You are on page 1of 30

ASUHAN KEPERAWATAN

PASIEN DENGAN SISTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Pengertian
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun bersifat sistemik
yang terkait dengan adanya autoantibodi terhadap komponen inti sel (Buyon, 2008).
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau Lupus Eritematosus Sistemik
merupakan penyakit radang multisystem yang sebabnya belum diketahui, dengan
perjalanan penyakit yangmungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan
eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam antibody dalam tubuh
(Tjokronegoro & Utama, 1996)
Semula Lupus digambarkan sebagi suatu gangguan kulit pada sekitar tahun 1800-
an , dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk kupu-kupu, melintasi
tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai gigitan serigala. Lupus
adalah kata lain dalam Bahasa latin yang berarti serigala. Lupus discoid adalah nama
sekarang yang diberikan pada penyakit ini apabila kelainannya hanya terbatas pada
gangguan kulit ((Price & Wilson, 2005)
SLE adalah suatu kelompok penyakit jaringan ikat difus yang etiologinya belum
diketahui secara jelas. Kelompok ini meliputi SLE, scleroderma, polimiositis, atritis
rheumatoid, dan sindrom sjogren. SLE dapat bervariasi dari suatu gangguan ringan
sampai gangguan yang bersifat fulminan dan mematikan. Namun demikian keadaan
yang paling sering ditemukan adalah keadaan eksaserbasi atau remisi yang
berlangsung dalam waktu yang lama.
Systemic Lupus Erithematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun dengan
spektrum bervariasi dan melibatkan berbagai organ. Penyakit ini merupakan sindrom
klinis yang didasari disregulasi sistem imun dan ditandai oleh pembentukan auto-
antibodi antinukleus (ANA), terutama anti dsDNA yang selanjutnya akan membentuk
kompleks imun dan terjadi inflamasi serta kerusakan jaringan.
Pada anak, insidens SLE mencapai 10-20 kasus per 100.000 anak dan umumnya
lebih sering ditemukan pada anak perempuan di atas usia 10 tahun. Secara
keseluruhan, gejala klinis pasien SLE, 15%-17% timbul pada umur di bawah 16 tahun
dengan puncak insidens pada umur 10-14 tahunm sangat jarang muncul di bawah usia
4 tahun. Insidens pasti SLE pada anak sulit ditentukan, (missed-diagnosis) (Sari
Pediatri, 2016).

2. Penyebab
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan
oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh
awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan
(cahaya matahari, luka bakar termal).
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi
dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh kehilangan
kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri.
Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus
menerus. Antibody ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga
mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan. Dalam
keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam
melawan infeksi.
Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik
melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri.
Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit
menahun. Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum
sepenuhnya dimengerti tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan keturunan.
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus: infeksi, antibiotik
(terutama golongan sulfa dan penisilin), sinar ultraviolet, stres yang berlebihan, obat-
obatan tertentu, dan hormon.
Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen penyebabnya
tidak diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1.
Hanya 10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara
kandung) yang telah maupun akan menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa
hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang akan menderita penyakit ini. Lupus
seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria.
Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-
15 kali lebih sering ditemukan pada wanita. Faktor hormonal mungkin bisa
menjelaskan mengapa lupus lebih sering menyerang wanita. Meningkatnya gejala
penyakit ini pada masa sebelum menstruasi dan/atau selama kehamilan mendukung
keyakinan bahwa hormon (terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya
penyakit ini.
Faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini.
Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor
yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa
faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE menurut Musai
(2010):
a. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga
timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk
menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar.
Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada
kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE
pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih
tinggi dibandingkan pada populasi umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen
yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex)
kelas II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan
dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen
komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan
SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko
menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari
struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
Diketahui peneliti dari Australian National University (ANU) di Canberra
berhasil mengidentifikasikan untuk pertama kalinya penyebab genetik dari
penyakit lupus. Dengan pendekatan yang digunakan melalui pemeriksaan DNA,
tim peneliti berhasil mengidentifikasi penyebab khusus penyakit lupus yang
diderita pasien yang diteliti. Penyebabnya adalah adanya peningkatan jumlah
molekul tertentu yang disebut interferon-alpha.
b. Faktor Imunologi
Pada lupus enteritis terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem
imun, yaitu:
1) Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell)
akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa
reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur
maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali.
Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan
salah mengenali perintah dari sel T.
2) Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
3) Kelainan antibodi Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada
SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai
antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T
mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks
imun lebih mudah mengendap di jaringan.
c. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal
dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
d. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam
tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
1) Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya
SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri
Streptococcus dan Clebsiella.
2) Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi
menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat.
Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin
sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui
peredaran pembuluh darah.
3) Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada
gangguan sejak awal.
4) Obat-obatan Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu
dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat
yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid. (Musai, 2010)

