You are on page 1of 29

ANATOMI CAIRAN TUBUH

Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, persentasenya dapat berubah
tergantung pada umur, jenis kelamin, dan derajat obesitas seseorang. Pada bayi usia <1 tahun
cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan dan pada bayi usia >1 tahun mengandung air
sebanyak 70-75%. Seiring dengan pertumbuhan seseorang persentase jumlah cairan terhadap
berat badan berangsur-angsur turun yaitu pada laki-laki dewasa 50-60% berat badan,
sedangkan pada wanita dewasa 50% berat badan.5 Hal ini terlihat pada tabel berikut :

Tabel 1. Perubahan cairan tubuh total sesuai usia

Usia Kilogram Berat (%)

Bayi prematur 80

3 bulan 70

6 bulan 60

1-2 tahun 59

11-16 tahun 58

Dewasa 58 60

Dewasa dengan obesitas 40 50

Dewasa kurus 70 - 75

Dikutip dari : Garner MW : Physiology and pathophysiology of the body fluid, St. Louis,
1981, Mosby,5

Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada perdarahan,
luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun perioperatif, dapat
menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan tersebut tidak dikoreksi secara
adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah, maka resiko penderita menjadi lebih besar.
Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen ekstraseluler dibagi menjadi cairan
intravaskular dan intersisial.5
A. Cairan intraselular
Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraseluler. Pada orang dewasa,
sekitar duapertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraseluler (sekitar 27 liter rata-
rata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi
hanya setengah dari berat badannya merupakan cairan intraselular.

B. Cairan ekstraselular
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif cairan
ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari
cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan
ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total. Ini sebanding dengan
sekitar 15 liter pada dewasa muda cengan berat rata-rata 70 kg.5

C. Cairan ekstraselular dibagi menjadi 5:


1. Cairan Interstisial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstisial, sekitar 11-12 liter pada
orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstisial. Relatif terhadap
ukuran tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir dibandingkan
orang dewasa.5

2. Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume
plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6 L dimana 3 liternya
merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet.5

3. Cairan Transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti
serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran
pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1 liter,
tetapi cairan dalam jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.5

Body

100%

Water Tissue

60% (100) 40%

Intracellular space Extracellular space

40% (60) 20% (40)

Intracellular space Intravascular space

15% (30) 5% (10)

Diagram 1. Distribusi Cairan Tubuh

Diambil dari Lyon Lee. Fluid and Electrolyte Therapy. Oklahoma State University Center
for Veterinary Health. 2006.

http.//member.tripod.com/~lyser/ivfs.html
Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan non elektrolit.5

1. Elektrolit
Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus listrik.
Elektrolit dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Jumlah kation
dan anion dalam larutan adalah selalu sama(diukur dalam miliekuivalen).5

a. Kation
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan kation
utama dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem pompa
terdapat di dinding sel tubuh yang memompa keluar sodium dan potassium ini.

b. Anion
Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat (HCO3-
), sedangkan anion utama daam cairan intraselular adalan ion fosfat (PO43-).

Karena kandungan elektrolit dalam plasma dan cairan interstisial pada intinya
sama maka nilai elektrolit plasma mencerminkan komposisi dari cairan ekstraseluler
tetapi tidak mencerminkan komposisi cairan intraseluler.5

a. Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraselular dan aling
berperan di dalam mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium plasma: 135-
145mEq/liter. Kadar natrium dalam plasma diatur lewat beberapa mekanisme:

Left atrial stretch reseptor


Central baroreseptor
Renal afferent baroreseptor
Aldosterone (reabsorpsi di ginjal)
Atrial natriuretic factor
Sistem renin angiotensin
Sekresi ADH
Perubahan yang terjadi pada air tubuh total (TBW = Total Body Water)
Kadar natrium dalam tubuh 58,5 mEq/kgBB dimana + 70 % atau 40,5
mEq/liter dan keringat 58 mEq/liter. Kebutuhan setiap hari = 100mEq. (6 -15) gram
NaCl.)7

Natrium dapat bergerak cepat antara ruang intravaskuler dan interstitial


maupun ke dalam dan keluar sel. Apabila tubuh banyak mengeluarkan natrium
(muntah, diare) sedangkan pemasukan terbatas maka akan terjadi keadaan
dehidrasi disertai kekurangan natrium. Kekurangan air dan natrium dalam plasma
akan diganti dengan air dan natrium dari cairan interstitial. Apabila kehilangan
cairan terus berlangsung, air akan ditarik dari dalam sel dan apabila volume
plasma tetap tidak dapat dipertahankan terjadilah kegagalan sirkulasi.7

b. Kalium
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan ekstraseluler
berperan penting di dalam terapi gangguan keseimbangan air dan elektrolit.
Jumlah kalium dalam tubuh sekitar 53 mEq/kgBB dimana 99% dapat berubah-
ubah sedangkan yang tidak dapat berpindah adalah kalium yang terikat dengan
protein didalam sel.7 Kadar kalium plasma 3,5-5,0 .Eq/liter, kebutuhan setiap hari
1-3 mEq/kgBB.

