Professional Documents
Culture Documents
STEP 6
Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji toksisitas
khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsinogenisitas.
Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan LD50 (lethal dose50) yaitu
dosis yang mematikan 50% hewan coba, menilai berbagai gejala toksik, spektrum
efek toksik pada organ, dan cara kematian. Uji LD50 perlu dilakukan untuk semua
jenis obat yang akan diberikan pada manusia. Untuk pemberian dosis tunggal
cukup dilakukan uji toksisitas akut.
Pada uji toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan,
sedangkan pada uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau
lebih.
Uji toksisitas subkronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat
tradisional pada pemberian jangka lama. Lama pemberian sediaan obat pada uji
toksisitas ditentukan berdasarkan lama pemberian obat pada manusia (Tabel 4).
Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat
tradisional agar masuk ke tahap uji klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan secara
selektif bila:
a. Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial menimbulkan efek
khusus seperti kanker, cacat bawaan.
b. Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan usia subur
c. Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait dengan penyakit
tertentu misalnya kanker.
d. Obat digunakan secara kronik
Uji Farmakodinamik
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek
farmakodinamik dan menelusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat
tradisional tersebut. Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba.
Cara pemberian obat tradisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara
pemberiannya pada manusia. Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada hewan coba
hanya dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan efek pada manusia
In vitro :
Terletak di dalam suatu system tetapi di luar tubuh manusia
Kebutuhan sample yang digunakan lebih sedikit
Murah dan cepat
In vivo :
Terletak di dalam tubuh manusia
Kebutuhan sample yang digunakan lebih banyak
Mahal dan lama
Sedangkan uji in vivo digunakan hewan utuh dan kondisi hidup (baik sadar atau
teranestesi). Syarat hewan yg digunakan sangat banyak tgt jenis obatnya, missal
yang jelas harus dilakukan control terhadap galur/spesies, jenis kelamin, umur,
berat badan (mempengaruhi dosis), dan harus dilakukan pada minimal 2 spesies
yakni rodent/hewan mengerat dan non rodent. Alasannya krn system fisiologi dan
patologi pada manusia merupakan perpaduan antara rodent dan non rodent.
Selain itu pemilihan jenis hewan yg dipilih pun harus tepat menggambarkan kondisi
yg diinginkan. Contohnya :
- utk obat fertilitas digunakan hewan uji tikus/rat galur Sprague Dowley/SD bukan
Wistar atau jenis tikus lainnya, krn tikus jenis SD memiliki anak banyak shg
pengamatan akan lbh baik dg jumlah sample yg banyak.
- Utk uji painkiller digunakan mencit/mice jika utk menilai nyeri ringan yakni
dengan penyuntikan asam asetat glacial ke peritoneum mencit, tapi jika
sasarannya nyeri tekanan digunakan tikus bias Wistar atau SD, karena tikus akan
dijepit ekornya atau telapak jarinya dengan alat tertentu, sementara kalo nyeri
berupa panas, digunakan boleh mencit atau tikus krn hewan akan diletakkan di
hot plate.
- Utk antidiabetika, seharusnya digunakan babi atau sapi yg pankreasnya banyak
kemiripan dg manusia, namun dengan tikus sudah cukup dengan adanya
keterbatasan subyek uji
- Utk antiemetik/anti muntah digunakan burung merpati, krn bisa dirangsang utk
muntah berkali-kali sbg kuantifikasi, sementara hewan lain hanya muntah sekali.
- Utk obat antihipertensi, digunakan kucing atau anjing teranestesi, krn system
kardiovaskulernya paling mirip dg manusia
- Utk obat antiinflamasi digunakan baik tikus yang disuntik karagenan di bawah
kulitnya shg melepuh atau telinga mencit disuntik croton oil, bahkan kaki tikus
sering dipotong utk menimbang udem yg terbentuk
- utk antipiretik/penurun panas, digunakan kelinci utk diukur suhu duburnya
setelah disuntik pyrogen
- Utk asam urat digunakan ayam/burung yg dikasih makan jus hati ayam (ayam
makan ayam) krn metabolisme asam urat pada manusia mirip dg yg terjadi dg
biokimiawi di keluarga burung.