3. Tanda dan Gejala


Diagnosis SLE di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis ACR 1997 revisi.
Diagnosis SLE dapat ditegakkan jika memenuhi minimal 4 dari 11 kriteria ACR
untuk SLE (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011)
Tabel 1. Kriteria diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik

Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
malar dan
cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat
oleh dokter pemeriksa.
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
Serositis: Pleuritis atau Riwayat nyeri pleuritk atau pleuritc friction rub yang
Perikarditis didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi
pleura.
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub
atau terdapat bukti efusi perikardium.
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila
tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
b. Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolic (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidakseimbangan elektrolit).
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolic (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).
Gangguan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh
obat-obatan
Gangguan imunologik a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer
yang abnormal
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear
Sm
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang
didasarkan atas:
1. kadar serum antibodiantikardiolipin abnormal baik
IgG atau IgM,
2. Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda
standard, atau
3. hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan di-
konfirmasi dengan test imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi
treponema.
Antibodi antinuclear positif Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan
(ANA test) pemeriksaan imuno- fluoresensi atau pemeriksaan setingkat
pada setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan
obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus
yang diinduksi obat.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85%
dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif,
maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila
hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif
dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka
panjang diperlukan.
4. Patofisiologi
PREDISPOSISI GENETIK Tenaga Pendorong Abnormal Terhadap Sel T

Sel T mengalami Sel T autoreaktif


perubahan struktur
dan fungsi Induksi dan ekspansi sel B
Pengalihan informasi tak terkendali Induksi dan ekspansi sel B

Reseptor salah menerim permintaan sel T Induksi dan ekspansi sel B

Induksi dan ekspansi sel B

ANA Beredar dalam sirkulasi


Beredar dalam sirkulasi

Menyerang nucleus (DNA & RNA)


fiksasi komplemen pada organ Komplek imun mengendap

fiksasi komplemen pada organ aktivasi komplemen substansi penyebab timbulnya reaksi radang
Plak eritematosa Risiko
Timbul berbagai Hipertermi Infeksi
Kerusakan Integritas Kulit
manisfestasi klinis
Keletihan Produkdi ATP Kekacauan sel
menurun
Nyeri sendi berkepanjangan Nyeri Akut
Penurunan berat
badan Ketidakseimbangn
Nutrisi: Kurang dari
Kebutuhan Tubuh
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi
genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan
hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnyamuncullah sel T autoreaktif yang akan
menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yangmemproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel
memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah
hormon seks, sinar ultraviolet danberbagai macam infeksi. Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan
terhadap antigen yang terutamaterletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan
non histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein danatau
kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khasautoantigen ini ialah bahwa
mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integralsemua jenis sel.Antibodi ini secara bersama-
sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Denganantigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks
imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu.
Dapat berupagangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imundalam
hati, dan penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan inimemungkinkan terbentuknya
deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai
maca organ dengan akibat terjadinyafiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi
komplemen yangmenghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah
yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan sepertiginjal, sendi,
pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya..

5. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia dan Perhimpunan Dokter Penyakit
Dalam Indonesia (2011), selain terpenuhinya minimal 4 dari 11 kriteria pasien dengan
SLE menurut ACR, berikut pemeriksaan yang harus dilakukan dalam penegakan
diagnosis SLE, diantaranya adalah:
a. Pemeriksaan Imunologi
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah
tes ANA generic (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan/diperiksa
hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita
SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA
dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis
menyerupai SLE misalnya 8 infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun
(misalnya Mixed connective tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis
autoimun), keganasan atau pada orang normal.
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,
tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE seringkali dinamis dan
berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang
terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA
dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis
tidak sesuai SLE umumnya diagnosis SLE dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes
antibody terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP,
Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil
ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang
didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA
yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer
yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang
bukan SLE.
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif
menunjang diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak
menyingkirkan adanya SLE. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15%-30% pasien
SLE, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm
relatif spesi ik untuk SLE, dan dapat digunakan untuk diagnosis SLE. Titer anti-
Sm yang tinggi lebih spesifik untuk SLE. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang
negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Rekomendasi:
1) Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE
2) Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE
3) Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif
tidak menyingkirkan diagnosis SLE

