Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian dari konservasi sumber daya alam
b. Mengetahui jenis sumber daya alam
c. Untuk mengetahui bagaimana cara melakukan servasi
d. Untuk menambah penngetahuan penulis
BAB 2
Pembahasan
Pengertian konservasi sumber daya alam dapat mengandung tiga aspek, yaitu :
Konservasi in-situ merupakan upaya pengawetan jenis tumbuhan dan satwa liar di dalam
kawasan suaka alam yang dilakukan dengan jalan membiarkan agar populasinya tetap seimbang
menurut proses alami di habitatnya. Sampai saat ini telah ditetapkan ada enam jenis kawasan
yang dipergunakan sebagai kawasan konservasi in-stu, yaitu kawasan konservasi, taman wisata
alam, taman hutan raya, cagar alam, suaka margasatwa, dan taman buru.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa Liar, maka pengelolaan di dalam habitatnya dapat dilakukan dalam bentuk identifikasi,
inventarisasi, pemantauan habitat dan populasinya, penyelamatan jenis, pengkajian, penelitian
dan pengembangan. Upaya konservasi in-situ ini dikatakan paling efektif, karena perlindungan
dilakukan di dalam habitat aslinya, sehingga tidak diperlukan lagi proses adaptasi bagi
kehidupan dari jenis tumbuhan dan satwa liar tersebut ke tempat yang baru .
Namun demikian, suatu kelemahan akan terjadi jika suatu jenis yang dikonservasi secara in-situ
tersebut memiliki penyebaran yang sempit; kemudian tanpa diketahui terjadi perubahan habitat,
maka akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup jenis tersebut; begitu pula jika di
daerah tersebut terjadi bencana atau kebakaran, niscaya seluruh jenis yang terdapat di dalamnya
akan terancam musnah dan tidak ada yang dapat dicadangkan lagi. Oleh karena itu, selain upaya
konservasi in-situ perlu dilengkapi dengan upaya konservasi ex-situ.
Konservasi in situ berarti konservasi dari spesies target "di tapak (on site)", dalam ekosistem
alami atau aslinya, atau pada tapak yang sebelumnya ditempat oleh ekosistem tersebut. Khusus
untuk tumbuhan meskipun berlaku untuk populasi yang dibiakkan secara alami, konservasi in
situ mungkin termasuk regenerasi buatan bilamana penanaman dilakukan tanpa seleksi yang
disengaja dan pada area yang sama bila benih atau materi reproduktif lainnya dikumpulkan
secara acak.
Secara umum, metode konservasi in situ memiliki 3 ciri:
1. Fase pertumbuhan dari spesies target dijaga di dalam ekosistem di mana mereka terdapat
secara alami;
2. Tataguna lahan dari tapak terbatas pada kegiatan yang tidak memberikan dampak merugikan
pada tujuan konservasi habitat;
3. Regenerasi target spesies terjadi tanpa manipulasi manusia atau intervensi terbatas pada
langkah jangka pendek untuk menghindarkan faktor-faktor yang merugikan sebagai akibat
dari tataguna lahan dari lahan yang berdekatan atau dari fragmentasi hutan.
Persyaratan kunci untuk konservasi in situ dari spesies jarang (rare species) adalah penaksiran
dan perancangan ukuran populasi minimum viable (viable population areas) dari target spesies.
Untuk menjamin konservasi diversitas genetik yang besar di dalam spesies, beberapa area
konservasi mungkin diperlukan, jumlah yang tepat dan ukurannya akan tergantung kepada
distribusi diversitas genetik dari spesies yang dikonservasi. Penjagaan dan berfungsinya
ekosistem pada konservasi in situ tergantung kepada pemahaman beberapa interaksi ekologi,
terutama hubungan simbiotik di antara tumbuhan atau hewan, penyebaran biji, jamur yang
berasosiasi dengan akar dan hewan yang hidup di dalam ekosistem.
Upaya konservasi ex-situ merupakan upaya pengawetan jenis di luar kawasan yang dilakukan
dengan menjaga dan mengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa liar. Tempat yang cocok
untuk melakukan kegiatan tersebut misalnya di kebun binatang, kebun raya, arboretum, dan
taman safari. Kegiatan konservasi ex-situ ini dilakukan adalah untuk menghindarkan adanya
kepunahan suatu jenis. Hal ini perlu dilakukan mengingat terjadinya berbagai tekanan terhadap
populasi maupun habitatnya. Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, maka pengelolaan jenis di luar habitatnya dapat
dilakukan dalam bentuk pemeliharaan, pengembangbiakan, pengkajian, penelitian,
pengembangan rehabilitasi satwa, penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa liar.
Untuk melakukan kegiatan konservasi ex-situ berbagai persyarataan yang perlu dipenuhi, yaitu:
tersedianya tempat yang cukup luas, aman dan nyaman, memenuhi standart kesehatan tumbuhan
dan satwa, serta mempunyai tenaga ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan. Begitu pula
kalau ingin melakukan perkembangbiakan jenis di luar habitatnya, maka persyaratan yang perlu
dipenuhi yaitu: dapat menjaga kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik, dapat melakukan
penandaan dan sertifikasi, serta dapat membuat buku daftar silsilah.
Ada berbagai kelebihan dan kekurangan dalam penyelenggaraan kegiatan konservasi ex-situ.
Kelebihannya antara lain dapat mencegah kepunahan lokal pada berbagai jenis tumbuhan akibat
adanya bencana alam dan kegiatan manusia, dapat dipakai untuk arena perkenalan berbagai jenis
tumbuhan dan wisata alam bagi masyarakat luas, berguna untuk pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi terutama yang berkaitan dalam kegiatan budidaya jenis hewan dan
tumbuhan; sedangkan kelemahannya antara lain, konservasi ex-situ memerlukan kegiatan
eksplorasi dan penelitian terlebih dahulu. Hal ini dilakukan adalah untuk melihat adanya
kecocokan terhadap daerah atau lokasi sebelum kegiatan tersebut dilakukan; di samping itu pada
kegiatan ini dibutuhkan pula dana yang cukup besar, serta tersedianya tenaga ahli dan orang
yang berpengalaman.
Konservasi ex situ merupakan metode konservasi yang mengonservasi spesies di luar distribusi
alami dari populasi tetuanya. Konservasi ini merupakan proses melindungi spesies tumbuhan dan
hewan (langka) dengan mengambilnya dari habitat yang tidak aman atau terancam dan
menempatkannya atau bagiannya di bawah perlindungan manusia.
Kebun botani (raya), arboretum, kebun binatang dan aquarium merupakan metode konservasi ex
situ konvensional; Fasilitas ini menyediakan bukan hanya tempat terlindung dari spesimen
spesies langka tetapi juga memiliki nilai pendidikan. Fasilitas ini memberikan informasi bagi
masyarakat mengenai status ancaman pada spesies langka dan faktor-faktor yang menimbulkan
ancaman dan membahayakan kehidupan spesies.
Penyimpanan benih, metode konservasi ex situ yang lain, merupakan penyimpanan benih pada
lingkungan yang terkendali. Dengan pengendalian temperatur dan kondisi kelembaban, benih
beberapa spesies yang disimpan akan tetap viabel (mampu hidup) untuk beberapa dekade.
Teknik ini merupakan konservasi yang utama pada tanaman pertanian dan mulai dipergunakan
untuk spesies pohon hutan.
Bentuk yang paling umum untuk konservasi ex-situ untuk pohon adalah tegakan hidup. Tegakan
seperti ini sering kali bermula dari koleksi sumber benih dan dipelihara untuk pengamatan.
Ukuran tegakan mungkin berkisar dari spesimen dalam kebun botani (raya) dan arboretum,
sampai dengan beberapa pohon ornamental pada plot-plot kecil, atau plot-plot yang lebih besar
untuk pohon.
Ada beberapa kelemahan konservasi ex situ.
Konservasi exsitu ini sesungguhnya sangat bermanfaat untuk melindungi biodiversitas, tetapi
jauh dari cukup untuk menyelamatkan spesies dari kepunahan. Metode ini dipengunakan sebagai
cara terakhir atau sebab suplemen terhadap konservasi ini situ karena tidak dapat menciptakan
kembali habitat secara keseluruhan: seluruh varisi genetik dari suatu spesies, pasangan
simbiotiknya, atau elemen-elemennya, yang dalam jangka panjang, mungkin membantu suatu
spesies beradaptasi pada lingkungan yang berubah. Sebalinya, konservasi ex situ menghilangkan
spesies dari konteks ekologi alaminya, melindunginya di bawah kondisi semi-terisolasi di mana
evolusi alami dan proses adaptasi dihentikan sementara atau dirubah dengan mengintroduksi
spesimen pada habitat yang tidak alami. Dalam hal metode penyimpanan kriogenik, proses-
proses adaptasi spesimen yang dipreservasi membeku keseluruhannya. Kelemahannya adalah
bila spesimen ini dilepaskan ke alam, spesies mungkin kekurangan adaptasi genetik dan mutasi
yang akan memungkinkannya untuk bertahan dalam habitat alami yang selalu berubah.
Di samping itu, teknik-teknik konservasi ex situ seringkali mahal, dengan penyimpanan
kriogenik yang secara ekonomis tidak layak pada kebanyakan spesies. Bank benih tidak efektif
untuk tumbuhan tertentu yang memiliki benih rekalsitran yang tidak tetap viabel dalam jangka
lama. Hama dan penyakit tertentu di mana spesies yang dikonservasi tidak memiliki daya tahan
terhadapnya mungkin juga dapat merusakannya pada pertanaman ex situ dan hewan hidup dalam
penangkaran ex situ. Faktor-faktor ini dikombinasikan dengan lingkungan yang spesifik yang
diperlukan oleh banyak spesies, beberapa di antaranya tidak mungkin diciptakan kembali,
membuat konservasi ex situ tidak mungkin dilakukan untuk banyak flora dan fauna langka di
dunia.
Tetapi, bila suatu spesies benar-benar akan punah, konservasi ex situ menjadi satu-satunya
pilihan yang tersisa. Lebih baik mepreservasi suatu spesies daripada membiarkan punah
seluruhnya.
Hutan alam tropika di Indonesia dewasa ini menghadapi masalah kerusakan yang menjadi
semakin parah karena adanya penebangan kayu secara besar-besaran dan kebakaran hutan yang
terjadi setiap musim kemarau tiba. Kerusakan yang terjadi secara cepat menyebabkan banyak
ahli kehutanan berpendapat bahwa hutan alam tropika di Indonesia akan segera punah pada
tahun 2015, terutama di Sumatra dan Kalimantan.
Rusak/punahnya hutan alam tropika di Indonesia, selain tampak pada kerusakan fisik secara
nyata juga tercakup di dalamnya sumber genetik tumbuhan yang merupakan salah satu aspek
yang sangat berpengaruh pada regenerasi hutan di masa yang akan datang. Padahal kelestarian
hutan alam tergantung dari kemampuan hutan tersebut untuk meremajakan diri.
Kondisi tersebut membuat Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan untuk melakukan
konservasi dan pelestarian sumber daya alam hayati pada prioritas utama. Tujuan utama dari
kebijakan ini adalah untuk mempertahankan biodiversitas yang merupakan landasan terciptanya
stabilitas ekosistem. Biodiversitas memiliki arti tidak hanya berkaitan dengan jumlah jenis tetapi
juga meliputi variasi dan keunikan gen tumbuhan beserta ekosistemnya.
Ada beberapa cara yang dapat diterapkan untuk melakukan konservasi genetik, (1) Konservasi
ex-situ, yang dikerjakan/dibangun di luar wilayah asal tanaman, meliputi kebun benih, kebun
klon, bank klon, dan pertanaman uji provenans. Konservasi dengan cara ini sangat
menguntungkan guna kepentingan pemuliaan dan program penghutanan kembali yang dikaitkan
dengan peningkatan kualitas genetik.; (2) Konservasi in-situ, yang dikerjakan/dibangun di
wilayah tanaman berasal. Secara teoritis, konservasi in-situ lebih menguntungkankan sebab
selain jenis tumbuhan yang akan dikonservasi, juga termasuk di dalamnya habitat atau ekosistem
dimana tumbuhan tersebut tumbuh dan berkembang juga ikut dipertahankan.
Kondisi asli ini akan menyebabkan tetap terkontrolnya interaksi genetik dengan lingkungannya,
yang meliputi adaptasi dan evolusi populasi yang dikonservasi.
Keanekaragaman genetik pada sebuah hutan sesungguhnya merupakan sebuah hal yang
kompleks, heterogen dan dinamis; keanekaragaman tersebut terwujud oleh adanya interaksi
antara lingkungan secara fisik, sistem biologis hutan dan populasinya, serta pengaruh manusia
dan lingkungan sosial sekitar hutan. Untuk melakukan konservasi atas hutan tersebut diperlukan
kebijakan yang tepat sehingga dapat menguntungkan semua pihak.
Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan konservasi genetik yang
diharapkan:
1. Pertimbangan atas berbagai macam kepentingan konservasi dikaitkan dengan hak
masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah konservasi. Konflik lahan yang seringkali terjadi
pada kawasan hutan, dimana masyarakat sekitar hutan berusaha untuk menggarap tanah
hutan dan diakui sebagai sebagai miliknya membuat pemerintah tidak dapat mengabaikan
keberadaan mereka. Tidak adanya pendekatan yang tepat terhadap masyarakat akan
menyebabkan setiap program yang direncanakan terhadap wilayah hutan akan mendapat
hambatan yang serius. Hal ini bukan saja karena ketidaktahuan masyarakat, tetapi juga
karena masyarakat mencoba untuk mendapatkan atau memperluas tanah garapannya.
Kondisi semacam ini dapat diatasi apabila pemerintah berusaha untuk mengakomodasi
kepentingan mereka sejalan dengan program yang direncanakan. Keikutsertaan masyarakat
dalam program yang direncanakan diharapkan akan membuat masyarakat berpikir/mengerti
akan kepentingannya sehingga turut mewujudkan atau paling tidak menjaganya;
2. Kebijakan integrasi, koordinasi dan inovasi. Guna memperoleh hasil seperti yang
diharapkan, maka harus ada wewenang dan tanggung jawab yang jelas antara pihak-pihak
yang bekerja dalam lingkup kehutanan. Pemerintah yang berusaha melakukan konservasi
hutan dan instansi swasta yang pada umumnya mementingkan aspek komersial, harus
mengadakan integrasi dan koordinasi sehingga masing-masng pihak dapat mengambil
keuntungan tanpa merugikan pihak yang lain dalam hal ini berkaitan dengan pengelolaan
konservasi hutan.
3. Kapasitas dan kerjasama antar institusi pemerintah. Program yang dicanangkan pemerintah,
seringkali menimbulkan dampak yang tidak diharapkan dari adanya kebijakaan antar
departemen yang saling berbenturan. Sebagai contoh, tidak jarang kebijakan pada bidang
pertanian membuat program penghijauan kawasan hutan menjadi tidak mungkin
dilaksanakan karena perubahan tata guna lahan secara sepihak. Hal seperti ini seharusnya
bias dihindari apabila masing-masing departemen saling menghargai dan bias menyamakan
persepsi atas status suatu lahan. Bahkan akan sangat menguntungkan apabila antar
departemen melakukan kerjasama untuk mengelola lahan sehingga pemanfaatannya bias
maksimal.
4. Penunjukan secara tepat berkait dengan tipe konservasi yang sesuai. Untuk dapat
memutuskan secara tepat tipe konservasi yang diperlukan, harus dipahami lebih dahulu
bahwa ekosistem hutan sangat kompleks, baik menyangkut jenis-jenis tumbuhan yang ada di
dalamnya, nilai ekonomi kayu atau tumbuhannya maupun status populasinya. Konservasi ek
situ akan efektif dilakukan apabila memang saangat tidk dimungkinkan untuk melakukan
konservasi in situ pada jenis yang diinginkan, atau terdapat ancaman kerawanan yang tinggi
sehingga keamanan jenis tidak dapat dijamin pada lingkungan aslinya. Sedangkan
konservasi insitu akan efektif dilakukan apabila fungsi dan proses ekosistem serta proses
interaksi antar spesies dalam kawasan konservasi berjalan sesuai dengan sifat alaminya,
tanpa gangguan, sehingga memunculkan karakteristik yang tepat untuk konservasi in situ.
5. Pengembangan kebijakan konservasi yang terintegrasi. Mengingat pentingnya konservasi
genetik maka pihak-pihak yang bergerak di bidang kehutanan, pemerintah maupun swasta,
hendaknya menangani permasalahan ini secara khusus. Apabila perlu sangat dimungkinkan
pelaksanaan konservasi genetik ini dengan melibatkan berbagai untur secara terpadu agar
diperoleh hasil yang maksimal.
2. Pengawetan dan pemeliharaan keanekaragaman, jenis baik flora dan fauna beserta
ekosistemnya.
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa bertujuan untuk:
Banyak spesies telah berkembang dan punah sejak kehidupan bermula. Hal ini dapat
ketahui melalui catatan fosil. Tetapi, sekarang ini spesies menjadi punah dengan laju yang lebih
tinggi daripada waktu sebelumnya dalam sejarah geologi, hampir keseluruhannya disebabkan
oleh kegiatan manusia. Di masa geologi yang lalu spesies yang punah akan digantikan oleh
spesies baru yang berkembang mengisi celah atau ruang yang ditinggalkan. Pada saat sekarang,
hal ini tidak akan mungkin terjadi karena banyak habitat telah hilang.
Kerusakan hutan telah meningkatkan emisi karbon hampir 20 %. Ini sangat signifikan
karena karbon dioksida merupakan salah satu gas rumah kaca yang berimplikasi pada
kecenderungan pemanasan global. Salju dan penutupan es telah menurun, suhu lautan dalam
telah meningkat dan level permukaan lautan meningkat 100-200 mm selama abad yang terakhir.
Bila laju yang sekarang berlanjut, para pakar memprediksi bumi secara rata-rata 1oC akan lebih
panas menjelang tahun 2025. Peningkatan permukaan air laut dapat menenggelamkan banyak
wilayah. Kondisi cuaca yang ekstrim yang menyebabkan kekeringan, banjir dan taufan, serta
distribusi organisme penyebab penyakit diprediksinya dapat terjadi.
Hutan dapat mempengaruhi pola curah hujan melalui transpirasi dan melindungi daerah
aliran sungai. Deforestasi menyebabkan penurunan curah hujan dan perubahan pola
distribusinya. Ini juga menyebabkan erosi dan banjir. Apa yang disampaikan di atas hanya
beberapa dampak ekologis dari deforestasi, yang dampaknya berpengaruh langsung pada
manusia.
