You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN

Torsio testis adalah terpeluntirnya funikulus spermatikus yang


berakibat terjadinya oklusi dan strangulasi dari vaskularisasi vena atau arteri
ke testis dan epididymis serta bisa mengakibatkan infark. Torsi testis ini
merupakan kasus gawat darurat di bidang urologi dan membutuhkan
diagnosis dan intervensi yang cepat.1
Torsio testis bisa terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi
pada usia dewasa muda (usia 10-30 tahun) dan lebih jarang terjadi pada
neonatus. Puncak insiden terjadi pada usia 13-15 tahun. Peningkatan insiden
selama usia dewasa muda mungkin disebabkan karena testis yang membesar
sekitar 5-6 kali selama pubertas. Testis kiri lebih sering mengalami torsi
dibandingkan dengan testis kanan. Pada kasus torsio testis yang terjadi pada
periode neonatus, 70% terjadi pada fase prenatal dan 30% terjadi postnatal.1,2
Testis adalah organ genital pria yang terletak di skrotum. Ukuran
terstis pada orang dewasa adalah 4 x 3 x 2,5 cm, dengan volume 15-25 ml
berbentuk ovoid. Kedua buah testis terbungkus oleh jaringan tunika
albuginea yang melekat pada testis. Di luar tunika albuginea terdapat tunika
vaginalis yang terdiri atas lapisan viseralis dan parietalis, serta tunika dartos.
Otot kremaster yang berada disekitar testis memungkinkan testis dapat
digerakan mendekati rongga abdomen untuk mempertahankan temperatur
testis agar tetap stabil.1,2,3
Pada umumnya, kedua testis tidak sama besar. Biasanya testis kiri
agak lebih rendah dari testis kanan. Dapat saja salah satu terletak lebih
rendah dari yang lainnya. Hal ini diakibatkan perbedaan struktur anatomis
pembuluh darah pada testis kiri dan kanan.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI TESTIS

Secara anatomi, Testis adalah organ genitalia pria yang teletak di


skrotum. Ukuran tetstis pada orang dewasa adalah 4 x 3 x 2.5 cm. dengan
volume 15-25 ml berbentuk ovoid. Kedua buah testis terbungkus oleh
jaringan tunika albuginea yang melekat pada testis. Di luar tunika albuginea
terdapat tunika vaginalis yang terdiri atas lapisan viseralis dan parietalis,
serta tunika dartos.1,3

Testis terdiri atas 250 lobuli dan tiap lobulus terdiri atas tubuli
seminiferi. Di dalam testis terdapat banyak saluran yang disebut tubulus
seminiferus. Di dalam tubulus seminiferus terdapat sel-sel spermatogonia dan
sel Sertoli, sedang di antara tubuli seminiferi terdapat sel-sel Leydig. Sel-sel
spermatogonium pada proses spermatogenesis menjadi sel-sel spermatozoa.
Sel-sel Sertoli berfungsi memberi makan pada bakal sperma. sedangkan sel-
sel Leydig atau disebut sel-sel interstisial testis berfungsi dalam
menghasilkan hormone testosterone.1,3

Spermatozoa (sel benih yang sudah siap untuk diejakulasikan), akan


bergerak dari tubulus menuju rete testis, duktus efferen, dan epididimis. Bila

2
mendapat rangsangan seksual, spermatozoa dan cairannya (semua disebut air
mani) akan dikeluarkan ke luar tubuh melalui vas deferen dan akhirnya penis.
Di antara tubulus seminiferus terdapat sel khusus yang disebut sel intersisial
Leydig. Sel Leydig memproduksi hormon testosteron.3

Testis mendapat darah dari beberapa cabang arteri, yaitu arteri


spermatika interna yang merupakan cabang dari aorta, arteri deferensialis
cabang dari arteri vesikalis inferior, dan arteri kremasterika yang merupakan
cabang arteri epigastrika. Pembuluh vena yang meninggalkan testis
berkumpul meninggalkan testis berkumpul membentuk pleksus
Pampiniformis. Pleksus ini pada beberapa orang mengalami dilatasi dan
dikenal sebagai varikokel.3

