You are on page 1of 18

Telaah Ilmiah

Endoftalmitis
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik
di Departemen Ilmu Kesehatan Mata RSMH Palembang

Oleh
Hanna Dwi Wiranti, S.Ked 04084821719174

Pembimbing
Dr. dr. Anang Tribowo, SpM (K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2017

i
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah


Endoftalmitis

Oleh:
Hanna Dwi Wiranti, S.Ked
040848217179174

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 30 Januari 2016 s.d 6 Maret 2017

Palembang, Juni 2017

Dr. dr. Anang Tribowo, SpM (K)

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas rahmat dan berkat-
Nya Telaah Ilmiah yang berjudul Endoftalmitis ini dapat diselesaikan tepat waktu. Telaah
Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian
Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Dr. dr. Anang Tribowo, SpM (K)
atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan telaah
Ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk
penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Palembang, Juni 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN. .. ii
KATA PENGANTAR. .. iii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN .. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Vitreous Humor.. 2
2.2 Definisi 2
2.3 Etiologi. 3
2.4 Epidemiologi. 3
2.5 Patofisiologi.. 4
2.6 Gejala dan Tanda 4
2.7 Jenis-jenis Endoftalmitis 5
2.8 Diagnosa Banding 8
2.9 Pemeriksaan Penunjang. 9
2.10 Terapi. 9
2.11 Pencegahan. 11
2.12 Prognosis. 11
BAB III KESIMPULAN.. 12
DAFTAR PUSTAKA 13

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Endoftalmitis merupakan kejadian yang jarang namun merupakan komplikasi yang
membahayakan. Endoftalmitis sering terjadi setelah trauma pada mata termasuk setelah
dilakukannya operasi mata yang merupakan faktor risiko masuknya mikroorganisme ke dalam
mata. Mikroorganisme ini menyebabkan infeksi intraokuler yang disebut endoftalmitis
(Scheidler V,et al., 2004; Kalamalarajah S, et al., 2004).
Diagnosis endoftalmitis selalu berdasarkan kondisi klinis. Ini biasanya ditandai dengan
edema palpebra, kongesti konjungtiva, dan hipopion atau eksudat pada COA. Visus menurun
bahkan dapat menjadi hilang. Prognosis penglihatan menjadi jelek pada pasien-pasien dengan
endoftalmitis (Scheidler V,et al., 2004; Kalamalarajah S, et al., 2004).
Karena hasil pengobatan akhir sangat tergantung pada diagnosis awal, maka penting
untuk melakukan diagnosis sedini mungkin. Penelitian tentang endoftalmitis pada beberapa
tahun terakhir telah menunjukkan beberapa cara sebagai profilaksis yang terjadinya
endoftalmitis. Berikut akan diuraikan lebih jauh mengenai endoftalmitis (Scheidler V,et al.,
2004).

1
BAB II
ENDOFTALMITIS

2.1 Anatomi dan Fisiologi Vitreous Humour


Vitreous humour atau badan kaca menempati daerah belakang lensa. Struktur ini
merupakan gel transparan yang terdiri atas air (lebih kurang 99%), sedikit kolagen, dan
molekul asam hialuronat yang sangat terhidrasi. Badan vitreous mengandung sangat sedikit
sel yang menyintesis kolagen dan asam hialuronat. Berfungsi mengisi ruang untuk
meneruskan sinar dari lensa. Kebeningan badan vitreous disebabkan tidak terdapatnya
pembuluh darah dan sel. Pada pemeriksaan tidak terdapatnya kekeruhan badan vitreous akan
memudahkan melihat bagian retina pada pemeriksaan oftamoskopi (Hanscom TA, 2004).

Gambar 1 anatomi penampang sagital bola mata

2.2 Definisi Endoftalmitis


Endoftalmitis merupakan radang purulen pada seluruh jaringan intraokuler, disertai dengan
terbentuknya abses di dalam badan kaca. Bila terjadi peradangan lanjut yang mengenai ketiga
dinding bola mata, maka keadaan ini disebut panoftalmitis (Ilyas S. 1998; Vaughan and
Asbury T, 1994)
Pasien terlihat sakit disertai dengan demam, dan pada mata timbul gejala berupa mata
sakit, merah, kelopak bengkak, edema kornea, keratik presipitat, disertai hipopion, refleks
fundus hilang akibat adanya nanah di dalam badan kaca. Tajam penglihatan sangat menurun.
Tekanan bola mata sangat merendah dan kadang-kadang meninggi akibat massa supuratif
yang tertumpuk di dalam bola mata (Ilyas S. 1998).