Bencana alam seperti banjir, dan kebakaran hutan yang secara langsung maupun tidak
langsung disebabkan kegiatan manusia, semuanya memberikan konsekuensi ekonomi serius pada
wilayah yang terkena. Biaya untuk mengatasinya bisa menelas ratusan juta rupiah, termasuk
kesengsaraan manusian yang terkena. Erosi dan terbentuknya gurun karena deforestasi
menurunkan kemampuan masyarakat setempat untuk menanam tanaman dan memberi makan
mereka sendiri.
Ekploitasi sumbedaya hutan yang tidak bijaksana pada akhirnya juga berakhir dengan
kehancuran industri hasil hutan. Bila metode lestari yang dipergunakan, areal yang dipanenan
ditanami kembali, maka ini bukan merupakan substitusi untuk hutan yang telah dipanen. Hutan
alam mungkin memerlukan ratusan tahun untuk berkembang menjadi sistem yang rumit yang
mengandung banyak spesies yang saling tergantung satu sama lain. Pada tegakan dengan pohon-
pohon yang ditanam murni, lapisan permukaan tanah dan tumbuhan bawahnya diupayakan relatif
bersih. Pohon-pohon muda akan mendukung sebagian kecil spesies asli yang telah ada
sebelumnya. Pohon-pohon hutan hujan tropis perlu waktu bertahun-tahun untuk dapat dipanen
dan tidak dapat digantikan dengan cepat; demikian juga komunitasnya yang kompleks juga juga
tidak mudah digantikan bila rusak.
Kehilangan keanekaragaman hayati secara umum juga berarti bahwa spesies yang
memiliki potensi ekonomi dan sosial mungkin hilang sebelum mereka ditemukan. Sumberdaya
obat-obatan dan bahan kimia yang bermanfaat yang dikandung oleh spesies liar mungkin hilang
untuk selamanya. Kekayaan spesies yang terdapat pada hutan hujan tropis mungkin mengandung
bahan kimia dan obat-obatan yang berguna. Banyak spesies lautan mempertahankan dirinya
secara kimiawi dan ini merupakan sumber bahan obat-obatan yang penting.
Banyak metode dan alat yang tersedia dalam pengelolaan keanekaragaman hayati yang
secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut:
- Konservasi Insitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies, variasi genetik dan
habitat dalam ekosistem aslinya. Pendekatan insitu meliputi penetapan dan pengelolaan kawasan
lindung seperti: cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, hutan
lindung, sempadan sungai, kawasan plasma nutfah dan kawasan bergambut. Dalam prakteknya,
pendekatan insitu juga termasuk pengelolaan satwa liar dan strategi perlindungan sumberdaya di
luar kawasan lindung. Di bidang kehutanan dan pertanian, pendekatan insitu juga digunakan
untuk melindungi keanekaragaman genetik tanaman di habitat aslinya serta penetapan spesies
dilindungi tanpa menspesifikasikan habitatnya.
- Konservasi Eksitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies tanaman, satwa liar
dan organisme mikro serta varietas genetik di luar habitat/ekosistem aslinya. Kegiatan yang
umum dilakukan antara lain penangkaran, penyimpanan atau pengklonan karena alasan: (1)
habitat mengalami kerusakan akibat konversi; (2) materi tersebut dapat digunakan untuk
penelitian, percobaan, pengembangan produk baru atau pendidikan lingkungan. Dalam metode
tersebut termasuk: pembangunan kebun raya, koleksi mikologi, museum, bank biji, koleksi
kultur jaringan dan kebun binatang. Mengingat bahwa organisme dikelola dalam lingkungan
buatan, metode eksitu mengisolasi spesies dari proses-proses evolusi.
- Restorasi dan Rehabilitasi, meliputi metode, baik insitu maupun eksitu, untuk membangun
kembali spesies, varietas genetik, komunitas, populasi, habitat dan proses-proses ekologis.
Restorasi ekologis biasanya melibatkan upaya rekonstruksi ekosistem alami atau semi alami di
daerah-daerah yang mengalami degradasi, termasuk reintroduksi spesies asli, sedangkan
rehabilitasi melibatkan upaya untuk memperbaiki proses-proses ekosistem, misalnya Daerah
Aliran Sungai, tetapi tidak diikuti dengan pemulihan ekosistem dan keberadaan spesies asli.
- Pengelolaan Lansekap Terpadu, meliputi alat dan strategi di bidang kehutanan, perikanan,
pertanian, pengelolaan satwa liar dan pariwisata untuk menyatukan unsur perlindungan,
pemanfaatan lestari serta kriteria pemerataan dalam tujuan dan praktek pengelolaan. Mengingat
bahwa tataguna lahan tersebut mendominasi keseluruhan bentuk lansekap, baik pedalaman
maupun wilayah pesisir, reinvestasi untuk pengelolaan keanekaragaman hayati memiliki peluang
besar untuk dapat diperoleh.
- Formulasi Kebijakan dan Kelembagaan, meliputi metode yang membatasi penggunaan
sumberdaya lahan melalui zonasi, pemberian insentif dan pajak untuk menekan praktek
penggunaan lahan yang secara potensial dapat merusak; mengaturan kepemilikan lahan yang
mendukung pengurusannya secara lestari; serta menetapkan kebijakan pengaturan kepentingan
swasta dan masyarakat yang menguntungkan bagi konservasi keanekaragaman hayati.
Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1990, konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya dilakukan dengan kegiatan: (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan; (2)
pengawetan keanekaragaman spesies tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (3)
pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam konteks ini,
konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) merupakan bagian tak terpisahkan dari
pengertian konservasi sumberdaya alam hayati. Selain itu, dengan ratifikasi Konvensi
Keanekaragaman Hayati (Biodiversity Convention) oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1994, konservasi keanekaragaman hayati telah menjadi komitmen
nasional yang membutuhkan dukungan seluruh lapisan masyarakat.
Luas hutan hujan tropika di dunia hanya meliputi 7 % dari luas permukaan bumi, tetapi
mengandung lebih dari 50 % total jenis yang ada di seluruh dunia. Kenyataan ini menunjukkan
bahwa hutan hujan tropika merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati terpenting di
dunia. Laju kerusakan hutan hujan tropika yang relatif cepat telah menyebabkan tipe hutan ini
menjadi pusat perhatian dunia internasional. Meskipun luas Indonesia hanya 1.3 % dari luas
bumi, tetapi memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, meliputi : 10 % dari total jenis
tumbuhan berbunga, 12 % dari total jenis mamalia, 16 % dari total jenis reptilia, 17 % dari total
jenis burung dan 25 % dari total jenis ikan di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan Indonesia
menjadi pusat perhatian dunia internasional dalam hal keanekaragaman hayatinya.
Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2002/2003, total daratan
yang ditafsir adalah sebesar 187,91 juta ha kondisi penutupan lahan, baik di dalam maupun di
luar kawasan, adalah : Hutan 93,92 juta ha (50 %), Non hutan 83,26 juta ha (44 %), dan Tidak
ada data 10,73 juta ha (6 %). Khusus di dalam kawasan hutan yaitu seluas 133,57 juta ha, kondisi
penutupan lahannya adalah sebagai berikut : Hutan 85,96 juta ha (64 %), Non hutan 39,09 juta
ha (29 %) dan Tidak ada data 8,52 juta ha (7 %). (BAPLAN, 2005)
Eksploitasi hutan alam produksi secara besar-besaran yang telah berlangsung sejak tahap
awal pembangunan jangka panjang pertama (1969) telah memberikan kontribusi besar bagi
pembangunan nasional melalui produk utamanya kayu dan hasil hutan ikutan (non-kayu) seperti
rotan, damar, tengkawang, cendana dan gaharu. Tanpa mengabaikan dampak positif tersebut,
eksploitasi hutan alam produksi juga telah memberikan dampak negatif bagi sumberdaya hutan
sendiri. Berbagai jenis kayu komersial, bahkan di antaranya termasuk kayu mewah, kini telah
menjadi langka. Kayu eboni (Dyospyros ebenum dan D. celebica), kayu ulin (Eusyderoxylon
zwageri), ramin (Gonystylus bancanus), dan beberapa jenis meranti (Shorea spp.) adalah contoh
dari beberapa jenis komersial yang harganya tinggi, tetapi sudah sulit ditemukan di alam dan di
pasaran. Selain itu, puluhan jenis kayu kurang dikenal (lesser-known species) saat ini mungkin
telah menjadi langka atau punah sebelum diketahui secara pasti nilai/manfaat dan sifat-sifatnya.
Setiap species mempunyai kecepatan tumbuh yang berbeda-beda, ada yang tergolong fast
growing spesies terutama untuk jenis-jenis pioner, tetapi ada yang termasuk dalam slow growing
spesies. Untuk keberlanjutan pemanenan jangka panjang jenis pohon yang lambat
pertumbuhannya seperti Shorea ovalis, S. seminis, S. leavis, Vatica sp., Koompassia sp. dan
Eusideroxylon zwageri, maka diperlukan pengurangan dalam intensitas pembalakan (total
gabungan sekitar 5 batang/ ha). Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi kepunahan dalam jenis
tertentu akibat penebangan hutan.
Pohon-pohon besar yang hidup di hutan-hutan dataran rendah dengan ketinggian kanopi
mencapai hampir 50 meter. Jenis-jenis pohon yang berada di hutan-hutan ini adalah dari suku
Dipterocarpaceae. Pohon-pohon ini menduduki sekitar 80% dari biomassa pohon yang
kanopinya tertinggi dan nilai biomassanya mencapai 70% dari seluruh biomassa pohon yang
kanopinya tertinggi (Curran dan Leighton, 2000). Juga merupakan 10% dari semua jenis pohon
yang ada di Indonesia (Ashton dkk., 1998).
Jenis-jenis pohon dari suku Dipterocarpaceae merupakan bagian akhir dari suksesi hutan,
karena hanya tumbuh di hutan-hutan yang sudah memiliki kanopi yang rapat. Jenis-jenisnya
tersebar luas sekali, tumbuh di hutan-hutan dari dataran rendah sampai kaki pegunungan di
seluruh Asia Tenggara dan sub-benua India. Suku Dipterocarpaceae merupakan bagian dari kayu
keras yang paling berharga di dunia.
Selama beberapa dekade, hutan-hutan Dipterocarpaceae di Indonesia secara komersial
ditebang dengan laju penebangan yang tinggi dan tidak berkesinambungan. Dampak langsung
penebangan terhadap hutan yang sangat jelas adalah hilangnya sejumlah tertentu pohon. Namun
dampak tidak langsung pengaruhnya sangat besar bagi kesehatan hutan dataran rendah di masa
depan.
Tanaman-tanaman ini tidak hanya harus menghadapi bahaya terinjak-injak, terluka, dan
gangguan-gangguan lainnya yang disebabkan oleh penebangan, tetapi juga harus bersaing
dengan spesies pionir yang tumbuh cepat yang dapat membuat tanaman tersebut kalah dalam
bersaing mendapatkan cahaya matahari. Satu kajian menunjukkan bahwa penebangan kembali
spesies pionir dan pemberian lubang di kanopi untuk memberi lebih banyak sinar matahari
mampu meningkatkan ketahanan regenerasi Dipterocarp hingga 30%. Di daerah-daerah yang
tidak dikelola, Dipterocarp umumnya hanya menutup 25% dari total luas lahan basah (Kuusipalo
dkk., 1997).
Luas hutan produksi saat ini adalah 64 juta hektar tersebar di seluruh Indonesia, dikelola
oleh berbagai lembaga antara lain yaitu Dinas Kehutanan, HPH (Hak Pengusahaan Hutan),
BUMN (Badan Usaha Milik Negara), HPH perusahaan patungan (BUMN dan Swasta) dan
Persero. Sementara itu data menunjukkan bahwa potensi hutan produksi cenderung menurun dan
mengalami kemunduran. Bukti lain atas fenomena tersebut ditunjukkan oleh realisasi produksi
kayu bulat selama periode 1993/1994 s/d 1997/ 1998 selalu dibawah 20 juta m3 setiap tahun
(Anonim: 1998). Gambaran lain dilaporkan oleh Fraser (1999) bahwa hutan primer yang
termasuk hutan produksi akan habis 7 - 8 tahun lagi.
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 6 ayat 1 dan 2, membagi
hutan menurut fungsi pokoknya menjadi (1) hutan konservasi, (2) hutan lindung dan (3) hutan
produksi. Definisi yang diberikan untuk hutan produksi adalah kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Interpretasi menyimpang membuat hutan
tersebut dikhususkan untuk tujuan produksi saja tanpa memperhatikan fungsi yang lain seperti
pengaturan tata air, pencegahan banjir dan erosi, memelihara kesuburan tanah, pelestarian
lingkungan hidup, konservasi keanekaragaman hayati dan sebagainya.
Para pengelola hutan produksi seakan merasa tidak bersalah jika terjadi bencana banjir,
dan kemunduran kualitas tempat tumbuh karena fungsi ini dibebankan pada hutan lindung
walaupun disadari benar bahwa luas hutan lindung yang sangat kecil yaitu kurang dari 10 juta ha
dibanding dengan luas hutan total seluas 121,19 juta ha berdasarkan Inventarisasi Hutan
Nasional (Fraser:1999) atau bahkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan luas daratan Indonesia.
Pengertian hutan konservasi juga menunjukkan fenomena yang sama yaitu tentang
kawasan konservasi tertentu dan bukan lagi pada fungsinya. Di bagian perundangan lain yaitu
pada UU No 5 tahun 1990 yang semestinya menjadi acuan UU No 41 tahun 1999 ini disebutkan
bahwa konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang
pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya
dengan tetap rnemelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Pada
pasal 5 perundangan tersebut dan pasal 12 UUPLH dikatakan bahwa konservasi dilakukan
dengan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan
dan satwa beserta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya.
Dengan mengacu perundangan yang ada tampak adanya dualisme pengertian konservasi,
di satu pihak konservasi berarti kawasan dan di pihak lain konservasi berarti fungsi atau
kegiatan. Dualisme pengertian ini tanpa terasa terus berjalan, sehingga membuat para pengelola
hutan bersikap ambivalen terhadap konservasi. Dengan mendasarkan sikap bahwa konservasi
adalah pengertian kawasan maka seakan lupa bahwa hutan adalah salah satu pemanfaatan
ekosistem sumberdaya alam hayati dalam satuan ekosistem yang merupakan salah satu pilar
konservasi. Sebagai konsekuensinya konservasi mestinya merupakan keharusan dalam
pengelolaan hutan.
Sebagai bagian masyarakat dunia, Indonesia terikat oleh berbagai kesepakatan
internasional, antara lain adalah Convention on Biodiversity, Convention on Climate Change,
Forest Principles dan World Conservation Strategy. Dengan ratifikasi konvensi ini seluruh
kebijakan pengelolaan hutan harus mempertimbangkan rambu-rambu yang telah disepakati
dalam konvensi ini. Berbagai kesepakatan internasional seperti Forest Principles (KTT Bumi),
konferensi ITTO, kelembagaan ekolabel telah mengarahkan ke bentuk pengelolaan hutan di
Indonesia yang bersifat sustainable forest management, yang bercirikan keterlanjutan fungsi
ekologis/lindung fisik hutan (tanah, flora, fauna, hidrologi dan iklim), keberlanjutan fungsi
produksi dan keberlanjutan fungsi sosial budaya. Dengan kata lain pengelolaan hutan yang tetap
berorientasi sebagai ekosistem dengan fungsi ekologis, produksi dan sosial telah merupakan
kesepakatan internasional.
Tujuan pengelolaan hutan seperti yang dimaksud dalam UU No. 41 tahun 1999 ini
mengisyaratkan bahwa produk hutan sudah semestinya bukan didasarkan atas kayu saja,
melainkan produk seluruh potensi ekosistem hutan sesuai kemampuan optimal ekosistem yang
bersangkutan secara lestari. Sudah harus dimulai bahwa penentuan AAC (annual available cut)
ditentukan bukan berdasarkan pada konsumsi kayu (baik legal maupun illegal cutting), akan
tetapi lebih pada kemampuan ekosistem hutan dan atau kesejahteraan masyarakat sekitar.
Perhitungan Jatah Tebangan Tahunan (AAC) didasarkan atas total volume kayu komersial
(diukur melalui inventarisasi) yang dikalikan dengan faktor eksploitasi 0,8 dan kemudian
dengan faktor keamanan 0,7 (total 0,56) serta membagi jumlah total dengan 35 tahun. Sistem ini
merupakan bentuk pengaturan hasil, namun angkanya bersifat statis dan tidak didasarkan pada
karakteristik areal hutan bersangkutan. Dalam banyak hal, ini telah mengakibatkan terjadinya
pemanenan berlebih (overcutting atau undercutting). Selain itu, kegiatan inventarisasi seringkali
terlalu menekankan pada keberadaan jenis komersial, dan faktor eksploitasi yang diukur di
lapangan adalah 0,5 (Matikainen, Herika & Muntoko, 1998).
Asumsi bahwa pertumbuhan kembali hutan setelah pemanenan sebesar 1 m3 ha-1 tahun-1,
sehingga memberi hasil sebesar 35 m3 ha-1 pada akhir siklus. Namun demikian, ini merupakan
taksiran tingkat pertumbuhan yang berlebihan, dan tidak memperhatikan aspek kematian
(mortalitas) alami. Hutan tidak tumbuh secepat seperti yang diasumsikan.
Menurut Lamprecht (1996) pertumbuhan hutan primer riapnya kecil dan dalam skala luas
besarnya mendekati nol, walaupun terdapat permudaan namun jumlahnya sering sedikit saja.
Untuk hutan sekunder riap awalnya besar namun lambat laun akan mengecil.
Perhitungan taksiran hasil untuk siklus kedua tidak memperhatikan kerusakan berarti
yang terjadi pada tegakan sisa akibat penebangan. Praktek pemanenan yang kurang baik
mengakibatkan pembukaan tajuk dan meningkatkan persaingan antara jenis dipterocarps
komersial dengan jenis yang senang dengan cahaya. Belum banyak upaya dilakukan untuk
mengurangi kerusakan akibat penebangan, sehingga mengakibatkan penurunan kualitas dan areal
hutan.
Ragam ekosistem hutan di Indonesia sangat tinggi baik dalam sebaran horizontal (dari
garis katulistiwa ke garis lintang utara maupun selatan) maupun vertikal (ketinggian tempat
mulai dari dataran pantai sampai gunung yang tinggi) yang diikuti ragam jenis yang tinggi pula.