Tabel 2. Jenis autoantibodi pada SLE dan makna klinisnya (Buyon, 2008)
Antibodi Frekuensi Makna klinis
Anti Nuclear Antibody 90% Tidak spesifik untuk manifestasi klinis tertentu;
hanya digunakan untuk tujuan diagnosis
Anti-dsDNA 40-60% Terkait manifestasi klinis nefritis; dapat
memprediksi flare atau peningkatan aktivitas
penyakit.
Anti-RNP 30%-40% Terkait manifestasi klinis Raynauds,
musculoskeletal; tidak dapat menilai aktivitas
penyakit.
Anti Ribosomal-P 10%-20% Terkait manifestasi klinis gangguan SSP difus,
psikosis, depresi mayor; tidak dapat menilai
aktivitas penyakit.
Anti-SSA/ Ro 30%45% Terkait manifestasi klinis kekeringan
konjungtiva dan mukosa mulut, SCLE, lupus
neonatal, fotosensitivitas; tidak dapat menilai
aktivitas penyakit.
Anti-SSB/ La 10%-15% Terkait manifestasi klinis kekeringan
konjungtiva dan mukosa mulut, SCLE, lupus
neonatal, fotosensitivitas; tidak dapat menilai
aktivitas penyakit.
Antiphospholipid 30% Terkait manifestasi klinis gangguan pembekuan
darah; tidak dapat menilai aktivitas penyakit.

b. Pemeriksaan Darah Lengkap


Menurut ARA (1992), pemeriksaan DL bertujuan untuk melihat kadar
hemoglobin, trombosit, serta leukosit dalam darah. Pada pasien dengan SLE
kemungkinan pemeriksaan darah lengkap menunjukkan hasil sebagai berikut:
1) Anemia hemolitik
2) Leukosit <4.000/mm3
3) Limfosit <1.500/mm3
4) Trombosit <100.000/mm3
c. Pemeriksaan Urine Lengkap
Menurut ARA (1992), pada pasien dengan SLE kemungkinan pemeriksaan UL
menunjukkan hasil sebagai berikut:
1) Proteinuria> 0,5 gr/24 jam
2) Hematuria

6. Penatalaksanaan Medis
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi
pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya
dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai.
Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer
sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli reumatologi.
a. Edukasi / Konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan
dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu
dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan
pengetahuan akan masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah
kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet)
dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur.
Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar
tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan
informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan
aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Butir-butir edukasi pada
pasien SLE adalah sebagai berikut:

1) Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.


2) Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.
3) Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait
dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat
bantu maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian
kontrasepsi.
4) Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien
SLE, mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait
dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa
nyeri.
5) Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya.
Perlu tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai
jangka panjang contohnya obat anti tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya
termasuk antibiotikum.
6) Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah kelompok
pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan
sebagainya.
Terkait dengan pendekatan biopsikososial dalam penatalaksanaan SLE,
maka setiap pasien SLE perlu dianalisis adanya masalah neuro-psikologik
maupun sosial. Berdasarkan data penelitian di RSCM (2010) ditemukan adanya
gangguan fungsi kognitif sebesar 86,49%.21 Pembuktian dilakukan
menggunakan alat pemeriksaan yang lebih teliti seperti TRAIL A, TRAIL B
maupun Pegboard. Hal ini memperlihatkan besarnya gangguan neuropsikiatrik
yang tersembunyi pada SLE, karena secara nyata gangguan tersebut tidak
melebihi 20%. Adanya stigmata psikologik pada keluarga pasien masih
memerlukan pembuktian lebih lanjut. Namun adanya gangguan isik dan
kognitif pada pasien SLE dapat memberikan dampak buruk bagai pasien
didalam lingkungan sosialnya baik tempat kerja atau rumah.
Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak stigmata
psikologik akibat adanya keluarga dengan SLE, memberikan informasi perlunya
dukungan keluarga yang tidak berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar pasien
dengan SLE dapat dimengerti oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri
dalam kehidupan kesehariannya.
b. Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan
SLE tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting
adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan
SLE dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu.
Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam
kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan
kestabilan sendi. Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan
untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot.
Demikian pula modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve
stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan
nyeri atau kekakuan otot.
Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan
program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:
1) Istirahat
2) Terapi fisik
3) Terapi dengan modalitas
4) Ortotik

