelompok masyarakat. Rimbawan memiliki persepsi yang bervariasi terhadap
arti degradasi. Sebagian mengatakan bahwa hutan yang terdegradasi adalah hutan yang telah
mengalami kerusakan sampai pada suatu point atau titik dimana penebangan kayu maupun non
kayu pada periode yang akan datang menjadi tertunda atau terhambat semuanya. Sedangkan
sebagian lainnya mendefinisikan hutan yang terdegradasi sebagai suatu keadaan dimana fungsi
ekologis, ekonomis dan sosial hutan tidak terpenuhi. Sedangkan menurut Oldeman (1992)
mengatakan bahwa degradasi adalah suatu proses dimana terjadi penurunan kapasitas baik saat ini
maupun masa mendatang dalam memberikan hasil (product).

You might also like