Untuk memudahkan pemahamannya, ragam tersebut dapat diklasifikasi berdasarkan kondisi
ekologisnya dengan membagi hutan produksi menjadi 2 kelompok besar yaitu:
a. kelompok tipe zonal yang dipengaruhi terutama oleh iklim
b. kelompok tipe azonal yang dipengaruhi terutama oleh habitat.
Kelompok zonal merupakan kelompok ekosistem yang sangat tergantung pada intensitas
curah hujan sehingga atas dasar faktor ini pula dapat dibedakan menjadi tipe hutan tropika
humida, tropika musim, savana dan lain-lain. Kelompok ini masih dapat dibedakan
(diklasifikasi) lagi berdasarkan faktor lain seperti tinggi tempat, jenis tanah, topografi dan
sebagainya. Hutan produksi sebagian besar (lebih dari 80%) termasuk dalam tipe ekosistem
hutan tropika humida dan tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan
Papua Barat, sedangkan sisanya termasuk dalam tipe ekosistem hutan tropika musim dan
tersebar di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Sementara itu kelompok
azonal keberadaannya sangat ditentukan oleh habitat aslinya dan hampir tidak terpengaruh oleh
curah hujan, antara lain adalah ekosistem hutan mangrove, pantai, gambut, kerangas, terumbu
karang, black water ecosystem dan sebagainya.
Ragam ekosistem hutan tersebut membawa konsekuensi karakteristik / perilaku ekosistem
yang berbeda satu dengan yang lain. Dengan demikian hutan bukan hanya sekedar kumpulan
jenis flora dan fauna pada habitat tertentu, akan tetapi jenis-jenis tersebut bersama-sama dengan
faktor biofisik yang lain membentuk satuan ekosistem yang berinteraksi sangat erat (Sajise:
1975; 1977a; 1977b). Oleh karena itu informasi interaksi ini harus terus digali agar dapat
memberikan landasan pengelolaan/ budidaya ekosistem yang bersangkutan, peningkatan
produktivitas dan pelestarian jasa lingkungan.
Jika keragaman ekosistem hutan produksi ini telah diyakini, maka keseragaman
pengelolaan hutan seperti yang terjadi selama ini sungguh tidak tepat, apalagi bila motif utama
pengelolaan adalah kepentingan ekonomi. Sebagai contoh misalnya (1) peraturan TPTI (Tebang
Pilih Tanam Indonesia) tidak terpusatkan akan tetapi diadakan di setiap propinsi (2) peraturan
TPTI disesuaikan dengan karakteristik hutan yang dimaksud dan (3) pengalaman budi daya
hutan jati yang termasuk dalam ekosistem tropika musim diterapkan begitu saja di Hutan
Tanaman Industri (HTI) di hutan tropika humida. Pada saat ini terdapat semacam pemaksaan
kehendak pada suatu ekosistem hutan sehingga berakibat degradasi hutan. Hutan tropika humida
yang dicirikan dengan lahan yang miskin hara, keasaman tinggi, curah hujan tinggi dan lain
sebagainya (sering disebut sebagai fragile ecosystem) berubah menjadi habitat yang ideal bagi
tropika humida yang mempunyai struktur (susunan) tertentu, setidaknya digambarkan pada
kondisi aslinya. Namun dengan berubahnya struktur secara drastis akibat tebangan, penanaman
atau metode silvikultur yang lain berubah pula atribut fungsionalnya sampai pada
kemundurannya. Apalagi variasi berbagai faktor lingkungan biofisik yang tinggi, maka
keseragaman metode pengelolaan sangat tidak kondusif bagi pertumbuhan dan pelestarian hutan.
Jika untuk sementara kayu masih menjadi sasaran target utama produksi hutan, maka
segala aktivitas untuk peningkatan produktivitasnya sudah semestinya tetap berlandaskan kaidah
ekosistem hutan atau berwawasan konservasi agar pelestarian ekosistem hutan dalam jangka
panjang dapat menjadi kenyataan. Beberapa peluang pengelolaan hutan produksi yang
berwawasan konservasi dapat dilakukan dan disesuaikan pada setiap tipe hutan. Pengertian
peluang disini adalah kemungkinan penerapan metode tertentu yang bukan saja untuk
kepentingan ekonomis sesaat (yang bisa merusak ekosistem hutan dalam jangka panjang) tetapi
juga mempertimbangkan aspek konservasinya. Untuk memudahkan pembahasan dibedakan
antara pengelolaan hutan produksi alam dan tanaman.
Hampir seluruh hutan alam termasuk dalam ekosistem hutan tropika humida dengan
sederet atribut yang melekat padanya dan dikenal dengan ekosistem yang rapuh (fragile
ecosystem). Dalam perjalanan pengelolaannya sampai saat ini kondisi hutan sudah banyak
mengalami kerusakan, akibat eksploitasi yang berlebihan, alih fungsi, kebakaran, penjarahan dan
sebagainya. Kegiatan pengusahaan hutan selama ini ternyata telah menyebabkan terjadinya
penurunan areal dan kualitas hutan yang berdampak jumlah kayu tersedia untuk panenan siklus
tebang kedua jauh lebih rendah dari yang diharapkan.
Ragam ekosistem hutan alam sangat tinggi, baik dalam volume standing stock, komposisi,
faktor lingkungan dan sebagainya, sehingga memerlukan penanganan yang berbeda pula.
Kebijakan pengelolaan hutan alam yang berlaku saat ini (Tebang Pilih dan Tanam Indonesia -
TPTI) menetapkan sistem pemanenan yang seragam untuk areal hutan di seluruh wilayah
Indonesia, tanpa memperhatikan tipe dan kondisi hutannya. Intensitas penebangan ditetapkan
dengan batas diameter minimum 40 cm untuk hutan rawa, 50 cm untuk hutan Dipterocarp
dataran rendah serta 60 cm untuk areal hutan produksi terbatas dengan kelerengan melebihi 40%.
Sistem ini telah mengakibatkan pemanenan berlebih di banyak areal, sehingga hutan tidak dapat
pulih dalam waktu 35 tahun untuk dapat menghasilkan kayu pada rotasi kedua.
Keanekaragaman jenis sangat tinggi membentuk struktur tertentu baik secara vertikal
(stratifikasi tajuk dan atau perakaran) maupun horizontal. Mekanisme internal untuk
mendapatkan stabilitas ekosistem justru diperoleh dari aspek ini.
Hutan primer saat ini telah hampir habis dan pada pengelolaan selanjutnya sudah harus
beralih ke hutan bekas tebangan dan atau hutan tanaman. Karena itu upaya peningkatan
produktivitas dengan input energi (biaya) serendah-rendahnya dan tanpa merugikan lingkungan
(tetap berwawasan konservasi) sangat diperlukan.
Sistem silvikultur yang digunakan hampir seluruhnya adalah TPTI (Tebang Pilih Tanam
Indonesia) dengan satu aturan untuk seluruh hutan alam di Indonesia, walaupun sistem ini adalah
sistem silvikultur yang relatif paling aman untuk diterapkan dibanding yang lain dalam hal jasa
lingkungannya.
Tidak ada batasan maksimum jumlah volume kayu atau jumlah batang yang dapat ditebang
per satuan areal. Penebangan terlalu banyak pohon di setiap unit areal dapat mengakibatkan
terciptanya kondisi yang mengganggu pertumbuhan jenis-jenis kayu komersial.
Sesuai dengan situasi saat ini hutan dituntut untuk memberikan produk yang selalu
meningkat, kelestarian yang tetap terjamin dan masukan biaya yang rendah. Pemenuhan tuntutan
ini sungguh tidak mudah namun tampaknya tidak ada pilihan lain kecuali harus terus mencari
peluang untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah :
1. Sesuai dengan ragam hutan alam yang tinggi maka perlu penerapan peraturan (sistem
silvikultur dan aturan pengelolaan lainnya) yang berbeda, setidaknya dibedakan pada level
propinsi.
2. Kemampuan optimal suatu ekosistem hutan bukan hanya kayu, karena itu penentuan AAC
seyogyanya tidak hanya mendasarkan pada produksi kayu saja. Karena itu diperlukan
reorientasi pemikiran baru untuk mendapatkan produktivitas hutan yang optimal. Pola
konsumsi produk hasil hutan dalam bentuk apapun harus didasarkan pada kemampuan
ekosistem hutan yang dimaksud.
3. Dengan mulai habisnya hutan primer, maka pengelolaan hutan alam akan beralih ke hutan
bekas tebangan. Jika diasumsikan tidak ada tebangan cuci mangkok (tebang ulang sebelum
waktunya) hutan bekas tebangan perlu dipelihara untuk terus meningkatkan produksinya atau
setidaknya kembali ke keadaan semula, apalagi yang karena sebab tertentu tebang ulang tam-
paknya tidak bisa dihindari. Karena itu pemeliharaan hutan menjadi aspek yang sangat
penting. Namun jika kegiatan pemeliharaan hutan ini didasarkan pada sistem silvikultur TPTI
hasilnya tidak efisien (Marsono: 1997). Di antara kegiatan pemeliharaan bekas tebangan yang
berupa perapihan, pembebasan pertama, pengadaan bibit, pengayaan, pemeliharaan tanaman,
pembebasan kedua dan ketiga, dan penjarangan tajuk, hanya penjarangan tajuklah yang secara
langsung memberikan percepatan pertumbuhan tegakan tinggal paling efektif. Hal ini terjadi
karena tindakan penjarangan memberikan ruang tumbuh optimal bagi pohon binaan yang
terdiri dari pohon inti dan permudaan tingkat dibawahnya. Kegiatan ini hanya terbatas pada
pohon-pohon future harvest saja dan pada tingkat pertumbuhan tertentu yang paling responsif
terhadap perlakuan ini, sehingga input biaya sangat rendah. Sementara itu pohon pendamping
tetap berfungsi sebagai pembentuk struktur sehingga terus memberikan jasa lingkungan dan
atau atribut fungsionalnya (tetap berwawasan konservasi), dan sangat efisien karena
menghilangkan banyak pekerjaan dan biaya yang sebenarnya tidak diperlukan.
4. Dalam jangka panjang sudah harus mulai dipikirkan untuk mengelola hutan berdasarkan
konsep kesesuaian lahan. Dengan berbasis pendekatan ekosistem, pengelolaan hutan produksi
didasarkan pada unit-unit ekologis yang merupakan resultante dari seluruh faktor lingkungan
(biofisik) sehingga terbentuk kesatuan pengelolaan yang berkemampuan sama baik produk-
tivitas maupun jasa lingkungannya
5. Introduksi sistem silvikultur atau sistem baru lainnya yang sekiranya menjanjikan produksi
hendaknya dikaji lebih mendalam terlebih dulu agar kerusakan hutan dapat lebih dibatasi
6. Keberhasilan pengelolaan konservasi di hutan ini sangat tergantung sumber daya manusianya,
karena itu penyiapannya perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Pada prinsipnya hutan tanaman secara ekologis adalah bentuk simplifikasi sistem alam
dengan tuntutan ekonomis sebagai pengendali utama. Pengembangan lebih lanjut terhadap
motivasi ekonomis tersebut dilakukan dengan simplifikasi berbagai komponen sistem antara lain
jenis (jenis yang bergenetis baik), bentukan struktur (stratifikasi tajuk dan atau perakaran), input
energi (biaya) dan penggantian natural stabilizing factor (homeostasis ekosistem) dengan
chemical stabilizing factor (pupuk, pestisida dan lain-lain). Keseluruhan manipulasi ini dikemas
dalam bentuk metode dan sistem silvikultur dengan output utama produktivitas. Jika prinsip
hutan tanaman masih tetap seperti ini maka pelestarian jangka panjang akan diragukan, atau pada
suatu saat secara finansial akan akan tidak ekonomis lagi, karena harus menanggung beban
atribut fungsional yang sudah tidak berjalan lagi. Dalam sudut pandang lain dapat dikatakan
bahwa integritas ekosistem tidak dapat dipertahankan lagi, kaidah ekosistem hutan menjadi
hilang, terfragmentasi, sehingga memacu parahnya water yield dan kualitas air, sempitnya ruang
gerak satwa, tererosinya sumber daya genetik dan penurunan produktivitas hutan dalam jangka
panjang (Soekotjo:1999).
Beberapa contoh kasus mundurnya hutan tanaman yang kurang memperhatikan wawasan
konservasi telah disebutkan di muka yaitu antara lain penurunan produktivitas, penurunan bonita
pada areal tertentu dan sebagainya. Di Philipina, penanaman hutan monokultur (Leucaena
leucocephala) pada kelerengan 36 - 50 % terjadi kebocoran fosfat pada neraca hara yang
dibuatnya sebesar 56,76 kg/ ha/th, sementara pada grassland area dengan kelerengan yang sama
diperoleh saldo sebesar 35,43 kg/ha/th. Keadaan yang hampir sama dilaporkan dari India berasal
dari hutan tanaman cepat tumbuh dan eksot (Eucalyptus sp. dan pinus) yang ditanam
monokultur, tidak berwawasan konservasi menjadi bencana besar bagi pelestarian lingkungan.
Bencana kekurangan air terjadi karena konsumsi air sangat tinggi untuk pertumbuhan (1,41 dan
8,87 mm per gram biomasa kering untuk eucalyptus dan pinus) dan kemunduran kualitas tempat
tumbuh (Shiva & Bandyopadhyay: 1983). Kemudian tahun 1985 FAO (Food and Agriculture
Organization of The United Nations) juga melaporkan kondisi serupa di banyak negara seperti
Brazil, Australia, Malawi dan Afrika Selatan (Poore & Fries: 1985).
Dalam jangka panjang harus sudah dimulai pengelolaan hutan berdasarkan kesesuaian
lahan, membentuk unit-unit ekologis berdasarkan kaidah ekosistem yang mempunyai respon
yang sama baik dalam produktivitas maupun jasa lingkungannya. Aspek ini tampak semakin
penting belakangan ini terutama bila dikaitkan dengan desakan pihak lain untuk
menyelenggarakan agribisnis di areal hutan produksi. Terlepas dari berbagai faktor yang
berpengaruh mulai dari politik, sosial, ekonomi dan kelembagaannya, masalah ini dapat didekati
dengan menyusun klasifikasi lahan yang baik, agar dapat dideliniasi dengan jelas kawasan-
kawasan yang bisa ditolerir untuk agribisnis dan kawasan yang harus dilakukan pengelolaan
hutan berbasis konservasi, sehingga kualitas lingkungan yang menjadi tanggung jawab hutan
produksi dapat tetap dipertahankan.
Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui
kegiatan:
a. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam;
b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.
Selain contoh yang disebutkan diatas tentunya masih banyak lagi contoh yang lainnya
seperti,melakukan reboisasi,membuang sampah pada tempatnya,tidak melakukan penebangan
hutan secara liar dan lain-lain.
Banyak metode dan alat yang tersedia dalam pengelolaan keanekaragaman hayati yang secara
umum dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Konservasi Insitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies, variasi genetik dan
habitat dalam ekosistem aslinya. Pendekatan insitu meliputi penetapan dan pengelolaan
kawasan lindung seperti: cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam,
hutan lindung, sempadan sungai, kawasan plasma nutfah dan kawasan bergambut. Dalam
prakteknya, pendekatan insitu juga termasuk pengelolaan satwa liar dan strategi perlindungan
sumberdaya di luar kawasan lindung. Di bidang kehutanan dan pertanian, pendekatan insitu
juga digunakan untuk melindungi keanekaragaman genetik tanaman di habitat aslinya serta
penetapan spesies dilindungi tanpa menspesifikasikan habitatnya.
Konservasi Eksitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies tanaman, satwa liar
dan organisme mikro serta varietas genetik di luar habitat/ekosistem aslinya. Kegiatan yang
umum dilakukan antara lain penangkaran, penyimpanan atau pengklonan karena alasan: (1)
habitat mengalami kerusakan akibat konversi; (2) materi tersebut dapat digunakan untuk
penelitian, percobaan, pengembangan produk baru atau pendidikan lingkungan. Dalam
metode tersebut termasuk: pembangunan kebun raya, koleksi mikologi, museum, bank biji,
koleksi kultur jaringan dan kebun binatang. Mengingat bahwa organisme dikelola dalam
lingkungan buatan, metode eksitu mengisolasi spesies dari proses-proses evolusi.
Restorasi dan Rehabilitasi, meliputi metode, baik insitu maupun eksitu, untuk membangun
kembali spesies, varietas genetik, komunitas, populasi, habitat dan proses-proses ekologis.
Restorasi ekologis biasanya melibatkan upaya rekonstruksi ekosistem alami atau semi alami
di daerah-daerah yang mengalami degradasi, termasuk reintroduksi spesies asli, sedangkan
rehabilitasi melibatkan upaya untuk memperbaiki proses-proses ekosistem, misalnya Daerah
Aliran Sungai, tetapi tidak diikuti dengan pemulihan ekosistem dan keberadaan spesies asli.
Pengelolaan Lansekap Terpadu, meliputi alat dan strategi di bidang kehutanan, perikanan,
pertanian, pengelolaan satwa liar dan pariwisata untuk menyatukan unsur perlindungan,
pemanfaatan lestari serta kriteria pemerataan dalam tujuan dan praktek pengelolaan.
Mengingat bahwa tataguna lahan tersebut mendominasi keseluruhan bentuk lansekap, baik
pedalaman maupun wilayah pesisir, reinvestasi untuk pengelolaan keanekaragaman hayati
memiliki peluang besar untuk dapat diperoleh.
Formulasi Kebijakan dan Kelembagaan, meliputi metode yang membatasi penggunaan
sumberdaya lahan melalui zonasi, pemberian insentif dan pajak untuk menekan praktek
penggunaan lahan yang secara potensial dapat merusak; mengaturan kepemilikan lahan yang
mendukung pengurusannya secara lestari; serta menetapkan kebijakan pengaturan
kepentingan swasta dan masyarakat yang menguntungkan bagi konservasi keanekaragaman
hayati.
Krebs (1985) menyebutkan ada enam faktor yang menentukan perubahan keanekaragaman
jenis organisme dalam satu ekosistem yaitu :
1. Waktu
Selama kurun waktu geologis akan terjadi perubahan keadaan lingkungan, yang mengakibatkan
banyak individu yang tidak dapat mempertahankan kehidupannya, tetapi ada juga kelompok-
kelompok individu yang mampu bertahan hidup terus dalam waktu relatif lama sebagai hasil
proses evolusi.
Evolusi dapat diartikan sebagai proses yang menyebabkan terjadinya perubahan sifat populasi
spesies dari waktu ke waktu berikutnya (Untung, 1993). Semakin lama waktu berlangsung berarti
makin banyak kesempatan bagi spesies organisme untuk beradaptasi dengan sumberdaya
lingkungan setempat bahkan kemudian mengalami spesialisasi dan pemencaran yang pada
akhirnya mempengaruhi perubahan keanekaragaman hayati ( Krebs, 1985).