c. Terapi Medikamentosa
Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta pemantauannya,
selanjutnya dapat dilihat pada tabel (Perhimpunan Reumatlogi Indonesia dan
Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia, 2011):
Tabel 3. Jenis dan Dosis Obat yang Dapat Dipakai pada SLE
Pemantauan
Jenis Jenis Evaluasi
Dosis Labo-
obat Toksisitas Awal Klinis
ratorik
Perdarahan
saluan cerna, Darah
hepatotoksi, Darah rutin, rutin,
Gejala
Tergantung sakit kepala, kreatinin, kreatinin,
OAINS gastrointestin
OAINS hipertensi, urin rutin, AST/ALT
al
Aseptic AST/ALT setiap 6
meningitis, bulan
nefrotoksik.
Cushingoid,
hipertensi,
Gula darah,
dislipidemi,
Tergantung Profil lipid,
Kortiko- osteonekros,
derajat DXA, Tekanan darah Glukosa
steroid hiperglisemi,
SLE tekanan
katarak,
darah
oesteo-
porosis
Retinopati,
keluhan GIT,
rash,
mialgia, Funduskopi
Evaluasi
250 mg/hari sakit dan
mata,
(3,5-4 kepala, lapangan
Klorokuin G6PD pada
mg/kg anemi pandang
pasien
BB/hr) hemolitik mata setiap 3-6
berisiko
pada pasien bulan
dengan
defisiensi
G6PD
Darah tepi
lengkap
tiap 1-2
minggu
50-150 mg Mielo-
dan
per hari, supresif, Darah tepi
selanjutnya
dosis hepatotoksi, lengkap, Gejala
Azatioprin 1-3 bulan
terbagi 1-3, gangguan kreatinin, mielosupresif
interval.
tergantung limfo- AST/ALT
AST  ap
berat badan. proliferatif
tahun dan
pap smear
secara
teratur.
Per oral: 50- Mielo- Darah tepi
150 mg per supresif, lengkap
hari. gangguan dan urin
Darah tepi
IV: 500-750 limfo- lengkap
lengkap, Gejala
mg/m2 proliferatif, tiap bulan,
Siklo- hitung jenis mielosupresif,
dalam keganasan, sitologi
fosfamid leukosit, hematuria dan
Dextrose imunosupres, urin dan
urin infertilitas.
250 ml, sistitis pap smear
lengkap.
infus hemoragik, tiap tahun
Selama 1 infertilitas seumur
jam. sekunder hidup.
Darah tepi
lengkap
Darah tepi
terutama
lengkap,
hitung
7.5 20 mg foto
Mielo- trombosit
/ minggu, toraks,
supresif, Gejala tiap
dosis serologi
fibrosis mielosupresif, 4-8
tunggal hepatitis B
hepatik, sesak nafas, minggu,
Meto- atau terbagi dan
sirosis, mual AST /
treksat 3. Dapat C pada
infiltrat dan muntah, ALT dan
diberikan pasien
pulmonal ulkus albumin
pula Risiko
dan mulut. tiap 4-8
melalui tinggi,
fibrosis. minggu,
injeksi. AST, fungsi
urin
hati,
lengkap
kreatinin.
dan
kreatinin.
Siklo- 2.55 mg/kg Pem- Darah tepi Gejala Kreatinin,
sporin A BB, atau bengkakan, lengkap, hipersensitifi LFT,
sekitar 100 nyeri gusi, kreatinin, tas terhadap Darah tepi
400 mg peningkatan urin castor oil (bila lengkap.
per tekanan lengkap, obat diberikan
hari dalam darah, LFT. injeksi),
2 dosis, peningkatan tekanan darah,
tergantung pertumbuhan fungsi hati dan
berat rambut, ginjal.
badan. gangguan
fungsi
ginjal, nafsu
makan
menurun,
tremor.
Darah tepi
1000 Darah tepi Gejala lengkap
Miko-
2.000 Mual, diare, lengkap, gastrointestinal terutama
fenolat
mg dalam 2 leukopenia. fese seperti mual, leukosit
mofetil
dosis. lengkap. muntah. dan hitung
jenisnya.

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas Diri Klien
Nama : ...................................Tanggal Masuk RS : ....................
Tempat/Tanggal Lahir : ........................Sumber Informasi : ....................
Umur : ...................................Agama : ....................
Jenis Kelamin : ...................................Status Perkawinan : ....................
Pendidikan : ...................................S u k u : .....................
Pekerjaan : ...................................Lama Bekerja : ....................
Alamat :..............................................................................................
b. Keluhan utama:

c. Riwayat Penyakit:
1) Riwayat penyakit saat ini

2) Riwayat penyakit dahulu

3) Riwayat penyakit keluarga

d. Keluarga terdekat yang dapat dihubungi (orang tua, wali, suami, istri, dan
lain-lain)
1) Pekerjaan : Pendidikan :

2) Alamat :

e. Alergi :
Tipe Reaksi Tindakan
........................... ................................... ........................................
........................... ................................... ........................................
f. Kebiasaan : merokok/kopi/obat/alkohol/lain-lain
Jika ya jelaskan

g. Obat-obatan :
Lamanya :
Sendiri :
Orang lain (resep) :
h. Pola nutrisi :
1) Frekuensi/porsi makan :
2) Berat Badan : Tinggi Badan:

3) Jenis makanan :
4) Makanan yang disukai :

5) Makanan tidak disukai :


6) Makanan pantangan :
7) Nafsu makan : [ ] baik
[ ] sedang, alasan : mual/muntah/sariawan/dll
[ ] kurang, alasan : mual/muntah/sariawan/dll
8) Perubahan BB 3 bulan terakhir:
[ ] bertambah ........................... kg
[ ] tetap
[ ] berkurang ........................... kg
i. Pola eliminasi :
Buang air besar
1) Frekuensi : Waktu : pagi/siang/sore/malam
2) Warna : Konsistensi :.....................................
3) Penggunaan Pencahar : ........................................