- Uji stamina digunakan tikus atau mencit, krn tubuhnya kuat dan tahan di dalam
air, hewan diuji dg berenang dan lari di treadmill.
- Uji libido, digunakan tikus dalam keadaan estrus/siap menerima pejantan.
- Utk uji kanker, digunakan punggung tikus yg diimplan dg sel kanker, atau paru-
paru tikus setelah dipejankan benzo(a)pirena
Setelah diketahui khasiatnya, obat harus aman. Maka diuji TOKSIKOLOGI. Minimal
obat harus menunjukkan keamanan secara akut, sub kronik dan kronik=uji toksisitas
tak khas. Uji toksisitas kuncinya adalah menemukan DOSIS TOKSIK, maka hanya bias
dilakukan pada hewan utuh, kecuali utk uji toksisitas spesifik spt mutagenic, kanker,
kulit, dll
Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji toksisitas
khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsinogenisitas.
Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan LD50 (lethal dose50) yaitu
dosis yang mematikan 50% hewan coba, menilai berbagai gejala toksik, spektrum
efek toksik pada organ, dan cara kematian. Uji LD50 perlu dilakukan untuk semua
jenis obat yang akan diberikan pada manusia. Untuk pemberian dosis tunggal
cukup dilakukan uji toksisitas akut.
Pada uji toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan,
sedangkan pada uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau
lebih.
Uji toksisitas subkronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat
tradisional pada pemberian jangka lama. Lama pemberian sediaan obat pada uji
toksisitas ditentukan berdasarkan lama pemberian obat pada manusia (Tabel 4).
Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat
tradisional agar masuk ke tahap uji klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan secara
selektif bila:
e. Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial menimbulkan efek
khusus seperti kanker, cacat bawaan.
f. Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan usia subur
g. Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait dengan penyakit
tertentu misalnya kanker.
h. Obat digunakan secara kronik
Uji Farmakodinamik
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek
farmakodinamik dan menelusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat
tradisional tersebut. Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba.
Cara pemberian obat tradisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara
pemberiannya pada manusia. Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada hewan coba
hanya dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan efek pada manusia
In vitro :
Terletak di dalam suatu system tetapi di luar tubuh manusia
Kebutuhan sample yang digunakan lebih sedikit
Murah dan cepat
In vivo :
Terletak di dalam tubuh manusia
Kebutuhan sample yang digunakan lebih banyak
Mahal dan lama
Sedangkan uji in vivo digunakan hewan utuh dan kondisi hidup (baik sadar atau
teranestesi). Syarat hewan yg digunakan sangat banyak tgt jenis obatnya, missal
yang jelas harus dilakukan control terhadap galur/spesies, jenis kelamin, umur,
berat badan (mempengaruhi dosis), dan harus dilakukan pada minimal 2 spesies
yakni rodent/hewan mengerat dan non rodent. Alasannya krn system fisiologi dan
patologi pada manusia merupakan perpaduan antara rodent dan non rodent.
Selain itu pemilihan jenis hewan yg dipilih pun harus tepat menggambarkan kondisi
yg diinginkan. Contohnya :
- utk obat fertilitas digunakan hewan uji tikus/rat galur Sprague Dowley/SD bukan
Wistar atau jenis tikus lainnya, krn tikus jenis SD memiliki anak banyak shg
pengamatan akan lbh baik dg jumlah sample yg banyak.
- Utk uji painkiller digunakan mencit/mice jika utk menilai nyeri ringan yakni
dengan penyuntikan asam asetat glacial ke peritoneum mencit, tapi jika
sasarannya nyeri tekanan digunakan tikus bias Wistar atau SD, karena tikus akan
dijepit ekornya atau telapak jarinya dengan alat tertentu, sementara kalo nyeri
berupa panas, digunakan boleh mencit atau tikus krn hewan akan diletakkan di
hot plate.
