You are on page 1of 13

SKYDRUGZ

Textbook of Sky and Flying Glasses . For General Convenience, Never Use This Blog as Scientific
Reference.

Senin, 17 Oktober 2011

Refarat Nyeri Neuropatik

NYERI NEUROPATIK

I. PENDAHULUAN

Pengertian nyeri neuropatik menurut International Association for The Study of Pain (IASP)
adalah nyeri yang dipicu atau disebabkan oleh lesi primer atau disfungsi dari sistem saraf dan dapat
disebabkan oleh kompresi atau infiltrasi dari nervus oleh suatu tumor, tergantung di mana lesi atau
disfungsi terjadi.

Nyeri neuropatik pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua yaitu berdasarkan asalnya yaitu perifer dan
sentral, juga berdasarkan waktunya, yakni nyeri neuropatik akut dan kronik. Ada beberapa masalah
dalam bidang kedokteran paliatif yang menyulitkan dalam mendiagnosis dan menangani nyeri
neuropatik, dan tak ada satupun hasil yang memuaskan yang dapat menyebabkan hilangnya nyeri.
Dalam membuat suatu diagnosa adanya nyeri neuropatik diperlukan anamnesis yang tepat tentang apa
yang sedang dirasakan pasien, baik tipenya maupun derajat dari nyeri tersebut. 1, 2

II. EPIDEMIOLOGI

Epidemiologi nyeri neuropatik belum cukup banyak dipelajari, sebagian besar karena keragaman dari
kondisi nyeri ini. Estimasi saat ini, nyeri neuropatik mungkin menyerang 3% dari populasi umum. Dari
6000 sampel keluarga yang tinggal di tiga kota di Inggris, didapatkan prevalensi nyeri kronis adalah 48%
dan prevalensi nyeri neuropatik adalah 8%. Responden dengan nyeri neuropatik kronis lebih banyak
perempuan, dengan usia yang cukup tua, belum menikah, tidak memiliki kualifikasi pendidikan, dan
merupakan perokok. 3, 4

III. ETIOLOGI

Nyeri neuropatik dapat terjadi akibat lesi di susunan saraf pusat (nyeri sentral) atau kerusakan saraf
perifer (nyeri perifer). Nyeri neuropatik berasal dari saraf perifer di sepanjang perjalanannya atau dari
SSP karena gangguan fungsi, tanpa melibatkan eksitasi reseptor nyeri spesifik (nosiseptor). Gangguan ini
dapat disebabkan oleh kompresi, transeksi, infiltrasi, iskemik, dan gangguan metabolik pada badan sel
neuron. 5, 6

Nyeri sentral neuropatik adalah suatu konsep yang berkembang akibat bertambahnya bukti bahwa
kerusakan ujung-ujung saraf nosiseptif perifer di jaringan lunak, pleksus saraf, dan saraf itu sendiri juga
dapat menyebabkan nyeri sentral nosiseptif melalui proses sensitasi. Sindrom nyeri thalamus adalah
salah satu nyeri neuropatik sentral. Nyeri sentral neuropatik juga dapat ditemukan pada pasien post-
strok, multiple sklerosis, spinal cord injury, dan penyakit Parkinson. 5, 6, 7

Nyeri neuropatik perifer terjadi akibat kerusakan saraf perifer. Kerusakan yang berasal dari perifer
menyebabkan tidak saja pelepasan muatan spontan serat saraf perifer yang terkena tetapi juga lepasnya
muatan spontan sel-sel ganglion akar dorsal saraf yang rusak. Contoh-contoh sindrom yang mungkin
dijumpai adalah neuralgia pascaherpes, neuropati diabetes, neuralgia trigeminus, kausalgi, phantom-
limb pain, kompresi akibat tumor, dan post operasi. 5, 7