2
2.3 Etiologi Endoftalmitis
Penyebab peradangan ini adalah :
- Endogen akibat sepsis, selulitis orbita, dan penyakit sistemik lainnya
- Eksogen, yang sering terjadi akibat trauma tembus, tukak perforasi, dan penyulit infeksi
pada pembedahan.
Kuman penyebab biasanya disebabkan oleh Staphylococcus albus, Staphylococcus aureus,
proteus dan pseudomonas dengan masa inkubasi 24-72 jam. Bila endoftalmitis terjadi dalam 2
minggu setelah trauma, maka keadaan ini mungkin disebabkan karena infeksi bakteri,
sedangkan bila gejala terlambat mungkin infeksi disebabkan oleh jamur (Ilyas, 1998).

2.4 Epidemiologi Endoftalmitis


Endophthalmitis endogen jarang terjadi, hanya terjadi pada 2-15% dari semua kasus
endophthalmitis. Kejadian rata-rata tahunan adalah sekitar 5 per 10.000 pasien yang dirawat.
Dalam beberapa kasus, mata kanan dua kali lebih mungkin terinfeksi sebagai mata kiri,
mungkin karena lokasinya yang lebih proksimal untuk mengarahkan aliran darah ke arteri
karotid kanan. Sejak tahun 1980, infeksi Candida dilaporkan pada pengguna narkoba suntik
telah meningkat. Jumlah orang yang beresiko mungkin meningkat karena penyebaran AIDS,
sering menggunakan obat imunosupresif, dan lebih banyak prosedur invasif (misalnya,
transplantasi sumsum tulang).
Sebagian besar kasus endophthalmitis eksogen (sekitar 60%) terjadi setelah operasi
intraokular. Ketika operasi merupakan penyebab timbulnya infeksi, endophthalmitis biasanya
dimulai dalam waktu 1 minggu setelah operasi. Di Amerika Serikat, endophthalmitis
postcataract merupakan bentuk yang paling umum, dengan sekitar 0,1-0,3% dari operasi
menimbulkan komplikasi ini, yang telah meningkat selama beberapa tahun terakhir. Walaupun
ini adalah persentase kecil, sejumlah besar operasi katarak yang dilakukan setiap tahun
memungkinkan untuk terjadinya infeksi ini lebih tinggi.
Post traumatic Endophthalmitis terjadi pada 4-13% dari semua cedera penetrasi okular.
Insiden endophthalmitis dengan cedera yang menyebabkan perforasi pada bola mata di
pedesaan lebih tinggi bila dibandingkan dengan daerah perkotaan. Keterlambatan dalam
perbaikan luka tembus pada bola mata berkorelasi dengan peningkatan resiko berkembangnya
endophthalmitis. Kejadian endophthalmitis yang disebabkan oleh benda asing intraokular
adalah 7-31%.

3
2.5 Patofisiologi Endoftalmitis
Dalam keadaan normal, sawar darah-mata (blood-ocular barrier) memberikan ketahanan
alami terhadap serangan dari mikroorganisme. Dalam endophthalmitis endogen,
mikroorganisme yang melalui darah menembus sawar darah-mata baik oleh invasi langsung
(misalnya, emboli septik) atau oleh perubahan dalam endotelium vaskular yang disebabkan
oleh substrat yang dilepaskan selama infeksi. Kerusakan jaringan intraokular dapat juga
disebabkan oleh invasi langsung oleh mikroorganisme dan atau dari mediator inflamasi dari
respon kekebalan.
Endophthalmitis dapat terlihat nodul putih yang halus pada kapsul lensa, iris, retina, atau
koroid. Hal ini juga dapat timbul pada peradangan semua jaringan okular, mengarah kepada
eksudat purulen yang memenuhi bola mata. Selain itu, peradangan dapat menyebar ke
jaringan lunak orbital. Setiap prosedur operasi yang mengganggu integritas bola mata dapat
menyebabkan endophthalmitis eksogen (Hatch WV, et al., 2009; Miller JJ, et al., 2004; Smith
MA, et al., 1997).

2.6 Gejala dan Tanda Endoftalmitis


2.6.1 Gejala
Severe ocular pain
Mata merah
Lakrimasi
Penurunan visus
Fotofobia

2.6.2 Tanda
Kelopak mata bengkak dan eritema
Konjungtiva tampak chemosis
Kornea edema, keruh, tampak infiltrate
Hypopion (lapisan sel-sel inflamasi dan eksudat di ruang anterior)
Iris odem dan keruh
Pupil tampak yellow reflek
Eksudat pada vitreus
TIO meningkat atau menurun

4
2.7 Jenis-Jenis Endoftalmitis
2.7.1 Endoftalmitis Akut Pasca Bedah Katarak
Merupakan bentuk yang paling sering dari endoftalmitis, dan hampir selalu disebabkan
oleh infeksi bakteri. Tanda-tanda infeksi dapat muncul dalam waktu satu sampai dengan enam
minggu dari operasi. Namun, dalam 75-80% kasus muncul di minggu pertama pasca operasi.
Sekitar 56-90% dari bakteri yang menyebabkan endoftalmitis akut adalah gram positif,
dimana yang paling sering adalah Staphylococcus epidermis, Staphylococcus aureus dan
Streptococcus. Pada pasien dengan endoftalmitis akut pasca operasi biasa ditemui Injeksi
silier, hilangnya reflek fundus, hipopion, pembengkakan kelopak mata, fotofobia, penurunan
visus dan kekeruhan vitreus (Cooper Ba, et al., 2003; Smith SR, et al., 2007)

Gambar 2 Endoftalmitis Akut Pasca Bedah Katarak

2.7.2 Endoftalmitis Pseudofaki Kronik


Endoftalmitis pseudofaki kronik biasanya berkembang empat minggu hingga enam
minggu. Biasanya, keluhan pasien ringan dengan tanda-tanda mata merah, penurunan
ketajaman visus dan adanya fotofobia. Sedangkan tanda-tanda yang dapat ditemui yaitu
adanya eksudat serosa dan fibrinous dari berbagai derajat dapat diamati, dihubungkan dengan
adanya hipopion dan tanda-tanda moderat dari kekeruhan dan opacity dalam vitreous body
( Callegan MC, et al., 2002; Trofa D, et al., 2008)
Salah satu yang khas dari endoftalmitis pseudofaki kronik adalah adanya plak kapsul putih
dan secara proporsional tingkat kekeruhan badan vitreous yang lebih rendah dibandingkan
dengan endophthalmitis akut. Hal ini dianggap bahwa penyebab endoftalmitis pseudofaki
kronik adalah adanya beberapa bakteri yang memiliki virulensi rendah, dengan tanda-tanda
inflammation yang berjalan lambat. Frekuensi paling sering yang menjadi penyebab dari
chronic endiphthalmitis adalah Propionibacterium acnes dan Corynebacterium species (Trofa
D, et al., 2008).

5
Gambar 3 Endoftalmitis Pseudofaki Kronik

2.7.3 Endoftalmitis Pasca Operasi Filtrasi Antiglaukoma


Diantara semua kasus endoftalmitis pasca operasi, komplikasi ini terjadi pasca operasi
filtrasi antiglaukoma yang terjadi sebanyak 10% dari kasus. Dari total jumlah kasus dengan
operasi filtrasi antiglaukoma, endoftalmitis terjadi dalam persentase yang sama seperti di
Katarak (0,1%). Trabeculectomy dan trepanotrabeculectomy, sebagai metode yang tersering,
membentuk filtrasi fistula yang mengarahkan cairan ke ruang bawah konjungtiva. Akumulasi
cairan ini memungkinkan menjadi tempat peradangan yang dapat disebabkan oleh inokulasi
bakteri selama operasi, atau bisa terjadi selama periode pasca operasi. Tanda-tanda
endoftalmitis muncul empat minggu setelah operasi pada 19% pasien, atau bahkan kemudian
dalam sebagian besar kasus. Infeksi juga dapat terjadi satu tahun berikutnya setelah operasi.
Manfestasi klinis yang terjadi sangat mirip dengan salah satu endoftalmitis akut dengan tanda-
tanda kumpulan pus di tempat akumulasi cairan dan kerusakan nekrotik dari sclera sebagai
konsekuensi dari efek toksik. Bakteri penyebab paling umum adalah jenis Streptococcus dan
Staphylococcus aureus, disamping itu Haemophilus influenza juga menjadi salah satu
penyebabnya (Wejde G, et al., 2005; Maguire JI, 2008; Benz MS, et al., 2004; Prajna NV, et
al., 1998).

