You are on page 1of 45

LAPORAN KASUS

Pneumonia

Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Radiologi

Pembimbing :

dr. Zakiyah, Sp.Rad

dr. Lilis Untari S., Sp.Rad (K)

Disusun oleh :

Dian Rasitawati 30101306915

Shintia Malinda 30101307080

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2017
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITRAAN RADIOLOGI

Laporan Kasus dengan judul :

Pneumonia

Disusun oleh :

Dian Rasitawati 30101306915

Shintia Malinda 30101307080

Diperiksa dan Disetujui Oleh :

Pembimbing : dr. Zakiyah, Sp.Rad dr. Lilis Untari S., Sp.Rad (K)

Tanggal : Oktober 2017

Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Radioogi


Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung Semarang
RSUD Tuguejo Semarang
BAB I
LAPORAN KASUS
I. Identitas
Nama : An. F
Umur : 1 bln 16 hr
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan :-
Alamat : Wates RT06/RW01, Ngaliyan, Semarang
TanggalMasuk RS : 5 Oktober 2017 pukul 17.00

II. Anamnesis
Pasien datang ke bagian radiologi atas rekomendasi dokter anak
untuk pemeriksaan foto thorak dengan suspek Bronkopneumonia.
Pasien datang ke IGD dengan keluhan utama sesak nafas.
Berdasarkan alloanamnesis dengan keluarga pasien menyatakan keluhan
dirasakan sejak tanggal 2 Oktober 2017, keluhan dirasakan terus menerus.
Sesak nafas disertai batuk berdahak, demam (+), suara ronkhi (+), retraksi
dada (+), pilek (+), dahak susah keluar. Mual (-), Muntah (+) 1 kali.
Makan dan minum normal. BAK normal, BAB normal.
Pasien belum pernah merasakan sakit seperti ini, riwayat alergi
(-), riwayat lahir normal, cukup bulan, BB lahir 3000 gram.
Anamnesis Sistemik:
1. RPS : Sesak Nafas
Onset : 3 hari
Kronologi : Sesak nafas disertai batuk berdahak yang sulit keluar, demam
Kuantitas : sesak nafas terus menerus
Kualitas : sesak menyebabkan anak menjadi rewel
Memperberat memperingan :
o Sesak nafas tidak dapat berkurang dengan perubahan posisi
Keluhan lain : Batuk berdahak
Demam
Pilek
Dahak sulit keluar
2. RPD
Riwayat penyakit yang sama (-)
Riwayat alergi (-)
Riwayat lahir normal
3. RPK
Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini
4. RIW. SOSEK
Konsumsi ASI normal
Konsumsi susu formula sejak usia 1 minggu
Lingkungan tempat tinggal baik
III. Pemeriksaan Fisik
Status generalis
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadran : Composmentis
Status gizi : BB : 5,2 kg
TB : 58 cm
Vital Sign : BP :-
HR : 123 x/menit
RR : 50 x/menit, irama reguler
T : 37,5C
Kepala : mesochepal, tidak ada kerontokan rambut, Conjunctiva tidak
anemis, sclera tidak ikterik, pupil bulat, isokor, refleks cahaya
langsung / tidak langsung +/+
Thoraks :
Inspeksi : pergerakan hemitoraks kanan dan kiri simetris, tidak ada
tanda-tanda inflamasi, retraksi dinding dada (+)
Palpasi : stem fremitus vocal dan taktil hemitoraks kanan dan kiri
simetris.
Perkusi : sonor di kedua lapang paru.
Auskultasi : vesikuler di kedua lapang paru, suara BJ I&II + reguler,
gallop (-), murmur (-), ronkhi (+)
Abdomen
Inspeksi : permukaan perut cembung, tak tampak tanda-tanda inflamasi.
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Perkusi : timpani di empat kuadran abdomen, pekak alih (-), pekak sisi
(-).
Palpasi : Nyeri tekan (-) kuadran kanan bawah, hepar tidak teraba, lien tidak
teraba, renal dextra et sinistra tidak teraba.
IV. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan Radiologi
Tanggal : 5 Oktober 2017
Foto Thoraks proyeksi AP
Klinis : Bronkopneumonia

Interpretasi :
Soft tissue : baik
Kondisi tulang : baik
Trachea : ditengah
Cor : CTR <60%
Bentuk, ukuran dan letak normal
Pulmo : Corakan vascular kasar
Bercak kesuraman parahiler kiri dan kedua
paracardial
Kesuraman homogen lapangan atas sampai
kanan tengah
Diafragma : baik
Sinus costophrenicus : lancip

Kesan :
Cor : Normal
Pulmo : Gambaran Pneumonia
Hasil Pemeriksaan Radiologi
Tanggal 11 Oktober 2017

Interpretasi :
Soft tissue : baik
Kondisi tulang : baik
Trachea : ditengah
Cor : CTR <60%
Bentuk, ukuran dan letak normal
Aorta baik
Pulmo : Tak tampak lagi gambaran konsolidasi pada
paru kanan.
Masih tampak infiltrat minimal pada parahiler
kanan-kiri
Diafragma : baik
Sinus costophrenicus : lancip

Kesan :
Cor : Normal
Pulmo : Pneumonia (Perbaikan nyata)

Diagnosa Klinis
1. Bronkopneumonia
2. Pneumonia
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pneumonia


Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
(alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan
proses infeksi akut pada bronkus (biasa disebut bronchopneumonia). Gejala
penyakit ini berupa napas cepat dan napas sesak, karena paru meradang secara
mendadak. Batas napas cepat adalah frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali
permenit pada anak usia < 2 bulan, 50 kali per menit atau lebih pada anak usia
2 bulan sampai kurang dari 1 tahun, dan 40 kali permenit atau lebih pada anak
usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun (Depkes RI, 2002b).
Definisi lainnya disebutkan pneumonia adalah peradangan pada parenkim
paru yang biasanya terjadi pada anak-anak tetapi lebih sering terjadi pada bayi
dan awal masa kanak-kanak dan secara klinis pneumonia terjadi sebagai
penyakit primer atau komplikasi dari penyakit lain (Hockenberry dan Wilson,
2009). Menurut Misnadiarly (2008), pneumonia adalah peradangan yang
mengenai parencim paru, dari broncheolus terminalis yang mencakup
broncheolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan
paru dan gangguan pertukaran gas setempat. UNICEF/WHO (2006)
menyatakan pneumonia merupakan sakit yang terbentuk dari infeksi akut dari
daerah saluran pernafasan bagian bawah yang secara spesifik mempengaruhi
paru-paru dan Depkes RI (2007) mendefenisikan pneumonia sebagai salah
satu penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang mengenai bagian paru
(jaringan alveoli).
2.2 Etiologi Pneumonia
Diagnosis etiologi pneumonia pada balita sukar untuk ditegakkan karena
dahak biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi
belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri
sebagai penyebab pneumonia. Hanya biakan dari spesimen pungsi atau
aspirasi paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk
membantu menegakkan diagnosis etiologi pneumonia. Meskipun pemeriksaan
spesimen fungsi paru merupakan cara yang sensitif untuk mendapatkan dan
menentukan bakteri penyebab pneumonia pada balita akan tetapi pungsi paru
merupakan prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika, terutama
jika hanya dimaksudkan untuk penelitian (Depkes RI, 2002b). Oleh karena
alasan tersebut di atas maka penentuan etiologi pneumonia di Indonesia masih
didasarkan pada hasil penelitian di luar Indonesia. Menurut publikasi WHO,
penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa Streptococcus pneumoniae
dan Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada
penelitian tentang etiologi di negara berkembang. Jenis jenis bakteri ini
ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi, yaitu 73,9% aspirat paru dan
69,1% hasil isolasi dari spesimen darah. Sedangkan di negara maju, dewasa
ini pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus (Fein, dkk, 2006).
Berikut beberapa agent penyebab terjadinya pneumonia.
2.2.1 Bakteri
1. Streptococcus pneumonia
Streptococcus pneumoniae adalah diplokokus gram-positif. Bakteri
ini, yang sering berbentuk lanset atau tersusun dalam bentuk rantai,
mempunyai simpai polisakarida yang mempermudah penentuan
tipe dengan antiserum spesifik. Organisme ini adalah penghuni
normal pada saluran pernapasan bagian atas manusia dan dapat
menyebabkan pneumonia, sinusitis, otitis, bronkitis, bakteremia,
meningitis, dan proses infeksi lainnya. Pada orang dewasa, tipe 1-8
menyebabkan kira-kira 75% kasus pneumonia pneumokokus dan
lebih dari setengah kasus bakteremia pneumokokus yang fatal;
pada anak-anak, tipe 6, 14, 19, dan 23 merupakan penyebab yang
paling sering. Pneumokokus menyebabkan penyakit melalui
kemampuannya berbiak dalam jaringan. Bakteri ini tidak
menghasilkan toksin yang bermakna. Virulensi organisme
disebabkan oleh fungsi simpainya yang mencegah atau
menghambat penghancuran sel yang bersimpai oleh fagosit. Serum
yang mengandung antibodi terhadap polisakarida tipe spesifik akan
melindungi terhadap infeksi. Bila serum ini diabsorbsi dengan
polisakarida tipe spesifik, serum tersebut akan kehilangan daya
pelindungnya. Hewan atau manusia yang diimunisasi dengan
polisakarida pneumokokus tipe tertentu selanjutnya imun terhadap
tipe pneumokokus itu dan mempunyai antibodi presipitasi dan
opsonisasi untuk tipe polisakarida tersebut.
Pada suatu saat tertentu, 40-70% manusia adalah pembawa
pneumokokus virulen, selaput mukosa pernapasan normal harus
mempunyai imunitas alami yang kuat terhadap pneumokokus.
Infeksi pneumokokus menyebabkan melimpahnya cairan edema
fibrinosa ke dalam alveoli, diikuti oleh sel-sel darah merah dan
leukosit, yang mengakibatkan konsolidasi beberapa bagian paru-
paru. Banyak pneumokokus ditemukan di seluruh eksudat, dan
bakteri ini mencapai aliran darah melalui drainase getah bening
paru-paru. Dinding alveoli tetap normal selama infeksi.
Selanjutnya, sel-sel mononukleus secara aktif memfagositosis sisa-
sisa, dan fase cair ini lambat-laun diabsorbsi kembali.
Pneumokokus diambil oleh sel fagosit dan dicerna di dalam sel.
Pneumonia yang disertai bakteremia selalu menyebabkan angka
kematian yang paling tinggi. Pneumonia pneumokokus kira-kira
merupakan 60-80% dari semua kasus pneumonia oleh bakteri.
Penyakit ini adalah endemik dengan jumlah pembawa bakteri yang
tinggi. Imunisasi dengan polisakarida tipe-spesifik dapat
memberikan perlindungan 90% terhadap bakteremia pneumonia
(Brooks, G.F, dkk, 1996).
2. Hemophylus influenza
Hemophylus influenzae ditemukan pada selaput mukosa saluran
napas bagian atas pada manusia. Bakteri ini merupakan penyebab
meningitis yang penting pada anak-anak dan kadang-kadang
menyebabkan infeksi saluran napas pada anak-anak dan orang
dewasa. Hemophylus influenzae bersimpai dapat digolongkan
dengan tes pembengkakan simpai menggunakan antiserum
spesifik. Kebanyakan Hemophylus influenzae pada flora normal
saluran napas bagian atas tidak bersimpai. Pneumonitis akibat
Hemophylus influenzae dapat terjadi setelah infeksi saluran
pernapasan bagian atas pada anak-anak kecil dan pada orang tua
atau orang yang lemah. Orang dewasa dapat menderita bronkitis
atau pneumonia akibat influenzae. Hemophylus influenzae tidak
menghasilkan eksotoksin. Organisme yang tidak bersimpai adalah
anggota tetap flora normal saluran napas manusia. Simpai bersifat
antifagositik bila tidak ada antibodi antisimpai khusus. Bentuk
Hemophylus influenzae yang bersimpai, khususnya tipe b,
menyebabkan infeksi pernapasan supuratif (sinusitis,
laringotrakeitis, epiglotitis, otitis) dan, pada anak-anak kecil,