Keseimbangan kalium sangat berhubungan dengan konsentrasi H+


ekstraseluler. Ekskresi kalium lewat urine 60-90mEq/liter, feaces 72 mEq/liter dan
keringat 10 mEq/Liter.7

c. Kalsium
Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama susu, 80-90%
dikeluarkan lewat feaces dan sekitar 20% lewat urine. Jumlah pengeluaran ini
tergantung pada intake, besarnya tulang, keadaan endokrin. Metabolisme kalsium
sangat dipengaruhi oleh kelenjar-kelenjar paratiroid, tiroid, testis, ovarium, dan
hipofisis. Sebagian besar (99%) ditemukan di dalam ggi dan 1% dalam cairan
ekstraselular dan tidak terdapat dalam sel.7

d. Magnesium
Magnesium ditemukan di senua jenis makanan. Kebutuhan untuk
pertumbuhan 10 mg/hari. Dikeluarkan lewat urine dan feaces.

e. Karbonat
Asam karbonat dan karbohidrat terdapat dalam tubuh sebagai salah satu
hasil akhir daripada metabolisme. Kadar bikarbonat dikontrol oleh ginjal. Sedikit
sekali bikarbonat yang akan dikeluarkan urine. Asam bikarbonat dikontrol oleh
paru-paru dan sangat penting peranannya dalam keseimbangan asam basa.

2. Non elektrolit
Merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam cairan. Zat
lainnya termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.

Gambar 1. susunan kimia cairan ekstraseluler dan intraseluler

Diambil dari Guyton & Hall. 1997. buku Ajar Fisiologi Kedokteran.

Referensi :

Purwoko. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. FK UNS : Bagian Anestesiologi dan
Reanimasi. Diunduh dari https://id.scribd.com/doc/290361768/Terapi-Cairan-Elektrolit-
Perioperatif
Tabel 2.1 Lokasi & Estimasi Perdarahan

Lokasi Estimasi Perdarahan

Fr. Femur tertutup 1.5-2 liter

Fr.Tibia tertutup 0.5 liter

Fr. Pelvis 3 liter

Hemothorax 2 liter

Fr. Iga (tiap satu) 150 ml

Luka sekepal tangan 500 ml

Bekuan darah sekepal 500 ml

Referensi :
Udeani; John; 2010; Hemorrhagic Krausz, Michael M; 2006; Initial Resuscitation of
Hemorrhagic Shock; Israel : Department of Surgery A, Rambam Medical Center, and the
Technion-Israel Institute of Technology, P.O.B 9602, Haifa 31096; Diunduh dari :
http://www.wjes.org/content/1/1/14
Pilihan Jenis Cairan2,13,14

1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES=CEF).
Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap
pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi atau syok
anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama. Cairan kristaloid bila
diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti
pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruch
cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.

Heugman et al (1972) mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit


larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edama perifer dan paru
serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila
seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%. Penelitian Mills, dkk (1967) di medan perang
Vietnam turut memperkuat penelitian yang dilakukan oleh Heugman, yaitu pemberian
sejumlah cairan kristaloid dapat mengakibatkan timbulnya edema paru berat. Selain itu,
pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan
meningkatnya tekanan intra kranial.

Tabel 9. Komposisi Cairan Kristaloid

Solution Tonicity Na+ Cl- K+ Ca2 Glucose Lactate

5% Dextrose Hypo (253) 50


in water

Normal Iso (308) 154 154


saline

D5 NS Iso (330) 38,5 38,5 50

D5 NS Hyper (407) 77 77 50

D5NS Hyper (561) 154 154 50

Lactated Iso (273) 130 109 4 3 28


Ringers

D5LR Hyper (525) 130 109 4 3 50 28

Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan
lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid
sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel.

Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak


digunakan untuk resusitasi cairan walaupun agak hipotonis dengan susunan yang hampir
menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan
mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering
digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis
hiperkloremik (delutional hyperchlorenmic acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat
plasma akibat peningkatan klorida.

2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut plasma
substitute atau plasma expander. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang
mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotuik yang menyebabkan cairan ini
cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh
karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada
syok hipovolemik/hemorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan
kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar).

Tabel 10

Jenis Produksi Tipe BM Waktu Indikasi


Koloid rata- paruh
rata

Plasma Human Serum 50.000 4-15 a. Pengganti


protein plasma consered hari volume
human
b. Hipoproteinemia
Jenis Produksi Tipe BM Waktu Indikasi
Koloid rata- paruh
rata

albumin c. Hemodilusi

Dextran Leuconostoc D60/70 60.000 6 jam a. Hemodilusi


mesenteroid
b. Gangguan
B512 70.000
mikrosirkulasi
(stroke)

Gelatin Hidrolisis dari Modified 35.000 2-3 jam Subtitusi volume


kolagen Urea linked
binatang Oxylopi
gelatin
hydroxylethyl
Starch Hidrolisis Hydroxyethyl 450.000 6 jam a. Subtitusi volume
asam dan
b. Hemodilusi
ethylen
oxyde
treatment
dari kedelai
dan

Polyvinyl Sintetik Subtosan 50.000 Substitusi volume


pyrrolido polimer vinyl- Periston
ne (PVC) pyrrolidone 25.000

Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada cross match.
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid :

a. Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia (5 dan 2,5%)
Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 600 C selama 10 jam untuk
membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung
albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin. Prekallikrein
activators (Hagemans factor fragments) seringkali terdapat dalam fraksi protein
plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu pemberian infus dengan fraksi
protein plasma seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.

b. Koloid sintesis, yaitu :


1. Dextran
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70
(Macrodex) dengan berat molekul 60.000 70.000 diproduksi oleh bakteri
Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun
Dextran 70 merupakan volume expander yang lebih baik dibandingkan dengan
Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi
mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain itu Dextran
mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet adhesiveness,
menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran
darah.

Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross


match, waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan
Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.

2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)


Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 1.000.000, rata-
rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 mmHg.

Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46%
lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid
ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar
serum amilase (walau jarang).

Low molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu
mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan berlangsung
selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan
toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi
maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada
penderita gawat.

3. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul
rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin, yaitu
:

Modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)


Urea linked gelatin
Oxypoly gelatin
Merupakan plasma expanders dan banyak digunakan pada penderita gawat.
Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari golongan
urea linked gelatin

Tabel 11. Crystalloid versus colloid

Crystalloid Colloid

Advantages Inexpensive More sustained


intravascullar increase
(1/3 still intravascullar
at 24 hr)

Promotes urinary flow Maintain or q plasma


(increase intravascular colloid oncotic pressure
volume)

Fluid of choice for initial Requires smaller


resuscitation of volume for equal effect
trauma/hemorrhage

Expands intravascular Less peripheral edema


volume (1/4 volume (more fluid remains
given retained
Crystalloid Colloid

intravascularly) intravascullar)

Restores third space May lower intracranial


losses pressure

Disadvantages Dillutes colloid osmotic Expensive


pressure

Promotes peripheral May produce


edema coagulopathy (dextrans
and helastarch)

Higher incidence of With capilary leak may


pulmonary edema potentiate fluid loss to
interstitium

Requires large volume Impairs subsequent


cross matching of bool
(dextrans)

Effects are transient Dilutes cloting factors


and platelets-platelets
adhesiveness
(absorption onto
platelet membrane
receptor)

Referensi :

Purwoko. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. FK UNS : Bagian Anestesiologi dan
Reanimasi. Diunduh dari https://id.scribd.com/doc/290361768/Terapi-Cairan-Elektrolit-
Perioperatif
1. Penatalaksanaan Perdarahan

Langkah awal dalam mengelola syok pada penderita trauma adalah mengetahui
tanda-tanda klinisnya. Tidak ada tes laboratorium yang dapat mendiagnosis syok. Diagnosis
awal didasarkan pada gejala dan tanda yang timbul akibat dari perfusi organ dan oksigenasi
jaringan yang tidak adekuat. Definisi syok sebagai ketidak-normalan dari sistem peredaran
darah yang mengakibatkan perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat juga
menjadi perangkat untuk diagnosis dan terapi.Langkah kedua dalam pengelolaan awal
terhadap syok adalah mencari penyebab syok, yang untuk penderita trauma berhubungan
dengan mekanisme cedera. Kebanyakan penderita trauma akan mengalami syok
hipovolemik.8 Dokter yang bertanggung jawab terhadap penatalaksanaan penderita harus
mulai dengan mengenal adanya syok. Terapi harus dimulai sambil mencari kemungkinan
penyebab dari keadaan syok tersebut.8 Diagnosis dan terapi syok harus dilakukan secara
simultan. Untuk hampir semua penderita trauma, penanganan dilakukan seolah olah
penderita menderita syok hipovolemik, kecuali bila ada bukti jelas bahwa keadaan syok
disebabkan oleh suatu etiologi yang bukan hipovolemia. Prinsip pengelolaan dasar yang
harus dipegang ialah menghentingan perdarahan dan mengganti kehilangan volume.8