- Utk antidiabetika, seharusnya digunakan babi atau sapi yg pankreasnya banyak
kemiripan dg manusia, namun dengan tikus sudah cukup dengan adanya
keterbatasan subyek uji
- Utk antiemetik/anti muntah digunakan burung merpati, krn bisa dirangsang utk
muntah berkali-kali sbg kuantifikasi, sementara hewan lain hanya muntah sekali.
- Utk obat antihipertensi, digunakan kucing atau anjing teranestesi, krn system
kardiovaskulernya paling mirip dg manusia
- Utk obat antiinflamasi digunakan baik tikus yang disuntik karagenan di bawah
kulitnya shg melepuh atau telinga mencit disuntik croton oil, bahkan kaki tikus
sering dipotong utk menimbang udem yg terbentuk
- utk antipiretik/penurun panas, digunakan kelinci utk diukur suhu duburnya
setelah disuntik pyrogen
- Utk asam urat digunakan ayam/burung yg dikasih makan jus hati ayam (ayam
makan ayam) krn metabolisme asam urat pada manusia mirip dg yg terjadi dg
biokimiawi di keluarga burung.
- Uji stamina digunakan tikus atau mencit, krn tubuhnya kuat dan tahan di dalam
air, hewan diuji dg berenang dan lari di treadmill.
- Uji libido, digunakan tikus dalam keadaan estrus/siap menerima pejantan.
- Utk uji kanker, digunakan punggung tikus yg diimplan dg sel kanker, atau paru-
paru tikus setelah dipejankan benzo(a)pirena
Setelah diketahui khasiatnya, obat harus aman. Maka diuji TOKSIKOLOGI. Minimal
obat harus menunjukkan keamanan secara akut, sub kronik dan kronik=uji toksisitas
tak khas. Uji toksisitas kuncinya adalah menemukan DOSIS TOKSIK, maka hanya bias
dilakukan pada hewan utuh, kecuali utk uji toksisitas spesifik spt mutagenic, kanker,
kulit, dll
Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini
diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan
toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah
pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ
terisolasi, selanjutnya dipandang perlu menguji pada hewan utuh
Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci,
marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata, hewan-hewan
ini sangat berjasa bagi pengembangan obat. Hanya dengan menggunakan hewan
utuh dapat diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis
pengobatan atau aman. Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk
mengevaluasi :
Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis
Kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas)
Pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas)
Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas)
Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat farmakokinetik
obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil
pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat diteruskan dengan uji pada
manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi farmasi dalam
pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan
diuji pada manusia
Spesies yang ideal untuk uji toksisitas sebaiknya memenuhi criteria-kriteria sebagai
berikut:
Berat badan lebih kecil dari 1 kg
Mudah di ambil darahnya dan jumlah darah yang dapat diambil cukup banyak
Mudah dipegang dan dikendalikan
Pemberian materi mudah dilakukan dengan berbagai rute (oral, subkutan)
Mudah dikembangbiakan dan mudah dipelihara di laboratorium
Lama hidup relative singkat
Fisiologi diperkirakan sesuai/identik dengan manusia/hewan yang dituju
Kusumawati.2004.Bersahabat dengan hewan coba.Yogyakarta:Gadjah Mada University
Press.
Pada prinsipnya jenis hewan yang digunakan untuk uji toksisitas harus dipertimbangkan
berdasarkan sensitivitas, cara metabolisme sediaan uji yang serupa dengan manusia,
kecepatan tumbuh serta mudah tidaknya cara penanganan sewaktu dilakukan
percobaan. Hewan pengerat merupakan jenis hewan yang memenuhi persyaratan
tersebut diatas, sehingga paling banyak digunakan pada uji toksisitas. Hewan yang
digunakan harus sehat; asal, jenis dan galur, jenis kelamin, usia serta berat badan harus
jelas. Biasanya digunakan hewan muda dewasa, dengan variasi bobot tidak lebih dari
20%. Adapun kriteria hewan yang digunakan dapat dilihat pada tabel 1.
uji. Disisi lain, pemegangan yang salah juga dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan
kerja seperti tergigit oleh hewan.