meningitis. Darah dari kebanyakan orang yang berumur lebih dari
3-5 tahun mempunyai daya bakterisidal kuat terhadap Hemophylus
influenzae, dan infeksi klinik lebih jarang terjadi. Hemophylus
influenzae tipe b masuk melalui saluran pernapasan. Tipe lain
jarang menimbulkan penyakit. Mungkin terjadi perluasan lokal
yang mengenai sinus-sinus atau telinga tengah. Hemophylus
influenzae tipe b dan pneumokokus merupakan dua bakteri
penyebab paling sering pada otitis media bakterial dan sinusitis
akut. Organisme ini dapat mencapai aliran darah dan dibawa ke
selaput otak atau, jarang, dapat menetap dalam sendi-sendi dan
menyebabkan artritis septik. Hemophylus influenzae sekarang
merupakan penyebab tersering meningitis bakteri pada anak-anak
berusia 5 bulan sampai 5 tahun di AS. Bayi di bawah umur 3 bulan
dapat mengandung antibodi dalam serum yang diperoleh dari
ibunya. Selama masa ini infeksi Hemophylus influenzae jarang
terjadi, tetapi kemudian antibodi ini akan hilang. Anak-anak senng
mendapatkan infeksi Hemophylus influenzae yang biasanya
asimtomatik tetapi dapat dalam bentuk penyakit pernapasan atau
meningitis (Hemophylus influenzae adalah penyebab paling sering
dari meningitis bakterial pada anak-anak dari umur 5 bulan sampai
5 tahun). Angka kematian meningitis Hemophylus influenzae yang
tidak diobati dapat mencapai 90%. Influenzae tipe b dapat dicegah
dengan pemberian vaksin konjugat Haemophilus b pada anak-anak.
Anak-anak berusia 2 bulan atau lebih dapat diimunisasi dengan
vaksin konjugat Hemophylus influenzae tipe 6 dengan satu dari
dua pembawa dengan dosis boster yang diperlukan sesuai anjuran
standard. Anak-anak berusia 15 bulan atau lebih dapat menerima
vaksin konjugat Hemophylus influenzae tipe b dengan toksoid
difteri (yang tidak bersifat imunogenik pada anak-anak yang lebih
muda). Vaksin tidak mencegah timbulnya pembawa untuk
Hemophylus influenzae. Pemanfaatan vaksin Hemophylus
influenzae tipe b secara luas telah sangat menurunkan kejadian
meningitis Hemophylus influenzae pada anak-anak. Kontak
dengan pasien yang menderita infeksi klinik Hemophylus
influenzae memberi risiko kecil bagi orang dewasa, tetapi member
risiko nyata bagi saudara kandung yang nonimun dan anak-anak
nonimun lain yang berusia di bawah 4 tahun yang berkontak erat
(Brooks, G.F, dkk, 1996).
2.2.2 Virus
Setengah kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus.
Virus yang sering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory
Syncial Virus (RSV). Meskipun virus-virus ini kebanyakan menyerang
saluran pernafasan bagian atas pada balita, gangguan ini bias memicu
pneumonia. Tetapi pada umumnya sebagian besar pneumonia jenis ini
tidak berat dan sembuh dalam waktu singkat. Namun bila infeksi
terjadi bersamaan dengan virus influenza, gangguan bias berat dan
kadang menyebabkan kematian (Misnadiarly, 2008).
2.2.3 Mikoplasma
Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan
penyakit pada manusia. Mikoplasma tidak bias diklasifikasikan
sebagai virus maupun bakteri, meski memiliki karakteristik keduanya.
Pneumonia yang dihasilkan biasanya berderajat ringan dan tersebar
luas. Mikoplasma menyerang segala jenis usia, tetapi paling sering
pada anak pria remaja dan usia muda. Angka kematian sangat rendah,
bahkan juga pada yang tidak diobati (Misnadiarly, 2008).
2.2.4 Protozoa
Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut pneumonia
pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah Pneumocysititis Carinii
Pneumonia (PCP). Pneumonia pneumosistis sering ditemukan pada
bayi yang prematur. Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam
beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat dalam
hitungan hari. Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan P. Carinii
pada jaringan paru atau specimen yang berasal dari paru (Misnadiarly,
2008).
2.3 Patogenesis dan Penularan Pneumonia
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau
aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran nafas bagian atas
sama dengan di saluran nafas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa
penelitian ditemukan jenis mikroorganisme yang berbeda. Pneumonia terjadi
jika mekanisme pertahanan paru mengalami gangguan sehingga kuman
patogen dapat mencapai saluran nafas bagian bawah. Agen-agen mikroba
yang menyebabkan pneumonia memiliki tiga bentuk transmisi primer yaitu
aspirasi secret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi
pada orofaring, infeksi aerosol yang infeksius dan penyebaran hematogen dari
bagian ekstrapulmonal. Aspirasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua
cara tersering yang menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran secara
hematogen lebih jarang terjadi (Perhimpunan Ahli Paru, 2003). Menurut
WHO (2010), pneumonia dapat menyebar dalam beberapa cara. Virus dan
bakteri biasanya ditemukan di hidung atau tenggorokan anak yang dapat
menginfeksi paru-paru jika dihirup. Virus juga dapat menyebar melalui
droplet udara lewat batuk atau bersin. Selain itu, radang paru-paru bias
menyebar melalui darah, terutama selama dan segera setelah lahir.
2.4 Faktor Risiko
Di Indonesia, hasil Survei Kesehatan Nasional (SURKESNAS) menunjukkan
bahwa proporsi kematian bayi akibat ISPA 28%. Artinya bahwa dari 100 bayi
yang meninggal 28 disebabkan oleh penyakit ISPA dan terutama 80% kasus
kematian ISPA pada balita adalah akibat pneumonia. Angka kematian akibat
pneumonia pada akhir tahun 2000 diperkirakan sekitar 4,9/1000 balita
(Surkesnas, 2001). Menurut Depkes RI (2002), pneumonia dapat menyerang
semua orang, semua umur, jenis kelamin serta tingkat sosial ekonomi.
Kejadian kematian pneumonia pada balita berdasarkan SKRT (2001) urutan
penyakit menular penyebab kematian pada bayi adalah pneumonia, diare,
tetanus, infeksi saluran pernafasan akut sementara proporsi penyakit menular
penyebab kematian pada balita yaitu pneumonia (22,5%), diare (19,2%),
infeksi pernafasan akut (7,5%), malaria (7%) serta campak (5,2%). Dari tahun
ke tahun pneumonia selalu menduduki peringkat atas penyebab kematian bayi
dan balita di Indonesia. Pneumonia merupakan penyebab kematian balita
kedua setelah diare (15,5% diantara semua balita) dan selalu berada pada
daftar 10 penyakit terbesar yang ada di fasilitas pelayanan kesehatan. Hal ini
menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah
kesehatan masyarakat utama yang berkontribusi terhadap tingginya angka
kematian pada balita di Indonesia. Kematian akibat pneumonia sangat terkait
