Professional Documents
Culture Documents
Pada referat ini akan membahas diagnosis banding dari nyeri sendi
diantaranya osteoarartritis, lupus eritematosus sitemik dan spondylitis
tuberkulosis.
A. Osteoartritis
1
dikeluarkan ileh ICD-10 yaitu terdapat nyeri sendi lutut dan paling sedikit
disertai dengan gejala 3 dari 6 kriteria berikut ini : krepitus saat gerakan aktif,
kaku sendi <30 menit, umur >50 tahun, pembesaran tulang sendi lutut, nyeri
tekan tepi tulang, dan tidak teraba hangat pada synovium sendi lutut.
Diperlukan alat penunjang untuk mengklasifikasikan tingkat keparahan OA
yaitu rontgen sendi, dimana akan tampak adanya osteofit, sklerosis
subkondral, dan penyempitan pada ruang sendi (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2014). Selain itu pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat
dilakukan adalah MRI, artroskopi, dan artrografi. Pada OA, karena pasien
mengutamakan keluhan nyeri yang sangat parah oleh karena itu tata laksana
yang harus diberikan berupa analgesik. Pendekatan yang dapat dilakukan
dengan menggunakan Visual Analog Scale (VAS), dengan demikian analgesik
dapat dipilih menggunakan obat NSID (Neogi, 2013). Selain itu dapat diberikan
supplemen sebagai agen kondroprotektif seperti asam hialuronat dan
kondroitin sulfat. Pasien juga perlu dipantau berat badannya, karena keadaan
obesitas dapat memperberat keparahan penyakit ini. Osteoartitis merupakan
penyakit degeneratif sehingga tatalaksana definitive dari kondisi ini berupa
terapi bedah yaitu arthroscopic debridement dan joint lavage, osteotomy,
ataupun artropalsti sendi total. OA terutama sering kali terjadi pada sendi lutut
sehingga menyebabkan disability pada hidupnya dan keterbatasan hingga
menyebabkan seseorang tidak dapat pergi meninggalkan rumahnya, hal ini
juga dapat berdampak pada kualitas hidupnya. Pencegahan dari penyakit ini
dapat dilakukan sejak dini sebelum memasuki umur lansia yaitu dengan
mengurangi beban load yang berlebihan pada satu sendi misalnya pada
pekerjaan seperti tukang jahit ataupun pada atlit-alit dengan beban berat
berlebih, selain itu dapat juga dengan mencegah berat badan yang berlebih
karena berat badan menjadi faktor bertambahanya beban stress pada sendi
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014)..
2
B. Lupus Eritematosus Sistemik
Penyakit lain yang memiliki keluhan nyeri sendi yaitu pada penyakit Lupus
Eritematosus Sistemik atau yang disingkat dengan SLE. SLE merupakan
penyakit inflamasi autoimun sistemik yang ditandai dengan temuan antibody
pada berbagai jaringan dan menimbulkan manifestasi klinis di berbagai system
organ (Pusdatin, 2017). Autoimun menggambarkan kondisi dimana tubuh tidak
mampu membedakan antara benda asing dari luar tubuh dengan sel atau
jaringan tubuhnya sendiri, sehingga imun menyerang sel dan jaringan
tubuhnya sendiri. Penyebabnya sendiri belum diketahui secara pasti, akan
tetapi meningkat pada orang-orang yang memiliki riwayat positif SLE pada
keluarga utama seperti saudara atau orang tua, faktor lingkungan seperti
infeksi, makanan, cahaya UV, obat-obatan tertentu dan rokok, serta faktor dari
hormonal, dimana perempuan lebih sering terkena SLE yaitu pada saat
sebelum periode menstruasi dan selama kehamilan. SLE dapat menyerang
siapa saja, akan tetapi sebagian besar menyerang perempuan usia produktif
(15-44 tahun), dan menyerang pada semua ras terutama ras kulit berwarna
seperti Asia, Afrika Amerika, dan Hispanik/Latin (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2011). SLE disebut juga dengan penyakit seribu wajah, karena
gejalanya yang banyak dan tidak spesifik pada organ tertentu. Gejala yang
paling sering muncul berupa keletihan, sakit kepala, nyeri atau bengkak sendi,
demam, anemia, ruam kemerahan pada pipi hingga hidung dengan pola kupu-
kupu, sensitive terhadap cahaya matahari, rambut rontok, perdarahan yang
tidak biasa, jari-jari pucat ketika dingin dan sariawan dimulut atau koreng
dihidung. Untuk mendiagnosis seseorang terkena SLE dapat ditegakkan
dengan kriteria diagnosis yang mengacu pada kriteria the American College of
Rheumatology (ACR) dimana apabila dijumpai 4 atau lebih kriteria pada tabel,
maka memiliki sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3
3
kriteria tetapi salah satunya tes ANA positif maka sangat mungkin SLE. Bila
test ANA negative maka kemungkinan bukan SLE.