Selama masa pubertas, testis berkembang untuk memulai


spermatogenesis. Ukuran testis bergantung pada produksi sperma (
banyaknya spermatogenesis ), cairan intersisial, dan produksi cairan dari sel
Sertoli.
Sperma ( pembawa gen pria ) dibuat di testis dan disimpan di dalam
vesikula seminalis. Skrotum merupakan kantung berkulit tipis yang
mengelilingi dan melindungi testis. Epididimis mengumpulkan sperma dari
testis dan menyediakan ruang serta lingkungan untuk proses pematangan
sperma.
Vas deferens merupakan saluran yang membawa sperma dari
epididimis. Saluran ini berjalan ke bagian belakang prostat lalu masuk ke
dalam uretra dan membentuk duktus ejakulatorius. Struktur lainnya (
misalnya pembuluh darah dan saraf ) berjalan bersama-sama vas deferens
dan membentuk korda spermatika. Skrotum juga bertindak sebagai sistem
pengontrol suhu untuk testis, karena agar sperma terbentuk secara normal,
testis harus memiliki suhu yang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan
suhu tubuh.
Pada tubulus spermatikus terdapat otot kremaster yang apabila
berkontraksi akan mengangkat testis mendekat ke tubuh. Otot kremaster pada
dinding skrotum akan mengendur atau mengencang sehinnga testis

3
menggantung lebih jauh dari tubuh (dan suhunya menjadi lebih dingin) atau
lebih dekat ke tubuh (dan suhunya menjadi lebih hangat). Bila suhu testis
akan diturunkan, otot kremaster akan berelaksasi dan testis akan menjauhi
tubuh. Fenomena ini dikenal dengan refleks kremaster.3
Sawar darah testis berfungsinya untuk mencegah reaksi auto-imun.
Tubuh dapat membuat antibodi melawan spermanya sendiri, maka hal ini
dicegah dengan sawar. Bila sperma bereaksi dengan antibodi akan
menyebabkan radang testis dan menurunkan kesuburan.3

Fisiologi testis
Testis berperan pada sistem reproduksi dan sistem endokrin.
Fungsi testis:4,5
- Memproduksi sperma (spermatozoa)
- Memproduksi hormon seks pria seperti testosteron.

Kerja testis di bawah pengawasan hormon gonadotropik dari kelenjar


pituitari bagian anterior:4,5
- Luteinizing hormone (LH)
Hormon LH yang berfungsi merangsang sel Leydig untuk
memperoleh sekresi testosterone (yaitu suatu hormone sex
yang penting untuk perkembangan sperma)
Berlangsung selama 74 hari sampai terbentuknya sperma yang
fungsional. Sperma ini dapat dihasilkan sepanjang usia.
Sehingga tidak ada batasan waktu, kecuali bila terjadi suatu
kelainan yang menghambat penghasilan sperma pada pria.

- Follicle-stimulating hormone (FSH)


Hormon FSH yang berfungsi untuk merangsang pembentukan
sperma secara langsung. Serta merangsang sel sertoli untuk
menghasilkan ABP (Androgen Binding Protein) untuk
memacu spermatogonium untuk melakukan spermatogenesis.

4
1.2 TORSIO TESTIS

1.2.1 Definisi
Torsio testis terjadi akibat insersi tunika vaginalis tinggi di funikulus
spermatikus sehingga funikulus dengan testis dapat terpuntir di dalam tunika
vaginalis.1,4,5
Torsi dari funiculus spermatikus dari testis juga dapat terjadi pada
masa janin/neonatus di dalam rahim atau sewaktu persalinan. Perputaran
terjadi pada funiculus bagian inguinalis di atas insersi tunica vaginalis dan
dikenal sebagai torsi funiculus spermatikus ekstravaginalis. Torsi
ekstravaginalis hanya terjadi pada neonatus.1,4,5
Akibat puntiran tangkai, terjadi gangguan perdarahan testis mulai dari
bendungan vena sampai iskemia yang menyebabkan gangren. Keadaan
insersi tinggi tunika vaginalis di funikulus biasanya digambarkan sebagai
lonceng dengan bandul yang memutar dan mengalami nekrosis dan gangrene.

5
1.2.2 Etiologi
Torsio testis terjadi bila testis dapat bergerak dengan sangat bebas.
Pergerakan yang bebas tersebut ditemukan pada keadaan-keadaan sebagai
berikut :6
1. Trauma
2. Kelainan sistem penyangga testis (anomali bell-clapper)

Selain gerak yang sangat bebas, pergerakan berlebihan pada testis


juga dapat menyebabkan terjadinya torsio testis. Beberapa keadaan yang
dapat menyebabkan pergerakan berlebihan itu antara lain: perubahan suhu
yang mendadak (seperti saat berenang), ketakutan, latihan yang berlebihan,
batuk, celana yang terlalu ketat, defekasi atau trauma yang mengenai
scrotum.6

Pada masa janin dan neonatus, lapisan yang menempel pada


muskulus dartos masih belum banyak jaringan penyangganya sehingga testis,
epididimis dan tunika vaginalis mudah sekali bergerak dan memungkinkan
untuk terpeluntir pada sumbu funikulus spermatikus. Terpeluntirnya testis
pada keadaan ini disebut torsio testis ekstravaginal.6,7

6
1.2.3 Epidemiologi
Torsio testis terjadi akibat perkembangan abnormal dari korda
spermatika atau selaput yang membungkus testis. Torsio testis bisa terjadi
pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia dewasa muda (usia 10-
30 tahun) dan lebih jarang terjadi pada neonatus. Puncak insiden terjadi pada
usia 13-15 tahun. Peningkatan insiden selama usia dewasa muda mungkin
disebabkan karena testis yang membesar sekitar 5-6 kali selama pubertas.
Testis kiri lebih sering mengalami torsi dibandingkan dengan testis kanan,
hal ini mungkin disebabkan oleh karena secara normal spermatic cord kiri
lebih panjang. Pada kasus torsio testis yang terjadi pada periode neonatus,
70% terjadi pada fase prenatal dan 30% terjadi postnatal.1,3

1.2.4 Gejala Klinis


Pasien biasanya mengeluh nyeri yang sangat hebat dengan onset tiba-
tiba dan pembengkakan testis. Nyerinya bisa menyebar ke lipat paha
dan perut bagian bawah, sehingga sering dikelirukan dengan
appendicitis kecuali jika dilakukan pemeriksaan fisik pada genetalia
secara teliti.
Akut skrotum: nyeri hebat di daerah skrotum, yang sifatnya
mendadak dan diikuti pembengkakan pada testis.
pyrexia sangat jarang ditemukan kecuali kalau kemunculannya
lambat dan testic mengalami nekrosis.
Nyeri disertai dengan mual dan muntah
Pada bayi gejalanya tidak khas yaitu gelisah, rewel, atau tidak mau
menyusui.1,3,5

1.2.5 Patofisiologi
Terdapat 2 jenis torsio testis berdasarkan patofisiologinya yaitu torsio
intravagina dan ekstravagina. Torsio intravagina terjadi di dalam tunika
vaginalis dan disebabkan oleh karena abnormalitas dari tunika pada
spermatic cord di dalam scrotum. Secara normal, fiksasi posterior dari
epididymis dan investment yang tidak komplet dari epididymis dan testis

7
posterior oleh tunika vaginalis memfiksasi testis pada sisi posterior dari
scrotum. Kegagalan fiksasi yang tepat dari tunika ini menimbulkan
deformitas, dan keadaan ini menyebabkan testis mengalami rotasi pada cord
sehingga potensial terjadi torsio. Torsio ini lebih sering terjadi pada usia
remaja dan dewasa muda.1
Torsio ekstravagina terjadi bila seluruh testis dan tunika terpuntir
pada axis vertical sebagai akibat dari fiksasi yang tidak komplet atau non
fiksasi dari gubernakulum terhadap dinding scrotum, sehingga menyebabkan
rotasi yang bebas di dalam scrotum. Kelainan ini sering terjadi pada neonatus
dan pada kondisi undesensus testis.1
Otot kremaster berfungsi menggerakkan testis mendekati dan
menjauhi rongga abdomen untuk mempertahankan suhu ideal untuk testis.
Adanya kelainan system penyanggah testis menyebabkan testis dapat
mengalami torsio jika bergerak secara berlebihan.1
Terpeluntirnya funikulus spermatikus menyebabkan obstruksi aliran
darah testis sehingga testis mengalami hipoksia, edema testis,dan iskemia.
Akhirnya testis dapat mengalami nekrosis.1
Torsio testis lebih sering terjadi pada anak. Torsio testis terjadi pada
anak dengan insersi tunika vaginalis tinggi di funikulus spermatikus sehingga
funikulus dengan testis dapat terpuntir di dalam tunika vaginalis. Akibatnya
terjadi gangguan perdarahan testis mulai dari bendungan vena sampai
iskemia yang menyebabkan gangrene.1

1.2.6 Diagnosa banding6,7


- Hernia incarserata
- Epididimitis akut
- Hidrokel
- Apendisitis akut
- Tumor testis

8
1.2.7 Diagnosa

Anamnesis6,7
Pasien-pasien dengan torsio testis dapat mengalami gejala sebagai berikut :

Nyeri hebat yang mendadak pada salah satu testis, dengan atau tanpa
faktor predisposisi
Scrotum yang membengkak pada salah satu sisi
Mual atau muntah
Sakit kepala ringan

Pemeriksaan fisik6,7
Daerah testis jika diraba sangat nyeri dan tampak membesar
Testis yang terkena letaknya tampak lebih tinggi.
Kulit skrotum udem dan merah.
Refleks kremaster biasanya tidak ada
Demam

Pemeriksaan penunjang6,7
Pemeriksaan sedimen urin tidak menunjukkan adanya leukosit
Pemeriksaan darah tidak menunjukkan tanda inflamasi
Stetoskop Doppler, ultrasonografi Doppler, dan sintigrafi testis.
Semuanya bertujuan menilai adanya aliran darah ke testis. Pada torsio
testis tidak didapatkan adanya aliran darah ke testis.
Diagnosis torsi testis dibuat berdasarkan kecurigaan klinis yang
diperoleh dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik termasuk
dengan eksplorasi skrotum. Akan tetapi jika masih meragukan, color
Doppler ultrasound atau nuclear testicular scan bisa digunakan untuk
membantu dalam menegakan diagnosis.
Pada kasus torsi testis, pemeriksaan Doppler ultrasound tidak
ditemukan adanya aliran darah, dan pada pemeriksaan scan
radionuclide terjadi radionuclide tracer uptake yang rendah.
Sedangkan pada kasus epididymo-orchitis, Doppler ultrasound akan

9
memperlihatkan peningkatan aliran darah, dan radionuclide akan
memperlihatkan peningkatan aktivitas radionuclide.
Jika ditemukan riwayat serangan nyeri skrotum dengan onset yang
tiba-tiba dan intermiten pada anak laki-laki, diagnosis torsi intermiten
dapat dipertimbangkan.

1.2.8 Tatalaksana

1. Non operatif4,7,8

Pada beberapa kasus torsio testis, detorsi manual dari funikulus


spermatikus dapat mengembalikan aliran darah. Detorsi manual adalah
mengembalikan posisi testis ke asalnya, yaitu dengan jalan memutar testis ke
arah berlawanan dengan arah torsio. Karena arah torsio biasanya ke medial,
maka dianjurkan untuk memutar testis ke arah lateral terlebih dahulu,
kemudian jika tidak ada perubahan, dicoba detorsi ke arah medial.
Metode tersebut dikenal dengan metode open book (untuk testis
kanan), Karena gerakannya seperti membuka buku. Bila berhasil, nyeri yang
dirasakan dapat menghilang pada kebanyakan pasien. Detorsi manual
merupakan cara terbaik untuk memperpanjang waktu menunggu tindakan
pembedahan, tetapi tidak dapat menghindarkan dari prosedur pembedahan.
Dalam pelaksanaannya, detorsi manual sulit dan jarang dilakukan. Di
unit gawat darurat, pada anak dengan scrotum yang bengkak dan nyeri,
tindakan ini sulit dilakukan tanpa anestesi. Selain itu, testis mungkin tidak
sepenuhnya terdetorsi atau dapat kembali menjadi torsio tak lama setelah
pasien pulang dari RS. Sebagai tambahan, mengetahui ke arah mana testis
mengalami torsio adalah hampir tidak mungkin, yang menyebabkan tindakan
detorsi manual akan memperburuk derajat torsio.

2. Operatif4,7,8

Torsio testis merupakan kasus emergensi, harus dilakukan segala


upaya untuk mempercepat proses pembedahan. Hasil pembedahan tergantung

10
dari lamanya iskemia, oleh karena itu, waktu sangat penting. Biasanya waktu
terbuang untuk pemeriksaan pencitraan, laboratorium, atau prosedur
diagnostik lain yang mengakibatkan testis tak dapat dipertahankan.

Tujuan dilakukannya eksplorasi yaitu : 4,7,8

1. Untuk memastikan diagnosis torsio testis


2. Melakukan detorsi testis yang torsio
3. Memeriksa apakah testis masih viable
4. Membuang (jika testis sudah nonviable) atau memfiksasi jika testis
masih viable
5. Memfiksasi testis kontralateral

Perbedaan pendapat mengenai tindakan eksplorasi antara lain


disebabkan oleh kecilnya kemungkinan testis masih viable jika torsio sudah
berlangsung lama (>24-48 jam). Sebagian ahli masih mempertahankan
pendapatnya untuk tetap melakukan eksplorasi dengan alasan medikolegal,
yaitu eksplorasi dibutuhkan untuk membuktikan diagnosis, untuk
menyelamatkan testis (jika masih mungkin), dan untuk melakukan
orkidopeksi pada testis kontralateral. 4,7,8
Saat pembedahan, dilakukan juga tindakan preventif pada testis
kontralateral. Hal ini dilakukan karena testis kontralaeral memiliki
kemungkinan torsio di lain waktu. Korda yang terpuntir menyebabkan
terputusnya aliran darah ke testis. Karena itu satu-satunya cara untuk
menyelamatkan testis adalah pembedahan untuk melepaskan puntiran.
Pembedahan harus dilakukan sesegera mungkin. 4,7,8

11
7

Sebelum pembedahan dan setelah pembedahan.

Dalam pembedahan, testis di detorsi (putar balik) dan setelah itu dilakukan
penilaian apakah testis yang mengalami torsi masih viable (hidup) atau sudah
mengalami nekrosis. Orkidopeksi dilakukan pada kedua testis sebagai
tindakan pencegahan. Orkidektomi tidak dilakukan kecuali jika testis telah
rusak seluruhnya.

12
1.2.9 Prognosis
Testis umumnya dapat diselamatkan jika pembedahan dilakukan
dalam waktu 6 jam setelah awitan torsi. Tingkat penyelamatan menurun 70
% setelah 6 sampai 12 jam, dan 20 % setelah 12 jam.1,4

1.2.10 Komplikasi
Torsio testis dan spermatic cord akan berlanjut sebagai salah satu
kegawat daruratan dalam bidang urologi. Keterlambatan lebih dari 6-8 jam
antara onset gejala yang timbul dan waktu pembedahan atau detorsi manual
akan menurunkan angka pertolongan terhadap testis hingga 55-85%.
Putusnya suplai darah ke testis dalam jangka waktu yang lama akan
menyebabkan atrofi testis Atrofi dapat terjadi beberapa hari hingga beberapa
bulan setelah torsio dikoreksi. Insiden terjadinya atrofi testis meningkat bila
torsio telah terjadi 8 jam atau lebih.
Komplikasi lain yang sering timbul dari torsio testis meliputi:4
Infark testis
Hilangnya testis
Infeksi
Infertilitas sekunder
Deformitas kosmetik

13
BAB III
KESIMPULAN

Testis adalah organ genital pria yang terletak di skrotum. Ukuran


terstis pada orang dewasa adalah 4 x 3 x 2,5 cm, dengan volume 15-25 ml
berbentuk ovoid. Kedua buah testis terbungkus oleh jaringan tunika
albuginea yang melekat pada testis.
Pada torsio testis bisa terjadi pada semua usia, tetapi paling sering
terjadi pada usia dewasa muda (usia 10-30 tahun) dan lebih jarang terjadi
pada neonatus. Puncak insiden terjadi pada usia 13-15 tahun. Peningkatan
insiden selama usia dewasa muda mungkin disebabkan karena testis yang
membesar sekitar 5-6 kali selama pubertas.
Torsio testis terjadi akibat insersi tunika vaginalis tinggi di funikulus
spermatikus sehingga funikulus dengan testis dapat terpuntir di dalam tunika
vaginalis. Akibat puntiran tangkai, terjadi gangguan perdarahan testis mulai
dari bendungan vena sampai iskemia yang menyebabkan gangren. Keadaan
insersi tinggi tunika vaginalis di funikulus biasanya digambarkan sebagai
lonceng dengan bandul yang memutar dan mengalami nekrosis dan gangrene.
Torsio testis merupakan kasus emergensi pada bagian urologi dan
harus dibedakan dari keluhan nyeri testis, karena diagnosis dan penanganan
yang terlambat dapat mengakibatkan hilangnya peran testis .
Penetalaksanaan torsio testis adalah dengan detorsi manual dan
tindakan pembedahan.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Price Sylvia A, Wilson Lorraine M, Patofisiologi : Konsep klinis proses-


proses penyakit, 4th ed, Jakarta, EGC, 1995, 1153.
2. Schwartz, Intisari prinsip-prinsip ilmu bedah, 6th ed, Jakarta, EGC, 2000,
580.
3. Purnomo, Basuki B. Dasar-Dasar Urologi Edisi kedua. Jakarta : Sagung
Seto : 2009
4. Sjamsuhidajat, R., De jong, wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC :
2005.
5. http://www.emedicine.com/emerg/topic573.htm
6. Tanagho, Emil A. dan Jack W. McAninch. 2008. Smiths General Urology 17th
ed. Mc Graw Hill
7. Townsend. 2007. Sabiston Textbook of Surgery, 18th ed. Saunders, An Imprint
of Elsevier
8. Bunicardi, F.Charles. dkk.2007. Schwartz's Principles of Surgery 8th edition.
McGraw-Hill Companies

15

You might also like