Buang air kecil


1) Frekuensi : ............................ Warna :.....................................
2) Bau : ............................
j. Pola tidur dan istirahat :
1) Waktu tidur (jam) :

2) Lama tidur/hari :

3) Kebiasaan pengantar tidur:

4) Kebiasaan saat tidur :

5) Kesulitan dalam hal tidur : [ ] menjelang tidur


[ ] sering/mudah terbangun
[ ] merasa tidak puas setelah bangun tidur
k. Pola aktivitas dan latihan :
1) Kegiatan dalam pekerjaan
:...........................................................................
2) Olah raga
:...........................................................................
3) Kegiatan di waktu luang
:...........................................................................
l. Kesulitan/keluhan dalam hal ini: [ ] pergerakan tubuh [ ]
bersolek
[ ] mandi, berhajat [ ] mudah merasa kelelahan
[ ] mengenakan pakaian [ ] sesak nafas setelah mengadakan
aktivitas

m. Pola kerja :
1) Jenis pekerjaan : .....................................
lamanya ...........................
2) Jumlah jam kerja : ...................................... lamanya ...........................
3) Jadwal kerja : .................................................................................
4) Lain-lain (sebutkan) : .................................................................................
n. Riwayat Keluarga
1) Genogram :
Keterangan :

: Perempuan sehat : Laki-laki meninggal

: Laki laki sehat : Perempuan meninggal


: Laki-laki sakit : Serumah

: Perempuan sakit

o. Riwayat Lingkungan
1) Kebersihan Lingkungan :

2) Bahaya :

3) Polusi :
p. Aspek Psikososial
1) Pola pikir dan persepsi
2) Alat bantu yang digunakan :
[ ] kaca mata [ ] alat bantu pendengaran
Lainnya:

q. Kesulitan yang dialami :


[ ] sering pusing
[ ] menurunnya sensitifitas terhadap panas dingin
[ ] membaca/menulis
r. Persepsi diri
1) Hal yang dipikirkan saat ini :

2) Harapan setelah menjalani perawatan:

3) Perubahan yang dirasa setelah sakit :

4) Suasana hati :

s. Hubungan/komunikasi : ...............................................................................
............
1) Bicara
[ ] jelas bahasa utama : ................................
[ ] relevan bahasa daerah : ................................
[ ] mampu mengekspresikan
[ ] mampu mengerti orang lain
2) Tempat tinggal
[ ] sendiri
[ ] bersama orang lain, yaitu ...................................................................
t. Kehidupan keluarga
1) adat istiadat yang dianut : ........................................
2) pembuatan keputusan dalam keluarga : ........................................
3) pola komunikasi : ........................................
4) keuangan : [ ] memadai[ ] kurang
5) Kesulitan dalam keluarga:
[ ] hubungan dengan orang tua
[ ] hubungan dengan sanak keluarga
[ ] hubungan dengan suami/istri
u. Kebiasaan seksual
1) Gangguan hubungan seksual disebabkan kondisi sebagai berikut :
[ ] fertilitas [ ] menstruasi
[ ] libido [ ] kehamilan
[ ] ereksi [ ] alat kontrasepsi

v. Pemahaman terhadap fungsi seksual : ......................................................................


w. Pertahanan koping
1) Pengambilan keputusan
[ ] sendiri
[ ] dibantu orang lain;
sebutkan ..................................................................
2) Yang disukai tentang diri
sendiri :..................................................................
3) Yang ingin dirubah dari
kehidupan : ............................................................
4) Yang dilakukan jika sedang stress :
[ ] pemecahan masalah [ ] cari pertolongan
[ ] makan [ ] makan obat
[ ] tidur
[ ] lain-lain (misalnya marah, diam dll)
sebutkan .........................................
x. Sistem nilai kepercayaan
1) Siapa atau apa yang menjadi sumber
kekuatan : ..........................................
2) Apakah Tuhan, Agama, Kepercayaan penting untuk anda :
[ ] ya [ ] tidak
3) Kegiatan Agama atau Kepercayaan yang dilakukan (macam dan frekuensi)
Sebutkan :
4) Kegiatan Agama atau Kepercayaan yang ingin dilakukan selama di rumah
sakit, Sebutkan :

y. Pengkajian Fisik
1) Vital Sign
Tekanan darah :
Suhu :
Nadi :
Pernafasan :
2) Kesadaran :
GCS :
Eye :
Motorik :
Verbal :
3) Keadaan umum :
Sakit/ nyeri : 1. ringan 2. sedang 3. berat