Komunitas yang lebih tua, dan yang telah lama berkembang akan memiliki lebih banyak jenis
jasad hidup daripada komunitas muda sehingga tingkat keanekaragaman hayatinya juga akan
lebih tinggi. Meskipun demikian, faktor waktu tidak dapat berfungsi sendiri, tetapi hanya akan
berfungsi melalui satu atau lebih faktor lain dalam mempengaruhi keanekaragaman hayati
(Krebs, 1985).
2. Heterogenitas Ruang
Heterogenitas ruanag umunya terdapat dalam lingkungan yang rumit. Lingkungan yang
heterogen dan rumit memiliki daya dukung lebih besar tehadap keanekaragaman organisme yang
ada di dalamnya. Heterogenitas tipografik dan mikrohabitat tampaknya lebih dulu berpengaruh
pada banyaknya spesies tumbuhan (vegetasi) yang bisa berkembang di dalamnya. Diversitas
vegetasi ini yang memungkinkan berkembangnya keanekaragaman herbivor maupun komponen-
komponen trofik berikutnya.
Di daerah tropik keanekaragaman spesies tumbuhan lebih tinggi daripada di subtropik, sehingga
mempunyai daya dukung yang besar terhadap keanekaragaman spesies herbivora dan karnivora
serta menyediakan relung yang lebih banyak untuk didiami organisme (Krebs, 1985).
3. Persaingan
Persaingan (kompetisi) dalam suatu komunitas dapat dikelompokkan menjadi dua jika dilihat
dari asalnya yakni persaingan yang berasal dari dalam populasi jenis itu sediri yang disebut
intraspesifik dan persaingan yang berasal dari luar populasi tersebut yang disebut ekstraspesifik.
Proses persaingan merupakan bagian dari ko-evolusi spesies, karena strategi spesies dalam
persaingan merupakan arah seleksi spesies yang menentukan keberhasilan spesies tersebut dalam
mempertahankan suatu tingkat kerapatan populasi tertentu dalam lingkungan hidupnya.
Di daerah subtropik seleksi alam lebih banyak ditentukan oleh kondisi lingkungan fisik yang
ekstrim, sedangkan di daerah tropik faktor utama yang mengendalikan seleksi alam adalah
persaingan antar komponen biologik. Tajamnya kompetisi di daerah tropik telah memaksa
spesies-spesies organisme yang hidup di dalamnya untuk memiliki daya adaptasi yang tinggi
(Krebs, 1985).
4. Pemangsaan
Keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas sangat dipengaruhi oleh hubungan fungsional
tingkat tropik atau pemangsaan. Pemangsaan dan persaingan saling menunjang dalam
mempengaruhi kenaekaragaman spesies. Pemangsaan besar pengaruhnya terhadap
keanekaragaman spesies-spesies yang dimangsa sedang fluktuasi keanekaragaman jenis
pemangsa lebih banyak dipengaruhi oleh faktor persaingan. Efesiensi pemangsaan berpengaruh
langsung terhadap keanekaragaman jenis dengan mempertahankan monopolisasi syarat-syarat
lingkungan utama oleh suatu jenis. Sedangkan efesiensi pemangsaan dipengaruhi oleh berbagai
faktor antara lain frekuensi makan, selera pemangsa terhadap rasa mangsa, kerapatan mangsa,
kualitas makanan dan adanya inang alternatif (Odum, 1988).
Kondisi daerah tropik memungkinkan keberadaan hewan pemangsa dan parasit dalam jumlah
yang lebih banyak dibandingkan di subtropik, dan aktivitasnya menekan populasi inang.
Turunnya populasi inang membuat kompetisi antar sesama inang menjadi lebih longgar. Pada
kondisi ini sangat mungkin terjadi pertambahan jenis inang yang lain, dan kemudian sekaligus
menyebabkan bertambahnya jenis pemangsa dan parasit di dalam ekosistem tersebut (Odum,
1988)
5. Stabilitas Lingkungan
Komunitas sangat dipengaruhi oleh lingkungan fisiknya (radiasi matahari, curah hujan, suhu,
kelembaban, salinitas, pH) yang secara bersama-sama membentuk ekosistem. Komunitas di
dalam lingkungan fisik yang relatif stabil seperti pada hutan tropik mempunyai keanekaragaman
jenis yang lebih tinggi daripada komunitas yang dipengaruhi oleh lingkungan fisik yang tidak
stabil atau sering mengalami gangguan musiman secara periodik (Odum, 1985).
Lingkungan yang stabil lebih menjamin keberhasilan adaptasi suatu organisme dan lebih
memungkinkan berlangsungnya evolusi daripada lingkungan yang berubah-ubah (tidak stabil)
sehingga evolusi tersebut menyebabkan antara lain menyempitnya relung spesies sehingga suatu
habitat dapat ditempati jasad hidup yang lebih beranekaragam.
6. Produktivitas
Price (1975), menyatakan produktivitas atau arus energi dapat mempengaruhi keanekaragaman
jenis dalam suatu komunitas karena makin besar produktivitas suatu ekosistem maka semakin
tinggi keanekaragaman jenis suatu organisme, jika keadaan semua faktor lain sama. Tingkat
produktivitas suatu ekosistem dipengaruhi oleh letak lintang geografis dan ketinggian tempat
dari permukaan laut. Ekosistem di daerah tropik mempunyai tingkat produktivitas tinggi, dan
kian menurun ke arah kutub. Begitu pula ekosistem di dataran rendah akan mempunyai tingkat
produktivitas yang tinggi dan semakin menurun ke arah dataran tinggi. Hal ini dikarenakan di
daerah tropik dan dataran rendah mempunyai iklim yang relatif lebih stabil sehingga hanya
relatif sedikit energi yang dialokasikan untuk proses pengaturan keseimbangan. Sebaliknya
cukup banyak energi yang dapat digunakan untuk pertumbuhan dan reproduksi. Dengan
demikian populasi maupun jenis organisme di daerah tropik bertambah lebih cepat.
Krebs (1985) menyatakan bahwa masa pertumbuhan yang lebih di daerah tropik menghasilkan
komponen spesies yang terbagi dalam ruang dan waktu di ekosistem, sehingga memungkinkan
keanekaragaman jenis yang lebih banyak. Keanekaragaman ekosistem mempunyai arti yang
sangat penting baik sebagai sumberdaya maupun dalam hal pemeliharaan ekosistem. Hal ini
didukung oleh Price(1975), yang mengemukakan bahwa arti penting tersebut terutama karena
keanekaragaman hayati dipandang sebagai faktor penentu stabilitas ekosistem, yaitu suatu aspek
yang bertalian erat dengan fenomena pendorong terciptanya keseimbangan ekosistem.
Keadaan ekosistem yang stabil terjadi jika kepadatan populasi organisme-organisme selalu
cenderung menuju ke arah keseimbangannya masing-masing setelah ada gangguan (perubahan
iklim yang ekstrim maupun perubahan rekayasa manusia) yang telah mengenai populasi tersebut
(Krebs, 1985). Pada ekosistem yang seimbang tidak ada satu jenis organisme yang menjadi
dominan dan populasinya menonjol dibandingkan dengan populasi organisme yang lain (Untung,
1993).
Keanekaragaman hayati dipandang sebagai faktor penentu stabilitas ekosistem. Ekosistem yang
stabil terjadi jika kepadatan populasi dari organisme yang ada selalu cenderung menuju ke arah
keseimbangan masing-masing setelah adanya gangguan (Krebs, 1985). Tingkat keragaman
dicirikan dengan adanya jumlah spesies yang ditemukan dalam suatu lahan. Komunitas dan
keragaman yang tinggi, suatu spesies tidak akan menjadi dominan dan sebaliknya, komunitas
dengan keragaman rendah akan menyebabkan satu atau dua spesies menjadi dominan.
Keragaman dan dominansi berkorelasi negatif, artinya apabila tingkat keragaman tinggi maka
tingkat dominansi suatu jenis adalah rendah (Price, 1975).
Krebs, C.J. 1985. Ecology. The Experimental Analisys of Distribution and Abudance. Third
Edition. Harper & Raws Publishers. New York.
Hierarki Biodiversity
Hirarchi biodiversitas adalah urutan dalam jenjang klasifikasi dari berbagai kategori
keanekargaman hayati yang terdapat didalam komunitas bumi ini dimana ragam yang terbesar
adalah ragan dalam sifat genetik atau gen , diikuti dengan ragam spesies atau jenis serta ragam
dalam ekosistemnya.
Secara sederhana digambarkan hirarchi biodiversitas sebagai berikut :
1. Keragaman ekosistemnya
2. Keragaman jenis dan species
3. Keragaman dan genetiknya
KERAGAMAN GENETIKA (Gen diversity)
Keragaman genetik berasal dari adanya ragam yang tinggi dari unsur yang terkecil yaitu
terbentuk dari berbagai DNA sehingga dari sini terbetuk banyak variasi gen dalam satu
species pada suatu populasi
Sifat yang dimiliki oleh gen dalam populasinya dapat bersifat variasi karena ruang /Spatial (
hambatan ruang untuk beraktifitas ) atau sifat yang karena skala waktu / Temporal ( dimensi
waktu yang berjlamn membuat ada mutasi mutasi gen baru yang terjadi.
Pengelolaan tumbuhan dan satwa liar merupakan rangkaian dari kegiatan konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya berazaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber
daya alam hayati secara serasi dan seimbang yang dilakukan melalui kegiatan :
1) perlindungan sistem ekologis penting penyangga kehidupan;
2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
3) pemanfaatan secara lestari sumber dalam alam hayati. Pengelolaan tumbuhan dan satwa liar
sebagai suatu sumber daya alam hayati tersebut tersebar di berbagai tipe habitat yang terdapat di
dalam wilayah Indonesia, didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, beserta peraturan pelaksanaannya,
khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa, dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan
dan Satwa Liar.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999, jenis tumbuhan dan satwa liar dapat
dimanfaatkan untuk keperluan:
a) Pengkajian, penelitian dan pengembangan;
b) Penangkaran;
c) Perburuan;
d) Perdagangan;
e) Peragaan;
f) Pertukaran;
g) Budidaya tanaman obat-obatan, dan
h) Pemeliharaan untuk kesenangan.
Selanjutnya, pengaturan kegiatan pemanfaatan lebih lanjut telah ditetapkan berbagai Keputusan
Menteri Kehutanan.
Berdasarkan pasal 65 Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999, Departemen yang
bertanggungjawab di bidang kehutanan ditetapkan sebagai Otoritas Pengelola (Management
Authority) konservasi tumbuhan dan satwa liar. Dengan demikian pelaksanaan konservasi
tumbuhan dan satwa liar dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan. Selanjutnya melalui
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 104/Kpts-II/2003 (sebagai pengganti Keputusan Menteri
Kehutanan No.36/Kpts-II/1996), Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
telah ditunjuk sebagai pelaksana Otoritas Pengelola (Management Authority) CITES di
Indonesia.
Departemen Kehutanan Cq. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
(PHKA) telah menerbitkan perizinan dalam bidang pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar,
melakukan penilaian keberhasilan pemanfaatan tumbuhan dan satwa, melakukan pembinaan dan
mendaftarkan unit usaha penangkar satwa liar jenis yang tercantum dalam Appendiks I CITES,
melakukan pembinaan unit usaha pengedar tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi
undang-undang atau pengedar satwa liar yang dilindungi dari hasil penangkaran, serta
melakukan pengendalian pengawasan peredaran tumbuhan dan satwa liar di dalam negeri
maupun ke dan dari luar negeri.
Dalam pelaksanaan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar terdapat beberapa permasalahan antara
lain :
a) belum lengkapnya data dasar populasi dan habitat tumbuhan dan satwa liar yang dapat
dimanfaatkan,
b) adanya kerusakan dan penurunan kualitas habitat satwa liar,
c) penetapan kuota pemanfaatan,
d) pengendalian peredaran ke atau dari luar negeri, dan
e) belum mantapnya sistem pengendalian pemanfaatan nasional, regional dan internasional.
Walaupun adanya permasalahan pemanfaatan tersebut di atas, dalam pelaksanaannya Direktorat
Konservasi Keanekaragaman Hayati selaku Pelaksana Harian Otoritas Pengelola CITES di
Indonesia, telah berupaya menekan permasalahan yang ada semaksimal mungkin, dengan
melakukan kerjasama dengan Pusat Penelitian Biologi LIPI, Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) yang bergerak dalam bidang konservasi dan instansi terkait. Selanjutnya dalam
pelaksanaan pengendalian pengawasan peredaran telah melaksanakan koordinasi dengan
instansi-instansi yang terkait dengan peredaran jenis tumbuhan dan satwa liar, antara lain seperti
: Pusat Karantina Hewan dan Pusat Karantina Tumbuhan Departemen Pertanian, Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai, Pusat Karantina Ikan Departemen Kelautan dan Perikanan, Kepolisian
RI. dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
PEMANFAATAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR
Pemanfaatan satwa liar di awali dari kegiatan penangkapan satwa dari alam (habitat alam) atau
pengambilan dari hasil penangkaran (pengembangbiakan satwa atau pembesaran satwa)
terhadap jenis-jenis yang termasuk dalam Appendiks CITES maupun Non-Appendiks CITES
baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi. Untuk pemanfaatan jenis yang dilindungi
harus dilakukan penangkaran atau satwa tersebut ditetapkan sebagai satwa buru di wilayah
Indonesia.
Untuk dapat memanfaatkan secara komersial, terdiri dari pemanfaatan dalam negeri dan
pemanfatan ke luar negeri. Untuk pemanfaatan komersial dalam negeri, maka setiap orang atau
badan usaha harus mendapat izin pemanfaatan komersial dalam negeri berupa izin mengedarkan
spesimen tumbuhan atau satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang atau satwa yang
dilindungi sebagai hasil penangkaran atau satwa yang telah ditetapkan sebagai satwa buru di
dalam negeri. Sedangkan untuk pemanfaatan komersial ke luar negeri, maka setiap badan usaha
harus mendapat izin pemanfaatan komersial luar negeri berupa izin mengedarkan spesimen
tumbuhan atau satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang atau satwa yang dilindungi
sebagai hasil penangkaran ke luar negeri.
2. Perizinan
Perdagangan jenis satwa liar hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan menurut
hukum Indonesia dan mendapat izin dari Pemerintah (Departemen Kehutanan Cq. Direktorat
Jenderal PHKA). Dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003, untuk izin
perdagangan satwa liar, dikenal 3 (tiga) jenis izin, yaitu:
a. Izin mengambil atau menangkap tumbuhan dan satwa liar diterbitkan Balai KSDA
berdasarkan kuota wilayah yang ada;
b. Izin sebagai pengedar Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri diterbitkan oleh Kepala Balai
KSDA. Pemegang izin sebagai pengedar dalam negeri yang akan mengambil atau menangkap
satwa wajib memiliki izin pengambilan atau penangkapan yang diterbitkan oleh Kepala Balai
KSDA, serta wajib memiliki tempat dan fasilitas penampungan tumbuhan dan satwa liar yang
memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal. Satwa hasil penangkapan, dapat
diangkut ke daerah lain untuk diedarkan di dalam negeri, atau dapat juga diangkut ke
pengedar dalam negeri di daerah lain yang selanjutnya diangkut ke luar negeri. Pengangkutan
di dalam negeri spesimen satwa liar wajib dilengkapi dengan Surat Angkut Tumbuhan dan
Satwa Liar Dalam Negeri (SATS-DN) yang diterbitkan oleh Kepala Balai KSDA.
c. Izin sebagai pengedar tumbuhan dan satwa liar ke negeri diterbitkan oleh Direktur Jenderal
perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (khusus untuk pemanfaatan sarang burung walet
diterbitkan oleh Walikota/ Bupati). Pemegang izin sebagai pengedar ke luar negeri dapat
mengangkut/ mengirim spesimen satwa ke luar negeri sesuai ketentuan yang berlaku. Untuk
menunjukkan legalitas peredaran satwa liar untuk tujuan perdagangan ke luar negeri, kepada
setiap pedagang diwajibkan meliput peredaran tumbuhan dan satwa liar Surat Angkut
Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri (SATS-LN). Terhadap spesimen yang tercantum
dalam Appendiks CITES, peredarannya ke luar negeri (ekspor)/ CITES export
permit. Apabila dari luar negeri (impor) wajib diliput dengan dokumen CITES import permit,
dan pengiriman lagi ke luar negeri (re-ekspor)/CITES re-export permit). Dokumen tersebut
memuat informasi mengenai jenis dan jumlah satwa liar yang diangkut, nama dan alamat
pengirim dan penerima, serta asal dan tujuan pengiriman.
6. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Tumbuhan dan satwa liar
Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) selama ini dikenakan berupa pengenaan Provisi Sumber
Daya Hutan (PSDH) sebagai pengganti nilai intrinsik dari pemanfaatan tumbuhan dan satwa
liar. Pengenaan PSDH didasarkan kepada Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 tentang
Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku di Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Sejak tahun
1989, besarnya penerimaan negara bukan pajak dari pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar
(berupa iuran ekspor) rata-rata setiap tahunnya sebesar Rp. 200.000.000,-, yang disebabkan
belum adanya Keputusan Menteri Kehutunan sebagai tindak lanjut dari PP No. 59 Tahun 1998
dan pengenaan PSDH masih menggunakan tarif yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal PHPA
pada tahun 1989.
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
476/MPP/Kep/8/2004 tentang Penetapan Harga Patokan Tumbuhan Alam dan Satwa liar Yang
Tidak Dilindungi, maka penerimaan PSDH yang diberlakukan sejak bulan September 2004 akan
menghasilkan penerimaan 8 10 kali lipat penerimaan sebelumnya atau Rp. 1,6 Rp. 2
Milyard. Dengan akan ditetapkannya Keputusan Mentari Kehutanan tentang Tata Usaha
Pengenaan dan Pemungutan PNBP di Bidang PHKA, dimana pengenaan PSDH dilakukan pada
saat penangkapan atau pengambilan di alam dan saat akan ekspor, maka penerimaan PNBP
diperkirakan sebesar Rp. 3,2 Rp. 4 Milyar, dengan asumsi kuota penangkapan satwa atau
pengambilan tumbuhan alam tidak mengalami penurunan.
