You are on page 1of 35

BAB I

PENDAHULUAN

Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell


Holmes (1809-1894) berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani :
An berarti tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri. Secara harafiah berarti
ketiadaan rasa atau sensasi nyeri. Dalam arti yang lebih luas, anestesi berarti suatu
keadaan hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan.1
Terdapat berberapa tipe anestesi, yaitu anestesi total dengan menghilangkan
kesadaran secara total, anestesi lokal yaitu hilangnya rasa pada tubuh daerah
tertentu, anestesi regional dengan blokade selektif pada spinal atau saraf sehingga
bekerja pada bagian yang lebih luas. Regional anestesi terbagi atas spinal anestesi,
epidural anestesi dan blok perifer.2

Spinal anestesi adalah teknik regional pertama utama dalam praktek klinis.
Operasi section caesarea memerlukan anestesi yang efektif yaitu regional (epidural
atau tulang belakang) atau anestesi umum. Anastesi spinal yaitu obat anestesi
disuntikkan sebagai dosis tunggal ke dalam tulang belakang pasien. Dengan dua
jenis anestesi regional ini pasien terjaga dalam proses persalinan, tetapi mati rasa
dari pinggang ke bawah.2

Obat anastesi lokal yang ideal mempunyai mula kerja yang cepat, durasi
kerja dan juga tinggi blockade dapat diperkirakan sehingga dapat disesuaikan
dengan lama operasi, tidak neurotoksik, serta pemulihan blockade motorik
pascaoperasi yang cepat sehingga mobilisasi dapat lebih cepat dilakukan. Anestesi
lokal yang sering dipakai adalah bupivakain. Lidokain 5% sudah ditinggalkan
karena mempunyai efek neurotoksisitas, sehingga bupivakain menjadi pilihan
utama untuk anestesi spinal saat ini.3

Salah satu penyumbang terbesar angka kematian ibu di Indonesia adalah


perdarahan (40-60%), infeksi (20-30%), dan keracunan kehamilan (20-30%),
sisanya sekitar 5% disebabkan penyakit lainnya yang memburuk saat kehamilan
dan persalinan. Perdarahan sebagai penyebab kematian ibu terdiri atas perdarahan
antepartum dan post partum. Perdarahan antepartum merupakan kasus gawat

1
darurat dimana kejadiannya berkisar 3% dari semua persalinan, penyebabnya
plasenta previa, solusio plasenta, dan perdarahan yang belum jelas sumbernya.
Plasenta previa adalah placenta yang berimplitasi pada segmen bawah rahim
sedemikian rupa sehingga berdekatan atau menutupi ostium uteri internum secara
parsial maupun total.4,5
Menurut data dari Royal Collage of Obsteticians and Gyneacologist, salah
satu factor resiko untuk section caesarean adalah plasenta previa yaitu sebanyak 23
dari 1.000 wanita di dunia. Di Indonesia, dari total 4.726 kasus plasenta previa pada
tahun 2009 didapati 40 orang meninggal akibat plasenta previa (Kemenkes RI,
2010). Pada tahun 2010 dari total 4.409 kasus plasenta previa didapati 36 orang ibu
meninggal (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan suatu penelitian yang dilakukan di
RSUD Dr. H. Abdoel Moeloek Provinsi Lampung pada tahun 2011 terdapat 3856
persalinan dan 117 (3,03%) diantaranya merupakan perdarahan antepartum dengan
plasenta previa.5,6

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi Regional

2.1.1 Definisi

Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri pada bagian tubuh


sementara pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu
bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi motorik juga dapat
terpengaruh sebagian atau seluruhnya.1

Gambar 1. Anastesia regional

2.1.2 Pembagian Anestesi/Analgesia Regional

1. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural,


dan kaudal.
2. Blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal,
blok lapangan, dan analgesia regional intravena.

3
2.1.3 Keuntungan Anestesia Regional

1. Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.


2. Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.
3. Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif lebih
murah.
4. Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi emergency,
lambung penuh) karena penderita sadar.
5. Perawatan post operasi lebih ringan.

2.1.4 Kerugian Anestesia Regional

1. Tidak bisa dilakukan pada lokasi tertentu


2. Durasi pembiusan yang cepat jika operasi memakan waktu lama
3. Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.
4. Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif, sulit pada anak.
5. intoksikasi

2.2 Anestesi Spinal

2.2.1 Definisi

Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal


adalah tindakan anestesi dengan memasukan obat analgetik ke dalam
ruang subaraknoid di daerah vertebra lumbalis yang kemudian akan
terjadi hambatan rangsang sensoris mulai dari vertebra thorakal 4.7,8

4
2.2.2 Indikasi

Untuk pembedahan, daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke


bawah (daerah papila mammae ke bawah ). Dengan durasi operasi yang
tidak terlalu lama, maksimal 2-3 jam. sehingga cocok dilakukan untuk
pembedahan sebagai berikut:

1. Bedah ekstremitas bawah


2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikan dengan anestesi umum ringan.1,7,8

2.2.3 Kontra Indikasi

Kontra indikasi pada teknik anestesi subarakhnoid blok terbagi


menjadi dua yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.

a. Kontra indikasi absolut :


Infeksi pada tempat suntikan: infeksi pada sekitar tempat suntikan
bisa menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun
diare: karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya
hipovolemia.
Koagulapati atau mendapat terapi koagulan.
Tekanan intrakranial meningkat: dengan memasukkan obat ke
dalam rongga subarakhnoid, maka dapat semakin menambah
tinggi tekanan intrakranial dan dapat menimbulkan komplikasi
neurologis
Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim: pada anestesi
spinal bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan

5
lain-lain, maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi
lainnya.
Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi: hal ini
dapat menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada
medulla spinalis, keterampilan dokter anestesi sangat penting.
Pasien menolak.
b. Kontra indikasi relatif :
Infeksi sistemik: jika terjadi infeksi sistemik perlu diperhatikan
apakah diperlukan pemberian antibiotik. Perlu dipikirkan
kemungkinan penyebaran infeksi.
Infeksi sekitar tempat suntikan: bila ada infeksi di sekitar tempat
suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
Kelainan neurologis: perlu dinilai kelainan neurologis
sebelumnya agar tidak membingungkan antara efek anestesi dan
defisit neurologis yang sudah ada pada pasien sebelumnya.
Kelainan psikis
Bedah lama: masa kerja obat anestesi lokal adalah kurang lebih
90-120 menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi
bisa bertahan hingga 150 menit.
Penyakit jantung: perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi
ke arah jantung akibat efek obat anestesi lokal.
Hipovolemia ringan: sesuai prinsip obat anestesi, memantau
terjadinya hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-
obatan atau cairan.
Nyeri punggung kronik: kemungkinan pasien akan sulit saat
diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan
apabila dilakukan berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak
nyaman.7,8

2.2.4 Persiapan Anastesi Spinal

Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih


sederhana dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi

6
wajib diperhatikan karena terkadang jika operator menghadapi penyulit
dalam operasi dan operasi menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur
secara darurat dapat diubah menjadi anestesi umum.

Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah:

Informed consent: Pasien sebelumnya diberi informasi tentang


tindakan ini (informed consent) meliputi tindakan anestesi,
kemungkinan yang akan terjadi selama operasi tindakan ini dan
komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit
tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi
seperti infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti
scoliosis atau kifosis, atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan
processus spinosus tidak teraba.
Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium
yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa
protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila
diduga terdapat gangguan pembekuan darah.8

Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah


persiapan alat dan obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan
adalah :

1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, pulse oximetri,


EKG.
2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu
runcing, quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil
(pencil point whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau
27G.
4. Betadine, alkohol untuk antiseptik.
5. Kapas/ kasa steril dan plester.
6. Obat-obatan anestetik lokal.

7
7. Spuit 3 ml dan 5 ml.
8. Infus set.7

Jenis Jarum Spinal

2.2.5 Penggolongan Obat Anesthesi Regional

Ada dua golongan besar obat anesthesi regional berdasarkan


ikatan kimia, yaitu golongan ester dan golongan amide. Derivat ester
contohnya kokain, benzokain, oksibuprokain, ametokain, prokain,
tetrakain, klorprokain. Sedangkan derivat amide contohnya lidokain,
mepivakain, bupivakain, etidokain, dibukain, ropivakain, levobupikain.9

Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun hanya


berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi lokal
ini adalah menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf.
Tempat utama kerja obat anestesi lokal adalah di membran sel. Kerjanya
adalah mengubah permeabilitas membran pada kanal Na+ sehingga tidak
terbentuk potensial aksi yang nantinya akan dihantarkan ke pusat nyeri.9

Tabel 1. Perbedaan obat anesthesi regional golongan ester dan amide

Ester Amide

Dihidrolisis di dalam plasma Dihidrolisis di hepar

Hidrolisis cepat Hidrolisis lambat

Durasi singkat Durasi lama

Alergi >> (hasil metabolit : PABA) Alergi <<

8
Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipnya merupakan obat
anestesi lokal. Anestetik lokal adalah obat yang menghambat hantaran
saraf bila dikenakan pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis
pada sel saraf akibat anestesi lokal bersifat reversible. Obat anestesi lokal
yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap jaringan saraf. Batas
keamanan harus lebar dan onset dari obat harus sesingkat mungkin dan
masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi lokal ini juga harus larut dalam
air.9

Tabel 2. Penggolongan obat anesthesi regional berdasarkan potensi


dan durasi kerja

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah


1.003-1.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan LCS disebut
isobaric. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari LCS disebut
hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari LCS disebut
hipobarik.

1. Isobarik : digunakan untuk infiltrasi lokal, blok lapangan, blok saraf,


blok plexus dan blok epidural.
2. Hipobarik : digunakan untuk analgesik regional intravena.
Konsentrasi obat dibuat separuh dari konsentrasi isobarik.
3. Hiperbarik : digunakan khusus untuk injeksi intrathecal atau blok
subarachnoid. Konsentrasi obat dibuat lebih tinggi

Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik


diperoleh dengan mencampur anastetik lokal dengan dextrose. Untuk jenis

9
hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur
dengan air injeksi.9

Anestetik lokal yang paling sering digunakan:

1. Lidokaine (xylocain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik,


dosis 20- 100mg (2-5ml)
2. Lidokaine (xylocain,lignokain) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis
1.033, sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik,
dosis 5-20mg (1-4ml)
4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027,
sifat hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml)
a. Lidokain

Lidokain (durasi pendek intermediate spinal anestesia) dengan


dosis 20 100 mg seringkali dipilih untuk kasus-kasus yang
diperkirakan memakan waktu 75 menit atau kurang. Lidokain
umumnya dipakai sebagai larutan 5 % dalam 7,5 % dektrose meskipun
1,5 dan 2 % lidokain juga berguna. Penambahan epinephrine 0,2 mg
memanjangkan anestesia 15 40 menit, tergantung dosis anestesi lokal
yang dipakai, tetapi berhubungan dengan blok motoris yang
memanjang secara signifikan dan miksi yang terlambat. Fentanyl 15
25 gr adalah aditif lain yang berguna. Menimbulkan reduksi
substansial pada dosis lidokain (untuk menimbulkan recovery lebih
cepat dan insiden transient neurologic simpton yang lebih rendah) dan
efektif memblok nyeri torniquet pada ekstremitas bawah.

Onset cepat.
Tidak iritatif (tidak menyebabkan iritasi lokal) terhadap jaringan
walaupun diberikan dalam konsentrasi larutan 88 %.
Sangat mudah larut dalam air dan sangat stabil.
Sebagian dimetabolisme di hepar, sebagian disekresi melalui urine
dalam bentuk yang tidak berbuah.

10
Toksisitas dua kali lebih tinggi dari pada prokain.
Konsentrasi injeksi 0,5 2 %. Untuk topikal 4 %.
Bebas dari reaksi alergi dan sering digunakan sebagai penghilang
nyeri sebelum injeksi propofol.
Dosis maksimal 3 mg/Kg BB (tanpa adrenalin), 7 mg/Kg BB
(dengan adrenalin).

Sediaan Lidokain HCL

b. Bupivakain HCl
Lebih kuat dan lama kerjanya 2 3 x lebih lama dibanding lidokain
atau mepivakain.
Onset anesthesi lebih lambat dibanding lidokain.
Ikatan dengan HCl mudah larut dalam air.
Pada konsentrasi rendah blok motorik kurang adekuat. Sifat
hambatan sensoris lebih dominan dibandingkan dengan hambatan
motorisnya.
Ekskresi melalui ginjal sebagian kecil dalam bentuk utuh, dan
sebagian besar dalam bentuk metabolitnya.
Konsentrasi 0,25 0,75 %. Dosis 1 2 mg/Kg BB.
Dosis maksimal untuk satu kali pemberian 200 500 mg.

Untuk operasi abdominal diperlukan konsentrasi 0,75 %.