2. Pemeriksaan jasmani
Pemeriksaan jasmaninya diarahkan lepada diagnosis cedera yang mengancam nyawa dan
meliputi penilaian dari ABCDE. Mencatat tanda vital awal (baseline recordings) penting
untuk memantau respons penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-
tanda vital, produksi urin, dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih rinci
akan menyusul bila keadaan penderita mengijinkan.12
1. Airway dan Breathing
Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya pertukaran
ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk mempertahankan saturasi
oksigen lebih dari 95%.
2. Circulation (Sirkulasi Kontrol Perdarahan)
Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang jelas terlihat
terlihat, memperoleh akses intravena yang cukup, dan menilai perfusi jaringan.
Perdarahan dari luka di permukaan tubuh (eksternal) biasanya dapat dikendalikan
dengan tekanan langsung pada tempat perdarahan. Cukupnya perfusi jaringan
menentukan jumlah cairan resusitasi yang diperlukan. Mungkin diperlukan operasi
untuk dapat mengendalikan perdarahan internal.
3. Disability (Pemeriksaan neurologis)
Dilakukan pemeriksaan neurologis singkat untuk menentukan tingkat kesadaran,
pergerakana mata dan respons pupil, fungsi motorik dan sensorik. Informasi ini
bermanfaat dalam menilai perfusi otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi
dan meramalkan pemulihan. Perubahan fungsi sistem saraf sentral tidak selalu
disebabkan cedera intrakranial tetapi mungkin mencerminkan perfusi otak yang
kurang. Pemulihan perfusi dan oksigenasi otak harus dicapai sebelum penemuan
tersebut dapat dianggap berasal dari cedera intrakranial.
4. Exposure (Pemeriksaan Tubuh Lengkap)
Setelah mengurus prioritas-prioritas untuk menyelamatkan jiwanya, sluruh pakaian
penderita dibuka dan diperiksa dari ubun-ubun sampai ke jari kaki sebagai bagian dari
mencari cedera. Bila menelanjangi penderita, sangat penting dilakukan tindakan untuk
mencegah hipotermia. Pemakaian penghangat cairan, maupun cara-cara penghangatan
internal maupun eksternal sangat bermanfaat dalam mencegah hipotermia.
5. Dilatasi lambung Dekompresi
Dilatasi lambung sering terjadi pada penderita trauma, khususnya pada anak-anak, dan
dapat mengakibatkan hipotensi dan disritmia jantung yang tidak dapat diterangkan,
biasanya berupa bradikardi dari stimulasi saraf vagus yang berlebihan. Distensi
lambung membuat terapi syok menjadi sulit. Pada penderita yang tidak sadar, distensi
lambung membesarkan risiko aspirasi isi lambung, ini merupakan suatu komplikasi
yang bisa menjadi fatal. Dekompresi lambung dilakukan dengan memasukkan
selang/pipa kedalam perut melalui hidung atau mulut dan memasangnya pada
penyedot untuk mengeluarkan isi lambung. Namun, walaupun penempatan pipa sudah
baik, masih ada kemungkinan terjadi aspirasi.
6. Pemasangan kateter urin
Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan adanya hematuria dan
evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urin.
3. Akses pembuluh darah
Harus segera didapat akses ke sistem pembuluh darah. Ini paling penting dilakuakan
dengan memasukkan dua kateter intravenaukuran besar sebelum dipertimbangkan jalur
vena sentral.12
4. Terapi awal cairan
Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan ini mengisi
intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskular dengan cara
menggantikan cairan berikutnya ke dalam ruang interstitial dan intraselular. Larutan
ringer laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua.
Walupun NaCl fisiologis merupakan pengganti yang baik namun cair ini memiliki
potensi untuk terjadinya asidosis hiperkloremik. Kemungkinan ini bertambah besar bila
fungsi ginjalnya kurang baik. Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan tetesan
cepat sebagai bolus. Dosis awal adalah 1 sampai 2 liter pada dewasa dan 20 ml/kg pada
anak. Respons penderita terhadap pemberian cairan ini dipantau, dan keputusan
pemeriksaan diagnostik atau terapi lebih lebih lanjut akan tergantung pada respons ini.13
Jumlah cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi sukar diramalkan pada evaluasi
awal penderita. Perkiraan kehilangan cairan dan darah, dapat dilihat cara menentukan
jumlah cairan dan darah yang mungkin diperlukan oleh penderita. Perhitungan kasar
untuk jumlah total volume kristaloid yang secara akut diperlukan adalah mengganti setiap
mililiter darah yang hilang dengan 3 ml cairan kristaloid, sehingga memungkinkan
resusitasi volume plasma yang hilang kedalam ruang interstitial dan intraselular. Ini
dikenal sebagai hukum 3 untuk 1 (3 for 1 rule). Namun lebih penting untuk menilai
respons penderita kepada resusitasi cairan dan bukti perfusi dan oksigenasi end-organ
yang memadai, misalnya keluaran urin, tingkat kesadaran dan perfusi perifer. Bila,
sewaktu resusitasi, jumlah cairan yang diperlukan untuk memulihkan atau
mempertahankan perfusi organ jauh melebihi perkiraan tersebut, maka diperlukan
penilaian ulang yang teliti dan perlu mencari cedera yang belum diketahui atau penyebab
lain untuk syok.12
Penderita datang dengan perdarahan

Pasang infus jarum besar Catat tekanan darah, nadi, ambil ambil
sampel darah perfusi, (produksi urin)

Ringer Laktat atau NaCl 0,9%


20ml/kgBB cepat, ulangi.
1000-2000 ml dalam 1 jam

Hemodinamik baik Hemodinamik buruk


- Tekanan sistolik 100, nadi 100,
- Perfusi hangat, kering, Teruskan cairan
- Urin ml/kg/jam 2-4 x estimated loss

Hemodinamik baik Hemodinamik buruk

A B C

Pada kasus A, infus dilambatkan dan biasanya transfusi tidak diperlukan. Pada kasus
B, jika hemoglobin kurang dari 8 gr/dL atau hematokrit kurang dari 25%, transfusi
sebaiknya diberikan. Tetapi seandainya akan dilakukan pembedahan untuk menghentikan
suatu perdarahan, transfusi dapat ditunda sebentar sampai sumber perdarahan terkuasai dulu.
Pada kasus C, transfusi harus segera diberikan. Ada tiga kemungkinan penyebab yaitu
perdarahan masih berlangsung terus (continuing loss), syok terlalu berat, hipoksia jaringan
terlalu lama dan anemia terlalu berat, sehingga terjadi hipoksia jaringan.13
Pada jam pertama setelah perdarahan, apabila diukur Hb atau Ht, hasil yang
diperoleh mungkin masih normal. Harga Hb yang benar adalah hasil yang diukur setelah
penderita kembali normovolemia dengan pemberian cairan. Penderita dalam keadaan
anestesi, dengan nafas buatan atau dengan hipotermia, dapat mentolerir hematokrit 10
15%. Tetapi pada penderita biasa, sadar, dan dengan nafas sendiri, memerlukan Hb 8 gr/dL
atau lebih agar cadangan kompensasinya tidak terkuras habis.13