PERMASALAHAN
1. Lemahnya peraturan perundangan di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya seperti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor
7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Status perlindungan fauna dan
flora dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 belum mengakomodasi klasifikasi perlindungan
fauna dan flora sesuai ketentuan CITES dan belum mengatur sanksi bagi pelanggaran
pemanfaatan jenis- jenis yang tidak dilindungi.
2. Data dasar potensi TSL guna pemanfaatannya (dari luar kawasan konservasi) masih lemah
dan belum sepenuhnya menggunakan Non Detrimental Finding. Penetapan kuota dilakukan
melalui prinsip kehati-hatian (precausinary approach) dan kelestarian.
3. Dalam pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar secara komersial, pelaksanaannya masih sangat
tergantung kepada permintaan pasar dan nilai dari sumber daya alam hayati masih dinilai
sangat rendah.
4. Kriteria/standar nasional tentang pengelolaan penangkaran dan lembaga konservasi (LK)
belum ada. Begitu juga tentang Tim Akreditasi penilai kinerja penangkaran dan Lembaga
Konservasi belum ada.
5. Kurang sinkronnya kebijakan pemanfaatan biota laut/air tawar yang tidak dilindungi UU dan
tidak masuk Appendiks CITES. Selama ini pelaksanaannya dilakukan DKP sehingga sulit
kontrolnya. Pola pemanfaatan biota laut/air tawar yang tidak dilindungi UU namun masuk
Appendiks CITES juga belum jelas (contoh: Labi-labi dan Kura-kura). Keterlibatan PHKA
selama ini karena kapasitas PHKA sebagai Management Authority CITES.
6. Belum mantapnya sistem dan koordinasi pengendalian dan pengawasan peredaran tumbuhan
dan satwa liar dengan instansi terkait, khususnya di daerah terbatas di bandar udara dan
bandar laut, mengingat sampai dengan saat ini Departemen Kehutanan tidak termasuk dalam
tugas Custom, Immigration and Quarantine (CIQ).
Dengan mengacu kepada visi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
(PHKA), maka disusunlah visi Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati : Terwujudnya
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya bagi Kesejahteraan
Masyarakat. Sedangkan misi Direktorat Konservasi Keanekaragaman hayati yang
dikembangkan dari strategi konservasi dunia terdiri dari :
1. Melindungi dan memelihara proses ekologis esensial dan sistem penyangga kehidupan;
2. Mengawetkan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
3. Memanfaatkan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian;
4. Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan KSDAHE.
Misi tersebut di atas dapat diwujudkan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang terdiri dari :
1. Memulihkan populasi (Population Recovery) spesies langka/ terancam punah/ kritis in situ
dan ex situ.
Akibat kerusakan habitat dan perburuan liar banyak species yang saat ini populasinya dalam
kondisi yang kritis, yang apabila tidak ada campur tangan pengelolaan yang intensif maka
peluang untuk menjadi punah dalam waktu dekat menjadi besar. Populasi jenis-jenis ini harus
dipulihkan ke tingkat aman dan secara alami dapat bertahan hidup dalam jangka panjang.
Pemulihan populasi (Population Recovery) dilaksanakan untuk mengeliminir faktor-faktor
penghambat maupun faktor penyebab turunnya populasi dan mempromosikan peningkatan
faktor-faktor yang mendukung meningkatnya populasi.Faktor-faktor di atas dapat berupa
faktor alami maupun faktor manusia, termasuk faktor pemerintah.
2. Mengelola dan mengendalikan pemanfaatan spesies terancam punah (endangered) dan
species yang populasinya melimpah di alam maupun di dalam penangkaran.
Indonesia saat ini menganut azas pemanfaatan jenis secara lestari (sustainable
utilization). Pemanfaatan secara lestari ini dalam arti pemanfaatan dapat dalam bentuk
pemanenan dari alam seperti perburuan dan perdagangan, atau pemanfaatan dari jasa yang
ditimbulkan oleh species tersebut, misalnya ekoturisme berbasis species. Pemanfaatan dalam
bentuk perdagangan, secara internasional diatur melalui konvensi yang dikenal dengan CITES
(Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora)
sehingga di lingkup nasional sistem perundang-undangan perlu disesuaikan CITES. Hal ini
berimplikasi pada perbaikan sistem pemanfaatan bukan hanya di lingkup internasional tetapi
juga secara nasional.
Pemanfaatan jenis-jenis terancam bahaya kepunahan harus sedemikian rupa sehingga tidak
menyebabkan gangguan terhadap populasi di alam dan terjadinya genetic drain. Sedangkan
untuk jenis-jenis yang populasinya belum terancam pemanfaatan dari alam harus melalui
perencanaan yang baik melalui pengembangan program pengelolaan species.
3. Mengembangkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan pengendalian pemanfaatan
jenis.
Ketidakberhasilan program konservasi sering diakibatkan oleh tidak adanya peran serta yang
baik dari masyarakat. Padahal masyarakat, terutama yang berada di sekitar habitat adalah
unsur strategis dari pengelolaan konservasi. Di masa yang lalu, pengelolaan konservasi sering
sangat eksklusif dimana hanya Pemerintah yang bergerak melakukan ini. Masyarakat justru
sering dianggap sebagai faktor yang dapat menghambat konservasi. Paradigma konservasi ke
depan harus dirubah untuk memasukkan masyarakat sebagai unsur penting dalam pengelolaan
konservasi. Kendala utama dalam masyarakat adalah rendahnya tingkat sosial ekonomi yang
berimplikasi pada rendahnya pendidikan. Hal tersebut yang pertama-tama harus diatasi agar
masyarakat dapat berperan secara lebih besar. Pola pendekatan atau konsep pengelolaan
kolaboratif (Colaborative Management), perlu diimplementasikan dan mewarnai kebijakan
konservasi species.
4. Mengendalikan populasi jenis dan habitat.
Dalam kondisi habitat yang terbatas dan populasi berkembang dengan baik karena
pengelolaan yang baik maka populasi dapat lebih besar dari kemampuan habitat untuk
mendukungnya. Namun demikian untuk jenis-jenis yang secara global maupun nasional
terancam bahaya kepunahan, populasi yang seperti itu perlu dikendalikan dengan hati-hati dan
perhitungan yang cermat. Perburuan mungkin dapat dibuka untuk musim-musim tertentu dan
dengan metoda tertentu pula. Kecuali itu perburuan perlu juga dikembangkan bagi jenis-jenis
eksotik, yang walaupun dilindungi namun di suatu daerah tertentu merupakan jenis asing yang
dapat mengganggu keberadaan jenis asli, misalnya Rusa Timor dan Monyet Ekor Panjang di
Irian. Kegiatan ini selain secara ekologis membantu lingkungan, secara ekonomis dapat
membantu masyarakat sekitar untuk mengembangkan sosial ekonominya. Bahkan apabila
dikelola dengan cara yang profesional, dapat menjadi obeyek yang mendatangkan pendapatan
bagi pemerintah.
5. Mempertahankan keanekaragaman genetik dan kemurnian jenis.
Selama ini konservasi terhadap keanekaragaman genetik hampir terlupakan. Kebijakan yang
mengarah pada konservasi genetik baik in situ maupun ex situ walaupun ada, kondisinya
sangat tersebar, dan bersifat sektoral yang dilaksanakan oleh berbagai instansi tanpa ada
koordinasi dan strategi yang jelas. Beberapa species, sebagai contoh species kayu-kayu
komersial, banyak yang sudah terancam bahaya kepunahan, sementara itu konservasi terhadap
keunggulan-keunggulan genetiknya belum dilaksanakan. Sedangkan habitat hutan alam
(terutama di dataran rendah yang kaya akan species) akan habis dalam waktu yang tidak
terlalu lama. Untuk itu harus segera dikembangkan strategi yang jelas bagi konservasi
genetik jenis-jenis kayu komersial dan jenis lain yang sedang mengalami ancaman degradasi
genetik.
6. Mengendalikan akses terhadap sumberdaya genetik untuk menunjang budidaya dan menjamin
kepemilikan sumberdaya (resource property right and benefit sharing).
Kebijakan pengendalian akses terhadap sumber daya genetik telah diamanatkan dalam
Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity/CBD). Selama ini
banyak sekali sumber daya genetik Indonesia yang dikembangkan di luar negeri dan kembali
ke Indonesia dalam bentuk produk genetik bermutu tinggi yang harus dibeli, apabila
Indonesia menginginkan untuk menggunakannya.
7. Mengembangkan sistem informasi melalui pengelolaan penelitian, pengembangan sistem
inventarisasi serta monitoring populasi dan habitat.
Pengembangan sistem informasi merupakan misi yang yang sangat mendesak untuk
dilaksanakan karena sistem informasi yang baik dan berdasar kaidah-kaidah ilmiah
merupakan dasar yang sangat relevan bagi penentuan kebijakan dan pengambilan
keputusan. Selama ini sistem informasi untuk pengambilan kebijaksanaan di bidang
konservasi sangat didasarkan pada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan
intuisi. Dalam kondisi dimana informasi yang akurat sangat kurang, prinsip tersebut sangat
relevan untuk dilakukan, namun sistem informasi akurat perlu dikembangkan agar
pengambilan keputusan dapat lebih berdasar kaidah-kaidah ilmiah.
8. Penyempurnaan dan pengembangan peraturan perundang- undangan.
Sistem peraturan perundang-undangan merupakan dasar melakukan tindakan sehari-sehari
agar strategi pengelolaan keanekaragaman hayati dapat sesuai dengan tujuan konservasi
keanekaragaman hayati. Beberapa peraturan perundangan perlu segera disempurnakan karena
sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman dan beberapa hal masih belum diatur secara
baik dalam sistem peraturan perundangan.
Undang-undang No. 5 tahun 1990 memerlukan revisi terutama pada pengaturan yang
berhubungan dengan pembagian status hukum species, pengaturan terhadap masing-masing
status species, pengenaan sanksi terhadap aturan bagi setiap status species, pengaturan
mengenai pengelolaan kolaborasi dengan masyarakat, dan sebagainya.
9. Mengembangkan jaringan kerja dengan stakeholders.
10. Pelaksanaan konservasi tidak dapat dilaksanakan hanya oleh pemerintah saja tetapi harus
dilaksanakan oleh seluruh unsur masyarakat termasuk pemerintah daerah, organisasi non-
pemerintah, dan masyarakat sekitar habitat maupun masyarakat secara luas. Kerja sama ini
perlu dikembangkan ke arah kerja sama mengenai teknis-teknis konservasi, perbaikan sistem
administrasi pemerintahan yang ramah terhadap lingkungan, penegakan hukum, sistem
informasi, dan sebagainya. Selain itu, pengembangan jaringan kerja perlu diarahkan bagi
pembinaan masyarakat sekitar hutan/ habitat dalam pengembangan sosial ekonomi yang
berdampak pada semakin efektifnya konservasi.
11. Mengoptimalkan Pelaksanaan konvensi yang berhubungan dengan keanekaragaman haya
12. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi atau mengikatkan diri dalam beberapa konvensi
yang berhubungan dengan konservasi keanekaragaman hayati (bio-diversity related
conventions), diantaranya CITES, CBD dan Ramsar. Dengan ratifikasi tersebut, Indonesia
terikat pada komitmen-komitmen yang dihasilkan dari keputusan-keputusan di dalam
konvensi yang sering berdampak langsung pada pelaksanaan konvensi tersebut di dalam
negeri. Konvensi seperti CITES bahkan mengharuskan negara anggota untuk
mengembangkan sistem legislasi nasional yang dapat melaksanakan konvensi secara efektif,
selain penegakan terhadap legislasi yang sudah dikembangkannya.
13. Mengembangkan potensi SDM di bidang pengelolaan konservasi species, genetik, ekosistem
esensial dan penegakan hukum (law enforcement).
14. Dalam memasuki millenium ketiga yang ditandai dengan era perdagangan bebas dan
teknologi informasi, serta prediksi terjadinya krisis hidupan liar dalam jangka 50 tahun yang
akan datang, maka diperlukan sumber daya manusia yang profesional bagi pengelolaan
konservasi termasuk penegakan hukumnya. Profesionalisme sumber daya manusia untuk
pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati perlu dikembangkan melalui sistem
rekrutmen dan mutasi yang terarah dengan pola pelatihan yang berkesinambungan mulai
dari pelatihan konservasi bagi pegawai baru (freshers training), pelatihan bagi pejabat
struktural, pelatihan bagi pejabat fungsional konservasi dan pelatihan bagi petugas
penegakan hukum mengenai konservasi dan kejahatan dalam bidang hidupan liar (wildlife
crimes), serta pelatihan bagi pegawai lain dan masyarakat umum tentang konservasi. Dalam
jangka panjang mungkin diperlukan semacam pusat pendidikan dan latihan khusus untuk
konservasi seperti yang ada di Amerika Serikat dengan National Conservation Training
Center (NCTC) yang digunakan untuk pelatihan bukan hanya pegawai PHKA tetapi juga
pegawai lain yang berhubungan dengan konservasi.
15. Menerapkan/ memperhatikan kesejahteraan satwa (animal welfare).
Dalam kegiatan pemanfatan satwa liar melalui kegiatan pengambilan atau penangkapan
spesimen jenis tumbuhan dan satwa liar, wajib memperhatikan kesejahteraan satwa (animal
welfare) yaitu tidak menyakiti, melukai, mematikan atau perlakuan lain yang menyebabkan
satwa tertekan (stress) pada invidu yang ditangkap maupun kelompok atau populasi yang
ditinggalkan di habitat alamnya. Selain penangkapan, juga pemanfatan satwa liar dalam
lembaga konservasi dan taman satwa wajib memperhatikan kesejahteraan satwa tersebut.
2. Synusiae
Suatu synusia adalah suatu kelompok tumbuhan dari bentuk hidup yang serupa mengisi relung
yang sama dan berperan serupa di dalam komunitas dimana bentuknya terpisah (Richards 1952);
Ini merupakan suatu bentuk hidup komunitas terpisah.
Synusiae menyediakan suatu bahan untuk menganalisa masyarakat tumbuhan yang kompleks.
Richards (1952) telah memperkenalkan suatu penggolongan yang praktis untuk synusiae hutan
hujan tropis:
4. Stratifikasi
Hutan sering dianggap menjadi lapisan atau strata dan formasi hutan berbeda untuk
mendapatkan jumlah strata berbeda & Strata ( Lapisan, atau tingkat) sering mudah dilihat dalam
hutan atau pada suatu diagram profil, tetapi kadang tidak dapat.
Mungkin pemakaian umum istilah stratifikasi untuk mengacu pada lapisan total tingginya pohon,
yang kadang-kadang diambil seperti lapisan tajuk pohon. Pandangan yang klasik lapisan pohon
yang selalu hijau dataran rendah tropis hutan hujan adalah bahwa ada lima strata, A-E. Lapisan
A merupakan lapisan paling tinggi pohon yang paling besar yang biasanya berdiri seperti
terisolasi atau kelompok yang muncul kepala dan bahu, di atas berlanjut lapisan B, kanopi yang
utama. Di bawah B adalah suatu tingkat pohon lebih rendah, Lapisan C ditunjukan bergabung
dalam B kecuali pada dua poin-poin dekat akhir. Lapisan D adalah berhutan treelets dan lapisan
E forest-floor tumbuh-tumbuhan herba dan semaian bibit kecil. Bersama-Sama ini lima lapisan
menjadi anggota synusiae dari tumbuhan autotrophic independent mekanis. Dihubungkan dengan
Lapisan struktural ini, sering kasus yang di dalam strata yang lebih rendah tajuk pohon
kebanyakan lebih tinggi dari lebar, dan sebaliknya.
Konsep struktural lapisan kelihatan hilang pada alam yang dinamis dari kanopi hutan hujan,
kenyataannya yang tumbuh dalam ditambah sejak semula. Penambalan pada berbagai ukuran
adalah tahap beragam siklum pertumbuhan hutan.
Lapisan bentuk tajuk berhubungan dengan pertumbuhan pohon. Pohon muda masih bertumbuh
tingginya lingkar hampir selalu monopodial, dengan batang tunggal (ada beberapa perkecualian,
sebagai contoh Alstonia), dan tajuk pada umumnya sempit dan jangkung. Pohon Dewasa
kebanyakan jenis adalah sympodial, tanpa batang pusat tunggal, dan beberapa dahan melanjut
untuk tumbuh menambah lebar tajuk setelah dewasa tingginya telah dicapai; paling pada
umumnya, sympodial tajuk lebih luas dibanding mereka adalah dalam, terus meningkat sangat
dengan meningkatnya umur pohon. Pohon lebih pendek belum dewasa dibanding yang tinggi.
Lapisan bentuk tajuk begitu sangat diharapkan.
Pertumbuhan Tinggi kebanyakan jenis pohon menjadi sempurna ketika hanya antara sepertiga
dan setengah mencapai lubang diameter akhir. Diikuti daun-daunan akan cenderung untuk
dipusatkan berlapis-lapis di mana suatu jenis atau suatu kelompok jenis dari dewasa serupa
tingginya mendominasi suatu posisi, sebagai contoh, di dalam hutan dipterocarp.
Lapisan struktural kadang-kadang kelihatan pada diagram profil atau di dalam hutan dan jumlah
dan tingginya lapisan akan tergantung pada tahap atau mewakili tahap siklus pertumbuhan. Tiga
lapisan pohon di dalam pohon hutan hujan tropis yang selalu hijau dataran rendah adalah suatu
yang abstrak menyenangkan menghadirkan status yang umum bangunan dan tahap dewasa
mempertimbangkan bersama-sama. Tetapi pengambilan data dari suatu area tanpa
memperhatikan langkah-langkah yang phasic akan pada umumnya mengaburkan keberadaan
lapisan, kecuali Hutan dengan sedikit jenis atau kelompok yang mendewasakan pada kemuliaan
berbeda.
Penggunaan lain dari konsep stratifikasi pada ketinggian dimana jenis pohon tertentu atau
bahkan keluarga-keluarga biasanya dewasa. Sebagai contoh, di Malaya muncul atau yang paling
atas lak terdiri kebanyakan kelompok Dipterocarpaceae dan Leguminosae. Tentang
Dipterocarpaceae, Dipterocarpus, Dryobalanops, dan Shorea menyediakan banyak yang
muncul dan sebagai pembanding Hopea dan Vatica pohon yang kecil yang B dan C lapisan.