dengan kekurangan gizi, kemiskinan dan akses pelayanan kesehatan. Lebih
98% kematian balita akibat pneumonia dan diare terjadi di Negara
berkembang (Riskesdes 2007). Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan
terjadinya pneumonia pada balita. Menurut Depkes (2004), dibagi menjadi
faktor balita, faktor ibu dan faktor lingkungan dan sosioekonomis. Beberapa
faktor risiko yang meningkatkan insidens pneumonia antara lain umur kurang
dari 2 bulan, laki-laki, gizi kurang, BBLR, tidak mendapat ASI memadai,
polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi tidak memadai, membedong
anak (menyelimuti berlebihan) dan defisiensi vitamin A. Sedangkan faktor
risiko meningkatkan angka kematian pneumonia antara lain umur kurang dari
2 bulan, tingkat sosioekonomi rendah, gizi kurang, BBLR, tingkat pendidikan
ibu rendah, tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah, kepadatan tempat
tinggal, imunisasi tidak memadai, dan menderita penyakit kronis. (Depkes RI,
2000). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia dibagi
menjadi 3 faktor yaitu: faktor balita, faktor lingkungan dam faktor perilaku.
2.4.1 Faktor Anak
a. Umur
Bayi lebih mudah terkena pneumonia dibandingkan dengan anak
balita. Anak berumur kurang dari 1 tahun mengalami batuk pilek
30% lebih besar dari kelompok anak berumur anatara 2 sampai 3
tahun. Mudahnya usia di bawah 1 tahun mendapatkan risiko
pneumonia disebabkan imunitas yang belum sempurna dan lubang
saluran pernafasan yang relatif masih sempit. Menurut Daulaire
(1991), risiko untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak
berumur dibawah 2 tahun dibandingkan yang lebih tua, hal ini
dikarenakan status kerentanan anak dibawah 2 tahun belum
sempurna dan lumen saluran nafas yang masih sempit.
b. Jenis kelamin
Dalam program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernafasan
akut (P2 ISPA) dijelaskan bahwa laki-laki adalah faktor risiko
yang mempengaruhi kesakitan pneumonia (Depkes RI, 2004).
Menurut Sunyataningkamto (2004), hal ini disebabkan karena
diameter saluran pernafasan anak laki-laki lebih kecil
dibandingkan dengan anak perempuan atau adanya perbedaan
dalam daya tahan tubuh antara anak laki-laki dan perempuan. Dari
penelitian di Indramayu yang dilakukan selama 1,5 tahun
didapatkan kesimpulan bahwa pneumonia lebih banyak menyerang
balita berjenis kelamin laki-laki (52,9%) dibandingkan perempuan
(Sutrisna, 1993).
c. Status Imunisasi Campak
Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat
dijumpai pada balita umur 5-9 bulan, dengan adanya kekebalan ini
balita terhindar dari penyakit. Dikarenakan kekebalan bawaan
hanya bersifat sementara, maka diperlukan imunisasi untuk tetap
mempertahankan kekebalan yang ada pada balita. Salah satu
pencegahan untuk mengurangi kesakitan dan kematian akibat
pneumonia adalah dengan pemberian imunisasi. Sekitar 43,1% -
76,6% kematian akibat ISPA yang berkembang dapat dicegah
dengan imunisasi seperti Difteri, Pertusis, dan Campak. Bila anak
sudah dilengkapi dengan imunisasi DPT dan campak, dapat
diharapkan perkembangan penyakit ISPA tidak akan menjadi berat.
Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang
berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
seperti Difteri, Pertusis dan Campak. Maka peningkatan cakupan
imunisasi akan berperan besar dalam pemberantasan ISPA. Dengan
imunisasi campak yang efektif, sekitar 11% kematian pneumonia
balita dapat dicegah. Dari hasil pengamatan selama 58 tahun
periode penelitian di Amerika Serikat terhadap kematian karena
pneumonia balita diamati sejak tahun 1939 sampai 1996
menunjukkan vaksinasi campak berperan dalam menurunkan
kematian akibat pneumonia (Sjenileila, 2002).
d. Imunisasi DPT
Imunisasi membantu mengurangi kematian anak dari pneumonia
dalam dua cara. Pertama, vaksinasi membantu mencegah anak dari
infeksi yang berkembang langsung menyebabkan pneumonia,
misalnya Haemophilus influenza tipe b (Hib). Kedua, imunisasi
dapat mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia
sebagai komplikasi dari penyakit (misalnya, campak dan pertusis).
Tiga vaksin yang memiliki potensi untuk mengurangi kematian
anak dari pneumonia adalah vaksin campak, Hib, dan vaksin
pneumokokus. Imunisasi DPT merupakan salah satu imunisasi
yang efektif untuk mengurangi faktor yang meningkatkan kematian
akibat ISPA (UNICEF, WHO 2006). Menurut Susi (2011), balita
yang tidak mendapatkan imunisasi DPT mempunyai peluang
mengalami pneumonia sebanyak 2,34 kali disbanding balita yang
mendapatkan imunisasi DPT dan hasil uji statistic menyatakan ada
hubungan yang bermakna antara riwayat imunisasi DPT pada
balita dengan kejadian pneumonia (p value = 0,049: = 0,05).
e. Status Pemberian Vitamin A
Sejak tahun 1985 setiap 6 bulan posyandu memberikan kapsul
200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan
empat tahun. Pemberian kapsul vitamin A diberikan setahun dua
kali pada bulan Februari dan Agustus, sejak anak berusia enam
bulan. Kapsul merah (dosis 100.000 IU) diberikan untuk bayi umur
6-11 bulan dan kapsul biru (dosis 200.000 IU) untuk anak umur
12-59 bulan. Pemberian vitamin A berperan sebagai protektif
melawan infeksi dengan memelihara integritas epitel/fungsi barier,
kekebalan tubuh dan mengatur pengembangan dan fungsi paru
(Klemm, 2008). Menurut Sutrisna (1993), dikatakan bahwa ada
hubungan antara pemberian vitamin A dengan risiko terjadinya
ISPA. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa anak dengan
Xerophtalamin ringan memiliki risiko dua kali menderita ISPA,
terutama anak-anak yang berusia kurang dari 3 tahun.
f. Status Gizi Balita
Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulnya
pneumonia. Tingkat pertumbuhan fisik dan kemampuan
imunologik seseorang sangat dipengaruhi adanya persediaan gizi
dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan
kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit seperti pneumonia
(Sutrisna, 1993). Beberapa studi melaporkan kekurangan gizi akan
menurunkan kapasitas kekebalan untuk merespon infeksi
pneumonia termasuk gangguan fungsi granulosit, penurunan fungsi
komplemen dan menyebabkan kekurangan mikronutrien
(Sunyataningkamto, 2004). Sjenileila Boer (2002) menjelaskan
bahwa status gizi mempunyai hubungan yang bermakna dengan
kejadian pneumonia dengan nilai OR: 3,194 (95% CI: 1,585-
6,433).
g. Pemberian ASI Eksklusif
Air susu ibu diketahui memiliki zat yang unik bersifat anti infeksi.