2.7.4 Endoftalmitis Pasca Trauma


Setelah terjadinya cedera mata, endoftalmitis terjadi dalam persentase tinggi (20%),
terutama jika cedera ini terkait dengan adanya benda asing intraokular. Dengan temuan klinis
berupa luka perforasi, infeksi berkembang sangat cepat. Tanda-tanda infeksi biasanya
berkembang segera setelah cedera, tapi biasanya diikuti oleh reaksi post-traumatic jaringan
mata yang rusak. Informasi yang sangat penting dalam anamnesis adalah apakah pasien
berasal dari lingkungan pedesaan atau perkotaan, cedera di lingkungan pedesaan lebih sering
diikuti oleh endoftalmitis (30%) dibandingkan dengan pasien dari lingkungan perkotaan.
(11%). Secara klinis, Endoftalmitis pasca-trauma ditandai dengan rasa sakit, hiperemi ciliary,
gambaran hipopion dan kekeruhan pada vitreous body. Dalam kasus endoftalmitis pasca-

6
trauma, agen causative paling umum adalah bakteri dari kelompok Bacillus dan
Staphylococcus. Dalam Endoftalmitis post-traumatik, khususnya dengan masuknya benda
asing, sangat penting untuk dilakukan vitrekomi sesegera mungkin, dengan membuang benda
asing intraokular dan aplikasi terapi antibiotik yang tepat (Mistlberger A, et al., 1997;
Sherwood, et al., 1989).

2.7.5 Endoftalmitis Endogen


Pada bentuk endoftalmitis ini tidak ada riwayat operasi mata ataupun trauma mata.
Biasanya ada beberapa penyakit sistemik yang mempengaruhi, baik melalui penurunan
mekanisme pertahanan host atau adanya fokus sebagai tempat potensial terjadinya infeksi.
Dalam kelompok ini penyebab tersering adalah; adanya septicaemia, pasien dengan imunitas
lemah, penggunaan catethers dan Kanula intravena kronis. Agen bakteri yang biasanya
menyebabkan endoftalmitis endogen adalah Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan
spesies Streptococcus. Namun, agen yang paling sering menyebabkan Endoftalmitis endogen
adalah jamur (62%), gram positive bakteri (33%), dan gram negatif bakteri dalam 5% dari
kasus (Sherwood, et al., 1989; (Lunstrom M, 2007).

Gambar 4 Endoftalmitis Endogen

2.7.6 Fungal Endoftalmitis

7
Fungal endoftalmitis dapat berkembang melalui mekanisme endogen setelah beberapa
trauma atau prosedur bedah dengan inokulasi langsung ke ruang anterior atau vitreous body,
atau transmisi secara hematogen dalam bentuk candidemia. Tidak seperti fungal
chorioretinitis yang disebabkan oleh kandidiasis, yang disertai dengan tanda peradangan
minimal pada vitreous body, fungal endoftalmitis merupakan penyakit serius dengan
karakteristik tanda-tanda endoftalmitis akut (Hatch WV, et al., 2009).