Penyebab Tersering Nyeri Neuropatik

Nyeri Neuropatik Sentral

Nyeri Neuropatik Perifer

Mielopati kompresif dengan stenosis spinalis

Mielopati HIV

Multiple sclerosis

Penyakit Parkinson

Mielopati post iskemik

Mielopati post radiasi

Nyeri post stroke

Nyeri post trauma korda spinalis

Siringomielia

Poliradikuloneuropati demielinasi inflamasi akut dan kronik

Polineuropati alkoholik

Polineuropati oleh karena kemoterapi

Sindrom nyeri regional kompleks (complex regional pain syndrome)


Neuropati jebakan (misalnya, carpal tunnel syndrome)

Neuropati sensoris oleh karena HIV

Neuralgia iatrogenik (misalnya, nyeri post mastektomi atau nyeri post thorakotomi)

Neuropati sensoris idiopatik

Kompresi atau infiltrasi saraf oleh tumor

Neuropati oleh karena defisiensi nutrisional

Neuropati diabetik

Phantom limb pain

Neuralgia post herpetic

Pleksopati post radiasi

Radikulopati (servikal, thorakal, atau lumbosakral)

Neuropatik oleh karena paparan toksik

Neuralgia trigeminus (Tic Doulorex)

Neuralgia post trauma

(Tabel 1: Dikutip dari kepustakaan 8)

Nyeri neuropatik juga dapat dihubungkan dengan penyakit infeksi, yang paling sering adalah HIV.
Cytomegalovirus, yang sering ada pada penderita HIV, juga dapat menyebabkan low back pain, radicular
pain, dan mielopati. Nyeri neuropatik adalah hal yang paling sering dan penting dalam morbiditas pasien
kanker. Nyeri pada pasien kanker dapat timbul dari kompresi tumor pada jaringan saraf atau kerusakan
sistem saraf karena radiasi atau kemoterapi. 8

IV. PATOMEKANISME

Impuls nyeri yang berasal dari nosiseptor (reseptor nyeri) disalurkan melalui salah satu dari dua jenis
serat aferen. Sinyal-sinyal yang berasal dari nosiseptor mekanis dan termal disalurkan melalui serat A-
delta yang berukuran besar dan bermielin dengan kecepatan sampai 30 meter/detik (jalur nyeri cepat).
Impuls dari nosiseptor polimodal (kimia) diangkut oleh serat C yang kecil dan tidak bermielin dengan
kecepatan yang jauh lebih lambat sekitar 12 meter/detik (jalur nyeri lambat). Secara teori, nyeri
neuropati terutama (jika tidak disertai penyakit lain) disebabkan oleh gangguan fungsi dari akson yang
tidak bermielin (serat C) dan akson yang bermielin tipis (serat A-delta). 9, 10

Ketika terdapat kerusakan pada jalur saraf yang mengirimkan informasi nyeri, sensasi nyeri yang
dirasakan akan berkurang. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan dari ambang batas nyeri dan
penurunan intensitas rasa pada stimulus noksius (stimulus yang merusak jaringan). Akan tetapi, pada
beberapa kasus kerusakan jalur sensori, terjadi hal yang berbeda. Pada pasien nyeri neuropati, akibat
kerusakan sensibilitas pada stimulus noksius, juga terdapat spontaneous pain (nyeri spontan). Nyeri yang
mungkin dirasakan oleh pasien, timbul pada area yang anastesi. Nyeri ini sering kali dirasakan berat dan
sulit untuk diobati.11

Penjelasan yang sederhana untuk nyeri pada cedera saraf yaitu : cedera menyebabkan deafferentation
(penghalangan serabut saraf sensori) pada transmisi nyeri di saraf spinalis dan penghalangan ini
menyebabkan peningkatan aktifitas saraf tersebut. Meskipun berlawanan, konsep ini bukan tanpa dasar
ilmiah. Faktanya, aktifitas yang berlebihan dari SSP dari penghilangan saraf telah diuji cobakan. Hal ini
dengan sangat jelas terlihat pada pasien dengan cedera pleksus brachialis. Nyeri berat yang menetap
sering ditemukan, terutama pada robekan total pleksus brakhialis (brachial plexus avulsion).11
Gambar 1