Skala nyeri :
Nyeri di daerah :
4) Status gizi : 1. gemuk 2. normal 3. Kurus
BB : ..TB : .
5) Sikap : 1. tenang 2. gelisah 3. menahan nyeri
6) Personal hygiene : 1. bersih 2. Kotor 3. lain-
lain.
7) Orientasi waktu/ tempat/ orang : 1. baik 2. terganggu
z. Pemeriksaan Fisik Head To Toe
1) Kepala
Bentuk : 1. mesochepale 2. mikrochepale
3. hidrochepale 4. lain- lain
Lesi/ luka : 1. hematom 2. perdarahan 3. luka sobek
4. lain-lain.
2) Rambut
Warna : .
Kelainan : rontok/ dll.
3) Mata
Penglihatan : 1. normal 2. kaca mata/ lensa 3. lain-lain.
Sklera : 1. ikterik 2. tidak ikterik
Konjungtiva : 1. anemis 2. tidak anemis
Pupil : 1. isokor 2.anisokor 3. midriasis 4. Katarak
Kelainan : kebutaan kanak/kiri.
Data tambahan

4) Hidung
Penghidu : 1. normal 2. ada gangguan
Sekret/ darah/ polip : .
Tarikan caping hidung: 1. ya 2. Tidak
5) Telinga
Pendengaran : 1. normal 2. kerusakan 3. tuli kanan/kiri
4. tinnitus 5. alat bantu dengar 6. Lainnya
Skret/ cairan/ darah : 1. ada/tidak 2. bau.. 3. warna
6) Mulut Dan Gigi
7) Bibir : 1. lembab 2. kering 3. cianosis 4. pecah-pacah
8) Mulut dan tenggorokan: 1. normal 2. lesi 3. stomatitis
9) Gigi : 1. penuh/normal 2. ompong 3. lain-lain..
10) Leher
11) Pembesaran tyroid : 1. ya 2. tidak
12) Lesi : 1. tidak 2. ya, di sebelah.
13) Nadi karotis : 1. teraba 2. tidak
14) Pembesaran limfoid : 1. ya 2. Tidak
15) Thorax
16) Jantung : 1. nadi x/ menit, 2. kekuatan: kuat/ lemah
3. irama : teratur/ tidak 4. lain-lain.

17) Paru : 1. frekwensi nafas : teratur/ tidak


kwalitas : normal/ dalam/ dangkal
suara nafas : vesikuler/ ronchi/ wheezing
batuk : ya/ tidak
sumbatan jalan nafas: sputum/ lendir/ darah/ ludah
Retraksi dada : 1. ada 2. tidak ada
18) Abdomen
Peristaltik usus :1. Ada: x/meni 2. tidak ada
3. hiperperistaltik
4. lain-lain

Kembung : 1. ya 2. Tidak
Nyeri tekan : 1. tidak 2. ya di kuadran /bagian

Ascites : 1. ada 2. tidak ada


Lainnya:
19) Genetalia
Pimosis : 1. ya 2. Tidak
Alat Bantu : 1. ya 2. Tidak
Kelainan : 1. tidak 2. ya, berupa.
20) Kulit
Turgor : 1. elastis 2. kering 3. lain-lain
Laserasi : 1. luka 2. memar 3.lain-lain
di daerah..
Warna kulit : 1. normal (putih/sawo matang/ hitam)
2. pucat 3. cianosis 4.
ikterik
5. lain-lain.
21) Ekstrimitas
Kekuatan otot :

ROM : 1. penuh 2. terbatas

Hemiplegi/parese : 1. tidak 2. ya, kanan/kiri


Akral : 1. hangat 2. Dingin
Capillary refill time : 1. < 3 detik 2. > 3 detik
Edema : 1. tidak ada 2. ada di daerah

Lain-lain :
Data pemeriksaan fisik neurologis

Data Penunjang
i. Pemeriksaan Penunjang; Laboratorium DLL
ii. Program Terapi
2. Nursing Care Plan
Berdasarkan NANDA (2015-2017), NOC (2016), NIC (2016), NCP yang dapat disusun sebagai kemungkinan pada pasien
dengan SLE, adalah sebagi berikut:

