You are on page 1of 7

AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 1, No.

1, Januari 2013

TANAM PAKSA SEBAGAI TINDAKAN EKSPLOITASI

Oleh : Mifta Hermawati


S1 Pendidikan Sejarah/Universitas Negeri Surabaya

Abstrak
Cultuur Stelsel is the most exploitative conditions in the colonial Dutch East Indies.
Cultuur Stelsel is far more draconian than the VOC monopoly system, because the target revenue
badly needed state revenue by the government. Assets Cultuur Stelsel can contributed immensely
to the country Netherlands. Thus, in the year 1830-1870 was the golden age of Dutch East Indies
government. Cultuurstelsel theory does not overload the people, but in practice, Cultuurstelsel
proved highly detrimental to farmers, especially in Java, which resulted in misery, poverty and
death for the people in the colonie

A.Pendahuluan buatan negeri induk yang akan dipasarkan di


Akhir abad ke-18 di bawah Thomas daerah koloni2.
Stamford Raffles, pemerintah Belanda Golongan konservatif menganggap
mengambil alih pemilikan wilayah Hindia bahwa eksploitasi yang dijalankan di tanah
Belanda pada tahun 1816. Belanda berjaya koloni sudah sesuai dengan tuntutan situasi,
menumpaskan sebuah pemberontakan di sementara sistem eksploitasi yang
Jawa dalam perang Diponegoro pada tahun dikonsepkan oleh golongan liberal belum
1825-1830. Selepas tahun 1830, sistem sepenuhnya meyakinkan pemerintah.
tanam paksa yang dikenali sebagai Dalam situasi perbedaan pandangan
cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai ini, golongan liberal terpecah menjadi dua,
diamalkan1. Dalam sistem ini, para yakni golongan liberal yang masih
penduduk dipaksa menanam hasil-hasil mempertahankan prinsip-prinsip liberal
perkebunan yang menjadi permintaan seperti kebebasan berusaha dan campur
pasaran dunia pada saat itu, seperti teh, kopi tangan yang minimal dari pihak pemerintah
dan sebagainya. Hasil-hasil tanaman itu dalam urusan-urusan perseorangan. Di lain
kemudian dieksport ke luar negara. sisi, terdapat sekelompok dari golongan
Pada tahun 1901, pihak Belanda liberal yang menekankan pada prinsip-
mengamalkan apa yang dipanggil mereka prinsip humaniter dan menginterpretasikan
sebagai Politik Beretika (bahasa Belanda: prinsip liberal sebagai prinsip memberi
Ethische Politiek) yang tersebut Belanda keadilan dan perlindungan bagi semua
melaksanakan sistem merkantilisme yakni kepentingan. Dalam menghadapi golongan
memungut biaya yang tinggi terhadap liberal yang terpecah tersebut,golongan
barang-barang yang masuk, dan memungut konservatif dapat meyakinkan pemerintah
pajak yang tinggi pula bagi barang-barang bahwa sistem kumpeni terbukti dapat

2
Edi Cahyono,Karesidenan Pekalongan Kurun
1 Cultuur stelsel Masyarakat Pribumi Menyongsong
Bachri,Saiful.2005.SejarahPerekonomian.
Surakarta : UNS Press hlm.87 Pabrik Gula, Jakarta: Jurusuan Sejarah Fakultas
IIlmu Budaya Universitas Indonesia,1988 hlm.60
64
AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 1, No. 1, Januari 2013