Cedera menyebabkan deafferentation (penghalangan serabut saraf sensori) pada transmisi nyeri di saraf
spinalis (Dikutip dari Kepustakaan 11)

Nyeri yang dirasakan pada robekan pleksus brakhialis sering digambarkan seperti terbakar, dan disertai
sensasi tertusuk peniti dan jarum atau sengatan listrik. Beberapa sensasi abnormal, disebut
paresthesiae atau jika rasa sangat tidak enak, dysesthesiae biasanya dengan cedera jalur sensori terdapat
pada salah satu dari sistem saraf tepi atau SSP. 11

Pada binatang percobaan, kornu posterior yang merupakan tempat penjalaran nyeri pada segmen yang
telah hilang (deafferentation) menjadi hiperaktif. Bukti yang sesuai dengan konsep bahwa aktifitas yang
berlebih kornu posterior berperan di penjalaran nyeri akibat deafferentation dihasilkan dari prosedur
bedah untuk meringankan nyeri akibat robekan pleksus brakhialis. Nashold dan Osthdahl melaporkan
bahwa apabila aktifitas yang spontan dari kornu posterior yang menyebabkan nyeri pada robekan
pleksus brakhialis, maka pengangkatan dari saraf ini seharusnya menghilangkan rasa nyeri tersebut.
Operasi ini dikembangkan dan diberi nama dorsal root entry zone (DREZ) dan dilaporkan bahwa operasi
ini efektif.11

Untuk nyeri spontan, pasien dengn cedera saraf melaporkan variasi gangguan sensori lain, yaitu terdapat
hyperalgesia (respon yang berlebih pada stimulus noksius) dan allodynia (rasa nyeri yang dihasilkan oleh
stimulus yang non-noksius). Ketika intensitas yang sama pada stimulus noksius dan berulang kali pada
area kulit yang dipersarafi oleh saraf yang rusak, intensitas dari nyeri meningkat dengan stimulus yang
beruturut-turut (summation) dan nyeri akan menetap setelah stimulus dihentikan (after-reaction).
Summation dan after-reaction didapatkan pada beberapa cedera yang luas di kulit dengan persarafan
normal, tetapi berlebihan pada pasien dengan nyeri akibat cedera saraf. 11

Serat aferen bermielin yang primer, termasuk nosiseptor A-delta dan A-alfa mekanoreseptor,
menghambat penjalaran nyeri saraf kornu posterior spinalis yang diaktivasi oleh nosiseptor yang tidak
bermielin. Jadi ketika serat bermielin mengalami kerusakan, aktivitas di serat tidak bermielin
menghasilkan pelepasan yang lebih besar pada sel kornu posterior. Agaknya, peningkatan pelepasan
pada sel kornu posterior akan dirasakan sebagai nyeri hebat.11
Gambar 2

Penjalaran nyeri pada sel T (Dikutip dari kepustakaan 11)

Berdasarkan teori ini, interaksi antara masukan serat bermielin dan tidak bermielin ke korda spinalis
terjadi pada dua tempat : penghambatan interneuron di substansia gelatinosa (lamina II) dan penjalaran
nyeri saraf kornu posterior. Kedua serat aferen primer bermielin dan tidak bermielin dimaksudkan
memberikan aksi rangsangan pada penjalaran nyeri (sel T). Sel substansia gelatinosa dimaksudkan untuk
menghambat penjalaran dari kedua kelas aferen primer, jadi presinaps menghambat semua masukan ke
sel penjalaran nyeri. Aferen yang bermielin memberikan rangsangan ke saraf inhibisi substansia
gelatinosa, dengan cara demikian, menurunkan masukan ke sel T dan sebagai akibatnya menghambat
rasa nyeri. Hal ini didukung oleh pengamatan klinik yang menyatakan beberapa stimulasi pada serat
myelin yang berdiameter besar dapat menghasilkan analgesik. Secara berbeda, aktifitas pada nosiseptor
yang tidak bermielin menghambat inhibisi dari sel substansia gelatinosa, menyebabkan peninggian
penjalaran dari aferen primer ke sel T dan akibatnya meningkatkan intensitas rasa nyeri. Dengan begitu,
aferen yang tidak bermielin memiliki dua efek rangsangan yaitu penjalaran nyeri pada kornu posterior
(rangsangan secara langsung) dan hambatan pada inhibitory sel substansia gelatinosa (rangsangan
secara tidak langsung).11