Hanya sedikit dari 53 jenis Leguminosae Pohon didalam Malaya adalah umum seperti muncul,
terutama jenis Dialium, Koompassia, dan Sindora ( Whitmore 1972d). Hutan hujan dataran
rendah selalu hijau Dipterocarp pada umumnya puncak kanopi pada 45 m, dan umumnya pohon
individu mencapai tinggi 60 m. Pohon paling tinggi dicatat adalah Kompassia Excelsa ( 80'72 m
Malaya, 83'82 m. Sarawak; Gambar. 4.2, p. 54) dan Dryobalanops aromatica 67'1 m (
Foxworthy 1926). Timur Pilipina dipterocarps hanya di tempat penting dan kanopi lebih rendah,
sebagai contoh, Vitex cofassus Pometia pinnata di dalam Hutan dataran rendah Bougainville
pada umumnya 30- 35 m tinggi dengan muncul tersebar sampai 39 m ( Heyligers 1967).
Burseraceae dan Sapotaceae berlimpah-limpah pada lapisan kanopi utama di barat Malesia dan
lapisan puncak kanopi di timur Malesia. Pada daerah yang luas ini tingkat umumnya dikatakan
lapisan C atau lapisan pohon bawah berisi kebanyakan jenis dua famili pohon paling besar,
Euphorbiaceae dan Rubiaceae, dan banyak Annonaceae, Lauraceae, dan Myristicaceae, di
antara yang lain.
Pohon yang mencapai puncak kanopi terlihat ke atmospir eksternal, sangat trerisolasi, temperatur
tinggi, dan pergerakan angin harus dipertimbangkan, dan harus yang sesuai diadaptasikan secara
fisiologis. Di dalam kanopi microclimate sungguh berbeda, seperti telah digambarkan di
pendahuluan pada bab ini dan dilanjutkan yang berikutnya. Mengikutinya mungkin salah satu
yang dikenali dari dua kelompok yang berbeda jenis, menyesuaikan untuk diatur dua kondisi-
kondisi ini; dan menarik seluruh jenis itu, atau bahkan seluruh familinya, memanfaatkan satu
situasi atau yang lain. Jenis yang tumbuh dibawah naungan tetapi mencapai puncak dari kanopi
pada tingkat dewasa dengan hidup di dua lingkungan sangat berbeda pada tahap berbeda dalam
hidup, dan mungkin berubah secara fisiologis, meskipun demikian data eksperimen masih
sebagian besar kekurangan.
5. Bentuk Pohon
Pohon adalah bentuk hidup yang utama pada hutan hujan. Bahkan tumbuhan bawah sebagian
besar terdiri dari tambuhan berkayu bergentuk pohon berhutan; semak belukar yang terlihat
jarang, meskipun demikian lapisan D sering dengan bebas disebut lapisan semak belukar
Tajuk
Aspek yang paling penting dari bentuk pohon untuk rimbawan yang disebut dalam bagian yang
sebelumnya, adalah perbedaan antara konstruksi tajuk monopodial dan sympodial. Kebanyakan
jenis berubah ke bentuk tajuk sympodial ketika mereka dewasa tetapi beberapa mempertahankan
bentuk tajuk monopodial sepanjang seluruh hidup, sebagai contoh, semua Annonaceae dan
Myristicaceae di hutan tropis timur jauh, ini umum terjadi di antara jenis pohon kecil
berkembang di dalam kanopi. Rimbawan tertarik dengan volume kayu yang meningkat per area,
dan pohon-pohon monopodial dengan karakteristik tajuk yang sempit, merupakan subyek yang
lebih baik dalam penanaman dibandingkan jenis sympodial. Ini merupakan salah satu alasan
mengapa conifer yang akan ditanam pada tropika basah yang memiliki daya tarik lebih untuk
diperhatikan, khusunya Pinus spp tropis, dan Araucaria dan mengapa Shorea spp dari kelompok
Dipterocarpaceae kayu Meranti Merah Terang dan jenis cepat tumbuh lainnya, jenis yang
memerlukan cahaya, jenis kayu keras asli setempat, seperti Albizia falcata, Campnosperma,
Endospernum dan Octomeles, memiliki perhatian yang terbatas.
Tajuk pohon memiliki konstruksi yang tepat. Faktor utama yang menentukan bentuk tajuk adalah
pertumbuhan apical versus lateral, meristem radial simetrik versus bilateral simetrik, berselang
seling dan berirama versus pertumbuhan berlanjut dari tunas dan daun atau bunga. Kombinasi
faktor-faktor ini hanya memberikan pembatasan jumlah total dari model yang mungkin dari
konstruksi tajuk. Arsitektur pohon tidak berkorelasi baik dengan taksonomi, beberapa famili
kaya akan model, contohnya Euphorbiaceae dan yang lain miskin, contohnya Myristicaceae.
Batang Pohon
Untuk mengamati bentuk batang pohon di atas lantai hutan selalu lebih kurang seperti tiang,
sedikitnya sampai bagian yang paling rendah, dan ia merasakan seolah-olah di dalam suatu
katedral beratap hijau. Sesungguhnya ada beberapa yang pada umumnya dapat dibandingkan
dengan lilin yang kecil, dapat dilihat pada pohon yang di tebang dan kelebihannya harus dibuat
ketika membuat tabel volume untuk tujuan kehutanan.
Banir
Tinggi Banir, menyebar, bentuk permukaan dan ketebalan biasanya tetap di dalam suatu jenis
dan oleh karena itu, seperti bentuk tajuk penunjang adalah penuntun untuk identifikasi hutan.
Ada sedikit bukti yang ganjil untuk menilai kebenaran atau jika tidak menyangkut
penyamarataan yang umum bahwa pohon dengan akar ketukan dalam tidak membentuk
penunjang, dan sebaliknya.
Kulit Batang
Sesuatu kekeliruan umum bahwa semua atau sebagian pohon hutan memiliki kulit batang yang
pucat, tipis dan licin. Ini jauh dari kenyataan, hutan hujan kaya dengan warna dan bayangan dari
hitam (Dyospiros) sampai putih (Tristania), sampai warna coklat terang (Eugenia). Kecuali
batang-batang pohon yang mengarah keluar iklim mikro hutan, seperti pohon yang dalam proses
terisolasi dan pada pinggiran hutan, memiliki warna yang seragam yaitu abu-abu pucat. Sapihan
dan tiang yang kecil memiliki kulit batang yang tipis dan lembut. Batang pohon dengan diameter
di atas 0.9 m memperlihatkan suatu keaneka ragaman bentuk permukaan, secara kasar seperti
bercelah, bersisik, atau dippled, dan beberapa licin. Setelah daun, karakteristik permukaan
kulit batang dan penampilannya menjadi bantuan yang paling utama ke pengenalan jenis hutan
dan mungkin punya arti untuk taksonomi. Beberapa famili homogen kulit batangnya dan yang
lain menunjukkan pola gamut.
Bunga
Biasanya bunga berkembang berhubungan dengan batang (Cauliflory) atau cabang (ramiflory)
bervariasi antara formasi hutan hujan tropis yang berbeda. Cauliflory adalah paling umum di
hutan hujan tropis dataran rendah yang selalu hijau dan berkurang sehubungan dengan
pertambahan tinggi tempat.
Akar
Suatu Pertumbuhan, memperbaharui minat akan sistem akar pohon hutan hujan tropis dengan
pengembangan studi dalam produktivitas dan siklus hara.. Seperti kebanyakan kasus,
kebanyakan akar ditengah hutan hujan ditemukan sampai pada 0.3 m atau kira-kira pada tanah.
Banyak pohon yang sistem perakarannya dangkal dengan tidak menembus terlalu dalam
semuanya. Beberapa, mungkin sedikit, mempunyai akar ketukan dalam, tetapi oleh karena;
berhubungan dengan berbagai kesulitan dalam pelaksanaannya maka sistem perakaran sangat
sedikit dipelajari. Nye dan Greenland (1960) sudah memberi perhatian pada peran penting akar
secara relatif , beberapa menembus ke kedalaman tertentu untuk mengambil hara mineral dari
pelapukan partikel batuan atau horizon alluvial, di samping peran mereka sebagi penstabil dan
jangkar. Sesungguhnya sangat sukar untuk mengetahui akar mana yang sangat bagus dan
merupakan ciri hidup mereka. Komponen ini kemudian biasanya diremehkan, meskipun
demikian esuatu yang sangat substansial dalah menegtahui jumlah biomassa akar. Biomassa akar
merupakan urutan kesepuluh dari total biomassa dari dua hutan yang dipelajari. Hal ini
merupakan alasan yang dapat dipercaya menagapa akar terkonsentarsi di permukaan karena hara
inorganik terbentuk di sana sebagai hasil dekomposisi sisa-sisa bagian tumbuhan yang jatuh dan
hewan yang mati.
6. Epifit, pemanjat dan pencekik
Epifit dan pemanjat dibuat stratifikasi. Di dalam masing-masing synusia dua kelompok utama
dapat dikenali, suatu photophytic atau kelompok yang memerlukan matahari , menyesuaikan diri
secara morfologi maupun fisiologi dengan iklim mikro dari kanopi hutan, dan skiophytic atau
kelompok yang memerlukan keteduhan, menyesuaikan diri dengan daerah yang lebih dingin,
lebih gelap dan lebih lembab pada iklim mikro dari kanopi hutan, meskipun demikian perbdaan
ini tidak pernah absolut.
Epifit
Epifit tajuk pohon seperti kebanyakan anggrek dan Ericaceae. Dalam hutan hujan tropika
banyak tumbuh golongan epifit yang jumlahnya kurang lebih 10% dari pohon-pohon dalam
hutan hujan (Richards, 1952). Epifit adalah semua tumbuh-tumbuhan yang menempel dan
tumbuh di atas tanaman lain untuk mendapatkan sinar matahari dan air. Akan tetapi epifit
bukanlah parasit. Epifit bahkan menyediakan tempat tumbuh bagi hewanhewan tertentu
seperti semut-semut pohon dan memainkan peranan penting dalam ekosistem hutan.
Sebagian besar tanaman ini (seperti lumut, ganggang, anggrek, dan paku-pakuan) tingkat
hidupnya rendah dan bahkan lebih senang hidup di atas tumbuhtumbuhan lain daripada
tumbuh sendiri.
Pemanjat
Banyak pemanjat yang menjangkau puncak kanopi mempunyai bentuk tajuk, dan sering juga
ukuran, dari tajuk pohon. Pemanjat biasanya dengan bebas menggantung pada batang pohon, dan
dapat berubah menjadi pemanjat berkayu besar. Mereka diwakili oleh banyak famili tumbuhan.
Semua kecuali dua jenis dicurigai Gymnosperm Gnetum adalah pemanjat berkayu besar. Di
antara pemanjat berkayu besar yang paling umum adalah Annonaceae. Palm yang menjadi
pemanjat, rotan, adalah kelas penting lainnya dari pemanjat berkayu besar yang merupakan corak
hutan hujan.
Pemanjat berkayu paling besar adalah photophytes dan tumbuh prolifically di dalam
pembukaan hutan dan pinggiran hutan, menimbulkan dongeng yang populer rimba raya tebal
yang tak dapat tembus. Mereka bertumbuh dalam gap dan tumbuh dengan tajuk pada pohon
muda, maka akan ikut dengan bertumbuh tingginya penggantian kanopi. Mereka juga bertumbuh
setelah operasi penebangan dan boleh membuktikan suatu rintangan serius kepada pertumbuhan
suatu hutan
Pencekik
Para pencekik adalah tumbuhan yang memulai hidupnya sebagai epifit dan menurunkan akar ke
tanah dan meningkat dalam jumlah dan ukuran dan bertahan di bawah tekanan dan akhirnya
dapat membungkus pohon yang menjadi tuannya sehingga sering pohon itu kemudian mati.
Contoh pencekik adalah Schefflera, Fagraea, Timonius, Spondias dan Wightia.
Klasifikasi Hutan
Hutan yang merupakan kumpulan pohon-pohon pada hamparan yang luas dapat digolongkan
menurut tujuan pengelolaan sebagai berikut :
1. Susunan Jenis
Hutan murni ialah hutan yang seluruhnya atau hampir semua dari jenis yang sama.
Hutan campuran ialah hutan yang tersusun dari dua atau lebih jenis pohon.
Baik hutan murni atau campuran dapat berupa seumur, tidak seumur atau segala umur.
2. Kerapatan Tegakan
Hutan-hutan berbeda dalam hal jumlah pohon dan volume per hektar, luas bidang dasar dan
kriteria lainnya.
Perbedaan antara sebuah tegakan yang rapat dan jarang, lebih mudah dilihat bila menggunakan
kriteria pembukaan tajuknya. Sedangkan kerapatan berdasarkan volume, luas bidang dasar, dan
jumlah batang per hektar dapat diketahui melalui pengukuran. Untuk lebih praktis ada kelas
kerapatan tajuk yaitu:
1. Rapat, bila terdapat lebih dari 70% penutupan tajuk
2. Cukup, bila terdapat 40 70% penutupan tajuk
3. Jarang, bila terdapat kurang dari 40% penutupan tajuk.
Hutan yang terlalu rapat, pertumbuhannya akan lambat, karena persaingan yang keras terhadap
sinar matahari, air dan unsur hara mineral. Stagnaasi pertumbuhan akan terjadi, tetapi tidak terus
berlangsung karena pohon-pohon yang lemah akan mati karena persaingan, dan penguasaan oleh
pohon-pohon yang kuat.
Sebaliknya hutan yang terlalu jarang, terbuka atau hutan rawang, akan menghasilkan pohon-
pohon dengan tajuk besar dan banyak percabangan dengan batang yang pendek.
Hutan yang dikelola dengan baik, kerapatannya dipelihara pada tingkat yang optimum, sehingga
pohon-pohonnya dapat dengan maksimal memanfaatkan air, sinar matahari dan unsur hara dalam
tanah.
Hutan yang tajuknya kurang rapat berfungsi kurang efesien, kecuali bila ada celah yang terbuka,
diisi dengan permudaan hutan atau pohon-pohon muda. Tempat-tempat terbuka tersebut
biasanya ditumbuhi gulma yang mengganggu pertumbuhan jenis-jenis pohon utama atau
tanaman pokok.
3. Komposisi Umur
Hutan seumur adalah Suatu hutan yang ditanam pada waktu bersamaan. Meskipun demikian
ukurannya dapat berbeda karena perbedaan laju pertumbuhan.
Hutan segala umur terdiri dari pohon-pohon yang besar hingga tingkat semai. Jadi meliputi
berbagai umur maupun ukuran.
Hutan tidak seumur adalah hutan yang hanya mempunyai dua atau tiga kelompok umur atau
ukuran. Misalnya hutan yang terdiri dari pohon-pohon yang sudah masak tebang, miskin riap
dan ukuran pancangnya saja.
Hutan segala umur biasanya penyebaran ukurannya lebih beragam dan umumnya jenis yang
lebih toleran naungan. Sementara hutan seumur umumnya terdiri dari jenis intoleran. Gangguan
alam seperti angin topan, kebakaran, bencana alam ataupun penebangan berlebihan menciptakan
celah di dalam hutan sehingga menciptakan kelompok-kelompok yang tidak seumur.
Adanya variasi hutan menyebabkan sulitnya pelaksanaan praktek silvikultur, seperti pada hutan
alam produksi di berbagai tempat di Indonesia.
4. Tipe Hutan
Tipe hutan ialah istilah yang digunakan bagi kelompok tegakan yang mempunyai ciri-ciri yang
sama dalam susunan jenis dan perkembangannya. Ini disebabkan oleh faktor-faktor ekologi
tertentu, merupakan kelompok alami atau asosiasi berbagai jenis pohon yang tumbuh bersama
pada suatu daerah yang luas. Tipe hutan diberi nama menurut satu atau lebih jenis pohon yang
dominan. Cara yang lazim digunakan di Indonesia menurut formasi hutan, yaitu suatu kelompok
vegetasi yang mempunyai bentuk (life form) yang sama. Misalnya pembagian menurut Van
Steenis (1950), seperti berikut ini.
1. Hutan hujan tropika selalu hijau dataran rendah.
2. Hutan hujan tropika pegunungan rendah.
3. Hutan hujan tropika pegunungan tinggi.
4. Hutan tropika sub alpin
5. Hutan kerangas
6. Hutan pada batu kapur
7. Hutan pada batuan ultrabasa
8. Vegetasi pantai
9. Hutan bakau
10. Hutan payau
11. Hutan rawa gambut
12. Hutan rawa air tawar dan hutan rawa air musiman
13. Hutan hujan tropika semi selalu hijau.
14. Hutan gugur daun tropika lembab.
15. Formasi lain yang beriklim musiman semakin kering.
Menurut Soerianegara dan Indrawan terdapat keragaman yang besar dalam vegetasi hutan di
Indonesia, baik dari segi keadaan lingkungan dan tempat tumbuhnya, maupun dari susunan
floristiknya, sehingga pada waktu ini masih belum mungkin untuk menyusun klasifikasi vegetasi
Indonesia yang lengkap.
Klasifikasi Pohon-Pohon
dalam Sebuah Hutan
Klasifikasi pohon dalam sebuah hutan sangat berguna bagi keperluan pengelolaan
hutan. Beberapa cara disebutkan dibawah ini :
1. Klasifikasi berdasarkan ukuran, misalnya diameter setinggi dada dan tinggi pohon,
seperti dalam hutan alam produksi pada HPH :
1. Semai , tinggi sampai 1,5 cm
2. Pancang / sapihan tinggi > 1,5 m sampai diameter < 10 cm
3. Tiang diameter 10 sampai dengan 19 cm
4. Pohon inti, diameter 20 cm sampai 49 cm
5. Pohon besar, diameter > 50 cm
2. Klasifikasi berdasarkan posisi tajuk pohon.
Hal ini sangat bermanfaat pada hutan seumur seperti pada hutan tanaman jati, pinus, mahoni dan
lain-lain.
Dominan :
pohon dengan tajuk lebar di atas lapisan tajuk, menerima sinar matahari dari atas dan sebagian
dari samping.
Kodominan :
pohon dengan tajuk besar pada lapisan tajuk, menerima sinar matahari langsung dari atas dan
sebagian dari samping. Tajuk agak lebih kecil dari dominan, tetapi sehat dan tegar.
Tengahan:
pohon dengan bagian besar tajuk di bawah lapisan tajuk atau terjepit, menerima sebagian
matahari dari atas dan sebagian kecil atau tidak sama sekali dari samping.
Tertekan :
pohon dengan tajuk dinaungi pohon besar dan tidak menerima sinar matahari sepenuhnya, baik
dari atas maupun dari samping.
Selain klasifikasi tersebut, terdapat penggolongan berdasarkan kualitas pohon sebagai berikut :
Pohon serigala (Wolf tree) : Pohon yang menghalangi pertumbuhan pohon lain yang sehat
dan subur, tetapi kurang bernilai komersil.
Pohon buruk dan berbatang ganda : Pohon yang bentuknya kurang bernilai komersil.