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


No. Diagnosa Keperawatan
(NOC) (NIC)
1 Kerusakan Integritas Kulit Setelah dilakukan tindakan Perlindungan infeksi
Monitoradanya tanda dan gejala
Kerusakan pada epidermis dan/ keperawatan 3 x 24 jam diharapkan
infeksi sitemik dan local
dermis. integritas jaringan kulit dan membrane
Berikan perawatan kulit yang tepat
Batasan Karakteristik : mukosa tidak terganggu
untuk area local
Kerusakan integritas Integritas Jaringan: Kulit & Ajarkan pasien dan keluarga cara
kulit Membrane Mukosa menghindari infeksi
Faktor yang berhubungan : Tidak ada lesi pada kulit
Eksternal Tidakk ada jaringan parut
Agens farmaseutikal Tidak adda lesi pada
Internal
membrane mukosa
Gangguan metabolism
Imunodifisiensi Respon Alergi: Lokal
Perubahan hormonal
Tidak ada Eritema setempat
Peningkatan suhu kulit
setempat (local)
Tidak ada pengelupasan kulit
2. Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan keperawatan Analgesic Administration
Batasan karakteristik selama 3 x 24 jam diharapkan nyeri Cek riwayat alergi terhadap obat
Laporan tentang perilaku berkurang dengan kriteria hasil : Pilih analgesik yang tepat atau
nyeri/perubahan aktivitas NOC: kombinasi dari analgesik lebih dari
(mis., anggota keluarga, Pain Level satu jika diperlukan
pemberi asuhan) Melaporkan gejala nyeri Tentukan analgesik yang diberikan
Keluhan tentang
berkurang (narkotik, non-narkotik, atau NSAID)
karakteristik nyeri Melaporkan lama nyeri
berdasarkan tipe dan keparahan nyeri
dengan menggunakan berkurang
Tentukan rute pemberian analgesik
Tidak tampak ekspresi wajah
standar isntrumen nyeri
dan dosis untuk mendapat hasil yang
kesakitan
(mis., McGill Pain
Tidak gelisah maksimal
Questionnaire, Brief Pain
Respirasi dalam batas normal (dewasa: Evaluasi efektivitas pemberian
Inventory)
16-20 kali/menit) analgesik setelah dilakukan injeksi.
Factor yang berhubungan
Selain itu observasi efek samping
Agens cedera biologis
pemberian analgesik seperti depresi
(mis., infeksi, iskemia,
pernapasan, mual muntah, mulut
neoplasma)
kering dan konstipasi.
Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik pertama
kali
3. Ketidakseimbangan nutrisi Setelah dilakukan asuhan keperawatan NIC Label: Nutrition Management
kurang dari kebutuhan tubuh. selama 3 x 24 jam, diharapkan Tentukan status gizi pasien dan
Definisi: asupan nutrisi tidak kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi kemampuan pasien untuk memenuhi
cukup untuk memenuhi dengan kriteria hasil sebagai berikut: kebutuhan gizi.
kebutuhan metabolik. NOC Label: Nutritional Status: Identifikasi adanya alergi atau intoleransi
Batasan Karakteristik: Nutrient Intake makanan yang dimiliki pasien.
Ciptakan lingkungan yang optimal pada
Berat badan 20% atau lebih Asupan kalori adekuat
dibawah rentang berat Asupan protein adekuat saat mengkonsumsi makan (misalnya,
Asupan lemak adekuat bersih, berventilasi, santai, dan bebas dari
badan ideal Asupan karbohidrat adekuat
Kehilangan rambut Asupan serat adekuat bau yang menyengat).
Asupan vitamin adekuat Anjurkan pasien untuk duduk pada posisi
berlebihan
Ketidakmampuan Asupan mineral adekuat tegak di kursi, jika memungkinkan.
Asupan zat besi adekuat Anjurkan keluarga untuk membawa
memakan makanan Asupan kalsium adekuat
Kurang informasi Asupan natrium adekuat
makanan favorit pasien, sementara pasien
Kurang minat pada berada di rumah sakit atau fasilitas
makanan perawatan, yang sesuai.
Faktor yang berhubungan: NOC Label: Nutritional Status
Monitor kecenderungan terjadinya
Faktor biologis Asupan gizi tidak menyimpang
Ketidakmampuan makan penurunan dan kenaikan berat badan.
dari rentang normal
Ketidakmampuan Asupan makanan tidak
mencerna makanan menyimpang dari rentang
Ketidakmampuan NIC Label: Bowel Management
normal
mengabsorpsi nutrient Catat tanggal buang air besar terakhir.
Asupan cairan tidak
Kurang asupan makanan Monitor buang air besar termasuk
menyimpang dari rentang
konsistensi, bentuk, volume, dan warna,
normal
dengan cara yang tepat.
Energy tidak menyimpang dari
Monitor bising usus.
rentang normal Instruksikan pasien mengenai makanan
Ratio berat badan/tinggi badan
tinggi serat, dengan cara yang tepat.
tidak menyimpang dari rentang
normal
Hidrasi tidak menyimpang dari
rentang normal
4. Risiko infeksi Setelah diberikan asuhan keperawatan NIC Label: Infection control
Definisi: selama 3 x 24 jam diharapkan risiko Bersihkan lingkungan dengan baik setelah
pasien diberikan tindakan
Rentan mengalami invasi dan infeksi berkurang dengan kriteria
Ganti peralatan perawatan per pasien
multiplikasi organisme hasil:
sesuai protokol institusi
patogenik yang dapat NOC Label: Infection severity Batasi jumlah pengunjung
mengganggu kesehatan Kriteria Hasil : Cuci tangan sebelum dan sesudah kegiatan