Penelitian pada percobaan cedera saraf perifer telah mengindikasikan bagaimana kerusakan aferen
primer yang tidak bermielin dapat menyebabkan rasa nyeri. Ketika akson saraf perifer mengalami
kerusakan maka akson yang rusak ini akan menumbuhkan tunas-tunas baru (serat) yang tumbuh di
sekitar struktur saraf tepi yang tadinya dipersarafi. Apabila tempat masuk saraf pada jaringan yang
menyambung tadi masih intak atau dekat pada bagian saraf distal, akson akan masuk dan melanjutkan
pertumbuhan tunasnya ke jaringan tersebut. Jika tempat masuk tersebut rusak, maka pertumbuhan
tunas akson akhirnya tidak terkendali dan seperti bola kusut yang disebut neuroma. Secara histologi
tampak tunas dari akson yang memasuki neuroma yang berbeda dengan akson yang normal pada saraf
perifer. Kebanyakan memiliki diameter sangat kecil (<0,5 mikrometer) dan berasal dari akson yang tidak
bermielin, sekitar 80 persen dari akson aferen primer yang tidak bermielin dan sisanya adalah eferen
postganglion simpatis.11
Gambar 3

Pembentukan neuroma. C. Impuls ektopik dihasilkan dari bagian akson yang tidak bermielin (Dikutip dari
kepustakaan 11)

Sifat fisiologi dari regenerasi aferen primer ini juga berbeda dari aferen yang normal di beberapa segi.
Pertama, area dari pertumbuhan tunas menjadi lebih sensitif terhadap stimulasi mekanik langsung. Ini
mungkin juga dirasakan sebagai shooting pain yang biasanya timbul akibat pergerakan yang menekan
saraf. Kedua, yaitu spontaneous activity (aktifitas yang spontan). Pelepasan yang spontan dan
peningkatan sensitifitas terhadap mekanik.

Kerusakan aferen didapatkan paling sedikit pada dua tempat yang berbeda: regenerasi tunas yang dekat
dengan lokasi cedera, dan dekat dengan cell body pada dorsal root ganglion (DRG). Sensitifitas mekanik
pada bagian yang dekat dengan DRG mungkin memperbesar penjalaran nyeri yang dihasilkan pada
dermatom ketika bagian saraf (nerve roots) tertekan oleh penonjolan diskus intervertebralis (nyeri
radikuler pada sciatica).11

Pada tempat pertumbuhan tunas dan daerah DRG, impuls ektopik dapat juga dihasilkan dari bagian yang
rusak (tidak bermielin) pada akson bermielin. Jika akson yang tidak bermielin adalah nosiseptor, maka
rangsangan hebat mungkin menghasilkan nyeri tusukan yang pendek. Seperti mekanisme yang temukan
pada syndrome of tic douloureux. Yang memeliki karateristik nyeri pendek hebat yang berulang-ulang.
Pasien dengan multiple sclerosis, penyakit ini terdapat akson rusak yang tidak bermielin sampai SSP.11

V. DIAGNOSIS

a. Kriteria diagnostik

Penatalaksanaan yang sistematik bergantung kepada diagnosis yang tepat. Diagnosis dari nyeri
neuropatik mengutamakan anamnesis riwayat penyakit yang tepat dan pemeriksaan fisis yang sesuai alat
diagnostik seperti DN4 atau LANSS scoring mungkin berguna, karakteristik dari nyeri neuropatik dapat
dimasukkan dalam beberapa kriteria yakni:

1. Spontan (stimulus yang tidak berrgantung faktor dari luar)

a. Sensasi terbakar

b. Intermiten

c. Nyeri seperti disengat listrik

d. Hipostesia atau anastesia (Kurang atau tidak dapat merasakan terhadap rangsang normal

e. Disestesia (Abnormal dan sensasi tidak menyenangkan)

f. Parastesia (Abnormal dan bukan sensasi yang tidak menyenangkan)

2. Nyeri yang dipicu oleh rangsang dari luar

a. Hiperalgesia (Respon yang meningkat untuk rangsang nyeri yang normal)

b. Allodinia (Nyeri terhadap rangsang yang pada orang normal tidak menimbulkan nyeri)

c. Dinamis yang dipicu oleh sentuhan

d. Statis yang dipicu oleh tekanan

e. Allodinia dingin (nyeri yang dipicu oleh rangsang yang dingin)12,13

Neuropati, hal yang mendasar pada nyeri neuropatik perifer, dapat bersifat fokal, multifokal atau
distribusi yang difuse, yang bersifat fokal dapat berasal dari saraf, akar saraf atau kadang-kadang dari
plexus. Adakalanya, nyeri neuropatik sentral (medula spinalis maupun otak) juga dapat menyebabkan
nyeri yang bersifat fokal. Di negara berkembang, kebanyakan kasus yang dijumpai adalah demyelisasi.
Neuralgia atau yang berasal dari radiks saraf cenderung untuk mengikuti distribusi dari dermatom dan
memiliki ciri tertentu dari distribusinya, distribusi nyeri bagaimanapun juga, tidak selalu merupakan
indikator dalam menunjukkan asal dari nyeri tersebut. Distribusi dari parestesia dapat menjadi indikator
yang efektif dalam menunjukkan asal dari suatu lesi nyeri neuropatik13

VI. DIAGNOSIS BANDING

1. Diabetic Peripheral Neuropathy (DPN) diklasifikasikan sebagai akut atau kronik, DPN akut merupakan
kondisi yang jarang dan dapat mempengaruhi tungkai bagian bawah dan penyakit ini menyusahkan dan
adakalanya menyebabkan ketidakmampuan pada penderita. Kondisi akut ini terjadi oleh karena kontrol
glukosa darah yang kurang baik atau perbaikan kontrol yang cepat. DPN kronik didefinisikan sebagai
gejala yang telah tejadi minimal 6 bulan.8

DPN telah digunakan untuk menggambarkan besarnya penyebaran dan sindrom neuropatik fokal yang
menyebabkan kerusakan dari serat saraf autonom dan somatik perifer. Sindrom ini temasuk bagian
distal, polineuropatik sensorimotorik yang simetris, neuropatik autonom, neuropatik motorik tungkai
bagian proksimal yang simetris (amyotrophy), neuropatik kranial, radikulopatik, neuropatik entrapment,
dan neuropatik motorik tungkai yang asimetris. Gejala pada pasien dengan polineuropatik
sensorimotorik simetris mungkin digambarkan sebagai salah satu yang negatif ( kehilangan rasa) atau
positif (rasa nyeri terbakar atau kelemahan otot). Kehilangan serat kecil yang tak bermielin pada pasien
ini mungkin mempengaruhi untuk terjadinya cedera atau ulkus pada kaki. Pasien dengan DPN mungkin
juga mengalami carpal tunnel syndrome atau meralgia paresthetica dan atau rasa nyeri yang tersebar
pada saraf lateral femoral cutaneus. Gejala dari DPN mungkin akan memburuk pada malam hari, dan
akan menggangu tidur pasien yang menyebabkan rasa lelah, mudah marah, dan disfungsi otot wajah.8