Bupivacaine (durasi intermediate spinal anestesia) dengan dosis 5 15
mg adalah sesuai untuk pembedahan selama 50 150 menit, meskipun

11
durasi dari bupivakain tampaknya memiliki deviasi yang lebih lebar
daripada standar, bila dibandingkan dengan lidokain.

Spinal anestesia umumnya dilakukan dengan 0,75%


bupivacaine dalam 8,25 % dekstrosa. Larutan bupivakain 0,5 % tanpa
dekstrosa adalah isobarik atau sedikit hipobarik dan umumnya dipakai
untuk pembedahan ekstremitas bawah. Epinephrine memanjangkan
blok sensoris dan motoris kira-kira 30 45 menit saat ditambahkan
pada bupivakain dosis kecil (7,5 mg). Fentanyl juga dipakai sebagai
adjuvant untuk mengurangi dosis bupivakain sehingga hipotensi lebih
sedikit dan meningkatkan analgesia.

c. Tetrakaine

Tetrakaine (durasi panjang spinal anestesia) dengan dosis 4 12


mg dipakai untuk pembedahan dengan durasi 3 4 jam. Tetracaine
merupakan salah satu dari agen spinal anestesi tertua. Tersedia dalam
sediaan komersial sebagai kristal niphanoid (20 mg) atau larutan 1 %.
Tetracaine kurang stabil pada bentuk larutan cair (daripada lidokain)
dan menghasilkan tetracaine ampul dengan potensi rendah karena
sebagian obat didegradasi selama penyimpanan. Tetracaine adalah unik
diantara agen spinal anestesi lainnya, karena keberhasilan untuk
memblok sangat tergantung dengan coadministration epinephrine.
Kegagalan blok hampir 35 % pada plain tetracaine. Tetracaine &
epinephrine adalah spinal anestetic agent paling lama, menghasilkan
anestesia pada abdomen bawah kirakira 4 jam dan ekstremitas bawah
5 6 jam.

2.3.6 Toksisitas Obat Anesthesi Regional7,8,9,10

Obat anesthesi regional bila diberikan dengan dosis yang tepat


dan pada lokasi yang tepat merupakan obat yang cukup aman.
Intoksikasi akan terjadi bila secara tidak sengaja masuk kedalam
intravaskuler atau melebihi dosis maksimal. Apabila obat anesthesi
masuk ke dalam intravaskuler, gejala intoksikasi akan timbul < 5 menit,

12
sedangkan pada pemberian infiltrasi atau epidural gejala akan timbul
dalam 20 menit.

Gejala intoksikasi dapat berupa :

1. Gejala Sistemik
a. Sistem Saraf Pusat : eksitasi dan depresi
b. Sistem Kardiovaskuler : hipotensi, hipertensi, syok, bahkan
cardiac arrest
2. Gejala Lokal
a. Kerusakan saraf
b. Gangguan otot
3. Gejala Lain
a. Alergi
b. Methemoglobinemia
c. Adiksi

Obat anestesi lokal memiliki efek tertentu di setiap sistem


tubuh manusia. Berikut adalah beberapa pengaruh pada sistem tubuh
yang nantinya harus diperhatikan saat melakukan anestesia spinal:

1. Sistem saraf: Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat
anestesi lokal, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada
sistem saraf akan terjadi paresis sementara akibat obat sampai obat
tersebut dimetabolisme.
2. Sistem respirasi: Jika obat anestesi lokal berinteraksi dengan saraf
yang bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus,
maka bisa menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot
nafas.
3. Sistem kardiovaskular: Obat anestesi lokal dapat menghambat
impuls saraf. Jika impuls pada sistem saraf otonom terhambat pada
dosis tertentu, maka bisa terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat
menyebabkan bradikardia. Jika dosis yang masuk pembuluh darah
cukup banyak, dapat terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung.

13
Maka sangat penting diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat
menyuntikkan obat anestesi lokal agar tidak masuk ke pembuluh
darah.
4. Sistem imun: Karena anestesi lokal memiliki gugus amin, maka
memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui
riwayat alergi pasien. Pada reaksi lokal dapat terjadi reaksi pelepasan
histamin seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja masuk
ke pembuluh darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
5. Sistem muskular: obat anestetik lokal bersifat miotoksik. Apabila
disuntikkan langsung ke dalam otot maka dapat menimbulkan
kontraksi yang tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem hematologi: obat anestetik dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan
penekanan yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi
lokal.4,7,8

Dalam penggunaan obat anestesi lokal, dapat ditambahkan


dengan zat lain atau adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat
anestesi lokal khususnya pada anestesi spinal. Tambahan yang sering
dipakai adalah :

1. Vasokonstriktor: Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi


spinal dapat berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari
oleh mekanisme kerja obat anestesi lokal di ruang subaraknoid. Obat
anestesi lokal dimetabolisme lambat di dalam rongga subarakhnoid.
Dan proses pengeluarannya sangat bergantung kepada pengeluaran
oleh vena dan saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor
bertujuan memperlambat clearance obat dari rongga subarakhnoid
sehingga masa kerja obat menjadi lebih lama.7,8
2. Obat Analgesik Opioid: digunakan sebagai adjuvant untuk
mempercepat onset terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal.
Analgesik opioid misalnya fentanyl adalah obat yang sangat cepat
larut dalam lemak. Hal ini sejalan dengan struktur pembentuk saraf

14
adalah lemak. Sehingga penyerapan obat anestesi lokal menjadi
semakin cepat. Penelitian juga menyatakan bahwa penambahan
analgesik opioid pada anestesi spinal menambah efek anestesi post-
operasi.10
3. Klonidin: Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal
dapat menambah durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan
karena klonidin adalah obat golongan Alfa 2 Agonis, maka harus
diwaspadai terjadinya hipotensi akibat vasodilatasi dan penurunan
heart rate.10

Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk


melakukan anestesi spinal terdapat pada table dibawah ini.

Tabel 4 : Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal

2.3.7 Klasifikasi status fisik

Berdasarkan status fisik pasien pra anastesi, The American


Society Of Anesthesiologist (ASA) membuat klasifikasi yang membagi
pasien kedalam 5 kelompok atau katagori sebagai berikut

Kelas I : Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia.


Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas.

15
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
Melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan
ancaman kehidupan setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat huruf E (E = EMERGENCY).

2.4 Perubahan Fisiologis Wanita Hamil 4


Pada masa kehamilan ada beberapa perubahan pada hampir semua
sistem organ pada maternal. Perubahan ini diawali dengan adanya sekresi
hormon dari korpus luteum dan plasenta. Efek mekanis pada pembesaran
uterus dan kompresi dari struktur sekitar uterus memegang peranan penting
pada trimester kedua dan ketiga. Perubahan fisiologis seperti ini memiliki
implikasi yang relevan bagi dokter anestesi untuk memberikan perawatan
bagi pasien hamil. Perubahan yang relevan meliputi perubahan fungsi
kardiovaskular, pernapasan, ginjal, pencernaan, uterus, serviks, dan vagina.