5. Jumlah Kehilangan cairan (Perdarahan) dan Penanganannya

Untuk mengetahui jumlah volume darah seseorang, biasanya digunakan patokan


berat badan. Walau dapat bervariasi, volume darah orang dewasa adalah kira-kira 7% dari
berat badan. Dengan demikian laki-laki yang berat 70 kg, mempunyai volume darah yang
beredar kira-kira 5 liter. Bila penderita gemuk maka volume darahnya diperkirakan
berdasarkan berdasarkan berat badan idealnya, karena bila kalkulasi didasarkan berat badan
sebenarnya, hasilnya mungkin jauh di atas volume sebenarnya. Volume darah anak-anak
dihitung 8% sampai 9% dari berat badan (80-90 ml/kg).8 Lebih dahulu dihitung EBV
(Estimated Blood Volume) penderita, 65 70 ml/kg berat badan. Kehilangan sampai 10%
EBV dapat ditolerir dengan baik. Kehilangan 10% - 30% EBV memerlukan cairan lebih
banyak dan lebih cepat. Kehilangan lebih dari 30% - 50% EBV masih dapat ditunjang untuk
sementara dengan cairan saja sampai darah transfusi tersedia. Total volume cairan yang
dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar antara 2 4 x volume yang
hilang.7Perkiraan volume darah yang hilang dilakukan dengan kriteria Traumatic Status dari
Giesecke. Dalam waktu 30 sampai 60 menit susudah infusi, cairan Ringer Laktat akan
meresap keluar vaskular menuju interstitial. Demikian sampai terjadi keseimbangan baru
antara Volume Plasma/Intravascular Fluid (IVF) dan Interstitial Fluid (ISF). Ekspansi ISF
ini merupakan interstitial edema yang tidak berbahaya. Bahaya edema paru dan edema otak
dapat terjadi jika semula organ-organ tersebut telah terkena trauma. 24 jam kemudian akan
terjadi diuresis spontan. Jika keadaan terpaksa, diuresis dapat dipercepat lebih awal dengan
furosemid setelah transfusi diberikan.7 Pada bayi dan anak yang dengan kadar hemoglobin
normal, kehilangan darah sebanyak 10-15% volume darah, karena tidak memberatkan
kompensasi badan, maka cukup diberi cairan kristaloid atau koloid, sedangkan diatas 15%
perlu transfusi darah karena ada gangguan pengangkutan oksigen. Sedangkan untuk orang
dewasa dengan kadar hemoglobin normal angka patokannya ialah 20%. Kehilangan darah
sampai 20% ada gangguan faktor pembekuan. Cairan kristaloid untuk mengisi ruang
intravaskular diberikan sebanyak 3 kali lipat jumlah darah yang hilang, sedangkan koloid
diberikan dengan jumlah sama.8,9 Transfusi darah umumnya 50% diberikan pada saat
perioperatif dengan tujuan untuk menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume
intravaskular. Kalau hanya menaikkan volume intravaskular saja cukup dengan koloid atau
kristaloid. Indikasi transfusi darah antara lain:5
6. Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr/dL atau Ht < 30%. Pada orang tua, kelainan paru,
kelainan jantung Hb < 10 gr/dL.
7. Bedah mayor kehilangan darah > 20% volume darah.9

Tabel 2.3. Traumatic status dari Giesecke

Tanda TS I TS II TS III

Sesak nafas - Ringan ++

Tekanan darah N Turun Tak teratur

Nadi Cepat Sangat cepat Tak teraba

Urin N Oliguria Anuria

Kesadaran N Disorientasi / Koma

Gas darah N
pO2 / pCO2 pO2 / pCO2

CVP N Rendah Sangat rendah

Blood loss % EBV Sampai 10% Sampai 30% Lebih 50%


Tabel 2.4. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah

Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV

Kehilangan darah (ml) Sampai 750 750 1500 1500 - 2000 >2000

Kehilangan darah (% volume Sampai 15% 15% - 30% 30% - 40% >40%
darah)

Denyut nadi <100 >100 >120 >140

Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun

Tekanan nadi Normal /

Frekuensi pernapasan 14-20 20 -30 30-40 >35

Produksi urin (ml/jam) >30 20-30 5-15 <5

CNS/Status mental Sedikit Cemas Cemas Cemas, Bingung,


Bingung Lesu

Penggantian cairan Kristaloid Koloid atau Kristaloid dan Kristaloid dan


darah darah darah
(hukum 3:1)

1. Perdarahan Kelas I (Kehilangan volume darah sampai 15%)

Gejala klinis dari kehilangan volume ini adalah minimal. Bila tidak ada
komplikasi, akan terjadi takikardi minimal. Tidak ada perubahan yang berarti dari
tekanan darah, tekanan nadi, atau frekuensi pernafasan. Untuk penderita yang
dalam keadaan sehat, jumlah kehilangan darah ini tidak perlu diganti. Pengisian
transkapiler dan mekanisme kompensasi lain akan memulihkan volume darah
dalam 24 jam. Namun, bila ada kehilangan cairan karena sebab lain, kehilangan
jumlah darah ini dapat mengakibatkan gejala-gejala klinis. Penggantian cairan
untuk mengganti kehilangan primer, akan memperbaiki keadaan sirkulasi.5
2. Perdarahan Kelas II (Kehilangan volume darah 15% - 30%)
Gejala klinis termasuk takikardi, takipnoe, dan penurunan tekanan nadi.
Penurunan tekanan nadi ini terutama berhubungan dengan peningkatan dalam
komponen diastolik karena bertambahnya katekolamin yang beredar. Zat
inotropik ini menghasilkan peningkatan tonus dan resistensi pembuluh darah
perifer. Tekanan sistolik hanya berubah sedikit pada syok yang dini karena itu
penting untuk lebih mengandalkan evaluasi tekanan nadi daripada tekanan
sistolik. Penemuan klinis yang lain yang akan ditemukan pada tingkat kehilangan
darah ini meliputi perubahan sistem syaraf sentral yang tidak jelas seperti cemas,
ketakutan atau sikap permusuhan. Walau kehilangan darah dan perubahan
kardiovaskular besar, namun produksi urin hanya sedikit terpengaruh. Aliran air
kencing biasanya 20-30 ml/jam untuk orang dewasa. Kehilangan cairan tambahan
dapat memperberat manifestasi klinis dari jumlah kehilangan darah ini. 5
3. Perdarahan Kelas III (Kehilangan volume darah 30% - 40%)