ASI juga memberikan proteksi pasif bagi tubuh balita untuk
menghadapi patogen yang masuk ke dalam tubuh. Pemberian ASI
eksklusif terutama pada bulan pertama kehidupan bayi dapat
mengurangi insiden dan keparahan penyakit infeksi. Sehingga
pemberian ASI secara Eksklusif selama 6 bulan dapat mencegah
pneumonia oleh bakteri dan virus. Hasil penelitian Naim (2001) di
Jawa Barat menjelaskan anak usia 4 bulan 24 bulan yang tidak
mendapat ASI Eksklusif menunjukkan hubungan yang bermakna
terhadap terjadinya pneumonia dan memiliki risiko terjadinya
pneumonia 4,76 kali disbanding anak umur 4 bulan-24 bulan yang
diberi ASI eksklusif ditunjukkan dengan nilai statistic OR=4,76
(95% CI: 2,98-7,59).
h. Berat Badan Lahir
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko
kematian yang lebih besar dibandingkan dengan bayi berat lahir
normal. Hal ini terutama terjadi pada bulan-bulan pertama
kelahiran sebagai akibat dari pembentukan zat anti kekebalan yang
kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi
terutama pneumonia dan penyakit saluran pernafasan lainnya.
Hasil penelitian Herman (2002) di Sumatera Selatan menjelaskan
balita yang mempunyai riwayat berat badan lahir rendah memilki
risiko 1,9 kali untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan bayi
yang mempunyai riwayat berat badan normal namun efek tersebut
secara statistic tidak bermakna hal ini ditunjukkan dengan nilai
OR= 1,9 (95% CI: 0,7-4,9) p=0,175.
i. Riwayat Asma
Dawood (2010) menjelaskan anak-anak dengan asma akan
mengalami peningkatan risiko terkena radang paru-paru sebagai
komplikasi dari influenza. Bayi dan anak-anak kurang dari lima
tahun berisiko lebih tinggi mengalami pneumonia sebagai
komplikasi dari influenza saat dirawat di rumah sakit. Bayi usia 6
bulan-2 tahun dengan asma mempunyai risiko dua kali lebih tinggi
menderita pneumonia.
2.4.2 Faktor Lingkungan
a. Pendidikan Ibu
Pendidikan adalah suatu proses yang unsur-unsurnya terdiri dari
masukan yaitu sasaran pendidikan dan keluaran yaitu suatu bentuk
perilaku atau kemauan baru. Pendidikan formal maupun non formal
mempengaruhi seseorang dalam membuat keputusan dan bekerja.
Semakin tinggi pendidikan formal seorang ibu, semakin mudah pula
ia menerima pesan-pesan kesehatan dan semakin tinggi pula tingkat
pemahamannya terhadap pencegahan dan penatalaksanaan penyakit
pada bayi dan anak balitanya. Hasil penelitian Hananto (2004)
menjelaskan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendidikan
ibu dengan kejadian pneumonia pada anak balita dimana ibu yang
berpendidikan rendah mempunyai risiko 2 kali anak balitanya
menderita pneumonia dibanding ibu yang berpendidikan tinggi
(95%CI: 0,95-4,21).
b. Pekerjaan Ibu
Pekerjaan ibu akan mempengaruhi waktu terbanyak yang terpakai
setiap harinya. Hal ini memiliki kecenderungan menyita waktu dan
perhatian ibu terhadap balita baik dalam pertumbuhan dan
perkembangannya. Sehingga kondisi atau pekerjaan ibu akan berisiko
terhadap kemungkinan risiko balita terkena pneumonia.
c. Sosial Ekonomi
Keluarga dengan tingkat pendapatan yang tinggi, memiliki peluang
lebih besar untuk mencukupi makanan untuk bayi dan balitanya
sehingga anak akan mempunyai daya tahan yang lebih baik untuk
menangkal ISPA/pneumonia. Disamping itu, tingkat pendapatan yang
tinggi juga akan memberikan peluang yang lebih besar untuk
mempunyai perumahan yang lebih memenuhi syarat sehingga lebih
memungkinkan terhindar dari serangan ISPA. Hasil penelitian yang
dilakukan Hananto (2004) menjelaskan bahwa ada hubungan antara
status ekonomi dengan kejadian pneumonia dengan nilai p=0,0005
dengan nilai OR 2,39 yang artinya anak balita yang berasal dari
keluarga status ekonomi rendah mempunyai risiko 2,39 kali terkena
pneumonia daripada balita dari status ekonomi tinggi.
2.4.3 Faktor Perilaku
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah didapat ada hubungan
antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA
balita yang orang tuanya merokok mempunyai risiko 4,63 kali lebih besar
terkena penyakit ISPA dibandingkan dengan balita yang orang tuanya tidak
merokok (Suhandayani, 2007). Sunyataningkamto (2004), menjelaskan bahwa
asap rokok akan mengurangi fungsi silia, menghancurkan sel epitel bersilia
yang akan diubah menjadi sel skuamosa dan menurunkan humoral/imunitas
seluler baik local maupun sistemik. Kebiasaan merokok juga dapat menambah
pengeluaran rumah tangga yang tidak memiliki pengaruh penting terhadap
peningkatan status kesehatan keluarga.
2.4.4 Faktor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Menurut Hatta (2001), jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia balita. Dikatakan
bahwa balita yang dekat dengan sarana kesehatan mempunyai efek
perlindungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan balita yang jauh dari
sarana kesehatan.
2.5 Klasifikasi dan Diagnosis Pneumonia
2.5.1 Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Klinis dan Epidemiologi
Klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis dan epidemiologi dapat dibedakan
menjadi 3 kategori yaitu:
1. Community Acquired Pneumonia (CAP) atau pneumonia komunitas yaitu
pneumonia yang terjadi infeksi diluar rumah sakit, seperti rumah jompo,
home care (Schmidt, 2007).
2. Hospital Acquired Pneumonia (HAP) atau pneumonia nosokomial yaitu
pneumonia yang terjadi lebih 48 jam atau lebih setelah penderita dirawat
di rumah sakit baik di ruang perawatan umum maupun di ICU tetapi tidak
sedang menggunakan ventilator. Hampir 1% dari penderita yang dirawat
di rumah sakit mendapatkan pneumonia selama dalam perawatan dan
sepertiganya mungkin akan meninggal (Fein, dkk, 2006)
3. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) yaitu, pneumonia yang terjadi
setelah 48-72 jam intubasi tracheal atau menggunakan ventilasi mekanik
di ICU (Torres, S. Ewig, 2011).
2.5.2 Pembagian Kuman Penyebab Pneumonia
Beberapa kuman penyebab terjadinya pneumonia dapat dibagi menjadi:
1. Pneumonia bacterial/tipikal adalah pneumonia yang dapat terjadi pada
semua usia. Beberapa kuman mempunyai tendensi menyerang seseorang
yang peka, misalnya klebsiela pada penderita alkoholik dan
staphylococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
2. Pneumonia atipikal adalah pneumonia yang disebabkan oleh mycoplasma,
legionella dan Chlamydia
3. Pneumonia virus
4. Pneumonia jamur adalah pneumonia yang sering merupakan infeksi
sekunder, terutama pada penderita dengan daya tahan tubuh lemah
(immunocompromised)

Kriteria yang digunakan dalam tata laksana penderita ISPA adalah balita dengan
gejala batuk dan atau kesukaran bernafas.

2.5.3 Pola Tatalaksana Pneumonia Menurut Depkes RI (2000)


Pola tata laksana ini dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu:
1. Pemeriksaan
2. Penentuan ada tidaknya tanda bahaya
3. Penentuan klasifikasi penyakit
4. Pengobatan
2.5.4 Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Ditjen PP dan PL (2005)
Pada balita klasifikasi penyakit pneumonia dibedakan untuk golongan umur <
2 bulan dan umur 2 bulan sampai 5 tahun yaitu sebagai berikut:
1. Untuk golongan umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan menjadi 2
yaitu:
a. Pneumonia berat: ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi
pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan
yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke adalam (severe chest
indrawing)
b. Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan kuat
dinding dada bagian bawah atau nafas cepat
2. Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun, diklasifikasikan menjadi 3
yaitu:
a. Pneumonia berat: bila disertai nafas sesak yaitu adanya tarikan dinding
bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat
anak diperiksa anak harus dalam keadaan tenang tidak menangis atau
meronta)
b. Pneumonia: bila disertai nafas cepat
c. Bukan pneumonia: mencakup kelompok penderita balita dengan batuk
yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas (nafas
cepat) dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bawah ke
dalam.

WHO merekomendasikan klasifikasi klinis dan pengobatan yang diberikan pada


balita usia 2 bulan sampai 5 tahun yang memiliki batuk atau kesukaran bernafas,
dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut (Rizanda, 2006):

Tabel 2.1 Kriteria WHO terhadap Pengobatan pada Usia 2 Bulan Sampai 5 Tahun
yang Memiliki Batuk atau Kesukaran Bernafas Sesuai dengan Klasifikasi Klinis
Penderita

2.5.5 Diagnosis Pneumonia


Dalam pola tatalaksana penderita pneumonia yang dipakai program P2 ISPA,
diagnosis pneumonia pada balita didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran
bernafas disertai dengan peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat sesuai umur).
Panduan WHO dalam menentukan seorang anak menderita nafas cepat dapat
dilihat pada tabel 2.2 sebagai berikut (Rizanda, 2006):
Tabel 2.2 Kriteria Nafas Cepat Menurut Frekuensi Pernafasan Menurut Umur
Anak

Menurut Misnadiarly (2008), tanda penyakit pneumonia pada balita antara lain:
batuk nonproduktif, ingus (nasal discharge), suara nafas lemah, pemanfaatan otot
bantu nafas, demam, cyanosis (kebiru-biruan), Thorax Photo menunjukkan
infiltrasi melebar, sakit kepala, kekakuan dan nyeri otot, sesak nafas, menggigil,
berkeringat, lelah, terkadang kulit menjadi lembab, mual dan muntah. Gejala
penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas akut selama
beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat
mencapai 40 derajat celcius, sesak nafas, nyeri dada dan batuk dengan dahak
kental, terkadang dapat bewarna kuning hingga hijau. Pada sebagian penderita
juga ditemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan dan sakit kepala.
2.6 Penanggulangan Pneumonia
2.6.1 Upaya Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
Penyuluhan kesehatan masyarakat dianggap sebagai upaya yang paling
penting dalam pengendalian pneumonia dan tidak dapat dipisahkan dari
kegiatan penatalaksanaan kasus dan perbaikan kesehatan lingkungan. Sasaran
dari penyuluhan kesehatan adalah ibu dan pengasuh balita sebagai sasaran
primer sedangkan sasaran sekunder adalah petugas kesehatan, kader
posyandu, pengambil keputusan, perencana, pengelola program serta sektor
lain yang terkait. Tujuan dari promosi kesehatan adalah mengupayakan agar
masyarakat mengambil perilaku sehingga sesuai dengan syarat-syarat
kesehatan.
2.6.2 Upaya Pencegahan Pneumonia
Menurut WHO (2010), WHO dan UNICEF pada tahun 2009 membuat
rencana aksi global Global Action Plan For The Prevention (GAPP) untuk
pencegahan dan pengendalian pneumonia. Tujuannya adalah untuk
mempercepat kontrol pneumonia dengan kombinasi intervensi untuk
melindungi, mencegah dan mengobati pneumonia pada anak dengan tindakan
yang meliputi 1) melindungi anak dari pneumonia termasuk mempromosikan
pemberian ASI Eksklusif dan mencuci tangan, mengurangi polusi udara
didalam rumah, 2) mencegah pneumonia dengan pemberian vaksinasi, 3)
mengobati pneumonia difokuskan pada upaya bahwa setiap anak sakit
memiliki akses ke perawatan yang tepat baik dari petugas kesehatan berbasis
masyarakat atau di fasilitas kesehatan jika penyakitnya bertambah berat dan
mendapatkan antibiotic serta oksigen yang mereka butuhkan untuk
kesembuhan. Upaya pencegahan yang ditujukan untuk mengurangi kesakitan
dan kematian akibat pneumonia antara lain dengan:
1. Status imunisasi campak
Imunisasi campak untuk mencegah kematian pneumonia yang diakibatkan
oleh komplikasi penyakit campak. Penelitian di Amerika menunjukkan
bahwa imunisasi campak berperan dalam menurunkan kematian akibat
pneumonia.
2. Perbaikan gizi keluarga untuk mengurangi malnutrisi sebagai salah satu
faktor risiko terjadinya pneumonia
3. Peningkatan kesehatan ibu dan bayi baru lahir dengan berat rendah
melalui upaya perbaikan kesehatan ibu dan anak
4. Perbaikan kualitas lingkungan terutama mengurangi polusi udara dalam
ruangan.
2.7 Manifestasi klinis
1. Kesulitan dan sakit pada saat pernafasan
a. Nyeri pleuritik
b. Nafas dangkal dan mendengkur
c. Takipnea
2. Bunyi nafas di atas area yang menglami konsolidasi
a. Mengecil, kemudian menjadi hilang
b. Krekels, ronki, egofoni
3. Gerakan dada tidak simetris
4. Menggigil dan demam 38,8 C sampai 41,1C, delirium
5. Diaforesis
6. Anoreksia
7. Malaise
8. Batuk kental, produktif : Sputum kuning kehijauan kemudian berubah menjadi
kemerahan atau berkarat
9. Gelisah
10. Cyanosis
a. Area sirkumoral
b. Dasar kuku kebiruan
11. Masalah-masalah psikososial : disorientasi, ansietas, takut mati
2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi :
- Efusi pleura.
- Empiema.
- Abses Paru.
- Pneumotoraks.
- Piopneumotoraks
- Pneumatosel
- Gagal napas.
- Sepsis
- Ileus paralitk fungsional
2.9 Pemeriksaan diagnostik
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 40 C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-
kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.
b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi
dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus
dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang
kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
c. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pe meriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta
gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya
gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan
konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa
lobus.
d. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya
lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk
menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan
serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati.
Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis respiratorik.

Menurut Doenges, 2000:

1. Sinar x : mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan abses


luas/infiltrat, empiema(stapilococcus); infiltrasi menyebar atau terlokalisasi
(bakterial); atau penyebaran /perluasan infiltrat nodul (virus). Pneumonia
mikoplasma sinar x dada mungkin bersih.
2. Analisa Gas Darah (Analisa Gas Darah) : tidak normal mungkin terjadi,
tergantung pada luas paru yang terlibat dan penyakit paru yang ada.
3. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah : diambil dengan biopsi jarum,
aspirasi transtrakeal, bronkoskopifiberotik atau biopsi pembukaan paru untuk
mengatasi organisme penyebab.
4. JDL : leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi pada
infeksi virus, kondisi tekanan imun memungkinkan berkembangnya
pneumonia bakterial.
5. Pemeriksaan serologi : titer virus atu legionella, aglutinin dingin.
6. LED : meningkat
7. Pemeriksaan fungsi paru : volume ungkin menurun (kongesti dan kolaps
alveolar); tekanan jalan nafas mungkin meningkat dan komplain menurun,
hipoksemia.
8. Elektrolit : natrium dan klorida mungkin rendah
9. Bilirubin : mungkin meningkat
10. Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka :menyatakan intranuklear
tipikal dan keterlibatan sitoplasmik(CMV)
2.10 Penatalaksanaan
1. Antibiotik
Pemberian antibiotik harus berdasarkan pentunjuk penemuan kuman penyebab
infeksi (hasil kultur sputum dan tes sensitivitas kuman terhadap antibodi). Bila
penyakitnya ringan antibiotik diberikan secara oral, sedangkan bila berat
diberikan secara parenteral. Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal akibat
proses penuaan, maka harus diingat kemungkinan penggunaan antibiotik
tertentu perlu penyesuaian dosis (Harasawa, 1989).
2. Pengobatan Umum
a. Terapi Oksigen
b. Hidrasi
Bila ringan hidrasi oral, tetapi jika berat hidrasi dilakukan secara parenteral
3. Tirah baring
Penderita perlu tirah baring dan posisi penderita perlu diubah-ubah untuk
menghindari pneumonia hipografik, kelemahan dan dekubitus.
2.11 Gambaran Radiologi Pneumonia

Suatu penilaian terhadap foto toraks memerlukan pengetatruan yang mendalam


tentang anatomi normal toraks. Dalam keadaan normal pun, setiap orang memiliki
anatomi yang berbeda-beda, sedangkan batas antara orang normal maupun sakit
sedikit samar. Sehingga perlu dimiliki pengetahuan dasar tentang apa yang masih
termasuk batas-batas normal.
Gambaran Radiologis

Berdasarkan letak anatomis dibagi menjadi 3 yaitu pneumonia lobaris,


pneumonia lobularis (bronchopneumonia) dan pneumonia interstitialis (bronkiolitis).

1. Air Space Pneumonia/Pneumonia Lobaris


Gambaran Radiologis pada foto thorax pada perryakit pneumonia antara lain:
Perselubungan paru Lobus kanan atas.
Batasnya tegas, walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil.
Tidak tampak deviasi trachea / septum / flssure / seperti pada atelektasis.
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura.
Bila terjadinya pada lobus inferior, maka sinus phrenicocostalis yang paling
akhir terkena.

Pada masa resolusi sering tampk Air Bronchogram Sign.

Air space pneumonia lobaris/ pneumonia lobaris sering dikenal juga dengan
pneumonia pneumococcus karena seiring waktu infeksi dapat menyebar dan
melibatkan seluruh lobus, sering juga menempati satu lobus penuh/konsolidasi pada
seluruh lobus dimulai dalam ruang distal dan menyebar melalui pori-pori.
Sinuses dan diafragma normal, cor tidak membesar
Pulmo:
Hilus kanan tertutup bayangan jantung, hilus kiri kabur
Corak bronkovaskuler normal
Tampak perselubungan opak inhomogen berbatas tegas di lapang atas
paru kanan dengan air bronchogram

Kesan:
Tidak tampak kardiomegali
Pneumonia lobaris
Gambar. Pneumonia lobaris foto AP tampak perselubungan pada lobus kanan paru.

Gambar. Pneumonia lobaris foto PA dan lateral (kanan) tampak perselubungan pada
lobus kanan paru.
Kesan: tampak perselubungan pneumonia lobus tengah paru kanan

2. Pneumonial Bacterial
Streptococcus Pneumoniae
Sering pada orang muda, paling sering terjadi pada semua umur, konsolidasi
bentuk lobar, sering berada dibasal paru, tetapi juga sering diseluruh bagian
paru, gambaran volume paru normal, air bronkogram +, edema diseptum
interlobular menyebabkan garis septum.
Staphytococcus Aureus

Disebabkan pemakaian narkoba gambarannya ada nodul bulat yang tersebar selama
beberapa hari.Terkadang kavitas dapat ditemukan pada pemeriksaan keadaan
lanjutpada pneumonia yang muncul adalah gambaran brokopneumonia dengan
bercak-bercak konsolidasi banyak kadang terdapat kavitas juga.

Klebsiella Pneumonia

Terdapat pada laki-laki yang sudah tua dengan kondisi kesehatan yang
lemah,gambarannya adalah lobar pneumonia yang sering pada bagian kanan dan
bagian lobus atas paru, volume dari paru yang terinfeksi dapat dipertahankan atau
dapat sedikit meningkat yang disebabkan oleh fissure yang menonjol,bisa terdapat
kavitas.
Micoptasma Pneumonia

Gambaran nodular dan reticular (seperti jala) yang diikuti dengan bayangan
konsolidasi, dapat terjadi pada pembagian paru atau perlobus paru dan biasanya
unilateral.kavitas dan efusi pleura sangat jarang didapat

3. Viral Pneumonia
Dimulai dari distal bronkus dan bronkioulus sebagai proses penghancuran
intertstitial. Gambarannya sangat bervariasi:
Bayangan pada peribronchial, bayangan retikulonodular, bercak-bercak
konsolidasi atau kosolidasi luas.
Pemeriksaan Radiologi Lainnya :

Ct Scan

Dalam beberapa kasus CT scan dapat mendeteksi pneumonia yang tidak terlihat pada
foto toraks. Terkadang pada foto thoraks bisa terjadi kesalahpahaman apakah ini
jaringan parut pada paru atau gagal jantung kongesti.Kedua kelainan di atas dapat
memberikan gambaran menyerupai pneumonia di foto thoraks.

Dalam beberapa kasus ct-scan dapat mendeteksi pneumonia yang tidak terlihat pada
foto
Lobar Pneumonia RML Sagital CT Scan
MRI (Magnetic Resonance Imaging )

Magnetic Resonance Imaging Angiography thorax

DIAGNOSIS BANDING

1. Efusi pleura : memberi gambaran yang mirip dengan pneumonia, tanpa air-
bronkogram. Terdapat penambahan volume sehingga terjadi pendorongan jantung,
trakea dan mediastinum ke arah yang sehat.Rongga toraks membesar. Pada efusi
pleura sebagian akan tampak meniscus sign, tanda khas pada efusi pleura.

Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak
diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer iarang terjadi tetapi
biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang
pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai
pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak
3. Atelektasis : memberi gambaran yang mirip dengan pneumoni4\a tanpa
air-bronkagram. Namun terdapat penarikan jantung, trakea dan
mediastinum ke arah yang sakit karena adanya pengurangan
volume.Interkostal space menjadi lebih sempit dan pengecilan dari seluruh
atau sebagian paru-paru yang sakit.sehingga akan tampak toraks asimetris.
BAB III
KESIMPULAN

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parencim paru, dari


broncheolus terminalis yang mencakup broncheolus respiratorius dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
Biasanya terjadi pada anak-anak tetapi lebih sering terjadi pada bayi dan awal masa
kanak-kanak dan secara klinis pneumonia terjadi sebagai penyakit primer atau
komplikasi dari penyakit lain
Penegakkan diagnosis berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan fisik, dan
hasil radiologi. Gambaran radiologi digunakan sebagai pemeriksaan penunjang
penegakkan diagnosis dan menentukan jenis pneumonia.
Selain penatalaksanaan dengan antibiotik, tirah baring juga diperlukan untuk
proses penyembuhan.
Pencegahan terhadap pneumonia perlu dilakukan untuk mengurangi faktor
risiko pneumonia.
DAFTAR PUSTAKA

Rasad, Sjahriar. Radiologi Diagnostilc Balai Penerbit FK UI. Jakarta 2005.

Forrest, John V. Yang Penting pada Radiologi Thoraks. Widya Medika. Jakarta 1990.

Burgener, X'rancis A, dan Kormano, Martti. Differential Diagnosis in Conventional


Radiology. Thieme.Strafton, Inc. New York 1985

Dahlan,Zul.Buku Ajar ilmu penyakit dalam.Ed 4 vol ll.Jakarta.2007.

Paul and Juhl. Essential of Radiologic Imagiog, 5th edition. J.B. Lippincott Company.
Philadelpia

Persatuan Ahli Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid II, Edisi
Ketiga. Balai Penerbit FK UI. Jakarta 2001.

Price, Sylvia A, Wilson, Loraine M. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses


Penyakit, buku II, Edisi Keempat Penerbit Buku Kedokderan, EGC. 1995.

Dahhn, Zul. Pandangan Baru Pneumonia Atipik dan Terapinya. Cermin Dunia
Kedokteran, Masalah Saluran Nafas, vol. 128. Jakarta 2000.

www.medicinenet.com

www.e-radiography.net

You might also like