Gambar 5 Fungal Endoftalmitis

2.8 Diagnosa Banding


Endophthalmitis yang disebabkan oleh bakteri dan jamur seringkali sulit untuk dibedakan
dengan peradangan intraocular lainnya. Peradangan berlebihan tanpa endopthalmitis sering
ditemui pasca operasi yang rumit, uveitis yang sudah ada sebelumnya dan keratitis, diabetes,
terapi glaukoma, dan bedah sebelumnya. Toxic anterior segment syndrome (TASS) juga
termasuk dalam diagnosis diferensial endoftalmitis. TASS disebabkan oleh pengenalan
substansi zat beracun selama operasi yang umumnya disebabkan oleh instrumen, cairan, atau
lensa intraokular. Keratitis dan infeksi pasca operasi sering disertai dengan hipopion tanpa
infeksi intraokular. lt ini penting untuk menghindari memperkenalkan infeksi eksternal
(seperti dalam kasus keratitis bakteri) ke mata dengan melakukan paracentesis yang tidak
perlu. Sel tumor dari limfoma mungkin menumpuk di vitreous, atau sel retinoblastoma dapat
terakumulasi di ruang depan, simulasi peradangan intraocular. Pada retinoblastoma
intraokular biopsi merupakan kontraindikasi. karakteristik yang paling membantu untuk
membedakan endophthalmitis yang benar adalah bahwa vitritis ini progresif dan keluar dari
proporsi lain temuan segmen anterior. Jika ragu, dokter harus menangani kondisi ini sebagai
suatu proses infeksi (Smith MA, et al., 1997).

2.9 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium

8
Endoftalmitis eksogen: sampel vitreous (vitreous tap) diambil untuk diteliti
mikroorganisme penyebab dari endoftalmitis.
Endoftalmitis endogen: darah lengkap dan kimia darah mengetahui sumber infeksi
Studi Imaging
B-scan (USG): tentukan apakah ada keterlibatan peradangan vitreous. Hal ini juga
penting untuk mengetahui dari ablasi retina dan Choroidal, yang nantinya penting
dalam pengelolaan dan prognosis.
Chest x-ray - Mengevaluasi untuk sumber infeksi
USG Jantung - Mengevaluasi untuk endokarditis sebagai sumber infeksi
Prosedur Diagnosa (evaluasi ophtalmologi)
Periksa visus
Slit lamp
Tekanan intraokular
Melebar funduscopy
ultrasonografi

2.10 Terapi
Pengobatan tergantung pada penyebab yang mendasari endophthalmitis. Hasil akhir ini
sangat tergantung pada penegakan diagnosis dan pengobatan tepat waktu. Tujuan dari terapi
endophthalmitis adalah untuk mensterilkan mata, mengurangi kerusakan jaringan dari produk
bakteri dan peradangan, dan mempertahankan penglihatan. Dalam kebanyakan kasus terapi
yang diberikan adalah antimikroba intravitreal, periokular, dan topikal. sedangkan dalam
kasus yang parah, dilakukan vitrectomy. antibiotik di endophthalmitis (Gordon Y, 2001).

2.10.1 Non Farmakologi


1. Menjelaskan bahwa penyakit yang diderita memiliki prognosa yang buruk yang
mengancam bola mata dan nyawa apabila tidak tertangani.
2. Menjelaskan bahwa penyakit tersebut dapat mengenai mata satunya, sehingga perlu
dilakukan pengawasan yang ketat tentang adanya tanda-tanda inflamasi pada mata seperti
mata merah, bengkak, turunnya tajam penglihatan, kotoran pada mata untuk segera untuk
diperiksakan ke dokter mata.
3. Menjelaskan bahwa penderita menderita diabetes yang memerlukan pengontrolan yang
ketat baik secara diet maupun medikamentosa. Hal ini disebabkan oleh karena kondisi
hiperglikemia akan meningkatkan resiko terjadinya bakteriemi yang dapat menyerang
mata satunya, atau bahkan dapat berakibat fatal jika menyebar ke otak.

9
4. Perlunya menjaga kebersihan gigi mulut, sistem saluran kencing yang memungkinkan
menjadi fokal infeksi dari endoftalmitis endogen.

2.10.2 Farmakologi
1. Antibiotik
Terapi antimikroba empiris harus komprehensif dan harus mencakup semua kemungkinan
patogen dalam konteks pengaturan klinis.

Intravitreal antibiotik
Pilihan pertama : Vancomicin 1 mg dalam 0.1 ml + ceftazidine 2.25 mg dalam 0.1ml
Pilihan kedua : Vancomicin 1 mg dalam 0.1ml + amikacin 0.4 mg dalam 0.1 ml
Pilihan ketiga : Vancomicin 1 mg dalam 0.1ml + gentamicin 0.2 mg dalam 0.1 ml

Antibiotik topikal
Vancomicin (50 mg/ml) atau cefazolin (50 mg/ml), dan
Amikacin (20 mg/ml) atau tobramycin (15mg%)

Antibiotik sistemik (jarang).


Ciprofloxacin intravena 200 mg BD selama 2-3hari, diikuti
500 mg oral BD selama 6-7 hari, atau
Vancomicin 1gm IV BD dan ceftazidim 2g IV setiap 8 jam

2. Terapi steroid
Dexamethasone intravitreal 0.4 mg dalam 0.1 ml
Dexamethasone 4 mg (1 ml) OD selama 5 7 hari
Steroid sistemik. Terapi harian dengan prednisolone 60 mg diikuti dengan 50 mg, 40
mg, 30 mg, 20 mg, dan 10 mg selama 2 hari.

3. Terapi suportif
Siklopegik. Disarankan tetes mata atropin 1% atau bisa juga hematropine 2% 2 3 hari
sekali.
Obat-obat antiglaucoma disarankan untuk pasien dengan peningkatan tekanan
intraokular. Acetazolamide (3 x 250 mg) atau Timolol (0.5 %) 2 kali sehari
2.10.3 Operatif

10
Vitrectomy adalah tindakan bedah dalam terapi endophthalmitis. Bedah debridemen rongga
vitreous terinfeksi menghilangkan bakteri, sel-sel inflamasi, dan zat beracun lainnya untuk
memfasilitasi difusi vitreal, untuk menghapus membran vitreous yang dapat menyebabkan
ablasio retina, dan membantu pemulihan penglihatan. Endophthalmitis vitrectomy Study
(EVS) menunjukkan bahwa di mata dengan akut endophthalmitis operasi postcataract dan
lebih baik dari visi persepsi cahaya. Vitrectomy juga memainkan peran penting dalam
pengelolaan endoftalmitis yang tidak responsif terhadap terapi medikamentosa (Gan IM, et
al., 2005)

2.11 Pencegahan
1. Identifikasi keadaan pasien yang memiliki faktor resiko sebelum operasi (blepharitis,
kelainan drainase lakrimal, adanya infeksi yg aktif)
2. Persiapan operasi, termasuk :
Pov. Iodine 5-10%
Sarung tangan steril
Profilaksis topikal / perikoular antibiotik
Profilaksis intravitreal (pada kasus kasus trauma)

2.12 Prognosis
Prognosis dari endoftalmitis sendiri bergantung Durasi dari endoftalmitis, jangka waktu
infeksi sampai penatalaksanaan, Virulensi bakteri dan Keparahan dari trauma. Diagnosa yang
tepat dalam waktu cepat dengan tatalaksana yang tepat mampu meningkatkan angka
kesembuhan endoftalmi (Gan IM, et al., 2005).

BAB III

11
KESIMPULAN

Endophthalmitis adalah adanya peradangan hebat intraokular, terjadi yang diakibatkan


dari bakteri, jamur atau keduanya. Tanda dan gejala yang ditunjukan antara lain adanya
penurunan visus, hiperemi konjungtiva, nyeri, pembengkakan, dan hipopion. Konjungtiva
chemosis dan edema kornea. Sedangkan jenis dari endoftalmitis ini sendiri Endoftalmitis
akut pasca bedah katarak, Endoftalmitis pseudofaki kronik, Endoftalmitis pasca operasi
filtrasi anti-Glaukoma, Endoftalmitis pasca trauma, Endoftalmitis endogen, Endoftalmitis
jamur. Pemeriksaan penunjang untuk endoftalmitis adalah vitreous tap untuk mengetahui
organisme penyebab sehingga terapi yang diberikan sesuai. Terapi operatif (vitrectomy)
dilakukan pada endoftalmitis berat. Prognosis dari endoftalmitis sendiri bergantung durasi
dari endoftalmitis, jangka waktu infeksi sampai penatalaksanaan, virulensi bakteri dan
keparahan dari trauma. Diagnosa yang tepat dalam waktu cepat dengan tatalaksana yang
tepat mampu meningkatkan angka kesembuhan endoftalmitis.

DAFTAR PUSTAKA
12
Bannerman Tl, Rhoden D, McAllister SK, Miller JM, Wilson LA. The source of coagulase
negative staphylococciin the Endophtalmitis Vitrectomy Study. A comparasion of eylid
and intraocular isolates using pulsed field gel electrophoresis. Arch Ophtalmol1997;
115: 357-61.