dilaksanakan dan lebih efektif, sementara pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang
sistem liberal tidak dapat dilaksanakan di memberikan sumbangan besar bagi modal
negeri jajaha karena tidak sesuai dengan pada zaman keemasan kolonialis liberal
situasi dan kondisi ekonomi lokal. Hindia-Belanda pada 1835 hingga 19404.
Akibat sistem yang memakmurkan
B. Ketentuan-Ketentuan Tanam Paksa dan menyejahterakan negeri Belanda ini,
Tanam paksaatau cultuur stelsel Van den Bosch selaku penggagas
adalah peraturan yang dikeluarkan oleh dianugerahi gelar Graafoleh raja Belanda,
Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada 25 Desember 1839. Culturstelsel di
yang mewajibkan setiap desa harus Jawa dimulai pada tahun 1836 atas inisiatif
menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk seseorang yang berpengalaman dalam
ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, urusan tersebut yaitu Van Den Bosch yang
tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual telah memiliki pengalaman dalam mengelola
kepada pemerintah kolonial dengan harga perkebunan di wilayah kekuasaan Belanda
yang sudah dipastikan dan hasil panen di Kepulauan Karibia. Tujuan Van Den
diserahkan kepada pemerintah kolonial. Bosch yang dijadikan Gubernur Jenderal
Penduduk desa yang tidak memiliki tanah adalah mentransformasikan pulau Jawa
harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) menjadi eksportir besar-besaran dari produk-
pada kebun-kebun milik pemerintah yang produk agraria, dengan keuntungan dari
menjadi semacam pajak.3 Pada prakteknya penjualannya terutama mengalir ke
peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti keuangan Belanda5. Tujuan Van Den Bosch
karena seluruh wilayah pertanian wajib dengan sistem cultuurstelsel di Jawa itu
ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya adalah untuk memproduksi berbagai
diserahkan kepada pemerintahan Belanda. komoditi yang menjadi permintaan di
Wilayah yang digunakan untuk pasaran dunia.
praktek cultur stelstel pun tetap dikenakan Untuk mencapai tujuan tersebut
pajak. Warga yang tidak memiliki lahan Bosch menganjurkan pembudidayaan
pertanian wajib bekerja selama setahun berbagai produk seperti kopi, gula, indigo
penuh di lahan pertanian. Tanam paksa (nila), tembakau,teh, lada, kayumanis,
adalah era paling eksploitatif dalam praktek jarak, dan lain sebagainya. Persamaan dari
ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam semua pr oduk itu adalah bahwa petani
paksa ini jauh lebih keras dan kejam dipaksakan oleh pemerintah kolonial untuk
dibanding sistem monopoli VOC karena ada memproduksinya dan sebab itu tidak
sasaran pemasukan penerimaan negara yang dilakukan secara voluter6.
sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang
pada jaman VOC wajib menjual komoditi
tertentu pada VOC, kini harus menanam 4
Ibid 56
tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya
5
dengan harga yang ditetapkan kepada Kartodirjo, Sartono dan Djoko Suryo.
1991.Sejarah Perkebunan Indonesia :Kajian
Sosial-Ekonomi. Yogyakarta : Aditya Media hlm.12
6
3
Daryanti,Mubyarto.1991.Gula,kajiansocialekonomi Furnivall.J.S. 2009. Hindia Belanda:Studi tentang
, Yogyakarta: Aditya Media hlm.34 Ekonoi Majemuk. Jakarta: Freedom Institute
hlm.48
65
AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 1, No. 1, Januari 2013