SISTEM ORGAN PERUBAHAN FISIOLOGIS

Masa sel darah merah bertambah untuk memenuhi kebutuhan


oksigen yang semakin meningkat. Pertambahan masa sel
darah merah jauh lebih kecil dibandingkan dengan
peningkatan volume plasma.
Kardiovaskular Untuk mengatasi pertambahan volume darah dan kebutuhan
oksigen yang meningkat, curah jantung meningkat sebesar 30-
50% pada kehamilan, meningkat dari 5L/menit pada
kehamilan 8 minggu menjadi 6,5L/menit pada kehamilan
minggu ke-25.
Wanita hamil bernapas lebih dalam dengan meningkatkan
volume tidal dan kecepatan ventilasi, sehingga
Pernapasan
memungkinkan pencampuran gas meningkat dan
konsumsi oksigen meningkat.

16
Aliran darah ginjal meningkat sampai kehamilan minggu
ke-16 kemudian menurun. Laju Filtrasi Glomerulus
Ginjal
meningkat sampai 60% pada kehamilan dini dan menetap
hingga 4 minggu kehamilan terakhir

Sfingter esophagus bawah relaksasi, sehingga dapat terjadi


regurgitasi isi lambung yang menyebabkan rasa terbakar di
Pencernaan dada (heartburn). Sekresi lambung berkurang dan makanan
lebih lama berada di dalam lambung. Otot-otot usus relaks
dengan disertai penurunan motilitas.
Panjang serabut otot uterus berkembang 15 kali dari panjang
otot sebelum hamil, sedangkan berat uterus meningkat dari
Uterus 50g sebelum hamil menjadi 950g pada saat genap bulan.
Pembuluh darah uterus juga menjadi hipertrofi dan lebih
berkelok-kelok pada paruh kehamilan pertama.

Serviks menjadi lebih lunak dan lebih mudah berdilatasi,


Serviks disebut pematangan serviks. Dengan demikian serviks lebih
mudah berdilatasi pada waktu persalinan.

Mukosa vagina menjadi lebih tebal, otot vagina mengalami


hipertrofi dan terjadi perubahan susunan jaringan ikat di
Vagina
sekitarnya, sehingga vagina akan menjadi lebih mudah
berdilatasi dan dapat melewatkan janin pada waktu persalinan

2.4.1 Anastesi Pada Ibu Hamil


Anastesi kebidanan berbeda dengan anastesi pada wanita yang
tidak hamil, karena kehamilan menyebabkan banyak perubahan fisiologi
bagi ibu. Selain itu juga, harus dihadapi janin yang akan segera
dilahirkan. Sebagian obat yang diberikan kepada ibu akan menerobos
melalui plasenta masuk kedalam peredaran darah janin yang kemudian
dapat menyebabkan depresi pernafasan setelah bayi lahir. Obat dan
teknik anastesi kebidanan yang dipilih harus baik untuk ibu, janin dan
tidak mempengaruhi kontraksi rahim.4,5.12

17
Premedikasi yang diberikan hanya antikolinergik tanpa narkotik
dan sedative. Sulfas atropine diberikan dengan dosisnya 0,5 mg. Teknik
anastesi yang ideal adalah blok regional atau secara inhalasi dengan
intubasi trakea, karena dengan ini resiko aspirasi dapat ditekan serendah
mungkin. Tetapi jika peralatan dan ketrampilan tidak memungkinkan
untuk kedua cara tersebut, cara lain tanpa intubasi dapat tetap digunakan
asal posisi pasien selama anastesi dipertahankan head down dan
disiapkan alat penghisap yang baik.4,5,12
a. Ketamin 0,1-1,0 mg/kg berat badan dilanjutkan eter inhalasi dengan
masker setelah lahir. Dosis ulangan 0,5 mgkg berat badan.
b. Ketamin 0,5-1,0 mg/kg berat badan dan ditambahkan suksinil cholin
1 mg/kg berat badan dan dilakukan intubasi dan setelah anak lahir eter
baru diberikan.
c. Penthanol dengan dosis 3mg-5mg/kg berat badan ditambah suksinil
cholin 1 mg/kg berat badan dan dilanjutkan dengan N2O/O2 setelah
anak lahir eter/halotan diberikan.
d. Chloretyl dan eter, pembedahan dimulai ketika pasien tidak sadar,
pada saat kaki bayi sudah terpegang, eter dihentikan sementara sampai
bayi keluar dan talipusat dijepit. Selanjutnya eter diteruskan sampai
selesai.
2.5 Plasenta Previa
Plasenta Previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada
segmen bawah rahim, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh ostium
uteri internum (OUI). Plasenta previa dapat diartikan juga sebagai Plasenta
yang ada di depan jalan lahir. (prae=di depan, vias = jalan), jadi yang di maksud
adalah plasenta implantasinya tidak normal sehingga menutupi seluruh atau
sebagian jalan lahir (Ostium Uteri Internium). 4,5,12
2.5.1 Faktor Predisposisi :
1. Multiparitas dan umur lanjut ( >/ = 35 tahun).
2. Defek vaskularisasi desidua yang kemungkinan terjadi akibat
perubahan atrofik dan inflamatorotik.

18
3 Cacat atau jaringan parut pada endometrium oleh bekas pembedahan
(SC, Kuret, dll).
4 Chorion leave persisten.
5 Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap
menerima hasil konsepsi.
6 Konsepsi dan nidasi terlambat.
7 Plasenta besar pada hamil ganda dan eritoblastosis atau hidrops
fetalis.
2.5.2 Klasifikasi
Klasifikasi plasenta previa tidak didasarkan pada keadaan anatomik
melainkan fisiologik. Sehingga klasifikasinya akan berubah setiap waktu.
Umpamanya, plasenta previa total pada pembukaan 4 cm mungkin akan
berubah menjadi plasenta previa pada pembukaan 8 cm. Beberapa
klasifikasi plasenta previa: 4
a. Menurut de Snoo, berdasarkan pembukaan 4 -5 cm
1. Plasenta previa sentralis (totalis), bila pada pembukaan 4-5 cm
teraba plasenta menutupi seluruh ostea.
2. Plasenta previa lateralis; bila mana pembukaan 4-5 cm sebagian
pembukaan ditutupi oleh plasenta, dibagi 2 :
Plasenta previa lateralis posterior; bila sebagian menutupi ostea
bagian belakang.
Plasenta previa lateralis anterior; bila sebagian menutupi ostea
bagian depan.
Plasenta previa marginalis; bila sebagian kecil atau hanya pinggir
ostea yang ditutupi plasenta.
b. Menurut penulis buku-buku Amerika Serikat :
1. Plasenta previa totalis ; seluruh ostea ditutupi uri.
2. Plasenta previa partialis ; sebagian ditutupi uri.
3. Plasenta letak rendah, pinggir plasenta berada 3-4 cm diatas pinggir
pembukaan Pada periksa dalam tak teraba.

19
c. Menurut Browne:
1. Tingkat I, Lateral plasenta previa : Pinggir bawah plasenta berinsersi
sampai ke segmen bawah rahim, namun tidak sampai ke pinggir
pembukaan.
2. Tingkat II, Marginal plasenta previa: Plasenta mencapai pinggir
pembukaan (Ostea).
2.6 Sectio Caesarea
Sectio caesarea ialah pembedahan untuk mengeluarkan anak dari
rongga rahim dengan mengiris dinding perut dan dinding rahim. SC dapat
dibagi dalam 4 macam:
1. Sectio Caesarea klasik atau corporal: incise memanjang pada segmen atas
uterus.
2. Sectio Caesarea transperitonealis profunda: incise pada segmen bawah
rahim. Teknik ini paling sering dilakukan.
a. Melintang (secara Kerr)
b. Memanjang (secara Kronig)
3. Sectio Caesarea extraperitonealis: Rongga peritoneum tidak dibuka. Dulu
dilakukan pada pasien dengan infeksi intrauterine yang berat. Sekarang,
jarang dilakukan.
4. Caesarean Section Histerectomy: Setelah section caesarea dikerjakan
hysterectomy dengan indikasi:
- Atonia uteri
- Placenta akreta
- Myoma uteri
- Infeksi intrauterine yang berat
Indikasi Sectio Cesarea:
1. Placenta previa terutama placenta previa totalis dan sub totalis
2. Panggul sempit
3. Letak lintang
4. Tumor yang menghalangi jalan lahir
5. Pada kehamilan setelah operasi vaginal

20
6. Keadaan dimana usaha untuk melahirkan anak pervaginam
gagal.5,12.13.14
7. Atas Permintaan Sendiri.

21
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. YM
Umur : 30 tahun
BB : 73 Kg
TB : 148 cm
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Suku bangsa : Serui
Ruangan : VK
Tanggal masuk : 10 Agustus 2017

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Mulas-mulas sejak 1 hari sebelum masuk rumah saki

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien hamil usia kehamilan 9 bulan, Haid Pertama Hari Terakhir (HPHT) 25
November 2016, Tafsiran Partus 31 Agustus 2017, Usia Kehamilan 39-40
minggu. Ante Natal Care 7 kali di tempat praktek dr. Suhartono SpOG (K),
sudah di-injeksi Tetanus Toksoid, saat ini mulas-mulas, sakit sampai ketulang
belakang, keluar air dari jalan lahir sekitar 4 jam sebelum masuk rumah sakit,
keluar gumpalan darah kurang lebih sepermpat gelas aqua. Selama tiga bulan
terakhir sering keluar darah dari jalan lahir namun tidak begitu banyak sekitar
setengah pembalut dan tidak disertai keluhan apapun. Gerak janin dirasakan
aktif.

Riwayat Penyakit Pernapasan : Asma


TBC disangkal

Riwayat Penyakit Kardiovaskular : Tidak ada

22
Riwayat Penyakit Lain : Tidak ada
Riwayat Alergi Obat : Tidak ada
Riwayat Obstetri : 1. Anak pertama perempuan, berat lahir 3.900
: gram, lahir sectio cesaria, ditolong oleh dokter,
umur sekarang 7 tahun
2. Hamil saat ini.
Riwayat Menstruasi : Menarche 12 tahun, haid teratur tiap 28 hari, ganti
pembalut 2-3 kali/hari, dysmenorrhea (-)
Riwayat KB : Dengan pil
Riwayat Sosial Ekonomi : Menikah 1 kali, selama 8 tahun.
Riwayat Operasi : Aada
Riwayat Kebiasaan : Merokok (-), alkoholik (-), obat-obatan (-)

3.3 Kondisi Umum


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, Demam (-), anemis (-), sesak (-),
dehidrasi (-) sianosis (-).
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium, 10 Agustus 2017
Parameter Refference Range

WBC 9,7 5-10

Neutrophyl 67 (#3.0-7.0 ; % 50.0-60.0)

Lymphocyte 27 (#1.5-4.0 ; % 25.0-40.0)

Eosinophil 2 (#0.05-0.25 ; % 1.0-4.0)

HGB 8,7 (M:14.0-17.4; F: 12.0-16.0)

HCT 34,3 (M: 42-52 ; F: 36-48)

MCV 70,3 (84.0-96.0)

MCH 21,8 (28.0-34.0)

MCHC 31,0 (32.0-36.0)

PLT 372 (150-400)

23
3.5 Status Anestesi
PS. ASA : II
Hari/Tanggal : Kamis, 11/08/2017
Ahli Anestesiologi : dr. D.W, Sp.An-KIC
Ahli Bedah : dr. H.T, Sp.OG (K)
Diagnosa Pra Bedah : G2P1A0 hamil aterm Janin Presentasi Kepala Tunggal
Hidup, Haemorrhage Ante Partum et causa Placenta
Previa
Diagnosa Pasca Bedah : P2 Post Sectio Caesarea atas indikasi Haemorrhage Ante
Partum et cause Placenta Previa
Keadaan Pra Bedah :
KU : Tampak Sakit Sedang
Makan terakhir : 12 jam lalu
BB : 73 Kg
TTV : TD :110/70 mmHg, N: 98 x/menit, SB: 36,80C
SpO2 : 100 %

B1 : Airway : bebas
Breathing : thorax simetris, Retraksi (-), Suara napas
vesikuler, Ronkhi -/-, Wheezing -/-, Respirasi: 20 x/m.
B2 : Perfusi: Hangat, Kering, Merah. Capilary Refill Time
kurang dari 2 detik, BJ: I-II Regular, N: 88 x/m Reguler,
Kuat angkat, Isi cukup. TD: 110/70 mmHg
B3 : Kesadaran: compos mentis, Riwayat pingsan (-), Riwayat
kejang (-).
B4 : Terpasang DC, produksi urin 100 cc, warna kuning
jernih.
B5 : Abdomen supel, cembung sesuai kehamilan, nyeri tekan
tidak dapat dievaluasi, timpani, Bising usus (+) normal
B6 : Akral hangat (+), edema (+) pada kedua ekstremitas
inferior, motorik normal
Metabolik : Riwayat Diabetes (-), Riwayat Hipertensi (-)
Hati : Riwayat ikterus (-)