Diagnosis klinik pada DPN, terutama sekali pada pasien dengan polineuropatik sensorimotorik mungkin
akan sulit, karena gejala yang ada sangat bervariasi, mulai dari nyeri yang tidak ada dengan penyakit
yang mungkin digambarkan hanya oleh ulkus kaki yang tidak berasa sampai nyeri yang sangat berat.
Tanda dan gejala sensori dari DPN sering kali muncul daripada gejala motorik. Akan tetapi belakangan
terakhir mungkin terdapat penurunan refleks pergelangan kaki (Achilles) dan atau sedikit kelemahan
otot bagian distal.8

2. Post Herpetic Neuralgia merupakan nyeri yang menetap untuk jangka waktu yang lama setelah muncul
ruam pada penyakit herpes zoster. Meskipun definisi yang ada bervariasi, American Academy of
Neurology memberikan definisi PHN adalah rasa nyeri yang menetap lebih dari 3 bulan setelah
penyembuhan ruam pada penyakit herpes zoster. Etiologi dari PHN belum diketahui secara pasti, akan
tetapi, pada pasien dengan PHN telah mengalami kerusakan dari saraf sensori, dorsal root ganglia (DRG),
dan kornu posterior spinalis. Diperkirakan telah terjadi penyebaran partikel-partikel dari virus di tempat-
tempat ini setelah tereaktivasi dan ini disertai oleh inflamasi, repon imun, perdarahan, dan kerusakan
pada saraf sensori perifer dan prosesnya. Diketahui juga bahwa infeksi VZV ini dapat menyerang korda
spinalis dan SSP disertai pembuluh darah menyebabkan gejala neurologik yang meluas.8

Gejala akut herpes zoster secara khas timbul dengan gejala prodromal selama 3-4 hari dan mungkin
terdapat hyperesthesia, paresthesias, dan atau burning dysesthesias dan gatal sepanjang dermatom
yang terinfeksi. Rasa nyeri merupakan alasan tersering yang dirasakan pasien hingga mencari
pengobatan. Rasa nyeri ini seringkali digambarkan seperti rasa terbakar atau rasa tersengat dan
umumnya berat. Dermatom yang seringkali terkena adalah bagian toraks, tetapi dapat juga terjadi pada
dermatom lain. Nervus trigeminus bagian ophtalmicus adalah saraf kranialis yang sering terkena pada
pasien infeksi ini. Pada kebanyakan pasien, gejala akut ini akan membaik sendiri setelah ruam yang
timbul mengalami penyembuhan. Tetapi sebagian kecil pasien (terutama pada usia lanjut), berkembang
menjadi gejala-gejala PHN. 8

Pasien dengan PHN mungkin datang dengan gejala yang mirip nyeri neuropatik. Gejala ini
dirasakan sebagai nyeri yang terus menerus yang muncul dengan adanya stimulus dari luar, dimana
pasien mungkin merasakannya sering kali pada malam hari atau ketika perhatian pasien tidak terfokus
pada suatu aktivitas. Pasien dengan PHN juga merasakan nyeri pada sentuhan yang ringan, walaupun
hanya dengan pakaian (allodynia). Beberapa pasien dengan PHN mungkin juga mengeluhkan nyeri
lancinating (nyeri hebat karena sentakan yang cepat). Gejala motorik dan autonom jarang ditemukan
PHN, tetapi ada kalanya pada pasien dapat muncul nyeri tulang atau nyeri pleura atau neurogenic
bladder or rectum setelah infeksi herpes zoster. 8

VIII. PENATALAKSANAAN

Banyak jenis obat obat yang telah digunakan dalam mengobati nyeri neuropatik, termasuk diantaranya
antiepilepsi spektrum luas (AEDs), misalnya karbamazepin, fenitoin, okskarbazepin, gabapentin,
pregabalin, lamotrigin, penobarbital, fenitoin, topiramate, dan valproic bekerja dengan mengurangi
loncatan listrik pada neuron melalui blokade dari voltage dependent sodium dan kalsium channel. Obat
lainnya (mis, penobarbital, tiagabine, topiramate, vigabatrine, valproat) bekerja dengan meningkatkan
inhibisi neurotransmitter atau secara langsung turut campur dalam transmisi eksitatorik.14

Duloxetine

Duloxetine diindikasikan untuk penanganan nyeri neuropatik yang berhubungan dengan dpn,
walaupun mekanisme kerjanya dalam mengurangi nyeri belum sepenuhnya dipahami. Hal ini mungkin
berhubungan dengan kemampuannya untuk meningkatkan aktivitas norepinephrin dan 5-HT pada sistem
saraf pusat, duloxetine umumnya dapat ditoleransi dengan baik, dosis yang dianjurkan yaitu duloxetine
diberikan sekali sehari dengan dosis 60 mg, walaupun pada dosis 120 mg/hari menunjukkan keamanan
dan keefektifannya, tapi tidak ada bukti yang nyata bahwa dosis yang lebih dari 60 mg/hari memiliki
keuntungan yang signifikan, dan pada dosis yang lebih tinggi kurang dapat ditoleransi dengan baik

Gabapentin

Gabapentine diindikasikan untuk penanganan PHN pada orang dewasa, molekulnya secara
struktural berhubungan dengan neurotransmitter gamma-amino butyric acid, namun gabapentin tidak
berinteraksi secara signifikan dengan neurotransmitter yang lainnya, walaupun mekanisme kerja
gabapentin dalam mengurangi nyeri pada PHN belum dipahami dengan baik, namun salah satu sumber
menyebutkan bahwa gabapentin mengikat reseptor 2 subunit dari voltage-activated calsium channels,
pengikatan ini menyebabkan pengurangan influks ca2+ ke dalam ujung saraf dan mengurangi pelepasan
neurotransmitter, termasuk glutamat dan norepinephrin.14

Pada orang dewasa yang menderita PHN, terapi gabapentin dimulai dengan dosis tunggal 300 mg
pada hari pertama, 600 mg pada hari kedua (dibagi dalam dua dosis), dan 900 mg pada hari yang
ketiga(dibagi dalam 3 dosis). Dosis ini dapat dititrasi sesuai kebutuhan untuk mengurangi nyeri sampai
dosis maksimum 1800 hingga 3600 mg(dibagi dalam 3 dosis). Pada penderita gangguan fungsi ginjal dan
usia lanjut dosisnya dikurangi.14

Pregabalin

Pregabalin diindikasikan pada penanganan nyeri neuropatik untuk DPN dan juga PHN. Mekanisme
kerja dari pregabalin sejauh ini belum dimengerti, namun diyakini sama dengan gabapentin. Pregabalin
mengikat reseptor 2 subunits dari voltage activated calsium channels, memblok ca2+ masuk pada
ujung saraf dan mengurangi pelepasan neurotransmitter. Pada penderita DPN yang nyeri, dosis
maksimum yang direkomendasikan dari pregabalin adalah 100 mg tiga kali sehari (300mg/hari). Pada
pasien dengan creatinin clearance 60 ml/min, dosis seharusnya mulai pada 50 mg tiga kali sehari
(150mg/hari) dan dapat ditingkatkan hingga 300mg/hari dalam 1 minggu berdasarkan keampuhan dan
daya toleransi dari penderita. Dosis pregabalin sebaiknya diatur pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal. Pada penderita PHN, dosis yang direkomendasikan dari pregabalin adalah 75 hingga 150 mg 2 kali
sehari atau 50 hingga 100 mg 3 kali sehari (150-300 mg/hari). Pada pasien dengan creatinin clearance
60 ml/min, dosis mulai pada 75 mg 2 kali sehari, atau 50 mg 3 kali sehari (150 mg/hari) dan dapat
ditingkatkan hingga 300 mg/hari dalam 1 minggu berdasarkan keampuhan dan daya toleransi penderita,
jika nyerinya tidak berkurang pada dosis 300 mg/hari, pregabalin dapat ditingkatkan hingga 600
mg/hari.14

IX. SIMPULAN

Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang dipicu atau disebabkan oleh lesi primer atau disfungsi dari
sistem saraf. Nyeri neuropatik pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua yaitu berdasarkan asalnya yaitu
perifer dan sentral, juga berdasarkan waktunya, yakni nyeri neuropatik akut dan kronik.

Nyeri neuropatik dapat terjadi akibat lesi di susunan saraf pusat (nyeri sentral) atau kerusakan saraf
perifer (nyeri perifer). Nyeri neuropatik berasal dari saraf perifer di sepanjang perjalanannya atau dari
SSP karena gangguan fungsi, tanpa melibatkan eksitasi reseptor nyeri spesifik (nosiseptor). Gangguan ini
dapat disebabkan oleh kompresi, transeksi, infiltrasi, iskemik, dan gangguan metabolik pada badan sel
neuron. Nyeri neuropatik juga dapat dihubungkan dengan penyakit infeksi, yang paling sering adalah HIV.
Nyeri pada pasien kanker dapat timbul dari kompresi tumor pada jaringan saraf atau kerusakan sistem
saraf karena radiasi atau kemoterapi.
Penatalaksanaan yang sistematik bergantung kepada diagnosis yang tepat. Diagnosis dari nyeri
neuropatik mengutamakan anamnesis riwayat penyakit yang tepat dan pemeriksaan fisis yang sesuai alat
diagnostik seperti DN4 atau LANSS scoring mungkin berguna. Banyak jenis obat obat yang telah
digunakan dalam mengobati neuropatik pain, termasuk diantaranya antiepilepsi spektrum luas (AEDs),
opioid dan antidepresant trisiklik. Pregabalin juga dianjurkan pada nyeri neuropati sentral.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lovel and Hassan. Clinicians Guide to Pain. New York: Oxford University; 1996.

2. Dwordkin RH. An Overview of Neuropathic Pain:Syndrom, Symptom, Sign and Several Mechanism.
The Clinical Jornal of Pain 2002; 18: p343-349.

3. Gilron I, Watson CPN, Cahill CM, Moulin DE. Neuropathic Pain: A Practical Guide For The Clinician.
CMAJ August 2006; 175: p.1-13.

4. Torrance N, Smith BH, Bannet MI, Lee AJ. The Epedimiology of Chronic Pain of Predominantly
Neuropathic Origin. J Pain April 2006; 7(4): 281-9.

5. Mary SH, Lorraine MW. Nyeri. In: Sylvia AP, Lorraine MW, editors. Patofisiologi Volume 2. 6th
edition. Jakarta: EGC; 2003. p.1063-1101.

6. Galuzzi KE. Management of Neuropathic Pain. JAOA September 2005; 105: 12-19.

7. Dupere D. Neuropathic Pain: An Option Overview. The Canadian Journal of CME February 2006; 79:
90-92.
8. Nicholson B. Differential Diagnosis: Nociceptive and Neuropathic Pain. The American Journal of
Managed Care June 2006; 12: S256-S262.

9. Sherwood L. Fisiologi Manusia: Dari Sel Ke Sistem. 2nd edition. Jakarta: EGC; 2001. p156-159

10. Ilsee, WK. Neuropathic: Mechanisms, Diagnosis, and Treatment. The Canadian Journal of CME
February 2002; 99-105

11. Fields HL. Pain. USA: McGraw-Hill; 1987.p133-145.

12. Chen H, et al. Contemporary Management of Neuropathic Pain. Mayo Clinic Proc Desember 2004;
79(12): 1533-1545.

13. Vranken J.H et al. Pregabalin in Patients With Central Neuropathic Pain. J Pain Juni 2007; 7(4): 281-9

14. Gidal B, Billington R. New and Emerging Treatment Option for Neuropatic Pain. The American Journal
of Managed Care Juni 2006; 12(9): S269-S278.

Berbagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beranda

Lihat versi web

Diberdayakan oleh Blogger.

You might also like