4
seperti pemeriksaan kimia darah, laju endap darah, HB, kreatinin urin, foto
polos thorax, PT dan aPTT (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).
Untuk pengobatan pada SLE terdiri dari 4 buah pilar, dimana pilar pertama
berupa edukasi konseling dengan maksud agar pasien dapat hidup mandiri
dan memiliki kualitas hidup yang baik. Pilar ke dua berupa program rehabilitasi,
pada pasien SLE yang dibiarkan terus dengan kondisi immobilitas selama lebih
2 minggu akan mengalami atrofi otot 30% sehingga perlu adanya latihan untuk
menjaga kekuatan otot agar tetap fit. Pilar ketiga berupa terapi
medikamentosa, dimana yang diberikan berupa NSAID, kortikosteroid,
antimalaria, steroid, imunosupresan dan terapi lain. Kortikosteroid merupakan
pengobatan utama pada SLE. SLE sendiri tidak dapat disembuhkan, dulu
beberapa puluh tahun yang lalu SLE dipandang sebgai penyakit terminal yang
berujung pada kematian, akan tetapi kini pengobatan sudah jauh lebih baik.
Dengan pengobatan pasien akan mendapatkan remisi panjang, mengurangi
tingkat gejala serta mencegah kerusakan organ sehingga pasien pun dapat
hidup normal atau mendekati tahap normal (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2011). Salah satu program pemerintah untuk mendeteksi SLE yiatu
melalui posbindu dan puskesmas dengan menggunakan formulir SALURI
(Periksa Lupus Sendiri), apabila hasil formulir didapatkan Ya pada minimal 4
pertanyaan maka perlu segera dikonsultasikan kepada dokter puskesmas atau
rumah sakit setempat (Pusdatin, 2017)
C. Spondilitis Tuberkulosis
5
terdiagnosis. Indonesia menduduki peringkat ketiga terbanyak penderita
tuberkulosis, sehinga diperkirakan 20% penderita diantaranya akan mengalami
penyebaran ekstraparu. Mycobaterium tuberculosis yang membentuk focus
primer (focus ghon) di paru-paru akan menyebar secara limfogen dan
menyebabkan limfangitis lokal dan regional. Apabila system imun penderita
tidak kompeten maka infeksi akan menyebar secara hematogen/limfogen dan
menuju keberbagai organ salah satunya tulang belakang yang melalui pleksus
venosus paravertebral Batson. Satu hingga lima persen penderita TB
mengalami TB osteoartikular, dan separuh dari TB osteoartikular merupakan
spondylitis TB. Spondylitis TB cenderung terjadi pada dekade kelima hingga ke
enam, dan prevalensinya meningkat apabila disertai kondisi defisiensi imun
seperti HIV postif, serta pada usia tua, dan anak dibawah 15 tahun yang rentan
terinfeksi (Zuwanda, 2013).
6
tulang belakang karena terdapat abses yang dapat diraba dan terlihat dari luar
berupa pembengkakan. Bila penyakit sudah dalam stadium lanjut bisa
didapatkan kelumpuhan pada UMN dan LMN, serta lebih lanjutnya akan muncul
atrofi otot yang biasanya bersifat bilateral. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk mendiagnosis dini spondylitis TB yaitu pemeriksaan radiologi
berupa sinar-X, CT scan, dan MRI. Akan didapatkan penyempitan jarak antar
diskus intervertebralis, erosi dan iregularitas dari badan vertebra, sekuestrasi,
serta massa para vertebra. Pada keadaan lanjut vertebra akan kolaps kearah
anterior sehingga menyerupai akordion (concertina). Dapat pula dilakukan
biopsy dan pemeriksan mikrobiologis pada aspirasi abses tulang belakang yang
dipandu denga CT scan atau fluoroskopi. Hasilnya akan dibawa kelaboratorium
untuk pemeriksaa histologis, kultur, dan pewarnaan basil tahan asam (BTA),
gram, jamur dan tumor.
7
Daftar Pustaka