Pohon berbekas luka bakar.
Pohon gerowong
Pohon membusuk
Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak
lahan. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah
hujan 2.000 -11.000 mm per tahun, rata-rata temperatur 25C dengan perbedaan temperatur yang
kecil sepanjang tahun, dan rata-rata kelembapan udara 80 %.
Tipe ekosistem hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B
(menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson), atau dapat dikatakan bahwa tipe ekosistem
tersebut berada pada daerah yang selalu basah, pada daerah yang memiliki jenis tanah Podsol,
Latosol, Aluvial, dan Regosol dengan drainase yang baik, dan terletak jauh dari pantai.
Tegakan hutan hujan tropis didominasi oleh pepohonan yang selalu hijau. Keanekaragaman
spesies tumbuhan dan binatang yang ada di hutan hujan tropis sangat tinggi. Jumlah spesies
pohon yang ditemukan dalam hutan hujan tropis lebih banyak dibandingkan dengan yang
ditemukan pada ekosistem yang lainnya. Misalnya, hutan hujan tropis di Amazonia mengandung
spesies pohon dan semak sebanyak 240 spesies.
Hutan alam tropis yang masih utuh mempunyai jumlah spesies tumbuhan yang sangat banyak.
Hutan di Kalimantan mempunyai lebih dari 40.000 spesies tumbuhan, dan merupakan hutan
yang paling kaya spesiesnya di dunia. Di antara 40.000 spesies tumbuhan tersebut, terdapat lebih
dari 4.000 spesies tumbuhan yang termasuk golongan pepohonan besar dan penting. Di dalam
setiap hektar hutan tropis seperti tersebut mengandung sedikitnya 320 pohon yang berukuran
garis tengah lebih dari 10 cm. Di samping itu, di hutan hujan tropis Indonesia telah banyak
dikenali ratusan spesies rotan, spesies pohon tengkawang, spesies anggrek hutan, dan beberapa
spesies umbi-umbian sebagai sumber makanan dan obat-obatan.
Tajuk pohon hutan hujan tropis sangat rapat, ditambah lagi adanya tumbuh-tumbuhan yang
memanjat, menggantung, dan menempel pada dahan-dahan pohon, misalnya rotan, anggrek, dan
paku-pakuan. Hal ini menyebabkan sinar matahari tidak dapat menembus tajuk hutan hingga ke
lantai hutan, sehingga tidak memungkinkan bagi semak untuk berkembang di bawah naungan
tajuk pohon kecuali spesies tumbuhan yang telah beradaptasi dengan baik untuk tumbuh di
bawah naungan.
Itu semua merupakan ciri umum bagi ekosistem hutan hujan tropis. Selain ciri umum yang telah
dikemukakan di atas, masih ada ciri yang dimiliki ekosistem hutan hujan tropis, yaitu kecepatan
daur ulang sangat tinggi, sehingga semua komponen vegetasi hutan tidak mungkin kekurangan
unsur hara. Jadi, faktor pembatas di hutan hujan tropis adalah cahaya, dan itu pun hanya berlaku
bagi tumbuh-tumbuhan yang terletak di lapisan bawah. Dengan demikian, herba dan semak yang
ada dalam hutan adalah spesies-spesies yang telah beradaptasi secara baik untuk tumbuh di
bawah naungan pohon.
Menurut ketinggian tempat dari permukaan laut, hutan hujan tropis dibedakan menjadi tiga zona
atau wilayah sebagai berikut.
1. Zona 1 dinamakan hutan hujan bawah karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 0
-1.000 m dari permukaan laut.
2. Zona 2 dinamakan hutan hujan tengah karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat
1.000 - 3.300 m dari permukaan laut.
3. Zona 3 dinamakan hutan hujan atas karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat
3.300 - 4.100 m dari permukaan laut.
4. Hutan Savana
Hutan savana merupakan hutan yang banyak ditumbuhi kelompok semak belukar diselingi
padang rumput dengan jenis tanaman berduri. Periode musim kemarau 4 6 bulan dengan curah
hujan kurang dari 1.000 mm per tahun. Jenis-jenis yang tumbuh di hutan ini umumnya dari
Famili Leguminosae dan Euphorbiaceae. Tipe Hutan ini umum dijumpai di Flores, Sumba dan
Timor.
Contoh :
Hutan pada tipe azonal umumnya dipengaruhi oleh kondisi tanah dan air serta kondisi tempat
tumbuh yang miskin hara.
1. Hutan Mangrove
Hutan yang berada di tepi pantai, didominir oleh pohon-pohon tropika atau belukar dari genus
Rhizophora, Languncularia, Avicennia dan lain-lain.
Banjir yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia akibat kerusakan hutan. Banjir hanya salah
satu akibat dari kerusakan hutan yang berdampak pada lingkungan hidup. Tidak hanya banjir
pada musim hujan, bahaya kekeringan terjadi ketika musim kemarau datang.
Bila hutan masih terjaga dengan baik memiliki pohon-pohon yang rimbun, hutan dapat menyerap
air ketika hujan datang dan menyimpannya dalam tanah di celah-celah perakaran, kemudian
melepaskannya secara perlahan melalui daerah aliran sungai.
Hutan mengontrol fluktuasi debit air pada sungai sehingga pada saat musim hujan tidak meluap
dan pada saat musim kemarau tidak kering. Di sini hutan berfungsi sebagai pengatur hidro-
orologis bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Selain banjir dan kekeringan,
masih banyak lagi dampak negatif dari kerusakan hutan. Kerusakan lingkungan hutan seperti ini
merupakan kerusakan akibat ulah manusia yang menebang pohon pada daerah hulu sungai
bahkan pembukaan hutan yang dikonversi dalam bentuk penggunaan lain.
Gambar. Kerusakan Hutan akibat Ulah Manusia
Terganggunya sistem hidro-orologis akibat kerusakan hutan. Banjir pada musim hujan dan
kekeringan pada musim kemarau merupakan salah satu contoh dari tidak berfungsinya hutan
untuk menjaga tata air. Air hujan yang jatuh tidak dapat diserap dengan baik oleh tanah, laju
aliran permukaan atau runoff begitu besar. Air Hujan yang jatuh langsung mengalir ke laut
membawa berbagai sedimen dan partikel hasil dari erosi permukaan. Terjadinya banjir bandang
dimana-mana yang menimbulkan kerugian harta maupun nyawa. Masyarakat yang terkena
dampaknya kehilangan harta benda dan rumah tempat mereka berteduh akibat terbawa banjir
bandang, bahkan ditambah kerugian jiwa yang tak ternilai harganya.
Pengertian dan definisi dari kerusakan hutan adalah berkurangnya luasan areal hutan karena
kerusakan ekosistem hutan yang sering disebut degradasi hutan ditambah juga penggundulan dan
alih fungsi lahan hutan atau istilahnya deforestasi. Studi CIFOR (International Forestry
Research) menelaah tentang penyebab perubahan tutupan hutan yang terdiri dari perladangan
berpindah, perambahan hutan, transmigrasi, pertambangan, perkebunan, hutan tanaman,
pembalakan dan industri perkayuan. Selain itu kegiatan illegal logging yang dilakukan oleh
kelompok profesional atau penyelundup yang didukung secara illegal oleh oknum-oknum.
Pembukaan areal hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit ditunding sebagai salah satu
penyebab kerusakan hutan. Hutan yang didalamnya terdapat beranekaragam jenis pohon dirubah
menjadi tanaman monokultur, menyebabkan hilangnya biodiversitas dan keseimbangan ekologis
di areal tersebut. Beberapa jenis satwa yang menjadikan hutan tersebut sebagai habitatnya akan
berpindah mencari tempat hidup yang lebih sesuai. Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa
sawit pada areal hutan tropis merupakan salah satu pemicu terjadinya kebakaran hutan dan
berdampak negatif terhadap emisi gas rumah kaca.
Gambar. Konversi Hutan menjadi Lahan Perkebunan Kelapa Sawit
Hasil Penelitian terakhir dari CIFOR mengungkapkan beberapa dampak negatif dari perubahan
penggunaan lahan untuk produksi bahan bakar nabati atau biofuel. Pembangunan perkebunan
kelapa sawit pada lahan gambut, menyebabkan emisi karbon yang dihasilkan dari konversi lahan
memerlukan waktu ratusan tahun untuk proses pemulihan seperti sedia kala.
Data kerusakan hutan di Indonesia masih simpang siur, ini akibat perbedaan persepsi dan
kepentingan dalam mengungkapkan data tentang kerusakan hutan. Laju deforestasi di
Indonesia menurut perkiraan World Bank antara 700.000 sampai 1.200.000 ha per tahun, dimana
deforestasi oleh peladang berpindah ditaksir mencapai separuhnya. Namun World Bank
mengakui bahwa taksiran laju deforestasi didasarkan pada data yang lemah.
Sedangkan menurut FAO, menyebutkan laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1.315.000
ha per tahun atau setiap tahunnya luas areal hutan berkurang sebesar satu persen (1%). Berbagai
LSM peduli lingkungan mengungkapkan kerusakan hutan mencapai 1.600.000 2.000.000 ha
per tahun dan lebih tinggi lagi data yang diungkapkan oleh Greenpeace, bahwa kerusakan hutan
di Indonesia mencapai 3.800.000 ha per tahun yang sebagian besar adalah penebangan liar atau
illegal logging. Sedangkan ada ahli kehutanan yang mengungkapkan laju kerusakan hutan di
Indonesia adalah 1.080.000 ha per tahun.
Penyusutan lahan basah dikarenakan berubahnya fungsi rawa sebesar 37,2 persen dan mangrove
32,4 persen. Luas hutan mangrove berkurang dari 5,2 juta ha tahun 1982 menjadi 3,2 juta ha
tahun 1987 dan menciut lagi menjadi 2,4 juta ha tahun 1993 akibat maraknya konversi mangrove
menjadi kawasan budi daya (Suryadiputra, 1994, Dahuri et al, 2001).
Luas terumbu karang Indonesia diduga berkisar antara 50.020 Km2 (Moosa dkk, 1996 dalam
KLH,2002) hingga 85.000 Km2 (Dahuri 2002). Hanya sekitar 6 persen terumbu karang dalam
kondisi sangat baik, diperkirakan sebagian terumbu karang Indonesia akan hilang dalam 10-20
tahun dan sebagian lainnya akan hilang dalam 20-40 tahun.
Rusaknya terumbu karang mempunyai dampak pada masyarakat pesisir, misalnya berkurangnya
mata pencaharian nelayan kecil.
Kepunahan Spesies
Satu spesies diperkirakan punah setiap harinya (KMNLH, 1997). Inventarisasi yang dilakukan
oleh badan-badan internasional, seperti International Union for Conservation of Nature and
Natural Resources (IUCN) dapat dijadikan indikasi tentang keterancaman spesies. Pada 1988
sebanyak 126 spesies burung, 63 spesies binatang lainnya dinyatakan berada di ambang
kepunahan (BAPPENAS, 1993).
Pada 2002, Red data List IUCN menunjukan 772 jenis flora dan fauna terancam punah, yaitu
terdiri dari 147 spesies mamalia,114 burung, 28 reptilia, 68 ikan, 3 moluska, dan 28 spesies
lainnya serta 384 spesies tumbuhan. Salah satu spesies tumbuhan yang baru-baru ini juga
dianggap telah punah adalah ramin (Gonystylus bancanus). Spesies tersebut sudah dimasukkan
ke dalam Appendix III Convention of International Trade of Endengered Species of Flora and
Fauna (CITES).Sekitar 240 spesies tanaman dinyatakan mulai langka, diantaranya banyak yang
merupakan kerabat dekat tanaman budidaya. Paling tidak 52 spesies keluarga anggrek
(Orchidaceae) dinyatakan langka.
Kepunahan jenis di Indonesia terutama disebabkan oleh degradasi habitat (deforestasi, perubahan
peruntukan lahan), bencana (kebakaran), eksploitasi secara tidak bijaksana
(perburuan/pemanenan liar) dan masuknya spesies asing invasif serta perdagangan satwa liar.
Perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar Indonesia. Lebih dari
90 persen satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran.
Lebih dari 20 persen satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak.
Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas
diIndonesia, seperti orangutn, penyu, beberapa jenis burung, harimau Sumatera dan beruang.
Semakin langka satwa tersebut semakin mahal pula harganya. Pada tahun 2002 sekitar 1.000
ekor orangutan diburu dari hutan Kalimantan untuk diperdagangkandan juga diselundupkan ke
luar negeri. Menurut Yayasan Gibbon, jumlah orangutan di Indonesia saat ini sekitar 14.000
ekor. Di beberapa daerah, telah terjadi kepunahan lokal beberapa spesies, seperti lutung Jawa di
beberapa daerah di Banyuwangi.
Untuk perdagangan penyu, dunia internasional telah memberikan perhatiannya sejak lima
belastahun terakhir. Tahun 1990-an, beberapa lembaga internasional seperti Greenpeace telah
mempublikasikan terjadinya perdagangan dan pembantaian ribuan penyu per tahun di Bali. Isu
boikot pariwisata terhadap Bali pun mencuat sebagai respon dari kepedulian masyarakat
internasional terhadap nasib malang penyu-penyu yang bebas diperdagangkan di Bali.
Kemudian isu boikot pariwisata Bali semakin mereda seiring dengan berjalannya waktu dan
munculnya isu yang mengatakan bahwa perdagangan penyu di Bali telah menurun. Namun
investigasi ProFauna Indonesia di tahun 1999 membuktikan bahwa perdagangan penyu di Bali
masih berlangsung. ProFauna Indonesia mencatat ada sekitar 9000 ekor penyu yang
diperdagangkan hanya dalam kurun waktu empat bulan, yaitu Mei hingga Agustus 2001.
Kemudian untuk jenis burung yang diperdagangkan sebanyak 47 persen burung paruh bengkok
yang diperdagangkan adalah termasuk jenis yang dilindungi, antara lain Cacatua sulphurea,
Cacatua gofini, Eclectus roratus, Lorius lory, dan Cacatua galerita. Jenis burung yang paling
banyak diperdagangkan adalah Lorius lory.
Hutan gambut adalah hutan yang tumbuh di atas kawasan yang digenangi air dalam keadaan
asam dengan pH 3,5 - 4,0. Hal itu tentunya menjadikan tanah sangat miskin hara. Menurut
Indriyanto (2005), hutan gambut didefinisikan sebagai hutan yang terdapat pada daerah
bergambut ialah daerah yang digenangi air tawar dalam keadaan asam dan di dalamnya terdapat
penumpukan bahan bahan tanaman yang telah mati.
Ekosistem hutan gambut merupakan suatu tipe ekosistem hutan yang cukup unik karena tumbuh
di atas tumpukan bahan organik yang melimpah. Daerah gambut pada umumnya mengalami
genangan air tawar secara periodik dan lahannya memiliki topografi bergelombang kecil
sehingga menciptakan bagian-bagian cekungan tergenang air tawar.
Arief (1994) mengemukakan bahwa gambut itu terjadi pada hutan-hutan yang pohonnya
tumbang dan tenggelam dalam lumpur yang hanya mengandung sedikit oksigen, sehingga jasad
renik tanah sebagai pelaku pembusukan tidak mampu melakukan tugasnya secara baik. Akhirnya
bahon-bahan organik dari pepohonan yang telah mati dan tumbang tertumpuk dan lambat laun
berubah menjadi gambut yang tebalnya bisa mencapai 20 m.
Menurut Irwan (1992), gambut adalah suatu tipe tanah yang terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan
(akar, batang, cabang, ranting, daun, dan lainnya) dan mempunyai kandungan bahan organik
yang sangat tinggi. Permukaan gambut tampak seperti kerak yang berserabut, kemudian bagian
dalam yang lembap berisi tumpukan sisa-sisa tumbuhan, baik itu potongan-potongan kayu besar
maupun sisa-sisa tumbuhan lainnya. Anwar dkk. (1984 dalam Irwan, 1992) mengemukakan
bahwa gambut dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, yaitu gambut ombrogen dan gambut
topogen.
1. Gambut ombrogen
Bentuk gambut ini umum dijumpai dan banyak ditemukan di daerah dekat pantai dengan
kedalaman gambut mencapai 20 m. Air gambut itu sangat asam dan sangat miskin hara
(oligotrofik) terutama kalsium karena tidak ada zat hara yang masuk dari sumber lain, sehingga
tumbuhan yang hidup pada tanah gambut ombrogen menggunakan zat hara dari gambut dan dari
air hujan.
2. Gambut topogen
Bentuk gambut seperti ini tidak sering dijumpai, biasanya terbentuk pada lekukan-lekukan tanah
di pantai-pantai (di balik bukit pasir) dan di daerah pedalaman yang drainasenya terhambat. Air
gambut ini bersifat agak asam dan mengandung zat hara agak banyak (mesotrofik). Tumbuhan-
tumbuhan yang hidup pada tanah gambut topogen masih mendapatkan zat hara dari tanah
mineral, air sungai, sisa-sisa tumbuhan, dan air hujan.
Tipe ekosistem hutan gambut ini berada pada daerah yang mempunyai tipe iklim A dan B (tipe
iklim menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson), pada tanah organosol yang memiliki lapisan
gambut setebal lebih dari 50 cm (Santoso,1996; Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Hutan
gambut itu pada umumnya terletak di antara hutan rawa dan hutan hujan.
Vegetasi yang menyusun ekosistem hutan gambut merupakan spesies-spesies tumbuhan yang
selalu hijau (evergreen). Spesies-spesies pohon yang banyak dijumpai di dalam ekosistem hutan
gambut antara lain Alstonia spp., Dyera spp., Durio carinatus, Palaquium spp., Tristania spp.,
Eugenia spp., Cratoxylon arborescens, Tetramerista glabra, Dactyloeladus stenostachys,
Diospyros spp., dan Myristica spp. Khusus di Kalimantan dan Sumatra Selatan, pada ekosistem
hutan gambut banyak dijumpai Gonystylus spp.
Ekosistem Hutan Rawa
Ciri dari tipe ekosistem Hutan Rawa adalah hutan yang tumbuh pada daerah-daerah yang selalu
tergenang air tawar, tidak dipengaruhi iklim. Pada umumnya terletak dibelakang hutan payau
dengan jenis tanah aluvial dan aerasinya buruk. Tegakan hutan selalu hijau dengan pohon-pohon
yang tinggi bisa mencapai 40 m dan terdiri atas banyak lapisan tajuk.
Tipe ekosistem hutan rawa terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia, misalnya di Sumatra
bagian Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku dan Irian Jaya bagian Selatan.