Faktor risiko: Tidak ada kemerahan perawatan pasien


Kurang pengetahuan untuk Tidak ada cairan [luka] yang Berikan terapi antibiotic yang sesuai
Monitor tanda-tanda vital
menghindari pemajanan berbau busuk
pathogen Tidak ada demam NIC Label: Infection Protection
Malnutrisi Tidak ada menggigil Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
Penyakit kronis (mis., Tidak ada hilang nafsu makan
sistemik dan lokal
Tidak ada peningkatan jumlah sel
diabetes mellitus) Monitor kerentanan terhadap infeksi
Pertahanan tubuh primer tidak darah putih Periksa kondisi setiap sayatan bedah atau
NOC Label: Risk control: Infection
adekuat luka
Gangguan integritas kulit Process Tingkatkan asupan nutrisi yang cukup
Pertahanan tubuh sekunder Secara konsisten menunjukkan
tidak adekuat mengidentifikasi tanda dan gejala
Imunosupresi infeksi
Leukopenia Secara konsisten menunjukkan
Penurunan hemoglobin
mempertahankan lingkungan yang
Supresi respon inflamasi
bersih
(mis., interleukin 6 (IL-6),
Secara konsisten menunjukkan
C-reaktive protein [CRP])
mencuci tangan
Vaksinasi tidak adekuat
Secara konsisten menunjukkan
Pemajanan terhadap pathogen menggunakan alat pelindung diri
Secara konsisten menunjukkan
lingkungan meningkat
Terpajan pada wabah melakukan imunisasi yang
direkomendasikan
Secara konsisten menunjukkan
memonitor perubahan status
kesehatan
Secara konsisten menunjukkan
mengidentifikasi factor risiko
infeksi
NOC Label: Immune Status
Fungsi gastrointestinal tidak
terganggu
Suhu tubuh tidak terganggu
Integritas kulit tidak terganggu
Integritas mukosa tidak
terganggu
Tingkat sel T4
Tingkat sel T8
5. Hypertermia Setelah diberikan asuhan keperawatan NIC Label: Hyperthermia treatment
Definisi: selama 1 x 24 jam diharapkan suhu Pantau suhu dan tanda-tanda vital lainnya
Monitor warna kulit dan suhu
Suhu inti tubuh di atas kisaran tubuh dalam batas normal (36,00C Beri obat atau cairan IV (misalnya,
normal karena gegagalan -37,50C) dengan kriteria hasil: antipiretik, agen antibakteri, dan agen anti
termoregulasi NOC Label: Thermoregulation menggigil)
Batasan karakteristik: Denyut nadi radial tidak terganggu
Kejang Melaporkan kenyamanan suhu
Kulit kemerahan
Tidak ada peningkatan suhu kulit
Kulit terasa hangat
Factor yang berhubungan Tidak ada hipertermia
Peningkatan laju
Tidak ada perubahan warna kulit
metabolisme
Penyakit
Sepsis
NOC Label: Blood transfusion
reaction
Kriteria Hasil :
Tidak demam
Tidak gelisah
Tidak gatal
Tidak menggigil
Kulit tidak kemerahan
Denyut nadi tidak terganggu
Pernafasan tidak terganggu
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G.M. Butcher, H.K. Dochterman, J.M. Wagner, C.M. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC). Singapore :
Elsevier Global Rights.

Herdman, T.H. 2015-2017. NANDA Internasional Inc. Diagnosis Keperawatan: definisi & klasifikasi 2015-2017. Jakarta :
EGC

Lahita RG, Tsokos G, Buyon JP, and Koike T. Systemic Lupus Erythematosus. 4th edition. London: Academic Press; 2004.

Moorhead, S. Johnson, M. Maas, M.L. Swanson, E. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC). Singapore: Elsevier
Global Rights.

Price, S.A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol. 2 Edisi 6. Jakarta: EGC

Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan
Reumatologi Indonesia: Jakarta

Tjokronegoro, A. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

You might also like