Sedangkan ketentuan-ketentuan pengawasan apakah pembajakan tanah,


pokok dari sistem tanam paksa sebagaimana panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman
tercantum dalam staatsblad tahun 1834 berjalan dengan baik dan tepat pada
no.22. yang isinya adalah sebagai berikut. waktunya Jika diamati dari segi isi
1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan staatsblad tersebut, maka Sistem Tanam
dengan penduduk hal mana mereka Paksa tidak begitu memberatkan pada
menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penduduk.
penanaman tanaman dagangan yang dapat Dampaknya cukup destruktif
dijual di pasaran Eropa. menjadikan rakyat miskin dan tidak teratur
2. Bagian dari tanah pertanian yang hidupnya. Fenomena ini diakibatkan oleh
disediakan penduduk untuk tujuan tersebut adanya penyimpangan ketentuan-ketentuan
tidak diperbolehkan melebihi seperlima dari yang tercantum dalam staatsblad yang
tanah pertanian yang dimiliki penduduk dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda.
desa. Penduduk lebih banyak mencurahkan
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk perhatian, tenaga, dan waktunya untuk
menanam tanaman dagangan tidak boleh tanaman berkualitas ekspor, sehinga tidak
melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk dapat mengerjakan sawahnya dengan baik,
menanam padi. bahkan dalam suatu waktu tidak dapat
4. Bagian dari tanah yang disediakan untuk mengerjakan sawahnya sama sekali.
menanam tanaman dagangan dibebaskan C. Pelaksanaan Tanam Paksa
dari pembayaran pajak tanah. Tanaman Pada tahun 1830 pada saat
dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah pemerintah penjajah hampir bangkrut
yang disediakan wajib diserahkan kepada setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang
pemerintah Hindia Belanda, jika nilai-nilai Diponegoro, 1825-1830), dan Perang Padri
hasil tanaman dagangan yang ditaksir itu di Sumatera Barat (1821-1837), Gubernur
melebihi pajak tanah yang harus dibayar Jenderal Van den Bosch mendapat izin
rakyat, maka selisih positifnya harus khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa
diserahkan kepada rakyat 7. (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama
Apabila terjadi gagal panen pada mengisi kas pemerintahan jajahan yang
tanaman dagang harus dibebankan kepada kosong,atau menutup defisit anggaran
pemerintah, hal tersebut berlaku apabila pemerintah penjajahan Sistem tanam paksa
kegagalan tersebut tidak disebabkan oleh berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di
kekurangrajinan atau ketekunan pada pihak Jawa berutang sewa tanah kepada
rakyat. pemerintah, yang biasanya diperhitungkan
Dalam mengerjakan tanah-tanah senilai 40% dari hasil panen utama desa
untuk penanaman tanaman dagang, yang bersangkutan.8 Van den Bosch ingin
penduduk desa diawasi oleh para pemimpin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya
desa mereka, sedangkan pegawai-pegawai untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa
Eropa hanya akan membatasi diri pada (kopi, tebu, dan nila) Penduduk dipaksa

7 8
Racmat susanto. Industri gula di kabupaten Kendal Marieke Bloembergen,2011Polisi Zaman Hindia
pada masa kolonial,2007. Bandung : Koperasi ilmu BelandaJakarta, Kompas media nusantara bekerja
pengetahuan social hlm.67 sama dengan KITLV-Jakarta.hlm 225
66
AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 1, No. 1, Januari 2013

untuk menggunakan sebagian tanah garapan mengakibatkan dampak yang destruktif bagi
(minimal seperlima luas, 20%) dan penduduk Jawa. Luas tanah garapan yang
menyisihkan sebagian hari kerja untuk digunakan untuk sistem itu menurut
bekerja bagi pemerintah. Dengan mengikuti perhitungan, pada tahun 1840 hanya 6 %
tanam paksa, desa akan mampu melunasi saja. Pada tahun 1850 menurun menjadi 4
utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa %, dan pada tahun 1860 naik lagi sedikit
dari penjualan komoditi ekspor itu lebih menjadi 4.5 %. Jenis tanah yang dibutuhkan
banyak daripada pajak tanah yang mesti juga berbeda-beda untukmasing-masing
dibayar, desa itu akan menerima tanaman.
kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut Tebu (untuk gula) memerlukan
mesti membayar kekurangan tadi dari tanah persawahan yang baik, karena tebu
sumber-sumber lain. Sistem tanam paksa membutuhkan irigasi yang lancar. Tetapi
diperkenalkan secara perlahan sejak tahun kopi justru memerlukan tanah yang agak
1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun tandus (woeste gronden). Dalam waktu
1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di sepuluh tahun (1830-1840) semua
Jawa.9 Pemerintah kolonial memobilisasi karesidenan (18 buah) di Jawa telah terserap
lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga dalam sistem ini (kecuali karesidenan
kerja yang serba gratis. Batavia). Kopi diusahakan mulai dari
Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, Banten hingga karesidenan Basuki. Kopi
yang permintaannya di pasar dunia sedang diusahakan mulai dari Banten hingga
membubung, dibudidayakan. 1884 sekitar karesidenan Basuki di Jawa Timur.
75.5 % penduduk Jawa dikerahkan dalam Tetapi produksi kopi terbesar
cultuurstelsel atau tanam paksa. Penduduk di berasall dari karesidenan 8 karesidenan
Karesidenan Batavia dan daerah kesultanan Priangan (Jawa Barat), Kedu (Jawa Tengah),
di Jawa Tengah atau Vortsenlanden tidak Pasuruan dan Basuki (Jawa Timur). Dalam
mengambil bagian dalam sistem tersebut. jangka waktu yang sama gula telah berhasil
Jumlah tersebut kemudian berfluktuasi tetapi diusahakan di 13 karesidenan. Pusatnya
tidak turun secara drastis karena pemerintah terutama di Jawa Timur, yaitukaresidenan-
Hindia Belanda berusaha mempertahankan karesidenan Surabaya, Pasuruan, dan Basuki
eksistensi tanah untuk tanaman komoditi (dalam tahun 1840 produksi dari wilayah ini
ekspor. Kemudian pada tahun 1850, mencapai hampir 65%). Selain itu terdapat
umpamanya jumlah tersebut telah menurun gula pula dikaresidenan-karesidenan Japara,
menjadi 46 %, tetapi ditahun1860 naik lagi Semarang, Pekalongan, dan Tegal (Jawa
menjadi 54.5%. Kendatipun demografi Tengah) dan Cirebon (Jawa Barat). Dalam
belum muncul pada masa ini, dan data jangka waktu yang sama pula Indigo
kependudukan yang diperoleh dari laporan- berhasil diusahakan dii 11 karesidenan,
laporan para pejabat Belanda sering simpang Tetapi produksi utama berasal dari dua
siur, namun dapat dikatakan bahwa sistem karesidenan di Jawa Tengah, yaitu Bagelan
cultuurstelsel ini jelas-jelas telah dan Banyumas, yang menghasilkan 51%.
Juga di Cirebon dan Pekalongan ada
9
Linbald, J. Thomas. 2000. Sejarah Ekonomi diusahakan sedikit indigo.
Modern Indonesia Berbagai Tantangan Baru.
Jakarta : LP3ES hlm. 80
67
AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 1, No. 1, Januari 2013