Vegetasi yang menyusun ekosistem hutan rawa termasuk kategori vegetasi yang selalu hijau, di
antaranya adalah berupa pohon-pohon dengan tinggi mencapai 40 meter dan mempunyai
beberapa lapisan tajuk. Oleh karena hutan rawa ini mempunyai beberapa lapisan tajuk (beberapa
stratum), maka bentuknya hampir menyerupai ekosistem hutan hujan tropis. Spesies-spesies
pohon yang banyak terdapat dalam ekosistem hutan rawa antara lain Eucalyptus degulpta,
Palaquium leiocarpum, Shorea uliginosa, Campnosperma macrophylla, Gareinia spp., Eugenia
spp., Canarium spp., Koompassia spp., Calophyllum spp., Xylopia spp.. Pada umumnya spesies-
spesies tumbuhan yang ada di dalam ekosistem hutan rawa cendenmg berkelompok membentuk
komunitas tumbuhan yang miskin spesies. Dengan kata lain, penyebaran spesies tumbuhan yang
ada di ekosistem hutan rawa itu tidak merata.
Klasifikasi menurut Koeppen (1936), Koeppen dan Trewartha (1943) merupakan klasifikasi
yang paling banyak digunakan. Sistem ini didasarkan pada pengaruh iklim terhadap
pertumbuhan vegetasi yang selanjutnya dikelompokkan dalam lima kelompok besar yaitu :
- Iklim Hutan Tropis (A)
- Iklim Tropis Kering (B)
- Iklim Savana
- Iklim Stepa
- Iklim Gurun
Iklim Hutan Tropis (A), secara umum dicirikan oleh suhu rata-rata bulanan lebih dari atau sama
dengan 180 C, dengan suatu klasifikasi lebih lanjut berdasarkan besarnya curah hujan bulanan
dan distribusinya lebih lanjut, sebagai berikut :
Af : tanpa bulan kering, hujan sepanjang tahun dengan curah hujan bulanan lebih dari 60 mm.
Am : memiliki bulan kering yang pendek, dimana pada bulan kering lapisan tanah bagian
dalam tetap lembab dan curah hujan rata-rata tahunan tinggi.
Aw : hujan pada bulan kering
As : jarang dijumpai.
Ketinggian tempat merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kondisi iklim, baik dari segi
suhu, kelembaban udara maupun curah hujan, yang selanjutnya mempengaruhi vegetasi yang
ada. Masing-masing zona ketinggian tempat memiliki karakteristik yang berbeda-beda, baik dari
segi floristik, komposisi maupun struktur. Klasifikasi menurut ketinggian tempat secara umum
sebagai berikut :
1. Hutan Tropis Dataran Rendah (0 kurang dari 800 m dpl.)
Famili penyusun hutan ini untuk wilayah Asia Tenggara, yaitu : Dipterocarpaceae, Annonaceae,
Bombacaceae, Guttiferae, Sapindaceae, Euphorbiaceae, Dilleniacee, Leguminoceae, Meliaceae,
Sterculiaceae.
2. Hutan Tropis Dataran Tinggi/ Pegunungan (800-1.500 m dpl.)
Famili penyusun hutan ini untuk wilayah Asia Tenggara, yaitu : Fagaceae, Lauraceae,
Myrtaceae, Araucariaceae, Juglandaceae.
3. Hutan Tropis Pegunungan Tinggi (lebih dari 1.500 m dpl.)
Famili penyusun tipe hutan ini untuk wilayah Asia Tenggara, yaitu : Myrtaceae, Podocarpaceae.
Pada sistem klasifikasi ini dasar yang dipakai adalah ciri-ciri luar vegetasi yang mudah dikenali
dan dibedakan, seperti semak, rumput, pohon dan lain-lain. Ciri lebih lanjut seperti
menggugurkan daun, selalu hijau, tinggi dan derajad penutupan tegakan dapat pula diterapkan.
Ciri-ciri yang umum digunakan yaitu :
- Tinggi vegetasi, yang berkaitan dengan strata yang nampak oleh mata biasa
- Struktur, berpedoman pada susunan stratum (A, B, C, D dan E), dan penutupan tajuk
(Coverage).
- Life-form atau bentuk hidup atau bentuk pertumbuhan, merupakan individu-individu penyusun
komunitas tumbuh-tumbuhan.
Tipe hutan berdasarkan sosiologi vegetasi merupakan pengklasifikasian hutan berdasarkan jenis
yang dominan pada hutan tersebut atau berdasarkan famili yang dominan di daerah itu. Contoh :
Hutan Dipterocarpaceae di Asia Tenggara, merupakan hutan tropis yang umum dijumpai dan
Famili yang mendominasi adalah Famili Dipterocarpaceae.
Hutan Shorea albida di Serawak, merupakan hutan tropis yang didominasi jenis Shorea
albida.
Hutan Ebony (Diospyros sp) di Sulawesi, merupakan hutan tropis yang didominasi oleh
Ebony atau kayu hitam.
Hutan Mahoni di Jawa, meupakan hutan musim yang didominasi oleh mahoni di pulau Jawa.
HUTAN ALAM :|: Pohon tumbuh secara alami sejak dulu kala ::.
Pengertian dari Hutan Alam adalah hutan yang ditumbuhi pohon-pohon secara alami dan sudah
ada sejak dulu kala. Hutan alam yang dapat bertahan tanpa ada campur tangan manusia atau pun
tidak terjadi eksploitasi hutan disebut "Hutan Primer". Hutan Primer terpelihara dengan baik
sering disebut Hutan Perawan atau Virgin Forest. Sedangkan hutan yang telah terdapat intervensi
manusia didalamnya atau juga faktor bencana alam dapat terbentuk hutan alam sekunder.
Indonesia mempunyai hutan alam yang sangat luas, tetapi semakin hari luasan hutan alam ini
terus berkurang. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Indonesia kehilangan 1,6 - 2 juta hektar
hutan alam setiap tahun. Hutan alam Indonesia pada umumnya ditumbuhi oleh jenis-jenis
Dipterocarpaceae, yang merupakan jenis kayu yang laku di pasaran, sehingga hutan alam ini
merupakan sasaran eksploitasi.
Komposisi jenis penyusun hutan alam di Indonesia berbeda-beda tergantung lokasi tempat
tumbuhnya hutan tersebut. Jenis-jenis pohon di hutan alam Indonesia bagian barat berbeda
dengan Indonesia bagian timur walaupun ada juga jenis yang menyebar luas dari barat sampai ke
timur. Ada beberapa zone tumbuhan hutan alam di Indonesia yaitu zone hutan alam bagian
barat, zone hutan alam bagian timur dan zone peralihan atau bagian tengah.
PENGERTIAN DAN DEFINISI HUTAN PRIMER
Pengertian dan Definisi dari Hutan Primer adalah Hutan Alam yang masih utuh yang belum
mengalami gangguan eksploitasi oleh manusia. Karena belum adanya intervensi manusia hutan-
hutan primer ini serang disebut juga hutan perawan atau virgin forest.
Beberapa Sifat-sifat dan ciri hutan primer dapat dijelaskan sebagai berikut :
Hutan primer di Indonesia karena perbedaan tapak, timbul struktur dan tipe hutan yang beraneka
ragam, sehingga tidak ada cara yang berlaku umum untuk pengelolaannya. Masing-masing hutan
alam primer harus diteliti untuk mengetahui cara spesifik dalam pengelolaannya. Hutan Primer
di Indonesia bagian barat mempunyai karakteristik yanbg berbeda dengan hutan primer di
Indonesia bagian Timur.
Jenis pohon pada hutan primer sangat banyak mencapai 40-80 jenis per ha, sehingga jumlah
batang per jenis sangat sedikit. Jumlah jenis pada hutan alam primer di Asia ternggara termasuk
di Indonesia diperkirakan 12.000 - 15.000 spesies untuk pohon yang berukuran diameter 10 cm
keatas.
Jenis-jenis pohon bercampur individual walaupun ada juga jenis-jenis yang hidup berkelompok.
Pada suatu tapak terdapat variasi struktur dan komposisi. Walaupun lokasinya tidak berjauhan
tetapi dapat terjadi kemungkinan perpedaan struktur dan komposisi jenis karena kondisi tapak
yang berbeda.
Frekwensi jenis pada umumnya rendah, namun ada juga yang penyebarannya vertikal dan
horisontalnya tinggi.
Struktur penyebaran diameter pohon berbentuk kurva grafik plenter (huruf J terbalik ), yaitu
jenis dengan diameter yang berukuran kecil lebih banyak dibandingkan dengan diameter yang
berukuran besar.
Pada hutan primer hanya terdapat sedikit batang yang mulus, pohon-pohon besar sering bolong.
Hanya sedikit (0-20%) jenis pohon niagawi, volume terjual sekitar 0-20 m3/ha, kecuali hutan
dipterocarpaceae yang mengandung banyak kayu seragam.
Riap pertumbuhan pada hutan primer kecil, dalam skala yang luas besarnya nol.
Walaupun terdapat permudaan namun jumlahnya sering sedikit saja. Hal ini diakibatkan karena
tumbuhan-tumbuhan muda hanya dapat memanfaatkan cahaya dari gap atau celah yang
terbentuk karena tumbangnya pohon-pohon yang sudah tua.
Pengertian dan Definisi dari Hutan Sekunder yang dikemukakan oleh Lamprecht (1986) adalah
hutan yang tumbuh dan berkembang secara alami sesudah terjadi kerusakan/perubahan pada
hutan yang pertama. Hutan sekunder merupakan fase pertumbuhan hutan dari keadaan tapak
gundul, karena alam ataupun antropogen, sampai menjadi klimaks kembali.
Beberapa ciri dari hutan sekunder dapat dilihat dibawah ini :
Komposisi dan struktur tidak saja tergantung tapak namun juga tergantung pada umur.
Tegakan muda berkomposisi dan struktur lebih seragam dibandingkan hutan aslinya.
Tak berisi jenis niagawi. Jenis-jenis yang lunak dan ringan, tidak awet, kurus, tidak laku.
Persaingan ruangan dan sinar yang intensif sering membuat batang bengkok.
Jenis-jenis cepat gerowong. Riap awal besar, lambat laun mengecil.
Karena struktur, komposisi dan riapnya tidak akan pernah stabil, sulit merencanakan pemasaran
hasilnya.
Sedangkan Catterson (1994) mendefinisikan Hutan Sekunder sebagai Suatu bentuk hutan dalam
proses suksesi yang mengkolonisasi areal-areal yang sebelumnya rusak akibat sebab-sebab alami
atau manusia, dan yang suksesinya tidak dipengaruhi oleh vegetasi asli di sekitarnya karena
luasnya areal yang rusak. Bentuk-bentuk formasi vegetasi berikut ini dapat terbentuk: lahan
kosong / padang-padang rumput buatan / areal areal bekas-tebangan baru / areal-areal bekas
tebangan yang lebih tua.
Definisi dan Pengertian dari Hutan Tanaman Industri atau HTI adalah hutan tanaman yang
dikelola dan diusahakan berdasarkan prinsip pemanfaatan yang optimal, dengan memperhatikan
kelestarian lingkungan dan sumber daya alam. Penarapan kedua prinsip itu selalu diupayakan
agar dapat berjalan selaras dan seimbang. Dalam pembangunan nasional, sebagai yang
digariskan dalam Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1990, tujuan pengusahaan HTI adalah :
1. Menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah
dan devisa.
2. Meningkatkan produktivitas lahan dan lingkungan, serta memperluas lapangan kerja dan
lapangan usaha.
Tujuan tersebut dijabarkan lebih jauh sebagaimana yang diformulasikan oleh Ditjen
Pengusahaan Hutan (1991), bahwa tujuan pembangunan HTI antara lain adalah untuk :
1. Membangunan hutan tanaman yang secara ekonomis menguntungkan, secara ekologis sehat,
dan secara sosial bermanfaat bagi masyarakat setempat.
2. Meningkatkan produktivitas hutan dalam arti meningkatkan riap ( growth per ha/tahun),
sehingga diperoleh volume akhir daur (yield) yang tinggi.
3. Memenuhi kebutuahan bahan baku industri yang ada (existing industry), serta yang akan
dikembangkan.
Sasaran pada akhir jangka waktu pembangunan HTI, diarahkan pada pembentukan hutan yang
tertata denagan baik, terutama dalam hal pengelolaannya, komposisi dan struktur hutannya, serta
lingkungan biofisik dan sosial ekonominya. Sedangkan sasaran yang akan dicapai pada setiap
periode lima tahun, adalah pembentukan penutupan lahan dengan tumbuhan hutan yang
berkualitas, perampungan penataan kawasan, serta konsolidasi unit HTI dengan mengantisipasi
pembangunan regional dan pembangunan kehutanan daerah, termasuk pembangunan dan
pengembangan indistri perkayuan.
Pengusahaan HTI pada hakekatnya merupakan alokasi sumber daya antar waktu. Sumberdaya
tersebut berupa sumber daya alam (hutan, tanah dan air) tenaga kerja, modal, sarana/prasarana
dan kemampuan manejerial yang profesional.
Pengusahaan HTI merupakan suatu asaha yang berjangka panjang, sehingga perlu dikelola
sebaik-baiknya dengan menerapkan prinsip-prinsip ekonomi dalam pengusahaanya agar mampu
memberikan keuntungan secara terus-menerus secara lestari.
Pengusahaan HTI sangat bergantung pada keadaan alam dan memerlukan waktu panjang, serta
mengandung resiko kegagalan yang tidak kecil, terutama apabila tidak dilengkapi dengan sarana
pengendalian yang memadai. Karena sifat usaha yang demikian itu, maka perencanaan yang
matang yang meliputi seluruh tahap pengusahaan, merupakan salah satu persyaratan untuk bisa
mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan.
Pengertian dan Definisi dari Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh dan dibangun serta dikelola
oleh rakyat, pada umumnya berada di atas tanah milik atau tanah adat. Ada beberapa hutan
rakyat berada di atas tanah negara, namun hal tersebut biasanya sudah ada campur tangan dari
pemerintah. Hutan rakyat ini ditanami dengan jenis-jenis tanaman hutan, ada yang
dikombinasikan dengan tanaman semusim. Pengelolaan hutan rakyat pada umumnya
menerapkan sistem Agroforestri atau yang dikenal dengan nama Wanatani.
Menurut status tanah hutan rakyat dapat digolongkan dalam beberapa kategori, yaitu :
1. Hutan milik, yakni hutan rakyat yang dibangun di atas tanah-tanah milik. Ini merupakan
bentuk hutan rakyat yang paling umum, terutama di Pulau Jawa.
2. Hutan adat, atau dalam bentuk lain: hutan desa, adalah hutan-hutan rakyat yang dibangun di
atas tanah milik bersama; biasanya juga dikelola untuk tujuan-tujuan bersama atau untuk
kepentingan komunitas setempat.
3. Hutan kemasyarakatan (HKm), adalah hutan rakyat yang dibangun di atas lahan-lahan milik
negara, khususnya di atas kawasan hutan negara. Dalam hal ini, hak pengelolaan atas bidang
kawasan hutan itu diberikan kepada sekelompok warga masyarakat; biasanya berbentuk
kelompok tani hutan atau koperasi.
DEGRADASI HUTAN
Pengertian dan definisi dari Degradasi Hutan adalah suatu penurunan kerapatan pohon dan/atau
meningkatnya kerusakan terhadap hutan yang menyebabkan hilangnya hasil-hasil hutan dan
berbagai layanan ekologi yang berasal dari hutan. FAO mendefinisikan degradasi sebagai
perubahan dalam hutan berdasarkan kelasnya (misalnya, dari hutan tertutup menjadi hutan
terbuka) yang umumnya berpengaruh negatif terhadap tegakan atau lokasi dan, khususnya,
kemampuan produksinya lebih rendah. Penyebab-penyebab umum degradasi hutan mencakup
tebang pilih, pengumpulan kayu bakar, pembangunan jalan dan budidaya pertanian.
Sebenarnya definisi degradasi agak bersifat subjective (Lamb, 1994), memiliki arti yang berbeda
tergantung pada suatu kelompok masyarakat. Rimbawan memiliki persepsi yang bervariasi
terhadap arti degradasi. Sebagian mengatakan bahwa hutan yang terdegradasi adalah hutan yang
telah mengalami kerusakan sampai pada suatu point atau titik dimana penebangan kayu maupun
non kayu pada periode yang akan datang menjadi tertunda atau terhambat semuanya. Sedangkan
sebagian lainnya mendefinisikan hutan yang terdegradasi sebagai suatu keadaan dimana fungsi
ekologis, ekonomis dan sosial hutan tidak terpenuhi. Sedangkan menurut Oldeman (1992)
mengatakan bahwa degradasi adalah suatu proses dimana terjadi penurunan kapasitas baik saat
ini maupun masa mendatang dalam memberikan hasil (product).
BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
a. konservasi sumber daya alam dapat diartikan sebagai pengelolaan sumber daya alam yang
dapat menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragamannya.
b. Sumber daya alam itu terbagi menjadi dua yaitu sumber daya alam yang dapat diperbaharui
dan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui.
Tipe hutan berdasarkan faktor iklim umumnya diklasifikasikan berdasarkan curah hujan, suhu
udara dan ketinggian tempat. Berdasarkan curah hujan dan suhu udara maka tipe hutan tropis
terdiri dari hutan tropis basah, hutan muson basah, hutan muson kering dan hutan savanna.
Berdasarkan ketinggian tempat hutan tropis terdiri atas hutan tropis dataran endah, hutan
tropis dataran tinggi dan hutan tropis pegunungan tinggi.
2. Tipe hutan berdasarkan physiognomi didasarkan pada ciri luar vegetasi yang mudah
dikenali seperti tinggi vegetasi, struktur dan life-form. Tipe hutan ini yaitu hutan hujan tropis
dan hutan musim (muson).
3. Tipe hutan berdasarkan sosiologi vegetasi didasarkan pada famili atau jenis yang dominant
penyusun hutan tersebut. Tipe hutan ini antara lain Hutan Dipterocarpaceae di Asia Tenggara
dan Hutan Eboni di Sulawesi.
3.2 Saran
Kawasan konservasi adalah merupakan salah satu sumber kehidupan yang dapat
meningkatkan kesejahtreraan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu usaha-usaha konservasi di
Indonesia haruslah tetap memegang peranan penting dimasa yang akan datang, suatu hal yang
perlu diperhatikan adalah bahwa usaha konservasi sumber daya alam tersebut harus dapat terlihat
memberikan keuntungan kepada masyarakat luas, hal ini penting untuk mendapat dukungan dan
partisipasi seluruh lapisan masyarakat.
\