Akibat kehilangan darah sebanyak ini dapat sangat parah. Penderita hampir selalu
menunjukkan tanda klasik perfusi yang tidak adekuat, termasuk takikardi dan
takipnue yang jelas, perubahan penting dalam status mental, dan penurunan
tekanan darah sistolik. Dalam keadaan yang tidak berkomplikasi, inilah jumlah
kehilangan darah paling kecil yang selalu menyebabkan tekanan sistolik menurun.
Penderita dengan kehilangan darah tingkat ini hampir selalu memerlukan tranfusi
darah. Keputusan untuk memberi tranfusi darah didasarkan atas respons penderita
terhadap resusitasi cairan semula dan perfusi dan oksigenisasi organ yang
adekuat.5
4. Perdarahan Kelas IV (Kehilangan volume darah lebih dari 40%)
Dengan kehilangan darah sebanyak ini, jiwa penderita terancam. Gejala-gejalanya
meliputi takikardi yang jelas, penurunan tekanan darah sistoluk yang cukup besar,
dan tekanan nadi yang sangat sempit. Produksi urin hampir tidak ada, dan
kesadaran jelas menurun. Pada kulit terlihat pucat dan teraba dingin. Penderita ini
sering kali memerlukan tranfusi cepat dan intervensi pembedahan segera.
Kehilangan lebih dari 50% volume darah penderita mengakibatkan
ketidaksadaran, kehilangan denyut nadi dan tekanan darah.5
Kehilangan Cairan dan Penanganan
Penyebab kehilangan cairan tubuh lainnya selain perdarahan diantaranya adalah muntah,
diare , dan luka bakar. Kehilangan cairan secara akut akan menyebabkan terjadinya
dehidrasi dan dehidrasi berat yang tidak mendapat penanganan yang baik akan
menyebabkan terjadinya syok hipovolemik. Derajat dehidrasi diklasifikasikan dalam tabel
sebagai berikut :13

Tabel 2.5. Defisit Cairan

Ringan Sedang Berat

Defisit 3-5% 6-8% > 10%

Hemodinamik takikardia takikardia takikardia

nadi lemah nadi sangat lemah nadi tak teraba

volume collapse akral dingin

hipotensi ortostatik sianosis

Jaringan lidah kering lidah keriput atonia

turgor turun turgor kurang turgor buruk

Urine pekat jumlah turun Oliguria

SSP mengantuk apatis coma

Kehilangan cairan tubuh yang menyebabkan terjadinya syok hipovolemik,


penaganan pertama dapat diberikan caiaran kristaloid sebanyak 1000-2000 ml yang
dihabiskan pada satu jam pertama dan dapat diulang, sedangkan pada anak anak diberikan
caiara 20 ml/kgBB yang diberikan dalam satu jam pertama. Selanjutnya tentukan derajat
defisit cairan dan lakukan rehidrasi Terapi untuk dehidrasi (rehidrasi) dilakukan dengan
mempertimbangkan kebutuhan cairan untuk rumatan, defisit cairan dan kehilangan cairan
yang sedang berlangsung. Beberapa pendekatan terangkum dalam tabel 5.5 Strategi untuk
rehidrasi adalah dengan memperhitungkan defisit cairan, cairan rumatan yang diperlukan
dan kehilangan cairan yang sedang berlangsung disesuaikan . Cara rehidrasi : 6
1. Nilai status rehidrasi (sesuai tabel 4 di atas), banyak cairan yang diberikan
(D) = derajat dehidrasi (%) x BB x 1000 cc
2. Hitung cairan rumatan (M) yang diperlukan (untuk dewasa 40 cc/kgBB/24 jam atau
rumus holliday-segar seperti untuk anak-anak)
3. Pemberian cairan :

6 jam I = D + M atau 8 jam I = D + M (menurut Guillot 17)


18 jam II = D + M atau 16 jam II = D + M (menurut Guillot 17)
4. Nilai status rehidrasi (sesuai tabel 4 di atas), banyak cairan yang diberikan (D) = derajat
dehidrasi (%) x BB x 1000 cc
5. Hitung cairan rumatan (M) yang diperlukan (untuk dewasa 40 cc/kgBB/24 jam atau
rumus holliday-segar seperti untuk anak-anak)
6. Pemberian cairan :
6 jam I = D + M atau 8 jam I = D + M (menurut Guillot 17)
18 jam II = D + M atau 16 jam II = D + M (menurut Guillot 17)
Secara umum Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu :
1. Perubahan volume
a. Defisit volume
Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan tubuh yang paling
umum terjadi pada pasien bedah. Penyebab paling umum yang dapat menyebabkan
terjadinya defisit cairan adalah kehilangan cairan di gastrointestinal akibat muntah,
penyedot nasogastrik, diare dan drainase fistula. Penyebab lainnya dapat berupa
kehilangan cairan pada cedera jaringan lunak, infeksi, inflamasi jaringan, peritonitis,
obstruksi usus, dan luka bakar. Keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan
menimbulkan tanda gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung. Pada kehilangan
cairan yang lambat lebih dapat ditoleransi sampai defisi volume cairan ekstraselular
yang berat terjadi.5
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari natrium
menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L) atau
hipernatremik (>150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering
terjadi (80%), sedangkan dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10%
dari kasus. Dehidrasi Isotonis (isonatremik) terjadi ketika kehilangan cairan hampir
sama dengan konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium
besarnya relatif sama dalam kompartemen intravaskular maupun kompartemen
ekstravaskular. Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika kehilangan cairan
dengan kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan hipertonis).
Secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang
hilang. Karena kadar natrium serum rendah, air di kompartemen intravaskular
berpindah ke kompartemen ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan volume
intravaskular.Dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi ketika kehilangan cairan
dengan kandungan natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan hipotonis).
Secara garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan natrium yang
hilang. Karena kadar natrium tinggi, air di kompartemen ekstraskular berpindah ke
kompartemen intravaskular, sehingga meminimalkan penurunan volume intravascular.
b. Kelebihan volume
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat iatrogenic
(pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan kelebihan air dan NaCl
ataupun pemberian cairan intravena glukosayang menyebabkan kelebihan air) ataupun
dapat sekunder akibat insufisiensi renal (gangguan pada GFR), sirosis, ataupun gagal
jantung kongestif. Kelebihan cairan intaseluler dapat terjadi jika terjadi kelebihan
cairan tetapi jumlah NaCl tetap atau berkurang.5
2. Perubahan konsentrasi
a. Hiponatremia
Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental, letargi,
iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan
timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh euvolemia
(SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah,
third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis). Keadaan ini dapat
diterapi dengan restriksi cairan (Na+ 125 mg/L) atau NaCl 3% ssebanyak (140-
X)xBBx0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5 mg/kg.12 Koreksi hiponatremia yang
sudah berlangsung lama dilakukan scara perlahanlahan, sedangkan untuk hiponatremia
akut lebih agresif. Untuk menghitung Na serum yang dibutuhkan dapat menggunakan
rumus : 5
Na= Na1 Na0 x TBW
Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)
Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan
Na0 = Na serum yang aktual
TBW = total body water = 0,6 x BB (kg)
b. Hipernatremia
Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental,
letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan
(diare, muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang,
asupan natrium berlebihan. Terapi keadaan ini adalah penggantian cairan dengan 5%
dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) xBB x 0,6}: 140. 6
c. Hipokalemia
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari
cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium
tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG
(QRS segmen melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot
skeletal, poliuria, intoleransi glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor
presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obat-obatan), infuse potasium klorida sampai
10 mEq/jam (untuk mild hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai
40 mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk hipokalemia berat;<2mEq/L disertai
perubahan EKG, kelemahan otot yang hebat).13 Rumus untuk menghitung defisit
kalium :15
K = K1 K0 x 0,25 x BB
K = kalium yang dibutuhkan
K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur
BB = berat badan (kg)
d. Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal atau obat
yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik).
Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan
otot) dan sistem kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk
hiperkalemia dapat berupa intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium
bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, atau diuretik, hemodialisis.15

3. Perubahan komposisi
Asidosis respiratorik (pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg). Kondisi ini berhubungan
dengan retensi CO2 secara sekunder untuk menurunkan ventilasi alveolar pada pasien
bedah. Kejadian akut merupakan akibat dari ventilasi yang tidak adekuat termasuk
obstruksi jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisi abdomen atas,
distensi abdomen dan penggunaan narkose yang berlebihan. Manajemennya melibatkan
koreksi yang adekuat dari defek pulmonal, intubasi endotrakeal, dan ventilasi mekanis
bila perlu. Perhatian yang ketat terhadap higiene trakeobronkial saat post operatif adalah
sangat penting.14
Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg). Kondisi ini disebabkan
ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan ventilasi yang dibantu. Pada fase akut,
konsentrasi bikarbonat serum normal, dan alkalosis terjadi sebagai hasil dari penurunan
PaCO2 yang cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi masalah yang mendasari
termasuk sedasi yang sesuai, analgesia, penggunaan yang tepat dari ventilator mekanik,
dan koreksi defisit potasium yang terjadi.15
Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L). Kondisi ini disebabkan oleh
retensi atau penambahan asam atau kehilangan bikarbonat. Penyebab yang paling umum
termasuk gagal ginjal, diare, fistula usus kecil, diabetik ketoasidosis, dan asidosis laktat.
Kompensasi awal yang terjadi adalah peningkatan ventilasi dan depresi PaCO2.
Penyebab paling umum adalah syok, diabetik ketoasidosis, kelaparan, aspirin yang
berlebihan dan keracunan metanol. Terapi sebaiknya ditujukan terhadap koreksi kelainan
yang mendasari. Terapi bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan asidosis berat
dan hanya setelah kompensasi alkalosis respirasi digunakan.15
Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L) . Kelainan ini merupakan
akibat dari kehilangan asam atau penambahan bikarbonat dan diperburuk oleh
hipokalemia. Masalah yang umum terjadi pada pasien bedahadalah hipokloremik,
hipokalemik akibat defisit volume ekstraselular. Terapi yang digunakan adalah sodium
klorida isotonik dan penggantian kekurangan potasium. Koreksi alkalosis harus gradual
selama perode 24 jam denganpengukuran pH, PaCO2 dan serum elektrolit yang sering.8