24
Medikasi Pra Bedah : Cairan RL 1500 cc
Jenis Pembedahan : Sectio Caesaria
Lama Operasi : 20 menit
Jenis Anestesi : Spinal Anestesi
Lama Anestesi : 11.00 - Tidak dapat ditentukan

Anestesi Dengan : Decain Spinal (Bupivacaine) 0,5% 10 mg


Teknik Anestesi : Pasien dalam posisi duduk dan kepala menunduk,
dilakukan aseptik menggunakan betadine dan alkohol di
sekitar daerah tusukan yaitu di regio Vertebra Lumbal 3-
4, dilakukan Sub Arachnoid Block dengan jarum spinal
no. 27 pada regio vertebra lumbal 3-4, approach median,
LCS keluar (+) jernih, dilakukan blok
Teknik Khusus : -

Pernafasan : Spontan
Posisi : Terlentang/supine
Infus : Tangan Kiri, Abocath 20 G, cairan RL
Penyulit pembedahan : -
Akhir pembedahan : TD: 118/75 mmHg, N: 104 x/m, SB: 37, RR: 20 x/m
Terapi Khusus : -
Penyulit Pasca Bedah : -
Hipersensitivitas : -
Medikasi : Bupivacaine 0,5% 10 mg
Sedacum 1 mg
Oxytocin 10 IU
Ranitidine 50 mg
Ondansentron 4 mg
Metamizole 1 gr

25
3.6 Diagram Observasi

Observasi Ny. YM
160
140
120
100
80
60
40
20
0
11:00 11:05 11:10 11:15 11:20 11:25 11:30 11:35

sistole diastole nadi

3.7 Kebutuhan Cairan


Cairan yang dibutuhkan Aktual
PRE OPERASI

1. Maintenance=BBxKebutuhan cairan/24 jam = Input : RL 1500 cc


73 kg x 40-50 cc/kgbb/24jam = 2.920 3.650 Output: Urine : 1200 cc
cc/24jam
Kebutuhan cairan per jam = 122 - 152 cc/jam

2. Pengganti puasa 12 jam


12 jam x kebutuhan cairan =
12 x 122 152 cc/jam = 1.464 1.825 cc

Sebelum operasi pasien diberikan resusitasi


RL 1500 cc, sehingga kebutuhan cairan pasien
sebelum operasi terpenuhi

DURANTE OPERASI Input :


Penguapan : 8 x BB = 584 cc RL 1000 cc +
EBV = 65 x BB = 65 x 73 kg = 4.745cc Gelofusal 500 cc =
EBL = 10 % x 4.745 cc = 474,5 cc 1500cc
20% x 4.745 cc = 949 cc

26
30% x 4.745 cc = 1.423,5 cc Output :
EBL = 350/4.745ccx100% = 7,37% Urine = 200 cc
Total Perdarahan =

Perdarahan = 350 cc 350 cc

Cairan kristaloid dan koloid sebanyak 2-4x


jumlah perdarahan.
(2x350 = 700cc) s/d (4x350=1400cc)

Replacement
Penguapan + kebutuhan cairan akibat perdarahan
= (584 + 700 =1.284cc)s/d(584 + 1400= 1.984cc)

POST OPERASI
1. Maintenance
73 kg x 40-50 cc/24jam = 2.920 3.650 cc/24jam

Kebutuhan cairan per jam


122 152 cc/jam

27
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Ny.YM, 30 tahun, datang dengan keluhan mulas-mulas sejak 1 hari


sebelum masuk rumah sakit. Pasien sedang mengandung anak kedua, pasien
mengaku sakit perut terasa sampai ke tulang belakang, keluar air sedikit dari vagina
sekitar 4 jam sebelum masuk rumah sakit, tidak lama kemudian keluar darah dari
vagina sekitar 50 cc, kemudian pada saat di rumah sakit dilakukan pemeriksaan
vaginal toucher, keluar gumpalan darah sekitar 50 cc. Pasien mengatakan bahwa
selama tiga bulan terakhir sering keluar darah dari vagina sekitar 5 cc tanpa
keluhan apapun. Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang dilakukan,
pasien di diagnosa dengan G2P1A0 hamil aterm Janin Presentasi Kepala Tunggal
Hidup, Haemorrhage Ante Partum et causa Placenta Previa.
Klasifikasi status penderita pada kasus ini digolongkan dalam PS ASA III.
Pasien digolongkan dalam PS ASA II karena ditemukan adanya gangguan sistemik
ringan atau sedang, yaitu anemia dan perubahan pada hampir semua sistem organ
pada maternal meliputi perubahan fungsi kardiovaskuler, pernapasan, ginjal,
pencernaan, uterus, servix, dan vagina.
Kehamilan menyebabkan banyak perubahan fisiologis bagi ibu. Selain itu
juga, harus dihadapi janin yang akan segera dilahirkan. Sebagian obat yang
diberikan kepada ibu akan menerobos melalui plasenta masuk kedalam peredaran
darah janin yang kemudian dapat menyebabkan depresi pernafasan setelah bayi
lahir. Obat dan teknik anestesi kebidanan yang dipilih harus baik untuk ibu, janin
dan tidak mempengaruhi kontraksi rahim.
Pada kasus ini, dilakukan tindakan operasi Sectio Caesarea atas indikasi
plasenta previa dengan menggunakan spinal anastesi. Hal ini sesuai dengan salah
indikasi anastesi spinal yaitu bedah obstetric-ginekologi. Teknik ini sederhana,
cukup efektif dan mudah dikerjakan. Selain itu karena bahaya aspirasi lebih kecil
karena pasien sadar, hubungan fisiologis antara ibu dan bayi terjalin, efek obat
terhadap janin lebih kecil.

28
Pasien dianestesi spinal dengan Bupivacain 0,5% 10 mg pada posisi duduk
antara vertebra L3L4. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat
analgesik lokal ke dalam ruang sub araknoid di daerah antara vertebra L2 - L3 atau
L3 - L4 atau L4 - L5. Jarum spinal hanya dapat diinsersikan di bawah lumbal 2 dan
di atas vertebra sakralis. Batas atas ini dikarenakan pada batas atas adanya ujung
medula spinalis dan batas bawah dikarenakan penyatuan vertebra sakralis yang
tidak memungkinkan dilakukan insersi.

Bupivakain merupakan anestesi lokal isobarik. Bupivakain bekerja dengan


cara berikatan secara intaselular dengan natrium dan memblok influk natrium
kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut
saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak
memiliki selubung mielin, maka bupivakain dapat berdifusi dengan cepat ke dalam
serabut saraf nyeri dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif
yang mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal. Pemilihan
jenis anestesi pada pasien ini dianggap sudah tepat karena pengaruh sistemik
minimal, menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan mencegah respon stress
serta memenuhi indikasi dari anestesi block subaracnoid.

Pada pasien digunakan obat anestesi golongan amide yaitu bupivakain.


Berdasarkan teori lebih kuat dan lama kerjanya 2 3 x lebih lama dibanding
lidokain atau mepivakain, onset anesthesi lebih lambat dibanding lidokain, ikatan
dengan HCl mudah larut dalam air, pada konsentrasi rendah blok motorik kurang
adekuat. Sifat hambatan sensoris lebih dominan dibandingkan dengan hambatan
motorisny, ekskresi melalui ginjal sebagian kecil dalam bentuk utuh, dan sebagian
besar dalam bentuk metabolitnya, konsentrasi 0,25 0,75 %. Dosis 1 2 mg/Kg
BB, dosis maksimal untuk satu kali pemberian 200 500 mg. Untuk operasi
abdominal diperlukan konsentrasi 0,75 %. Bupivacaine (durasi intermediate spinal
anestesia) dengan dosis 5 15 mg adalah sesuai untuk pembedahan selama 50
150 menit. Larutan bupivakain 0,5 % tanpa dekstrosa adalah isobarik atau sedikit
hipobarik dan umumnya dipakai untuk pembedahan ekstremitas bawah. Pada
pasien digunakan Bupivakain 0,5% dengan dosis 10 mg dengan durasi pembedahan
20 menit.

29
Pilihan obat yang digunakan pada pasien adalah bupivakain bukan lidokain
karena onset kerja lidokain cepat dengan lama kerja 60 120 menit sedangkan
bupivakain onset kerjanya lambat, lama kerjanya 240 480 menit, bupivakain
termasuk golongan anestesi lokal onset lambat, durasi panjang, dan potensi yang
tinggi, blokade sensoriknya lebih dominan dibanding dengan blokade motoriknya.

Salah satu efek samping anestesi blok subaraknoid adalah hipotensi. Untuk
mencegah hipotensi pasien diberi cairan prabedah yaitu ringer laktat sebanyak 1500
ml. Hal ini dikarenakan cairan kristaloid ini mudah didapat, komposisi menyerupai
plasma (acetated ringer, lactated ringer), bebas reaksi anafilaksis, dan dari segi
biayanya lebih ekonomis. Beberapa hal harus sangat diperhatikan sebagai critical
point dalam tatalaksana anestesi pada kasus ini. Hal yang utama adalah
menyangkut perfusi jaringan terkait dengan fungsi jantung pasien, tindakan
pembedahan pada kasus ini termasuk operasi berat. .

Setelah induksi, obat anestesi juga diberikan untuk rumatan anestesi


diantaranya midazolam dengan tujuan untuk mengurangi nyeri dan kecemasan
selama operasi. Pada kasus, medikasi lain yang digunakan Midazolam 1 mg.
Berdasarkan teori, Midazolam merupakan obat golongan benzodiazepine,
merupakan obat penenang (transquilaizer) yang memiliki sifat antiansietas, sedatif,
amnesik, antikonvulsan dan relaksan otot skelet. Dosis midazolam yaitu 0,025-0,1
mg/kgBB (5mg/5cc). Dengan awitan aksi IV 30 detik, efek puncak 3- 5 menit dan
lama aksi 15-80 menit. Pasien tampak cemas pada saat operasi berlangsung
dibuktikan denga frekuensi jantung yang meningkat yakni 104 kali per menit,
sehingga pemberian midazolam pada kasus ini sesuai.

Pasien juga diberikan oksitosin, ranitidin, ondansentron dan metamizole.


Ranitidin merupakan golongan obat antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme
kerja ranitidin adalah menghambat reseptor histamin 2 secara selektif dan reversibel
sehingga dapat menghambat sekresi cairan lambung. Ranitidin mengurangi volume
dan kadar ion hidrogen dari sel parietal akan menurun sejalan dengan penurunan
volume cairan lambung. Ondansetron suatu antagonis reseptor 5HT3 yang bekerja

30
secara selektif dan kompetitif dalam mencegah maupun mengatasi mual dan
muntah. Pada pasien tidak ditemukan mual dan muntah. Namun mual selama
anestesi biasa terjadi oleh karena hipoperfusi serebral atau terhalanginya stimulus
vagus usus. Biasanya mual adalah tanda awal hipotensi. Bahkan blok simpatis
mengakibatkan tak terhalangnya tonus parasimpatis yang berlebihan pada traktus
gastrointestinal. Pemberian metamizole pada pasien yakni sebagai analgetik post
operasi, matamizole merupakan derivat aminofenazon yang merupakan analgetika
non-opioid yang bekerja perifer, pada pasien telah dilakukan insisi kulit yang dapat
menyebabkan rasa nyeri pada luka post operasi sehingga diputuskan untuk
diberikan obat injeksi metamizole. Dosis metamizole sendiri yakni 0,5-4 gr / hari
dibagi 3-4 dosis. Pada pasien diberikan metamizole 1 gr, sehingga dosis yang
diberikan sesuai dengan dosis pemeliharaannya.

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai critical point dalam
tatalaksana anestesi pada kasus ini. Critical point pada masing-masing sistem organ
dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Problem Actual Potensial Antisipasi
List
Airway : bebas, malampati Aspirasi oleh O2 nasal atau
score : II, gigi palsu (-) sekresi saliva, masker sesuai
Breathing : thoraks simetris, jatuhnya saturasi O2, chin
B1 ikut gerak napas, RR: 20 x/m, pangkal lidah. lift, suction bila
perkusi: sonor, suara napas perlu
vesikuler +/+, ronkhi-/-,
wheezing -/-
Perfusi: hangat, kering, merah. Hipovolemik, Resusitasi cairan,
CRT < 2 detik, BJ: I-II murni Overload, monitoring vital
B2 regular, konjungtiva anemis -/- Bradikardia, sign
hipotensi,
perdarahan

31
Kesadaran Compos Mentis, Penurunan Observasi
riwayat kejang (-), riwayat kesadaran, kesadaran, tanda-
B3 pingsan (-) peningkatan TIK tanda TTIK
akibat obat
anestesi
Terpasang DC, produksi urin Retensi urin Rehidrasi,
B4 (+), warna kuning jernih Monitoring
sebanyak 100cc produksi urin
Perut cembung sesuai Risiko refluks Pemberian
kehamilan, nyeri tekan tidak gastroesofageal Ranitidin dan
B5 dapat dievaluasi. saat operasi. Ondansentron
BU (+) normal, hepar dan lien
tidak teraba membesar
Akral hangat (+), edema (+) Posisikan pasien
B6
pada kedua tungkai dengan tepat

Selama perioperatif cairan kristaloid yang diberikan pada pasien adalah


ringer laktat (RL) yang merupakan larutan isotonik natrium klorida, kalium klorida,
kalsium klorida dan natrium laktat yang komposisinya serupa dengan cairan
ekstraseluler, mengandung ion-ion yang terdistribusi kedalam cairan intravaskular
sehingga bermanfaat untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit. Pada
beberapa penelitian menganjurkan cairan kristaloid untuk digunakan sebagai
preload pada tindakan anestesi spinal. Hal ini dikarenakan cairan kristaloid ini
mudah didapat, komposisi menyerupai plasma (acetated ringer, lactated ringer),
bebas reaksi anafilaksis. Pemberian kristaloid saat dilakukan anestesi spinal lebih
efektif dalam menurunkan insidensi terjadinya hipotensi, karena dengan cara ini
kristaloid masih dapat memberikan volume intravaskuler tambahan (additional
fluid) untuk mempertahankan venous return dan curah jantung. Pada beberapa
penelitian prehidrasi dengan larutan kristaloid 10-20 ml/kg berat badan efektif
mengkompensasi pooling darah di pembuluh darah vena akibat blok simpatis
atau pemberian cairan Ringer Laktat 500 - 1000 ml secara intravena sebelum
anestesi spinal dapat menurunkan insidensi hipotensi. Pemberian cairan koloid
yakni gelofusal sebagai cairan pengganti plasma dapat mengembalikan volume
plasma secara lebih efektif dan efisien daripada kristaloid, karena larutan koloid

32
mengekspansikan volume vaskuler dengan lebih sedikit cairan dari pada larutan
kristaloid. Koloid adalah cairan yang mengandung partikel onkotik dan karenanya
menghasilkan tekanan onkotik. Bila diberikan intravena, sebagian besar akan
menetap dalam ruang intravaskular. Larutan gelatin terutama diekskresikan lewat
ginjal dalam urin, sementara itu gelatin dapat menghasilkan diuresis yang bagus.
Sebagian kecil dieliminasikan lewat usus. Karena gelatin tidak berpengaruh pada
sistem koagulasi, maka tidak ada pembatasan dosis. Indikasi gelatin yakni sebagai
stabilisasi sirkulasi perioperatif.

Terapi cairan pada pasien ini adalah sebagai berikut :


Kebutuhan cairan per 24 jam : 73 kg x 40-50 cc/kgbb/24jam = 2.920 3.650
cc/24jam
Kebutuhan cairan per jam = 122 - 152 cc/jam

Pre Operatif :
*Pasien puasa selama 12 jam sehingga kebutuhan rumatan pasien harus
dipenuhi sebelum operasi ialah :
Kebutuhan cairan per jam x waktu puasa selama 12 jam adalah:
12 jam x kebutuhan cairan = 12 x 122 152 cc/jam = 1.464 1.825 cc
*Selama pre operatif terdapat perdarahan 350cc
*Produksi urin pre operatif sebanyak 200cc

Sebelum operasi pasien diberikan resusitasi cairan RL 1500 cc.


Sehingga kebutuhan cairan pasien sebelum operasi telah terpenuhi dengan
pemberian cairan tersebut.

Durante Operatif :
*Penguapan :

10 x BB = 8 x 73= 584 cc
Perdarahan :
* Estimate Blood Volume (EBV) dari pasien ini ialah :
65 x BB = 65 x 73 kg = 4.745cc
*Perdarahan yang terjadi selama operasi sebanyak 350 cc sehingga Estimate
Blood Loss (EBL) dari pasien ini ialah :
350/4.745cc x 100% = 7,37 %.

33
*Pada pasien ini perdarahan yang terjadi dapat digantikan dengan cairan
kristaloid dan koloid sebanyak 2 4x dari jumlah perdarahan. Kebutuhan
cairan sebagai pengganti perdarahan ialah :
(2 x 350 = 700 cc) s/d (4 x 350 = 1400 cc)

*Jadi, total kebutuhan cairan durante operasi ialah penguapan + pengganti


perdarahan yaitu :

(584 + 700 =1.284cc)s/d(584 + 1400= 1.984cc)

*Output : produksi urin selama operasi sebanyak 200cc

Saat operasi berjalan pasien diberikan resusitasi cairan RL + koloid


1500 cc. Sehingga kebutuhan cairan pasien saat operasi telah terpenuhi
dengan pemberian cairan tersebut.

Post Operatif :
- Kebutuhan cairan per 24 jam : 73 kg x 40-50 cc/24jam = 2.920 3.650
cc/24jam
- Kebutuhan cairan per jam : 122 152 cc/jam jam

34
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Klasifikasi status penderita digolongkan dalam PS ASA III. Pasien


digolongkan dalam PS ASA II karena ditemukan adanya gangguan sistemik
ringan atau sedang, yaitu berupa anemia dan perubahan pada hampir semua
sistem organ pada maternal meliputi perubahan fungsi kardiovaskuler,
pernapasan, ginjal, pencernaan, uterus, servix, dan vagina.
Medikasi prabedah pada pasien ini adalah cairan RL 1500cc dan pada
durante operasi adalah cairan RL 1000 cc dan gelofusal 500cc. Terapi cairan
parenteral diperlukan untuk mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan,
mengganti perdarahan yang terjadi, sehingga pemberian serta kebutuhan pasien
sesuai.
Obat anestesi yang digunakan pada pasien ini adalan Bupivacaine 0,5%.
Bupivacaine bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium
dan memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya
depolarisasi.
Midazolam diberikan untuk mengatasi nyeri dan kecemasan selama
operasi. Pada pasien kasus ini pasien merasa cemas dan pemberian midazolam
pada pasien sesuai . Selain itu juga pasien diberikan Ranitidine 50 mg dan
Ondansentron 4 mg untuk mencegah maupun mengatasi mual dan muntah.
Serta untuk mengatasi nyeri bekas luka post operasi pasien diberikan
midazolam dan dengan dosis yang sesuai.

35

You might also like