Tembakau yang diusahakan melalui bupati tersebut. Ini pula sebabnya selama
Cultuurstelsel dilakukan di Karesidenan dilaksanakannya cultuurstelsel,diadakan
Rembang dan sekitar Pacitan (Jawa pembagian tanah bagi penduduk yang tidak
Tengah).Sedangkankayumanisdiselenggarak memiliki (numpang), sehingga kemudian
an di Karawang (Jawa Barat). Dalam muncul sikep-sikep baru yang wajib
penyelenggaraan cultuurstelsel pihak melaksanakannya heerendiensten pula.
Belanda berusaha agar sedapat mungkin Tugas petani bukan sekedar menanam, tetapi
tidak berhubungan langsung dengan petani. juga memproses hasil panennya untuk
Sebab itu penyelenggaraannya diserahkan diserahkan di gudang-gudang pemerintah.
kepada para bupati dengan para kepala desa, Terutama produksi kopi seluruhnya dalam
dan masyarakat desa sendiri. tangan petani, dalam hal gula muncul pula
Kepentingan pemerintahhanya pada pabrik-pabrik guna yang dikelola secara
hasilnya, yang dihitung dalam pikol (+62 modern dengan modal asing Penduduk
kg) yang diterima oleh gudang-gudang mendapat bayaran untuk hasil kerjanya.
pemerintah. Selain itu penyelenggaraannya Maksud semula Van den Bosch
juga bervariasi dari satu tempat ketempat adalah agar upah disesuaikan dengan
lain karena pemerintah pusat lebih banyak fluktuasi harga pasar, namun halini dinggap
menyerahkan penguasannya kepada para tidak praktis. Mungkin karena para petani
pejabat Belanda setempat (para kontrolir) belum memahami kaitan pekerjaan mereka
yang mempunyai motivasi untuk dengan mekanisme pasar jumlah upah
meningkatkan produksi karena mereka disesuaikan dengan jumlah pajak tanah (land
memperoleh cultuurprocent prosentase rent) yang harus dibayar petani. Tetapi sejak
tertentu dari hasil panen. semula Van den Bosch menginginkan agar
Untuk itu sampai tahun 1860 upah yang diterima petani harus
dikerahkan tidak kurang 90 orang kontrolir memungkinkan mereka menikmatinya dan
dan sekitar orang pengawas berkebangsaan itu berarti harus lebih banyak dari hasil
Belanda. Mobilisasi penduduk dilakukan pesawahan.
sejalan dengan kebiasaan-kebiasaan yang Tetapi kemudian ternyata berbagai
berlaku dalam tatanan politik Mataram, faktor lain turutmenentukan tinggi
yaitu apa yang oleh Belanda dinamakan rendahnya upah petani. Masalah kesuburan
heerendiensten Yaitu kewajiban rakyat tanah (sawah untuk tebu) tentu diperkirakan
untuk melakukan berbagai tugas dengan lebih tinggi pembayaran pajak tanahnya
tidak mendapat imbalan bayaran. dibandingkan dengan tanah gersang untuk
Hak ini kemudian beralih pada kopi. Masalah iklim, teknologi yang
Belanda yang sejak Perang Diponegoro digunakan, dan lain sebagainya, turut
dianggap sebagai penguasa, kecuali di menentukan tinggi rendahnya upah.Dengan
Vortsenlanden. Beberapa jumlah penduduk demikian upah bervariasi, bukan saja untuk
yang harus dikerahkan disetiap desa itu masing-masing komoditi tetapi juga dari
diserahkan sepenuhnya pada para bupati. karesidenan-karesidenan. Contoh yang
Tetapi sesuai kebiasaan pula, hanya mereka nyata mengenai masalah upah ini diambil
yang memiliki hak atas penggarapan tanah dari dua komoditi yang berbeda, yaitu gula
(sikep) yang wajib memenuhi panggilan dan indigo (nila).