Evaluasi Resusitasi Cairan dan Perfusi Organ

Tanda-tanda dan gejala-gejala perfusi yang tidak memadai, yang digunakan untuk
diagnosis syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respons penderita. Pulihnya
tekanan darah ke normal, tekanan nadi dan denyut nadi merupakan tanda positif yang
menandakan bahwa perfusi sedang kembali ke normal. Walaupun begitu, pengamatan
tersebut tidak memberikan informasi tentang perfusi organ. Perbaikan pada status sistem
saraf sentral dan peredaran kulit adalah bukti penting mengenai peningkatan perfusi, tetapi
kualitasnya sukar ditentukan.8

Tabel 2.6. Jenis Respons Penderita terhadap Resusitasi Cairan Awal

RESPONS RESPONS SEMENTARA TANPA


CEPAT RESPONS

Tanda vital Kembali ke normal Perbaikan sementara, tensi dan Tetap abnormal
nadi kembali turun
Dugaan kehilangan darah Minimal Sedang, masih ada Berat
(10 - 20%) (20 - 40%) (> 40%)

Kebutuhan kristaloid Sedikit Banyak Banyak

Kebutuhan darah Sedikit Sedang-banyak Segera

Persiapan darah Specific type dan Specific type Emergensi


crossmatch

Operasi Mungkin Sangat mungkin Hampir pasti

Kehadiran dini ahli bedah Perlu Perlu Perlu


Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif untuk perfusi ginjal.
Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran darah ginjal yang cukup, bila
tidak dimodifikasi oleh pemberian obat diuretik. Sebab itu, keluaran urin merupakan salah
satu dari pemantauan utama resusitasi dan respons penderita.13
Dalam batas tertentu, produksi urin dapat digunakan sebagai pemantau aliran darah
ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran urin sekitar
0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam
untuk bayi (di bawah umur 1 tahun). Bila kurang, atau makin turunnya produksi urin dengan
berat jenis yang naik, maka ini menandakan resusitasi yang tidak cukup. Keadaan ini
menuntut ditambahnya penggantian volume dan usaha diagnostik.5
Respons penderita kepada resusitasi cairan awal merupakan kunci untuk menentukan
terapi berikutnya. Setelah membuat diagnosis dan rencana sementara berdasarkan evaluasi
awal dari penderita, dokter sekarang dapat mengubah pengelolaannya berdasarkan respons
penderita pada resusitasi cairan awal. Dengan melakukan observasi terhadap respons
penderita pada resusitasi awal dapat diketahui penderita yang kehilangan darahnya lebih
besar dari yang diperkirakan, dan perdarahan yang berlanjut dan memerlukan pengendalian
perdarahan internal melalui operasi. Dengan resusitasi di ruang operasi dapat dilakukan
kontrol langsung terhadap perdarahan oleh ahli bedah dan dilakukan pemulihan volume
intravaskular secara simultan. Resusitasi di ruang operasi juga membatasi kemungkinan
transfusi berlebihan pada orang yang status awalnya tidak seimbang jumlah kehilangan
darah. Adalah penting untuk membedakan penderita dengan hemodinamik stabil dengan
hemodinamik normal. Penderita yang hemodinamik stabil mungkin tetap ada takikardi,
takipneu, dan oliguri, dan jelas masih tetap kurang diresusitasi dan masih syok. Sebaliknya,
penderita yang hemodinamik normal adalah yang tidak menunjukkan tanda perfusi jaringan
yang kurang memadai. Pola respons yang potensial dapat dibahas dalam tiga kelompok:
respons cepat, respons sementara, respons minimum atau tidak ada pada pemberian cairan.5
a. Respons cepat
Penderita kelompok ini cepat memberi respons kepada bolus cairan awal dan tetap
hemodinamik normal setelah bolus cairan awal selesai dan cairan kemudian diperlambat
sampai kecepatan rumatan/maintenance. Penderita seperti ini biasanya kehilangan
volume darah minimum. Untuk kelompok ini tidak ada indikasi bolus cairan tambahan
atau pemberian darah lebih lanjut. Jenis darahnya dan crossmatch nya tetap dikerjakan.
Konsultasi dan evaluasi pembedahan diperlukan selama penilaian dan terapi awal, karena
intervensi operatif mungkin masih diperlukan.8
b. Respons sementara
Kelompok yang kedua adalah penderita yang berespons terhadap pemberian cairan,
namun bila tetesan diperlambat hemodinamik penderita menurun kembali karena
kehilangan darah yang masih berlangsung, atau resusitasi yang tidak cukup. Jumlah
kehilangan darah pada kelompok ini adalah antara 20 - 40% volume darah. Pemberian
cairan pada kelompok ini harus diteruskan, demikian pula pemberian darah. Respons
terhadap pemberian darah menentukan penderita mana yang memerlukan operasi segera.8
c. Respons minimal atau tanpa respons

Walaupun sudah diberikan cairan dan darah cukup, kondisi hemodinamik pasien tetap
buruk dengan respons minimal atau tanpa respons, ini menandakan perlunya operasi
segera. Walaupun sangat jarang, namun harus tetap diwaspadai kemungkinan syok non-
hemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio miokard. Kemungkinan adanya syok
non-hemoragik harus selalu diingat pada kelompok ini.8

Refrensi :

Guyton AC, Hall JE; 1997; Textbook of Medical Physiology. 9th ed. Pennsylvania: W.B.Saunders
company;: 375-393;

You might also like