Benz MS, Scott IU, Flunn HW. Endophtalmits isolates and antibiotic sensitivites: A 6 years
review of culture proven cases. Am J Ophtalmol 2004; 137:1:38-42.

Callegan MC, Elenbert M, Parke DW. Bacterial endophthalmitis: Epidemiology, therapeutics,


and bacterialhost interactions. Clin Microbiol Rev 2002;15:1:111-24.

Cooper Ba, Holekamp Nm, Bohigian G, Thompson PA. Case- control study of
endophthalmitis after cataract surgery comparing scleral and corneal wounds. Am J
Ophtalmol 2003; 136: 300-5.

Gordon Y. Vancomycin prophylaxis and emerging resistance: Are ophtalmologists the


villains ? The heroes? Am J Ophtalmol 2001; 131:3:371-6.

Gan IM, Ugahary LC, van Dissel JT, Feron E, PeperkampE, Veckeneer M et al. Intravitreal
dexamethasone as adjuvant in the treatment of postoperative endophthalmitis:a
prospective randomized trial. Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol.2005;243(12):1200-5.

Hanscom TA. Postoperative edophthalmitis. Clin Infect Dis 2004; 38:4:542-6.

Hatch WV, Cernat G, Wong D, Devenyi R, Bell CM. Risk factors for acute endophthalmitis
after cataract surgery: a population-based study. Ophthalmology 2009;116(3):425-30.

Ilyas S. Dalam: Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Jakarta, FKUI: 1998; 5 Kalamalarajah S,
Silvestri G, Sharma N. Surveillance of endophthalmitis following cataract surgery in the
UK. Eye 2004; 18:6: 580-7.

Lunstrom M, Wejde G, Stenevi U. Endophthalmitis after cataract surgery: a nationwide


prospective study avaluating incidence in relation to incision type and location.
Ophthalmology 2007;114: 1004-9.

Maguire JI. Postoperative endophthalmitis: optimal management and the role and timing of
vitrectomy surgery. Eye 2008;22(10):1290-300.
Miller JJ,Scott IU, Flynn HW. Endophthalmitis caused by Streptococcus pneumoniae. Am J
Ophtalmol 2004; 138:2:231-6.

Mistlberger A, Ruckhofer J, Raithel E. Anterior chamber contamination during cataract


surgery with intraocular lens implantation. J Cataract Refract Surg 1997;23:1064-9.

13
Prajna NV, Sathish S, Rajalakshmi PC, George C. Microbiological profile of anterior chamber
aspirates following uncomplicated cataract surgery. Indian J Ophthalmol
1998;46(4):229-32.

Scheidler V, Scott IU, Flun HW. Culture-proven endogenous endophtalmitis: Clinical features
and visual acuity outcomes. Am J Ophtalmol 2004;137:4

Sherwood Dr, Rich WJ, Jacob JS. Bacterial contamination of intraocular and extraocular
fluids during extracapsular cataract extraction. Eye 1989;3:308-12.

Smith MA, Sorenson JA, D'Aversa G, Mandelbaum S, Udell I, Harrison W. Treatment of


experimental methicillin-resistant Staphylococcus epidermidis endophthalmitis with
intravitreal vancomycin and intravitreal dexamethasone.J Infect Dis 1997; 175(2):462-6.

Smith SR, Kroll AJ, Lou PL, Ryan EA. Endogenousbacterial and fungal endophthalmitis. Int
OphthalmolClin 2007;47(2):173-83.

Trofa D, Gcser A, Nosanchuk JD. Candida parapsilosis,an emerging fungal pathogen. Clin
Microbiol Rev 2008;21(4):606-25.

Vaughan D, Asbury T. Korpus Vitreum Dalam:. Oftalmologi Umum (General Opthalmology).


Edisi 14. Jakarta, Widya Medika: 1994; 195 96

Wejde G, Montan P, Lundstrm M, Stenevi U, ThorburnW. Endophthalmitis following


cataract surgery in Sweden: national prospective survey 1999-2001. Acta Ophthalmol
Scand 2005;83(1):7-10.

14

You might also like