Demi tercapainya kesejahteraan hewan, maka kriteria hewan coba selayaknya dilakukan
3R yaitu:
1. Replacement: suatu usaha meminimalkan penggunaan hewan coba yang dapat
diganti dengan media lain seperti media kultur atau sejenisnya maupun dengan
metode statistik,
2. Reduction: usaha meminimalkan jumlah atau pengurangan pemakaian hewan coba,
dan
3. Refinement: perlakuan yang pantas terhadap semua organisme agar bebas dari 5R
yaitu rasa lapar dan haus (hunger & thirst), rasa sakit (discomfort pain), rasa takut dan
tekanan (injury fear & distress), rasa bebas untuk mengekspresikan/menunjukkan
perilaku alamiahnya (to express natural behavior) serta pengkayaan lingkungan.
1. Hewan percobaan : yaitu meliputi strain yang menyangkut background image tentang
sifat-sifat khasnya, manajemen pemeliharaan, umur yang dikaitkan dengan berat
badannya, jenis kelamin dan data fisiologisnya. Dengan demikian jelas bahwa strain
hewan percobaan harus sesuai atau cocok dengan tujuan pemeriksaan.
Tiap negara terutama negara maju biasanya mengembangkan strain hewan sendiri,
agar dapat menemukan hewan yang baik untuk kondisi negara tersebut. Dapat
diambil contoh, di Jepang telah dikembangkan strain lokal di samping memelihara
strain dari luar negeri. Demikian pula di Australia, terdapat mencit jenis outbred ada
12 strain lokal, kelinci 15 strain lokal.
2. Lingkungan : yaitu meliputi temperatur ruangan; kelembaban ruangan; tekanan
udara; sirkulasi udara; tempat hidupnya (kandang) baik mengenai ukuran, bahan
maupun bentuknya; bedding (alas kandang); kebisingan suara dan personil yang
menangani; keadaan nutrisinya (makanan dan minuman).
Dengan terciptanya suatu lingkungan yang baik, akan memberikan kesempatan pada
hewan percobaan untuk hidup dan bertumbuh sesuai dengan bakat atau sifat-sifat
genetik yang dimilikinya.
Menurut SHORT, D.J dan WOODNOTT, D.P (1963) dalam bukunya The IAT, Manual of
Laboratory Animal Practice and Techniques, jenis-jenis hewan percobaan mencit,
marmut dan kelinci temperatur ruangan yang direkomendasikan adalah : 22,2C;
15,5C dan 12,77C, sedangkan kelembaban relatif bervariasi antara 45--55% untuk
semua hewan tersebut. Keadaan semacam ini sukar dicapai terutama untuk daerah
dataran rendah.
3. Uji performan atau prestasi hewan percobaan : yaitu untuk menentukan kemampuan
hewan percobaan dalam memberikan suatu reaksi atau mempertahankan sifat khas
dari populasinya.
1. Freedom from hunger and thirst (bebas dari rasa lapar dan haus)
Memberikan akses makanan dan air minum yang sesuai dan memadai untuk
kesehatan hewan mencakup jumlah dan komposisi nutrisi. Kualitas makanan dan air
minum yang memadai dibuktikan melalui analisis proximate makanan, mutu air
minum, dan uji kontaminasi yang dilakukan secara berkala.
Menyediakan lingkungan yang bersih dan paling sesuai dengan biologik spesies antara
lain meliputi siklus cahaya, suhu, dan kelembaban lingkungan serta fasilitas fisik
seperti ukuran kandang dan komposisi kelompok.
3. Freedom from pain, injury, and disease (bebas dari rasa sakit, trauma, dan penyakit)
Program kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan meminimalkan/
meniadakan rasa sakit, serta pemilihan prosedur dilakukan dengan pertimbangan
meminimalkan rasa sakit (non-invasive), penggunaan anestesia dan analgesia bila
diperlukan, serta eutanasia dengan metode yang manusiawi dalam rangka untuk
meminimalkan bahkan meniadakan penderitaan hewan.