68
AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 1, No. 1, Januari 2013

Dengan demikian salah satu dampak rakyat. Akhirnya yang menjadi sapi perahan
dari cultuurstelsel adalah masuknya adalah rakyat yang tidak memiliki otoritas
ekonomi uang di pedesaan. Penduduk dalam menetapkan hasil panen tanamannya.
membayar pajak tanah (land rent) yang Ditambah lagi dengan sikap-sikap para
diintroduksi oleh Raffles dengan uang. kepala desa yang lebih sering menjadi kaki
Kenyataan ini saja sudah menunjuk adalah tangan pemerintah kolonial, sehingga
perubahan dalam kehidupan pedesaan.Suatu kebijakannya seenaknya dalam menetapkan
masalah yang penting pula adalah apa yang luas lahan penduduk yang akan digunakan
dinamakan cultuur procent yaitu jumlah untuk areal penanaman wajib, berapa
persentase yang diterima para pejabat penduduk yang harus bekerja sebagai buruh,
Belanda maupun sesuai dengan produksi termasuk menetapkan berapa hasil produksi
yang diserahkan pada gudang-gudang yang harus dibayar oleh penduduk.
pemerintah10. Ketimpangan yang diwujudkan oleh
Jumlah itu tidak jarang jauh lebih pelaksanaan politik tanam paksa ini mulai
besar dari gaji yang diterima. Van den mendapat perhatian di Belanda, dimana
Bosch sengaja menambah hal ini untuk halini berhubungan dengan kemunculan
mendorong para pejabat tersebut bekerja gerakan liberal di negeri induk tersebut.
keras. Lagi pula cara itu juga sudah dipakai Secara umum mereka dapat digolongkan ke
dalam Preangerstelsel.Dengan demikian, dalam dua kategori yaitu golongan humanis
cara ini sesungguhnya bukan ciptaan Van dan golongan kapitalis.
den Bosch. Cultuur procenten ternyata Golongan humanis mengatakan
membawa dampak yang kurang baik dalam bahwa Siatem Tanam Paksa harus segera
korps kepegawaian Belanda karena dihapuskan karena telah banyak menindas
menimbulkan perbedaan pendapatan yang dan menyengsarakan penduduk di tanah
mencolok antara mereka yang terlibat jajahan. Dalam terminologinya, padahal
dengan cultuurstelsel dan yang tidak dan tanah jajahan telah memiliki kontribusi yang
antara mereka yang bekerja di daerah sangat besar dalam menyelamatkan negara
kurus. Ketidakpuasan pada pihak pejabat dari kebangkrutan. Dengan demikian, perlu
Belanda nampak dari permintaan untuk di diupayakan perbaikan-perbaikan nasib
pindahkan ke daerah lain. Penyimpangan rakyat tanah jajahan. Sementara golongan
pelaksanaan Sistem Tanam Paksa tersebut kapitalis beranggapan bahwa Sistem Tanam
lebih banyak diakibatkan oleh adanya Paksa tidak menciptakan kehidupan
cultuur-procenten,sehingga para pengawas ekonomi yang sehat. Sistem Tanam Paksa
tanam paksa yang menyetorkan tanaman memperlakukan rakyat tanah jajahan sebagai
wajib akan mendapatkan imbalan. objek bukannya melibatkannya dalam
Dampaknya, semua pengawas kegiatan ekonomi yang menambah ruwetnya
berusaha menyetorkan hasil produksi sistem perekonomian Hindia Belanda.
sebanyak-banyaknya dengan memeras Dalam rangka mengikat para
penguasa lokal ini, pemerintah Belanda
10 tidak hanya mengembalikan kekuasaan
Kurasawa, Aiko. 1993. Mobilisasi dan control :
mereka saja, melainkan juga meningkatkan
study tentang perubahan social di pedesaan Jawa
1942-1945. Jakarta : Grasindo. Hlm.126 prestise mereka dengan gaji berupa tanah

69
AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 1, No. 1, Januari 2013

yang akan memberi mereka tenaga kerja dan Furnivall.J.S. 2009. Hindia
penghasilan lain yang dihasilkannya.Di Belanda:Studi tentang Ekonoi Majemuk.
samping itu, Van Den Bosch menerapkan Jakarta: Freedom Institute
sistem prosentase yakni hadiah bagi petugas
yang berhasil menyerahkan hasil tanaman Kurasawa, Aiko. 1993. Mobilisasi dan
yang melebihi dari yang ditentukan.Namun control : study tentang perubahan social di
yang menjadi permasalahan lanjut adalah pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta :
bahwa kebijakan tersebut menjadi sember Grasindo.
dan ladang korupsi serta penyelewengan-
penyelewengan yang merugikan rakyat. Kartodirjo, Sartono dan Djoko Suryo.
Sistem prosentase dianggap sebagai 1991.Sejarah Perkebunan Indonesia
legalisasi pemerintah kolonial terhadap :Kajian Sosial-Ekonomi. Yogyakarta :
segala bentuk pemerasan seperti luas tanah Aditya Media
yang diusahakan pemerintah tidak terbatas,
wajib kerja penduduk melebihi ketentuan Linbald, J. Thomas. 2000. Sejarah
yang telah ditetapkan, tanaman wajib, pajak- Ekonomi Modern Indonesia Berbagai
pajak, dan kerja wajib . Sistem ini justru Tantangan Baru. Jakarta : LP3ES
malah membuat rakyat semakin menderita.
Akan tetapi pada tahun 1870 dengan
kemenangan partai liberal menjadikan Marieke Bloembergen,2011Polisi
rakyat Hindia Belanda juga terkena Zaman Hindia BelandaJakarta, Kompas
imbasnya. Kebijakan tanam paksa akhirnya media nusantara bekerja sama dengan
diganti dengan kebijakan Liberal. KITLV-Jakarta.
Racmat susanto. Industri gula di
kabupaten Kendal pada masa
DAFTAR PUSTAKA
kolonial,2007. Bandung : Koperasi ilmu
pengetahuan sosial
Bachri,Saiful.2005.SejarahPerekonomi
an. Surakarta : UNS Press

Daryanti,Mubyarto.1991.Gula,kajian
social-ekonomi, Yogyakarta: Aditya Media

Edi Cahyono,Karesidenan Pekalongan


Kurun Cultuur stelsel Masyarakat Pribumi
Menyongsong Pabrik Gula, Jakarta:
Jurusuan Sejarah Fakultas IIlmu Budaya
Universitas Indonesia,1988

70

You might also like