4. Freedom from fear and distress (bebas dari ketakutan dan stress jangka panjang)
http://www.batan.go.id/etik_hewan_lampiran.php
Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah hewan yang sengaja dipelihara dan
diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model, dan juga untuk mempelajari dan
mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan
laboratorik. Animal model atau hewan model adalah objek hewan sebagai imitasi
(peniruan) manusia (atau spesies lain), yang digunakan untuk menyelidiki fenomena
biologis atau patobiologis (Hau & Hoosier Jr., 2003).
1. Sedapat mungkin hewan percobaan yang akan digunakan bebas dari mikroorganisme
patogen, karena adanya mikroorganisme patogen pada tubuh hewan sangat
mengganggu jalannya reaksi pada pemeriksaan penelitian, sehingga dari segi ilmiah
hasilnya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karenanya, berdasarkan
tingkatan kontaminasi mikroorganisme patogen, hewan percobaan digolongkan
menjadi hewan percobaan konvensional, specified pathogen free (SPF) dan
gnotobiotic.
2. Mempunyai kemampuan dalam memberikan reaksi imunitas yang baik. Hal ini ada
hubungannya dengan persyaratan pertama.
3. Kepekaan terhadap sesuatu penyakit. Hal ini menunjukkan tingkat suseptibilitas
hewan terhadap penyakit.
4. Performa atau prestasi hewan percobaan yang dikaitkan dengan sifat genetiknya.
Dari keadaan tersebut di atas, timbul beberapa dilema dalam hal penyediaan hewan
percobaan, misalnya penyakit, lingkungan, seleksi dan pengelolaan (Sulaksono, 1987).
Selain itu pemilihan jenis hewan yg dipilih pun harus tepat menggambarkan kondisi yg
diinginkan. Contohnya :
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2014 Tentang Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo.
Gambar 2. Cara memegang mencit pada pemberian sediaan uji secara oral
Gambar 3. Cara memegang tikus pada pemberian sediaan uji secara oral
Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan
diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari serta
mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan
laboratorium (Sevendsen dan Hau 1994). Para ahli sering menggunakan hewan yang
memiliki karakteristik kebutuhan biologi untuk menjawab pertanyaan dalam penelitian
tersebut. Umumnya hewan yang digunakan dalam penelitian adalah rodensia dan
kelinci. Jenis hewan lain yang dapat digunakan untuk penelitian ialah reptil, amfibi, ikan,
ayam, babi, kambing, anjing, kucing, dan monyet (Bride 1997).
Menurut Smith dan Mangunwijoyo (1998), hewan percobaan adalah hewan yang
digunakan dalam penelitian biologis maupun biomedis atau jenis hewan yang dipelihara
secara intensif di laboratorium.
Macam-macam :
Pada uji farmakologi suatu sediaan dilakukan uji pra klinis dan uji klinik dimana uji
praklinik dilakukan pada hewan coba seperti :
- Mencit (Mus musculus),
- Tikus (RatusNovergikus),
- Kelinci (Oryctogalus Cuniculus),
- Marmot (Carvia Parcellus)
Cara pemilihan
Mencit
Bila dibutuhkan hewan coba dalam jumlah banyak, misalnya pada evaluasi terhadap
toksisitas akut dan kemampuan karsinogenik, maka hewan yang paling sesuai untuk itu
adalah mencit. Kekurangannya adalah kesulitan memperoleh darah dalam jumlah yang
cukup untuk rangkaian pemeriksaan hematologi.
Tikus
Tikus tampaknya merupakan spesies ideal untuk uji toksikologi karena berat badannya
dapat mencapai 500 gram sehingga lebih mudah dipegang, dikendalikan atau dapt
diambil darahnya dalam jumlah yang relative besar.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2014 Tentang Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo.